Anda di halaman 1dari 15

Resume Disertasi

ARJUNAWIWAHA
Transformasi Teks Jawa Kuna
Lewat Tanggapan Dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa

Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester


pada Mata Kuliah Penggarapan Naskah Semester VI
yang Diampu oleh Drs. Moh. Muzakka M.Hum.

Disusun oleh:
Dewi Umi Kulsum 13010115130064
Dyah Pamularsih 13010115130052

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia banyak yang tidak tahu akan sejarah
bangsanya sendiri. Kisah sejarah suatau bangsa biasanya terdapat pada
benda-benda dan dokumen peninggalan nenek moyang. Dokumen-
dokumen biasanya berupa naskah tulis tangan dan buku. Naskah-naskah
tersebut kemudian dikaji dan diteliti oleh para peneliti untuk mengungkap
fakta sejarah. Selain diteliti naskah tersebut juga disalin beberapa kali
sebagai bukti sejarah dan sebagai pedoman dalam hidup bermsyarakat.
Teks-teks dari masa lampau sampai sekarang disalin, kesalaan tulis
juga tidak dapat dihapus seketika sehingga banyak kata susulan yang
disisipkan sebagai revisi, atau kata yang salah itu “diakali” sedemikian rupa
agar tidak terbaca, dan karena ketersediaan kertas yang belum memadai
manjadikan penjelasan yang dirasa penting malah berebut ruang serta ditulis
secara acak-acakan di sekeliling teks utamanya. dalam proses penyalinan
itu, seringkali mengakibatkan semakin jauhnya sebuah teks dari versi asli
yang ditulis pengarangnya. Oleh karena itu penulis mengkaji disertasi yang
berjudul “ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat
Tanggapan Dan Penciptaan Di Lingkungan Sastra Jawa” karya Ignatius
Kuntsrs Wiryamartana. Untuk mengungkap beberapa naskah arjunawiwaha
melalui beberapa versi dan kemudian dikritisi dan dijelaskan tanggapan
pembaca setelah membaca beberapa versi naskah tersebut.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kakawin Arjunawiwaha ?
2. Bagaimana Sinopsis dan Ikhtisar Cerita Kakawin Arjunawiwaha ?
3. Apa Latar Belakang Dan Tujuan I. Kuntara W. Menulis Disertasi
Disertasi Yang Berjudul “Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa
Kuna Lewat Tanggapan Dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa” ?
4. Apa Pendektan Dan Metode Yang Digunakan Dalam Penulisan Disertsi
yang Berjudul “Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat
Tanggapan Dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa” ?
5. Bagaimana Hasil Penelitian Ignatius Kuntara Wiryamartana dalam
Disertasinya yang Berjudul “Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa
Kuna Lewat Tanggapan Dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa”

3. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Sejarah Kakawin Arjunawiwaha
2. Menjeskan Sinopsis dan Ikhtisar Cerita Kakawin Arjunawiwaha
3. Menjelaskan Latar Belakang Dan Tujuan I. Kuntara W. Menulis
Disertasi Disertasi yang Berjudul “ARJUNAWIWAHA: Transformasi
Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan Dan Penciptaan di Lingkungan
Sastra Jawa”
4. Menjelaskan Pendektan Dan Metode yang Digunakan Dalam Penulisan
Disertsi Disertasi yang Berjudul “ARJUNAWIWAHA: Transformasi
Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan Dan Penciptaan Di Lingkungan
Sastra Jawa”
5. Menjelaskan Hasil Penelitian Ignatius Kuntara Wiryamartana Dalam
Disertasinya yang Berjudul “ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks
Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra
Jawa”
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Sejarah Kakawin Arjunawiwaha


Arjunawiwaha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya
sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga,
yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi.
Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.

1.2 Sinopsis dan Ikhtisar Cerita Kakawin Arjunawiwaha


1.2.1 Sinopsis Kakawin Arjunawiwaha
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru.
Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini
diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi
Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka
Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka
berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah
itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi
pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga
memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna
diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang
mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah
boleh mengawini tujuh bidadari ini.

1.2.2 Ikhtisar Cerita Kakawin Arjunawiwaha


Ringkasan ini berdasarkan ulasan P.J. Zoetmulder (1983:298-302) dan
terjemahan Ignasius Kuntara Wiryamartana (1990:124-182).
Niwātakawaca, seorang raksasa (daitya) mempersiapkan diri untuk
menyerang dan menghancurkan kahyangan Batara Indra. Karena raksasa itu
tak dapat dikalahkan, baik oleh seorang dewa maupun oleh seorang raksasa,
maka Batara Indra memutuskan untuk meminta bantuan dari seorang
manusia. Pilihan tidak sukar dan jatuh pada sang Arjuna yang sedang
bertapa di gunung Indrakīla. Namun sebelum Arjuna diminta bantuannya,
terlebih dahulu harus diuji ketabahannya dalam melakukan yoga, karena ini
juga merupakan jaminan agar bantuannya benar-benar membawa hasil
seperti yang diharapkan. Maka tujuh orang bidadari yang kecantikannya
sungguh menakjubkan dipanggil. Kedua bidadari yang terpenting bernama
Suprabhā dan Tilottamā, mereka semua diperintahkan untuk mengunjungi
Arjuna lalu mempergunakan kecantikan mereka untuk merayunya.
Maka berjalanlah para bidadari melalui keindahan alam di gunung Indrakīla
menuju tempat bertapanya sang Arjuna. Mereka beristirahat di sebuah
sungai lalu menghias diri dan membicarakan bagaimana cara terbaik untuk
mencapai tujuan mereka. Mereka sampai pada gua tempat Arjuna duduk,
terserap oleh samadi, lalu memperlihatkan segala kecantikan mereka dan
mempergunakan segala akal yang dapat mereka pikirkan guna
menggodanya, tetapi sia-sia belaka. Dengan rasa kecewa mereka pulang ke
kahyangan dan melapor kepada batara Indra. Namun bagi para dewa
kegagalan mereka merupakan suatu sumber kegembiraan, karena dengan
demikian terbuktilah kesaktian Arjuna.
Tertinggallah hanya satu hal yang masih disangsikan: apakah tujuan Arjuna
dengan mengadakan yoga semata-mata untuk memperoleh kebahagiaan dan
kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia tidak menghiraukan
keselamatan orang lain? Maka supaya dalam hal yang demikian penting itu
dapat diperoleh kepastian, Indra sendiri yang menjenguk Arjuna dengan
menyamar sebagai seorang resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Sang resi
tua ini berpura-pura batuk dan lalu disambut dengan penuh hormat oleh sang
Arjuna yang sebentar menghentikan tapanya dan dalam diskusi falsafi yang
menyusul terpaparlah suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan
dalam makna yang sejati. Dalam segala wujudnya, termasuk kebahagiaan
di sorga, kekuasaan dan nikmat termasuk dunia semu dan ilusi; karena
hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, maka tetap jauh dari Yang
Mutlak. Barangsiapa ingin mencapai kesempurnaan dan moksa, harus
menerobos dunia wujud dan bayang-bayang yang menyesatkan, jangan
sampai terbelenggu olehnya. Hal seperti ini dimengerti oleh Arjuna. Ia
menegaskan, bahwa satu-satunya tujuannya dalam melakukan tapa brata
ialah memenuhi kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu
kakaknya Yudistira untuk merebut kembali kerajaannya demi kesejahteraan
seluruh dunia. Indra merasa puas, mengungkapkan siapakah dia sebenarnya
dan meramalkan, bahwa Batara Siwa akan berkenan kepada Arjuna, lalu
pulang. Arjuna meneruskan tapa-bratanya.Dalam pada itu raja para raksasa
telah mendengar berita apa yang terjadi di gunung Indrakila. Ia mengutus
seorang raksasa lain yang bernama Mūka untuk membunuh Arjuna. Dalam
wujud seekor babi hutan ia mengacaukan hutan-hutan di sekitarnya. Arjuna,
terkejut oleh segala hiruk-pikuk, mengangkat senjatanya dan keluar dari
guanya. Pada saat yang sama dewa Siwa, yang telah mendengar bagaimana
Arjuna melakukan yoga dengan baik sekali tiba dalam wujud seorang
pemburu dari salah satu suku terasing, yaitu suku Kirāṭa. Pada saat yang
sama masing-masing melepaskan panah dan babi hutan tewas karena
lukanya. Kedua anak panah ternyata menjadi satu. Terjadilah perselisihan
antara Arjuna dan orang Kirāṭa itu, siapa yang telah membunuh binatang
itu. Perselisihan memuncak menjadi perdebatan sengit. Panah-panah Siwa
yang penuh sakti itu semuanya ditanggalkan kekuatannya dan akhirnya
busurnya pun dihancurkan. Mereka lalu mulai berkelahi. Arjuna yang
hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si
pemburu lenyap dan Siwa menampakkan diri.
Batara Siwa bersemayam selaku ardhanarīśwara 'setengah pria, setengah
wanita' di atas bunga padma. Arjuna memujanya dengan suatu madah pujian
dan yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Siwa yang hadir dalam
segala sesuatu. Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah yang
kesaktiannya tak dapat dipatahkan; namanya Pasupati. Sekaligus diberikan
kepadanya pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu.
Sesudah itu Siwa lenyap.
Tengah Arjuna memperbincangkan, apakah sebaiknya ia kembali ke sanak
saudaranya, datanglah dua apsara 'makhluk setengah dewa setengah
manusia', membawa sepucuk surat dari Indra; ia minta agar Arjuna bersedia
menghadap, membantu para dewa dalam rencana mereka untuk membunuh
Niwatakawaca. Arjuna merasa ragu-ragu, karena ini berarti bahwa ia lebih
lama lagi terpisah dari saudara-saudaranya, tetapi akhirnya ia setuju. Ia
mengenakan sebuah kemeja ajaib bersama sepasang sandal yang dibawa
oleh kedua apsara, dan lewat udara menemai mereka ke kahyangan batara
Indra. Ia disambut dengan riang gembira dan para bidadari merasa tergila-
gila. Indra menerangkan keadaan yang tidak begitu menguntungkan bagi
para dewa akibat niat jahat Niwatakawaca. Raksasa itu hanya dapat
ditewaskan oleh seorang manusia, tetapi terlebih dahulu mereka harus
menemukan titik lemahnya. Sang bidadari Suprabha yang sudah lama
diincar oleh raksasa itu, akan mengunjunginya dan akan berusaha untuk
mengatahui rahasianya dengan ditemani oleh Arjuna. Arjuna menerima
tugas itu dan mereka turun ke bumi. Suprabha pura-pura malu karena
hubungan mereka tampak begitu akrab, akibat tugas yang dibebankan
kepada mereka. Dalam kepolosannya Suprabha tidak menghiraukan kata-
kata manis Arjuna dan berusaha membelokkan percakapan mereka ke hal-
hal lain. Waktu sore hari mereka sampai ke tempat kediaman si raja raksasa;
di sana tengah diadakan persiapan-persiapan perang melawan para dewata.
Sang Suprabha, sambil membayangkan bagaimana ia akan diperlakukan
oleh Niwatakawaca, merasa tidak berani melaksanakan apa yang ditugaskan
kepadanya, tetapi ia diberi semangat oleh Arjuna. Ia pasti akan berhasil asal
ia mempergunakan segala rayuan seperti yang diperlihatkan ketika Arjuna
sedang bertapa di dalam gua, biarpun pada waktu itu tidak membuahkan
hasil.

Suprabha menuju sebuah sanggar mestika (balai kristal murni), di tengah-


tengah halaman istana. Sementara itu Arjuna menyusul dari dekat. Namun
Arjuna memiliki aji supaya ia tidak dapat dilihat orang. Itulah sebabnya
mengapa para dayang-dayang yang sedang bercengkerama di bawah sinar
bulan purnama, hanya melihat Suprabha. Beberapa dayang-dayang yang
dulu diboyong ke mari dari istana Indra, mengenalinya dan menyambutnya
dengan gembira sambil menanyakan bagaimana keadaan di kahyangan.
Suprabha menceritakan, bagaimana ia meninggalkan kahyangan atas
kemauannya sendiri, karena tahu bahwa itu akan dihancurkan; sebelum ia
bersama dengan segala barang rampasan ditawan, ia menyeberang ke
Niwatakawaca. Dua orang dayang-dayang menghadap raja dan membawa
berita yang sudah sekian lama dirindukannya. Seketika ia bangun dan
menuju ke taman sari. Niwatakawaca pun menimang dan memangku sang
Suprabha. Suprabha menolak segala desakannya yang penuh nafsu birahi
dan memohon agar sang raja bersabar sampai fajar menyingsing. Ia
merayunya sambil memuji-muji kekuatan raja yang tak terkalahkan itu, lalu
bertanya tapa macam apa yang mengakibatkan ia dianugerahi kesaktian
yang luar biasa oleh Rudra. Niwatakawaca terjebak oleh bujukan Suprabha
dan membeberkan rahasianya. Ujung lidahnya merupakan tempat
kesaktiannya. Ketika Arjuna mendengar itu ia meninggalkan tempat
persembunyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca
terkejut oleh kegaduhan yang dahsyat itu; Suprabha mempergunakan saat
itu dan melarikan diri bersama Arjuna.
Meluaplah angkara murka sang raja yang menyadari bahwa ia telah tertipu;
ia memerintahkan pasukan-pasukannya agar seketika berangkat dan
berbaris melawan para dewa-dewa. Kahyangan diliputi suasana gembira
karena Arjuna dan Suprabha telah pulang dengan selamat. Dalam suatu
rapat umum oleh para dewa diperbincangkan taktik untuk memukul mundur
si musuh, tetapi hanya Indra dan Arjuna yang mengetahui senjata apa telah
mereka miliki karena ucapan Niwatakawaca yang kurang hati-hati. Bala
tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan pertempuran di
lereng selatan pegunungan Himalaya.
Menyusullah pertempuran sengit yang tidak menentu, sampai
Niwatakawaca terjun ke medan laga dan mencerai-beraikan barisan para
dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang bertempur di
belakang barisan tentara yang sedang mundur, berusaha menarik perhatian
Niwatakawaca. Pura-pura ia terhanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit,
tetapi busur telah disiapkannya. Ketika raja para raksasa mulai mengejarnya
dan berteriak-teriak dengan amarahnya, Arjuna menarik busurnya, anak
panah melesat masuk ke mulut sang raja dan menembus ujung lidahnya. Ia
jatuh tersungkur dan mati. Para raksasa melarikan diri atau dibunuh, dan
para dewa yang semula mengundurkan diri, kini kembali sebagai pemenang.
Mereka yang tewas dihidupkan dengan air amrta dan semua pulang ke
sorga. Di sana para istri menunggu kedatangan mereka dengan rasa was-
was jangan-jangan suami mereka lebih suka kepada wanita-wanita yang
ditawan, ketika mereka merampas harta para musuh. Inilah satu-satunya
awan yang meredupkan kegembiraan mereka.
Kini Arjuna menerima penghargaan bagi bantuannya. Selama tujuh hari
(menurut perhitungan di sorga, dan ini sama lama dengan tujuh bulan di
bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari kelakuannya yang penuh
kejantanan itu: ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas
singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan
sampai tujuh kali dengan ketujuh bidadari. Satu per satu, dengan diantar
oleh Menaka, mereka memasuki ruang mempelai. Yang pertama datang
ialah Suprabha, sesudah perjalanan mereka yang penuh bahaya, dialah yang
mempunyai hak pertama. Kemudian Tilottama lalu ke lima yang lain, satu
per satu; nama mereka tidak disebut. Hari berganti hari dan Arjuna mulai
menjadi gelisah. Ia rindu akan sanak saudaranya yang ditinggalkannya. Ia
mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan
perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka
dan Tilottama. Yang terakhir ini berdiri di balik sebatang pohon dan
mendengar, bagaimana Arjuna menemui kesukaran dalam menggubah baris
penutup bait kedua. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris
yang lucu. Maka setelah tujuh bulan itu sudah lewat, Arjuna berpamit
kepada Indra; ia diantar kembali ke bumi oleh Matali dengan sebuah kereta
sorgawi. Kakawin ini ditutup dengan keluh kesah para bidadari yang
ditinggalkan di sorga dan sebuah kolofon mpu Kanwa.

1.3 Latar Latar Belakang dan Tujuan I. Kuntara W. Menulis Disertasi


“ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan
Dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa”
Latar belakang Ignatius Kuntara Wiryamartana menulis buku ini, karena
banyaknya tanggapan pembaca atas kakawin arjunawiwaha itu ada yang berupa
karya sastra baru. Karya sastra baru itu dapat dikatakan merupakan transformasi
teks itu sekaligus termuat pula tanggapan pembaca, yakni pencipta karya sastra
itu, atas teks kakawin arjunawiwahakurangnya perhatian para ahli terhadap
singir yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa terutama di kalangan
masyarakat. Masalah transformasi teks dan tanggapan pembaca yang dibahasa
dalam buku ini.
Disertasi yang berjudul “ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks Jawa Kuna
Lewat Tanggapan Dan Penciptaan Di Lingkungan Sastra Jawa” semula
merupakan disertasi yang dipertahankan pada tanggal 2 November 1987 dalam
rapat senat terbatas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

1.4
1.5
1.6

Ignatus Kuntara Wiryamartana menulis buku ini dengan menggunakan Analisis


resepsi dimana teks media mendapatkan makna pada saat peristiwa penerimaan,
dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima
dan menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan budaya mereka
(Tuchman 1994; van Zoonen 1994; Kellner 1995; MacBeth 1996 dalam
CCMS:2002).
Disertasi yang berjudul “ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks Jawa Kuna
Lewat Tanggapan Dan Penciptaan Di Lingkungan Sastra Jawa” semula merupakan
disertasi yang dipertahankan pada tanggal 2 November 1987 dalam rapat senat
terbatas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Buku ini terdiri dari 5 bab diantaranya, pengantar pada bab 1, kakawin
arujawiwaha pada bab 2, Proses penjarwaan kakawin arjunawiwaha pada bab 3,
Perkembangan tanggapan pembaca atas kakawin arjunawiwaha pada bab 4, dan
yang terakhir simpulan pada bab 5. Selain itu, buku ini dilengkapi juga dengan
daftar pustaka, lampiran, dan indeks.
Landasan Teori
Penelitian dalam studi “ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat
Tanggapan Dan Penciptaan Di Lingkungan Sastra Jawa” ini, berpusat pada teks dan
transformasinya lewat tanggapan dan penciptaan dari pihak pembaca, berusaha
menjembatani dua bidang ilmu, yakni filologi atau kritik teks dan ilmu sastra. Hal
tersebut ditempuh untuk menghindari bahaya pemutlakan salah satu bidang ilmu
saja. Kritik teks tidak mungkin dilaksanakan tanpa analisis sastra dan penafsiran,
sedangkan studi sastra tidak mungkin dilaksanakan tanpa dengan kritis meninjau
sumber-sumber teksnya (Teeuw, 1986:19).
Penelitian “ARJUNAWIWAHA: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan
Dan Penciptaan Di Lingkungan Sastra Jawa” ini, pembacaan dan penafsiran teks
dipandang sebgai dua aspek dari studi teks (Scholes, 1985:25). Disini hendak
dijembatani antara puitika yang berhubungan dengan taksonomi dan interaksi
sruktur-struktur puitik, dan hermenuitika yang berhubungan dengan arti teks
(DeMan 1986: 55-56). Pembacaan teks berdasarkan puitika yang berusaha
menggali struktur, konveksi-konveksi, dan kode-kode yang termuat didalam teks
(Culler, 1975), terarah pada penafsiran teks yang berusaha menetapkan arti dan
makna teks (Riffaterre, 1978). Dalam penelitian ini digali kaidah-kaidah puitik dan
estetik yang mendasari pencitaan teks dan ditarik konsekuensinya untuk pembacaan
dan penafsiran teks.
Sebagai sebuah teori, filologi tentu memiliki tahapan metodologis yang harus
dilalui untuk menghasilkan sebuah edisi. Dalam penulisan disertasi ini, ignatius
Ikuntara wiryaartana memggunakan edisi campuran. Hasil suntingan teks yang
diperoleh setelah menggabungkan bacaan dari satu versi teks dengan versi yang
lain, tidak mendasarkan teks yang diproduksinya dari satu sumber saja agar
terbentuk. sebuah teks dengan kualitas bacaan terbaik. Diantara versi-versi yang
dipakai dalam disertasi ini adalah terbitan poerbatjaraka dan terbitan diplomatik
teks kakawin arjunawiwaha dari naskah lontar MP 165.
Metode penelitian yang digunakan untuk diseertasi ini diantaranya dalah studi
kepustakaan yang merujuk pada beberapa sumber pustaka yang menyangkut
tentang naska-naskah kakawin arjunawiwaha, dan tentunya penulis menggunakan
juga metode penelitian lapangan.
Kakawin Arjunawiwaha dalam disertasi ini terdiri dari beberapa naskah anatara lain
:
Sebagai dasar untuk memahami perjalanan tradisi arjunawiwaha, khususnya di
Jawa disajikan terbitan teks kakawin arjunawiwaha dari naskah lontar MP (Malayo-
Polynesien) 165 (BAB II). Ada dua macam terbitan teks yaitu terbitan teks
diplomatik dan terbitan teks dengan perbaikan bacaan dan pelengkapan teks. Pada
bab III dijelaskan mengenai trnasformasi teks kakawin arjunawiwah di lingkungan
sastra Jawa. Dipaparkan puna beragam komentar, terjemahan, gubahan, dan
saduran kakawin arjunawiwaha ke dalam bahasa Jawa baru yang meliputi karya-
karya prosa dan puisi. Secara khusus dibahas Wiwaha Kawi-Jawa yang merupakan
dasar Serat Wiwaha Jarwagubahan Pakubuana III ebih dulu dijelaskan masalah
penyuntingan dan penerbitan teks Gericke (1844). Uraian mengenai penciptaan
setar wiwaha jarwa gubahan winter dimulai dengan pembicaraan tentang teks-teks
wiwaha kawi yang diwariskan di lingkungan sastra keraton surakarta. Secara
Khusus dibahas pula wiwaha kawi Surakarta (naskah LOR 1792) beserta dengan
komentarnya, yang menjadi dasar serat wiwaha jarwa gubahan winter. Sebelum
membahas cara kerja winter terlebih dahulu dijernihkan masalah pengarangan
winter dan tahap-tahap penyalinan teks sampai pada bentuk cetakan. Bab III
diakhiri dengan pembicaraan tentang penggubhan serat wiwaha jarwa oleh winter
dengan memperhatikan pembinaan keutuhan teks dan cerita serta cara pengalihan
teks prosa menjadi teks puisi (tembang macapat).
Kemudian dibahas perkembangan tanggapan pembaca atas kakawin arjunawiwaha
yang dimengerti sebagai sisi lain dari transformasi teks (Bab IV). Sebagai titik tolak
pembicaraan disajikan analisis kakawin arjunawiwaha, hasil bacaan dan tafsiran
peneliti. Analisis itu memperhatikan aneka tataran struktur, tataran semantik, dan
tataran estetik, serta konsekuensinya untuk pembacaan dan penafsiaran teks. Bab
IV diakhiri dengan analisis serat wiwaha jarwa kawi gubahan winter yang
engungkapkan tanggapan winter dengan memperhatikan faktor-faktor yang
berperan didalamnya. Dibicarakannya juga pembagian pupuh dan pemakaian
metrum yang menampilkan tanggapan khas winter.
Ketiga bagian uraian itu (II-IV) disertai dengan rangkuman yang memuat pokok-
pokok hasil penelitian yang dicapai pada bagian itu masing-masing.
Pada bagian kesimpulan (V) menyajikan kembali pokok-pokok hasil penelitian
secara menyeluruh.
Pelacakan tradisis arjunawiwaha yang diwariskan di sastra keraton surakarta pada
akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19, menunjukkan kesinambungan dengan tradisi
arjunawiwaha yang diwariskan di lingkungan sastra merbabu dan merapi pada akhir
abad 17 dan awal abad ke 18.
Tradisi arjunawiwaha di lingkugan sastra merbabu mempunyai dua cabang tradisi,
yang diwakili oleh dua kelompok teks:
1. Teks kakawin arjunawiwaha, yang tidak mempunyai sisipan sesudah A.W
1.8, seperti yang termuat dalam naskah lontar 164.
2. Teks kakawin arjunawiwaha, yang mempunyai sisipan satu bait sesudah
A.W 1.8, seperti yang termuat dalam naskah lontar 164.

Arjunawiwaha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra
ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang
memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi.
Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru.
Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini
diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi
Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara
Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi
soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor
babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang
bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata
pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh
Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil
dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.

Oleh para pakar ditengarai bahwa kakawin Arjunawiwaha berdasarkan


Wanaparwa, kitab ketiga Mahābharata.
Kakawin arjunawiwaha terdiri dari beberapa naskah antara lain :
Naskah Nipah 641. Jakarta: Museum Nasional
Naskah Lontar 164. Jakarta: Museum Nasional
Naskah Lontar 181. Jakarta: Museum Nasional
Naskah Lontar 220. Jakarta: Museum Nasional
Naskah CS 171. Jakarta: Museum Nasional
Naskah KBG 28. Jakarta: Museum Nasional
Naskah KBG 256. Jakarta: Museum Nasional
Naskah KBG 342. Jakarta: Museum Nasional
Naskah KBG 531. Jakarta: Museum Nasional
Naskah LoT 4070. Leiden: Universiteit-Bibliotheek
Naskah Lontar Malayo-Polynesien 164. Paris: Bibliotheque Nationale
Naskah Lontar Malayo-Polynesien 165. Paris: Bibliotheque Nationale
Sedangkan untuk pendekataan yang dilakukan oleh penulis adalah Pendekatan
Resepsi Sastra. Aktivitas pemberian makna oleh pembaca dari waktu ke waktu
pada karya sastra tidak tetap, selalu berubah-ubah sebab sebuah karya sastra
selalu menyuarakan hal-hal yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh horizon
harapan (horizon expectation) pembaca yang selalu berubah-ubah dan adanya
jarak estetik dalam horizon itu yang disebabkan oleh munculnya karya-karya
sastra yang baru (Jauss, 1983:23-25).

Anda mungkin juga menyukai