Anda di halaman 1dari 17

Kakawin Arjunawiwha

Kakawin Arjunawiwha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini
ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur
dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar
tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh
para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama
bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda
Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka
berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi
yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang
pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah
itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu
kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.
Oleh para pakar ditengarai bahwa kakawin Arjunawiwaha berdasarkan Wanaparwa, kitab ketiga
Mahbharata.
Daftar isi
1 Ikhtisar cerita
2 Manggala
3 Gambar-gambar
4 Catatan kaki
5 Referensi
6 Lihat pula
Ikhtisar cerita
Di bawah ini disajikan ringkasan cerita yang terdapat dalam kakawin Arjunawiwha. Ringkasan ini
berdasarkan ulasan P.J. Zoetmulder (1983:298-302) dan terjemahan Ignasius Kuntara Wiryamartana
(1990:124-182).

Niwtakawaca, seorang raksasa (daitya) mempersiapkan diri untuk menyerang dan menghancurkan
kahyangan Batara Indra. Karena raksasa itu tak dapat dikalahkan, baik oleh seorang dewa maupun
oleh seorang raksasa, maka Batara Indra memutuskan untuk meminta bantuan dari seorang manusia.
Pilihan tidak sukar dan jatuh pada sang Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakla. Namun
sebelum Arjuna diminta bantuannya, terlebih dahulu harus diuji ketabahannya dalam melakukan
yoga, karena ini juga merupakan jaminan agar bantuannya benar-benar membawa hasil seperti yang
diharapkan.
Maka tujuh orang bidadari yang kecantikannya sungguh menakjubkan dipanggil. Kedua bidadari
yang terpenting bernama Suprabh dan Tilottam, mereka semua diperintahkan untuk mengunjungi
Arjuna lalu mempergunakan kecantikan mereka untuk merayunya.
Maka berjalanlah para bidadari melalui keindahan alam di gunung Indrakla menuju tempat
bertapanya sang Arjuna. Mereka beristirahat di sebuah sungai lalu menghias diri dan membicarakan
bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka.
Mereka sampai pada gua tempat Arjuna duduk, terserap oleh samadi, lalu memperlihatkan segala
kecantikan mereka dan mempergunakan segala akal yang dapat mereka pikirkan guna menggodanya,
tetapi sia-sia belaka. Dengan rasa kecewa mereka pulang ke kahyangan dan melapor kepada batara
Indra. Namun bagi para dewa kegagalan mereka merupakan suatu sumber kegembiraan, karena
dengan demikian terbuktilah kesaktian Arjuna.
Tertinggallah hanya satu hal yang masih disangsikan: apakah tujuan Arjuna dengan mengadakan
yoga semata-mata untuk memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia
tidak menghiraukan keselamatan orang lain? Maka supaya dalam hal yang demikian penting itu
dapat diperoleh kepastian, Indra sendiri yang menjenguk Arjuna dengan menyamar sebagai seorang
resi tua yang telah pikun dan bungkuk. Sang resi tua ini berpura-pura batuk dan lalu disambut
dengan penuh hormat oleh sang Arjuna yang sebentar menghentikan tapanya dan dalam diskusi
falsafi yang menyusul terpaparlah suatu uraian mengenai kekuasaan dan kenikmatan dalam makna
yang sejati. Dalam segala wujudnya, termasuk kebahagiaan di sorga, kekuasaan dan nikmat termasuk
dunia semu dan ilusi; karena hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, maka tetap jauh dari Yang
Mutlak. Barangsiapa ingin mencapai kesempurnaan dan moksa, harus menerobos dunia wujud dan
bayang-bayang yang menyesatkan, jangan sampai terbelenggu olehnya. Hal seperti ini dimengerti oleh
Arjuna. Ia menegaskan, bahwa satu-satunya tujuannya dalam melakukan tapa brata ialah memenuhi
kewajibannya selaku seorang ksatria serta membantu kakaknya Yudistira untuk merebut kembali
kerajaannya demi kesejahteraan seluruh dunia. Indra merasa puas, mengungkapkan siapakah dia
sebenarnya dan meramalkan, bahwa Batara Siwa akan berkenan kepada Arjuna, lalu pulang. Arjuna
meneruskan tapa-bratanya.
Dalam pada itu raja para raksasa telah mendengar berita apa yang terjadi di gunung Indrakila. Ia
mengutus seorang raksasa lain yang bernama Mka untuk membunuh Arjuna. Dalam wujud seekor
babi hutan ia mengacaukan hutan-hutan di sekitarnya. Arjuna, terkejut oleh segala hiruk-pikuk,
mengangkat senjatanya dan keluar dari guanya. Pada saat yang sama dewa Siwa, yang telah
mendengar bagaimana Arjuna melakukan yoga dengan baik sekali tiba dalam wujud seorang
pemburu dari salah satu suku terasing, yaitu suku Kira. Pada saat yang sama masing-masing
melepaskan panah dan babi hutan tewas karena lukanya. Kedua anak panah ternyata menjadi satu.
Terjadilah perselisihan antara Arjuna dan orang Kira itu, siapa yang telah membunuh binatang itu.
Perselisihan memuncak menjadi perdebatan sengit. Panah-panah Siwa yang penuh sakti itu semuanya
ditanggalkan kekuatannya dan akhirnya busurnya pun dihancurkan. Mereka lalu mulai berkelahi.
Arjuna yang hampir kalah, memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu wujud si pemburu lenyap
dan Siwa menampakkan diri.
Batara Siwa bersemayam selaku ardhanarwara 'setengah pria, setengah wanita' di atas bunga
padma. Arjuna memujanya dengan suatu madah pujian dan yang mengungkapkan pengakuannya
terhadap Siwa yang hadir dalam segala sesuatu. Siwa menghadiahkan kepada Arjuna sepucuk panah
yang kesaktiannya tak dapat dipatahkan; namanya Pasupati. Sekaligus diberikan kepadanya
pengetahuan gaib bagaimana mempergunakan panah itu. Sesudah itu Siwa lenyap.
Tengah Arjuna memperbincangkan, apakah sebaiknya ia kembali ke sanak saudaranya, datanglah
dua apsara 'makhluk setengah dewa setengah manusia', membawa sepucuk surat dari Indra; ia minta
agar Arjuna bersedia menghadap, membantu para dewa dalam rencana mereka untuk membunuh
Niwatakawaca. Arjuna merasa ragu-ragu, karena ini berarti bahwa ia lebih lama lagi terpisah dari
saudara-saudaranya, tetapi akhirnya ia setuju. Ia mengenakan sebuah kemeja ajaib bersama sepasang
sandal yang dibawa oleh kedua apsara, dan lewat udara menemai mereka ke kahyangan batara Indra.
Ia disambut dengan riang gembira dan para bidadari merasa tergila-gila. Indra menerangkan
keadaan yang tidak begitu menguntungkan bagi para dewa akibat niat jahat Niwatakawaca. Raksasa
itu hanya dapat ditewaskan oleh seorang manusia, tetapi terlebih dahulu mereka harus menemukan
titik lemahnya. Sang bidadari Suprabha yang sudah lama diincar oleh raksasa itu, akan
mengunjunginya dan akan berusaha untuk mengatahui rahasianya dengan ditemani oleh Arjuna.
Arjuna menerima tugas itu dan mereka turun ke bumi. Suprabha pura-pura malu karena hubungan
mereka nampak begitu akrab, akibat tugas yang dibebankan kepada mereka. Dalam kepolosannya
Suprabha tidak menghiraukan kata-kata manis Arjuna dan berusaha membelokkan percakapan
mereka ke hal-hal lain. Waktu sore hari mereka sampai ke tempat kediaman si raja raksasa; di sana
tengah diadakan persiapan-persiapan perang melawan para dewata. Sang Suprabha, sambil
membayangkan bagaimana ia akan diperlakukan oleh Niwatakawaca, merasa tidak berani
melaksanakan apa yang ditugaskan kepadanya, tetapi ia diberi semangat oleh Arjuna. Ia pasti akan
berhasil asal ia mempergunakan segala rayuan seperti yang diperlihatkan ketika Arjuna sedang
bertapa di dalam gua, biarpun pada waktu itu tidak membuahkan hasil.
Suprabha menuju sebuah sanggar mestika (balai kristal murni), di tengah-tengah halaman istana.
Sementara itu Arjuna menyusul dari dekat. Namun Arjuna memiliki aji supaya ia tidak dapat dilihat
orang. Itulah sebabnya mengapa para dayang-dayang yang sedang bercengkerama di bawah sinar
bulan purnama, hanya melihat Suprabha. Beberapa dayang-dayang yang dulu diboyong ke mari dari
istana Indra, mengenalinya dan menyambutnya dengan gembira sambil menanyakan bagaimana
keadaan di kahyangan. Suprabha menceritakan, bagaimana ia meninggalkan kahyangan atas
kemauannya sendiri, karena tahu bahwa itu akan dihancurkan; sebelum ia bersama dengan segala
barang rampasan ditawan, ia menyeberang ke Niwatakawaca. Dua orang dayang-dayang menghadap
raja dan membawa berita yang sudah sekian lama dirindukannya. Seketika ia bangun dan menuju ke
taman sari. Niwatakawaca pun menimang dan memangku sang Suprabha. Suprabha menolak segala
desakannya yang penuh nafsu birahi dan memohon agar sang raja bersabar sampai fajar
menyingsing. Ia merayunya sambil memuji-muji kekuatan raja yang tak terkalahkan itu, lalu
bertanya tapa macam apa yang mengakibatkan ia dianugerahi kesaktian yang luar biasa oleh Rudra.
Niwatakawaca terjebak oleh bujukan Suprabha dan membeberkan rahasianya. Ujung lidahnya
merupakan tempat kesaktiannya. Ketika Arjuna mendengar itu ia meninggalkan tempat
persembunyiannya dan menghancurkan gapura istana. Niwatakawaca terkejut oleh kegaduhan yang
dahsyat itu; Suprabha mempergunakan saat itu dan melarikan diri bersama Arjuna.
Meluaplah angkara murka sang raja yang menyadari bahwa ia telah tertipu; ia memerintahkan
pasukan-pasukannya agar seketika berangkat dan berbaris melawan para dewa-dewa. Kahyangan
diliputi suasana gembira karena Arjuna dan Suprabha telah pulang dengan selamat. Dalam suatu
rapat umum oleh para dewa diperbincangkan taktik untuk memukul mundur si musuh, tetapi hanya
Indra dan Arjuna yang mengetahui senjata apa telah mereka miliki karena ucapan Niwatakawaca
yang kurang hati-hati. Bala tentara para dewa, apsara dan gandharwa menuju ke medan
pertempuran di lereng selatan pegunungan Himalaya.
Menyusullah pertempuran sengit yang tidak menentu, sampai Niwatakawaca terjun ke medan laga
dan mencerai-beraikan barisan para dewa yang dengan rasa malu terpaksa mundur. Arjuna yang
bertempur di belakang barisan tentara yang sedang mundur, berusaha menarik perhatian
Niwatakawaca. Pura-pura ia terhanyut oleh tentara yang lari terbirit-birit, tetapi busur telah
disiapkannya. Ketika raja para raksasa mulai mengejarnya dan berteriak-teriak dengan amarahnya,
Arjuna menarik busurnya, anak panah melesat masuk ke mulut sang raja dan menembus ujung
lidahnya. Ia jatuh tersungkur dan mati. Para raksasa melarikan diri atau dibunuh, dan para dewa
yang semula mengundurkan diri, kini kembali sebagai pemenang. Mereka yang tewas dihidupkan
dengan air amrta dan semua pulang ke sorga. Di sana para istri menunggu kedatangan mereka
dengan rasa was-was jangan-jangan suami mereka lebih suka kepada wanita-wanita yang ditawan,
ketika mereka merampas harta para musuh. Inilah satu-satunya awan yang meredupkan
kegembiraan mereka.
Kini Arjuna menerima penghargaan bagi bantuannya. Selama tujuh hari (menurut perhitungan di
sorga, dan ini sama lama dengan tujuh bulan di bumi manusia) ia akan menikmati buah hasil dari
kelakuannya yang penuh kejantanan itu: ia akan bersemayam bagaikan seorang raja di atas
singgasana Indra. Setelah ia dinobatkan, menyusullah upacara pernikahan sampai tujuh kali dengan
ketujuh bidadari. Satu per satu, dengan diantar oleh Menaka, mereka memasuki ruang mempelai.
Yang pertama datang ialah Suprabha, sesudah perjalanan mereka yang penuh bahaya, dialah yang
mempunyai hak pertama. Kemudian Tilottama lalu ke lima yang lain, satu per satu; nama mereka
tidak disebut. Hari berganti hari dan Arjuna mulai menjadi gelisah. Ia rindu akan sanak saudaranya
yang ditinggalkannya. Ia mengurung diri dalam sebuah balai di taman dan mencoba menyalurkan
perasaannya lewat sebuah syair. Hal ini tidak luput dari perhatian Menaka dan Tilottama. Yang
terakhir ini berdiri di balik sebatang pohon dan mendengar, bagaimana Arjuna menemui kesukaran
dalam menggubah baris penutup bait kedua. Tilottama lalu menamatkannya dengan sebuah baris
yang lucu. Maka setelah tujuh bulan itu sudah lewat, Arjuna berpamit kepada Indra; ia diantar
kembali ke bumi oleh Matali dengan sebuah kereta sorgawi. Kakawin ini ditutup dengan keluh kesah
para bidadari yang ditinggalkan di sorga dan sebuah kolofon mpu Kanwa.






KEKAWIN ARJUNAWIWAHA
Bagian Pertama: Penulisan Kakawin
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu
Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan
merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji).
Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin
warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung
bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar
dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang
dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan Sembah kehadapan Sri
Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu (Sri Airlanggha namastu sang
panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan
(alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan
permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan
(asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan
(duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan
(nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota
(nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung
permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang
kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya
adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan
(sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri
dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan
(mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha),
perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk
menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut
kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakawin.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan
cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka),
keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha),
kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta
ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa)
dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan
(patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa),
yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin
kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata),
dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi
tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat
persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi
bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan
itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma
(munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur).
Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati
Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat
hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya
menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan
yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam
keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu
untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di
dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran
keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa),
sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa).
Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun
ke-bakti-an dari yang memuja.
Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat
dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi
tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama,
yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara),
muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa
pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka
haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian
makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang
membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka
tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan
terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada
saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan
yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan
(sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang
telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena
itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam
rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang suci, ia akan dapat merasakan
kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang
menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan
ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan
menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala-sesuatu yang
diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan
jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis Perihal dharma ksatria, jasa dan
kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai
moksa (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan
makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh
kejayaan di mana-mana.
Bagian kedua: Pembacaan Kakawin
(Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga,
Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang ke-jaya-an Arjuna di Kahyangan
(kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin ia ditampilkan sebagai calon pahlawan
(nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang
ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang
telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan
watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa),
yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap,
munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah
berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah
oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang
Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan
Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka
diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda
Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya
Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan-hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para
apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam
kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan
batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang
menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria
pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji,
apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan
keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-
olokkan dan menggugah rasa ke-ksatria-an Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan
dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan
(yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang
Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-
citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa
memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan).
Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan
Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu
untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan
teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih
harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara
Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka
Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap
waspada, tampak penuh kesiap siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka.
Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas,
dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi
hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada
Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-
kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah
(krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya).
Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara)
Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas
serangan senjata Sang Kirata.Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga
ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra),
erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah.
Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna
bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena
ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong,
dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian
memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang
Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan
Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi
pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena
kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi
(mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1 XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang
tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam
persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna
menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil
kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna
didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di
sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin
menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya)
yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha
melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya
diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam
mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-
Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri
bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora
Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan
Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan
serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur
melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan
raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang
mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya
ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut
lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa
terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja
menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang
perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana),
karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu
terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan
untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan
tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak
banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian
daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara
penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya
(wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang
(amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah
untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di
kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan
baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya.
Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Bagian Ketiga: Pemahaman Kakawin
Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya
perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha
mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata)
yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu
sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui
gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya
diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan
sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi
mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra
(mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan
Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata).
Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan
mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya.
Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya).
Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja
ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya
(dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang
disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya
dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek)
tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring
kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada
kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih
cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian
(santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang
raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia
(akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan
(warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati
di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti
(manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh
anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara
Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat
dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan
kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala ).
Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha),
demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia
(maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan
Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh
Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang
menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu
Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang
terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti,
sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang
Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya),
akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin
menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru).
Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam
perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat
memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh
keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan
menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia
sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi
(siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya
terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-
jernih (alilang), bebas-lepas (huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah
manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela
kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi),
hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam
kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan
yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari
niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi
kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang
mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan
para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh
kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi
memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan
jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan
kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun
dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam
keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban
hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian
dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup
itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang
penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa
dibya). Ia telah mematahkan belenggu ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan
Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata
pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna
memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api
yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa
keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya
(prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba).
Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan
dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha)
berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api.
Maka dalam samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar
semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha
Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan
laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama
(tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong
Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan
terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang)
melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan
mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam
rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana
teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan
pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra
dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa
bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang
diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana)
itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa
Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai
dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra,
yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka
naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-
belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti,
vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka).
Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana
sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua-belas tercapailah
keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata),
dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah
berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari
tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan
(suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia
berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati
sukha tan pabalik dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran ke-
sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma).
Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-
senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan
Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan
dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira),
dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang
Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib
perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-
muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah-api (agnisara).
Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa
bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi
kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi
kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca
rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang
menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya)
pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha
(sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan
Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha
karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma),
sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka)
Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi
(Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang
mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena
itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang
sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin
itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam
keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga
bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung
(nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam
kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang
menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus
mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu
membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam
kakawinnya Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan (satirun-tirun
krtartha sira de ni kadhiran ira) Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang
Panduputra (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya
Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama Itulah
kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak
kesetiaan suami (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang
sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri
adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang
kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah
menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra.
Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-
bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh
karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan Agar
indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku (rapwan
ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian
digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga.
Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia. (1996)
Catatan Pribadi diambil dari ARJUNAWIWAHA transformasi teks jawa kuna lewat tanggapan
dan penciptaan di lingkungan sastra jawa oleh I. Kuntara Wiryamartana Duta Wacana University
Press, 1990

TEEUW
Di samping nilai-nilai estetis di atas, karya sastra menurut Horace dalam Teeuw (1998:8) bersifat Dulce
et Utile yang berarti menyenangkan dan bermanfaat. Dalam karya sastra yang baik, pembaca akan
mendapatkan kesenangan dan kegunaan yang diberikan oleh karya sastra yang berupa keindahan dan
pengalaman-pengalaman yang bernilai tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung.
strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu
mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya (Teeuw, 1983: 61). Oleh karena itu, untuk
dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam
menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik (Teeuw, 1983: 62), yaitu analisis struktural
dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh
karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang
menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.

Anda mungkin juga menyukai