Anda di halaman 1dari 7

1.

Ada seorang brahmana namanya Jaratkaru, sebabnya bernama demikian kata cerita:
Jaratiksayam ity ahuh, jarat berarti keturuntuhan, karunikasya tad bhayam, berbudi belas
kasihan, selalu memberi pertolongan kepada orang yang sedang takut, ia sendiri berbadan
menakutkan, sepantasnya kalau ditakuti, karena memang berwatak penglebur. Iangatlah ia akan
penjelmaan atas dirinya, Jaratkarur itismrtah. oleh karena itu bernama Juaratkaru, takutlah ia
akan segala kesengsaraan hidup.
2. Ya ta warakulotpannah, ia putra seorang wiku terpilih atas ketetapan budinya, dengan rajinnya
mengambil biji padi, yang tersebar ataupun yang terletak di jalan, itulah yang di pungut dan di
cucinya. Kalau sudah banyak ditanaknya, dipergunakan sebagai korban kepada para dewa, dan
untuk dihidangkan kepada para tamu.Semikian ketetapan budi kepada leluhurnya, tiada
kelekatan cinta asmara, tidak memikirkan istri, melainkan bertapalah yang dipentingkan, yang
diajarkannya kesusahan orang bertapa.
3. Ketika maharaja Parikesit berburu yang menyebabkan di kutuknya Begawan Srnggi, supaya
digigit naga Tatsaka pada waktu itulah Sang Jaratkaru bertapa. Sesudah ia tamat akan segala
mantra, ia deperbolehkan memasuki segala tempat, sampailah pada tempat-tempat yang di
kehendakinya dan berziarah. Makin jauhlah perginya, sampai pada suatu tempat,
Ayatabasthana namanya, yaitu tempat di antara sorga dan neraka, dimana leluhurnya
menunggu. Adakah ia masuk surga atau di neraka. Ayatanasthana pada waktu itu dilaluinya.
4. Leluhurrnya kedapatan tergantung pada sebuah buluh petung, mukanya tertelungkup, kakinya
di dikat, sedang di bawahnya sebuah jurang dalam, jalan ke neraka, orang akan masuk ke
dalamnya kalau buluh tempat bergantung itu putus. Seekor tikus tinggal di dalam huluh di tepi
jurang itu, setiap hari mengerat buku batang huluh. Hal itu terlihat oleh sang Jaratkaru.
Berlinang airmatanya sehingga timbul belas kasihnya, hancur lebur hatinya karena leluhurnya
tergantug terbalik di buluh dan di ikat kakinya itu. Kemudian Jaratkaru dirasuki (di dekati) oleh
leluhurnya, tapasarupa. berpakaian sebagai seorang pertapa, berambut tebal berpakaian kulit
kayu. Tidak sepantasnya ia menyaksikan kesengsaraan yang di deritanya tidak makan, bagaikan
sehelai daun yang bergantung, kering karena musim kemarau, bergantungan tertiup angin, tiada
makan selamanya, demikian keadaan leluhurnya.
5. "ke bhawanto 'walambante wiranastam bam asritah? seru sang jaratkaru : apakah sebabnya
tuanku sekalian bergantung, di buluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang di bawahnya
jurang yang tiada terduga dalamnya? perbuatan itulah yang membuat sakit hati hamba,
kasiahan hamba melihat, dan hamba akan menolong, tapasah krta balena, bukankah hamba
sudah bertapa sejak kecil (masih anak-anak), bukankah yang demikian ini tidak menganggap
benar akan tapa hamba sebabgai tanggungan, berdosalah itu, karena hamba melihat
kesengsaraan tuanku. Bila akan memberi penghargaan akan tapa hamba, supaya tuan hamba
pulang ke surga untuk tidak mengetahui kesengsaraan?Atau hamba serahkan seperempat atau
separuhnya saja untuk dapat tuanku pulang ke sorga"
6. Demikian seru sang Jaratkaru, terdengar oleh leluhurnya. menjawablah ia,hatinya menjadi segar
bagaikan disiram dengan amrta jawaban: "Tapawarta karma wayam, saya ini engkau tanyai,
saya akan mengatakan keadaan saya semua, umarambham krtamkarma santanam
preksayetrato, karena keturunan kami ini putus. Itulah sebabnya saya putus dari dunia leluhur,
bergantungan di buluh petung ini, seakan akan saya masuk neraka, nyatanya sebatang buluh
saja. Ada keturunan saya bernama Jaratkaru, ia moksa(pergi) untuk melepaskan kesengsaraan
orang, ia tiada beristri karena menjadi Brahmacari sejak masih kecil. itulah yang menyebabkan
saya ada dihuluh ini, karena brata semadhinya...kepada asrama sang pertapa.
7. Jikalau putus keturunananya tiadalah buah dari tapanya, karena pada mulanya senanglah saya,
lebih-lebih memilih bratanya. Demikian yang baru terjadi sekarang, akan ketidak ada keturunan
saya. Narah duskrtino yatha. Tak ada bedanya saya dengan seorang yang menjalankan
perbuatan hina, seorang yang semestinya sengsara. Kalau kiranya engkau berbalas kasihan
kepada saya, pintalah kasih sang wiku Jaratkaru supaya mau berketurunan, supaya saya bisa
pulang ketempat leluhur. Dan katakanlah saya menderita kesengsaraan, supaya ia berbelas
kasihan".
8. Demikianlah kaa leluhur itu, makin berlinag-linang airmata Jaratkaru, bagaikan tersayat hatinya
melihat leluhurnya susah lain katanya: "Saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunan
yang gemar tapa, bertekad menjadi Brahmacari, kiranya idak sekarang penderitaanmu berakhir
karena selalu sempurnalah tapa yang berlangsung. Adapaun kalau itu menjadi jalanmu pulang
ke surga janganlah kamu semua khawatir, saya akan menghentikan ke brahmacarian saya,
mencari anak istri. Adapun yang saya kehendaki istri yang namanya sama dengan nama saya,
supaya tiada bertenangan dalam perkawinan saya. kalau saya sudah beranak akan menjadi
brahmacari lagi, persenanglah hatimu."
9. Demikian kata sang Jaratkaru, pergilah ia mencari istri yang senama dengan ia. Pada saat itu,
sang Raja Janamejaya adalah mempelai baru, mengambil permaisuri sang Bhamustiman. Pada
waktu itulah ia pergi, semua penjuru sudah dimasukinya, tetapi tiada mendapat istri yang
senama dengan dia, tiada tahu apa yang akan dia kerjakan.Maka mencari pertolongan kepada
bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Masuklah ia kehutan sunyi,
menangislah ia mengeluh kepada segala dewa, kepada semua mahkluk, serunya:
10. "Jani-Bhutani santiha, janggamani sthirani ca..Hai segala mahkluk, termasuk yang tidak
bergerak, saya ini Jaratkaru, seorang brahmana ingin beristri, berilah saya istri yang senama
dengan saya Jaratkaru, biarkan saya berketurunan, supaya leluhur saya pulang ke surga".
Demikian tangis sang Jaratkaru, terdengar oleh para naga.
11. Dalam waktu keributan (para naga), disuruhnyalah oleh sang Basuki mencari brahmana yang
bernama Jaratkaru tadi, supaya mempunyai anak, akan diberi adiknya yang bernama Nagagini
dan diberi nama Jaratkaru, supaya beranakkan seorang brahmana yang akan menghindarkan
dirinya dari korban ular.
12. Demikian maksud sang Basuki setelah mendengar tangis sang Jaratkaru.
13. Senanglah hati para Naga, mengatakan pada sang Basuki, akan memanggil sang Jaratkaru untuk
diberi adiknya. Gembiralah sang Jaratkaru karenannya. Naga Basuki-pun terus pulang ke patala
(dalam tanah).
14. Dikawinkanlah oleh sang Basuki, di temukan dengan bermacam-macam upacara. Waktu ia
sedang berada di balai-balai, berkatalah sang Jaratkaru kepada isterinya, katanya: "Perjanjian
yang kubuat terhadapmu, janganlah engkau mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan
perasaan, demikian pula yang berbuat yang tidak senonoh. Kalau hal itu kau perbuat, engkau
akan ku tinggalkan".
15. Demikian kata sang Jaratkaru kepada isterinya, lalu merekapun hidup bersama. Tidak terkatakan
lamanya, terlihatlah ada tanda-tanda bahwa istrinya hamil.
16. Pada suatu waktu ia akan tidur minta ditunggu oleh istrinya, karena dikirannya akan di
tinggalkan maka kepalanya minta dipangku oleh istrinya.
17. "Pangkulah aku selama tidur", dengan hati-hati istrinya memangku suaminya. Agak lamalah
kiranya sampai waktu senja, waktu pemujaan seperti pada waktu yang sudah-sudah.
18. Sang Nagagini Jaratkaru berkata dalam hatinya: "sekarang sudah petang, waktunya para
brahmana menyajikan korban, tuanku, baiklah kiranya dibangunkan, mengingatkan sebagai
biasa, karena kalau menanti sampai tuanku bangun, takutlah kalau tuanku marah, karena akan
terlambat waktu pemujaan, dikiranya selalu berbuat demikian terhadap Bhatara".
19. Maka lalu dibangunkanlah suaminya,
20. "O tuanku brahmana besar, bangunlah tuanku. Sekarang sudah waktunya senja, apakah
pekerjaan kami. Inilah bunga yang sudah menantikan dengan bau-bauan harumnya".
21. Demikianlah katanya sambil menyeka muka suaminya. Bangunlah sang Jaratkaru, marah
bersinar matanya, merah mukanya karena marah. Serunya:
22. "Hai Nagagini jahanam! Sangatlah penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu
tiduku".
23. "Ayukyo maryadah strinam. tidak selayaknya tingkah laku istri seperti tingkah lakumu itu.
Sekarang engkau akan ku tinggalkan".
24. Demikian katanya, lalu memandang kepada istrinya. Nagagini mengikutinya lari lalu memeluk
kaki suaminya.
25. "Oh tuanku, ampunilah hamba tuanku ini. Tidak karena penghinaan hamba membangunkan
tuanku. Tetapi hanya memperingatkan tuanku akan waktu pemujaan setiap hari senja".
26. "Salah kiranya, karena hamba menyembah (minta ampun) kepada tuanku. Baik kiranya tuanku
kembali,,,,!"
27. "Kalau hamba sudah mempunyai anak yang akan menghindarkan hamba dari korban ular, sejak
itulah tuanku boleh bertapa kembali".
28. Demikianlah kata Nagagini imta belas kasihan.
29. Jawab sang Jaratkaru: "Alangkah baiknya perbuatanmu Nagagini, memperingatkan pemujaan
pada waktu senja. Akan tetapi aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan
engkau".
30. "Tidak mungkir janjilah perkataan orang seperti aku ini. Akan kehendakmu itu janganlah engkau
kuatir". "Asti, anakmu sudah ada Itulah yang akan melindungimu kelak pada waktu korban ular.
Senangkanlah hatimu".
31. Sang Jaratkaru lalu meninggalkannya, tidak dapat dirintangi lagi. Sang Nagagini ditinggalkan, lalu
mengatakan kepada sang Basuki tentang kepergian suaminya. Mengatakan segala perkataan
sang Jaratkaru, dan mengatakan pula tentang isi kandungannya, yang menyebabkan girangnya
sang Basuki.
32. Lamalah sudah waku berselang, lahir seorang bayi laki-laki, sempurna keadaan badannya.
Diberinya nama sang Astika, karena "asti" kata bapanya dahulu.
33. Disambutnyalah oleh sang Basuki akan anak tersebut diberkahi sebagaimana cara seorang
Brahmana memberkahi, dipeliharannya pun diberinya upawitra (tali brahmana)
34. Ketika sang Astika lahir, pada waktu itulah leluhur (jaratkaru) yang bergantungan itulah lepas
dan melayang kembali ke sorga, mengennyam hasil tapanya dahulu, demikian pula atas
tekadnya yang sudah terpilih.Sang Astikapun menjadi tua, dapat mempelajari Weda. Diberinya
berbagai macam ilmu mengikuti (langkah) sang Bhrgu.
35. "Demikianlah kisah sang Astika, ia yang menyebabkan naga Tatsaka terhindar dari korban ular
yang dilakukan maharaja Janamejaya."
36. Demikianlah cerita sang Ugraisrawa. Begawan Sonaka menyambutnya, katanya:
37. "Sangat tertarik hamba akan cerita Astika. Berulang-ulang hamba mendengarkan cerita tuanku,
meskipun demikian tiada juga puas-puasnya akan cerita ini. Kasihanilah hamba hai sang
Ugraisrawa, kiranya bentangkalah terus kiranya cerita ini.
38. Demikianlah begawan Sonaka, Jawab sang Ugraisrawa: "Ayusman idam akyanam astikam
kathayamite. Baiklah, cerita ini memang sangat sucinya, kiranya panjang umur yang
diperolehnya. Saya akan bercerita lagi. Nagotpatti, asal mulanya ada naga."
39. Ada seorang resi bernama Begawan Kesyapa, anak begawan Marici, cucu Bhatara Brahma. Ia
deberi empat belas putri oleh Begawan Daksa supaya diperistrinya. Sedangkan masing-masing
puti itu namanya adalah :
40. Sang Aditi, Sang Diti, Sang Danu, Sang Aristi, Sang Anayusa, Sang Kasa, Sang Surabhi, Sang
Winata, sang Kadru, sang Ira, Sang Mrgi, Sang Krodhawasa, sang Tamra.
41. Itulah ke-empat belas orang putri Istri Begawan Kesyapa.
42. Semua mempunyai anak masing-masing, Sang Diti beranak dua belas ditya, sang Diti beranak
daitya, sang Danu beranak Denawa, sang Parwa beranak Gandarwa, sang Aristi beranak
Bidadara, sang Anuyasa beranak Asyura, sang Kasa beranak Raksasa, sang Surabhi beranak
sebelas rudra dan lembu, sang Tamra beranak tanam-tanaman, Mrgi beranak raksasa kecil-kecil
(pisaca), gana, bhuta kumbhan dan putana (sebangsa setan), sang Krodhawasa beranak putri
sepuluh, juga sang Sarama, ia diberikan kepada begawan Pulaha. Ia beranakkan hewan semua,
terdapat pula diantaranya anjing, sang Ira beranakan gajah Airawana. Sedang sang Winata dan
Kadru tiada beranak.
43. Mereka (berdua) menghadap begawan Kesyapa, suaminya untuk menghambakan diri.
Kasihanlah begaawan Kesyapa kepadanya, lalu menanyakan maksud kedatangannya.
44. Menjawablah sang Kadri dan Winata: "sang Maharsi! Apakah sebabnya saudara-saudara saya
sudah beranak, saya sendiri belum. Kalau mengabulkan anugerahilah saya. Adapun yang saya
kehendaki seribu orang anak, dan jadikanlah itu anak saya dan Maharsi"
45. Demikian kata sang Kadru. Pada waktu itu ia diberi telur seribu butir, yang kelak akan menetas.
46. Adapun kata sang Winata: "Ya tuan pendeta, tidak usah banyak anugerahmu kepada saya, dua
orang anak sajalah, tetapi hendaknya kesaktiannya lebih daripada kesaktian anak sang Kadru, itu
sajalah anugrahmu kepada saya".
47. Demikian kata sang Winata. Ia lalu diberinya dua butir telur. dijaganya dengan hati-hati telur
pemberian suaminya itu, disimpan di dalam jun (tempayan?) dan di jaganya.
48. Setelah lima ratus tahun berlalu, anak sang Kadru seribu butir telur menetas. Semua berwujud
naga, sebagai pemukanya sang Antaboga, sang Basuki, sang Tatsaka, semuanya sangat sakti.
49. Sedang anak sang Winata tidak (belum) menetas. Malulah ia menundukkan kepala, pada
perasaannya ia mendapatkan kekalahan. Hatinya khawatir kalau-kalau anaknya tidak akan
menetas, karena itu lalu telurnya di pecah. Ketika telur itu pecah, purwadase tu utpanam tatra
putram adrsyate, terlihatlah anaknya yang baru separuh badannya yang jadi, yaitu bagian atas,
terutama mukanya belum sempurna, tetapi kedua kakinya belum.
50. Anaknya tadi marah, karena di tetaskan sebelum waktunya, maka dari itu dikutukyalah ibunya.
51. "Saho me' pi kuto mata! hai ibu, saya sangat kesakitan karena ditetaskan sebelum waktunya,
menyebabkan badan saya bercacat. Padahal kehendak ibu supaya melebihi anak sang Kadru,
kalau perbuatan ibu demikian: Tasmad dasi bhawisyasi, ibu akan diperbudak saudara ibu sendiri,
dan berlebih-lebihan pula. Berhati-hatilah ibu menjaga saudara saya yang satu satu lagi, itulah
yang menebus ibu dari perbudakan ibu kelak".
52. Demikian kata anak itu mengutuk ibunya, anak sang Winata namanya sang Aruna, karena
Anuruh tiada berpupu, tiada pula berkaki, menjadi sais sang Hyang Aditya. Itulah yang bersinar
merah pada pagi hari. Adapun telur yang tinggal sebutir itu, di pelihara dan dijaganya dengan
hati-hati oleh sang Winata.
53. Tiada terkatakan lagi cerita ini, tersebutlah pengeburan samudra, tempat lahirnya kuda
Uccaihsrawa, itulah yang menyebabkan sang Winata diperbudak sang Kadru, Ceritanya
demikian:
54. Segala golongan dewa, berunding di puncak gunung Mahameru, yang dirundingkan tentang
mendapatkan Amrta. Golongan daitya, golongan danawa ikut berunding juga, karena
menghendaki amrta pula.
55. Pada sidang para dewa dan daitya itu sang Hyang Narayana bersabda: "Kalau mengehendaki
amrta, hai kamu para dewa semua, utsahakaryyapiditah, usahakanlah terkeburnya laut Ksira
(puhan=susu), sebab laut itu terdapat amrta, caranya aduklah. Oleh karena itu kerjakanlah.
56. Demikian sang Hyang Narayana, disambut oleh golongan dewa dan asura, mereka lalu pergi ke
laut Ksira.
57. Sebuah gunung Mandara namanya, gunung di tanah Sangka, tanah yang mempunyai laut Ksira
itu. Tinggi gunung itu, ekadasa sahasrani, sebelas ribu yojana.
58. Adhoh bhumeh sahasrani, pasirnya seribu yojana. Demikianlah keadaan (ukuran) gunung
Mandara. Gunung itu dicabut oleh sang Hyang Anantaboga, terbawa dengan segala isinya, dan
dijatuhkan dalam laut ksira, akan dipakai sebagai pengebur laut itu.
59. Lalu berserulah para dewa pada sang Hyang Samudra:
60. "Kasihanilah kami hai sang Sagara. Janganlah sampai tak mengabulkan penyentuhan pulau ini.
Jikalau amrta keluar dari laut Ksira, alangkah senangnya ketiga dunia, atas keunggulan memberi
kegembiraan kepada golongan para dewa".
61. Demikian kata golongan para dewa sang Hyang Samudra-pun memperkenankannya.
62. Ada seekor penyu namanya akupa, kumaraja raja penyu, kabarnya penjelmaan dewa wisnu
dahulu kala. Ia disuruh menahan gunung Mandara sebagai dasar pangkal gunung itu supaya
tiada tenggelam. Sang Hyang Basuki digunakan sebagai tali, membelit pada lereng gunung tsb
dan sang Hyang Indra menunggangi puncaknya sebagai pengendara di atas, supaya tidak
melambung ke atas.
63. Siaplah sudah pekerjaannya para dewa lalu mulai menarik sang Hyang Basuki selaku tali gunung
Mandara. Para dewa ada di pihak ekor naga , golongan Daitya ada di pihak kepala. Ia lalu ditarik
keluarlah api bisa dari nafas naga, menyebabkan kesusahan pihak asura. Tetapi tiada berkurang
usahanya akan terdapatnya amrta itu, semua berjuang dan bersenang-senang, suara laut
bagaikan guruh puskarawartaka, bagaikan suara guntur pada waktu peleburan (kiamat?), tidak
karuan suaranya.
64. Karena terlalu lama gunung Mandara di putar-putar, batu-batunya terpelanting, gemuruh
suaranya, tumbang pula kayu-kayunya bertabrakan dengan kayu lainnya, pasanigharsana,
menyebabkan keluarnya api yang tiada terhingga nyalanya, membakar huta-hutan dengan
segala penghunya, kijang, singa, babi hutan, badak, berlari tiada tahu akan arah tujuannya. Ikan-
ikan yang ada di laut terpelanting, terbawa, terbuang dari laut Lawana itu.
65. Karena derasnya angin meniup, gemuruh makin deras ombak laut Lawana, besamaan dengan
terputarnya gunung Mandara.
66. Sang Hyang Baruna dilepaskan oleh Bhatara Wisnu supaya melinduni bumi yang mabuk karena
terkeburnya laut Ksira yang menjadi kental karena direbus, dimasak oleh panas air api itu.
67. Puncak gunung Mandara menyala, dan bersemburlah bisa yang keluar dari muka sang Basuki.
Sang Hyang Indra mengetahui jika para dewa dan Asura kepanasan karena api, yag menambah
kesulitan waku mengebur, lalu ia memanggil awan.
68. Maka awanpun datang dari semua penjuru, gunung dan laut di penuhi awan, datang menyerga
dengan kilat dan guruhnya. Lalu hujanpun turun hingga api tadi padam.
69. Lemak dari segala binatang dan minyak kayu yang tebakar semua mengalir ke Lawana,
menjadikan airnya semakin kental, dewa dan asura memutar gunung Mandara semakin kuat,
karena telah di beri kekuatan oleh Bhatara Wisnu, Tatah ksirad abhud ghrtam.Kemudian
keluarlah minyak dari dari air susu itu. Demikianlah keadaanya. Keluar pula Ardhacandra, lalu
Bhatari Sri, sang Laksmi, lalu Uccaihsrawa, kemudian Kastubhamani.
70. Dewayatas tato jagmuh, smua keluar ada di pihak para dewa, tiada satupun ada di pihak daitya
Dhanwataris tato dewah.Akhirnya keluar Dhanwatari membawa Swetakamandalu, terdapa
amrta yang kemudian di pungut oleh para Daitya : "Mamedam itu jalpatam, berilah aku bagian!"
katanya.
71. Sekarang amrta sudah keluar, gunung Mandara lalu di keluarkan dari tempat asalnya, yaitu
tanah Shangka (Sangkadwipa).
72. Para dewa berhenti, sekarang dewa Wisnu berpikir bagaimana caranya amrta itu dapat
diperoleh olehnya. Kemudian Bhatara Wisnu mengubah dirinya menjadi putri,
anawadyanggawayawa, sangat cantik datang dengan mengendarai Daitya.
73. Sarwe tadgatamansah, semua yang melihat tertarik olehnya, melihat putri itu Daitya sangat
sengang hatinya, amrta yang ada di Kamandalu tadi di berikan supaya di pangkunya, putri tadi
lalu pergi dengan embawa amrta, kemudian pulih menjadi Bhatara Wisnu.
74. Para Daitya mengetahuinya, sehingga marahlah mereka, lalu mereka bersiap membawa segala
maam senjata dan mengejar sang Hyang Wisnu.
75. Terkejarlah ia, kemudian datanglah para Dewa yang di dahului oleh sang Hyang Brahma, sang
Hyang Iswara dan memberi pertolongan kepada sag Hyang Wisnu, peperanganpun terjadi di
dekat Samudra Lawana, yaitu di tanah Sangka yang berdekatan dengan samudra tadi. Dalam
peperangan itu tak ada yang kalah, semua sama-sama sakti dan berani, mereka berperang
dengan hebatnya.
76. Bhatara Wisnu berpendapat bahwa peperangan ini tidak mungkin berakhir, karena itu ingat
akan senjata Cakranya sebagai penghalau para Daitya, Ksanad wicintitamatrogatah, seketika itu
di panggilnya (senjata cakra), keluarlah dari angksa, jwalitakutasanaprabham, sinarnya bagaikan
sinar api. Lalu dilepaskan cakra itu oleh Bhatara Wisnu kepada para Daitya, (yang membuat)
terpenggal lehernya.
77. Satasaharso mrtah, beratus-ratus beribu-ribu korban yang mati, diikuti dengan Narayanasastra
(panah Narayana), demikian juga dengan panah tajam (lainnya). Segala sisa korban itu lari tiada
tempat lagi untu menengokke belakang, ada juga yang merendam diri di laut, menyembunyikan
tubuhnya dalam tanah. Daitya dan raksasa kalah olehnya, darahnya menjadi laut yang mengalir
ke lautan Lewana.
78. Aditya lohitarakte, sang Hyang Aditya (matahari) berwarna merah karenanya, sedang
bangkainya, adrinam iwa kutani dhaturaktani sarate, Bagaikan puncak gunung penuh dengan
barang-barang tambang (pehiasan), demikianlah keadaan bangkainya, bergelimpangan di
permukaan bumi.

Anda mungkin juga menyukai