Anda di halaman 1dari 4

KERAJAAN MATARAM KUNO

A. Seni Sastra
Kesenian adalah salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kesenian
selalu berpasangan dengan budaya. Kesenian tanpa budaya bagaikan sayur tanpa garam.
Pada masa Kerajaan Mataram Kuno telah banyak penulisan karya-karya sasta buatan para
pujangga. Seperti Arjuna Wiwaha dan Ramayan Kakawin. Arjunawiwaha yang artinya
perkawinan Arjuna merupakan petikan dari wanaparwa, yaitu bagian yang menceritakan
ketika Sang Arjuna sedang bertapa dibukit Indrakila untuk memohon senjata yang ampuh
kepada para Dewa untuk memenangkan peperangan yang akan terjadi antara para Pandawa
dan Kurawa, dan ia dimintai bantuan para Dewa untuk membinasakan raksasa
Niwatakawaca yang hendak menghancurkan Keindraan. Dengan bersenjatakan panah
pasupati pemberian Dewa Siwa ia berhasil membunuh Niwatakawaca dan ia diberi hadiah
dinobatkan sebagai Raja di Keindraan dan mendapat tujuh Bidadari sebagai istrinya. Kitab
Arjunawiwaha dapat dikatan sebagai awal peiode sasta kakawin dalam bahasa Jawa Kuno di
Jawa Timur. Dan merupakan gubahan Mpu Kanwa sendiri, karena isinya banyak
menyimpang dari episode yang sama dari Mahabharata dalam bahasa sansekerta maupun
yang berasal dari karya pujangga Bharawi. Kitab tersebut di tulis oleh Mpu Kanwa pada
masa pemerintahan raja Airlangga. Mpu Kanwa yang baru pertama kali itu menulis karya
sastra, merasa gelisah karena harus mempersiapkan diri untuk suatu peperangan dengan
mempersembahkan doa-doa, dapat diperkirakan kitab Arjuna Wiwaha di tulis oleh Mpu
Kanwa sekitar tahun 1028 dan 1035 M.
Menurut Poerbatjaraka, penyimpangan dalam episode pada kitab Mahabharata bukan
disebabkan Mpu Kanwa tidak paham dengan bahasa Sansekerta. Akan tetapi karena Mpu
Kanwa ingin menulis cerita yang utuh untuk dijadikan lakon wayang. Sebagaimana diketahui
tema pokok dalam suatu cerita wayang adalah kekhawatiran pihak yang baik atas
kemenangan pihak yang jahat, kemudian pihak yang baik meminta bantuan kepada
kekuasaan yang lebih tinggi dan kemudian melakukan perlawanan kepada pihak yang jahat,
dan akhirya pihak yang baik memperoleh kemenangan, kemudian cerita diakhiri dengan
tancep kayon. Dari penjelasan di atas maka tidak perlu diragukan lagi tentang adanya
pertunjukan wayang kulit.

Mungkin sekali Pu Kanwa mempunyai tujuan yang lain dalam mengubah kitab Arjuna
Wiwaha, yaitu untuk menceritakan riwayat hidup rajanya. Airlangga mula-mula selama tiga
tahun harus hidup di hutan di lereng gunung di tengah tengah para pertapa , setelah kerajaan
hancur karena serbuan Haji Wurawari. Akan tetapi, kemudian oleh rakyat dan para pendeta ia
dinobatkan menjadi raja, dan kemudian ia berhasil menaklukan kembali Raja Wurawari dan
raja-raja yang lain yang tidak mau lagi mengakui kemaharajaanya. Sebenarnya ada sedikit
perbedaan antara riwayat Airlangga dengan cerita sang Arjuna, yaitu bahwa sang Arjuna
mula-mula bertapa, lalu dimintai bantuan dewa-dewa untuk membunuh raksasa
Niwatakawaca, baru ia dinobatkan menjadi raja di Keindraan, sedang raja Airlangga
dinobatkan menjadi raja dahulu, baru kemudian meenaklukan musuh- musuhnya.
Dari prasasti Wukajan jelas kiranya bahwa cerita Mahabarata dan Ramayana, dua
Wiracarita yang amat terkenal di India, dalam permulaan abad X M, dan mungkin juga dalam
pertengahan abad IX M atau sebelumnya, sudah dikenal oleh nenek moyang kita dalam
bentuk gubahan dalam Bahasa Jawa kuno. Akan tetapi naskah dari masa itu yang diketahui
hanyalah Ramayana Kakawin. Menurut tradisi di Bali dan pendapat beberapa orang sarjana,
kitab itu di gubah oleh Yogiswara. Akan tetapi Poerbatjaraka dan P.J. Zoedmulder
menyangsikan pendapat itu memang ada kata Yogiswara dalam sargga terakhir, tetapi itu
terdapat dalam kalimat yang merupakan harapan sang pujangga agar para ahli yoga yang
terpelajar dan mereka yang unggul dalam kebajikan disucikan hatinya setelah membacanya.
Berkat penelitian Himanshu Bhusan Sarkar, Manomohan Gosh, C.Bulcke, dan terutama
oleh C. Hooykaas dapat diketahui bahwa Ramayana Kakawin sebagian besar bersumber dari
naskah Ravanavadha karangan pujangga Bhatti yang berasal dari tahun 500-650 M. Uraian
tentang Nitisastra itu terdapat pada sargga III, bait ke 53-85, yang menggambarkan waktu
Rama menyuruh adiknya, Bharata, yang menyusulnya ke hutan, untuk memerintah di
Ayodha atas namanya dengan membekalinya dengan ajaran-ajaran tentang tingkah laku dan
kewajiban seorang raja. Uraian tentang niti, termasuk ajaran astarabrata, terdapat pada
sargga XXIV, bait 43-86, sebagai ajaran Rama kepada Wibhisana yang ditetapkan sebagai
raja di Langka .

Kitab Ramayana Kakawin ialah satu-satunya hasil susastra dari masa sebelum Pu
Sindok yang sampai kepada kita. Zoetmulder mengemukakan salah satu kemungkinan ialah
tidak diturunya lagi suatu karya sastra karena tidak disukai oleh generasi yang berikut. Pada

waktu itu menurun karya sastra ialah satu satuya cara untuk memperbanyaknya , karena karya
sastra itu dapat di simpulkan dari keterangan keterangan didalamnya ditulis bahan yang tidak
tahan lama yaitu kertas (semacam batu tulis atau bamboo yang di belah).
Dari masa pemerintahan dinasti Isana lebih banyak karya sastra sampai kepada kita.
Pertama disebut disini naskah Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang
agama budha Mahayana. Didalam salah satu naskah disebut nama Raja Pu Sindok, sekalipun
dalam bentuk yang agak rusak, yaitu Sri Isana Bhadrotunggadewa mpu sindok. Adanya
naskah yang menguraikan ajaran agama budha Mahayana dalam masa pemerintahan Pu
Sindok yang isi prasati-prasastinya dan namanya mengesankan bahwa ia penganut agama
Siwa, tidak perlu dipermasalahkan, Karena sejak zaman wangsa Sailendra agama Hindhu dan
agama Budha berkembang berdampingan secara damai. Dari prasasti Kalkuta diketahui
bahwa anak Pu Sindok, yaitu Sri Isanatunggawijaya, ialah penganut agama Budha
( sugatapaksasaha).
B. Seni Pertunjukan
Dalam kehidupan seharihari, masyarakat tidak terlepas dari kebutuhan akan hiburan. Relief
candi-candi, terutama candi Borobudur dan candi prambanan, banyak memberi gambaran
tentang seni pertunjukkan. Seni pertunjukkan pada masa kerajaan mataram kuno yang paling
popular adalah seni pertujukkan wayang. Pertujukkan wayang biasanya menceritakan lakon
Bhima Kumara. Cerita ini diambil dari Wirataparwwa. Keterangan adanya wayang kulit
terdapat dalam kitab Arjunawiwaha dari masa pemerintahan Dharmmawangsa Airlangga.
Selain pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang orang serta pembacaan cerita ramayana,
ada juga pertunjukkan lawak (mamirus dan mabanol). Pertunjukkan lawak ini hampir
disemua prasasti yang menyebut upacara penetapan sima secara terperinci. Relief candi juga
banyak melukiskan pelawak tersebut yang mungkin merupakan prototipe tokoh punakawan.
Tarian-tarian juga juga sering dipertunjukkan dalam upacara penetapan sima. Ada juga tari
topeng (matapukan). Tarian-tarian tersebut biasanya diiringi dengan gamelan. Hal ini dapat
dilihan pada prasasti dan relief candi. Biasanya alat gamelan yang ditampilkan dalam relief
adalah semacam gendhang (padahi), kecer atau simbal (regang), semacam gambang, saron,
kenong, beberapa macam bentuk kecapi (wina), seruling, dan gong. Berbagai tontonan
tersebut tidak hanya dipertunjukkan pada waktu upacara penetapan sima. Para pelaku atau
para seniman tersebut termasuk dalam kelompok wargga kilalan.

KELOMPOK
Bangkit Nuka Utama (110731435619)
Ilham Deniswara Sujatmiko (110731435622)
Redy Purbowo
Ridho Aulia Aminulloh (110731435641)

Anda mungkin juga menyukai