Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Keraton Ngayogyakarta

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi


Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik
Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal
sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini.
Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan
yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah rajaraja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan
lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan.
Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan
Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman. Sultan
Hamengku Buwono X adalah sultan yang sekarang berkuasa di keratin jogja.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama
Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat
Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan
di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya
garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya
Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap
memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta.
Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa)
pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping
mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdiDalem) keraton.
Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta
merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karaton
artinya tempat dimana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja)
bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an)
merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan
kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu"
yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini
mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat
di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos
dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan

dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton. Penataan tata ruang keraton, termasuk pula
pola dasar landscape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan
arah hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai
filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung
Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi
(dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu Margomulyo)
merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu
Ngadinegaran )merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo
menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung
Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa
derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna "sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula
manusia dan tujuan asasi terakhirnya.
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan"
asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di
sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata "wiji" yang berarti
benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam (Tamarindus indica [?]) dan tanjung
(Mimusops elengi [?]) yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke
Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap
penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh
langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven).
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol
"manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga
dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan).
Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang
lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa Dwarapala yang
terdapat di samping gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan kejahatan dan yang lain,
Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana
yang baik dan mana yang jahat".
Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu.
Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang
melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi
lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru,
jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan
Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam
(Inocarpus
edulis/Inocarpus
fagiferus;
famili
Papilionaceae)bermakna
"ayem"
(damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki; famili
Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan).
Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan
bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan
tanah dan panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat
mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati dimainkan/dibunyikan akan
mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya
sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka rela berdesak-desakan sekedar untuk memperoleh air
keramat tersebut.

Sejarah Candi Prambanan

Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa
sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali
berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan
yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra penganut
Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Saiwa
kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung
lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih
fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara
berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu.
Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk
memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha
(Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya (Sanskerta:Shiva-laya yang
berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[5] Dalam prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan
candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk
memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang
mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan
menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu
dekat dengan candi sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air
ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan
poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli
kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi
perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi
Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca pedharmaan
anumerta dia.
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram
berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candicandi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan berfungsi
sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan.

Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta brahmana dan muridmuridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan
melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan
Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Pemugaran
Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai
pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang rawan
runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige Dienst) di
bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi. Sebagaimana
diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran beribu-ribu batu secara
sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali. Pada tahun 1926 dilanjutkan
De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun 1931 digantikan oleh Ir. V.R. van
Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada
putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun 1993.
Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu
candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden pertama
Republik Indonesia Sukarno. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan batu baru,
karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah candi hanya
akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu, banyak candi-candi
kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.
Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status ini
diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah direnovasi
untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah merusak sejumlah
bangunan dan patung.

Sejarah Candi Borobudur

Sejarah
Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi atau abad ke-9. Candi Borobudur dibangun oleh para
penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra. Candi ini
dibangun pada masa kejayaan dinasti Syailendra. Pendiri Candi Borobudur yaitu Raja
Samaratungga yang berasal dari wangsa atau dinasti Syailendra. Kemungkinan candi ini dibangun
sekitar tahun 824 M dan selesai sekitar menjelang tahun 900-an Masehi pada masa pemerintahan
Ratu Pramudawardhani yang adalah putri dari Samaratungga. Sedangkan arsitek yang berjasa
membangun candi ini menurut kisah turun-temurun bernama Gunadharma.
Candi ini selama berabad-abad tidak lagi digunakan. Kemudian karena letusan gunung berapi,
sebagian besar bangunan Candi Borobudur tertutup tanah vulkanik. Selain itu, bangunan juga
tertutup berbagai pepohonan dan semak belukar selama berabad-abad. Kemudian bangunan candi
ini mulai terlupakan pada zaman Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-15.
Pada tahun 1814 saat Inggris menduduki Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles mendengar
adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro daerah Magelang.
Karena minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa, maka Raffles segera memerintahkan H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit
yang dipenuhi semak belukar.
Cornelius dibantu oleh sekitar 200 pria menebang pepohonan dan menyingkirkan semak belukar
yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena mempertimbangkan bangunan yang sudah rapuh
dan bisa runtuh, maka Cornelius melaporkan kepada Raffles penemuan tersebut termasuk beberapa
gambar. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai
pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi
sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada masa penjajahan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1956, pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO
untuk meneliti kerusakan Borobudur. Lalu pada tahun 1963, keluar keputusan resmi pemerintah
Indonesia untuk melakukan pemugaran Candi Borobudur dengan bantuan dari UNESCO. Namun
pemugaran ini baru benar-benar mulai dilakukan pada tanggal 10 Agustus 1973. Proses pemugaran
baru selesai pada tahun 1984. Sejak tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai World
Heritage Site atau Warisan Dunia oleh UNESCO.

Struktur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter,
tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling
bawah digunakan sebagai penahan.10 tingkat itu terdiri dari;enam tingkat berbentuk bujur sangkar,
tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya, yang
menghadap kea rah barat. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Jumlah
stupa di kompleksnya tersebut 594.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana.
Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus
dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.
Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan
diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha
diletakkan terbuka.
Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubanglubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa,
beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand,
Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah
dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah loronglorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi
tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang
merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur Mandala.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti
balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Relief
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah
jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta
daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain reliefrelief cerita jtaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di
setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka
secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju
puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Anda mungkin juga menyukai