Anda di halaman 1dari 13

Tari Wali

Nama : Ni Wayan Desi Riani

NIM : 1506305059

Absen : 21

Mata Kuliah : Agama Hindu

Kode MK : UNO 102 C9


Kata Pengantar

Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat
limpahan rahmat beliau kami dapat menyelesaikan laporan makalah ini.
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Seni Budaya, mengenai Tari Wali.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan pertunjukan tari. Terkadang kita bisa
menyaksikan di layar televisi ataupun di sebuah pertunjukan tari di publik. Dan di makalah ini
kami akan menguraikan Tari Wali yang mencakup asal usul, tata gerak, serta busana busana khas
tari ini
Kami menyusun makalah ini, selain untuk menyelesaikan tugas juga untuk memperluas
wawasan kami tentang Seni Tari Wali. Kami menyadari bahwa dalam laporan praktikum ini
masih jauh dari sempurna, terutama dalam kelengkapan materi dan pemadatannya. Oleh karena
itu kami tetap mengaharapkan saran dan kritikan anda semua. Akhir kata kami ucapkan parama
santhi.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om
Daftar Isi
Halaman
Judul.1
Kata Pengantar2
Daftar Isi..3
Pendahuluan4
Pembahasan.7
Penutup ...12
Daftar Pustaka13
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Bagi masyarakat Bali tarian tidak bisa dipisahkan dari setiap kegiatan keagamaan, namun dengan
anggapan seperti ini bukan berarti setiap orang Bali bisa menari. Ada yang memang lahir
mempunyai bakat ini, biasanya juga bapak dan ibu ataupun kakeknya dulu juga penari. Kesenian
tari bagi masyarakat Bali memang tak bisa dipisahkan. Tarian Bali, seperti Legong, Janger,
Baris, Kecak, adalah tarian yang disakralkan dan mengalami masa jaya pada tahun 1930. Pada
awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari) adalah jenis tarian sakral sebagai
bagian tak tenpisahkan dengan prosesi upacara dan hanya dipegelarkan tatkala diselenggarakan
upacara keagamaan di Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan pelengkap
suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi media komunikasi
masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.Tari di bali menurut fungsinya dibagi menjadi tiga,
yaitu tari wali, tari bebali, tari balih-balihan. Tari wali merupakantari yang dipentaskan
sehubungan dengan dilaksanakan suatu upacara keagamaan di suatu Pura. Tari Wali ini
umumnya dipentaskan di halaman tengah Pura (Jeroan) dan tidak akan dipentaskan pada acara-
acara lainnya. Perangkat tari seperti busana, topeng atau juga barong sangat dikeramatkan oleh
warga penyungsungnya serta disimpan di suatu Pura sehingga dipersyaratkan adanya upacara
khusus saat diambil dari tempat penyimpanannya, saat ditarikan serta di simpan kembali pada
tempatnya.Contoh tari wali seperti tari rejang, tari baris, barong, tari sanghyang, topeng
sidakarya, tari baris gede. Tari bebali merupakan jenis tari Bali yang juga digelar pada suatu
upacara keagamaan dan umumnya tari bebali dipentaskan dengan suatu lakon yang berhubungan
dengan pelaksanaan upacara tersebut. tari topeng pajegan, topeng panca, drama tari gambuh,
arja, telek dan wayang misalnya, adalah jenis tari Bebali yang paling sering dipentaskan. Sebagai
pengiring suatu upacara. Tari Bebali biasanya dipentaskan di Jaba Tengah yang merupakan
ruang diantara halaman luar (Jaba Sisi) dengan halaman utama (Jeroan) suatu Pura. Sedangkan
tari balih-balihan merupakan perkembangan dari seni Wali dan Bebali yang ditujukan sebagai
sarana hiburan dengan lakon serta kreasi tari dan tabuh yang lebih bebas. Seringkali jenis balih-
balihan ini memakai lakon-lakon yang populer di masyarakat saat itu untuk membuka
kesempatan masuknya emosi penonton kedalam pergelaran tersebut merupakan bagian yang
samapentingnya dengan penari dan penabuh pada biasa disebut wewalen. Contoh tari balih-
balihan seperti tari jogged, janger, kecak, tari kebyar duduk. Pada kesempatan kali ini saya akan
membahas tari wali di daerah Tuban, Kuta, Badung

Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari tari wali ?
2. Apa saja tari wali yang ada di desa Tuban ?

Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari tari wali.
2. Untuk mengetahui apa saja tari wali yang ada di desa Tuban.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 DEFINISI TARI WALI.

Tari Wali merupakan tarian sakral, tarian yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksana dalam
upacara keagamaan. Yang hanya ditarikan di tempat-tempat suci yang dilakukan di Pura-pura
dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upacara agama. karena befungsi sebagai
pelaksana upacara dan upakara agama tidak pakai lakon. Menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kronologis upacara-upacara tersebut. Tarian ini biasa diadakan pada karya (piodalan besar di
Pura). Tarian ini dilaksanakan sejak mulai sampai berakhirnya upacara dengan gerak-gerik ritmis
yang simbiolis meskipun belum boleh dikatakan tari sepenuhnya tetapi sudah mengarah kepada
bentuk-bentuk tari harus dilaksanakan secara murni dan konsekwen.

1.2 TARI WALI DI DESA TUBAN.

1. Tari Pendet.

Tarian pendet termasuk yang tertua diantara tarian sejenis yang ada di pulau bali. Dari berbagai
sumber yang saya temukan tercatat bahwa tahun 1950 adalah tahun dimana terciptanya tarian
pendet. Sebelumnya tarian ini ada untuk upacara keagamaan dan ritual sejenis di bali.
Adalah dua seniman kelahiran Desa Sumertha, Denpasar bernama I Wayan Rindi dan Ni Ketut
Reneng yang menciptakan tarian ini. Merekalah yang mengubah tarian ritual ini menjadi tarian
penyambutan bagi tamu yang dilakukan empat orang penari di berbagai tempat termasuk hotel
dan tempat resmi lainnya.

Pada tahun 1960an lah tarian ini diperkenalkan ke dunia internasional melalui suatu event
internasional yaitu Asian games. Tari pendet ini dipertunjukkan pada upacara pembukaan Asian
games di Jakarta yang dibuka oleh Presiden Soekarno.Berdasarkan fakta fakta yang ada
sebenarnya tidak ada alasan bagi malaysia untuk mengklaim budaya asli dai Bali itu menjadi
budaya miliknya. Karena sudah sejak dahulu dunia internasional mengetahui bahwa tari pendet
merupakan tarian asli dari Bali.

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan dipura,
tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas
turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali
mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang
sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi.

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara.
Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet
dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.Tarian ini
diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan dibanjar-banjar. Para gadis
muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab
mereka dalam memberikan contoh yang baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang
dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di
halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian
upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapansesajen
lainnya.

Tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura. Pendet
merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti
halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan
oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita dan gadis desa.

Tari yang tercipta awal tahun 70-an oleh seniman I Nyoman Kaler ini, menggambarkan
penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam Marcapada. Tarian ini merupakan sebuah
persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti tarian-tarian pertunjukan yang
memerlukan pelatihan intensif, tarian ini diajarkan sekadar mengikuti gerakan. Para gadis muda
mengikuti gerakan dari para perempuan yang lebih senior.

Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan, ditampilkan setelah tari
Rejang di halaman pura. Biasanya penari menghadap ke arah suci (pelinggih) mengenakan
pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan dan perlengkapan
sesajen lainnya. Selain tari Pendet, di Bali ada beberapa jenis tari-tarian yang dibawakan para
gadis atau perempuan dewasa untuk kelengkapan pelaksanaan kegiatan ritual atau upacara
keagamaan.Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet
menjadi ucapan selamat datang. Taburan bunga disebarkan di hadapan para tamu sebagai
ungkapan selamat datang. Meski demikian, tarian ini tetap mengandung muatan-muatan sakral
dan religius. Sebagaimana Pendet, tarian ini sifatnya feminin, karena menuntut gerakan-gerakan
yang lemah gemulai seperti tarian Sanghyang Dedari, tari Rejang, Sutri dan tari Gabor.

2. Wayang Sapuh Leger.

Dalam perjalanan sejarahnya suatu kenyataan bahwa asal mula wayang merupakan perabot
sarana upacara keagamaan (ritus) pada zaman animisme nenek moyang kita. Dari kajian
filosofisnya, wayang sarat dengan perlambang atau makna simbolik mengenai kehidupan dunia
melalui siratan lakon atau perwatakan tokoh-tokoh wayang itu sendiri, sehingga ada
kemungkinan untuk melakukan pangkajian filosofis terkait dengan makna kehidupan manusia.
Analogi dengan pernyataan diatas, secara tradisi pertunjukkan wayang sapuh leger merupakan
suatu peninggalan budaya kehidupan masyarakat Bali yang diadatkan dan dianggap sakral, maka
ia termasuk wali (bagian upacara) diselenggarakan untuk upacara keagamaan (manusia yajna)
yaitu untuk anak/orang yang lahir pada wuku wayang. Pertunjukkan ini berfungsi sebagai
inisiasi, merupakan salah satu upacara ritus yang menyangkut keselamatan kehidupan umat
manusia pendukung budaya tersebut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun dalam
perilaku kehidupan social masyarakat Bali, dengan peristiwa tetap secara periodik, berulang tiap-
tiap 6 bulan (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali atau 7 bulan Masehi

Dalam Cerita Wayang Lakon Sapu Leger, diceritakan Dewa Kala akan memakan segala yang
lahir pada wuku wayang (menurut kalender Bali) atau yang berjalan tengah hari tepat wuku
wayang. Atas petunjuk ayahandanya Dewa Siwa, Dewa Kala mengetahui bahwa Dewa Rare
Kumara putra bungsu dari Dewa Siwa lahir pada wuku wayang.

Pada suatu hari bertepatan pada wuku wayang, Dewa Rare Kumara dikejar oleh Dewa Kala
hendak dimakannya. Dewa Rare Kumara lari kesana ke mari menghindarkan dirinya dari
tangkapan Dewa Kala. Ketika tengah hari tepat, dan dalam keadaan terengah-engah kepayahan
Dewa Rare Kumara nyaris tertangkap Bhatara Kala kalau tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Oleh
karena dihalangi oleh Dewa Siwa maka Dewa Kala hendak memakan ayahandanya. Hal ini
disebabkan karena Dewa Siwa berjalan tengah hari tepat dalam wuku wayang.

Diceritakan selanjutnya, Dewa Siwa rela dimakan oleh putranya Dewa Kala, dengan syarat
Bhatara Kala dapat menterjemahkan dan menerka ini serangkuman sloka yang diucapkan Dewa
Siwa. Bunyi sloka tersebut : Om asta pada sad lungayan, Catur puto dwi puruso, Eko bhago
muka enggul, Dwi crengi sapto locanam Dewa Kala segera menterjemahkan sloka itu serta
menerka maksudnya ; Om asta pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki delapan, yaitu kaki Dewa
Siwa enam kaki Dewi Uma dua, semuanya delapan, Sad Lungayan, tangan enam yaitu tangan
Dewa Siwa empat, tangan Dewi Uma dua semua enam, Catur puto, buah kelamin laki-laki
empat, yaitu buah kelamin Dewa Siwa Dua, buah kelamin lembu dua,semuanya empat, Dwi
puruso, dua kelamin laki-laki, yaitu kelamin Dewa Siwa satu, kelamin lembu satu, semuanya
dua, Eka bhago, satu kelamin perempuan yaitu kelamin Dewi Uma, Dwi crengi dua tanduk
yaitu tanduk lembu, Sapto locanam, tujuh mata yaitu mata Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma
dua, mata lembu dua, yaitu hanya enam mata tidak tujuh, mana lagi saya tidak tahu.
Dewa Siwa bersabda mataku tiga (Tri Netra) diantara keningku ada satu mata lagi, mata gaib
yang dapat melihat seluruh alam ditutup dengan cudamani.

Akhirnya Dewa Kala tidak dapat menerka dengan sempurna ini sloka itu, tambahan pula
matahari condong kebarat, maka Dewa Kala tidak berhak memakan Dewa Siwa ayahandanya.
Karena itu Dewa Kala meneruskan pengejaran kepada Dewa Rare Kumara yang telah jauh
larinya masuk ke halaman rumah-rumah orang. Akhirnya, pada malam hari bertemu dengan
seorang dalang yang sedang mengadakan pertunjukan wayang, Rare Kumara masuk ke bumbung
(pembuluh bambu) gender wayang (musik wayang) dan Dewa Kala memakan sesajen wayang
itu. Oleh karena itu, Ki Mangku Dalang menasehati Dewa Kala agar jangan meneruskan niatnya
hendak memakan Dewa Rare Kumara, karena Dewa Kala telah memakan sesajen wayang itu
sebagai tebusannya. Dewa Kala tidak lagi berdaya melanjutkan pengejarannya, sehingga Dewa
Rare Kumara akhirnya selamat. Dengan demikian dikisahkan Dewa Rare Kumara sebagai
mitologi bahwa anak yang lahir pada hari yang bertepatan dengan Wuku Wayang dianggap anak
sukerta dan akan menjadi santapan Bhatara Kala, karena itu anak bersangkutan harus dilukat
dengan tirta Wayang Sapuleger.

Dalam ajaran agama Hindu ada tiga penggambaran sifat manusia yaitu sifat satwam,sifat
rajas dan sifat tamas. Ketiga sifat itu ada dalam diri manusia. Hanya yang menjadi titik
permasalahan, dari ketiga sifat tersebut, sifat mana yang lebih ditonjolkan pada diri manusia. Jika
sifat satwam yang ditinjolkan maka sifat Dewa Rare Kumara yang lebih dominan ditampilkan,
dimana sifat Dewa Rare Kumara penuh dengan sifat welas asih, suka menolong dan penyayang,
sehingga Dewa Rare Kumara menjadi suatu keyakinan serta kepercayaan bagi wanita Bali yang
mempunyai anak kecil, bahwa Dewa Rare Kumaralah yang membantu dan memelihara anak
mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Pelangkiran (tempat suci yang terbuat dari
kayu) sebagai tempat memuja Dewa Rare Kumara, ditempatkan di kamar tidur si anak. Begitu
pula sebaliknya, jika sifat rajas dan tamas yang lebih dominan pada diri manusia maka sifat
Dewa Kala yang akan ditampilkan sehingga cenderung akan bersifat angkuh, rakus dan egoisme.

Didalam cerita sapuleger diungkapkan Betara Kala hanya mampu menebak dari badan fisik
Dewa Siwa, seperti kaki beliau, tangan beliau, alat kelamin beliau dan sebagainya. Akan tetapi,
Dewa Kala tidak mampu menebak mata ketiga dari Dewa Siwa. Kalau kita analisis kembali
cerita sapuleger bahwa Dewa Kala hanya mampu melihat badan fisik dari Dewa Siwa, tetapi
tidak mampu melihat dunia yang ada di luar kekuatan diri manusia atau kekuatan Tuhan. Sama
halnya dengan manusia yang dipengaruhi oleh keinginan dan hawa nafsu dia hanya mampu
melihat alam sekala (alam nyata) tetapi tidak mampu melihat alam niskala (alam maya).
Rare Angon

Manusia wajib menjaga keseimbangan ekosistem, sehingga kehidupan dapat berjalan serasi
dan harmonis. Salah satu dari komponen ekosistem rusak atau terganggu, maka akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Di alam ini yang termasuk makhluk hidup adalah
manusia, binatang dan tumbuh tumbuhan. Manusia dikatakan memiliki tri pramana (tiga unsur
kehidupan), yaitu bayu (tenaga), idep (pikiran) dan sabda (suara). Binatang memiliki dwi
pramana yaitu bayu dan sabda, sedangkan tumbuh-tumbuhan memiliki eka pramana yaitu bayu
saja. Karena manusia memiliki tiga pramana itulah sebabnya manusia dikatakan makhluk yang
paling sempurna. Namun sebagai manusia, tetap harus menjaga alam lingkungan sekitarnya yang
juga merupakan sebuah yadnya. Saling memelihara, mengasihi sesama makhluk hidup juga
disebut yadnya. Aplikasi dari pemeliharaan lingkungan adalah melakukan yadnya pada Hari
Tumpek Wariga atau Tumpek Ngatag atau Tumpek Penguduh yang dilaksanakan setiap enam
bulan sekali, tepatnya setiap hari Sabtu Kliwon, Uku Wariga (kalender Bali). Tujuannya
melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Sangkara sebagai manifestasinya dari Ida Sang
Hyang Widhi (Tuhan). Beliau yang menciptakan dan melestarikan semua tumbuh-tumbuhan
yang memberi kesejahteraan bagi kehidupan di dunia.

Upacara yadnya yang mencerminkan pemeliharaan lingkungan selain tumbuh-tumbuhan


adalah melalui hewan-hewan kecil seperti segala jenis unggas. Dilakukan setiap enam bulan
yang disebut Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, jatuh pada Sabtu Kliwon, Uku Uye (Kalender
Bali). Pada saat itu dilakukan persembahan kepada Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai
Sang Rare Angon yang menguasai semua binatang besar maupun kecil. Perayaan tumpek
kandang bermakna untuk mengendalikan sifat-sifat binatang yang kurang baik, seperti sifat liar,
susah diatur, ingin selalu bermusuhan seperti sifat ayam, sifat malas seperti babi.

Lakon Dewa Kala (Batara Kala di Jawa) mendapat kedudukan yang istimewa dalam kehidupan
masyarakat Bali, karena lakon tersebut termasuk mitos yang diyakini dan dipercayai. Menurut
Peursen, mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada
sekelompok orang karena mitos pada hakekatnya adalah cerita yang mengandung berbagai
simbol dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis dan religius. Sejalan dengan pendapat
tersebut diatas, bahwa lakon Dewa Kala dalam pertunjukkan wayang sapuh leger adalah jenis
cerita yang mengandung pasemon filosofik dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis-
religius.

Orang Bali secara mitologis menganggap pertunjukkan wayang berasal dari dewa-dewa
di sorga. Mitos asal-usulnya disebutkan dalam dua naskah lontar yaitu lontar Siwagama dan
lontar Tantu Panggelaran. Dalam lontar Siwagama menyebutkan sebagai berikut: sinasa ring
lemah, ryyarepaning saluagung, ginaweken pnggung Hyang Trisamaya, kumenaken kelirning
awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksa de Sanghyang Brahma Wisnu, ginameling langon-
langon, winahyaken lampah Bhatara kalih, Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga,
sira purwakaning hana ringgit ring Yawa mandala, tinonton ing wwang akweh. Dalam
terjemahan bebas artinya di bumi tepatnya di depan rumah Bale Gede, dibuatkan sebuah
panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukkan wayang memakai kelir, Bhatara
Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang
Wisnu, diiringi gamelan Gender dan kecapi, menyanyikan lagu gula ganti, diikuti dengan gerak
tari yang menawan, menceritakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara
Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang (ringgit)
di bumi Jawa, orang yang menonton sangat banyak.

Sementara itu lontar Tantu Panggelaran juga menyebutkan tentang asal mula
pertunjukkan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai
berikut: Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara pandah Bhatara Kalarudra:
tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tattwa Bhatara mwang Bhatari ring
bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka wayangnira, kinudangan panjang
langonlangon. Bhatara Iswara sira hudipan, rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira
ring bhuwana masang gina hawayang, tineher habandagina hawayang: mangkana mula kacarita
nguni... Dalam terjemahan bebas artinya Para dewa menjadi takut, Siwa yang berwujud
Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma, dan
Wisnu mengetahui hal itu, kemudian turun ke bumi dan mengadakan pertunjukkan wayang.
Mereka menceritakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukkan itu diadakan di
atas panggung dengan kelir, sedangkan wayang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang
diukir dan dipahat disertai nyanyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang,
didampingi oleh Brahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan
memaikan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukkan wayang kulit.

Naskah lontar Siwagama dan Tantu panggelaran, cukup jelas menyebutkan adanya
pertunjukkan wayang lengkap dengan aparatusnya. Walaupun secara ekspilisit disebutkan asal
mula pertunjukkan wayang ada di Jawa (Yawa Mandala), namun secara implisit mendekati
bentuk pertunjukkan wayang kulit di Bali. Hal itu ditandai dengan digelarnya wayang kulit di
tempat khusus (Bale Gede), dalang dibantu 2 orang kanan dan kiri disebut katengkong/tututan,
serta menggunakan iringan/gamelan gender. Ketiga dewa (Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu)
sampai sekarang diyakini oleh dalang-dalang Bali membantu mensukseskan pertunjukkan
wayang, hal ini jelas sekali tercantum dalam Dharma Pewayangan.

Menurut lontar Sapuh Leger, Bhatara Siwa memberi ijin kepada Dewa Kala untuk
memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Berdasarkan isi lontar tersebut diatas,
umat Hindu pada umumnya, apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada hari itu, demi
keselamatannya, orang-orang Bali berusaha mengupacarai-nya dengan mementaskan wayang
sapuh leger, walaupun alat-alat perlengkapannya harus dipersiapkan jauh lebih banyak (berat)
dari perlengkapan sesajen (banten) jenis wayang lainnya. Ada 3 jenis pertunjukkan wayang yang
mendapat kedudukan istimewa diantara jenis wayang lainnya, yakni: Wayang Sapuh Leger,
Wayang Lemah, dan Wayang Sudamala yang dianggap sakral karena memiliki fungsu ngruwat.

3. Tari Sang Hyang Dedari.

Sanghyang Dedari ditarikan oleh remaja atau gadis perawan yang dianggap masih bersih..
Upacara dimulai di pura, dengan prosesi berjalan ke tempat acara berlangsung. Penari berdiri
diiringi nyanyian anak laki-laki, lalu menarikan tarian yang serupa Legong, namun dalam versi
mistik. Meskipun mata mereka ditutup, mereka menari bersama dalam gerakan yang sinkron dan
indah.

Ketika nyanyian berhenti, para penari yang tak sadarkan diri melompat ke tanah]. Seorang
pemangku menyadarkan mereka dengan mengucapkan doa dan percikkan air suci. Setelah sadar,
mereka merasakan kelelahan namun tidak menyadari telah banyak bergerak dan menari.
Sanghyang Dedari berkembang dari tarian yang bersifat keagamaan menjadi ritual memohon
kesehatan dan kesejahteraan desa. Tarian ini biasanya dilakukan untuk mengusir roh jahat yang
mengganggu kerukunan umat manusia dalam bentuk penyakit atau kematian.

Tarian ini dipentaskan ketika dewa-dewa yang turun untuk sementara ke alam manusia,
menyatakan diri melalui penari yang kesurupan. Kata Sanghyang bermakna dewata sementara
kata Dedari itu berarti bidadari.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tari Wali yang ada di bali sekarang ini semakin sedikit yang mempelajarinya .Terlebih
lagi generasi muda Bali yang sekarang ini lebih tertarik dengan budaya barat yang mereka
anggap pebih modern. Maka dari itu sangat baik adanya jika mulai dari sekarang kita mulai
mengenalkan tari-tari wali ini kepada anak-anak agar mereka mencintai adat dan budaya mereka
sedari dini. Jika tidak mulai sekarang siapa yang akan menarikan tari wali tersebut jika ada
upacara keaagamaan nantinya. Oleh seabab itu lebih baik jika kita memulai untuk kembali
menata sikap untuk lebih mencintai budaya sendiri.
Daftar Pustaka

Sanghyang https://id.wikipedia.org/wiki/Sanghyang (diakses pada tanggal 30 November 2015)

Wayang Sapuh Leger https://phinossite.wordpress.com/2015/01/13/wayang-sapuh-leger/


(diakses pada tanggal 30 November 2015)

Mengenal Sejarah Tari Pendet Bali Indonesia http://tari-


tariantradisional.blogspot.com/2015/03/mengenal-sejarah-tari-pendet-bali.html (diakses pada
tanggal 30 November 2015)

Anda mungkin juga menyukai