Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era globalisasi, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan membawa
dunia semakin terbuka seolah tanpa batas dan membawa berbagai pengaruh pada
semua aspek kehidupan. Untuk menyaring/memfilter pengaruh negatif umat
Hindu perlu meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama di dalam
kehidupan sehari-hari.
Kenyataan menunjukan berbagai hal merebak dimasyarakat bangsa kita
seperti korupsi kriminalitas, pemakaian obat terlarang, pencurian, perkelahian
antar warga, mencerminkan rendahnya pengamalan ajaran agama atau rendahnya
etika dan tata susila yang melandasi perilaku masyarakat. Terlihat adanya
kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi secara normatif dengan perilaku
realitas kehidupan nyata sehari-hari dimasyarakat.
Ajaran agama yang dihayati, dimengerti dan diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari hendaknya mendasari perilaku, moral dan menjadi filter dalam
menangkal pengaruh negatife yang ada jika pendidikan agama yang diperoleh
masyarakat benar-benar menginternalisasi tidak saja sebatas teori tanpa praktek
dan gersang. Agama merupakan jalan lengkap dengan papan petunjuk yang
menuntun umat manusia kearah yang benar menuju tujuan hidup yang dalam
agama Hindu adalah disebut Moksa.
Kitab suci Weda sebagai sumber pokok ajaran agama Hindu hendaknya
dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan untuk memahami
Weda diperlukan pemahaman berjenjang dan komprehensif dalam arti setiap
orang yang ingin memahami Weda sebaiknya dari pengetahuan sederhana sampai
yang lebih dalam dan luas dengan berbagai referensi.
Dalam Sarasamuccaya dikatakan Weda hendaknya dipelajari dengan
sempurna melalui jalan mempelajari Itihasa dan Purana. Demikian pula seperti
yang ditulis dalam Vayu Purana hendaknya weda dijelaskan melalui
sejarah(Itihasa) dan Purana(sejarah dan metologi). Ini dimaksudkan bahwa

1
seseorang yang ingin mempelajari Weda hendaknya memulai dari yang mudah
untuk dipelajari kemudian secara berkelanjutan menuju yang lebih kompleks.
Kitab Wanaparwa sebagai bagian 3 dari 18 Parwa (Asta Dasar Parwa)
dalam Kitab Mahabharata menjadi kajian dalam makalah ini. Mahabharata adalah
termasuk Itihasa yang direkomendasikan untuk dipelajari sebagai awal dalam
memahami Weda. Sebagai bagian sumber ajaran agama Hindu Wanaparwa akan
dikaji dari nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalamnya,
melalui sebuah judul kajian yaitu : “Kajian Nilai-nilai Pendidikan Dalam Kitab
Wanaparwa ( Kisah Pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila)”
Dalam setiap Parwa dari Mahabharata tentunya selalu terdapat nilai-nilai
pendidikan yang terkandung di dalamnya, dan untuk memudahkan untuk
dipelajari tentu akan menjadi mudah bila kita mampu untuk menggali,
menganalisis, membreakdown bagian demi bagian dan mengelompokkan
termasuk nilai-nilai pendidikan yang mana terkandung dalam setiap Parwa
tersebut. Dalam makalah ini memfokuskan pada mengkaji kisah ketika Arjuna
melaksanakan pertapaan di Gunung Indrakila sebagai bagian atau salah satu dari
episode dalam Kitab Wanaparwa.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana ringkasan cerita Pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila dalam
Kitab Wanaparwa?
1.2.2 Apa saja nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dalam cerita Pertapaan
Arjuna Di Gunung Indrakila dan relevansinya pada kehidupan di masa
sekarang?
1.2.3 Apa saja nilai Pendidikan Logika yang terkandung dalam cerita Pertapaan
Arjuna Di Gunung Indrakila dan relevansinya di jaman sekarang?
1.2.4 Apa saja nilai Kejiwaan/Psikologis yang terkandung dalam cerita
Pertapaan Arjuna Di Gunung Indrakila

2
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui ringkasan cerita Pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila
dalam Kitab Wanaparwa.
1.3.2 Untuk mengetahui nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Kisah
Pertapaan Arjuna Di Gunung Indrakila dan relevansinya di masa sekarang.
1.3.3 Untuk mengetahui nilai Pendidikan Logika yang terkandung dalam cerita
Pertapaan Arjuna Di Gunung Indrakila dan relevansinya di jaman
sekarang.
1.3.4 Untuk mengetahui nilai Kejiwaan /Psikologis yang terkandung dalam
cerita Pertapaan Arjuna Di Gunung Indrakila.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ringkasan Cerita Pertapaan Arjuna Di Gunung Indrakila


Atas saran Rsi Byasa, Arjuna bertapa di gunung Himalaya agar
memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam Bharatayuddha. Arjuna
memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh
bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu
melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang
kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa
Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna
bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna,
mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab
bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan
rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang
selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari
Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan
anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke
hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan
seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga
bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat
seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak
panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang
dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan
yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang
menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar
menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan
siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka
dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang

4
sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat
Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu
menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta maaf kepada Sang Dewa
karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna,
justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah
berupa panah sakti bernama “Pasupati”.
Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni
kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna
menghabiskan waktu selama beberapa tahun.

2.2 Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam cerita Pertapaan Arjuna


di Gunung Indrakila dan relevansinya pada kehidupan di masa
sekarang
2.2.1 Nilai Pendidikan Tattwa
Nilai pendidikan tattwa sangat erat kaitanya dengan makna-makna
filosofis yang terkandung dalam cerita pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila.
Tentunya tiap cerita dalam itihasa mengandung makna-makna tersirat yang dapat
dikaji dari berbagai aspek dengan berpedoman pada ajaran –ajaran Hindu.
Dalam cerita ini pada intinya dapat dimaknai tercapainya kondisi Samadhi pada
diri Arjuna dengan Dewata yang dipujanya yaitu Dewa Siwa. Di dalam ajaran
Hindu dikenal dengan adanya Catur Marga Yoga, yaitu empat jalan yang
ditempuh untuk menyatukan diri dengan Tuhan, salah satunya adalah Raja Yoga,
yaitu dengan jalan perenungan atau meditasi kepada Beliau, yang mana dilakukan
Arjuna dengan cara bertapa. Tahapan-tahapan dalam ajaran Raja Yoga meliputi
Yama, Nyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi,
dimana kesemuanya itu merupakan langkah-langkah yang dilakukan secara
bertahap dalam usaha pengendalian diri dan pemusatan pikiran kepada Tuhan.
Dewa Indra adalah penguasa indria-indria mahluk hidup, yang dalam
wujud lahiriah adalah keinginan-keinginan manusia itu sendiri, dari indriya inilah
manusia mengenal kesenangan, kesedihan, dan kepuasan, yaitu Panca
Karmendriya dan panca budhindriya, maka untuk dapat mencapai tujuan hakiki

5
dalam ajaran Hindu, indriya-indriya ini haruslah kita kuasai atau dikendalikan.
Pengendalian ini dilakukan dengan jalan memuja Siwa. Siwa disebut pula
Yogiswara, rajanya para Yogi (ahli menguasai indria), oleh karena itu manusia
harus berkesadaran Tuhan (Siwa), sehingga sangatlah perlu manusia senantiasa
beryoga menghubungkan diri dengan Dewa Siwa agar tidak terjerumus oleh
indrianya.
Gunung Indrakila menjadi tempat pertapaan Arjuna, dapat dikaji bahwa
gunung menurut Hindu merupakan tempat sthana para Hyang Suci termasuk para
Dewata. Simbol gunung yang suci diberi istilah meru sebagai representasi dari
sistem kosmos (alam raya) dimana melambangkan sifat awal dan akhir,
simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan
kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Bagi seorang sadhaka, gunung itu terletak di
sahasrara padma, di kepala manusia, tempat Hyang Siwa menurunkan ajaran –
ajaranNya.. Indrakila di sini dapat dimaknai sebagai kondisi terlampauinya indria-
indria yang rendah atau kontemplasi pikiran yang yang telah memuncak (kondisi
Samadhi). Jadi dapat dihubungkan bahwa Gunung Indrakila merupakan suatu
sarana penyatuan diri dengan Tuhan, yang mana dengan pemahaman dan
penguasaan akan ajaran-ajaran rohani, seseorang akan mampu terlepas dari ikatan
keduniawian.
Bersatunya panah Arjuna dengan panah Dewa Siwa adalah simbol suatu
keberhasilan Tapa Brata untuk menyatukan pikiran dengan Tuhan. Panah dapat
diidentikan dengan Manah atau pikiran, sedangkan babi raksasa itu adalah simbol
Guna Tamas yang sering membawa manusia hidup loba dan angkara murka. Guna
Tamas itu dapat ditundukkan oleh pikiran suci. Menguasai semuanya itulah tujuan
dari suatu Tapa Brata. Intinya Arjuna sebagai seorang kesatria baru akan dapat
melakukan tugas-tugasnya apabila dia telah dapat mawas diri dan memiliki
ketetapan hati, sehingga tidak mudah goyah dalam melindungi rakyat dari
kehidupan yang sangsara.
Selanjutnya mengenai panah Pasupati mengandung makna pembinasaan
sifat hewan dalam diri manusia. Dalam evolusinya yang panjang, sifat hewani
masih ada dalam diri manusia. Pashu atau pasu adalah hewan dan Pati berarti

6
mati. Dalam ajaran Hindu sifat hewan ini identik sifat keraksasaan atau
diistilahkan dengan Asuri Sampad. Selama sifat-sifat ini masih menguasai diri
maka akan terjatuhlah kehidupan manusia ke dalam lembah kesengsaraan, maka
dengan pembinasaan sifat-sifat ini manusia akan mampu meningkatkan kualitas
hidupnya baik secara jasmani maupun rohani dalam rangka memperoleh
kebahagiaan yang diidamkan.
Dari beberapa kajian filosofis di atas bila dikaitkan dengan kehidupan
umat Hindu di masa sekarang, dapat dikatakan sangat berbanding terbalik dengan
ajaran-ajaran tersebut. Umat Hindu di Bali lebih mementingkan pelaksanaan suatu
upacara daripada konsep pengendalian diri dan penyatuan pikiran kepada Tuhan.
Umat terlalu sibuk dengan upakara dan pelaksanaan upacara tanpa penghayatan
pada ajaranya, bahkan berlomba-lomba membuat upacara yang megah sebagai
symbol kemampuan financial dan rasa gengsi yang berlebihan, sehingga lama-
kelamaan hal ini menjadi beban dan mengikis sraddha dalam diri umat. Sepertinya
konsep pengekangan indria-indria ini sangat jauh dan rasanya sulit tersentuh,
perilaku masih sangat terpengaruh oleh sifat keraksasaan yang semakin
menjerumuskan pada kebodohan dan kesengsaraan. Dalam bersembahnyang
kebanyakan umat tidak melaksanakanya dengan keikhlasan karena masih banyak
permohonan-permohonan yang bersumber dari pemenuhan keinginan-keinginan
duniawi semata.

2.2.2 Nilai Pendidikan Susila/Etika


1. Sikap Hormat Kepada Catur Guru
Nilai pendidikan susila/ etika yang sangat menonjol dalm cerita pertapaan
Arjuna ini adalah sikap hormat kepada Guru., yang mana di dalam Agama Hindu
disebut dengan ajaran Guru Sususra. Guru Susrusa, adalah sujud bhakti dan
hormat kepada guru, yakni Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Wisesa, dan Guru
Swadyaya. Guru susrusa berhubungan erat dengan yang namanya Guru Bhakti
(sujud terhadap guru). Peran seorang guru sangatlah penting dalam mendidik
manusia menjadi seorang yang berguna di dalam kehidupanya, atau menjadi
manusia seutuhnya baik melalui pendidikan moral dan agama. Jadi seorang guru

7
haruslah kita hormati selalu. Dalam cerita pertapaan Sang Arjuna digambarkan
bagaimana seorang Arjuna yang begitu hormat kepada keempat Guru, yaitu
pertama adalah Ibunya, Dewi Kunti. Arjuna adalah anak yang sangat berbakti,
bahkan untuk menjaga Ibu dan dan keempat saudaranya Arjuna pergi bertapa
dengan tujuan mendapatkan senjata sakti yang nantinya digunakan dalam
peperangan, sekaligus melindungi keluarganya dari kesewenang-wenangan para
Kaurawa. Begitu pula hormat dan bhakti Arjuna kepada Guru Wisesa, yakni Sang
Yudhistira sebagai Raja, salah satunya adalah dengan menjalankan kewajibanya
sebagai seorang ksatria bertapa dengan keras untuk memperoleh senjata
penghancur musuh-musuh yang digunakan dalam peperangan untuk membela
kerajaannya. Sikap hormat kepada Guru pengajian dapat disimak ketika Sang
Arjuna mengikuti petunjuk Bhagawan Byasa, pergi ke Gunung Indrakila untuk
bertapa dan juga ketika. Arjuna menghentikan sementara pertapaanya,
menyambut baik kedatangan seorang Rsi dan mendengarkan wejangan-wejangan
Beliau. Terakhir adalah sujud bhakti Arjuna pada Sang Hyang Siwa, bertapa
memohon anugrahnya, dimana termasuk sebagai penghormatan kepada Guru
Swadyaya.
Bila dikaitkan dengan kehidupan masa sekarang sikap hormat kepada
Catur Guru ini sangat perlu untuk ditanamkan sejak dini mengingat di masa kini
telah terjadi penurunan rasa hormat dan bhakti seorang anak, baik dengan orang
tuanya, guru di sekolah, pemerintah maupun Tuhanya. Contohnya pada guru di
sekolah, banyak kasus seorang siswa berani menikam gurunya sendiri dengan
senjata tajam, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang merendahkan
martabat Guru sebagai seorang pendidik, sehingga menjadi masalah yang cukup
memperihatinkan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

2. Sikap Rela Berkorban


Rela berkorban merupakan suatu perbuatan yang dilakukan untuk orang
lain dengan rasa ikhlas tanpa mengharap imbalan. Bila dikaitkan dengan ajaran
Agam Hindu sikap ini termasuk dalam pelaksanaan konsep yajnya, yakni
pengorbanan secara tulus ikhlas dalam rangka mewujudkan kebahagiaan dan

8
keharmonisan di dunia dan di akhirat. Begitu juga sikap ini terkait dengan konsep
saling asah, asih, dan asuh, dalam hidupnya manusia diharuskan untuk selalu
berbuat baik terhadap sesamanya. Perbuatan baik yang dilakukan manusia dapat
diwujudkan dengan suatu tindakan, salah satunya adalah dengan memberikan
pertolongan kepada yang membutuhkan. Dalam memberikan pertolongan
terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu. Sikap rela berkorban dalam
cerita ini dapat digambarkan dengan bagaimana sikap Sang Arjuna rela berkorban
demi Saudara, dan juga demi kesejahteraan masyarakatnya, sehingga harus
menjalankan tapa yang berat dan khusuk di Gunung Indrakila. Bila lebih
ditelusuri, sikap rela berkorban ini juga identik dengan ajaran kepemimpinan
Hindu yang disebut Satya Bela Bhakti Prabhu, yaitu sebagai sebagai yang
dipimpin atau anggota kita harus memiliki loyalitas dan rela berkorban serta
bekerja keras untuk mendukung atasan dalam pencapaian tujuan.
Jika dikaitkan dengan kehidupan masa sekarang tampaknya sikap rela
berkorban ini kian terkikis, ditandai dengan perkembangan sikap individualistis,
egoistis dan materialistis. Banyak orang saling menjatuhkan satu sama lain demi
kepentinganya pribadi, dicontohkan oleh para koruptor yang memiskinkan negara
dan para penganut paham radikalisme, sebagai pemecah belah persatuan dan
kesatuan bangsa. Begitu pula pada kehidupan umat Hindu, semangat meyajnya
telah berangsur-angsur menghilang pada generasi muda Hindu di masa kini, dapat
dilihat dari pelaksanaan upacara yajnya yang minim akan peran serta para kaum
muda Hindu, hanya beberapa saja yang terlihat aktif. Maraknya sosial media dan
game online yang membuat pandangan dan pikiran selalu terpusat pada dunia
maya menjadi penyebab utama hilangnya semangat menyama braya di lingkungan
masyarakat.

3. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab adalah suatu sikap dimana seseorang berani
melakukan pertanggungan terhadap segala sesuatu yang telah dilakukanya. Begitu
pula manusia harus memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tugas maupun
kewajiban yang telah dibebankan padanya. Dapat digambarkan bahwa Sang

9
Arjuna sebagai seorang ksatria sadar akan kewajibanya akan tugas untuk membela
keluarga dan tanah airnya. Sang Arjuna berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi
tugasnya tersebut dengan melakukan tapa untuk mendapatkan anugrah senjata
yang akan dipergunakan di dalam peperangan nanti.
Bila dikaitkan dengan kehidupan di masa sekarang, maka dapat dikatakan
bahwa rasa tanggung jawab ini sudah semakin luntur. Banyak peristiwa-peristiwa
yang sangat menyakitkan telah terjadi yang telah melenceng dari arti tanggung
jawab itu sendiri, yaitu seperti, kejadian bayi yang dibuang oleh ibunya, banyak
siswa yang terjerumus dalam pergaulan bebas, penebangan pohon secara liar,
pembuangan sampah tidak pada tempatnya, polusi limbah pabrik,, penggelapan
uang nasabah dan sebagainya yang mana terus-menerus terjadi di berbagai daerah
di Indonesia.

2.3. Nilai Pendidikan Logika


2.3.1 Keteguhan hati dan pantang menyerah adalah kunci kesuksesan.
Keteguhan hati bisa didefinisikan sebagai kemampuan mengendalikan diri
untuk sejenak meninggalkan keinginan semu demi mencapai tujuan jangka
panjang yang tentunya lebih besar. Keteguhan hati bukan hanya terkait dengan
memiliki motivasi atau tekad untuk mencapai sesuatu, tetapi juga melibatkan
pengendalian pola pikir dan kebiasaan sehari-hari. Dan untuk dapat
mengendalikan diri, segala tindak-tanduk dan perilaku harus kita lakukan secara
sadar, dengan melibatkan kemampuan berpikir logis dan mengatur emosi, serta
melibatkan kemampuan menahan godaan. Selanjutnya sikap pantang menyerah
memiliki hakikat perjuangan yang tangguh penuh semangat, tidak putus asa, tidak
mudah menyerah menghadapai kesulitan sampai kesulitan tersebut teratasi.
Sikap keteguhan hati dan pantang menyerah dapat disimak dari teguhnya
pertapaan Sang Arjuna walaupun berbagai macam godaan datang silih berganti,
baik dari para bidadari, babi raksasa dan lain sebagainya. Arjuna tetap
melaksanakan pemusatan pikiran kepada Dewa Siwa sebagai tujuan utama dari
tapa brathanya. Tanpa adanya sikap ini maka mustahil Sang Arjuna untuk

10
mendapatkan anugrah panah Pasupati, bahkan tidak mampu bertemu dengan
Dewa Siwa.
Bila dikaitkan dengan masa sekarang sikap keteguhan hati dan pantang
menyerah ini dirasa sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini karena pengaruh
perkembangan jaman yang begitu pesat disertai dengan kondisi ekonomi yang
semakin terpuruk, sehingga berbagai macam godaan selalu mengganggu jalan
pikiran manusia. Tidak jarang orang yang pada mulanya berkarakter baik berubah
180 derajat karena pengaruh lingkungan dan keadaaan. Ajaran-ajaran agama yang
seharusnya dipegang teguh, mulai ditinggalkan, karena faktor keputusasaan, maka
terlahirlah manusia-manusia tanpa tujuan, banyak siswa putus sekolah karena
malas belajar,salah pergaulan dan terlibat narkoba, banyak tindakan kriminalitas
merajalela, terjadinya kasus bunuh diri di berbagai daerah akibat tekanan ekonomi
dan lain sebagainya. Dari berbagai masalah tersebut tentunya selain
menjerumuskan diri ke lembah kehancuran juga menghancurkan stabilitas bangsa
dan Negara ini. Jadi masih sangat perlunya peningkatan penanaman sikap
keteguhan hati dan pantang menyerah pada anak dan para generasi muda, baik
peningkatan dalam ranah moralitas dan juga pada ranah keimanan kepada Tuhan,
sehingga mampu mencetak manusia-manusia tangguh dan berkarakter, baik dalam
menjalankan kehidupanya dan juga sebagai pionir penerus bangsa.

2.4 Nilai Kejiwaan/Psikologis


2.4.2 Percaya Kepada Kemahakuasaan Tuhan
Tuhan adalah satu-satunya penguasa alam semesta. Bumi, Langit, dan
seisinya merupakan bukti keagungan Karya Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi
dalam hidup manusia terjadi karena kuasa Tuhan. Manusia hanyalah mahluk yang
lemah dihadapan Tuhan yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa ada pertolongan
dari-Nya. Mengingat hal itu, sudah sepantasnya manusia mempercayai kebesaran
Tuhan dan menyadari bahwa hanya kepada Tuhan lah manusia harus menyembah.
Dalam kisah ini kepercayaan akan kekuasaan Tuhan ditunjukkan dengan
pelaksanaan tapa Sang Arjuna dengan pemusatan kepada Dewa Siwa, hal ini
membuktikan bahwa di dalam diri Arjuna terdapat kepercayaan yang amat tinggi

11
terhadap kekuasaan Tuhan, yaitu dengan selalu sujud menyembah dan
memusatkan pikiran kepadaNya, diyakini Dewa Siwa akan memberikan
anugrahNya sebagai penolong kehidupan umat manusia. Dalam masalah ini
Arjuna mengakui kekuasaan Tuhan., karena Tuhan adalah sumber dari segala
yang ada di dunia ini, manusia tidak akan mampu mencapai suatu tujuan ataupun
kesuksesan tanpa adanya keimanan kepada TuhanNya. Kemampuan manusia
memiliki batasan, namun Tuhan tidak terbatas, pemikiran inilah yang selalu
tersimpan pada diri Arjuna, sehingga memberikan motivasi untuk melakukan tapa,
bersujud menyembah Dewa Siwa yang memiliki kesaktian dan kemahakuasaan
yang teramat besar dibandingkan dengan dirinya sebagai manusia.

2.4.2 Kasih Sayang terhadap Saudara Kandung


Kasih sayang adalah suatu sikap saling menghormati dan mengasihi semua
ciptaan Tuhan baik mahluk hidup maupun benda mati seperti menyayangi diri
sendiri berlandaskan hati nurani yang luhur. Keluarga adalah sebagai suatu
kesatuan dan pergaulan yang paling awal. Sebagai satu kesatuan merupakan
gabungan dari beberapa orang yang ditandai oleh hubungan genelogis dan
psikologis yang saling ketergantungan dengan karakteristiknya yang berbeda. Jadi
keluarga menggambarkan ikatan atau hubungan di antara anggota keluarganya
yang diikat dengan berbagai sistem nilai. Salah satu ikatan ini terjadi diantara
sesama saudara kandung, yaitu antara kakak dan si adik. Seorang kakak
seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing adik-adiknya, begitu pula sebagai
adik berkewajiban untuk selalu menghormati ataupun membantu kakaknya
bagaimanapun situasinya.
Pada cerita Pertapaan Arjuna tentunya alasan yang paling mendasar untuk
melaksanakanya adalah rasa sayang yang amat besar kepada para saudaranya,
terutama kakak tertuanya yaitu Yudhistira. Dari rasa sayang ini timbul suatu
dorongan untuk berbuat atau berkorban demi menjaga mereka dengan mengejar
anugrah panah pasupati walau bagaimanapun rintangan yang nantinya ditempuh.
Karena rasa kasih sayang inilah menumbuhkan sikap untuk selalu menjaga,
memberi perlindungan dan juga pengorbanan pada diri Arjuna. Cara apapun itu

12
akan ditempuh oleh Arjuna untuk memenangkan peperangan, yang nantinya
memberikan kebahagiaan bagi para saudaranya. Segala kebutuhan duniawi
ditinggalkanya, panas, hujan, dan dinginya malam menjadi tidak berarti semua
demi kepentingan bersama.

2.4.3 Menjadi Pemimpin Yang Baik


Dalam sebuah wilayah atau daerah sudah lazim adanya sebuah
pemerintahan. Pemerintahan tersebut dipimpin oleh seorang raja ataupun
penguasa. Raja bertugas mengatur jalanya roda pemerintahan dan
mensejahterakan rakyatnya. Seorang pemimpin harus mengayomi, melindungi
dan memberikan kebutuhan bagi rakyat yang dipimpinya. Pemimpin dalam arti
luas tidak saja harus menjadi seorang raja, namun juga berkaitan dengan berbagai
macam bidang kehidupan dan profesinya, termasuk memimpin dirinya sendiri.
Arjuna dalam Kisah Mahabharata adalah seorang ksatria sakti dan paling
unggul diantara para Pandawa dan Kaurawa khususnya pada seni berperang.
Arjuna selalu menjadi pemimpin di dalam setiap peperangan sekaligus memikul
tanggung jawab penuh atas para sekutu dan prajuritnya. Tentunya selain bermodal
keahlian, senjata sakti juga sangat diperlukan dalam usahanya menaklukan para
musuh di medan peperangan, sehingga manjadi suatu alasan mendasar mengapa
Arjuna melakukan pertapaanya di Gunung Indrakila untuk memohon pengetahuan
dan senjata perang dari Dewa Siwa. Diharapkan dengan pengetahuan perang dan
senjata sakti inilah Ia mampu mengurangi jumlah prajurit yang gugur maupun
melindungi para sekutunya, sekaligus menegakkan kebenaran (dharma) sebagai
sumber kesejahteraan rakyatnya dari kesewenang-wenangan para Kaurawa. Jiwa
kepemimpinan ini telah tertanam pada Arjuna dengan selalu menjunjung tinggi
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya.

BAB III

13
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kisah pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila adalah salah satu bagian dari
kitab Wanaparwa yang mengandung berbagai nilai-nilai pendidikan, yaitu
diantaranya adalah
1. Nilai Pendidikan Agama Hindu yang meliputi pendidikan Tattwa, dan nilai
pendidikan Susila/etika. Nilai Pendidikan Susila/Etika terdiri atas hormat
kepada Catur Guru, rela berkorban, dan tanggung jawab
2. Nilai Pendidikan Logika yakni keteguhan hati dan sikap pantang
menyerah adalah kunci dari kesuksesan.
3. Nilai Kejiwaan /Psikologis meliputi keyakinan akan kemahakuasaan
Tuhan, rasa kasih sayang terhadap saudara kandung, dan jiwa
kepemimpinan yang baik.
Nilai-nilai yang disampaikan dalam Cerita ini begitu luhur dan seharusnya
menjadi panutan atau pedoman bagi masyarakat khususnya umat Hindu dewasa
ini, untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif akibat kemajuan jaman yang
bersifat global, yang mana semakin hari kian menggeser cara berfikir dan tatanan
perilaku, melenceng dari jati diri, budaya dan norma-norma di masyarakat. Hal ini
perlu segera disikapi dengan jalan penanaman nilai-nilai pendidikan sejak dini,
terutama yang bersumber dari teks-teks suci Hindu.

DAFTAR PUSTAKA

14
Pendit, Nyoman S,. 2005. Mahabharata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sura, I Gede, 2001. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu.
Jakarta : Hanuman Sakti.

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu (Tattwa 1). Surabaya: Paramita
http://www.pendidikankarakter.com/peran-pendidikan-karakter-dalam-
melengkapi-kepribadian/
https://wayang.wordpress.com/2010/03/11/makna-bersatunya-panah-arjuna-
dengan-dewa-siwa/
https://triwidodo.wordpress.com/2009/07/14/pasopati-senjata-andalan-arjuna-
sebagai-penakluk-hewan-dalam-diri/
http://cakepane.blogspot.co.id/2010/05/kajian-nilai-dan-makna-filosofis-
kisah.html
https://anothermahabharata.wordpress.com/2010/11/22/mahabharata-3-
wanaparwa/
http://sukasosial.blogspot.com/2015/09/dampak-negatif-globalisasi.html
http://psikodemia.com/definisi-kepribadian/

DAFTAR ISI

15
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2

1.3 Tujuan......................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ringkasan Cerita Pertapaan Arjuna Di Gunung Indrakila.......................... 3

2.2 Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Kisah Pertapaan


Arjuna di Gunung Indrakila dan relevansinya di masa kini....................... 5
2.2.1 Nilai Pendidikan Tattwa..................................................................... 5

2.2.2 Nilai Pendidikan Susila/Etika............................................................ 7

2.3 Nilai Pendidikan Logika............................................................................. 10

2.3.1 Keteguhan Hati dan Pantang Menyerah adalah kunci kesuksesan. . 10

2.4 Nilai Kejiwaan/Psikologis.......................................................................... 11

2.4.1 Percaya Kepada Kemahakuasaan Tuhan........................................... 11

2.4.2 Kasih Sayang Terhadap Saudara Kandung........................................ 12

2.4.3 Menjadi Pemimpin Yang Baik.......................................................... 13

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR
ii

16
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Wanaparwa Mahabharata (Kisah Pertapaan Arjuna
di Gunung Indrakila)”

Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi kewajiban penulis


sebagai mahasiswa, dan berharap agar makalah ini dapat memberikan sesuatu
yang berguna dalam pembelajaran selanjutnya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk
itulah kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan
tugas-tugas selanjutnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.

Singaraja, 22 Mei 2018

i
TUGAS MATA KULIAH

17
PSIKOLOGI PENDIDIKAN AGAMA HINDU
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM WANAPARWA
MAHABHARATA
(KISAH PERTAPAAN ARJUNA DI GUNUNG INDRAKILA)

OLEH :
IDA BAGUS GEDE BAJRAJNYANA
NIM. 17.2.5.11.1.02

PROGRAM MEGISTER PENDIDIKAN AGAMA HINDU

PASCASARJANA STAHN MPU KUTURAN SINGARAJA

TAHUN AKADEMIK 2018

18

Anda mungkin juga menyukai