Anda di halaman 1dari 19

Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

KONVENSI DAN NILAI KAKAWIN ARJUNAWIJAYA


Anak Agung Istri Anom
___________________________________________________________
ABSTRAKSI
Kakawin Arjunawijaya merupakan salah satu naskah klasik berbahasa
Jawa Kuno yang digubah Mpu Tantular, dari cerita parwa yaitu Uttarakàóða.
Kakawin sebagai karya sastra terdapat ajaran rohani yang luhur. Dalam tulisan ini
akan dibahas tentang konvensi dan nilai Kakawin Arjunawijaya. Pengumpulan
data dengan inventarsisasi naskah dan studi pustaka, dianalisa dengan metode
terjemahan dan deskriptif. Dari hasil analis didapatkan bahwa konvensi Kakawin
Arjunawijaya yaitu : (1) Kakawin Arjunawijaya berbahasa Jawa Kuno dari serapan
Sanskerta dengan gaya bahasa perumpamaan, personifikasi dan hiperbola; (2)
Konvensi sastra, a) Manggala : adanya pemujaan terhadap Dewa Úiwa dan
Buddha; b) Inti ceritanya tentang kemenangan dharma melawan adharma; c)
Penutup cerita berisi tentang sikap rendah hati pengarang; dan (3) Konvensi
budaya menunjukkan adanya toleransi beragama, perpaduan ajaran Úiwa Budha.
Nilai dalam Kakawin Arjunawijaya yaitu, (1) religius dicerminkan oleh tokoh
cerita Ràwaóa dan saudaranya yang taat melakukan pemujaan; (2) etika di wakili
oleh tokoh Dewi Wedawatì yang memiliki sikap berbakti terhadap orang tua; dan
(3) estetika berupa gambaran keindahan alam dan kecantikan tokoh.
Kata kunci: konvensi, Nilai dan Kakawin Arjunawijaya.
_______________________________
PENDAHULUAN
Ajaran agama merupakan pedoman dalam bertingkah laku bagi setiap
pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula halnya dengan ajaran
agama Hindu, memiliki fungsi untuk mengontrol prilaku manusia, dalam hal ini
agama memberi tuntunan kepada umat Hindu dalam bertingkah laku di
masyarakat sehari-hari diantara umat beragama Hindu maupun dalam pergaulan
dengan umat lain yang memeluk agama yang berbeda. Ajaran Agama Hindu yang
bersumber dari kitab suci Weda dijabarkan dalam kitab-kitab suśàstra Hindu
yang tergolong dalam kitab Småti (Dharma śàstra). Ajaran agama Hindu diuraikan
dalam kitab-kitab suśàstra Hindu agar lebih mudah dipahami dan dihayati serta
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kitab suci Weda dan
suśàstra Hindu adalah sumber ajaran Hindu yang mengkristal dalam nilai-nilai
religi Hindu (Titib, 2001:8).
Kesusastraan Jawa Kuno berkembang dengan baik mulai abad ke-9 sampai
ke-16 di pusat-pusat kerajaan Hindu seperti kerajaan Kediri Singhasari dan

28 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Majapahit (Zoetmulder dalam Weda Kusuma, 2005:3). Karya sastra Jawa Kuno
yang dianggap karya sastra besar dan melampaui zamannya adalah kakawin
Ramayana, Mahabharata, Arjunawiwaha, Hariwangsa, Bharatayudha,
Gatotkacasraya, Smaradahana, Sumanasantaka, Sutasoma, Siwaratrikalpa,
Partayadnya dan Kunjarakarna dan Arjunawijaya (Mastuti, 2009: xiii). Kakawin
Arjunawijaya merupakan salah satu hasil karya sastra klasik yang digubah oleh
Mpu Tantular. Kakawin ini dikenal pula dengan nama Kakawin
Arjunasahasrabàhu, yang digubah dari cerita parwa Uttarakàóða. Keistimewaan
naskah ini adalah mengandung ajaran Ketuhanan yang bersifat Úiwa Buddha.
Dalam tradisi mabebasan di Bali keberadaan kakawin ini cukup dikenal dan
dijadikan sebagai salah satu buku panduan mabebasan yang bernafaskan ajaran
Buddha. Kakawin yang merupakan salah satu bentuk karya sastra klasik yang
memiliki fungsi penting karena di dalamnya terdapat ajaran yang bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat. Selain itu kakawin sebagai hasil karya seni mempunyai
fungsi penting dalam kaitannya dengan upacara keagamaan yaitu sebagai
pengiring jalannya upacara. Oleh sebab itu perlu upaya pelestarian terhadap karya
sastra ini dengan cara mengkaji naskah – naskah kakawin sehingga ajaran yang
luhur di dalamnya dapat dijadikan pedoman dan tuntunan hidup.
SINOPSIS KAKAWIN ARJUNAWIJAYA
Diceritakan tentang Raja Raksasa Mali Malyawan dikalahkan oleh Dewa
Wiûóu sehingga di melarikan diri dari kerajaannya yang bernama Lëngka. Untuk
mengisi kekosongan kerajaan maka Waiúrawana, putra Wiúrawa menempati
kerajaan itu. Raksasa Sumali yang merupakan keluarga Mali Malyawan sangat
tertarik dengan kepandaian dan kesaktian Waiúrawana dan ingin memiliki
keturunan yang serupa agar dapat membalas dendam kepada Dewa Wiûóu. Kekasi
berhasil memenuhi harapan ayahnya sehingga dari perkawinannya dengan
Wiúrawa lahirlah empat orang anak yaitu: Daúamukha (yang berkepala sepuluh),
Kumbhakaróa, Wibhìûana dan Úùrpaóakhà. Ketiga anak laki laki Wiúrawa itu
melakukan tapa brata yang keras di Gunung Gokaróa. Daúamukha bertapa dengan
memenggal kepalanya satu persatu dan melemparkan ke api korban, sehingga ia
mendapat anugrah kesaktian dari Dewa Brahma yaitu ia tidak tertewaskan oleh
seorang Dewa maupun Raksasa. Setelah itu ia dipulihkan kembali seperti semula.
Setelah mendapat anugrah dari Dewa Brahma, dengan kesaktian yang
dimiikinya Daúamukha selalu berbuat jahat dan meresahkan di dunia. Waiúrawana,
yang merupakan kakak tirinya merasa prihatin dan menasehati adiknya. Ia
mengutus Gomuka untuk membawa surat yang isinya berupa nasehat agar berhenti
berbuat kejahatan di dunia. Daúamukha sangat marah atas nasehat itu dan
melampiaskan kemarahannya dengan memenggal kepala Gomuka. Lalu ia dikutuk
oleh Gomuka, bahwa istananya kelak akan dibakar oleh seorang utusan.

29 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Daúamukha kemudian menyerang Kerajaan Lengka dimana Waiúrawana


(Daneúwara) menjadi raja. Perang yang hebat terjadi. Dengan kesaktinnya
Daúamukha mengenakan wujud yang tak kelihatan sehingga ia dapat menyerang
dan memukul Waiúrawana bertubi-tubi. Waiúrawana tidak dapat melakukan
perlawanan . Ia disiksa oleh Daúamukha sampai berlumuran darah. Para Dewa
yang melihat tidak berani menolong. Pada saat itulah patih Daúamukha yang
bernama Prahasta merasa iba melihat keadaan Waiúrawana, sehingga ia memohon
agar jangan membunuh kakak tirinya demi rasa hormatnya terhadap ayahnya
Wiúrawa. Kesempatan itu digunakan oleh pengikut Waiúrawana untuk
mengamankan beliau. Kerajaan Lengka akhirnya dirampas oleh Daúamukha.
Daúamukha tidak berhenti sampai disana ia terus menyebarkan kehancuran
dimana-mana. Akhirnya sampailah dia di gunung Kailasa, tempat Dewa Úiwa dan
Dewi Umà bercengrama. Nandiúwara, penjaga gunung itu mengingatkan
Daúamukha bahwa para dewapun tidak berani datang ke sana serta mengganggu
Dewa Úiwa. Daúamukha tidak menghiraukan peringatan itu, malahan ia menghina
wajah Nandi úwara, yang mirip dengan seekor kera. Nandiúwara marah sehingga
ia mengutuk Daúamukha bahwa kelak para kera akan menghancurkan keratonnya
dan membunuh sanak saudaranya. Dalam kemarahannya Daúamukha mengangkat
dan mengguncangkan gunung kian kemari. Dewa Úiwa.lau menekan puncaknya
sehingga Daúamukha terjepit. Daúamukha berteriak keras kesakitan sehingga
teriakannya mengguncangkan seluruh dunia. Oleh karena itulah ia disebut Ràwaóa
yang berarti teriakan.
Daúamukha (Ràwaóa) melanjutkan perjalanannya, ia kemudian bertemu
dengan seorang pertapa wanita yang cantik bernama Dewì Wedawatì. Dewì
Wedawatì sudah bertekad tidak akan menikah jika tidak dengan awatara Wiûóu.
Ràwaóa merayu pertapa ini dan menyombongkan diri bahwa ia lebih unggul dari
Dewa Wiûóu. Ketika Ràwaóa terus merayu agar mau menjadi permaisurinya, Dewì
Wedawatì marah lalu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah
menyembah dihadapan api pemujaan ia menceburkan dirinya ke dalam api
tersebut. Dewì Wedawatì mengutuk Ràwaóa bahwa kelak dalam penjelmaan
berikutnya ia akan menjadi penyebab kematian Ràwaóa ditangan Dewa Wiûóu.di
medan perang Perjalanan Ràwaóa untuk mengusai dunia terus berlanjut. Dia
mendatangi Raja Màruta. Raja Màruta yang sedang melaksanakan yajña tidak
melakukan perlawanan sehingga ia dianggap tunduk oleh Ràwaóa . Kemudian
Ràwaóa menyerang kerajaan Ayodhyà. Raja Ayodhyà yaitu Banaputra
mengadakan perlawanann dengan sengit, namun akhirnya ia wafat oleh Ràwaóa.
Sebelum wafat ia mengutuk Ràwaóa bahwa kelak keturunan raja Ayodhyà yang
merupakan penjelmaan Dewa Wiûóu akan membunuh Ràwaóa.
Diceritakan sekarang seorang raja bernama Arjuna Úahasrabàhu, raja dari
kerajaan Mahispati sedang bercengkrama dengan permaisurinya Dewì Citrawatì di

30 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Sungai Narmada. Sang raja bermaksud menyenangkan permaisurinya, ia merubah


wujudnya menjadi bertangan seribu, kemudin ia meneentangkan badannya
disungai tersebut sehingga sungai menjadi dangkal. Ketika itu di hulu sungai
Ràwaóa sedang mengadakan pemujaan di hadapan sebuah Lingga. Tiba-tiba air
naik dan menggenangi tempatnya memuja. Setelah diselidiki ia akhirnya tahu
penyebabnya yaitu Raja Arjuna Úahasrabàhu. Ràwaóa marah dan memerangi
kerajaan Mahispati. Dengan kecerdikannya Arjuna Sahasrabàhu berhasil membuat
Ràwaóa pinsan dan mengikat tubuh Ràwaóa dengan rantai baja dan dimasukkan
ke krangkeng besi.
Ketika Arjuna Úahasrabahu kembali dari medan perang ia menemukan
permaisurinya telah wafat. Hal ini terjadi karena ada seorang utusan yang
mengatakan bahwa suaminya telah wafat di medan perang. Dewì Citrawatì
mengakhiri hidupnya untuk menunjukkan kesetiaan pada suami (patibrata).
Mendapati permaisurinya sudah wafat Arjuna Úahasrabàhu merasa sedih dan
bermaksud bunuh diri. Tiba- tiba muncul perwujudan dewi sungai Narmada,
membawa air mujarab sehingga sang permaisuri dapat dihidupkan kembali.
Datanglah Rûi Pulastya kakek Ràwaóa, memohon agar Arjuna Úahasrabàhu
membebaskan dan mengampuni cucunya Ràwaóa. Permohonan sang rûi dikabulkn
imbalannya semua prajurit yang telah tewas di medan perang dihidupkan kembali.
KONVENSI BAHASA KAKAWIN ARJUNAWIJAYA
Sebuah karya sastra memiliki bentuk yang berbeda-beda, ada yang
berbentuk puisi dan ada pula yang berbentuk prosa. Bentuk formal sebuah karya
sastra puisi tentu berbeda dengan bentuk formal sebuah karya sastra prosa.
Persyaratan atau bentuk formal dari sebuah karya sastra yang meliputi bagian-
bagian pelengkap dan kebiasaan-kebiasaan yang harus diikuti dalam penulisan
disebut konvensi (Keraf, 1980:6).
BAHASA DALAM KAKAWIN ARJUNAWIJAYA
Bahasa yang digunakan dalam kakawin Arjunawijaya adalah bahasa Jawa
Kuna. Untuk membuktikan penggunaan bahasa Jawa Kuna akan dikutip beberapa
bait dari kakawin Arjunwijaya XX. 1 sebagai berikut.
“ Tanghëh yan ucapën sapolah ikanang Daúamuka kalàwan balàsura,
Sukhàmbëkati ghora nora juga tan alaha sahananing puràntara,
Sangàrjuna Úahasrabahu caritan prabhu paramawiúesa digjaya,
Sireka siniwìng Mahispati kadhatwanira kadi Mahëúwara laya.
Terjemahan:
Panjang jika diceritakan tingkah Ràwaóa dan bala tentara raksasanya,
senang berbuat jahat juga tidak ada kerajan lain yang mengalahkan ,
Diceritakan seorang raja yang sangat termasyur bernama Arjuna Úahasrabàhu,
Beliau memerintah Mahispati kerajaannyaa bagaikan Istana Dewa Úiwa

31 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Berdasarkan Kamus Jawa Kuna Indonesia yang ditulis oleh P.J.


Zoetmulder bekerjasama dengan S.O. Robson arti kata-kata dalam bait kakawin
diatas adalah sebagai berikut.
tanghëh ‘yang akhirnya belum tampak, tiada akhir, lama atau jauh tak ada habis-
habisnya (Zoetmulder, 1995, 1204).
yan ‘kalau, jika, karena (Zoetmulder, 1995, 1488).
ucap ‘percakapan, bicara, kata-kata (Zoetmulder, 1995: 1315).
polah ‘gerakan, tindakan,tingkah laku,kelakuan, kegiatan(Zoetmulder, 1995: 1323).
ika itu (Zoetmulder, 1995: 379).
lawan ‘dengan, bersama dengan, berbanding dengan, dan, dan juga, lebih-lebih,
terutama (Zoetmulder, 1995: 577).
bala S. ‘ kekuasaan, kekuatan, pasukan , tentara, angkatan perang (Zoetmulder,
1995: 99).
asura S. ‘ golongan makhluk seperti raksasa, buta (Zoetmulder, 1995: 73).
sukhaS ‘menyenangkn, cocok lezat, gembira, makmur, menyenangkan, lega,
ketentraman, kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan, keriangan, kesukaan
(Zoetmulder, 1995: 1136).
ambëk S. ‘ pikiran, watak, sikap, suasana j iwa, keinginan, maksud (Zoetmulder,
1995: 30).
ati S. ‘ berkelebihan, sangat (Zoetmulder, 1995: 75).
ghora S. ’ hebat, dasyat, menakutkan, mengerikan (Zoetmulder, 1995: 304).
nora ‘ tidak ada (Zoetmulder, 1995: 709).
juga ‘ ‘saja, baru saja, hanya (Zoetmulder, 1995:429.)
tan ‘ tidak (Zoetmulder, 1995: 1198).
alaha ‘ kalah , dikalahkan, menyerah, mati, mengalah (Zoetmulder, 1995: 21).
sahana ning ‘s egala, segala-galanya, semua, semuanya, seluruh, seluruhnya
((Zoetmulder, 1995: 333).
puràntara S. ‘ kota, kerajaan lain (Zoetmulder, 1995: 164).
prabhu S. ‘raja (Zoetmulder, 1995: 883).
parama S. ‘ yang utama, paling utama, paling baik (Zoetmulder, 1995: 764).
wiúesa S. ‘ penting, unggul, terkemuka, terbaik, terpenting, tertinggi, menjadi
penguasa tertinggi (Zoetmulder, 1995: 1450).
digjaya, ‘ penakluk dunia, pemenang, berhasil sekali (Zoetmulder, 1995: 217).
sira ‘ kata ganti orang ke 3 dalam kakawin ‘(Zoetmulder, 1995: 1101)
ika ‘ itu’ (Zoetmulder, 1995:379).
siniwi ‘memerintah (dikatakan tentang raja) (Zoetmulder, 1995: 1108).
ìng ‘di ‘ (Zoetmulder, 1995: 376).
kadhatwan ‘ keraton, istana (Zoetmulder, 1995: 204).
nira ‘ nya, mu (Zoetmulder, 1995: 394).
kadi ‘ seperti , sebagai, seolah-olah (Zoetmulder, 1995: 436).
Mahëúwara ‘raja besar, dewa’ nama Úiwa (Zoetmulder, 1995: 635).
laya ‘ rumah, tempat tinggal, kediaman, tempat beristirahat (Zoetmulder,
1995: 578).

32 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kakawin Arjunawijaya


merupakan kata-kata bahasa Jawa Kuna yang sebagian kata serapan dari bahasa
Sansekerta yang ditandai dengan huruf S dibelakang kata tersebut.

GAYA BAHASA DALAM KAKAWIN ARJUNAWIJAYA


Gaya bahasa yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya adalah sebagai
berikut.
a. Gaya bahasa Perumpamaan atau simile
Penggunaan gaya bahasa Perumpamaan dalam kakawin ini dapat dilihat
dalam pupuh Kakawin Arjunawijaya XII. 6 berikut ini.
“Tuñjung bhiru tan sahikeng mata luru,
Madhu brathà kweh kamage wëtsta màr,
polah nikang sarwa sarì kànginan,
bangun wiwal teki mënen kinolakën”.
Terjemahan:
Bunga tunjung biru tak pernah lepas dengan pandangan yang lembut,
Semua kumbang merasa malu dengan keindahan betisnya yang mengharukan,
goyangan bunga –bunga yang diterpa angin,
Bagaikan penolakan dinda kini saat dipeluk.
b. Gaya bahasa Personifikasi
Gaya bahasa ini terdapat dalam kutipan Arjunawijaya XXXIII.5 berikut.
“Nda sàkûaóa haneka nuûa ya katon kaparëki kahanan nareúwara,
Bangun mëtu sakeng samudra langönya kadi wahu datëng sakeng tawang,
Bukurnya ri samipaning bhujangga puûpa padha winilëting wëlass arëp,
Limutnyakuseng pucang gadhing awaróa saputi susuning sëdhëng rara”.
Terjemahannya:
Bersamaan dengan itu terlihat sebuah pulau dekat dengan sang raja,
keindahannya bagaikan datang dari laut seperti baru turun dari angkasa,
Kuilnya di samping bunga nagasari yang terlilit daun-daunan berbelas kasihan
Kabutnya menutup pohon pinang gading bagaikan selendang menutupi payudara
seorang gadis.
c. Gaya bahasa Hiperbola
Gaya bahasa ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya X.16 berikut.
“ Humwang kabeha halilingën sahaneng tri loka,
dewàdi kàplëngënawùtëka ring Úiwàóða,
wetning prakopa gumuruh kadi sindhugora,
sàkûat gëlap úàtasahasra parëng tumampuh”
Terjemahan :
Berdengung semua tuli seisi tiga dunia
Paradewa dan yang lainnya kaget menjerit sampai di istana dewa Úwa
Oleh kemarahan bergemuruh bagaikan gemuruh suara laut.
Seperti petir seratus ribu bersamaan mengglegar.

33 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Demikianlah penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam kakawin


Arjunawijaya. Petikan diatas menunjukkan adanya pngungkapn oleh pengarang
secara berlebihan tentang keadaan yang dilukiskan.
KEINDAHAN BAHASA DALAM KAKAWIN ARJUNAWIWAHA
Aspek alangkara (alaýkara) dalam kakawin ada dua macam yaitu
sabdàlangkara dn arthàlangkara.
a. Sabdàlangkara
Sabdàlangkara berarti hiasan di dalam bait-bait puisi yang didasarkan bunyi-
bunyi bahasa. Pemakaian ini dibedakan menjadi dua macam yaitu anuprasa dan
yamaka.
1) Anuprasa
Anuprasa sering disebut purwakanti yaitu persamaan bunyi konsonann
(asonasi/aliterasi ) di dalam bait kakawin. Teknik ini dapat dilihat dalam
kakawin Arjunawijaya sebagai berikut.
“Lìlàlon larising ràthà tùti lëbuhning dharma kiróà ngelor
Ràmyàkweh tikanang tuminghali siràn strì-strì manìnjo kabeh,
Len tekang tumùting ràtheka ya turung warsih tumonton sira,
Kapwa tambaka waróa polahing anonton ràja kàryeng puri”.
(Kakawin Arjunawijaya.XXX.6).
Terjemahan:
Baik dan pelan jalannya kereta ke arah utara menuju halaman padharman,
Ramai orang yang akan melihat beliau para wanita menyaksikan semua,
Lain lagi yang mengikuti kereta karena belum puas melihat sang prabu,
Semua berdiri bagai tembok tingahlakunya seperti menonton perayaan besar di
istana.
“Lëngöng kalëngëngan manah nira lëngöng tekapi lëngëng i ramyàning pasir,
Manuknya manawat-nawat kumëdhap asrì ng asëmu alising këneng unëng,
Pudhaknya nguðoða ring banyu wangun wëtising arëja kesisan tapih, Patërnya
ana màtra mandra karëngö sarëngihinh awëdin kaping rwana”.
(Kakawin Arjunawijaya, XXXIII.2).
Terjemahan:
Terpesona beliau oleh keindahan dan keserasian samudra, Burung-burung saling
menyambar berhamburan bagaikan alis orang yang terlena oleh keindahan,
Bunga pudaknya menjuntai bagaikan keindahan betis kuning gading tak ditutupi
kain, Suara guntur terdengar sekilas samar-samar terdengan bagai rintihan takut
yang kedua kalinya.
Kutipan kedua bait di atas, menunjukkan adanya permainan bunyi
yang digunakan oleh pengarang dalam menggubah karya sastra. Permainan
bunyi tersebut berupa pemilihan kata yang dimulai bunyi “l”. “s”,”m’, dan
“t” secara berturut-urut.

34 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

2) Yamaka
Dari bentuk Yamaka dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu:
Kanci yamaka, Puspa yamaka, Pàdàyamaka, Padanta yamaka, Wrënta
yamaka.
a) Kanci Yamaka
Kanci Yamaka artinya kata-kata yang terakhir dalam satu baris
diulang pada kata pertama baris berikutnya. Dalam Kakawin
Arjunawijaya teknik Kanci Yamaka digunakan dalam bait berikut.
“Úigran tëkeng Himawan àdri Daúàsya ràja,
Ràmyà nuràmya mihatìng patapan suràmya,
Ràmyang kapuódhungika duryanikeng jurangnya,
Mangguûþa langsëb ikà poh panasà gëng abyut”.
(Kakawin Arjunawijaya X.20)
b) Puspayamaka
Puspayamaka artinya suku kata (sillabe) yang terakhir dari tiap baris
dalam satu bait bunyinya sama. Dalam Kakawin Arjunawijaya
pemakaian teknik ini terdapat dalam Arjunawijaya X.18 berikut.
“Ngka sang Daúàsya n umijli sakari girìndrà,
Sàmpun mangañjali ya mamwit jöng bhaþara,
Mwang wàhananya muyënging bhuwanàti úighra,
Len tang påëwìra bala rakûasa sangga mahya”
c) Pàdàyamaka
Pàdàyamaka artinya perulangan kata-kata pertama setiap baris dalam
satu bait. Pemakaian teknik Pàdàyamaka dalam kakawin
Arjunawijaya XXXIII.3 adalah sebagai berikut:
“Tatitnya kumëdhap-këdhaping wwang apicala ri sampun ing gati,
Limut-limut ikeng tawang sapangurëng asidëhamanìsakën huyang,
Kuwung-kuwung ikàsemu wastra sinusur turu-turutani sandhining rëmëng,
Bangun wahu sakeng bahitra pasunging puhawang –ika ri jöng nareúwara”
d)
Padanta yamaka
Padanta yamaka adalah merupakan kebalikan dari Pàdàyamaka.
Maksudnya perulangan kata-kata yang terjadi tiap akhir baris dalam
satu bait. Pemakain teknik ini dalam Kakawin Arjunawijaya tidak
ditemukan.
e) Wrënta yamaka.
Wrënta yamaka.adalah apabila di dalam satu bait puisi (kakawin) kata-
kata pertama dalam setiap baris sama bentuk dan bunyinya.
Pemakaian teknik ini tidak ditemukan dalam Kakawin Arjunawijaya.
b. Arthàlamkara
Menurut Hooykaas (dalam Medera, 1997:21-22) ada beberapa macam
Arthàlamkara dalam kakawin yaitu, sebagai berikut.

35 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

1) Rupaka yaitu gaya perbandingan, sesuatu obyek diperbandingkan atau disamakan


dengan standar perbandingannya (metafora).
2) Rupaka bhyudika gaya metafora (rupaka) ditambah dengan satu sifat lagi.
3) Vyatireka, yaitu suatu gaya yang melebih-lebihkan dari sifat asalnya (Hiperbolis).
4) Slesa, yaitu suatu kata yang mempunyai makna lebih dari satu (polisemi).
5) Upareksa, yaitu suatu gaya yang menyatakan antara bentuk dan artinya berbeda.
6) Wibhawana, yaitu sesuatu yang dikatakan ada tanpa sebab.
7) Atisyokti, sesuatu yang diperbandingkan dengan sifat-sifat yang tidak ada
bandingannya.
8) Varta yaitu melukiskn sesuatu sesuai dengan apa adanya.
9) Yata sangkwa yaitu sesuatu susunan ide dikatakan dalam satu kata.
10) Wirodha yaitu suatu tindakan dengan hasil yangberbeda.
11) Ninda stuti yaitu suatu gaya untuk menyalahkan suatu perbuatan disampaikan dengan
cara memuji daan untuk memuji sutu perbuatan disampaikan dengan cara mencela.
12) Nidarsana ialah suatu standar perbandingan dengan obyek yang diperbandingkan dan
standar perbandingan itu dianggap sebagai sesuatu hal yang benar-benar ada.
13) Visosekti, yaitu apabila perhatian kita dipusatkan pada sifat khusus dari suatu benda.
14) Arthàntaranyàsa, yaitu memasukkan sesuatu yang agak berbeda dari pokok yang
dibicarakan tetapi mengikuti artinya.
15) Upanyasa, yaitu apabila dengan suatu pernyataan (menguraikan sesuatu) tetapi yang
dimaksudkan adalah hal yang lain (gaya sindiran).
16) Ananvaya adaah perbandingan sesuatu dengan benda itu sendiri sebagai obyek.

KONVENSI SASTRA KAKAWIN ARJUNAWIJAYA


1. Bentuk dan susunan naskah.
a. Manggala
Dalam kakawin Arjunawijaya terdapat manggala sebanyak empat bait
yang dapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya I.1berikut.
“Ong Úrì parwataràja
dewa huriping sarwa pramaneng jagat,
Sang sàkûat paramàrtha Buddha kinëñëp sang siddha yogìúwara,
Sang lwir tìrtha kiteng mahàrddhika wiûàmbëkteng mahàdurjana,
Nirwighnopama surya wimba tumameng wway úànta ring ràta kabeh”.
Terjemahannya:
Om Úrì parwataràja yang menghidupi semua makhluk hidup di bumi,
Beliau bagaikan buddha yang dibtinkan oeh para yogi yang sempurna,
Beiau bagai air suci bagi orang bijaksana bagai bisa bagi penjahat besar,
Tanpa haangan bagaikan bayangan matahari di dalam air menyebarkan kedamaian
di bumi.
Berdasarkan kutipan (Kakawin Arjunawijaya I.1-4 dapat diketahui
bahwa manggala kakawin Arjunawijaya memuat tentang pemujaan terhadap
dewa (istadewata) yaitu dewa raja gunung (úrì parwata ràja dewa) yang tidak
lain adalah Dewa Siwa. Disamping pemujaan terhadap Dewa Úiwa dan

36 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

manggala kakawin tersebut pengarang juga menyatakan bahwa pada


hakekatnya Dewa Úiwa yang dipuja dalam manggala dipersamakan dengan
Sang Buddha. Disamping itu dalam manggala ini pengarang juga
mengungkapkan harapan dan doa kepada sangraja semoga beliu panjang
umur dan sehjahtera beserta keluarganya serta tetap jaya memimpin
negerinya.
b. Inti Cerita
Inti cerita dari Kakawin Arjunawijaya dapat diuraikan sebagai
berikut. Perkawinan antara Kekasì denga Wiúrawa melahirkan tiga anak laki
dan satu perempuaan yaitu Daúamukha, Kumbhakaróa, Wibhìûana dan
Úùrpaóakhà. Daúamukha, Kumbhakaróa, dan Wibhìûana melakukan tapa
brata yang keras sehinga mendapat anugrah dari Dewa Brahma (I.5, II.5).
Setelah mendapat anugrah dari Dewa Brahma Daúamukha menjadi sangat
sakti. Namun dia mengunakan kesaktiannya untuk menyebarkan kehancuran
di dunia. Daneúwara (Waiúrawana,) saudara tirinya berusaha menasehati
dengan mengutus Gomuka. Daúamukha marah dan membunuh utusan itu.
Sebelum wafat Gomuka mengutuk Daúamukha bahwa kelak kerajaannya
akan dibakar oleh utusan (IV,1, I.12). Setelah membunuh Gomuka
Daúamukha menyerang Daneúwara. Dengan kesaktiannya Daúamukha
menyerang Daneúwara. Ketika Daneswara sudah tak berdaya, Prahasta
memohon kepada Daúamukha agar tidak membunuh kakak tirinya demi rasa
hormat terhadap ayahnya (VI.9-IX.13). Daúamukha menuju gunung
Kailasa. Dia bertemu Nandiúwara yang ditugaskan menjaga gunung oleh
Dewa Úiwa. Nandiúwara mengingatkan Daúamukha bahwa para Dewapun
tidak berani mengganggu ke sana. Daúamukha tidak menghiraukan dan
menghina wajah Nandiúwara sehingga ia dikutuk bahw kelak kerajaannya
akan dihancurkan oleh kera. Daúamukha mengangkat dan menggoncangkan
gunung. Dewa Úiwa menekan puncak gunung sehingga Daúamuka berteriak
kesakitan. Oleh karena itu ia disebut Ràwaóa (V.1-X.17).Ràwaóa
melanjutkan perjalanan. Ia bertemu dengan pertapa wanita yang cantik
bernama Dewi Wedawatì. Ràwaóa merayu pertapa tersebut agar mau
menjadi permaisurinya. Dewi Wedawatì menolak dan menceburkan dirinya
ke api pemujaan. Sebelum mengakhiri hidupnya ia mengutuk Ràwaóa bahwa
kelak ia akan menjadi penybab kematian Ràwaóa (X.18- XIII.11). Ràwaóa
menyerang raja Marutà. Tetapi tidak melakukan perlawanan karena beliau
sedang melaksanakan yajña. Ràwaóa menganggap ia tunduk dan
melanjutkan menyerang kerajaan Ayodhyà. Raja Ayodhyà melakukan
perlawanan dan tewas. Sebelum wafat ia mengutuk bahwa keturunannya
kelak merupakan awatara Wiûóu akan membunuh Ràwaóa (XIV.1 –XIX, 2).

37 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Cerita selanjutkannya mengisahkan raja Mahispati yang bernama


Arjuna Úahasrabàhu pergi bercengkrama ke sungai Narmada dengan
permaisururinya, Dewi Citrawatì. Karena ingin membahagiakan
permaisurinya ia merubah wujudnya menjadi bertangan seribu dan
membendung sungai Narmada. Sementara di hulu sungai Ràwaóa sedang
melakukan pemujaan dihadapan sebuah Lingga. Hal ini menyebabkan
tempatnya tergenang air. Ràwaóa marah dan memerangi kerajaan Mahispati.
Berkali-kali Ràwaóa berhasil dibunuh tetapi hidup kembali. Dengan
kecerdikannya Arjuna Ssahasrabàhu berhasil membuat Ràwaóa pinsan lalu
mengikat tubuhnya dengan rantai baja dan Ràwaóa dimasukkan ke
kerangkeng besi (XXXVIII.9- LXIII.5). Setelah berhasil mengalahkan
Ràwaóa Raja Arjuna Úahasrabàhu kembali dari medan perang, ia
menemukan istrinya telah tewas. Ia mendapat kabar bahwa suaminya Raja
Arjuna Úahasrabàhu telah wafat sehingga ia melakukan patibrata. Raja
Arjuna Úahasrabahu putus asa dan hendak bunuh diri. Ketika itulah muncul
perwujudan Dewi Sungai Namardà, membawa air mujarab sehingga sang
permaisuri dapat dihidupkan kembali. Pada saat itu datanglah Åûì Pulastya
memohon agar Ràwaóa dibebaskan. Arjuna Sahasrabàhu mengabulkan
permohonan Åûì Pulastya (LXIII.7-LXXII.5).
c. Penutup
Dalam Kakawin Arjunawijaya bagian penutup ini dapat ditemukan
pada Kakawin Arjunawijaya LXXIII.5 berikut.
“Nda niûþanya titir winada cinacad ginuyu-guyu tëkap kawìúwara,
nghing tan simpangike gatinyan akirim kakawin i dalaning pudak sumor,
sangksiptan ri lësöhaningbhujaga puspa ri úikarani kàmangun langö,
sang sukûmeng lepihan tanah juga panenggahanika pinakeûþining mangö,
Terjemahannya:
Pastinya akan selalu dicela ditertawakan oleh sang pengarang termasyur
Tetapi tidak surut niatnya untuk mengirimkan kakawin yang ditulis diatas daun
pudak yang tercecer,
Pendek kata di pucuk bunga nagasari yang telah layu menciptakan keindahan,
Beliau yang berwujud maya diatas kertas dan alat tulis nama beliau yang dipuja
sebagai wujud keindahan.
Bait di atas menunjukkan kerendahan hati pengarang dalam menggubah
sebuah kakawin. Sehingga karya yang dianggap tidak sempurna tentulah
banyak dicela dan ditertawakan pengarang yang mahir. Tetapi pengarang
tetap mempunyai harapan besar untuk menghasilkan karya yang indah.
2. Keindahan Isi Kakawin Arjunawijaya
a. Lukisan Alam
Lukisan alam merupakan suatu daya pesona yang menyebabkan karya
sastra tersebut menarik bagi pembacanya.

38 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

1) Waktu dan musim


Lukisan alam yang memaparkan tentang waktu terdapat juga pada saat
keberangkatan raja dan permaisuri bersenang-senang menikmati keindahan
alam yaitu terdapat pada kutipaan Kakawin Arjunawijaya XXXIV.1berikut.
“ Byàtìtan gati sang narendrà kalawan sang lwir hyang ning càmpaka,
Ràmyàsing sakantën nireki pinaran mwang tang kakëñà ngiring,
Titis meh tumibeng dawuh lima madan sang úrìmaha bhupati,
Sàmpun pràpta tikang gajàúwa nu marëk mangkat narëndrà dhipa”
Terjemahannya:
Tidak diceritakan keadaan sang raja dengan beliau yang ibarat dewanya bunga
cempaka, Indah segala yang dilihat itu di datangi beliau diiringi oleh pelayan,
Setelah kirakira pukul 11.00 bersiaplah sang raja, Telah datang gajah dan kuda
mendekati lalu berangkatlah beliau sang raja.
2) Flora dan Fauna
Flora dan Fauna yang dilukiskan dalam kakawin Arjuna wijaya
dapat dilihat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya XXII.7 berikut.
“Lunghàngdoh úighra làmpah matuti ujungning wukir sëngka-sëngkan,
Wangkal sengwan kukap kaywn ika ri tëpining lwah tëngahning wanàgöng,
Wwat gantung màrga tùbanya satata gumuruh ring jurang kukang i grong,
Air tambangnya këcap lwir këcapning inuwahan swami dening papendung.
Terjemahan:
Semakin jauh perjalanan beliau mengikuti kaki gunung semakin tinggi,
Pohon Wangkal, Sengwan, Kukap ditepi sungai di tengah hutan lebat,
Jembatan gantung sebagai jalan air nya selalu bergemuruh di jurangnya
suara kodok bersuara di lubangnya, Suara gemuruh air terjunnya bagaikan keresahan
orang yang terpisah dari keluarganya.
b. Pertempuran
Dalam Kakawin Arjunawijaya unsur peperangan paling banyak
diceritakan. Ràwaóa sebagai salah satu tokoh cerita dalam Kakawin
Arjunawijaya yang mempunyai ambisi untuk menguasai dunia (triloka) dengan
kesaktiannya, hal ini terdapat dalam kutipan Kakawin Arjunawijaya IX.3 berikut.
“ Sëdhëng nira silih pupuh silih arug pragalbha masuwe sirà prang arurët,
Ndàtan hana kacidra rakwa padha úakti laghawa mahà prabhawa ring ayun,
Rika prabhu Daúasia úigràn umësöt mare gagana mùkûa tan patuduhan,
Pëtëng dëdët ikang swa ràjya sumaput tëkap nira lawan prahàra kumusuh.
Terjemahannya:
Ketika beliau saling pukul saling tebas tidak terkira lamanya berdua bergumul,
Tidak ada yang cedera sama-sama sakti dan pandai berkelit,
Lalu Rawana segera melesat ke udara dengan kekuatan gaib tak terlihat,
Gelap gulita istana diiputi olehnya disertai angin kencang menderu.

39 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

c. Percintaan
Percintaan yang dilukiskan terdapat antara Arjuna Sahasrabàhu
dengan permaisurinya Dewi Citrawatì. Hal ini terdapat dalam kutipan
Kakawin Arjunawijaya XXVI.2 berikut ini.
“Hàh dyah wruh ngwang i duhka rakyan i gatingku wawang i sëdënging mapet
lango,
Apan kenakaning madhubrata mangantyakëna ri uwusing pudhak sumàr,
Mwang hyuning tadahàrûa rakwa mamalar malara ri keñaring niúàkara,
Mwang tang catakaring tawang lëngëng angantyakëna riris i gëntëring patër”.
Terjemahannya:
Wahai dinda tahu hamba dengan duka hatimu karena perbuatanku tergesa-gesa ketika
dinda menikmati keindahan, Karena kesenangan si lebh adalah saat menunggu setelah
mekar bunga pudak, Dan kesenangan tadahasih adalah saat menanti-nanti buan
bersinar, Dan kesenangan burung kakelik di angkasa adaah pada saat menunggu hujan
gerimis disertai gemuruh guntur.
d. Ajaran
Kakawin Arjuna Wijaya merupakan salah satu bentuk dharmasastra
yang berisikan tentang ajaran-ajaran agama Hindu yang bersumber dari kitab
suci Weda. Adapun ajaran-ajaran yang terdapat dalam Kakwin Arjunawijaya
adalah sebagai berikut.
1) Widhi Tatwa
Konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Kakawin Arjunawijaya
adalah Ekaý sad viprà bahudhà vadanti yang mengandung makna bahwa
pada hakekatnya Tuhan itu satu hanya orang bijaksana yang menyebutnya
dengan banyak nama. Kosep Ketuhan ini terdapat dalam Kakawin
Arjunawijaya. XXVII.1, Kakawin Arjunawijaya, XXVII.2 mengandung
suatu pengertian bahwa konsep ketuhanan Úiwa Budha adalah sama. Yang
berbeda adalah naamanya pada hakekatnya sama.
2) Karmaphala
Mengeni ajaran Karmaphala dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dalam
kutipan berikut.
“Sakweh-kweh para dewa úangga mangiring Hyang Brahmà kepwan sira,
de Hyang Datra ri Kumbhakaróa ya sungën mangke warànugraha,
apan rakwa màhati rodra ya makin sor tang watëk dewata,
deni göng kalawan guóà syapa teki dewopamanyerika”.
Terjemahannya:
Semua para dewa yang mengiringi Hyang Brahma merasa bingung, Karena Dewa
Brahma akan memberikan anugrah kepada Kumbakarna,
Karena sesungguhnya sangat menakutkan kan semakin kalah para dewa,
Karena kebesaran dan kesaktiannya siapakah para dewa yang bisa menandingi.
“Nà tojar para dewa tan kagaman de Hyang Jagatkàraóa.
tan sang Hyang karaóanya rakwa tëkaning wirya alpaning janmawannn,

40 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

tan len karmaphala rakwa magawe sih ning baþàre riyà.


yekà hetu niran tëkanurunika sang Kumbhakaróa n- asö
Terjemahannya:
Demikianlah permintaan para dewa tidak dipenuhui oleh Dewa Brahma, buka
Dewa yang menyebabkan keunggulan maupn kekurangan manusia, tidak lain
adalah hasil perbuatannya yang menyebabkan para Dewa memberi anugrah
kepadanya, itulah sebabnya beliau datang menghampiri kumbhakarna yang
dikasihinya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimak maksudnya bahwa yang
menyebabkan manusia berhasil dalam hidupnya bukan semata-mata
anugrah Tuhan tetapi akibat hasil dari perbuatan manusia itu sendiri .
Dalam hal ini Kumbhakaróa dianggap pantas oleh Dewa Brahma
mendapat anugrah karena melakukan semadi dengan taat.
3) Punarbhawa Tatwa
Ajaran punarbhawa dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak dalam
kutipan Kakawin Arjunawijaya XIII.10 berikut
“Pitowi satatàlpa buddhi ri Bhaþàra Sang Hyang Hari,
Matangyan aku margamun pëjaha denira hëlëm,
Nàhan ling ira yar sumapa tumuding ri sang Ràwaóa,
Nëhër sira mareng pahoman i – dalëm pradiptà ng apuy.
Terjemahannya:
Dan lagi selalu bertentangan dengan dewa Wisnu,
Itu sebabnya saya akan menjadi jalanmu mati kelak,
Demikian ucapan beliau mengutuk sambil menuding Ràwaóa,
Lalu beliau menuju api pemujaan di pertapaan yang apinya menyala berkobar-
kobar.
Kutipan di atas menunjukkan adanya ajaran punarbhawa dalam Kakawin
Arjunawijaya. Dalam kakawin ini tokoh Dewi Wedawatì seorang pertapa
yang hanya ingin bersuamikan Dewa Wiûóu menceburkan dirinya ke
dalam api demi menjaga kesucian dirinya agar tidak dinodai oleh Ràwaóa.
Ia sangat marah ketika Ràwaóa merayu dan membelai rambutnya sehingga
ia mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke api pemujaan. Namun
sebelum wafat ia mengutuk Ràwaóa bahwa ia akan menyebabkan kematian
Ràwaóa dalam kehidupannya kelak. Dikemudian hari Dewi Wedawatì
menjelma menjadi Dewi Sità.

KONVENSI BUDAYA KAKAWIN ARJUNAWIJAYA


Kakawin sebagai hasil karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang
dalam mengungkapkan ide-ide yang ada dalam pemikirannya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarananya. Budaya yang melahirkan karya sastra
kakawin erat kaitannya dengan agama sang pengarang dan juga agama yang dianut

41 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

oleh masyarakat pada saat karya sastra tersebut di gubah oleh pengarangnya.
Seperti telah diuraikan dalam penjelasan terdahulu bahwa Kakawin Arjunawijaya
merupakan hasil karya sastra Jawa Kuna yang bernafaskan ajaran Úiwa -Buddha.
Keyakinan terhadap ajaran Úiwa –Buddha tidak terlepas dari perkembangan
kerajaan Hindu di Indonesia, yaitu pada jaman kerajaan Majapahit. Adanya
pengangkatan terhadap kedua pejabat tersebut menunjukkan pada saat itu kedua
agama diakui sejajar, dan hal tersebut menunjukkan adanya sikap toleransi dalam
beragama sangat tinggi.

NILAI DALAM KAKAWIN ARJUNAWIJAYA


1. Nilai Religius
Nilai religius dalam Kakawin Arjunawijaya dapat dilihat dalam tokoh
Rawana dan saudaranya. Ràwaóa (Daúamuka) dan keempat saudaranya adalah
keturunan Brahmana yaitu putra dari seorng Brahmana bernama Wiúrawa dan cucu
dari Åûi Pulastya. Namun ibunya adalah keturunan raksasa. Walaupun Ràwaóa
adalah tokoh yang jahat tetapi ia memiliki sikap religius yaitu ditunjukkan dengan
ketaatannya melakukan pemujaan bersama saudara-saudaranya. Ketaatannya
dalam melakukan pemujaan ditunjukkan dengan tapa brata , semadi sebagai wujud
rasa bhakti kepada Tuhan, dan untuk memohon anugrah dari Tuhan. Mereka
melakukan pemujaan dengan caranya masing-masing untuk mencapai tujuannya.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Tan warnan pakurënireki numijil anak pat huwus,
Ndah yekàn pamangun tapa brata padhàgöng yogha dhirà japa,
Towin rakwa wëkas Dhàneúwara kakànggëh de nirang Ràwana,
Ndàswi màjara kon ri sang yayi siràmetang mahànugraha.
(Kakawin Arjunawijaya.I. 14)
Terjemahannya:
Tidak diceritakan tentang perkawinannya telah lahirlah empat orang anak,
Kemudian mereka melakukan tapa brata sama hebat dalam yoga dan japa,
Konon dibekas pertapaan Dhaneúwara kakànggëh de nirang Ràwana,
Kemudin ia mengatakan kepada adiknnya agar mendapat anugrah utama.
“Ring Gokarna ngaranya ng adri patapanyàtyanta ning kottama,
Dùrga ewëh ya paranya rakwa kalawan sànaknya jalwàngiring,
Ngka tekang wara Kumbakaróa manicip hisning tusarenëlëd,
Nirbyapara sahàúra warûa diwasanyàmrih madewàúraya.
(Kakawin Arjunawijaya.I. 15)
Terjemahannya:
Di gunung Gokaróa namanya tempatnya bertapa sangat utama,
Sukar untuk dilalui konon ikut sanak keluarganya,
Disana sang Kumbhakaróa menghisap tetesan embun,
Tak kenal lelah seribu tahun lamanya memuja Dewa.

42 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Kutipan di atas menunjukkan sikap religius Ràwana dan saudara-saudaranya.


Mereka melakukan upacara (ritus) dengan yoga , tapa dan brata. Tapa yang
mereka lakukan sangat berat. Daúamuka melakukan tapa dengan mengorbankan
kepalanya yaitu dengan melemparkan kepalanya ke dalam api korban, sehingga ia
memperoleh anugrah dari Dewa Brahma.
Sikap religius dalam Kakawin Arjunawijaya tercermin pula dalam tokoh
Arjuna Sahasrabàhu. Ketika Arjuna Sahasràbahu melakukan perjalanan bersama
permaisurinya untuk menikmati keindahan ia menyempatkan diri melakukan
pemujaan di depan sebuah Arca, sebagai wujud rasa bakti kepada Tuhan yang
menciptakan segala keindahan yang ada.

2. Nilai Etika
Dalam Kakawin Arjunawijaya nilai etika (moralitas) terdapat pada tokoh
Dewi Wedawatì. Dewi Wedawati dilukiskan sebagai wanita yang setia dan bhakti
kepada orang tuanya. Dewi Wedawatì memilih untuk hidup menjadi pertapa
setelah kedua orang tuanya wafat. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab
kematian kedua orang tuanya. Ia ingin memenuhi pesan orang tuanya yang ingin
bermenantukan Dewa Wiûóu. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Nging sang mahà Keúawa mantwa tan wurung,
Prayojana mwang bibi ni nghulun rësëp,
Ndah bhagna mogheki pëjah nira kàlih,
Tëkap nikang ràkûasa Sàmbhu göng galak”.
(Kakawin Arjunawijaya, XII.11).
Terjemahan:
Hanya Sang Hyang Wisnu yng diinginkan menjadi menantu,
Yang diharapkan ibu hamba di dalam hatinya,
Tetapi malapetaka menyebabkan mereka berdua wafat,
Oleh Raksasa Sambhu yang sangat buas.
“ Dose nghulun hetu niràn wineh pati,
titir pininte sira tan paweh kedö,
màrgangku mungsir tapa bhaktya kawitan,
makàrtha sang hyang ari lakya ring hëlëm
(Kakawin Arjunawijaya.XII.2).
Terjemhannya:
Hamba berdosa menjadi sebab kematian beliau
Sering diminta beliau tetap tidak mengabulkan
Hamba melakukan tapa sebagai bhkti terhadap leluhur,
Dengan harapan supaya Dewa Wisnu menjadi sumi hamba kelak.
Kutipan di atas mengandung ajaran atau nilai etika bahwa seorang anak
wajib berbakti kepada orang tua sekalipun beliau telah tiada. Kewajiban seorang
anak terhadap orang tua yang di ungkapkan dalam Kakawin Arjunawijaya sesuai
dengan isi kitab Sàrasamuccaya sebagai berikut.

43 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

“ikang bhakti makakawitan,


parituûþa sang rawwitnya,
denya phalanya mangke dlàha,
langgeng àlëman ika ring hayu”
(Sàrasamuccaya, 241).
Terjemahan:
Setia dan bhakti kepada orang tua,
membuat orang tua itu senang dan puas hatinya,
pahalanya baik sekarang ini maupun kemudian,
tetap mendapat pujian tentang kebajikan.
(Kajeng , 2003:183).
Dalam kutipan di atas disebutkan bahwa berbhakti kepada orang tua merupakan
tindakan yang berpahala baik daam kehidupan kini maupun kelak.

3. Nilai Estetika
Nilai Estetik dalam Kakawin Arjunawijaya dapat disimak melalui
ungkapan-ungkapan bahasa pengarang dalam memparkan pengalaman estetiknya.
Nilai tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Nyàûanyàrjeng yawà ngungkuli jurang adalëm tiraning marga lilà,
Nyudhanta wah kahimbang sasusuning alangö lënglëng amrih kalangwan,
Ngkà tang strì ratna kàli kawula nika katon lwir tan ing ràt winuwus,
Pinten kasih tëkap sang kawi sira tumutur de ni göng ning langöng”.
( Kakawin Arjunawijaya.XXII.12)
Terjemahannya:
Balai tempat duduknya serasi di atas jurang yang dalam ditepi jalan,
kelapa gadingnya bagaikan buah dadanya yang terlena oleh keindahan,
Disana tampak seorang wanita cantik diirinngi pelayannya itu terlihat seolah-olah
tidak berada di bumi dikatakan,
Dikasihi oleh sang pujangga karen beliau yang mengerti tentang keutamaan cinta dan
keindahan.
Kutipan diatas melukiskan keindahan yang dilukiskan berupa keindahan
alam dan kecantikan yang dilukiskan pengarang dengan pemilihan kata yang tepat
sehingga keindahan yang disampaikan oleh pengarang dapat dirasakan oleh
pembaca atau penikmat karya sastra tersebut.

PENUTUP
Penelitian terhadap Konvensi Kakawin Arjunawijaya meliputi Konvensi
Bahasa, Konvensi Budaya dan Konvensi Sastra. Ditinjau dari Konvensi Bahasa
Kakawin Arjunawijaya menggunakan bahasa Jawa Kuno yang kata-katanya juga
merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta. Di samping itu penggunaan gaya
bahasa seperti gaya bahasa perumpamaan, personifikasi da Hiperbola., juga
adanya permainan bunyi (alangkara) mencerminkan bahwa Kakawin ini

44 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

merupakan karya sastra yang indah ditinjau dari konvensi bahasanya. Konvensi
sastra dalam manggala Kakawin Arjunawijaya menunjukkan adanya pemujaan
terhadap Dewa Úiwa dn Buddha. Inti cerita mengisahkan tentang kemenangan
dharma yang diwakili oleh tokoh Arjuna Úahasrabàhu melawan adharma
(kejahatan) yang diwakili oleh tokoh Ràwaóa. Penutup cerita berisi tentang sikap
rendah hati pengarang. Konvensi Budaya dalam Kakawin Arjunawijaya
menunjukkan adanya toleransi beragama yang tinggi yaitu perpaduan antara ajaran
Úiwa Budha. Nilai- nilai Kakawin Arjunawijaya adalah Nilai Religius, Nilai Etika
dan Nilai Estetika. Nilai Religius dicerminkan oleh tokoh cerita Ràwaóa dan
saudaranya yang taat melakukan pemujaan yaitu dengan melakukan tapa, yoga dan
semadi. Nilai Etika di wakili oleh Tokoh Dewi Wedawatì yang memiliki sikap
berbakti terhadap orang tua. Sedangkan Nilai Estetika daam Kakawin Arjunawijaya
berupa ungkapan pengarang tentang keindahan yaitu keindahan alam dan
kecantikan tokoh ceritanya.

DAFTAR PUSTAKA

Agastya, I.B Gde. 1987.Segara Giri Kumpulan Esei Jawa Kuna: Denpasar : Wyasa
Sanggraha.
Cudamani, 1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
Hardiman,Budi F. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernias. Yogyakarta:
Kanisius.
Hutagalung,M.S. Jalan Tak Ada Ujung Muchtar Lubis.Jakarta: Gunung Agung.
Karim , M. Rusli.1994. Agama Modernisasi dan Sekularisasi . Yogya: Tiara
Wacana
Kajeng, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
Keraf, Drs. Gorys. 1980. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah-Arnolus.
Kosasih.2004. Bintap Bahasa Indonesia SMA. Bandung: CV Yama Widya
Kusuma, I Nyoman Weda, 2005. Kakawin Usana Bali Karya Dang Hyang
Nirartha: Suntingan Teks, Terjemahan dan Telaah Konsep-konsep
keagamaan. Denpasar : Pustaka Larasan.
Koentjaraningrat.1974. Kebudayaan dan Mentalitet Pembangunan. Jakarta:
Gramedia
Mantra, IB. 2002 .”Pengertian Úiwa Buddha Dalam Sejarah Indonesia” dalam
Úiwa Buddha. Puja di Indonesia. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Mardiwarsito, L.1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia . Ende Flores: Nusa Indah.
Mastuti, Dwi Woro Retno .2009.Kakawin Sutasoma Mpu Tantular. Jakarta:
Komunitas bambu.
Medera, Nengah. 1996. “Kakawin dan Mabebasan di Bali”. Denpasar: Jurusan
Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

45 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013


Anak Agung Istri Anom, Kovensi dan Nilai Kakawin Arjunawijaya

Nida, Diartha.2003. Sinkretisasi Úiwa Buddha Di Bali kajian Historis Sosiologis.


Denpasar: Pustaka Bali Post.
Nurkancana, Wayan.1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar: Bali
Pos.
Pudja, Gede (dkk) Theologi Hindu ( Brahma Widya).Jakarta: Mayasari.
Poerwadarminta.1976. Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka.
Robson, S.O. “Pengkajian Sastra-sastra Tradisiona Indonesia”. Dalam Majalah
Bahasa dan Sastra IV/6. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Sanatana Dharma sarana 1988. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya Paramita.
Sri Sukesi Adiwimarta.1993. “Unsur-unsur Ajaran Dalam Kakawin Parthayajña”.
Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Denpasar: CV. Percetakan Bali
Sugriwa, I G.B. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar: Sarana bhakti
Sabha
Sudjiman. Panuti. Ed. 1984. Kamus Istilah sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sumarjo. Yakob. 1984. Memahami Kesusastraan.Bandung: Alumni
Supomo, S.1997. arjunawijaya A Kakawin of Mpu Tantular. Bibliothieca
Indonesia14 KITLV. The hague: Martinus Nijhoff.
Titib, 1998. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan.Surabaya: Paramitha.
, 2001. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu.Surabaya:
Badan Litbang Parisadha Hindu Dharma Pusat Bekerjasama dengan
Paramitha.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Wisarja, Ketut 2001. Nilai-nilai dan Ajaran yang terkandung dalam Geguritan
Mantri alit. Denpasar: STAHN.
Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwâha. Duta Wacana University Press,
Yogyakarta.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan
ke-2. Jakarta: Djambatan.
_______. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Naskah:
Alih Aksara Lontar Kakawin Arjunawijaya, Th.1995. Denpasar : Kantor
Dokumentasi Budaya Bali.
Alih Aksara Lontar Kakawin Arjunawijaya, Th.1982. Singaraja : Gedong Kirtya

46 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai