Majapahit (Zoetmulder dalam Weda Kusuma, 2005:3). Karya sastra Jawa Kuno
yang dianggap karya sastra besar dan melampaui zamannya adalah kakawin
Ramayana, Mahabharata, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudha,
Gatotkacasraya, Smaradahana, Sumanasantaka, Sutasoma, Siwaratrikalpa,
Partayadnya dan Kunjarakarna dan Arjunawijaya (Mastuti, 2009: xiii). Kakawin
Arjunawijaya merupakan salah satu hasil karya sastra klasik yang digubah oleh
Mpu Tantular. Kakawin ini dikenal pula dengan nama Kakawin
Arjunasahasrabàhu, yang digubah dari cerita parwa Uttarakàóða. Keistimewaan
naskah ini adalah mengandung ajaran Ketuhanan yang bersifat Úiwa Buddha.
Dalam tradisi mabebasan di Bali keberadaan kakawin ini cukup dikenal dan
dijadikan sebagai salah satu buku panduan mabebasan yang bernafaskan ajaran
Buddha. Kakawin yang merupakan salah satu bentuk karya sastra klasik yang
memiliki fungsi penting karena di dalamnya terdapat ajaran yang bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat. Selain itu kakawin sebagai hasil karya seni mempunyai
fungsi penting dalam kaitannya dengan upacara keagamaan yaitu sebagai
pengiring jalannya upacara. Oleh sebab itu perlu upaya pelestarian terhadap karya
sastra ini dengan cara mengkaji naskah – naskah kakawin sehingga ajaran yang
luhur di dalamnya dapat dijadikan pedoman dan tuntunan hidup.
SINOPSIS KAKAWIN ARJUNAWIJAYA
Diceritakan tentang Raja Raksasa Mali Malyawan dikalahkan oleh Dewa
Wiûóu sehingga di melarikan diri dari kerajaannya yang bernama Lëngka. Untuk
mengisi kekosongan kerajaan maka Waiúrawana, putra Wiúrawa menempati
kerajaan itu. Raksasa Sumali yang merupakan keluarga Mali Malyawan sangat
tertarik dengan kepandaian dan kesaktian Waiúrawana dan ingin memiliki
keturunan yang serupa agar dapat membalas dendam kepada Dewa Wiûóu. Kekasi
berhasil memenuhi harapan ayahnya sehingga dari perkawinannya dengan
Wiúrawa lahirlah empat orang anak yaitu: Daúamukha (yang berkepala sepuluh),
Kumbhakaróa, Wibhìûana dan Úùrpaóakhà. Ketiga anak laki laki Wiúrawa itu
melakukan tapa brata yang keras di Gunung Gokaróa. Daúamukha bertapa dengan
memenggal kepalanya satu persatu dan melemparkan ke api korban, sehingga ia
mendapat anugrah kesaktian dari Dewa Brahma yaitu ia tidak tertewaskan oleh
seorang Dewa maupun Raksasa. Setelah itu ia dipulihkan kembali seperti semula.
Setelah mendapat anugrah dari Dewa Brahma, dengan kesaktian yang
dimiikinya Daúamukha selalu berbuat jahat dan meresahkan di dunia. Waiúrawana,
yang merupakan kakak tirinya merasa prihatin dan menasehati adiknya. Ia
mengutus Gomuka untuk membawa surat yang isinya berupa nasehat agar berhenti
berbuat kejahatan di dunia. Daúamukha sangat marah atas nasehat itu dan
melampiaskan kemarahannya dengan memenggal kepala Gomuka. Lalu ia dikutuk
oleh Gomuka, bahwa istananya kelak akan dibakar oleh seorang utusan.
2) Yamaka
Dari bentuk Yamaka dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu:
Kanci yamaka, Puspa yamaka, Pàdàyamaka, Padanta yamaka, Wrënta
yamaka.
a) Kanci Yamaka
Kanci Yamaka artinya kata-kata yang terakhir dalam satu baris
diulang pada kata pertama baris berikutnya. Dalam Kakawin
Arjunawijaya teknik Kanci Yamaka digunakan dalam bait berikut.
“Úigran tëkeng Himawan àdri Daúàsya ràja,
Ràmyà nuràmya mihatìng patapan suràmya,
Ràmyang kapuódhungika duryanikeng jurangnya,
Mangguûþa langsëb ikà poh panasà gëng abyut”.
(Kakawin Arjunawijaya X.20)
b) Puspayamaka
Puspayamaka artinya suku kata (sillabe) yang terakhir dari tiap baris
dalam satu bait bunyinya sama. Dalam Kakawin Arjunawijaya
pemakaian teknik ini terdapat dalam Arjunawijaya X.18 berikut.
“Ngka sang Daúàsya n umijli sakari girìndrà,
Sàmpun mangañjali ya mamwit jöng bhaþara,
Mwang wàhananya muyënging bhuwanàti úighra,
Len tang påëwìra bala rakûasa sangga mahya”
c) Pàdàyamaka
Pàdàyamaka artinya perulangan kata-kata pertama setiap baris dalam
satu bait. Pemakaian teknik Pàdàyamaka dalam kakawin
Arjunawijaya XXXIII.3 adalah sebagai berikut:
“Tatitnya kumëdhap-këdhaping wwang apicala ri sampun ing gati,
Limut-limut ikeng tawang sapangurëng asidëhamanìsakën huyang,
Kuwung-kuwung ikàsemu wastra sinusur turu-turutani sandhining rëmëng,
Bangun wahu sakeng bahitra pasunging puhawang –ika ri jöng nareúwara”
d)
Padanta yamaka
Padanta yamaka adalah merupakan kebalikan dari Pàdàyamaka.
Maksudnya perulangan kata-kata yang terjadi tiap akhir baris dalam
satu bait. Pemakain teknik ini dalam Kakawin Arjunawijaya tidak
ditemukan.
e) Wrënta yamaka.
Wrënta yamaka.adalah apabila di dalam satu bait puisi (kakawin) kata-
kata pertama dalam setiap baris sama bentuk dan bunyinya.
Pemakaian teknik ini tidak ditemukan dalam Kakawin Arjunawijaya.
b. Arthàlamkara
Menurut Hooykaas (dalam Medera, 1997:21-22) ada beberapa macam
Arthàlamkara dalam kakawin yaitu, sebagai berikut.
c. Percintaan
Percintaan yang dilukiskan terdapat antara Arjuna Sahasrabàhu
dengan permaisurinya Dewi Citrawatì. Hal ini terdapat dalam kutipan
Kakawin Arjunawijaya XXVI.2 berikut ini.
“Hàh dyah wruh ngwang i duhka rakyan i gatingku wawang i sëdënging mapet
lango,
Apan kenakaning madhubrata mangantyakëna ri uwusing pudhak sumàr,
Mwang hyuning tadahàrûa rakwa mamalar malara ri keñaring niúàkara,
Mwang tang catakaring tawang lëngëng angantyakëna riris i gëntëring patër”.
Terjemahannya:
Wahai dinda tahu hamba dengan duka hatimu karena perbuatanku tergesa-gesa ketika
dinda menikmati keindahan, Karena kesenangan si lebh adalah saat menunggu setelah
mekar bunga pudak, Dan kesenangan tadahasih adalah saat menanti-nanti buan
bersinar, Dan kesenangan burung kakelik di angkasa adaah pada saat menunggu hujan
gerimis disertai gemuruh guntur.
d. Ajaran
Kakawin Arjuna Wijaya merupakan salah satu bentuk dharmasastra
yang berisikan tentang ajaran-ajaran agama Hindu yang bersumber dari kitab
suci Weda. Adapun ajaran-ajaran yang terdapat dalam Kakwin Arjunawijaya
adalah sebagai berikut.
1) Widhi Tatwa
Konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya
adalah Ekaý sad viprà bahudhà vadanti yang mengandung makna bahwa
pada hakekatnya Tuhan itu satu hanya orang bijaksana yang menyebutnya
dengan banyak nama. Kosep Ketuhan ini terdapat dalam Kakawin
Arjunawijaya. XXVII.1, Kakawin Arjunawijaya, XXVII.2 mengandung
suatu pengertian bahwa konsep ketuhanan Úiwa Budha adalah sama. Yang
berbeda adalah naamanya pada hakekatnya sama.
2) Karmaphala
Mengeni ajaran Karmaphala dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dalam
kutipan berikut.
“Sakweh-kweh para dewa úangga mangiring Hyang Brahmà kepwan sira,
de Hyang Datra ri Kumbhakaróa ya sungën mangke warànugraha,
apan rakwa màhati rodra ya makin sor tang watëk dewata,
deni göng kalawan guóà syapa teki dewopamanyerika”.
Terjemahannya:
Semua para dewa yang mengiringi Hyang Brahma merasa bingung, Karena Dewa
Brahma akan memberikan anugrah kepada Kumbakarna,
Karena sesungguhnya sangat menakutkan kan semakin kalah para dewa,
Karena kebesaran dan kesaktiannya siapakah para dewa yang bisa menandingi.
“Nà tojar para dewa tan kagaman de Hyang Jagatkàraóa.
tan sang Hyang karaóanya rakwa tëkaning wirya alpaning janmawannn,
oleh masyarakat pada saat karya sastra tersebut di gubah oleh pengarangnya.
Seperti telah diuraikan dalam penjelasan terdahulu bahwa Kakawin Arjunawijaya
merupakan hasil karya sastra Jawa Kuna yang bernafaskan ajaran Úiwa -Buddha.
Keyakinan terhadap ajaran Úiwa –Buddha tidak terlepas dari perkembangan
kerajaan Hindu di Indonesia, yaitu pada jaman kerajaan Majapahit. Adanya
pengangkatan terhadap kedua pejabat tersebut menunjukkan pada saat itu kedua
agama diakui sejajar, dan hal tersebut menunjukkan adanya sikap toleransi dalam
beragama sangat tinggi.
2. Nilai Etika
Dalam Kakawin Arjunawijaya nilai etika (moralitas) terdapat pada tokoh
Dewi Wedawatì. Dewi Wedawati dilukiskan sebagai wanita yang setia dan bhakti
kepada orang tuanya. Dewi Wedawatì memilih untuk hidup menjadi pertapa
setelah kedua orang tuanya wafat. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab
kematian kedua orang tuanya. Ia ingin memenuhi pesan orang tuanya yang ingin
bermenantukan Dewa Wiûóu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Nging sang mahà Keúawa mantwa tan wurung,
Prayojana mwang bibi ni nghulun rësëp,
Ndah bhagna mogheki pëjah nira kàlih,
Tëkap nikang ràkûasa Sàmbhu göng galak”.
(Kakawin Arjunawijaya, XII.11).
Terjemahan:
Hanya Sang Hyang Wisnu yng diinginkan menjadi menantu,
Yang diharapkan ibu hamba di dalam hatinya,
Tetapi malapetaka menyebabkan mereka berdua wafat,
Oleh Raksasa Sambhu yang sangat buas.
“ Dose nghulun hetu niràn wineh pati,
titir pininte sira tan paweh kedö,
màrgangku mungsir tapa bhaktya kawitan,
makàrtha sang hyang ari lakya ring hëlëm
(Kakawin Arjunawijaya.XII.2).
Terjemhannya:
Hamba berdosa menjadi sebab kematian beliau
Sering diminta beliau tetap tidak mengabulkan
Hamba melakukan tapa sebagai bhkti terhadap leluhur,
Dengan harapan supaya Dewa Wisnu menjadi sumi hamba kelak.
Kutipan di atas mengandung ajaran atau nilai etika bahwa seorang anak
wajib berbakti kepada orang tua sekalipun beliau telah tiada. Kewajiban seorang
anak terhadap orang tua yang di ungkapkan dalam Kakawin Arjunawijaya sesuai
dengan isi kitab Sàrasamuccaya sebagai berikut.
3. Nilai Estetika
Nilai Estetik dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak melalui
ungkapan-ungkapan bahasa pengarang dalam memparkan pengalaman estetiknya.
Nilai tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Nyàûanyàrjeng yawà ngungkuli jurang adalëm tiraning marga lilà,
Nyudhanta wah kahimbang sasusuning alangö lënglëng amrih kalangwan,
Ngkà tang strì ratna kàli kawula nika katon lwir tan ing ràt winuwus,
Pinten kasih tëkap sang kawi sira tumutur de ni göng ning langöng”.
( Kakawin Arjunawijaya.XXII.12)
Terjemahannya:
Balai tempat duduknya serasi di atas jurang yang dalam ditepi jalan,
kelapa gadingnya bagaikan buah dadanya yang terlena oleh keindahan,
Disana tampak seorang wanita cantik diirinngi pelayannya itu terlihat seolah-olah
tidak berada di bumi dikatakan,
Dikasihi oleh sang pujangga karen beliau yang mengerti tentang keutamaan cinta dan
keindahan.
Kutipan diatas melukiskan keindahan yang dilukiskan berupa keindahan
alam dan kecantikan yang dilukiskan pengarang dengan pemilihan kata yang tepat
sehingga keindahan yang disampaikan oleh pengarang dapat dirasakan oleh
pembaca atau penikmat karya sastra tersebut.
PENUTUP
Penelitian terhadap Konvensi Kakawin Arjunawijaya meliputi Konvensi
Bahasa, Konvensi Budaya dan Konvensi Sastra. Ditinjau dari Konvensi Bahasa
Kakawin Arjunawijaya menggunakan bahasa Jawa Kuno yang kata-katanya juga
merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta. Di samping itu penggunaan gaya
bahasa seperti gaya bahasa perumpamaan, personifikasi da Hiperbola., juga
adanya permainan bunyi (alangkara) mencerminkan bahwa Kakawin ini
merupakan karya sastra yang indah ditinjau dari konvensi bahasanya. Konvensi
sastra dalam manggala Kakawin Arjunawijaya menunjukkan adanya pemujaan
terhadap Dewa Úiwa dn Buddha. Inti cerita mengisahkan tentang kemenangan
dharma yang diwakili oleh tokoh Arjuna Úahasrabàhu melawan adharma
(kejahatan) yang diwakili oleh tokoh Ràwaóa. Penutup cerita berisi tentang sikap
rendah hati pengarang. Konvensi Budaya dalam Kakawin Arjunawijaya
menunjukkan adanya toleransi beragama yang tinggi yaitu perpaduan antara ajaran
Úiwa Budha. Nilai- nilai Kakawin Arjunawijaya adalah Nilai Religius, Nilai Etika
dan Nilai Estetika. Nilai Religius dicerminkan oleh tokoh cerita Ràwaóa dan
saudaranya yang taat melakukan pemujaan yaitu dengan melakukan tapa, yoga dan
semadi. Nilai Etika di wakili oleh Tokoh Dewi Wedawatì yang memiliki sikap
berbakti terhadap orang tua. Sedangkan Nilai Estetika daam Kakawin Arjunawijaya
berupa ungkapan pengarang tentang keindahan yaitu keindahan alam dan
kecantikan tokoh ceritanya.
DAFTAR PUSTAKA
Agastya, I.B Gde. 1987.Segara Giri Kumpulan Esei Jawa Kuna: Denpasar : Wyasa
Sanggraha.
Cudamani, 1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
Hardiman,Budi F. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernias. Yogyakarta:
Kanisius.
Hutagalung,M.S. Jalan Tak Ada Ujung Muchtar Lubis.Jakarta: Gunung Agung.
Karim , M. Rusli.1994. Agama Modernisasi dan Sekularisasi . Yogya: Tiara
Wacana
Kajeng, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
Keraf, Drs. Gorys. 1980. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah-Arnolus.
Kosasih.2004. Bintap Bahasa Indonesia SMA. Bandung: CV Yama Widya
Kusuma, I Nyoman Weda, 2005. Kakawin Usana Bali Karya Dang Hyang
Nirartha: Suntingan Teks, Terjemahan dan Telaah Konsep-konsep
keagamaan. Denpasar : Pustaka Larasan.
Koentjaraningrat.1974. Kebudayaan dan Mentalitet Pembangunan. Jakarta:
Gramedia
Mantra, IB. 2002 .”Pengertian Úiwa Buddha Dalam Sejarah Indonesia” dalam
Úiwa Buddha. Puja di Indonesia. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Mardiwarsito, L.1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia . Ende Flores: Nusa Indah.
Mastuti, Dwi Woro Retno .2009.Kakawin Sutasoma Mpu Tantular. Jakarta:
Komunitas bambu.
Medera, Nengah. 1996. “Kakawin dan Mabebasan di Bali”. Denpasar: Jurusan
Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Naskah:
Alih Aksara Lontar Kakawin Arjunawijaya, Th.1995. Denpasar : Kantor
Dokumentasi Budaya Bali.
Alih Aksara Lontar Kakawin Arjunawijaya, Th.1982. Singaraja : Gedong Kirtya