Anda di halaman 1dari 15

Seminar Tahunan Linguistik 2015

BAHASA DAN LINGKUNGAN ALAM:


KAJIAN TOPONIMI

Retty Isnendes
Departemen Pendidikan Bahasa Daerah UPI
chyerettyisnendes@gmail.com; retty.isnendes@upi.edu

ABSTRAK

Tulisan ini membahas hubungan bahasa dengan lingkungan alam (the ecology of language). Tujuan penulisan ini
adalah mendeskripsikan interaksi bahasa manusia Sunda dan lingkungannya dengan menjelaskan
penamaan tempat yang berlatar belakang lingkungan flora, fauna, dan keadaan tempat dimana mereka
tinggal. Hasil pembahasan adalah memperlihatkan hubungan erat antara kondisi alam, terutama flora,
fauna, dan lingkungan dengan kelompok manusia yang memancar dalam kekayaan perbendaharaan (kata)
dan arti (semantis) bahasa orang Sunda. Dari 15 nama tempat yang dibahas, secara umum terdiri dari satu
dan dua kata. Kata-kata tersebut mengandung arti secara kata, morfologis, dan sematik.*

Kata kunci: bahasa, lingkungan alam

PENDAHULUAN/INTRODUCTION
Dalam sejarah umat manusia yang beragama, telah diyakini bahwa Adam AS adalah manusia
pertama yang diciptakan Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Beliau dicipta Allah dengan segala
kesempurnaannya dari ujung rambut ke ujung kaki, bahkan diilhamkan padanya pengetahuan Allah tentang
nama-nama benda di sekelilingnya. Pengetahuan tersebut dikomunikasikan oleh Adam AS dalam bentuk
bahasa.
Pengetahuan terus berkembang, keberadaan bahasa terus diselidiki keunikannya oleh para ahli.
Hingga tahun 1960, seorang Roger Sperry menemukan bahwa otak manusia terdiri dari dua hemisfer
(bagian), yaitu otak kanan dan otak kiri yang mempunyai fungsi yang berbeda. Atas jasanya ini beliau
mendapat hadiah Nobel pada tahun 1981. Selain penemuan tersebut, beliau juga menemukan bahwa pada
saat otak kanan sedang bekerja maka otak kiri cenderung lebih tenang, demikian pula sebaliknya
(www.id.m.wikipedia.org)
Otak manusia tersebut mempunyai fungsi yang berbeda. Otak kanan diidentikkan tentang kreativitas,
persamaan, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna, berpikir lateral, tidak terstruktur, dan
cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Sedangkan otak kiri biasa diidentikkan dengan
rapi, perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, logika, terstruktur, analitis, matematis, sistematis,
linear, dan tahap demi tahap.
Kerja otak mengenai bahasa sangat menakjubkan. Dalam diagram Brook disebutkan bahwa
komunikasi bahasa manusia melewati beberapa tahap antara pembicara dan pendengarnya. Demikian bila
dijelaskan, bahwa pembicara pada tahap awal mempunya isi pikiran, rasa, dan maksud mengkomunikasikan
isi hatinya (praucap) lalu disusunlah kode bahasa (encoding), setelah itu diucapkannya (fonasi). Suara-suara
itu berada dalam keadaan transisi lalu masuk pada tahap pendengar mendengarkan suara-suara pembicara
(audisi), lalu pendengar menyimak isi sandi (decoding), dan akhirnya pendengar memaknai isi pikiran, rasa,
dan maksud pembicaranya (pasca ucap).
Kode-kode bahasa atau yang disebut bahasa saja, yang menurut etnolog berjumlah 49 bahasa besar
dunia (www.wikipedia.com) menurut pengertian para ahli, secara sederhananya adalah alat komunikasi antar
anggota masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa ini mengadung
aspek bunyi ujaran yang bersifat arbitrer.
Kearbiteran inilah yang memungkinkan berjenis-jenis bahasa hidup dan berkembang, sesuai dengan
ciri khas wilayah yang didiami manusianya. Seperti di Indonesia, diperkirakan terdapat 748 bahasa ibu
(daerah) yang dipergunakan panyaturnya dari Sabang sampai Merauke. Termasuk bahasa Sunda yang
merupakan bahasa terbesar kedua yang digunakan oleh sekitar 27 juta penggunanya di tatar Sunda.

1
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

Hal yang paling menarik dari kearbitreran ini adalah berpengaruhnya aspek geografis dimana bahasa
itu dipergunakan oleh panyaturnya. Aspek geografis ini berjalin dengan aspek-aspek lainnya seperti hal-hal
ideal (abstrak: konsep-konsep, pranata-pranata) dan hal-hal kongkrit antar manusia dan komunitasnya
(hubungan sosial masyarakat) sehingga menghasilkan aspek budaya yang menjadi wahana bahasa tersebut
tumbuh dan berkembang.
Mencermati aspek budaya ini, keadaan alam terutama, menjadi bahan yang sangat berharga dalam
pembentukan kata dan bahasa. Di tatar Sunda terutama, alam memancar dalam pandangan hidup orang
Sunda (Warnaen, 1987). Bahkan dalam penelitian mengenai flora Sunda (Isnendes, 2009-2011) dicatat
nama-nama flora Sunda sebanyak 1131 data dari enam sumber tertulis dan dari folklor. Demikian juga dari
penelitian K. Heyne mengenai Tumbuhan Berguna di Indonesia, dari sekitar 3000 nama tumbuhan tersebut,
hampir 2/3 nya adalah nama-nama yang ditemukannya di Tatar Sunda. Hal ini memperlihatkan dua
kepastian, yang pertama, pemupuan data Heyne lebih lama di Jawa Barat dan yang kedua pengetahuan orang
Sunda tentang alam sekitarnya sangat kaya dan dalam.
Keberadaan flora, fauna, dan lingkungan dalam bahasa dan budaya Sunda mencerminkan tingkat
pengetahuan dan pemahaman (kognisi), perasaan (apeksi), pengolahan (motoris), dan pemanfaatan (aplikasi)
masyarakat Sunda terhadap jenis flora tersebut. Hal itu menunjukkan kekayaan batin orang Sunda dalam
mencerap alam sekitarnya (fisik), mengolahnya dan memancarkannya kembali menjadi nilai yang diyakini
dalam kehidupannya (nonfisik). Kekayaan ini perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Secara fisiografi, wilayah tatar Sunda berwujud dataran rendah alluvial di bagian utara dan
pegunungan di bagian selatan. Perbandingan antara dataran rendah dan bagian pegunungan adalah 1:3. Ini
membuktikan bahawa alam Jawa Barat lebih luas bagian pegunungan daripada bagian dataran rendahnya.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa Barat, yaitu sekira 30 gunung.
Di sela-sela kaki gunung dan bukit, hutan terhampar dan sungai mengalir. Jumlah DAS atau daerah
aliran sungai di Jawa Barat mencapai 51 aliran. Keindahannya menyimpan aneka macam kekayaan tambang,
mineral, dan hayati (flora dan fauna) (Ekadjati, 1995: 20).
Keadaan alam yang demikian tersebut menjadikan bahasa Sunda sangat dekat dengan alam fisik di
sekitarnya.Di antaranya pemilihan nama-nama tempat yang diterapkan pada satu wilayah atau kondisi alam
tertentu memperlihatkan betapa dekatnya hubungan manusia Sunda dengan ekologinya. Karena itu, dalam
tulisan ini akan diangkatbagaimana interaksi manusia Sunda dengan lingkungan flora, fauna, dan keadaan
tempat dimana manusia Sunda tinggal.
Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan interaksi bahasa manusia Sunda dan lingkunganna
dengan menjelaskan penamaan tempat yang berlatar belakang lingkungan flora, fauna, dan keadaan tempat
dimana mereka tinggal.

TEORI & METODOLOGI


Teori
Kata, Morfologi, dan Semantik
Kata. Bloomfield menjelaskan bahwa kata adalah bentuk bebas yang bukan frasa, sedangkan
Hockett memberi pengertian bahwa kata adalah merupakan bagian kalimat yang ditandai oleh adanya jeda
dan mempunyai arti. Jadi, kata dibentuk oleh satu atau beberapa morfem yang bisa berdiri sendiri pada
tuturan (Rosmana, 2003:8).
Sudaryat (2005:71) memberikan arti bahwa kata berupa wangun ketatabahasaan bebas yang paling
kecil dan mengandung arti, bisa berdiri sendiri dalam kalimat, dan mengandung arti (leksikal atau
gramatikal). Menurut Kridalaksana (1982:76) kata adalah (1) morfem atau kombinasi morfem yang dianggap
satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri,
terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem dengan pola tekanan menandai kata.
Morfologi. Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-
kombinasinya. Selain itu, diartikan sebagai bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-
bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana: 1982:111). Ciri-ciri dari dari perubahan morfologi ini adalah: 1)
adanya perubahan bentuk dari asal ke bentuk luas; 2) biasanya dibarengi dengan perubahan kategori kata; 3)
perubahan arti katamenghasilkan arti gramatikal; 4) hasil perubahan itu adalah kata luas.
Proses morfologis mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
1) fungsi gamatikal (fungsi), adalah fungsi yang berhubungan dengan berubahnya bentuk gramatik dan
menghasilkankategorianyar; misalnya, katatani (kata asal dan kata kerja)menjadi patani (kata
berimbuhan dan kata kecap kerja);

2
Seminar Tahunan Linguistik 2015

2) fungsi semantis (makna), adalah fungsi yang berhubungan dengan berubahnya arti bentuk gramatik dan
menghasilkan arti baru (arti gramatikal); misalnya dalam bahasa Sunda perubahan katatani (melakukan)
menjadi katapatani (pelaku).
Proses morfologis terbagi tiga macam:
1) proses afiksasi, yaitu proses membangun katadengan cara menambahkan imbuhan (afiks), hasilnya
adalah kata turunan;
2) proses reduplikasi, adalah proses membangun kata kompleksdengan cara menyebut dua kali atau lebih
dari bentuk dasarnya, hasilnya adalah kataulang;
3) proses komposisi, adalah prosesmembangun kata kompleks dengan cara menggabungkan dua kecap atau
lebih, hasilnya adalah kata majemuk.
Proses morfologis dalam bahasa Sunda bisa dibagankan sebagai berikut.

Bagan Bentuk Kata


Kata Asal
(dasar)
Kata Ulang
Bentuk kata Kata Jadian/Turunan

KataMajemuk
Kata Kompleks
(luas)

Kata dasar atau morfem bebas adalah morfem yang mempunyai potensi berdiri sendiri sebagai kata
dan dapat langsung membentuk kalimat. Contoh katadasar: saya (b. Sunda: kuring), akan (b. Sunda: rek),
makan (b. Sunda dahar), nasi (b. Sunda sangu) (Sudaryat, 1991:41).
Karena yang dibahasa adalah nama tempat dalam bahasa Sunda, maka akan dilihat juga dari sudut
pandang bahasa Sunda. Kata dasar dalam bahasa Sunda, dilihat dari jumlah suku katanya (engang)dibagi
menjadi lima jenis:
1) kata dasar ekaengang (satu suku kata), contoh: ah, blug, tuh, jung, dll;
2) kata dasar dwiengang (dua suku kata), contoh: tanjung, darat, muncang,dll;
3) kata dasar triengang (tiga suku kata), contoh: palabuhan,mumunggang, parongpong, katapang, dll;
4) kata dasar caturengang (empat suku kata), contoh nama tempat:bojongkaso, keboncau, kebonjeruk,
sukabumi, jrrd; jeung
5) kat adasar pancaengang (lima suku kata), contoh nama tempat:tanjakanemen, mandalakasih, jrrd.
Kata Kompleks adalah kata yang dibentuk oleh sekurang-kurangnya dua morfem, bersifatna
anekamorfem. Kata kompleks dibagi menjadi tigajenis, yaitu: jadian/turunan, ulang, dan majemuk.
KataJadian/Turunan adalah kata dari hasil proses afiksasi, contoh: parongpong dari pong + -ar-
+ pong → parongpong. Imbuhan dalama bahasa Sunda ditabelkan demikian.

Tabel Bentuk Kata Jadian/Turunan


IMBUHAN
Depan Tengah Belakang Barung
ba- -ar- -an ka- -an
barang- -in- -eun kapi-
di- -um- -ing pa- -an
ka- -keung pang- -keun
N- -man/wan pang- -na
pa- pi- -an
pang- pi- -eun
pada- pika-
para- pika- -eun
per- sa- -an
pi- sa- -eun
pra- sa- -na
sa- ting- -ar
sang-
si-
ti-
ting-
(Sudaryat, 1991:42)

3
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

Kata Ulang adalah kata yang diulang, sebagian, seluruhnya, atau diulang tiga kali, contoh: pasir-
pasir, gugunungan, blag-blig-blug, dsb.Menurut Alam Sutawijaya dalam Rosmana (2003:34), secara garis
besar, kata ulang dalam bahasa Sunda adalah (1) dwilingga, (2) dwipurwa, (3) dwimadya, jeung (4) trilingga.

Bagan Kata Ulang Bahasa Sunda

Dwimurni
Dwilingga Dwireka
Dwireka binarung rarangken

Dwipurwa tanrarangken
Dwipurwa
Dwipurwa binarung rarangken

Dwimadyatanrarangken
Dwimadya
Dwimadya binarung rarangken
Trilingga

Kata Majemuk adalah kata kompleks yang mengandung arti mandiri atauberbedadengan unsur-
unsur pembentuknya (Sudaryat, 1991:57), menurut Rosmana (2003:51), kata majemuk adalah katayang
dihasilkan karena bertautnya dua morfem atau lebih yang bisa membentuk arti dan fungsi. Ada dua jenis kata
majemuk menurut tipe dan persamaan distribusinya dengan salah satu atau seluruh unsurnya, yaitu:
1) kata majemuk endosentris, yaitu kata majemuk yang distribusinya mempunyai fungsi yang sama dengan
salah satu atau seluruh unsurna. Contoh: lebak siuh (Lebaksiuh), sukabumi (Sukabumi), pasir hayam
(pasirhayam)dsb;
2) kata majemuk eksosentris, yaitu kata majemuk yang distribusinya tidak mempunyai fungsi yang sama
dengan salah satu atau seluruh unsurna. Jadi, berupa rakitan dalit, contohna: gede hulu, dsb (Sudaryat,
1991:58-59).
Jenis Kata. Jenis kata atau kelas kata menurut Kridalaksana (1982:80) adalah golongan kata yang
mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya, klasifikasi atas nomina, adjektiva, dsb (1982:80). Menurut
Sudaryat (1991:64) jenis kata adalah pasangan kata berdasarkan sifat, fungsi, dan perilaku formal dalam
kalimat.
Jenis kata dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) kata utama, yaitu sejumlah kata yang mempunyai arti leksikal, bersifat peka terhadap alam, peka budaya,
peka tempat, dan umumnya bisa berubah bentuk; kata utaman ini meliputi kata benda (nomina), kata
kerja (verba), kecap sifat (adjektiva), dan katap bilangan (numeria);
2) kata bantu, yaitu sejumlah katayang berfungsi untuk menunjukkan hubungan ketatabahasaan
(gramatikal) atauberfungsi menjelaskan kalimat-kalimat dan unsur-unsurnya; kata bantu meliputi
adverbial, preposisi, konjungsi, dan interjeksi (Sudaryat, 1991:65).
Bagan Jenis Kata
nomina
verba
Kata utama adjektiva
numeria
Jenis kata
Adverbial
Kata bantu preposisi
konjungsi
interjeksi

Semantik. Etimologis kata semantik berasal dari bahasa Yunani semantickos, artinya adalah
‘penting atau ngandung arti’, yang berasal dari kata sema ‘tanda’. Sematik adalah (1) bagian dari struktur
bahasa yang berhubungan dengan makna dan ungkapan dan juga struktur makna suatu wicara, (2) sistem dan
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya (Kridalaksana, 1982: 149).
Semantik diartikan juga sebagai penelaahan terhadap lambang-lambang atau tanda-tanda yang menjelaskan

4
Seminar Tahunan Linguistik 2015

makna. Semantik juga menelaah makna katadan makna-makna kata yang berkembang pada masyarakat.
Oleh sebab itu, semantik meliputi makna kata, perkembangannya, juga perubahannya (Tarigan, 1985:155).
Arti atau makna adalah hubungan lambang tuturan dengan ceritaan (referen) yang dituturkan. Arti
adalah berupaisi (maksud) yang dikandung oleh kata-kata atau ceritaan, apa-apa yang dimaksud oleh si
pembicara (Sudaryat, 1991:105).

Bagan Hubungan Lambang, Acuan, dan Arti

Makna (referensi/pikiran)

Lambang Acuan (referen)

Penjelasannya adalah bahwa adanya hubungan antara lambang (simbol) dan acuan (referen).
Hubungan antara lambang dan acuan mempunyai sifat tak langsung, sedangkeun hubungan antara lambang
dan referensi juga antara referensi dan acuan mempunyai hubungan langsung.
Ogden & Richard dalam Sudaryat (1991:106), mengkategorikan 16 rumusan pengertian makna,
yaitu: 1) bersipat intrinsik; 2) berhubungan dengan benda-benda yang unik, tapi dapat dianalisis; 3)
berkenaan dengan kata kamus; 4) berupa konotasi kata; 5) satu hal yang beresensi; 6) satu aktivitas yang
diproyeksikeun pada satu objek; 7) satu peristiwa yang dimaksud; 8) tempat pada satu sistem; 9)
konsekuensi praktis dari satu bendapada satu; 10) konsekuensi teoretis yang dikandung pernyataan; 11)
emosi nu ditimbulkan oleh satu hal; 12) satu hal yang secara aktual dihubungkan dengan satu lambang oleh
hubungan yang sudah dipilih; 13) efek-efek yang mendukung ingatan jika mendapat stimulus; (beberapa
kejadian yang mendukung ingatan pada peristiwa; satu lambang yang ditafsirkeun; satu hal yang
disarankan); 14) dipakainya lambang yang bisa merujuk apa yang dimaksud; 15) kepercayaan dalam
menggunakeun lambang sesuai dengan apa yang dimaksud; 16 tafsir lambang, hubungan-hubungan,
kepercayaan tentang apa nu diacu, dan percaya pada pembicara mengenai apa saja yang dimaksudkannya.
Bila dirumuskan lagi, maka ada tiga unsur pokok mengenai makna: (1) makna adalah hasil hubungan
antara bahasa dan dunia luar; (2) penentuan hubungan karen adanya persetujuan yang memakainya; (3)
perwujudan makna bisa dipakai untuk menyampaikan informasi supaya bisa dimaknai.
Unsur-unsur makna terdiri dari komponen yang disebut ‘kesatuan makna’ (the unit of meaning).
Satuan maknanya diklasifikasikanmenjadi empat kelas semantis, yitu: benda (thing) atau maujud (entities),
peristiwa (events), abstraksi (abtractions), dan relasi (relations).
Komponen Makna Nomina. Dilihat dari komponen maknanya, nomina mempunyai ciri hirarkis
semantis yang dimulai dari ciri maujud pada ciri ‘manusia’. Dengan demikian, ciri semantis nomina
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: (1) nama jenis (common nouns), yang terhitung dan takterhitung,
yang konkrit dan abstrak, dan (2) nama diri (proper nouns).
Kridalaksana (1990:67-68) membedakeun kategori nomina menjadi beberapa subkategori, demikian:
(1) bernyawa (a. insan (nama diri; kekeluargaan; kelompok manusia; yang dianggap manusia;, benda
personifikasi), b. fauna, c. flora)
(2) tak bernyawa (a. lembaga, b. geografis, c. waktu, d. bahasa, e. waktu, f. ukuran dan takaran, g. persamaan
bunyi)
(3) berbilang
(4) tak berbilang
(5) kolektif
(6) tak kolektif
Komponen Makna Adjektiva. Adjektiva adalah leksem yangs secara semantis mempunyai ciri [+
sifat] dan [+ keadaan] pada satu benda. Komponen makna adjektiva ada delapan tipe, yaitu: (1)
[+sikap/tabiat], (2) [+ bentuk], (3) [+ ukuran], (4) [+ waktu dan + umur], (5) [+ warna], (6) [+ jarak], (7) [+
kuasa tenaga], dan (8) [+ kesan indra] (Chaer, 1995:169-170).

Toponimi dan Kaidah Pemberian Nama


Toponimi. Begitu manusia lahir di muka bumi, properti yang pertama diberikan oleh orang
tuanyaadalah “nama diri” (antroponim), karena dengan nama ini mulailah terbangun suatu jaringan
komunikasi antara orang tua dengan anaknya sepanjang masa.Properti kedua yang melekat pada antroponim
adalah “tempat lahir (toponim) (Rais, 2008).

5
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

Kedua nama, yaitu nama diri dan tempat lahir akan melekat terus pada setiapindividu sampai
meninggal dan dipakai untuk identitas diri. Dikatakan bahwa manusia dapat kehilangan apa saja, harta
benda, dll,tetapi tidak nama diri dan tempat lahir. Begitu manusia mendiami suatu wilayah di muka bumi,
maka manusiapun memberi nama kepada semua unsur-unsur geografi, seperti nama untuk sungai, bukit,
gunung, lembah, pulau, teluk, laut, selat, dsb. yang berada di wilayahnyaatau yang terlihat dari wilayahnya.
Bahkan juga manusia memberi nama padadaerah yang ditempatinya, seperti nama pemukiman (seperti nama
real estat),nama desa, nama kampung, nama hutan atau nama nagari, dst sampai dengannama-nama kota.
Tujuan memberi nama pada unsur geografi adalah untuk identifikasi atau acuan dan sebagai sarana
komunikasi antar sesama manusia. Dengan demikian nama-nama unsur geografi sangat terkait dengan
sejarah pemukiman manusia. Nama unsur geografi, atau disingkat “nama geografik” (geographical
names)disebut “toponim” atau “toponimi. Secara harafiah berarti “nama tempat” (place names). Namatempat
tidak harus diartikan nama pemukiman (nama tempat tinggal), tetapi namaunsur geografi yang ada di suatu
tempat (daerah), seperti sungai, bukit, gunung,pulau, tanjung, dsb. Unsur-unsur ini dikenal secara luas
sebagai unsur “topografi”(the physical features on an area of land, such as rivers, mountains, islands,
seas,etcdalamOxford Advances Learner’s Dictionary 2000 dalam Rais, 2008).
Manusia yang bermukim pertama kali di suatu wilayah tentunya memberi nama pada unsur-unsur
geografikdi lingkungannya. Nama diberikan berdasarkan apa yang dilihatnya, sepertipohon-pohonan atau
buah-buahan yang dominan di wilayah tersebut. Contoh:Kampung Rambutan, pulau Pisang, pulau Bangka,
Cikapundung, Citarum, dsb. atau binatang yang dijumpai atau menghuni, seperti pulau Kambing, pulau
Menjangan, pulau Merpati, pulau Burung, dsb. dan lebih banyak nama-nama geografik diciptakan dari
legenda rakyat, seperti legenda Sangkuriang untuk gunung Tangkubanparahu di Jawa Barat dan gunung
Batok di Jawa Timur.
Dalam kajian folklore, toponimi adalah bagian dari ilmu onomastika (onomastics), yang kajiannya
meliputi: nama tradisional jalan atau tempat-tempat tertentu yang mempunyai legenda sebagai sejarah
terbentuknya jalan. Selain itu onomatika meliputi juga penamaan jalan, makanan, buah-buahan, juga
termasuk nama diri (Danandjaja, 2002:27).
Toponimi sebagai bagian dari folklor, yaitu termasuk folklor lisan, mempunyai ciri-ciri utama
folklor, yaitu: 1) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, 2) bersifat tradisional (disebarkan
dalam relatif tetap atau standar dalam kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (minimal dua
generasi)), 3) hidup dalam versi-versi atau varian-varian, 4) bersifat anonim, 5) berumus dan berpola, 6)
mempunyai fungsi, 7) bersifat pralogis, 8) milik bersama (kolektif), dan 9) bersifat polos dan lugu.
Kaidah Pemberian Nama. Memberi nama atau penyebutan (naming) adalah salah satu dariempat
téhnik dalam analisis komponen makna (componential analysis). Ada tiga teknis yaitu: parafrase,
pendefinisian, dan pengklasifikasian.
Adapun proses memberi nama adalah sebagai berikut:
1) Menirukan bunyi (onomatope), yaitu memeberikan nama sesuai dengan suara benda yang dijadikan
acuannya, misalnya dalam bahasa Sunda ada binatang yang namanya cakcak ‘cicak’. Diberi nama
demikian karena binatang itu berbunyi cak…cak…cak;
2) Menyebut sebagian (prasprototo), yaitu memberi nama dengan cara sebagian dari keseluruhannya
contoh: kata gunung padahal pada gunung tersebut ada bagian-bagian lainnya, seperti punggung gunung,
kaki gunung, dll.
3) Menyebut sifat khas, yaitu memberi nama barang sesuai dengan sifat khas benda tersebut. Contohnya Si
Pendék pada orang yang pendek, Si Jangkung pada orang yang jangkung tubuhnya;
4) Menyebut avélativa, yaitu memberi nama benda berdasarkan pada yang menemukannya, penciptanya,
atau peristiwa yang terjadinya. Contohnya: tanjakan-emen sebuah tanjakan di antara Lembang-Subang
yang diberi nama berdasarkan cerita tragedi kematian Si Emen di tanjakan tersebut.
5) Menyebut tempat asal, yaitu memberi nama berdasarkan nama tempat barang tersebut.Contoh: jeruk
garut artinya sejenis jeruk yang berasal dari Garut;
6) Menyebut bahan, yaitu memberi nama berdasar nama bahan pokok benda tersebut. Contoh: sapu ijuk,
yaitu sapu yang dibuat dari ijuk;
7) Menyebut dari persamaan/kamiripan, yaitu memberi nama berdasarkan kesamaan dengan barang
lainnya. Misalnya: jalan/tanjakan tepung-kanjut sebuah tanjakan yang berada di jalan Ciamis-Banjar.
Dikatakan demikian karena tanjakan tersebut melingkar seolah berkerut seperti kanjut (dalam bahasa
Sunda kanjut artinya scrotum);
8) Menyebut kependekannya, yaitu memberi nama dengan cara memendekannya, misalnya: SMP =
Sekolah Menengah Pertama;

6
Seminar Tahunan Linguistik 2015

9) Menyebut dengan sebutan baru, yaitu memberi nama satu benda berdasarkan pada masuknya kata-kata
baru (asing) untuk mengganti kata-kata lama yang dianggap tidak cocok, kurang ilmiahh, atau kurang
halus. Contoh: tuna rungu untuk mengganti kata ‘tuli’, dll;
10) Menyebut dari peristilahan, yaitu memberi nama benda yang khusus dibuat untuk bidang keilmuan
tertentu (Prawirasumantri dalam Sudaryat, 2003: 93-97).
Kaidah nama-nama tempat (toponimi) bisa dikategorikan dari tiga latar, yaitu: 1) latar fisikal, 2) latar
sosial, dan 3) latar kultural.
Latar fisikal meliputi: hidrologis (Haji Hasan Mustapa dan Karl A. Wittfogel dalam Kunto,
1986:87), geomorfologis, biologis, (Kunto, 1986:107; Kosasih, 2004), dan gabungan geomorfologis dan
biologi (Yusuf, 2008).
Kaidah hidrologis, bisa terjadi karena pola: linier (contoh: Andir) dan gabungan (Contoh
Cikapundung=Ci+kapundung). Kaidah geomorfologis adalah menamai wilayah berdasarkan pada kontur
tanah (contoh: Lebak, Gunungsabeulah, dll). Kaidah biologis adalah menamai wilayah berdasarkan pada
sistem ekologis (flora dan fauna, contoh flora: Loa, Katapang, Janitri, dll.). Kaidah gabungan dari
geomorfologis daan biologis adalah menamai wilayah dari gabungan kontur tanah dan sistem ekologi
(contoh: Lebaksiuh dan Gunungroay).
Penamaan tempat berdasarkan latar sosial adalah penamaan wilayah yang berhubungan dengan
kondisi atau keadaan sosial masyarakat yang pernah ada atau pernah terjadi di tempat tersebut (contoh:
Banceuy, Regol, Pungkur, dll.) (Kunto, 1984; Kosasih, 2004). Penamaan tempat berdasarkan setting budaya
(Kosasih, 2004) adalah penamaan wilayah yang berhubungan dengan gagasan atawa ide unsur budaya,
seperti: aspek mitologi, folklore, sistem kapercayaan masarakatna (contoh: Tangkuban parahu, Lebak
Cawene, Palabuhan Ratu, dll.).

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan memakai pendekatan
teks pada kajian bahasa dan folklor. Teknik yang digunakan adalah penelaah pustaka, analisis, dan
wawancara. Penelaahan pustaka dan wawancara dilakukan dalam pengumpulan data, analisis dilakukan
dalam mengidentifikasi data.

TEMUAN & PEMBAHASAN


Temuan
Penamaan Tempat Berdasarkan Flora, Fauna, dan Keadaan Lingkungan. Begitu banyaknya
penamaan tempat di Tatar Sunda, memerlukan penelitian yang komprehensif. Dalam temuan ini
diketengahkan 15 nama tempat dengan rincian lima contoh dari tiap kategori, yaitu: Pasirmuncang,
Bungursarang, Warungkawung, Kalapatilu, Cihampelas, Cikudapateuh, Rancabadak, Ciparay,
Leuwimunding, Cidadali, Banceuy, Kancahnangkub, Nagrak, Nyingkir, dan Palabuanratu.

Pembahasan
Penamaan Tempat Berdasarkan Flora. Nama tempat berdasarkan flora pada pembahasan ini
adalah sebagai berikut.

No. Nama Tempat Tafsiran Folklor Analisis Unsur Kebahasaan

1 Pasirmuncang Menurut orang-orang tua di Kata pasirmuncang, terdiri dari dua


kampung tersebut, sejak dahulu kata:
(kec. Parongpong sampai tahun 1960-an nama
Kab. Bandung tersebut sudah ada, karena ada
pasir (bukit: N) + muncang (kemiri:
Barat), tangkal-tangkal muncang (10
N)→ pasirmuncang (N)
pohon kemiri) yang sangat besar
dan tumbuh berjajar di
mumunggang pasir (di atas
bukit) sepanjang SD Inpres
sekarang sampai Kampung
Babakan. Pohon tersebut

7
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

dianggap sanget (keramat) oleh


warga setempat karena besar-
besar dan tuanya. Tapi oleh Pak
Haji Komar (pemilik tanahnya),
pohon-pohon tersebut ditebangi
karena dianggap sanget oleh
masyarakat.

2 Bungursarang Menurut orang-orang tua, di Kata bungursarang terdiri dari dua


kampung tersebut banyak kata: bungur (pohon bungur N) +
(Kec. Nagrak Kab. ditumbuhi pohon bungur
Sukabumi) sarang (kegiatan melindungi dari
(sampai sekarang, masih
terdapat beberapa pohon). Pada kekuatan jahat V) → bungursarang
masa jaman revolusi fisik terjadi (N)
peperangan dan banyak korban
jiwa yang meninggal. Para
sesepuh kampung kemudian
menyarang (melindungi)
kampung tersebut dengan doa-
doa dan jampi-jampi agar
terhindar dari marabahaya.

3 Warungkawung Menurut orang-orang tua, Kata warungkawung terdiri dari dua


kata: warung (N) + kawung (aren, N)
(Kec. Nagrak Kab. Di tempat tersebut banyak
Sukabumi) tangkal kawung, dan daun → warungkawung (N)
kawung yang sudah diolah
dijual pada satu warung perintis
(warung pertama sepanjang
jalan raya kecamatan Nagrak
yang menjual daun kawung dan
tembakau untuk merokok)
sekitar tahun 1945-an. Pemilik
warung tersebut sekarang sudah
meninggal dan diteruskan oleh
dua anaknya (Mang Sain dan
adiknya yang perempuan),
tetapi sekarang dagangannya
bermacam-macam mulai dari
sayuran, makanan, sampai
kelontongan. Dua saudara
tersebut seolah bersaing dalam
berjualannya

4 Kalapatilu Menurut orang-orang tua, di Kata kalapatilu terdiri dari dua kata:
Kec. Pangandaran nama ini kalapa (N) + tilu (N) → kalapatilu
Kec. Pangandaran sangat terkenal karena diambil
Kab. Ciamis (N)
dari kejadian alam pohon kelapa
yang bercabang tiga. Hal ini
dianggap aneh dan
menghebohkan. Pohon tersebut

8
Seminar Tahunan Linguistik 2015

dainggap mempunyai keramat


dan dianggap sanget.

5 (Jl.) Cihampelas Ci, cai = air merupakan aspek Kata Cihampelas terdiri dari dua
hidrologis, yang menunjukkan
kata: Ci (Cai, air: N) + Hampelas
Kota Bandung bahwa daerah tersebut dulunya
merupakan daerah sumber air (nama pohon: N) → cihampelas (N)
atau banyak mengandung air,
atau merupakan
cekungan/sungai. Hampelas =
nama jenis pohon yang daunnya
kasar, seperti kertas amril
(ampelas) yang digunakan
untuk menggosok atau
menghaluskan besi atau kayu.
Dengan demikian Cihampelas
jika artikan secara bebas dapat
memiliki dua pengertian, yaitu
pertama: air yang memiliki
khasiat untuk menghaluskan
kulit atau membersihkan hal
lainnya, baik untuk bersuci
maupun sebagai obat; kedua:
sebuah daerah aliran sungai
yang di sekitarnya terdapat
banyak pohon hampelas.
Merujuk pengertian di atas,
awal mula penamaan
Cihampelas untuk daerah
tersebut disebabkan karena di
wilayah tersebut terdapat
sumber air yang mengandung
khasiat untuk menghaluskan
kulit atau untuk membersihkan
hal lainnya, bisa juga daerah ini
dinamakan demikian karena
terdapat sungai yang di
sekitarnya terdapat banyak
pohon hampelas. Seiring
berkembangnya waktu,
Cihampelas dikonotasikan
sebagai tempat penjualan jeans
di kota Bandung, tetapi
sekarang, konotasi itu berubah
menjadi pusat travel perjalanan
(Bachtiar, dkk, 2008)..

Nama Tempat Berdasarkan Fauna. Nama tempat berdasarkan flora pada pembahasan ini adalah
sebagai berikut.

9
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

No. Nama Tempat Tafsiran Folklor Analisis Unsur Kebahasaan

1 Cikudapateuh Secara semantis, Ci, cai dapat Kata cikudapateuh terdiri dari tiga
diartikan air, kuda = kuda, dan kata: ci (cai, air: N) + kuda (N) +
Kota Bandung pateuh = patah. Penamaan daerah pateuh (Adj) → cikudapateuh (N)
ini menjadi demikian dengan latar
belakang bahwa dahulu daerah ini
merupakan wilayah yang cukup
banyak mengandung air, sehingga
banyak rerumputan hijau yang
tumbuh, serta banyak pula kolam-
kolam kecil (genangan air).
Keadaan demikian cukup
mengundang selera kuda untuk
betah tinggal di daerah ini. Di
antara sekian banyak kuda yang
memamah di sana, ada di
antaranya kuda yang kakinya
patah sehingga pincang.
Menyaksikan hal itu, masyarakat
secara spontan menyebut daerah
itu sebagai Cikuda Pateuh. Kini,
Cikuda Pateuh juga dijadikan
nama stasion kereta api di daerah
ini (Bachtiar, dkk, 2008)..

2 Rancabadak Konon pada tahun 1700-an di Kata rancabadak terdiri dari dua kata:
Bandung masih ditemukan badak.
ranca (rawa: N) + badak (N)
(Kota Bandung) Dan badak ini menjadi ciri utama
adanya air, karena badak memang →rancabadak (N)
suka air tempatnya berendam atau
berkubang. Genangan air yang
airnya mulai surut tersebut
dinamakan rancaatau semacam
rawa-rawa.
Di daerah ini dibangun rumah
sakit (sekarang dikenal dengan
RS Hasan Sadikin) pada mulanya
sekitar daerah tersebut adalah
tempat badak berkubang
(Bachtiar, dkk, 2008).
3 Ciparay Nama tempat ini sangat terkenal, Kara ciparay terdiri dari dua kata: ci
mungkin tidak hanya di
(cai, air: N) + paray (ikan paray: N)
(Kec. Soreang Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Garut saja. Dari cerita- →ciparay (N)
Kab. Bandung dan cerita orang tua, di tatar Sunda
Kec. Karangpawitan terdapat banyak jenis ikan sungai
& Samarang Kab (walungan) yang sering dijumpai,
Garut) yaitu paray. Paray adalah sejenis
ikan jeler. Dari fenomena alam
tersebut, menerangkan beberapa
hal, pertama: bahwa di tatar
Sunda banyak sekali sungai,
10
Seminar Tahunan Linguistik 2015

kedua, sungai tersebut airnya


jernih atau tidak beracun sehingga
ikan pun hidup dan berkembang
biak, ketiga paray adalah nama
ikan yang sangat populer pada
masyarakat Sunda, sehingga
dijadikan nama tempat malah
menjadi dindiran pada
wawangsalan Sunda.
4 Leuwimunding Menurut orang tua, nama ini Kata leuwimunding terdiri dari dua
diambil dari kejadian masa lalu
kata: leuwi (palung: N) + munding
Kab. Bogor yaitu rombongan munding
‘kerbau’ yang mengamuk. Satu (kerbau: N) →leuwimunding (N).
kerbau berlari ke gawir ‘tebing’
yang di bawahnya terdapat
sungai. Dan jatuhlah kerbau
tersebut ke dalam sungai yang
kebetulan di tempat tersebut
adalah leuwinya (palung) bagian
terdalam dari sungai tersebut,
sehingga kerbau itu tidak bisa
diselamatkan. Untuk mengenang
kejadian itu, masyarakat menamai
daerah tersebut dengan nama
leuwimunding (palungkerbau,
atau tempat jatuhnya kerbau ke
palung sungai).
5 Cidadali Cidadali diambil dari nama fauna Kata cidadali terdiri dari dua kata: ci
(hewan dadali atau sejenis alap-
(cai, air: N) + dadali (alap-alap,
(Kec. alap) karena di daerah tersebut
Karangpawitan Kab. dulu diyakini banyak hidup dadali elang: N) → cidadali (N).
Garut) yang terbang dan menyambar
anak ayam untuk dimangsanya.
Masyarakat setempat menaruh
kagum pada kegagahannya ketika
terbang tetapi mereka juga
memburunya karena dadali
memangsa anak ayam dan ayam
yang mereka pelihara (Yusup,
2008).

Nama Tempat Berdasarkan Lingkungan Fisik. Nama tempat berdasarkan lingkungan fisik pada
pembahasan ini adalah sebagai berikut.

No. Nama Tempat Tafsiran Folklor Analisis Unsur Kebahasaan

1 Banceuy Banceuy (dekat alun-alun kota Terdiri dari satu kata: Banceuy (N)
Bandung) secara etimologis
(Kota Bandung) berarti kompleks kuda,
termasuk istal dan pengurusnya.
Tempat ini ada setelah
dibukanya jalan raya pos (Grote
Postweg) dari Anyer ke
Panarukan.Daerah Banceuy
dipakai untuk istirahat atau

11
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

bergantinya kuda untuk


kepentingan transportasi dan
kaperluan pos (surat-
menyurat).Kalau ada surat dari
Batavia untuk ke Semarang,
misalnya,kuda beristirahat di
tempat tersebut (Bachtiar, dkk,
2008).

2 Kancahnangkub Menurut orang–orang tua di Kata kancahnangkub terdiri dari dua


sekitar daerah tersebut, nama
kata: kancah (kuali: N) + nangkub
(Kec. Nagrak Kab. kancahnangkub (kuali besar
Sukabumi) yang menelungkup) diambil (telungkup: V) → kancahnangkub
dari kejadian dahulu kala.
(N)
Bahwa di daerah tersebut ada
seorang tukang masak terkenal
dan Tuan Belanda menyuruhnya
memasak di kuali besar untuk
menjamu tamunya. Tukang
masak tersebut mencurahkan
segala kemampuannya untuk
memasak enak. Tetapi entah
mengapa, pada lidah Si Tuan
besar ada rasa yang tak
berkenan. Karena waktu
semakin tidak memungkinkan,
si tukang masak menjadi
geumpeur dan entah bagaimana,
masakan pada kualinya menjadi
tuampah dan kualinya menjadi
nangkub dan perjamuan pun
kacau balau. Tuan Belanda amat
marahnya dan disepaknya kuali
tersebut ke jauhnya dan jatuh
dengan posisi nangkub
‘telungkup’.

3 Nagrak Menurut cerita orang-orang tua, Bila dari cerita pertama, kata ini dari
tempat ini dinamai ‘nagrak’
kata:
(Kec. Nagrak Kab. karena ada ‘sejarahnya’. Sejarah
Sukabumi) tersebut ada dua versi, kedua-
duanya berhubungan dengan Nah (interjeksi) + ya (interjeksi) +
CV Onderneming Sinagar- gerak(V)→ nagrak (N)
Cirohani di kaki G. Salak.
Versi pertama disebutkan
bahwa Tuan Belanda membuka
jalan untuk kepentingan
perkebunan. Pegawainya tentu Bila dari cerita kedua, kata ini dari
saja rakyat jelata waktu itu. kata
Setiap 1000 meter, Tuan
Belanda menyuruh lari pada
orang yang memegang tali dan Nagen (V) + gerak (V) → nagrak (V)
ditandainya menjadi 1 paal.
Demikian seterusnya. Setiap 1 Bila dari geografisnya
paal, Tuan belanda berteriak
“Nah, yah,....gerak!”. Pada Negrak (Adj) →nagrak (N)
telingan rakyat jelata

12
Seminar Tahunan Linguistik 2015

didengarnya ‘nagrak’ maka


dinamainya daerah tersebut
menjadi Nagrak.
Versi kedua adalah para kuli
kontrak perkebunan selalu
beristirahat di los-los pinggir
jalan ketika membawa teh ke
Kademangan. Di los-los
tersebut mereka beristirahat
dengan kaki diangkat dan
tangan melingkar diantara
kakinya, sambil duduk demikian
(mencangkung), mereka
menggerak-gerakan
punggungnya (nagen tapi
gerak). Maka mulai dari situ,
nama daerah tersebut disebut
‘nagrak’.
Bila dilihat dari geografisnya,
memang Nagrak berada di
daratan tinggi sehingga
pemandangan bisa dilihat dari
sana (negrak).
4 Nyingkir Menurut orang-orang tua di Terdiri dari satu kata:
sekitar daerah tersebut, dahulu
(Kec. Parongpong daerah tersebut hanya dikenal Singkir (V) →nyingkir (N)
Kab. Bandung rumpunan bambunya yang
Barat) merimbuni daerah tersebut.
Rumah-rumah yang jarang dan
penduduk yang sedikit seolah-
olah nyingkur ‘menyepi’ di
tempat itu. Pada jaman revolusi
fisik, tempat tersebut dipakai
untuk bersembunyi para
pejuang. Bila Belanda mencari
ke tempat itu, seolah para
pejuang tersebut raib entah
kemana dan belanda pulang
dengan kecewa. Maka
disebutlah kampung tersebut
sebagai kampung nyingkir
(pergi terasing) atau
panyingkiran.
Bila melihat kondisi sekarang,
masyarakatnya memang
tersingkirkan setelah dibukanya
perumahan elit Setiabudhi
Regensi tahun 1980-an. Akses
jalan yang terbatas dan
perumahan penduduk tak
terlihat karena rumah-rumah elit
yang megah-besar menghalangi
pemandangan ke kampung
tersebut.
5 Palabuhanratu Nama daerah ini sangat terkenal Terdiri dari dua kata:
karena adanya objek wisata

13
Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015

Kab. Sukabumi pantai dan hotel yang terkenal Palabuhan + ratu.


dihuni oleh makhluk halus yang
dipercaya masyarakat; Nyi Roro
Kidul.
Menurut cerita penduduk Bila menggunakan versi pertama,
Sukabumi ada dua versi maka menjadi:
mengenai palabuhan ratu ini. Palabuhan (N) + Nyi Ratu (N) →
Yang pertama berkat
keberhasilan Puun Purnamasari Palabuhanratu (N)
(putri bungsu Pajajaran) yang
berhasil membuka kampung
Cidadap menjadikan daerah
setempat ramai dan makmur. Bila menggunakan versi kedua, maka
Para pamayang dan patani hidup menjadi:
tentram dan maju, maka untuk
Tempat (N) labuhna (V) + Nyi Ratu
mengenang jasanya, pelabuhan
(N) → palabuhanratu (N)
kecil itu dinamai Palabuhannya
Nyi Ratu, yang lama-kelamaan
menjadi Palabuhan Ratu. Versi
kedua menceritakan putri
Pajajaran yang difitnah dan
diluluri wajah dan tubuhnya
oleh ibu tirinya sehingga
seluruh tubuhnya menjadi gatal.
Maka keluarlah putri Pajajaran
tersebut dan bertapa. Ketika
tapa, beli mendengar suara
bahwa obatnya adalah di lautan.
Maka putri itupun menjatuhkan
dirinya ke laut dan menjadi
penguasa lautan. Dari peristiewa
tersebut, daerah tersebut dikenal
dengan tempat labuhnya
(jatuhnya) Nyi Ratu:
palabuhanratu.

KESIMPULAN
Dari uraian contoh di atas, jelaslah bahwa penamaan tempat di Tatar Sunda, sangat berhubungan erat
dengan kondisi alam, terutama flora, fauna, dan lingkungannya. Hal ini memperlihatkan eratnya hubungan
orang Sunda dengan lingkungan alamnya dan alam menjadi pancaran dalam kekayaan perbendaharaan (kata)
dan arti (semantis) bahasa orang Sunda. Hal lain yang diperlihatkan dari uraian ini adalah kekayaan alam di
Tatar Sunda sangat beranekaragam jenis flora, fauna, dan budayanya.
Keberadaan flora, fauna, dan lingkungan dalam bahasa dan budaya Sunda mencerminkan tingkat
pengetahuan dan pemahaman (kognisi), perasaan (apeksi), pengolahan (motoris), dan pemanfaatan (aplikasi)
masyarakat Sunda terhadap jenis flora tersebut. Hal itu menunjukkan kekayaan batin orang Sunda dalam
mencerap alam sekitarnya (fisik), mengolahnya dan memancarkannya kembali menjadi nilai yang diyakini
dalam kehidupannya (nonfisik).Kekayaan yang memancar melalui bahasa ini perlu dijaga dan dilestarikan
keberadaannya.
Dari analisa unsur kebahasaan, diperlihatkan 15 nama tempat yang terdiri dari satu dan dua kata.
Kata-kata tersebut mengandung arti secara kata, morfologis, dan sematik.*

14
Seminar Tahunan Linguistik 2015

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, T, dkk. 2008. Toponimi Kota Bandung. Bandung: Bandung Art & Culture Council.

Danandjaja. James. 1994 (cet ke-4). Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Echols, John M. dan Hassan Syadily. 1998. Kamus Inggris-Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia.

Ekadjati, Edi S. 1991. Kebudayaan Sunda. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.

Isnendes, Retty. dkk. 2009-2011. “Ekspedisi Alam dan Budaya: Inventarisasi, Interpretasi Budaya, serta
Mediasi Gambar dan Film Flora Sunda (Akar, Umbi, Batang, Daun, Bunga, Buah)” Tahap Pertama.
Penelitian didanai DIKTI. Bandung: UPI.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe.Bandung: Penerbit Granesia.

_____, 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya: Bandung: Penerbit Granesia.

Kosasih, Dede. 2004. “Sarsilah Ngaran Patempatan di Tatar Sunda” pada Cupumanik No. 17. Bandung:
Kiblat Buku Utama.

Rais, Jacub.2008. “Arti Penting Penamaan Unsur Geografi, Definisi, Kriteria dan Peranan PBB dalam
Toponimi: Kasus Nama-nama Pulau di Indonesia”. disearch pada www.bakosurtanal.com.

Rusyana, Yus. 1084. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.

Rosmana, Iyos Ana. 2003. “Morfologi Basa Sunda”(Makalah). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
FPBS UPI.

Sudaryat, Yayat. 1991. Pedaran Basa Sunda. Bandung: Geger Sunten.

_______. 2005. Kamus Istilah Elmuning Basa Sunda. Bandung: Karya Ipteks.

Warnaen, Suwarsih, dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda. Depdikbud: Dirjen Kebudayaan Bagian
Proyek Penelitian & Pengkajian.

Yusup. 2008. “Sistem Panataan Ngaran Patempatan (Toponimi) di Kabupaten Garut.” (Skripsi). Bandung:
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.

www.id.m.wikipedia.or.
www.wikipedia.com

RIWAYAT HIDUP/CURRICULUM VITAE


Nama : Retty Isnendes
Institusi : Departemen Pendidikan Bahasa Daerah UPI
Pendidikan :
 S1 (1993-1998) Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah IKIP Bandung
 S2 (2002-2004) Ilmu Sastra UGM
 S3 (2010-2013) Pendidikan Bahasa Indonesia (Konsentrasi Tradisi Lisan) SPs UPI
Minat Penelitian/Research Interests :
 Bahasa dan Sastra
 Tradisi Lisan
 Budaya

15

Anda mungkin juga menyukai