Anda di halaman 1dari 10

REDUPLIKASI BAHASA DAYAK NGAJU

A. PENDAHULUAN
Bahasa Dayak Ngaju yang masih termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia adalah salah
satu dari banyaknya bahasa daerah yang terdapat di Kalimantan Tengah (Sigiro dkk., 2013: 1).
Menurut Poerwadi dkk. (1996) dalam Sigiro dkk. (2013: 1), penutur asli bahasa Dayak Ngaju
sekitar 702.000 jiwa dari sekitar 1,6 juta jiwa penduduk di provinsi Kalimantan Tengah. Usop
(1976, hal. 10) dalam Sigiro dkk. (2013: 1) menjabarkan bahwa Dayak Ngaju terdiri dari kata
dayak yang berarti sedikit atau kecil, dan ngaju yang berarti udik atau hulu. Santoso, Tandang,
dan Sofyan (1991: 1) juga memiliki pendapat yang hampir sama akan definisi dari Dayak Ngaju.
Mereka menyatakan bahwa Dr. August Hardeland merupakan orang pertama yang
memperkenalkan kata Dayak Ngaju yang artinya mengacu kepada para penuturnya. Dayak
berarti suku bangsa Dayak, sedangkan Ngaju berarti udik yang mengacu kepada area tempat
tinggal suku Dayak yang menggunakan bahasa tersebut. Bila digabungkan menjadi Dayak Ngaju
artinya adalah bahasa yang digunakan oleh suku Dayak yang bermukim di daerah udik.
Bahasa Dayak Ngaju banyak dipengaruhi oleh bahasa nenek moyang (Bahasa yang lebih tua
di Kalimantan) yang dikenal dengan istilah bahasa Sangen atau bahasa Sangiang. Hingga saat
ini, bahasa Sangiang masih dapat didengar pada saat diadakannya upacara ada Agama Hindu
Kaharingan yang mana bahasa ini merupakan alat komunikasi antara manusia dengan para dewa
yang diyakini oleh para masyarakat Dayak yang disebut pula sebagai Ranying Mahatara Langit).
Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Sangiang saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat
Dayak dan secara lebih luas terdengar dalam karya-karya sastra bahasa Dayak Ngaju (terutama
sastra lisan) (Bingan dkk., 2011: 5).
Toendan (1989) dalam Sigiro dkk. (2013: 2) menyebutkan bahwa pengguna bahasa Dayak
Ngaju berdiam di tepian sungai Kahayan, Rungan, Manuhing, Katingan, dan di beberapa tempat
di sepanjang sungai Barito. Bahasa Dayak Ngaju ini pun memiliki nama yang berbeda-beda di
beberapa tempat tersebut. Penduduk asli suku Dayak yang bermukim di sepanjang sungai
Kapuas menyebutnya dengan bahasa Kapuas, penduduk asli yang bertempat tinggal di sepanjang
tepi sungai Kahayan menyebutnya bahasa Kahayan, dan penduduk asli yang berpindah dari
tempat lain ke Kahayan menyebutnya dengan bahasa Ngaju.
Pada tahun 2008 Pusat Bahasa mengidentifikasi bahwa bahasa Dayak Ngaju terdiri dari tiga
puluh dua dialek (Sigiro dkk., 2013: 2). Ketiga puluh dua dialek ini tersebar di enam kabupaten
dan satu kota, yaitu Kabupaten Kotawaringin Timur dengan dialek Kandan, Rantau Tampang,
dan Parebok; Kabupaten Kapuas dengan dialek Mandomai, Tumbang Makuntup, Pangkoh
Tengah (Pangkoh Sari), Timpah, dan Lawang Kamah; Kabupaten Pulang Pisau dengan dialek
Pulang Pisau, Tumbang Nusa, Pilang, Saka Kajang, Gohong, dan Bukit Rawi; Kabupaten
Gunung Mas dengan dialek Batu Puter, Luwuk Langkuas, Tumbang Jutuh, Bereng Rambang,
Bawan, Sepang Simin, Kuala Kurun, Tewah, Tumbang Talaken, dan Takaras; Kabupaten
Katingan dengan dialek Kasongan, Petak Bahandang, dan Baun Bango; Kabupaten Barito
Selatan dengan dialek Mangkatip, (dialek Betung di desa Betung, tambahan dalam Sigiro dkk.);
dan Kota Palangkaraya dengan dialek Tangkiling, Kalampangan, dan Mangku Baru.

1
Dikarenakan penggunaan bahasa ini oleh sebagian besar penduduk asli Dayak di hampir seluruh
daerah Kalimantan Tengah, bahasa Dayak Ngaju merupakan lingua franca bagi para suku asli
Dayak yang mendiami hampir seluruh bagian selatan pulau Kalimantan, termasuk penutur
bahasa-bahasa yang menjadi bagian dari keluarga bahasa Barito (bahasa Dayak Maanyan).
Mihing dan Stokhof dalam Toendan (1989) di dalam Sigiro dkk. (2013: 2-3) menyebutkan
bahwa apabila suku-suku lain seperti Baamang, Kotawaringin, Ot Danum, Lawangan, Ngaju,
Taboyan, Maanyan, Bayan, dan Banjar berkomunikasi dengan masyarakat Dayak Ngaju akan
menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Sebaliknya, apabila masyarakat Dayak Ngaju berada di
daerah suku-suku tersebut (kecuali suku Banjar), maka masyarakat Dayak Ngaju cukup
berkomunikasi dengan mereka menggunakan bahasa Dayak Ngaju dan tidak perlu menggunakan
bahasa mereka.
Selain digunakan sebagai lingua franca, bahasa Dayak Ngaju juga digunakan oleh para
penuturnya dalam situasi yang tidak resmi di antara anggota keluarga serta di kantor-kantor
pemerintahan dan swasta. Dalam situasi yang resmi, bahasa Dayak Ngaju digunakan pada saat
kebaktian di Gereja dan penerangan-penerangan yang diberikan oleh aparat pemerintahan di
desa-desa (Sigiro dkk., 2013: 3).
Meskipun berfungsi sebagai lingua franca untuk suku-suku Dayak yang ada di Kalimantan,
khususnya Kalimantan Tengah, pada kenyataannya dewasa ini penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional mulai mengambil alih fungsi bahasa daerah dalam lingkungan rumah
tangga, selain daripada penggunaan bahasa daerah lain (Banjar) dalam lingkungan pergaulan
remaja (Suryanyahu, 2005). Dikarenakan kurangnya minat dalam menggunakan bahasa Dayak
Ngaju, dokumentasi dari bahasa Dayak Ngaju, serta penelitian-penelitian yang membahas
mengenai bahasa Dayak Ngaju, sangat diperlukan adanya penelitian lebih lanjut terhadap bahasa
ini.
Adapun di dalam penelitian ini terdapat dua rumusan masalah yang ingin diselesaikan. Yang
pertama adalah mencari bentuk-bentuk reduplikasi dalam bahasa Dayak Ngaju dan yang kedua
adalah menemukan fungsi dan makna dari reduplikasi tersebut.

B. KERANGKA TEORI
Kridalaksana dalam Kamus Linguistik Edisi Keempat (2008: 159) menyebutkan bahwa
morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari tentang morfem dan kombinasi-
kombinasinya. Morfologi juga merupakan bagian dari struktur bahasa termasuk kata dan bagian-
bagian kata, yaitu morfem. Serupa dengan pendapat Kridalaksana, Ramlan (2012: 5)
menyebutkan bahwa morfologi adalah sebuah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-
satuan dasar bahasa sebagai satuan yang gramatikal. Di dalam morfologi, asal-muasal
pembentukan kata yang dipengaruhi perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan
arti kata dipelajari. Pendapat Ramlan ini sejalan dengan pemikiran Tarigan (2009: 4) yang
mengutip kalimat yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Ramlan, dengan
tambahan bahwa tidak hanya asal-muasal bentuk suatu kata saja yang dipelajari, namun fungsi
perubahan-perubahan bentuk kata, baik fungsi gramatikal maupun fungsi tematik, juga

2
dipelajari. Muslich (2008: 32) kemudian menyebutkan bahwa morfem-morfem yang menjadi
anggota kata umumnya mengalami peristiwa pembentukan sebelumnya, yang biasanya disebut
sebagai proses morfologis.
Proses morfologis menurut Ramlan (2012: 53) merupakan proses pembentukan kata-kata dari
satuan lain yang merupakan bentuk dasar yang dapat berupa kata, pokok kata, frase, kata dan
kata, kata dan pokok kata, atau pokok kata dan pokok kata. Proses morfologis, yang juga bisa
disebut sebagai proses morfemis, atau proses gramatikal, terdiri dari beberapa jenis proses, yaitu
proses afiksasi (penambahan imbuhan), proses reduplikasi (pengulangan), proses pemajemukan
(komposisi), proses konversi, derivasi, modifikasi internal, dan suplesi (Chaer, 2012: 177)
(Ramlan, 2012: 53-55) (Kridalaksana, 2007: 12).
Reduplikasi menurut Kridalaksana adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai
alat fonologis atau gramatikal, seperti dalam kata rumah-rumah, tetamu, sayur-mayur, dan
sebagainya (2008: 208). Sependapat dengan hal tersebut, Chaer (2012: 182-183) juga memiliki
pendapat serupa, dengan menyatakan bahwa reduplikasi adalah proses morfemis yang
mengulang bentuk dasar sebuah kata secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), dan dengan
perubahan bunyi. Beliau menambahkan pula bahwa proses reduplikasi banyak digunakan oleh
banyak bahasa di seluruh dunia. Ramlan (2012: 65) juga memiliki pendapat yang kurang lebih
sama dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa reduplikasi
merupakan sebuah proses pengulangan satuan gramatika secara keseluruhan ataupun sebagian,
dan dengan variasi fonem ataupun tidak. Hasil dari pengulangan disebut sebagai kata ulang, dan
satuan yang diulang disebut sebagai bentuk dasar kata.
Bentuk dari reduplikasi sendiri menurut Kridalaksana (2007: 88) terdiri dari reduplikasi
fonologis, reduplikasi morfemis, dan reduplikasi sintaksis. Baik Kridalaksana (2007: 88) maupun
Chaer (2012: 183) juga menyebutkan bahwa terdapat lima macam reduplikasi, yaitu dwipurwa
(pengulangan silabel pertama bentuk dasar/leksem), dwilingga (pengulangan leksem), dwilingga
salin swara/suara (pengulangan leksem dengan perubahan/variasi fonem), dwiwasana
(pengulangan pada akhir kata), dan trilingga (pengulangan leksem /onomatope tiga kali dapat
berupa variasi fonem). Sedangkan Ramlan (2012: 70-77) menyebutkan bahwa pengulangan
terdiri dari empat macam, yaitu pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan yang
berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem. Di
dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, terdapat enam bentuk reduplikasi yaitu dasar +
dasar, dasar + (prefiks + dasar), dasar + (prefiks + dasar+ sufiks), (prefiks + dasar) + dasar,
prefiks + (dasar+dasar) + sufiks, dan perulangan dengan salin bunyi (2014: 152-153). Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia menggunakan konsep pengelompokan reduplikasi yang hampir
sama dengan Ramlan.
Makna dari reduplikasi sendiri bisa dilihat dari sifat non-idiomatis dan sifat idiomatisnya
(Kridalaksana 2007: 90-91) (Ramlan, 2012: 103-105). Reduplikasi yang bersifat non-idiomatis
memiliki makna leksikal yang tidak berubah dari bentuk dasarnya, sedangkan yang bersifat
idiomatis cenderung memiliki makna yang tidak sama dengan makna leksikal komponen-
komponennya.

3
Reduplikasi sendiri secara umum tidak memiliki fungsi, seperti fungsi perubahan golongan
atau kelas kata yang terjadi pada peristiwa afiks. Namun, ada reduplikasi tertentu yang dapat
mengubah kelas kata dan disebut sebagai reduplikasi derivasional (Simatupang, 1983: 52).
Ramlan (2012: 103-105) menyebutkan bahwa reduplikasi memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
gramatikal dan fungsi semantik. Fungsi gramatikal, yang kemudian disebut sebagai fungsi dari
reduplikasi itu sendiri, adalah fungsi yang berkaitan dengan satuan bahasa. Sedangkan fungsi
semantik, yang disebut sebagai makna dari reduplikasi, adalah fungsi yang berkaitan dengan satu
makna bahasa.
Adapun Wijana (2010: 137-141) menyatakan bahwa makna pada perulangan berfokus pada
kategori kata yang mengalami perulangan. Perulangan dalam nomina mengemukakan makna
banyak, seperti (sufiks -an), menyerupai (sufiks an), sampai dengan (afiks se--nya),
jamak, dan walaupun. Perulangan dalam adjektiva dapat menyatakan makna banyak, agak,
walaupun, dalam keadaan, superlatif (afiks se--nya), agak (afiks ke--an), dan kompetitif
(afiks -an). Verba memiliki bentuk perulangan yang bermakna repetitif atau keterus-
menerusan, kesalingan, resiprokal/tindakan berbalasan, hal, dan begitu, ketiba-tibaan.
Adverbia memiliki bentuk perulangan yang mengemukakan makna sejak, ketidakwajaran,
limitatif, setiap, dan keseluruhan. Sedangkan numeralia memiliki bentuk perulangan yang
bermakna demi dan kolektif (afiks ke- dan -nya). Tentu saja makna-makna yang terdapat di
atas tidak hanya karena pengaruh dari katanya, tetapi juga konteksnya.

C. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam mengkaji lebih jauh aspek morfologi dalam bahasa Dayak Ngaju, dibutuhkan beberapa
metode dan teknik penelitian. Dalam hal penyediaan data, metode introspeksi yang dikemukakan
oleh Mahsun (2014: 102-104) akan digunakan. Sudaryanto (1993a, 1993b) dalam Mahsun (2014:
102-104) menyatakan bahwa metode introspeksi juga merupakan metode yang bisa disebut
sebagai metode refleksif-introspektif, yakni berupa upaya dalam melibatkan atau memanfaatkan
sepenuh-penuhnya atau seoptimal mungkin peran peneliti sebagai penutur bahasa tanpa
melenyapkan peran kepenelitian. Metode ini memanfaatkan intuisi kebahasaan peneliti yang
meneliti bahasa yang ia kuasai (bahasa ibu) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi
analisis sesuai dengan tujuan penelitian.
Analisis aspek morfologi menggunakan metode deskriptif yang dikemukakan oleh Sudaryanto
(1992: 62-63). Dari metode deskriptif dapat menjelaskan data-data yang sebelumnya telah
ditemukan dalam Morfosintaksis Bahasa Katingan, Struktur Bahasa Dayak Ngaju, Tata Bahasa
Dayak Ngaju: Edisi Pertama, Tata Bahasa: Bahasa Dayak Ngaju dan Kosakata Bahasa Dayak
Ngaju-Indonesia. Dikarenakan keterbatasan waktu dan lokasi, maka data dikumpulkan dari
penelitian-penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan dan diperkuat dengan penulis dalam
kemampuan berbahasa Dayak tersebut. Penulis sendiri sebenarnya bukanlah informan yang tepat
untuk penelitian ini. Namun dengan kemampuan yang ada, penulis akan berusaha untuk dapat
menjabarkan aspek-aspek morfologi dalam bahasa Dayak Ngaju.

4
Dalam menentukan bentuk-bentuk reduplikasi dalam bahasa Dayak Ngaju, teori Ramlan
(2012: 70-77) dan yang ada dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2014: 152-153) pun
digunakan. Reduplikasi akan dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: (1) Reduplikasi
seluruh, yaitu pengulangan seluruh bentuk kata dasar pertama yang tidak mengalami perubahan
fonem dan tidak berkombinasi dengan pembubuhan afiks; (2) Reduplikasi sebagian, yaitu
pengulangan sebagian dari bentuk dasar; (3) Reduplikasi yang berkombinasi dengan proses
afiksasi; dan (4) Reduplikasi dengan perubahan fonem. Dalam menentukan fungsi dan makna
dari reduplikasi, teori relasi makna dan reduplikasi yang dikemukakan oleh Wijana (2010: 137-
141) akan digunakan.

D. ANALISIS
Di dalam analisis ini, reduplikasi digolongkan berdasarkan kelas katanya, yaitu nomina,
adjektiva, verba, adverbia, dan numeralia. Tidak semua data yang telah dikumpulkan
ditampilkan dalam analisis ini. Hanya beberapa sampel data yang mewakili tiap bentuk
reduplikasi yang ditampilkan.

D. 1. Nomina
D. 1. 1. Reduplikasi Seluruh/Utuh (dasar + dasar)
a. dawen daun (N) dawen-dawen daun-daun (N) (menyatakan banyak)
Mina mamapas dawen-dawen je manjatu huang baun huma.
Bibi menyapu daun-daun yang berjatuhan di depan rumah.

b. bua buah (N) bua-bua buah-buah (N) (menyatakan banyak)


Apang akan kabon manggau bua-bua akan ikei.
Ayah ke kebun mencari buah-buah untuk kami.

Reduplikasi pada nomina bahasa Dayak Ngaju hanya berupa reduplikasi seluruh saja. Bentuk
kata pertama dawen daun dan bua buah merupakan bentuk dasar. Bentuk kata kedua yang
berupa pengulangan utuh dari bentuk pertama merupakan bentuk ulang atau disebut juga sebagai
konstituen ulang. Satuan dasar dan satuan ulang kelas katanya sama-sama berupa nomina.
Perulangan yang terjadi membentuk makna banyak.

D. 2. Adjektiva
Reduplikasi adjektiva dalam bahasa Dayak Ngaju memiliki tiga bentuk, yaitu reduplikasi
seluruh, reduplikasi sebagian dengan penambahan prefiks dan penghilangan fonem akhir
konsonan atau diftong pada kata pertama, dan reduplikasi dengan perubahan fonem.

D. 2. 1. Reduplikasi Seluruh (dasar+dasar)


a. hai besar (A) hai-hai besar-besar (A) (menyatakan kejamakan/jamak)
Bajai huang sungei Rungan hai-hai. Buaya yang terdapat di sungai Rungan besar-besar.

b. henda kuning (A) henda-henda kekuning-kuningan (A) (menyatakan agak)


Lenge Rina henda-henda awi ie manetek kunyit.
Tangan Rina kekuning-kuningan karena ia memotong kunyit.

5
Satuan dasar dan satuan ulangnya tidak mengalami perubahan karena berulang secara utuh.
Kelas katanya juga tidak berubah, yaitu sama-sama adjektiva. Pada contoh yang pertama, yaitu
hai-hai besar-besar, menyatakan makna jamak. Sedangkan pada contoh yang kedua, yaitu
henda-henda kekuning-kuningan, menyatakan makna agak.

D. 2. 2. Reduplikasi Sebagian [(prefiks + dasar-fonem akhir konsonan/diftong) + dasar]


Di dalam pengulangan ini, kata yang terdapat di salah satu jajar kata merupakan bentuk yang
sebagian (tidak utuh) seperti kata yang disejajarkan yang lain.
a. ba- + tekang keras (A) bateka-tekang keras-keras; mengeras (A) (menyatakan
agak; dalam keadaan)
Bari je inguan Doni bateka-tekang. Nasi yang dibuat Doni keras-keras.

b. ma- + hamen malu (A) mahame-hamen malu-malu; memalukan (A) (menyatakan


agak; dalam keadaan)
Ie mahame-hamen misek dengan kawal. Ia malu-malu bertanya dengan teman.

Terjadi penambahan prefiks dan penghilangan fonem akhir dalam kata ulang yang pertama,
dan pada kata ulang yang kedua memiliki bentuk yang sama dengan bentuk dasar. Kelas kata
dari bentuk dasar menjadi bentuk reduplikasi tidak berubah. Fungsi dan makna dari kedua contoh
diatas juga menyatakan agak dan dalam keadaan.

D. 2. 3. Reduplikasi dengan Perubahan Fonem (tidak tentu)


a. kunyut bergerak turun naik (V) Kunyut-kanyat gelisah (A) (menyatakan
dalam keadaan)
Ie kunyut-kanyat manggau tisin je nihau Dia gelisah mencari cincin yang hilang.

Terdapat perubahan kelas kata dalam reduplikasi dengan perubahan fonem, dengan bentuk
dasar berupa verba, dan hasil dari reduplikasi tersebut menyatakan dalam keadaan gelisah.

D. 3. Verba
Dalam reduplikasi verba bahasa Dayak Ngaju, terdapat empat bentuk reduplikasi, yaitu
reduplikasi seluruh, reduplikasi sebagian dengan penambahan prefiks dan penghilangan fonem
akhir konsonan/diftong pada kata ulang pertama, reduplikasi sebagian dengan penghilangan
fonem akhir konsonan/diftong pada kata ulang pertama, dan reduplikasi dengan perubahan
fonem.

D. 3. 1. Reduplikasi Seluruh (dasar+dasar)


a. dari lari (V) dari-dari lari-lari (V) (menyatakan repetitif/keterus-
menerusan)
Dudu dari-dari huang lapangan Dudu lari-lari di lapangan.

b. gau cari (V) gau-gau mencari-cari (V) (menyatakan repetitif/keterus-


menerusan)
Tambi gau-gau ikau bara male. Nenek mencari-cari kamu dari kemarin.

6
Reduplikasi seluruh dalam verba juga tidak mengubah kelas kata antara bentuk dasar dengan
bentuk reduplikasi dan menyatakan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang (repetitif/keterus-
menerusan).

D. 3. 2. Reduplikasi Sebagian [(prefiks + dasar-fonem akhir konsonan/diftong) + dasar]


a. ba- + laku minta (V) balaku-laku meminta-minta (V) (menyatakan
repetitif/keterus-menerusan)
Lulu balaku-laku dohop dengam Lulu meminta-minta pertolongan kepadamu.

b. ma- + gayap raba - fonem (V) manggaya-gayap meraba-raba (V) (menyatakan


akhir konsonan/diftong repetitif/keterus-menerusan)
Joni manggaya-gayap paiku. Joni meraba-raba kakiku.

Reduplikasi sebagian dengan penambahan prefiks dan pelesapan fonem berakhiran


konsonan/diftong pada kata ulang pertama tidak mengalami perubahan kelas kata dan
menyatakan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang (repetitif/keterus-menerusan).

D. 3. 3. Reduplikasi Sebagian (dasar-fonem akhir konsonan/diftong + dasar)


a. bangang bermain (V) banga-bangang bermain-main (V) (menyatakan repetitif)
Anak uluh banga-bangang intu baun huma. Anak-anak bermain-main di halaman depan
rumah.

b. siden sedu (V) side-siden tersedu-sedu (V) (menyatakan repetitif)


Mina side-siden awi buku ayun ie nihau. Bibi tersedu-sedu karena buku miliknya hilang.

Dalam reduplikasi sebagian dengan pelesapan fonem akhir konsonan/diftong pada kata ulang
pertama juga tidak mengubah kelas katanya dari bentuk dasar, yaitu verba. Baik sampel perrtama
maupun sampel kedua menyatakan makna aktivitas yang berulang (repetitif/keterus-
menerusan).

D. 3. 4. Reduplikasi dengan Perubahan Fonem (tidak tentu)


a. luli kembali (V) lulang-luli bolak-balik (V) (repetitif/keterus-menerusan)
Uluh jite lulang-luli mehalau baun huma itah. Orang itu bolak-balik melewati depan rumah
kita.

Reduplikasi verba dengan perubahan fonem juga tidak mengalami perubahan kelas kata, yaitu
baik bentuk dasar maupun bentuk ulangnya sama-sama verba. Makna yang terkandung adalah
aktivitas yang dilakukan berulang-ulang (repetitif/keterus-menerusan).

D. 4. Adverbia
Terdapat tiga bentuk reduplikasi adverbia dalam bahasa Dayak Ngaju, yaitu reduplikasi
seluruh, reduplikasi sebagian, dengan penghilangan fonem akhir konsonan/diftong pada kata
ulang pertama, dan reduplikasi dengan penambahan afiks sa--e.

7
D. 4. 1. Reduplikasi Seluruh (dasar+dasar)
a. suni diam (V) suni-suni diam-diam (Adv) (menyatakan
keseluruhan)
Ie suni-suni tulak malauk. Ia diam-diam berangkat mencari ikan.

b. ije satu (Num) ije-ije satu-satu (Adv) (menyatakan limitatif)


Ije-ije ewen tame huang huma. Satu-satu mereka masuk ke dalam rumah.

Terdapat perubahan kelas kata dalam pembentukan reduplikasi seluruh adverbia, yaitu dari
bentuk verba menjadi adverbia seperti pada sampel pertama suni-suni diam-diam, dan dari
bentuk numeralia menjadi adverbia seperti pada sampel kedua ije-ije satu-satu. Sampel pertama
menyatakan makna keseluruhan, sedangkan sampel kedua menyatakan limitatif.

D. 4. 2. Reduplikasi Sebagian (dasar-fonem akhir konsonan/diftong + dasar)


a. benyem sepi (A) benye-benyem diam-diam; sepi-sepi (Adv) (menyatakan setiap)
Genep huma benye-benyem awi uluhe tulak akan tana.
Tiap rumah sepi-sepi karena orangnya pergi ke ladang.

b. matei mati (V) mate-matei mati-matian (Adv) (menyatakan keseluruhan)


Mate-matei aku bagawi mambelum due biti anakku.
Mati-matian aku bekerja untuk menghidupi kedua anakku.

Terdapat perubahan kelas kata dalam adverbia reduplikasi sebagian dengan pelesapan fonem
akhir pada kata ulang pertama. Pada sampel pertama, kelas kata pada katadasar berupa adjektiva,
sedangkan pada kata ulang berupa adverbia. Pada sampel kedua, kelas kata pada kata dasar
berupa verba, sedangkan pada kata ulang berupa adverbia. Sampel pertama menyatakan makna
setiap, sedangkan pada sampel kedua menyatakan makna keseluruhan.

D. 4. 3. Reduplikasi dengan Penambahan Afiks sa--e


[(prefiks + dasar - fonem akhir konsonan/diftong) + (dasar + sufiks)]
a. gancang cepat; kuat (A) saganca-gancange sekuat-kuatnya (Adv)
(menyatakan keseluruhan)
Ewen marukat batang jawau te sagancang-gancange.
Mereka mencabut pohon singkong itu sekuat-kuatnya.

b. sangit marah (A) sasangi-sangite semarah-marahnya (Adv)


(menyatakan keseluruhan)
Sasangi-sangite uluh bakas, tetep are kasinta dengan kawan anake.
Semarah-marahnya orang tua, tetap banyak cinta kasih dengan anak-anaknya.

Perubahan kelas kata juga terdapat dalam adverbia reduplikasi sebagian dengan penambahan
afiks sa--e dan pelesapan fonem akhir pada kata ulang pertama, yaitu kelas kata bentuk dasar
pada sampel pertama dan kedua yang berupa adjektiva menjadi adverbia pada bentuk ulangnya.
Makna yang terkandung pada kedua sampel pun sama-sama menyatakan keseluruhan. Afiks
sa--e jika dipadankan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama dengan se--nya.

8
D. 5. Numeralia
D. 5. 1. Reduplikasi dengan Penambahan Konfiks ka--e
[(prefiks + dasar - fonem akhir konsonan/diftong) + (dasar + sufiks)]
a. ka- + telu (Num) + -e katelu-telue ketiga-tiganya;bertiga (Num) (menyatakan
kolektif)

b. ka- + epat (Num)+ -e kaepat-epate keempat-empatnya; berempat (Num)


(menyatakan kolektif)
Aku jadi manguan panginan akan kuman ewen katelu-telue.
Aku sudah membuat makanan untuk makan mereka bertiga.

D. 5. 2. Reduplikasi Sebagian dengan Prefiks ba-


[(prefiks + dasar-fonem akhir konsonan/diftong) + dasar]
a. ba- + puluh (N) bapulu-puluh berpuluh-puluh (Num) (menyatakan kolektif)

b. ba- + ratus (N) baratu-ratus beratus-ratus (Num) (menyatakan kolektif)


Apangku jadi nihau baratu-ratus juta akan mamili huma je jite.
Ayahku telah kehilangan beratus-ratus juta untuk membeli rumah itu.

Pada semua bentuk reduplikasi numeralia dengan penambahan konfiks ka-- tidak terdapat
perubahan kelas kata baik dari bentuk dasar maupun bentuk pengulangannya, yaitu sama-sama
berbentuk numeralia. Namun dalam reduplikasi sebagian dengan prefiks ba- kelas katanya
berubah dari nomina menjadi numeralia. Kesemua bentuk reduplikasi numeralia semuanya
menyatakan makna kolektif.

E. KESIMPULAN
Bentuk reduplikasi dalam bahasa Dayak Ngaju terdiri dari reduplikasi seluruh, reduplikasi
sebagian, reduplikasi dengan afiksasi, dan reduplikasi dengan perubahan fonem. Sebagian besar
reduplikasi tidak mengubah kelas kata dari bentuk dasar dan dapat muncul dalam kalimat
sebagai subjek, predikat, objek, dan keterangan. Reduplikasi berfungsi untuk mengubah makna
kata yang menyatakan banyak, jamak, agak, dalam keadaan, repetitif, keseluruhan, limitatif,
setiap, dan kolektif.

F. DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 2014. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Durasid, Durdje, Aries Djinal, Kawi Djantera. 1986. Morfosintaksis Bahasa Katingan. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Iper, Dunis. 2016. Kosakata Bahasa Dayak Ngaju-Indonesia. Palangkaraya: C.V. Anugerah
Indah Mandiri.
Iper, Dunis. 2016. Kamus Bahasa Dayak Ngaju-Indonesia. Palangkaraya: C.V. Anugerah Indah
Mandiri.
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

9
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Muslich. 1997. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian Tata Bahasa Deskriptis. Jakarta Timur:
PT Bumi Angkasa.
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Pratika, Dellis. .2014. Analisis Kontrastif Sistem Fonologi Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa
Inggris. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Tesis yang tidak dipublikasikan.
Ramlan, M. 2012. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono.
Ristati. 2006. Sistem Fonologi Bahasa Dayak Ngaju. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
Tesis yang tidak dipublikasikan.
Santoso, Dewi Mulyani, Tandang, Diana Sofyan. 1991. Struktur Bahasa Dayak Ngaju. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sigiro, Elisten Parulian, Anthony Suryanyahu, Yuliadi, Muston N. M. Sitohang, Ralph Henry,
Budhiono, Nurcholis Muslim, Rensi Sisilda, Kambang, Septiana Delaseniati, Ary Setyorini,
Iwan Fauzi. 2013. Tata Bahasa Dayak Ngaju: Edisi Pertama. Palangkaraya: Balai Bahasa
Provinsi Kalimantan Tengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Simatupang, M. D. S. 1983. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Simpei, Bajik Rubuh, Damianus Siyok, Sepmiwawalma, Yankris. 2016. Kamus Pengantar
Ngaju-Indonesia: Edisi Khusus Pelajar Kota Palangka Raya. Palangkaraya: PT Sinar
Bagawan Khatulistiwa.
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Suryanyahu, Anthony. 2005 Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju
di Kota Palangka Raya. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi
Kalimantan Tengah.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Morfologi. Bandung: Penerbit Angkasa.
Widen, Kumpiady, Albert A. Bingan, Offeny A. Ibrahim. 2011. Tata Bahasa Bahasa Dayak
Ngaju (Upon Ajar Basa Dayak Ngaju). Jakarta: Midada Rahma Press.
Winarti, Sri, Wati Kurniawati, Utari Sudewo. 2000. Kata Ulang dalam Bahasa Indonesia:
Tinjauan Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.

10

Anda mungkin juga menyukai