Anda di halaman 1dari 8

YADNYA

 Pengertian Yadnya
Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar kata “Yaj” yang berarti
memuja, mempersembahkan, korban. Dalam kamus bahasa Sansekerta, kata yadnya
diartikan: upacara korban, korban, orang yang berkorban yang berhubungan dengan
korban (Yadnya). Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan, Yadnya artinya suatu
perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk
melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan
korban suci.

 Latar Belakang Melaksanakan Yadnya


TRI RNA
Tri Rna berasal dari kata tri dan rna. Tri berarti tiga, rna berarti hutang. Jadi
secara etimologi Tris Rna berarti tiga hutang yang harus dibayar kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Menurut ajaran Agama Hindu setiap manusia lahir terikat oleh
adanya hutang-hutang yang harus dilunasi semasa hidupnya. Hutang menyebabkan
orang terikat untuk melunasinya. Adapun hutang itu adalah:
1. Dewa Rna yaitu hutang yang harus dibayar kepada Tuhan dan kepada para Dewa.
Karena Tuhan Yang Maha Esa memberi kita jiwa atau atma sehingga kita menjadi
manusia yang berjiwa, manusia yang hidup.
2. Rsi Rna yaitu hutang yang harus dibayar kepada para Rsi, para pendeta, dan para
guru yang merupakan sumber pengetahuan, sehingga kita menjadi orang yang
berilmu, berbudhi pekerti, beriman, dan hidup bahagia.
3. Pitra Rna yaitu hutang kepadaorang tua atau leluhur, karena jasa-jasa beliau kita
dipelihara, dididik, dibesarkan dan disantuni. Tidak ada bahasa yang lebih baik
untuk diucapkan dan tidak ada perilaku yang lebih mulia untuk dikerjakan kecuali
harus menghormati dan membalas jasanya dengan cara-cara yang sesuai dengan
ajaran Dharma.

 Bagian-Bagian Panca Yadnya


Panca Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lima korban suci yang
tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Orang yang melakukan Yadnya disebut
Yajamana.
Dilihat dari waktunya Yadnya dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Nitya Karma adalah Yadnya yang dilakukan setiap hari
b. Naimitika Karma adalah Yadnya yang dilakukan pada hari-hari tertentu
Panca Yadnya dibagi menjadi 5, yaitu:
1. Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kepada para
Dewa atau Sang Hyang Widhi.
Contoh: - Tri Sandhya
- Melaksanakan Yadnya Sesa
- Melaksanakan upacara melaspas, pujawali atau piodalan, ngenteg
linggih, dll
2. Rsi Yadnya
Rsi Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kepada para
Maha Rsi atau guru.
Contoh: - Melaksanakan Upacara Dwijati dan Ekajati
- Membantu dengan ikhlas pekerjaan para pendeta atau para
pemangku
- Menghaturkan dana punia kepada para Rsi, Sulinggih, dan
Pemangku
- Mempelajari ilmu pengetahuan (Adnyayanam)
3. Pitra Yadnya
Pitra Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kepada para
Pitra atau leluhur karena telah berjasa ketika masih hidup melindungi kita.
Contoh: - Melaksanakan upacara ngaben
- Memukur
- Menjadi anak yang baik (Suputra)
4. Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kepada
sesama manusia.
Contoh: Mepandes, Pawiwahan
5. Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah korban suci untuk para Bhuta Kala, tujuannya adalah
menetralisir kekuatan Bhuta Kala yang kurang baik menjadi kekuatan Bhuta
yang baik dan mendukung kehidupan manusia.
Contoh: Macaru, Tawur Agung, Masegeh, Panca Wali Krama, dll.

 Yadnya dalam Mahabhrata

SARPAYAJNA
Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan
Yadnya Sarpa yang sangat besar dan dihadiri oleh seluruh rakyat dan undangan dari
raja-raja terhormat. Undangan juga datang dari para pertapa suci ysng berasal dari
hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara
besar yang mengambil tingkatan utamaning utama.
Menjelang puncak pelaksanaan Yadnya, datanglah Brahmana suci dari
hutan ikut memberi doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar
itu. Seperti biasanya, setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan
yang lezat-lezat dalam jumlah yang tak terhingga. Begitu juga Brahmana Utama ini
diberikan suguhan makanan yang enak-enak. Setelah melalui perjalanan yang sangat
jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, Brahmana Utama ini sangat lapar dan
pakaiannya mulai terlihat kotor. Begitu dihidangkan makanan oleh para dayang
kerajaan, Sang Brahmana Utama langsung melahap hidngan tersebut dengan lahap
dan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan
dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak laim adalah penyelenggara Yadnya
besar tersebut. Begitu melihat caranya Sang Brahmana Utama menyantap makanan
dengan tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil mencela. “Kasihan Brahmana
Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesa-gesa” kata
Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi mencela Sang
Brahmana Utama cukup jauh, karena kesaktian dari Brahmana ini maka apa yang
dikatakan Drupadi dapat didengarnya dengan sangat jelas. Sang Brahmana Utama
diam, tetapi batinnya kecewa.
Di dalam agama Hindu, diajarkan bahwa apabila kita melakukan tindakan
mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela
seorang Brahmana Utama, pahalanya bias bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah
berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudar
iparnya yang tidak lain adalah Duryodana dan adik-adiknya. Di hadapan Maha Raja
Drestarasta, Rsi Bhisma, Begawan Drona, Kripacrya, Perdana Menteri Widura serta
disaksikan oleh para menteri lainnya, pakaian Dewi Drupadi dirobek oleh Dursasana
atas perintah Duryodana. Perbuatan biadab merendahkan wanita dengan merobek
pakaian di depan umum, bedampak pada kehancuran bagi negerinya para penghina.
Terjadinya penghinaan terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang
mencela Brahmana Utama ketika sedang menikmati hidangan.
Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena dibantu oleh
Krisna dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa habis sampai adiknya
Duryodana kelelahan lalu jatuh pingsan. Krisna membantu Drupadi karena Drupadi
pernah berkarma baik dengan cara membalut jarinya Krisna yang terkena Panah
Cakra setelah membunuh Supala.
Pesan moral dari cerita ini adalah, kalau melaksanakan Yadnya harus tulus
ikhlas, tidak boleh mencela, dan tidak boleh ragu-ragu.

 Syarat-Syarat dan Aturan dalam pelaksanaan Yadnya


 Agar pelaksanaan Yadnya lebih efisien, maka syarat pelaksanaan Yadnya perlu
mendapat perhatian, yaitu:
a. Sastra
b. Sraddha
c. Lascarya
d. Daksina
e. Mantra, puja, dan gita
f. Nasmuta
g. Anna Sevanam
 Menurut Bhagawadgita XVII, 11, 12, dan 13 menyebutkan ada tiga kualitas
Yadnya itu, yakni:
1. Satwika Yadnya, yadnya yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas sesuai dengan
petunjuk sastra dan menyadari beryadnya adalah kewajiban
2. Rajasika Yadnya, yadnya yang dilaksanakan semata-mata bertujuan untuk
pamer kekayaan serta akan terikat dengan hasil
3. Tamasika Yadnya, yadnya yang dilaksanakan tanpa didasari keyakinan, tanpa
petunjuk sastra
 Dalam pelaksanaan Yadnya tersebut hendaknya disesuaikan dengan desa, kala,
patra:
1. Desa artinya disesuaikan dengan daerah atau tempat diselenggarakannya
Yadnya
2. Kala artinya disesuaikan dengan waktu penyelenggaraan Yadnya
3. Patra artinya disesuaikan dengan keadaan atau kemampuan penyelenggaraan
Yadnya
 Dilihat dari kemampuan orang yang melakukan Yadnya dibagi menjadi 3, maka
besar kecilnya Yadnya harus dipertimbangkan kemampuan, namun tidak
mengurangi nilai Yadnya yang dilakukan, yaitu:
1. Nista Yadnya, artinya yadnya tingkatan kecil. Tingkatan nista ini dibagi
menjadi 3, yaitu:
a. Nistaning Nista adalah Upacara yang paling kecil dari tingkatan Upacara
terkecil
b. Madyaning Nista adalah Upacara yang lebih besar dari tingkatan Upacara
yang terkecil
c. Utamaning Nista adalah Upacara yang lebih besar dari tingkatan Upacara
yang tergolong Madyaning Nista
2. Madya Yadnya, artinya tingkatan ini berada satu tingkat di atas Nista Yadnya
dan berada di bawah Utamaning Yadnya. Tingkat madya ini dibagi menjadi 3,
yaitu:
a. Nistaning Madyama adalah Upacara yang paling kecil dari tingkatan
Upacara yang menengah
b. Madyaning Madyama adalah Upacara yang lebih besar dari tingkatan
Upacara yang tergolong Nistaning Madya
c. Utamaning Madyama adalah Upacara yang lebih besar dari tingkatan
Upacara yang tergolong Madyaning Madya
3. Utamaning Yadnya, artinya tingkatan ini adalah tingkatan Yadnya yang
paling atas dari semua tingkatan yang ada. Tingkat utamaning dibagi menjadi3
bagian, yaitu:
a. Nistaning Utama adalah Upacara yang paling kecil dari tingkatan Upacara
yang besar/utama
b. Madyaning Utama adalah Upacara yang lebih besar dari tingkatan Upacara
yang tergolong Nistaning Utama
c. Utamaning Utama adalah Upacara yang lebih besar diantara Upacara-
upacara Yadnya yang lainnya
 Penerapan Etika Beryadnya dalam Masyarakat

Etika dalam beryadnya tidak hanya berpatokan pada upakaranya saja, tetapi dalam
beryadnya ada hal-hal lain yang harus diperhatikan. Seperti halnya Dewa Yadnya
yang tidak harus diukur dari besar kecilnya sarana upacara dan megah atau
sederhananya pura, melainkan apakah yang bersangkutan mampu mengedepankan
sikap para dewa objektif, bebas dari kepentingan pribadi. Rsi Yadnya bukan pula
hanya daksina, upah atau hadiah kepada para pendeta, tetapi penghargaan kepada
dunia ilmu pengetahuan. Pitra Yadnya, bukan pula penghormatan kepada roh leluhur
melalui upacara pengabenan, tetapi kesadaran akan pentingnya masa lampau untuk
melangkah di masa kini. Manusa Yadnya, juga tidak semata-mata upacara siklus
kehidupan lahir-hidup-mati tetapi juga upakara kemanusiaan, perikemanusiaan.
Demikian dengan Bhuta Yadnya, bukan berarti hanya untuk bhuta kala melainkan
makhluk hidup, segala yang berwujud dan berupa.

Anda mungkin juga menyukai