Anda di halaman 1dari 4

Topeng Dalang dan Sejarah Perkembangannya

Konon, topeng dikatakan sebagai bentuk kesenian yang paling tua, karena topeng pada masa lalu
dipergunakan oleh penganut animesme dan Hinduisme ketika mengalami sesuatu yang mengkhawatirkan,
seperti ; bencana alam ataupun penyakit. Pada masa itu topeng digunakan sebagai media untuk berhubungan
dengan alam ghaib, dengan para penguasa alam lain, dengan roh-roh nenek moyang. Pementasan Topeng
pada jaman itu dimaksudkan agar mampu berdamai sekaligus mengusir roh-roh jahat yang mengganggu
kehidupan mereka.
Selain ludruk, topeng merupakan bentuk teater rakyat yang paling populer di dataran pulau Madura. Menurut
babad Madura yang ditulis pada abad 19, topeng dalang pertama kali dikembangkan pada abad ke-15 di desa
Proppo, kerajaan Jambwaringin, Pamekasan pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya. Menurut cerita
bahwa Prabu Menak Senaya inilah, yang pertama kali menumbuhkan topeng di wilayah Madura, karena buktibukti keberadaan topeng di daerah Propp o banyak diketemukan. Yang dijadikan model pembuatan topeng
(tatopong bahasa Madura) adalah figur tokoh-tokoh pewayangan.
Mengingat hubungan Madura dengan kerajaan Majapahit dan Singosari yang mesra, tak dapat dipungkiri
bahwa topeng dalang Madura merupakan kelanjutan dari teater topeng di kedua kerajaan Jawa Timur
tersebut. Namun dalam perkembangannya, topeng di Madura menempuh jalan sendiri, lebih-lebih ketika
agama Islam mulai masuk ke pulau Madura. Unsur-unsur cerita yang dipentaskan, banyak menyelipkan
penjabaran nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai moral, nilai filosofi yang berlandaskan ajaran Islam. bentuk-bentuk
penggarapan topeng pun mulai dihubungkan dengan hasil modifikasi topeng yang dirancang pada era para
wali, terutama dalam hal kesederhanannya.
Pada abad ke-18 topeng dalang yang semula merupakan teater rakyat, kemudian diangkat menjadi kesenian
istana. Di dalam lingkungan istana, ragam hias topeng yang sederhana dimodifikasi kembali. Bentuk dan
kehalusan ukirannya diperindah, begitu pula dengan seni karawitannya, seni pedalangan sekaligus
pemanggungan/pementasan. Sehingga pada masa itu, merupakan masa berkembangnya sastra Madura.
Apalagi hubungan antara raja Madura dengan kerajaan Mataram semakin erat, sehingga pengaruh Mataram
tak dapat dielakkan lagi.
Perkawinan antara seorang keluarga kerajaan Mataram dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII
(1830-1850) dengan salah satu putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan.
Karena mertuanya senang dengan topeng dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah seperangkat topeng
lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng hadiah dari Solo ini sedikit banyak
berpengaruh pada seni topeng Madura, terutama kehalusan ukiran-ukirannya.
Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang dari bumi Madura, topeng dalang kembali menjadi
kesenian rakyat dan mencapai puncak kesuburannya sampai tahun 1960. hal itu dapat dilihat dari banyaknya
group kesenian, banyaknya dalang dan banyaknya pengrajin topeng di berbagai pelosok. Memasuki dekade
1960-an, topeng dalang mengalami masa surut. Hal ini disebabkan banyaknya tokoh-tokoh topeng yang
meninggal dunia, sedangkan tokoh-tokoh muda belum muncul dan menguasai seni topeng dalang.
Pada tahun 1970-an topeng dalang kembali bangkit dan itu tidak terlepas dari jasa dalang tua Sabidin (dari
Sumenep), yang tetap bertahan dan eksis dalam menggeluti topeng dalang sekaligus mendidik kader-kader
muda yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep. Pengkaderan diprioritaskan pada penguasaan
materi pedalangan maupun mendidik penari-penari topeng. Kerja keras dalang Sabidin membuahkan hasil,
murid-murid hasil didikannya mampu menguasai dan melestarikan kembali seni topeng dalang.

Karakteristik Topeng Madura

Adapun bentuk topeng yang dikembangkan di Madura, berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda dan
Bali. Topeng Madura pada umumnya lebih kecil bentuknya. Kecuali Semar, hampir semua topeng itu diukir
pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling populer ialah hiasan bunga
melati. Sedangkan untuk tokoh-tokoh penguasa zalim, digunakan ragam hias badge, yaitu lambang yang
dipakai para penguasa kolonial Belanda. Selain itu topeng Madura ada dua jenis, satu berukuran seluas
telapak tangan, satu lebih besar. Bentuk topeng ini tidak sepenuhnya bisa menutup wajah penari, terutama
dagu, maka gerak dagu dalam setiap pementasan tidak dapat disembunyikan, dan ini memberikan nilai estetik
tersendiri. .
Adapun penggambaran karakter pada topeng Dalang selain nampak pada bentuk muka juga tampak pada
pemilihan warna. Untuk tokoh yang berjiwa bersih dan suka berterus terang digunakan warna putih.
Sedangkan warna merah, digunakan untuk tokoh-tokoh tenang dan penuh kasih sayang (tokoh Yudistira),
hitam untuk tokoh yang arif bijaksana, bersih dari nafsu duniawi (tokoh wayang Krisna). Untuk penggambaran
tokoh anggun dan berwibawa, digunakan warna kuning emas (tokoh wayang Subadra). Sedangkan
penggambaran tokoh yang pemarah, licik dan sombong memakai warna kuning.
Begitu pula konsep karakter tokoh topeng, setelah menyebar ke berbagai wilayah para dalang memodifikasi
sesuai dengan karakter daerah dimana topeng itu tumbuh dan berkembang. Sehingga tidak mengherankan
kalau konsep karakter tokoh-tokoh wayang Madura dengan konsep karakter topeng Jawa Tengah agak
berbeda. Salah satu contoh adalah, di lingkungan Astina, Suyudana sang Raja, ternyata oleh orang Madura
dicitrakan sebagai raja yang lemah lembut, dan topeng nya diberi warna hijau sahdu. Di Jawa Tengah dan
Solo, Suyudana adalah raja yang citranya keras dan cenderung kasar.
Ciri khas yang paling spesifik dan unik dari topeng dalang Madura adalah dipakainya ghungseng (giring-giring)
dipergelangan kaki penari. Pemakaian gungseng (giring-giring) tersebut bukan hanya sekedar hiasan, bunyi
giring-giring yang selalu terdengar setiap kaki penari bergerak menjadi alat bantu yang ekspresif sekaligus
menjadi media komunikasi para penari, karena para penari sepatah pun tak boleh berdialog (dialog dilakukan
sang dalang, dan tokoh Semar). Di samping itu, ghungseng dipergunakan sebagai kode perubahan gerakan
dalam cerita, misalnya bunyi sreng (panjang) berarti aserek, dan bunyi kroncang-kroncang berarti para
pemain sedang berjalan. Ghungseng biasanya dikenakan oleh para pemain yang berperan sebagai tokoh
antagonis.
Topeng dalang Madura yang dikenakan para pemain, terkesan cukup sederhana, bersahaya dan agak kaku
ukirannya, inilah salah satu hal yang membedakan dengan topeng Yogjakarta, Solo, Bali ataupun daerah
Jawa lainnya. Barangkali karakteristik topeng Madura, diidentikkan dengan pembawaan dan karakter orang
Madura yang terkenal keras, kaku tetapi polos dan jujur.
Adapun dalam setiap pementasan seluruh pemain topeng Dalang serta para penari didominasi pemain lakilaki. Setiap pementasan dibutuhkan penari sebanyak 15 sampai 25 orang dalam setiap lakon, yang
dipentaskan semalam suntuk. Adapun aksesoris yang dibutuhkan para pemain meliputi, ; taropong,
sapiturung, ghungseng, kalong (kalung) rambut dan badung ; sedangkan untuk pemeran wanita, aksesoris
tambahan berupa, sampur, kalung ular, gelang dan jamang.
Topeng Sebagai Media Dakwah
Topeng merupakan bentuk kesenian teater rakyat tradisional yang paling kompleks dan utuh. Hal tersebut
disebabkan dalam kesenian topeng mengandung unsur cerita, unsur tari, unsur musik, unsur pedalangan dan
unsur kerajinan. Sehingga bentuk kesenian ini, dianggap paling pas untuk digunakan sebagai media dakwah.

Oleh para Sunan dan dalang yang inovatif dan kreatif, tokoh-tokoh baru diciptakan dan alur cerita mengalami
perubahan, dari cerita yang syarat dengan bobot filsafat dan filosofi Hindu, diganti dengan tokoh-tokoh dan
alur cerita yang mengandung bobot nilai-nilai moral dan nilai-nilai filosofi Islami. Tanpa mengubah tema cerita,
yaitu pertentangan dan konflik antara tokoh antagonis dan protagonis. Bahwa kebajikan akan selalu menang
melawan kebatilan, kebenaran selalu menang melawan kejahatan.
Sebagai media dakwah, kesenian topeng telah menjelajahi hampir semua wilayah nusantara, dan telah
mengalami perubahan. Oleh sutradara-sutradara yang kreatif dan inovatif, cerita-cerita baru, tokoh-tokoh baru
diciptakan sesuai dengan karakter daerah dimana topeng itu dipentaskan. Sehingga tidak mengherankan,
apabila alur cerita dalam pementasan topeng tidak murni lagi menjalankan alur cerita yang bersumber dari
kisah Ramayana dan Mahabarata. Melalui tokoh-tokoh yang dimainkan, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral
ditanamkan kepada para penganutnya. Hal itu dilakukan dengan jalan menciptakan bait-bait, gending-gending
maupun jalinan kisah (cerita), yang mengandung nilai-nilai moral, nilai-nilai filosofi Islami.
Sebagai seni pertunjukan rakyat, teater Topeng Dalang dipentaskan untuk memeriahkan berbagai acara,
misalnya upacara perkawinan, selamatan desa dan laut, khaul (peringatan yang berhubungan dengan
meninggalnya seseorang/tokoh), serta ritual rokat. Adapun kisah-kisah yang dimainkan disesuaikan dengan
suasana hajatan. Misalnya ruwatan untuk anak bungsu, mengambil kisah Pandawa Bungsu.
Prosesi Pertunjukan

Seperti hal nya Ludruk, salah satu jenis kesenian di Jawa Timur, yang mengawali setiap pementasannya
dengan ngremo, topeng Dalang juga membuka pagelaran dengan penampilan tarian. Dalam setiap
pementasan, biasanya yang ditampilkan adalah jenis tarian sakral. Setelah tari pembukaan, Dalang membuka
dengan pemaparan prolog/panorama. Kemudian disusul tembang-tembang Suluk, alunan tembang ini
mengantarkan para penonton untuk memasuki inti cerita yang akan dipentaskan. Suluk dan dialog dalam
topeng dalang Madura memakai bahasa Madura halus. Untuk suluk pembukaan menggunakan bahasa Jawa
kuno, hal ini membuktikan bahwa topeng awalnya berasal dari satu sumber.
Dalam setiap pertunjukan, tokoh utama yang menggerakkan semua pemeran adalah dalang. Ki dalang
sebagai pemimpin orkestra gamelan, menyajikan suluk, narasi dan mengucapkan dialog. Dengan suaranya
yang lembut, kadang menghentak keras ki dalang memimpin penari-penari yang bergerak di belakang topeng.
Semua pemeran lakon/penari tidak berbicara, kecuali Semar. Karena dialog dan nyanyian seluruhnya
diucapkan oleh Dalang yang duduk di belakang layar. Pada layar tersebut dibuat lubang kecil, dari lubang
berbentuk segi empat inilah Dalang mengisahkan lakon sesuai dengan cerita. Di depan layar, para pemain
lakon menyesuaikan dengan gerakan-gerakan tari setiap alur cerita yang dikisahkan Dalang.
Setiap lakon yang dibawakan, selalu sarat dengan gaung cinta, adegan heroik ataupun beragam petuah
bermakna filosofis kehidupan yang kental. Ditambah dengan gerak tarian, terangkai dalam gerak yang
kompleks. Kadang-kadang gerakan tarinya halus, lemah lembut dan melankonis, lalu berubah kasar, kaku dan
sedikit naif, namun dibawakan dengan penuh emosi yang ekspresif. Dalam setiap pementasan, penampilan
para penari sangat sederhana, tetapi ekspresif. Sekalipun setiap gerak tari agak naif dan sedikit kaku, tetapi
mengandung nilai spiritual yang tinggi. Dan itu merupakan salah satu nilai plus, karena nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap gerakan masih brilian, bersih dan otentik.
Adapun gerakan/gaya tarian yang dipakai dalam pertunjukan topeng Dalang ada beberapa macam,
diantaranya: Tandhang Alos (tari halus), Tandhang baranyak (tari sedang), Tandhang ghalak (tari kasar) dan
putri ( gerak penari perempuan). Masing-masing tandhang ini diiringi oleh gending-gending tersendiri.
Tandhang Alos diiringi gending-gending Puspawarna, Tallang, Rarari, dan lain-lainnya. Tandhang Baranyak
diiringi gending-gending, Calilit, Pedat dan Lembik. Sedangkan tandhang Ghalak diiringi gending-gending

Gagak, Pucung, Kwatang Serang dan Gunungsari. Alat-alat musik yang dipakai adalah gamelan, ditambah
crek-crek yang dipakai oleh dalang.
Nilai plus pada topeng Dalang Madura adalah suasana dengan nuansa magis yang dibangun oleh bunyi
gemerincing gongseng.. Seolah-olah getaran gongseng menyebar ke seluruh arena membentuk suasana
yang diperlukan, baik suasana sedih, gembira ataupun tegang. Apalagi ketika penari menghentak-hentakkan
kaki, sepanjang pertunjukan tak sepi dari suara ghungseng, apabila disimak memang suara satu dan lainnya
memberikan ekspresi tersendiri.
Pada masa lalu, lakon yang dimainkan dalam Topeng Dalang banyak mengambil kisah Panji atau kisah-kisah
seperti Damar Wulan. Namun dalam perkembangannya, kisah-kisah yang dipentaskan saat ini banyak
mengambil cerita dari epik Ramayana dan Mahabharata, dengan ditambah cerita-cerita carangan yang tokohtokohnya tetap merupakan tokoh-tokoh Ramayana atau Mahabharata.
Dalam setiap pementasan kisah Mahabharata lebih sering ditampilkan. Karena kisah-kisah dalam
Mahabharata terdapat lebih banyak pertentangan, perseteruan dan konflik. Konflik multi dimensi, dari masalah
cinta, perang saudara, perebutan tahta, ideologi maupun pertentangan antara anak dengan orang tua, murid
dengan guru, saudara dengan saudara. Konflik-konflik tersebut dibumbui dengan adu kedigdayaan, baik
berupa senjata mustika maupun kesaktian yang dimiliki oleh para ksatria.
Sebagai media dakwah, ceritera dalam epik Mahabharata telah dimodifikasi demikian rupa. Tokoh-tokoh dan
alur cerita tetap sama. Namun isi maupun filosofinya diubah menjadi cerita yang bernuansa dan bernafaskan
nilai-nilai Islam. Hal ini dapat dibuktikan dalam cerita Mustakaweni atau Hilangnya Jimat Kalimosodo. Jimat
Kalimosodo adalah sebuah senjata pusaka yang berkekuatan istimewa yang dapat digunakan untuk maksud
apa saja sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Cerita jimat Kalimosodo adalah asli buatan Demak. Maksudnya Azimah = Jimat (sesuatu yang bertuah/sakti).
Sada = Syahadat (Persaksian, bukti diri), jimat Kalimosodo berarti Azimah Kalimat Syahadah, mempunyai
kesaktian luar biasa dan dimiliki oleh keluarga-keluarga yang baik seperti Pandawa. Sedangkan Pandawa
Lima, ada yang mengartikan Rukun Islam yang lima, atau Lima Waktu Sholat dan lain-lain.
Teater Tradisional Masyarakat Pinggiran
Teater Topeng Dalang Madura, satu-satunya teater tradisional yang mampu menaikkan pamor seni tradisi. Di
era tahun 80 sampai 90-an, topeng Dalang Sumenep (Madura) melanglang buana ke belahan benua,
Amerika, Asia dan Eropa. Kota-kota besar dunia yang disinggahi pada waktu itu adalah, kota London,
Amsterdam, Belgia, Perancis, Jepang dan New York. Penampilan seni tradisional tersebut ternyata mampu
memikat, memukau, meng-hipnotis dan menimbulkan decak kagum para penonton. Begitu hangat sambutan
masyarakat internasional terhadap teater tradisional ini.
Sangatlah disayangkan ! Kekaguman yang pernah dibangun oleh para Dalang di masa itu, saat ini mulai
pudar. Hal itu disebabkan karena teater Topeng Dalang telah dijauhi oleh para penikmatnya. Kesenian ini
lambat laun mulai berkurang, terutama di kalangan masyarakat kota. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa
teater tradisional ini sudah ketinggalan jaman. Saat ini pementasan topeng Dalang masih sering diundang
oleh masyarakat pinggiran, yang masih peduli dan mencintai teater topeng Dalang.
Saat ini masih ada beberapa kelompok komunitas teater Topeng Dalang, kelompok-kelompok ini masih eksis
melestarikan topeng Dalang. Baik sebagai komunitas tetap ataupun hanya kelompok insidentil. Kelompok ini
menyebar di beberapa wilayah kecamatan, diantaranya desa Slopeng, Dasuk, desa Leggung, Batang-Batang,
kecamatan Gapura, kecamatan Kalianget dan kecamatan Kota Sumenep.

Anda mungkin juga menyukai