A. Definisi Bahasa
Gorys Keraf menyatakan bahwa dari segi fungsinya bahasa
dapat didefinisikan sebagai alat komunikasi. Berbeda dengan Pateda
dan Kencono yang mendefinisikan bahasa bertolak dari sosok bahasa
itu sendiri. Menurut Pateda (1990:6), bahasa adalah seperangkat
bunyi yang bermakna, bersifat individual dan kooperatif, serta alat
yang ampuh untuk menghubungkan dunia seseorang dengan dunia di
luar dirinya. Sependapat dengan Pateda, Kencono (1997:2)
mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer dan digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk
berkomunikasi.
Terkait dengan pengertian bahasa tersebut, Nasr (dalam Oka,
1994:4) menyatakan bahwa bahasa itu sebagai berikut: (1) bekerja
secara sistematis dan teratur, (2) pada dasarnya berupa bunyi dan
simbol-simbol bunyi yang mewakili makna karena simbol-simbol itu
dihubungkan dengan situasi dan pengalaman kehidupan, dan (3)
memiliki fungsi sosial karena tanpa fungsi sosial tersebut masyarakat
tidak mungkin ada. Menurut Finocchiaro (dalam Muliastuti,
2009:1.6), bahasa adalah satu sistem simbol yang arbitrer yang
digunakan untuk berkomunikasi oleh semua orang dalam satu
kebudayaan tertentu atau oleh orang lain yang telah mempelajari
sistem kebudayaan tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Wardhaugh (dalam Muli
astuti, 2009:1.6) yang menyatakan bahwa bahasa adalah satu simbol
vokal arbitrer yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa bahasa
merupakan segala ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia
B. Karakteristik Bahasa
Bertolak dari definisi bahasa yang dikemukakan oleh Pateda
dan Kencono, maka dapat diidentifikasi bahwa ciri bahasa, antara
lain: (1) sistem, (2) lambang, (3) bunyi, (4) arbitrer. Selain itu, Chaer
(2010:33) menambahkan delapan ciri lagi, yaitu (1) bermakna, (2)
konvensional, (3) unik, (4) universal, (5) produktif, (6) bervariasi, (7)
dinamis, dan (8) manusiawi. Dengan demikian, ada dua belas ciri
bahasa. Kedua belas ciri bahasa yang dimaksud, yaitu: (1) bahasa itu
sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi,
(4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa
itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu
bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu
bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, dan (12) bahasa itu
bersifat manusiawi (Ratna, 2013).
C. Fungsi Bahasa
Secara umum, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi.
Selain fungsi bahasa secara umum, bahasa memiliki fungsi-fungsi
yang khusus. Fungsi-fungsi khusus tersebut tetap merupakan bagian
dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi (Oka, 1994:36).
Finochiaro salah seorang ahli bahasa, membagi fungsi bahasa
menjadi lima kelompok. Kelima fungsi bahasa yang dimaksud, yaitu
(1) personal, (2) interpersonal, (3) direktif, (4) referensial, dan (5)
imajinasi (Ratna, 2013).
1. Fungsi Personal
Fungsi personal yang disebut oleh Jacobson dengan istilah
emotive speech adalah fungsi bahasa untuk menyatakan diri atau
perasan. Tolok ukur dari fungsi ini adalah apa yang disampaikan itu
berasal darinya bukan dari diri orang lain. Secara garis besar yang
terdapat dalam diri seseorang dibedakan atas dua macam, yaitu
perasaan dan pikiran. Perasaan dan pikiran yang dapat dinyatakan itu,
misalnya senang, susah, kalut, jengkel, dan marah. Misalnya, ketika
seorang teman sedang menceritakan kegalauan pikirannya pada
Anda, dia akan menggunakan bahasa yang mengemban fungsi
personal. Contoh lain, Anda menceritakan betapa senangnya Anda
ketika bertemu dengan pacar Anda. Tentunya Anda menggunakan
bahasa yang mengemban fungsi personal (Ratna, 2013).
3. Fungsi Direktif
Fungsi direktif merupakan fungsi bahasa untuk mengatur
orang lain, mempengaruhi orang lain, dan mengondisikan pikiran /
tingkah laku mitra bicara. Melalui fungsi direktif, penutur bermaksud
menyuruh mitra tutur, menyarankan mitra tutur untuk melakukan
tindakan atau meminta sesuatu. Dampak fungsi bahasa direktif
adalah mitra tutur berperilaku sesuai dengan yang dikehendai
penutur. Bahasa yang digunakan memiliki ciri khas bentuk direktif.
Menurut Fasold (dalam Oka, 1994:37), penggunaan bahasa direktif
menimbulkan risiko karena penutur harus memilih bentuk-bentuk
bahasa yang cocok/ sesuai. Selain itu, penutur juga harus memahami
situasi, menginterpretasi, dan memprediksi konteks sosial dan budaya
yang berlaku.
Penerapan fungsi direktif tersebut dapat diamati, misalnya
ketika seorang ibu menyuruh anaknya belajar. Kalimat yang
disampaikan bisa bermacam-macam. Namun, maksudnya persis
sama, yakni menyuruh anak untuk belajar. Si ibu bisa menggunakan
kalimat langsung “Belajarlah, Nak” atau kalimat tidak langsung,
“Kok, masih menonton televisi juga”. Dari kedua contoh tersebut,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 13
ternyata bentuk bahasa yang digunakan tidak paralel dengan fungsi
yang diemban (Ratna, 2013).
4. Fungsi Referensial
Fungsi referensial merupakan fungsi bahasa yang bertujuan
menampilkan suatu acuan/ referen dengan menggunakan lambang
bahasa. Dengan fungsi referensial, penutur mampu membicarakan
atau menjelaskan sesuatu tanpa harus menghadirkan acuannya ke
konteks dan situasi tuturan. Jika fungsi bahasa referensial tidak ada,
maka manusia akan kerepotan menjelaskan sesuatu. Dengan adanya
fungsi ini, penutur menjadi lebih mudah dalam berkomunikasi.
Misalnya, untuk menjelaskan tentang Sang Maha Pencipta cukup
dengan menggunakan lambang Allah (Ratna, 2013).
5. Fungsi Imajinatif
Fungsi imajinatif pada umumnya ditemukan di dalam karya
sastra, seperti dalam cerpen, puisi, novel, dan roman. Dengan kata
lain, karya sastra merupakan karya yang lahir berkat fungsi bahasa
sebagai alat berimajinasi. Fungsi imajinatif digunakan untuk
menciptakan sesuatu dengan berimajinasi. Fungsi imajinasi tersebut
sulit untuk dipelajari atau diajarkan. Fungsi imajinatif sangat
tergantung pada bakat. Bakat yang ada pada diri seseorang dapat
mempengaruhi berkembangnya kemampuan seseorang untuk
berimajinasi (Finochiaro dalam Oka, 1994:38). Fungsi imajinatif
disebut dengan poetic speech. Poetic speech adalah ujaran yang
digunakan untuk membentuk ujaran tersendri dengan menonjolkan
nilai-nilai estetika (Jacobson dalam Chaedar, 2000:42).
Ahli lain yang membicarakan fungsi bahasa adalah Halliday.
Menurut Halliday (dalam Oka, 1994:38), fungsi bahasa
dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi instrumental, (2)
fungsi regulatori, (3) fungsi representasional, (4) fungsi interaksional,
(5) fungsi personal, (6) fungsi huristik, dan (7) fungsi imajinatif.
14 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
6. Fungsi Instrumental
Fungsi instrumental merupakan fungsi bahasa untuk mengatur
lingkungan agar tercipta situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya,
seorang pemilik rumah mengatakan kepada tamunya “Silakan
masuk” atau “Masuklah”. Kalimat yang digunakan pemilik rumah
mengemban fungsi instrumental. Dengan menggunakan kalimat
tersebut terciptalah situasi yang diharapkan. Situasi yang dimaksud
adalah tamu memasuki rumah. Contoh lain, seseorang mengatakan
pada temannya “Tolong ambilkan aku segelas air”. Dengan kalimat
“Tolonglah ambilkan aku segelas air”, peristiwa lawan tutur
mengambilkan segelas air akan terwujud dengan tuturan tolonglah
tersebut (Ratna, 2013).
7. Fungsi Regulatori
Fungsi regulatori sama dengan fungsi direktif menurut
klasifikasi Finochiaro. Fungsi regulatori digunakan untuk
memelihara dan mengontrol keadaan dan peristiwa. Peristiwa
negosiasi (penolakan dan persetujuan), atau pengendalian tingkah
laku yang dilakukan dengan menggunakan bahasa merupakan bukti
penerapan fungsi regulatori (Ratna, 2013).
8. Fungsi Representasional
Fungsi representasional digunakan untuk mengomunikasikan
fakta dan khasanah ilmu pengetahuan. Fakta keduniaan dan khasanah
ilmu pengetahuan merupakan benda yang memerlukan perujukan/
referen. Untuk keperluan itu, bahasa memainkan fungsinya sebagai
fungsi representasional. Melalui fungsi representasional penutur
bahasa mampu menghadirkan dunia ke hadapan lawan tuturnya.
Misalnya, seorang ilmuwan menyampaikan khasanah ilmunya di
dalam seminar. Ilmuwan tersebut menggunakan bahasa yang
mengemban fungsi representasional (Ratna, 2013).
2. Variasi Bahasa
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi
sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat
beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.
Variasi bahasa ada beberapa macam, yaitu:
a. Variasi Bahasa dari Segi Penutur
Variasi bahasa yang muncul dari setiap orang baik individu
maupun sosial.
b. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya
disebut fungsiolek atau register. Fungsiolek atau register adalah
variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk
keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer,
pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Setiap
bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak
digunakan dalam bidang lain.
c. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan
Ada beberapa macam variasi bahasa dari segi keformalan yaitu:
1) Variasi Beku (frozen), yaitu variasi bahasa paling formal yang
digunakan pada situasi hikmat seperti upacara kenegaraan dan
khotbah.
2) Variasi Resmi (formal) adalah variasi bahasa yang digunakan
pada kegiatan resmi atau formal seperti surat dinas dan pidato
kenegaraan.
d. Variasi Usaha (konsultatif)
Variasi usaha merupakan variasi bahasa yang lazim dalam
pembicaraan biasa, seperti pembicaraan di sekolah dan rapat.
2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan untuk
menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat
diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal baru yang perlu sehubungan
dengan pergantian ejaan itu antara lain:
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada
kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka-2, seperti anak2,
berjalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai
dengan kata yang mengikutinya.
3. Ejaan Melindo
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu
menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan
nama ejaan Melindo (Melayu Indonesia).
34 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia
meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Berdasarkan
Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul “Pedoman
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”, sebagai patokan
pemakaian ejaan itu.
B. Pemakaian Huruf
1. Huruf Kapital
a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat.
Misalnya:
Apa maksudnya?
Dia membaca buku.
Kita harus bekerja keras.
Pekerjaan itu akan selesai dalam satu jam.
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama orang,
termasuk julukan.
Misalnya:
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 35
Amir Hamzah
Dewi Sartika
Halim Perdanakusumah
Wage Rudolf Supratman
Jenderal Kancil
Dewa Pedang
Alessandro Volta
André-Marie
Ampère Mujair
Rudolf Diesel
Catatan:
1) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama
orang yang merupakan nama jenis atau satuan ukuran.
Misalnya:
ikan mujair mesin diesel
5 ampere
10 volt
2) Huruf kapital tidak dipakai untuk menuliskan huruf
pertama kata yang bermakna ‗anak dari‘, seperti
bin, binti, boru, dan van, atau huruf pertama kata tugas.
Misalnya:
Abdul Rahman bin Zaini
Siti Fatimah binti Salim
Indani boru Sitanggang
Charles Adriaan van Ophuijsen
Ayam Jantan dari Timur
Mutiara dari Selatan
Misalnya:
bangsa Indonesia
suku Dani
bahasa Bali
Catatan:
Huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai
sebagai nama tidak ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya:
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Perlombaan senjata membawa
risiko pecahnya perang dunia.
Catatan:
1) Huruf pertama nama geografi yang bukan nama diri
tidak ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya:
berlayar ke teluk mandi di sungai
menyeberangi selat berenang di danau
Catatan:
1) Istilah kekerabatan berikut bukan merupakan penyapaan
atau pengacuan.
Misalnya:
Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
2) Kata ganti Anda ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
Sudahkah Anda tahu? Siapa nama Anda?
2. Huruf Miring
a. Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku, nama
majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan,
termasuk dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Saya sudah membaca buku Salah Asuhan karangan
Abdoel Moeis. Majalah Poedjangga Baroe
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 43
menggelorakan semangat kebangsaan. Berita itu
muncul dalam surat kabar Cakrawala.
Pusat Bahasa. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa. Edisi Keempat (Cetakan Kedua).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Huruf Tebal
a. Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang
sudah ditulis miring.
Misalnya:
Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak
terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.
Kata et dalam ungkapan ora et labora berarti dan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
mengukur sikap bahasa masyarakat Kalimantan,
khususnya yang tinggal di kota besar terhadap
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
asing.
C. Penulisan Kata
1. Kata Dasar
a. Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya:
Kantor pajak penuh sesak.
Saya pergi ke sekolah.
Buku itu sangat tebal.
2. Kata Berimbuhan
a. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta gabungan
awalan dan akhiran) ditulis serangkai dengan bentuk
dasarnya.
Misalnya:
berjalan berkelanjutan mempermudah gemetar lukisan
kemauan perbaikan
3. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung
(-) di antara unsur- unsurnya.
Misalnya:
anak-anak biri-biri lauk-pauk berjalan-jalan
buku-buku cumi-cumi mondar-mandir mencari-cari
hati-hati kupu-kupu ramah-tamah terus-menerus
kuda-kuda kura-kura sayur-mayur porak-poranda
mata-mata ubun-ubun serba-serbi tunggang- langgang
Catatan:
Bentuk ulang gabungan kata ditulis dengan mengulang unsur
pertama.
Misalnya:
surat kabar surat-surat kabar
kapal barang kapal-kapal barang
rak buku rak-rak buku
kereta api cepat kereta-kereta api cepat
5. Pemenggalan Kata
a. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
1) Jika di tengah kata terdapat huruf vokal yang berurutan,
pemenggalannya dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya:
bu-ah
ma-in
ni-at
sa-at
2) Huruf diftong ai, au, ei, dan oi tidak dipenggal.
Misalnya:
pan-dai
au-la
sau-da-ra
sur-vei
am-boi
3) Jika di tengah kata dasar terdapat huruf konsonan
(termasuk gabungan huruf konsonan) di antara dua huruf
vokal, pemenggalannya dilakukan sebelum huruf kon-
sonan itu.
Misalnya:
ba-pak
la-wan
de-ngan
ke-nyang
50 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
mu-ta-khir
mu-sya-wa-rah
Catatan:
Gabungan huruf konsonan yang melambangkan satu bunyi
tidak dipenggal.
Misalnya:
bang-krut
bang-sa
ba-nyak
ikh-las
kong-res
Catatan:
1) Pemenggalan kata berimbuhan yang bentuk dasarnya
mengalami perubahan dilakukan seperti pada kata dasar.
Misalnya:
me-nu-tup
me-ma-kai
me-nya-pu
me-nge-cat
pe-mi-kir
pe-no-long
pe-nga-rang
pe-nge-tik
pe-nye-but
c. Jika sebuah kata terdiri atas dua unsur atau lebih dan salah
satu unsurnya itu dapat bergabung dengan unsur lain,
pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur itu. Tiap
unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata dasar.
Misalnya:
biografi bio-grafi bi-o-gra-fi
biodata bio-data bi-o-da-ta
Fotografi foto-grafi fo-to-gra-fi
Fotokopi foto-kopi fo-to-ko-pi
introspeksi intro-speksi in-tro-spek-si
introjeksi intro-jeksi in-tro-jek-si
kilogram kilo-gram ki-lo-gram
kilometer kilo-meter ki-lo-me-ter
pascapanen pasca-panen pas-ca-pa-nen
pascasarjana pasca-sarjana pas-ca-sar-ja-na
e. Singkatan nama diri dan gelar yang terdiri atas dua huruf atau
lebih tidak dipenggal.
Misalnya:
Ia bekerja di DLLAJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R.Ng.
Rangga Warsita.
Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
Ia bekerja di DLL- AJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R. Ng.
Rangga Warsita.
6. Kata Depan
Kata depan, seperti di, ke, dan dari, ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya.
Misalnya:
Di mana dia sekarang?
Kain itu disimpan di dalam lemari.
Dia ikut terjun ke tengah kancah perjuangan.
Mari kita berangkat ke kantor.
Saya pergi ke sana mencarinya.
Ia berasal dari Pulau Penyengat.
Cincin itu terbuat dari emas.
54 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
7. Partikel
a. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah buku itu baik-baik!
Apakah yang tersirat dalam surat itu?
Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih hati?
Catatan:
1) Partikel pun yang merupakan unsur kata penghubung ditulis
serangkai.
Misalnya:
Meskipun sibuk, dia dapat menyelesaikan tugas tepat
pada waktunya.
Dia tetap bersemangat walaupun lelah.
Adapun penyebab kemacetan itu belum diketahui.
Bagaimanapun pekerjaan itu harus selesai minggu
depan
d. Singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti dengan
tanda titik.
Misalnya:
hlm. halaman
dll. dan lain-lain
dsb. dan sebagainya
dst. dan seterusnya
sda. sama dengan di atas
ybs. yang bersangkutan
yth. yang terhormat
ttd. tertanda
dkk. dan kawan-kawan
g. Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap kata
ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
BIG Badan Informasi Geospasial
BIN Badan Intelijen Negara
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia
Misalnya:
Bulog Badan Urusan Logistik
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kowani Kongres Wanita Indonesia
Kalteng Kalimantan Tengah
Mabbim Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-
Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
50 siswa teladan mendapat beasiswa dari pemerintah
daerah.
3 pemenang sayembara itu diundang ke Jakarta.
Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
250 orang peserta diundang panitia.
25 naskah kuno tersimpan di lemari itu.
Misalnya:
Bab X, Pasal 5, halaman 252
Surah Yasin: 9
Markus 16: 15—16
b) Bilangan Pecahan
setengah atau seperdua (1/2)
seperenam belas (1/16)
tiga perempat (3/4)
dua persepuluh (2/10)
tiga dua-pertiga (3 2/3)
satu persen (1%)
satu permil (1o/oo)
i. Penulisan bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara
berikut.
Misalnya:
abad XX
abad ke-20
abad kedua puluh
Perang Dunia II
Perang Dunia Ke-2
Perang Dunia Kedua
Catatan:
Huruf awal sang ditulis dengan huruf kapital jika sang
merupakan unsur nama Tuhan.
Misalnya:
Kita harus berserah diri kepada Sang Pencipta.
Pura dibangun oleh umat Hindu untuk memuja Sang
Hyang Widhi Wasa.
Catatan:
1) Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan
ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Dia lahir pada tahun 1956 di Bandung.
Kata sila terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa
halaman 1305.
Nomor rekening panitia seminar adalah 0015645678.
Catatan:
Tanda koma tidak dipakai jika induk kalimat
mendahului anak kalimat.
Misalnya:
Saya akan datang kalau diundang.
Dia mempunyai banyak teman karena baik hati.
Kita harus banyak membaca buku agar memiliki
wawasan yang luas.
Catatan:
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan
langsung yang berupa kalimat tanya, kalimat perintah, atau
kalimat seru dari bagian lain yang mengikutinya. Misalnya:
"Di mana Saudara tinggal?" tanya Pak Lurah. "Masuk
ke dalam kelas sekarang!" perintahnya.
Wow, indahnya pantai ini! seru wisatawan itu.
g. Tanda koma dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-
bagian alamat, (c) tempat dan tanggal, serta (d) nama tempat
dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Sdr. Abdullah, Jalan Kayumanis III/18,
Kelurahan Kayumanis, Kecamatan
Matraman, Jakarta 13130
Catatan:
Bandingkan Siti Khadijah, M.A. dengan Siti Khadijah M.A.
(Siti Khadijah Mas Agung).
Misalnya:
Syarat penerimaan pegawai di lembaga ini adalah
(1) berkewarganegaraan Indonesia;
(2) berijazah sarjana S-1;
(3) berbadan sehat; dan
(4) bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara
e. Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan
halaman, (b) surah dan ayat dalam kitab suci, (c) judul dan
anak judul suatu karangan, serta (d) nama kota dan penerbit
dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Horison, XLIII, No. 8/2008: 8
Surah Albaqarah: 2—5
Matius 2: 1—3
Dari Pemburu ke Terapeutik: Antologi Cerpen
Nusantara
Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Catatan:
Tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan
angka jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf.
Misalnya:
BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia)
LP3I (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi
Indonesia)
P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan)
Catatan:
1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik
(jumlah titik empat buah).
Catatan:
1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik
(jumlah titik empat buah).
mażhab mazhab
qadr kadar
ṣaḥābat sahabat
‘umrah umrah
iqāmah Ikamah
khātib khatib
riḍā’ rida
ẓālim zalim
aa (Belanda) menjadi a
paal pal
baal bal
octaaf oktaf
86 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
ae tetap ae jika tidak bervariasi dengan e
aerobe aerob
aerodinamics aerodinamika
ai tetap ai
trailer trailer
caisson kaison
au tetap au
audiogram audiogram
autotroph autotrof
tautomer tautomer
hydraulic hidraulik
caustic kaustik
c di depan a, u, o, dan konsonan menjadi k
calomel kalomel
construction konstruksi
cubic kubik
coup kup
classification klasifikasi
crystal kristal
ck menjadi k
check cek
ticket tiket
e tetap e
effect efek
description deskripsi
synthesis sintesis
ea tetap ea
idealist idealis
habeas habeas
ee (Belanda) menjadi e
stratosfeer stratosfer
systeem sistem
ei tetap ei
eicosane eikosan
eidetic eidetik
einsteinium einsteinium
eo tetap eo
stereo stereo
geometry geometri
zeolite zeolit
fa ( ﻑArab) menjadi f
ʼafḍal Afdal
‘ārif Arif
faqīr fakir
faṣīh fasih
mafhūm mafhum
f tetap f
fanatic fanatik
factor faktor
fossil fosil
gh menjadi g
ghanta genta
sorghum sorgum
gain ( ﻍArab) menjadi g
gā’ib ()ﺏﺌاﻏ gaib
magfirah ()ﺓﺭﻓﻐﻤ magfirah
magrib ()ﺏﺭﻐﻤ magrib
gue menjadi ge
igue ige
gigue gige
ḥa ( ﺡArab) menjadi h
ḥākim Hakim
iṣlāḥ Islah
90 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
siḥr Sihir
mas’alah masalah
’iṣlāḥ islah
’ufuq Ufuk
ng tetap ng
contingent kontingen
congres kongres
linguistics linguistik
oo (Belanda) menjadi o
komfoor kompor
provoost provos
ph menjadi f
phase fase
physiology fisiologi
spectograph spektograf
ps tetap ps
pseudo pseudo
psychiatry psikiatri
psychic psikis
psychosomatic psikosomatik
pt tetap pt
pterosaur pterosaur
pteridology pteridologi
ptyalin ptialin
q menjadi k
aquarium akuarium
rh menjadi r
rhapsody rapsodi
rhombus rombus
rhythm ritme
rhetoric retorika
śa ( ﺙArab) menjadi s
aśiri asiri
ḥadiś hadis
śulāśā selasa
wāriś waris
( ﺹArab) menjadi s
‘aṣr asar
muṣībah musibah
khuṣūṣ khusus
ṣaḥḥ sah
th menjadi t
theocracy teokrasi
orthography ortografi
thrombosis trombosis
methode (Belanda) metode
u tetap u
unit unit
nucleolus nukleolus
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 95
structure struktur
institute institut
ua tetap ua
aquarium akuarium
dualisme dualisme
squadron skuadron
ue tetap ue
consequent konsekuen
duet duet
suede sued
ui tetap ui
conduite konduite
equinox ekuinoks
equivalent ekuivalen
uo tetap uo
fluorescein fluoresein
quorum kuorum
quota kuota
uu menjadi u
lectuur lektur
v tetap v
evacuation evakuasi
television televisi
vitamin vitamin
z tetap z
zenith zenit
zirconium zirkonium
zodiac zodiak
zygote zigot
Catatan:
Unsur serapan yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa
Indonesia tidak perlu lagi diubah.
Misalnya:
bengkel Nalar Rabu
dongkrak Napas Selasa
faedah Paham Senin
kabar Perlu sirsak
khotbah Pikir soal
koperasi Populer telepon
-ic, -ics, dan -ique (Inggris), -iek dan -ica (Belanda) menjadi -ik, ika
dialectics, dialektica dialektika
logic, logica logika
physics, physica fisika
linguistics, linguistiek linguistik
phonetics, phonetiek fonetik t
echnique, techniek teknik
A. Grafem
Grafem merupakan nama lain dari huruf atau gabungan huruf
sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem ejaan. Huruf dalam
bahasa Indonesia disusun berdasarkan urutan abjad. Abjad dalam
bahasa Indonesia terdiri atas 26 huruf yang terbagi atas dua jenis,
yaitu: huruf vokal dan huruf konsonan. Penjelasan mengenai abjad
bahasa Indonesia, dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
1. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia
terdiri atas lima huruf, yaitu a, e, i, o, dan u.
2. Vokal
Vokal (vowel) adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap tanpa
adanya hambatan/gangguang/rintangan terhadap udara yang mengalir
keluar dari paru-paru. Vokal dibedakan berdasarkan atas: (1) posisi
lidah (tinggi, sedang, dan rendah) dan (2) bagian lidah yang berperan
dalam menghasilkan bunyi (depan, tengah, dan belakang).
Berdasarkan posisi tinggi rendahnya lidah sewaktu menghasilkan
bunyi vokal, vokal dibedakan atas tiga macam:
a. Tinggi : I, u
b. Sedang : e, o
c. Rendah : E, a
Keterangan:
Bunyi : bentuk bibir bundar
Tak bunyi : bentuk bibir tidak bundar
Bunyi [E] dalam tabel berarti e keras seperti dalam kata berikut
ini.
sate [ satE]
toge [ togE]
Bunyi [E] dalam tabel di atas melambangkan e lembut seperti
dalam kata berikut ini.
lemah [ lemah]
cepat [ cepat]
3. Diftong
Diftong adalah kombinasi vokal yang mendapat satu hembusan
napas waktu mengucapkannya. Berbeda halnya dengan deretan vokal
yang mendapat hembusan nafas yang sama atau hampir sama untuk
setiap vokal itu. Deretan vokal itu /ai/ dalam kata gulai yang berarti
sambal mendapat satu hembusan nafas saja. Berbeda dengan kata
gulai dalam arti memberi gulai. Setiap vokal /a/ dan /i/ masing-
masing mendapat satu hembusan nafas. Dengan demikian, diftong
bukanlah sekadar deretan vokal, tetapi deretan vokal yang hanya
mendapat satu hembusan nafas sewaktu diucapkan. Di samping itu,
diftong dapat dibedakan dari cara mengucapkannya. Jika
mengucapkan bunyi tersebut, misalnya [gulay] dengan bunyi /ai/
menjadi /ay/, maka bunyi itu adalah diftong. Akan tetapi, apabila
[gulai] tersebut diucapkan dengan bunyi [gulai] maka /ai/ di sini
merupakan deretan vokal.
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga buah diftong, yakni, /ai/,
/au/, dan /oi/. Ketiga diftong tersebut dapat dibedakan dengan deretan
vokal. Cara membedakannya melalui pengucapanya. Kalau
diucapkan dalam satu hembusan nafas, bunyi itu adalah diftong,
tetapi kalau diucapkan dengan masing-masing satu hembusan nafas
(setiap vokal itu mendapatkan satu hembusan nafas), bunyi tersebut
adalah deretan vokal. Dengan kata lain, dapat dikatakan deretan
vokal jika berada dalam suku kata yang berbeda. Akan tetapi, kalau
berada pada suku kata yang sama, bunyi tersebut dinamakan diftong.
Sebagai contoh dapat diikuti seperti di bawah ini.
Diftong: /ai/ [ay] [tupay] tupai
/au/ [aw] [limaw] limau
/oi/ [oy] [koboy] koboi
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 113
Deretan vokal: /ai/ [ai] [gulai] beri gula
/au/ [au] [mau] mau
/oi/ [oi] [jagoi] jagoi
A. Morfem
1. Pengertian Morfem
Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang bermakna
secara inheren (Chaer, 2008:5). Menurut Nida (dalam Maksan,
1994:48), morfem adalah the smallest meaningful of an utterance.
Hampir sama dengan Nida, Hockett (dalam Maksan, 1994:48)
menyatakan bahwa morfem merupakan unsur-unsur terkecil yang
mempunyai makna dalam tutur sebuah bahasa. Bloomfield (dalam
Maksan, 1994:48 ) memberikan batasan bahwa morfem sebagai satu
bentuk bahasa yang tidak mirip dengan bentuk lain manapun, baik
dari segi bunyi (bentuk) maupun dari segi makna. Berdasarkan
pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfem adalah
satuan bahasa terkecil yang mempunyai makna leksikal atau
gramatikal dan berbeda bunyi atau bentuknya (Ratna, 2013).
2. Identifikasi Morfem
Untuk mengetahuinya suatu bentuk tergolong morfem atau
bukan, maka perlu dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain. Jika
bentuk-bentuk tersebut dapat hadir secara berulang-ulang dengan
bentuk lain, maka bentuk tersebut tergolong pada morfem (Chaer,
2010:147). Misalnya, bentuk {membuat} dapat dibandingkan dengan
bentuk {membongkar}, {membeli}, {membantu}, {membantah},
{membuka}, dan {membungkuk}. Bentuk mem- pada bentuk-bentuk
tersebut dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan
mempunyai makna yang sama, yaitu melakukan pekerjaan. Dengan
demikian, bentuk mem- pada bentuk-bentuk tersebut dapat
digolongkan sebagai sebuah morfem. Hal itu disebabkan bentuk
4. Klasifikasi Morfem
Dalam kajian morfologi morfem dibedakan berdasarkan
kriteria kebebasan, keutuhan, fonem pembentuk, dan maknanya.
Berdasarkan kebebasannya untuk dapat digunakan secara langsung
dalam pertuturan, morfem dibedakan atas dua macam, yaitu morfem
bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang tanpa
kehadiran morfem lain dapat langsung dipergunakan dalam
pertuturan. Misalnya, morfem {pergi}, {sibuk}, {duduk}, {merah},
dan {bunga}, dapat hadir dalam pertuturan tanpa harus bergabung
dengan morfem lain (Ratna, 2013).
Morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih dahulu
bergabung dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam
pertuturan. Dalam hal ini, semua afiks/ imbuhan dalam bahasa
Indonesia termasuk morfem terikat. Misalnya, sufiks, prefiks, infiks,
dan konfiks merupan contoh morfem terikat. Selain afiks, bentuk
prakategorial juga merupakan contoh morfem terikat. Misalnya,
bentuk {juang}, {henti}, dan {geletak} tergolong morfem terikat
karena bentuk-bentuk tersebut tidak dapat muncul dalam pertuturan
sebelum terlebih dahulu mengalami proses morfologis. Bentuk
{juang} menjadi berjuang, pejuang, dan daya juang; {henti} harus
digabung dengan afiks tertentu seperti menjadi berhenti, perhentian
terhenti, dan menghentikan; dan {geletak} harus diberi imbuhan,
misalnya menjadi tergeletak dan menggeletak (Ratna, 2013).
Berdasarkan keutuhan bentuknya, morfem dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu morfem utuh dan morfem terbagi. Morfem
utuh secara fisik merupakan satu-kesatuan yang utuh. Karena
merupakan satu-kesatuan yang utuh, bentuk ini tidak dapat dipisah.
Semua morfem dasar, baik bebas maupun terikat, dan sebagian dari
B. Kata
1. Pengertian Kata
Kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian. Kata
merupakan deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi dan
mempunyai satu arti. Bloomfield menyatakan bahwa kata merupakan
satuan bebas terkecil. Batasan ‘kata’ yang dijumpai dalam buku
linguistik Eropa adalah bentuk yang ke dalam mempunyai susunan
124 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
fonologis yang stabil atau tidak berubah dan keluar mempunyai
kemungkinan mobilitas di dalam kalimat (Chaer ,2010:162).
Kata merupakan satuan bahasa yang terbentuk dari satu
morfem atau lebih (Oka, 1994:25). Kridalaksana (dalam Oka,
1994:25) berpendapat bahwa kata merupakan satuan gramatikal yang
dapat diujarkan sebagai bentuk bebas. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri
sendiri (Ratna, 2013).
2. Jenis Kata
Menurut Aristoteles salah seorang tokoh aliran tradisional
bangsa Romawi Kuno, kata dapat dibagi menjadi sepuluh jenis, (a)
kata benda (nomina), (b) kata kerja (verba), (c) kata sifat (adjektiva),
(d) kata keterangan (adverbia), (e) kata ganti (pronomina), (f) kata
bilangan (numeralia), (g) kata depan (perposisi), (h) kata penghubung
(konjungsi), (h) kata sandang (artikulus), dan (j) kata seru
(interjeksi).
a. Prefiks/ Awalan
Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di depan bentuk dasar.
Menurut Chaer (2010:178), ada bermacam-macam prefiks, di
antaranya prefiks me-, ber-, pe-, per-, dan ter-. Contoh penggunaan
kata yang prefiks dapat dicermati pada bentuk-bentuk-berikut.
132 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
(1) menghibur, mengangkat, mengetik, dan menyapu
(2) bekerja, belajar, dan berambut
(3) penulis, penerbang, dan pelatih
(4) terkait, terawat, dan tertarik
b. Infiks/ Sisipan
Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar.
Menurut Chaer (2010:178), dalam bahasa Indonesia, terdapat tiga
infiks, yaitu atas el-,em-, dan er-. Contoh penggunaan dapat
dicermati pada kata-kata berikut ini.
(1) telunjuk
(2) seruling
(3) gemetar
c. Sufiks/ Akhiran
Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk
dasar (Chaer, 2010:178). Dalam bahasa Indonesia terdapat empat
sufiks, yaitu –an, -nya, -kan, dan –i. Contoh penggunaan sufiks
dapat dicermati pada kata berikut ini.
(1) bagian
(2) pulangnya
(3) lemparkan
(4) hampiri
A. Frasa
1. Pengertian Frasa
Maksan (1994:57) mengatakan bahwa frasa adalah satuan
gramatikal yang dibentuk oleh kata-kata yang belum mempunyai
predikat dan biasanya berfungsi sebagai pembentuk klausa. Menurut
Chaer (2010:222), frasa adalah gabungan kata yang mengisi salah
satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Oleh sebab itu, dapat dipahami
bahwa frasa adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang tidak
mempunyai hubungan subjek predikat dan hanya menduduki satu
fungsi sintaksis (Ratna, 2013).
2. Jenis-jenis Frasa
Chaer (2010:225) mengatakan bahwa frasa dapat dibedakan
atas empat macam, yaitu: (a) frasa eksosentrik, (b) frasa endosentrik,
(c) frasa koordinatif, dan (d) frasa apositif.
a. Frasa Eksosentrik
Frasa eksosentik adalah frasa yang komponen-komponennya
tidak mempuyai perilaku sintaksis yang sama dengan
keseluruhannya. Frasa eksosentrik biasanya dibedakan atas frasa
eksosentrik yang direktif dan frasa eksosentrik yang nondirektif.
Frasa eksosentrik yang direktif komponen pertamanya berupa
preposisi, seperti di, ke, dan dari dan komponen keduanya berupa
kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina. Frasa
eksosentrik nondirektif, komponen pertamanya berupa artikulus,
seperti si dan sang atau kata lain seperti yang, para, dan kaum serta
b. Frasa Endosentrik
Frasa endosentrik adalah frasa yang salah satu unsurnya atau
komponennya memiliki perilaku sintaksis yang tidak sama dengan
keseluruhannya. Artinya, salah satu komponen tersebut dapat
menggantikan kedudukan atau posisi keseluruhannya. Misalnya,
frasa sedang membaca dalam kalimat Nenek sedang membaca komik
di kamar. Komponen keduanya, yaitu membaca dapat menggantikan
kedudukan frasa tersebut sehingga menjadi kalimat Nenek membaca
komik di kamar.
Frasa endosentrik disebut frasa modifikatif karena komponen
keduanya (komponen yang bukan inti) mengubah atau membatasi
makna komponen inti. Misalnya, kata membaca yang belum
diketahui kapan tejadinya, dalam frasa sedang membaca dibatasi
maknanya oleh kata sedang sehingga maknanya itu menjadi
‘perbuatan membaca itu tengah berlangsung’. Jadi, komponen kedua
dari frasa itu memodifikasi makna komponen intinya. Komponen inti
tersebut letaknya bisa di depan dan di belakang (Ratna, 2013).
c. Frasa Koordinatif
Frasa koordinatif adalah frasa yang komponen pembentuknya
terdiri atas dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat. Secara
potensial, komponen-komponen tersebut dapat dihubungkan oleh
konjungsi koordinatif, baik yang tunggal maupun konjungsi terbagi.
Konjungsi tunggal, misanya dan, atau, tetapi, sedangkan konjungsi
terbagi, misalnya makin…, makin…, dan baik…, maupun…. Frasa
koordinatif mempunyai kategori sesuai dengan kategori komponen
pembentuknya. Contoh: sehat dan kuat, buruh atau majikan, makin
terang makin baik, dan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tidak
selamanya komponen dalam frasa koordinatif dihubungkan oleh
d. Frasa Apositif
Frasa apositif adalah frasa koordinatif yang kedua
komponennya saling merujuk sesamanya. Oleh karena itu, urutan
komponennya dapat dipertukarkan. Misalnya, frasa apositif Pak
Ahmad, guru saya dalam kalimat Pak Ahmad, guru saya, rajin sekali.
dapat diubah menjadi kalimat Guru saya, Pak Ahmad, rajin sekali.
Contoh frasa apositif yang lain dapat dicermati dalam kalimat berikut
ini.
(1) Soekarno, Presiden RI pertama, seorang orator.
(2) Dika membelikan baju untuk Nita, kakaknya.
(3) Alat komunikasi internasional, bahasa Inggris, banyak
dipelajari orang. (Ratna, 2013).
B. Klausa
1. Pengertian Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata, frasa,
dan mempunyai satu predikat atau (P). Klausa lazimnya merupakan
konstituen kalimat (Kencono, 1997:58). Menurut Chaer (2010:231),
klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata berkonstruksi
predikat. Maksudnya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa
kata atau frasa yang berfungsi sebagai predikat sedangkan komponen
lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.
a. Berdasarkan Struktur
Berdasarkan strukturnya, klausa dibedakan atas klausa bebas
dan klausa terikat. Klausa bebas adalah klausa yang mempunyai
unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan
predikat. Klausa mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor.
Berbeda dengan klausa bebas yang mempunyai struktur lengkap,
klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap. Unsur yang ada
dalam klausa terikat mungkin hanya subjek, mungkin objeknya, atau
juga hanya keterangan. Oleh karena itu, klausa terikat tidak
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat
biasanya bisa dikenali dengan konjungsi subordinatif di depannya.
Misalnya klausa terikat, ketika kami sedang belajar di dalam kalimat
dia pingsan ketika kami sedang belajar. Klausa terikat yang diawali
dengan konjungsi-konjungsi subordinatif disebut dengan nama klausa
subordinatif atau klausa bawahan. Klausa lain yang hadir bersama
dengan klausa bawahan di dalam sebuah kalimat majemuk, disebut
klausa atasan atau klausa utama (Ratna, 2013).
b. Berdasarkan Kategori
Berdasarkan kategori kata yang menjadi predikatnya, klausa
dibedakan atas: klausa verbal dan klausa nonverbal. Klausa verbal
adalah klausa yang predikatnya berkategori verba. Misalnya, klausa
nenek mandi, sapi itu berlari, dan matahari terbit. Sesuai dengan
adanya berbagai tipe verba, dikenal adanya (1) klausa transitif, (2)
klausa intransitif, (3) klausa reseptif, (4) klausa resiprokal. Klausa
transitif adalah klausa yang predikatnya berupa verba transitif.
Misalnya, adik menulis surat dan kakek membaca buku silat. Klausa
140 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
intransitif adalah klausa yang predikatnya berupa verba intransitif.
Misalnya, nenek menangis, adik melompat-lompat, dan paman
berangkat ke Medan. Klausa refleksif adalah klausa yang predikatnya
berupa verba refleksif. Misalnya, kakak sedang berdandan dan kakek
sedang mandi. Klausa resiprokal adalah klausa yang predikatnya
berupa verba resiprokal. Misalnya, mereka bertengkar sejak kemarin
dan keduanya bersalaman.
Klausa nonverbal adalah klausa yang predikatnya selain
verbal. Dengan kata lain, predikat pada klausa nonverbal dapat
berupa nominal atau frasa nominal, adjektiva, adverbial,
preposisional, dan numeralia. Contoh klausa nonverbal dapat
dicermati pada konstruksi berikut ini.
(1) Kakeknya petani di desa itu.
(2) Dia dulu dosen linguistik.
(3 ) Bandelnya teramat sangat.
(4) Nenek di kamar.
(5) Dia dari Medan.
(6) Gajinya lima juta sebulan.
2. Jenis-jenis Kalimat
Kalimat dapat dibedakan berdasarkan enam kriteria. Keenam
kriteria yang dimaksud, yaitu (1) jumlah klausa, (2) stuktur interen
klausa atasan, (3) kategori prediket, (4) sifat hubungan pelaku-
perbuatan, (5) ada tidaknya unsur ingkar, dan (6) fungsi (Kencono,
1997:63).
f. Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan fungsinya, kalimat dibedakan atas kalimat berita
(deklaratif), kalimat perintah (imperatif), dan kalimat tanya
(interogatif). Kalimat berita adalah kalimat yang isinya
memberitahukan sesuatu yang ditandai dengan tanda titik (.). Kalimat
berita pada umumnya mendorong orang untuk memberikan respons.
Kalimat berita dibedakan atas tiga macam, yaitu (1) kalimat berita
kepastian, (2) kalimat berita pengingkaran, dan (3) kalimat berita
kesangsian.
Contoh : Nenek akan datang dari Bandung besok pagi.
Saya tidak akan datang pada acara ulang tahunmu.
Bapak mungkin akan tiba besok pagi.
Kami tidak tahu mengapa dia datang terlambat.
b. Ciri-ciri Predikat
Predikat merupakan unsur utama suatu kalimat di samping
subjek. Berikut ini dikemukakan ciri-ciri suatu predikat:
1) Pada umumnya, predikat berupa verba atau frasa verba, adjektiva
atau frasa adjektiva, nomina atau frasa nominal, numeral atau
frasa numeralia.
2) Predikat merupakan jawaban dari suatu pertanyaan mengapa atau
bagaimana.
3) Predikat dapat disertai dengan kata adalah, ialah, atau
merupakan.
4) Predikat dapat diingkarkan dengan kata tidak dan bukan.
5) Predikat dapat disertai dengan kata-kata aspek (misalnya: sudah,
belum, akan, dan sedang) dan modalitas (misalnya: ingin,
hendak, dan mau) (Rasyid dan Gani, 2013).
d. Ciri-ciri Pelengkap
Pelengkap berbeda dengan objek. Pelengkap dalam kalimat
bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Alwi, 1993):
1) Pada umumnya, pelengkap berwujud nomina atau frasa nominal,
verba atau frasa verba, adjetiva atau frasa adjektiva, atau klausa.
2) Pelengkap berada langsung di belakang predikat jika tida ada
objek dan di belakang objek kalau unsur objek hadir.
3) Pelengkap tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan kalimat.
4) Pelengkap terdapat dalam kalimat berpredikat verba (Rasyid dan
Gani, 2013).
e. Ciri-ciri Keterangan
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan
informasi lebih lanjut tentang sesuatu yang dinyatakan dalam
kalimat. Misalnya, keterangan tentang tempat, waktu, alat, dan cara.
Keterangan dalam bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri, antara lain
sebagai berikut.
1) Pada umumnya, keterangan bukan berupa unsur utama kalimat
melainkan merupakan unsur tambahan.
2) Keterangan tidak terikat oleh preposisi, artinya memiliki
keleluasaan menempatkannya dalam kalimat;
a. Kebenaran Struktur
Kalimat efektif terikat pada kaidah struktur. Dengan
keterikatan itu, kalimat efektif dituntut memiliki struktur yang benar.
154 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Struktur itu dapat dilihat pada hubungan antarunsur kalimat. Kalimat
yang berstruktur benar adalah kalimat yang unsur-unsurnya memiliki
hubungan yang jelas. Dengan hubungan fungsi yang jelas itu, makna
yang terkandung di dalamnya juga jelas.
Pada tataran kalimat, unsur-unsur yang memiliki fungsi
sintaksis seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan
harus jelas. Misalnya, dalam kalimat “Kepada hadirin dimohon
berdiri!” Kalimat tersebut terdiri atas tiga unsur fungsi, yakni kepada
hadirin, dimohon, dan berdiri. Hubungan ketiga unsur fungsi itu
tidak jelas, karena tidak dapat dicari fungsi subjeknya, walaupun
dapat ditentukan predikatnya, yakni dimohon dan unsur berdiri.
Kalimat tersebut juga tidak logis, karena yang dimohon berdiri
adalah kepada hadirin. Kalimat menjadi logis jika yang dimohon
berdiri adalah hadirin. Jadi, hal ini membuktikan bahwa kesalahan
struktur dapat berdampak pada kebenaran isi kalimat.
b. Kecocokan Konteks
Persyaratan kecocokan konteks adalah persyaratan yang
mengatur ketepatan kalimat dalam konteks. Kecocokan tidak hanya
ditentukan oleh konteks kebahasaan, yakni konteks yang berupa
kalimat sebelumnya. Konteks non-kebahasaan juga sangat
menentukan kecocokan itu. Contohnya sebagai berikut ini.
(1) Silahkan minum, Pak!
(2) Minumlah!
(3) Minum!
Kalimat (1), (2), dan (3) memiliki konteks penggunaan yang
berbeda. Kalimat itu diungkapkan di depan orang yang memiliki
hubungan berbeda-beda dengan penutur.
3. Keparalelan
Keparalelan atau kesejajaran adalah terdapatnya unsur-unsur
yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang
dipakai di dalam kalimat. Misalnya dalam sebuah perincian, jika
unsur pertama menggunakan verba, unsur kedua dan seterusnya juga
harus verba. Jika unsur pertama berbentuk nomina, bentuk berikutnya
juga harus nomina (Finoza, 2008:166). Berikut contoh kalimat
dengan kesejajaran atau paralelisme yang salah:
1) Kegiatan perpustakaan meliputi pembelian buku, membuat
katalog, dan buku-buku diberi label.
4. Ketepatan
Ketepatan adalah kesesuaian atau kecocokan pemakaian unsur-
unsur yang membangun suatu kalimat sehingga terbentuk pengertian
yang bulat dan pasti. Di antara semua unsur yang berperan dalam
pembentukan kalimat, harus diakui bahwa kata memegang peranan
terpenting. Tanpa sebuah kata, maka kalimat tidak akan pernah ada.
Akan tetapi, perlu diingat kadang-kadang kita harus memilih dengan
akurat satu kata, satu frasa, satu idiom, satu tanda baca dari sekian
pilihan demi terciptanya makna yang bulat dan pasti (Finoza,
2008:166). Berikut Contoh kalimat yang tidak memperhatikan faktor
ketepatan.
1) Karyawan teladan itu memang tekun bekerja dari pagi sehingga
petang. (salah dalam pemakaian kata sehingga)
2) …bukan saya yang tidak mau, namun dia yang tidak suka. (salah
memilih kata namun sebagai pasangan kata bukan)
Kedua contoh kalimat di atas salah karena ketidaktepatan
pemilihan pasangan kata. Pada kalimat pertama, terdapat kesalahan
pemakaian kata sehingga sebagai pasangan kata dari. Seharusnya
kata sehingga diganti dengan kata sampai. Pada kalimat kedua,
terdapat kesalahan pemakaian kata namun sebagai pasangan kata
bukan. Seharusnya kata namun diganti dengan kata melainkan. Jadi,
jika diperbaiki kalimat tersebut menjadi sebagai berikut ini.
1) Karyawan teladan itu memang tekun bekerja dari pagi sampai
petang.
2) …bukan saya yang tidak mau, melainkan dia yang tidak suka.
6. Kelogisan
Kelogisan adalah terdapatnya arti kalimat yang logis atau
masuk akal. Logis dalam hal ini juga menuntut adanya pola pikir
yang sistematis (runtut/teratur dalam penghitungan angka dan
penomoran). Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah
benar juga pemakaian tanda baca, kata, atau frasanya, dapat menjadi
salah jika maknanya lemah dari segi logika berbahasa (Finoza,
2008:168). Berikut contoh kalimat yang lemah dari segi logika
berbahasa.
1. Kiat Pengulangan
Kiat pengulangan digunakan untuk memperlihatkan bagian
yang dipentingkan dalam kalimat. Dengan pengulangan, bagian yang
160 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
diulang menjadi menonjol. Pengulangan tidak harus dengan bentuk
yang sama. Pengulangan dapat dilakukan dengan bentuk-bentuk yang
berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengungkapkan suatu hal yang
bervariasi.
2. Kiat Pengedepanan
Dalam penyampaian informasi, pengedepanan menunjukkan
bahwa hal yang dikedepankan itu penting. Hal itu dapat dipahami
karena kesan penerima tutur akan terpusat pada bagian yang diterima
pertama daripada bagian yang lain. Jadi, jika ingin menonjolkan
informasi, bagian yang berisi informasi itu ditampilakn pada bagian
awal kalimat.
3. Kiat Penyejajaran
Penyejajaran merupakan salah satu kiat untuk menimbulkan
kesan bahwa unsur yang disejajarkan itu penting. Hal ini dapat
dipahami karena unsur yang disejajarkan itu tampak menonjol.
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyejajaran adalah
konsistensi. Konsistensi dibagi atas dua yaitu, konsistensi kategori
dan konsistensi struktur.
A. Batasan Paragraf
Pengertian paragraf telah banyak diungkapkan oleh para ahli,
di antaranya Alwi (2001:1) menyatakan bahwa paragraf adalah
satuan informasi yang memiliki satu gagasan utama atau ide pokok
sebagai pengendali. Dikatakan sebagai pengendali, artinya gagasan
utama akan menentukan kalimat yang dapat dikelompokan ke dalam
paragraf tersebut. Dengan kata lain, gagasan utama atau ide pokok
dalam paragraf adalah ringkasan informasi yang dikemukakan dalam
paragraf.
Hal senada juga diungkapkan Arifin (2008:115) yang
menyatakan bahwa paragraf adalah seperangkat kalimat yang
membicarakan suatu gagasan atau topik. Kalimat-kalimat dalam
paragraf memperlihatkan kesatuan pikiran atau mempunyai
keterkaitan dalam membentuk gagasan atau topik tersebut. Atmazaki
(2009:94) mengungkapkan bahwa paragraf adalah unit dasar wacana
yang berisi informasi dalam satu paket yang terorganisasi secara jelas
dan memperhatikan bagaimana potongan-potongan informasi saling
terkait. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa menyusun paragraf
pada hakikatnya adalah menyusun sejumlah kalimat dalam rangka
menghubungkan sejumlah gagasan.
Dari uraian dan pendapat pakar di atas, dapat disimpulkan
bahwa paragraf mempunyai gagasan utama yang dituangkan dalam
bentuk kalimat topik dan didukung oleh kalimat-kalimat penjelas
sehingga menadi sebuah paket informasi yang dapat dipahami atau
diterima oleh para pembaca. Bagi penulis, gagasan utama merupakan
pengendali isi paragraf sedangkan bagi pembaca, gagasan utama
menjadi kunci pemahaman.
C. Fungsi Paragraf
Tarigan (1986) mengungkapkan bahwa fungsi paragraf adalah:
(1) menampung pokok pikiran, (2) menghindari kesulitan bagi
pembaca dan memahami ide penulis, (3) alat pengembangan ide
secara berurutan, (4) pedoman bagi pembaca memahami jalan pikiran
penulis, (5) alat untuk menyampaikan pokok pikiran penulis, (6)
penanda mulainya ide baru, dan (7) sebagai pengantar, penghubung,
dan penutup suatu karangan.
Sumadipura (1991) mengemukakan bahwa fungsi paragraf ada
lima, yaitu (1) alat untuk mengembangkan jalan pikiran penulisan
secara sistematis, (2) alat untuk menyampaikan gagasan atau
fragmen-fragmen pikiran penulis, (3) alat untuk memudahkan
pembaca memahami jalan pikiran penulis, (4) pedoman bagi
pembaca dalam mengikuti alur pikir penulis, dan (5) penampung
gagasan pokok atau fragmen pikiran penulis. Menurut Keraf (2001),
fungsi paragraf adalah sebagai berikut.
a. Memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan
suatu pokok pikiran dengan yang lain, karena setiap paragraf
hanya mengandung satu pokok pikiran.
b. Memisahkan dan menghasilkan perhatian secara wajar dan formal
untuk memungkinkan pembaca berhenti lebih lama di akhir
kalimat. Perhentian tersebut memungkinkan terjadinya pemusatan
pikiran pada pokok pikiran yang diungkapkan dalam paragraf
(Keraf, 2001).
a. Tesis (Te)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertamanya dalam bentuk
tesis atau pernyataan. Misalnya: (1) Bahasa adalah alat untuk
berkomunikasi, (2) Setiap laki-laki menyenangi wanita yang
menarik, (3) Pola hiidup sehat perlu dimasyarakatkan. Ambillah satu
dari pernyataan tersebut. Letakkan pernyataan yang diambil itu pada
kalimat pertama paragraf. Lalu kembangkanlah dengan kalimat-
kalimat berikutnya sampai paragraf tersebut dianggap selesai (Rasyid
dan Gani, 2013).
b. Omongan (0)
Awalilah paragraf dengan kalimat pertamanya dalam bentuk
kalimat yang memuat kutipan omongan (0) seseorang. Omongan
adalah peminjaman atau pengambilan pikiran atau pendapat orang
lain yang disampaikan secara lisan atau tulis. Artinya, kalimat
pertama paragraf pada teknik ini bertujuan sebagai bentuk
menyampaikan kembali pikiran orang lain yang dipinjam (Rasyid
dan Gani, 2013).
c. Pembuatan (P)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang memuat
deskripsi dari suatu perbuatan atau peristiwa. Rangkaian peristiwa
dan perbuatan itu menjadi sebuah kalimat. Kemudian tempatkanlah
kalimat itu sebagai kalimat pertama pada paragraf yang ditulis
(Rasyid dan Gani, 2013).
168 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
d. Kurosioritas (K)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
kurosioritas. Kurosioritas adalah kalimat yang dapat membangkitkan
rasa keingintahuan, mampu mensugesti pembaca, sehingga pembaca
terbangkit emosinya untuk mngetahui lebih lanjut (Rasyid dan Gani,
2013).
f. Alkisah (A)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
alkisah. Alkisah adalah berkisah, yaitu mengungkapkan kembali
segala sesuatu yang mengingatkan penulis pada masa yang telah lalu.
Ungkapkan kembali tersebut dapat berupa benda, peristiwa, atau
lokasi (Rasyid dan Gani, 2013).
g. Tanya (Ta)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
pertanyaan. Pertanyaan adalah pernyataan yang menghendaki
jawaban. Ajukanlah pertanyaan pada kalimat pertama, dan
kemukakanlah jawaban pertanyaan tersebut pada kalimat-kalimat
berikutnya (Rasyid dan Gani, 2013).
Contoh:
Bandung dikenal juga dengan sebutan “Paris Van Java”. Daerah ini
banyak dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Sampai tahun
1970-an, kota Bandung sangat cocok dengan wisatawan
mancanegara, terutama wisatawan yang berasal dari Eropa. Hal ini
disebabkan karena hawanya yang sejuk dan nyaman, bahkan
terkadang dingin. Di beberapa tempat seperti Dago dan Ledeng
sering dipasang tugu pemanas untuk melawan udara yang dingin.
Menyenangkan suasana kala itu. Kini, setelah 25 tahun iklim
Bandung sudah sangat jauh bedanya. Bandung sekarang tidak lagi
sejuk. Suhu udara sering menigkat terus. Kenaikan suhu ini antara
lain disebabkan karena kepadatan penduduk, penebangan pohon
pelindung, bertambahnya kendaraan bermotor, menjamurnya rumah
kaca yang menjulang ke angkasa, dan lain sebagainya. Akibat suhu
yang meningkat ini, banyak gedung perkantoran, pasar swalayan,
dan rumah penduduk yang menggunakan alat pendingin (AC) untuk
melawan gerahnya udara. Berbedanya Bandung yang dulu dengan
Bandung yang sekarang adalah hal yang wajar.
(Rasyid dan Gani, 2013).
Contoh:
Di dinginnya pagi, bergelimpangan beberapa mayat, tangisan anak-
anak dan perempuan muda. Pemandangan yang sangat
memprihatinkan itu sudah sejak dari tadi diperhatikan Giring-giring
Perak. Dia merasa hatinya amat iba. Luluh lantak perasaannya. Bagi
yang kematian ibu, alangkah sepinya hidup mereka. Sepi sekali.
Tidak seperti anak-anak lain, yang setiap hari didendangkan dengan
lagu cinta, disuapkan dengan kasih sayang. Bagi yang kematian
A. Batasan Makna
Ilmu tentang makna bahasa dikenal dengan istilah semantik.
Semantik berasal dari kata Yunani sema yang berarti ‘tanda’,
semainein berati memperlihatkan, menyatakan dan semantickos
berarti penting, berarti. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa adalah
ilmu yang mempelajari masalah makna/ arti dalam suatu bahasa
(Maksan, 1994:69). Makna merupakan unsur bahasa yang tidak dapat
dipisahkan dari tanda sehingga berada di dalam tanda bahasa. Makna
juga dapat dikenali melalui pendekatan lain (selain dari teori de
Saussure). Dua pendekatan yang populer tentang makna adalah
pendekatan analitis atau referensial dan pendekatan kontekstual atau
operasional. Berdasarkan pendekatan analisis, makna dapat dikenali
melalui model segi tiga dasar Ogden dan Richard. Mengacu pada
model segi tiga dasar itu, makna melibatkan tiga komponen, yaitu (1)
pikiran, (2) simbol, dan (3) acuan. Ketiga komponen tersebut
mempunyai hubungan. Pikiran dengan simbol dan pikiran dengan
acuan memiliki hubungan secara langsung, sedangkan simbol dengan
acuan memiliki hubungan tidak langsung.
Berdasarkan pendekatan kontekstual, makna dapat ditentukan
dalam konteks. Maksudnya, makna itu ditentukan dalam penggunaan
kata itu dalam konteks tertentu. Menurut pendekatan kontektual,
makna kata tidak ditentukan ketika kata tersebut berdiri sendiri, tetapi
makna sebuah kata harus ditentukan pada saat kata itu digunakan.
Jadi, makna adalah konsep yang timbul ketika kata itu digunakan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebuah kata memiliki
banyak makna karena konteksnya yang berbeda (Ratna, 2013).
C. Relasi Makna
1. Sinonim
Hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Misalnya, antara betul dengan kata benar, antara kata hamil dengan
frasa duduk perut, dan antara kalimat Dika menendang bola dengan
Bola ditendang Dika. Relasi sinonim ini bersifat dua arah.
Maksudnya kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satu
ujaran B, satuan ujaran B itu besinonim dengan satuan ujaran A.
Secara konkret, kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, maka
kata benar itu juga bersinonim dengan kata betul.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis
sama maknanya. Ketidaksamaan itu terjadi karena enam faktor
berikut ini. Pertama, faktor waktu dapat mengakibatkan makna kata
berubah. Misalnya, kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan. Kata hulubalang memiliki pengertian klasik, sedangkan
kata komandan tidak memiliki pengertian klasik. Kedua, faktor
tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta dua buah kata
yang bersinonim. Kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan
kata beta hanya cocok untuk wilayah Indonesia Bagian Timur atau
dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia Bagian Timur.
Ketiga, faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua
buah kata yang bersinonim. Kata uang dapat digunakan dalam ragam
formal dan tidak formal, sedangkan kata duit hanya cocok digunakan
untuk ragam tidak formal (Ratna, 2013).
Keempat, faktor sosial. Misalnya, kata saya dan aku adalah
dua buah kata yang bersinonim. Kata saya dapat digunakan oleh
siapa saja dan kepada siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat
digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab, atau
182 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
pada yang lebih muda. Kelima, bidang kegiatan. Misalnya, kata
matahari dan surya adalah dua buah kata bersinonim. Kata matahari
dapat digunakan dalam kegiatan apa saja atau dapat digunakan secara
umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam
khusus terutama ragam sastra. Keenam, faktor nuansa makna.
Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau, dan
mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Akan tetapi, antara
satu dengan yang lain tidak selalu dapat dipertukarkan karena
masing-masing memiliki nuansa makna yang tidak sama.
Berdasarkan keenam faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan
atau disubstitusikan. Sinonim merupakan relasi makna yang
menunjukkan kesamaan. Anggota makna yang memiliki relasi
kesamaan itu disebut sinonim. Sinonimi merupakan istilah yang
melabeli relasinya, sedangkan sinonim itu merupakan istilah yang
melabeli anggotanya (makna-makna yang bersinonim). Verhaar
(1990) mengartikan sinonim sebagai ungkapan (kata, frasa, atau
kalimat) yang maknanya kurang lebih sama. Sinonim tidak selalu
beranggotakan dua unsur, tetapi dapat beranggotakan dari tiga unsur,
seperti gemuk, gendut, dan gembrot. Contoh lain, seperti: kurus,
kerempeng, dan ceking.
Sinonim dapat terjadi pada berbagai tataran gramatikal.
Satuan-satuan yang bersinonim dapat berupa morfem, bahkan
morfem terikat, seperti in- dan non- pada inkonvensional dan
nonkapitalis. Sinonim antarkata merupakan sinonim yang paling
umum, seperti antara mati, meninggal, dan wafat. Sinonim juga dapat
terjadi antara frasa, seperti yang tampak pada minta maaf dan mohon
ampun.
Sinonim dapat dikenali dengan dua cara (Depdikbud Ditjen
Dikti,1985). Cara yang pertama adalah tes substitusi. Dengan tes itu,
sebuah kata disubstitusikan dengan kata lain, lalu diuji apakah makna
penggantinya masih mempertahankan makna atau tidak. Kata sebab
2. Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua
buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan. Misalnya,
kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim
dengan kata hidup, dan kata membeli berantonim dengan kata
menjual. Hubungan antara dua satuan ujaran yang berantonim juga
bersifat dua arah. Jadi, kalau kata membeli berantonim dengan kata
menjual, kata menjual juga berantonim dengan kata membeli. Dilihat
dari sifat hubungannya, antonim dapat dibedakan atas empat jenis,
yaitu (1) antonim yang bersifat mutlak, (2) antonim yang bersifat
relatif, (3) antonim yang bersifat relasional, dan (4) antonim yang
bersifat hierarkial.
Pertama, antonim bersifat mutlak. Misalnya, kata hidup
berantonim secara mutlak dengan kata mati. Dikatakan demikian,
karena sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati. Contoh lain,
kata diam berantonim secara mutlak dengan kata bergerak karena
sesuatu yang diam tentu tidak bergerak. Kedua, antonim bersifat
relatif atau bergradasi. Misalnya, kata besar dan kecil berantonim
secara relatif. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif karena batas
antara satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas.
184 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Batasnya dapat bergerak menjadi lebih atau menjadi kurang. Oleh
karena itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil. Ketiga,
antonim yang bersifat relasional. Misalnya, kata membeli dengan
menjual, suami dengan istri, dan kata guru dengan murid. Antonim
jenis ini disebut relasional karena munculnya yang satu harus disertai
dengan yang lain. Adanya membeli karena adanya menjual, adanya
suami karena adanya istri. Kalau salah satu tidak ada, yang lain juga
tidak ada (Ratna, 2013).
Keempat, antonim bersifat hierarkial. Misalnya, kata tamtama
dengan bintara berantonim secara hierarkia karena kedua satuan
ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau
hierarki. Di dalam bahasa Indonesia, juga terdapat satuan ujaran yang
memiliki pasangan antonim lebih dari satu. Bentuk antonim semacam
itu disebut antonim majemuk. Misalnya, kata berdiri dapat
berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, dan bersila.
Antonim, sering juga disebut dengan istilah aposisi makna. Menurut
Oka (1994:243), aposisi dibedakan atas lima jenis, yaitu (a) aposisi
mutlak, (b) aposisi kutub, (c) aposisi hubungan, (d) aposisi hierarkial,
dan (e) aposisi majemuk.
a. Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak merupakan oposisi yang menunjukkan
pertentangan secara mutlak. Oposisi ditandai dengan prinsip jika
salah satu berlaku, yang lain tidak berlaku. Contoh opsisi antara
hidup dan mati. Dengan prinsip itu jika seseorang dikatakan hidup,
pasti dia tidak mati (Ratna, 2013).
b. Oposisi Kutub
Dalam oposisi kutub tidak terdapat pertentangan yang mutlak.
Pertentangan dalam oposisi kutub bersifat gradual. Karena itu,
oposisi kutub disebut juga oposisi gradual karena diantara dua kutub
yang bertentangan itu terdapat anggota yang lain. Kata-kata yang
beroposisi kutub pada umumnya berkategori adjektiva. Contohnya:
c. Oposisi Hubungan
Dalam oposisi hubungan, sebuah anggota oposisi saling
tergantung dan saling melengkapi. Oposisi hubungan berlaku bagi
kata-kata memberi dan meminta, menjual dan membeli, mengajar dan
belajar, dan lain-lain (Ratna, 2013).
d. Oposisi Hierarkial
Oposisi hierarkial adalah oposisi yang memiliki jenjang dalam
suatu deret. Kata-kata yang beroposisi adalah kata-kata yang berupa
nama hitungan, angka, kelas, tanggal, dan lain-lain. Misalnya,
pangkat dalam bidang militer memiliki oposisi-oposisi yang bersifat
hierarkial. Dengan demikian, ada aposisi kopral, sersan, letnan,
kapten, kolonel, jendral (Ratna, 2013).
e. Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk memiliki anggota yang banyak dan oposisi
suatu anggota tidak dapat ditentukan. Kata tidur belum tentu
beroposisi dengan bangun. Kata tidur mungkin saja beroposisi
dengan pergi, bekerja, makan, dan seterusnya. Dalam oposisi
majemuk, oposisi tidak terjadi pada satu kata, tetapi dapat beroposisi
dengan dua kata atau lebih (Ratna, 2013).
3. Polisemi
Sebuah kata atau suatu ujaran disebut polisemi kalau kata itu
mempunyai makna lebih dari satu. Kata kepala setidaknya
mempunyai makna: (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau
pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang
berbentuk bulat, dan (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting.
Makna pertama pada kasus polisemi adalah makna sebenarnya,
4. Homonim
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang
bentuknya “kebetulan” sama namun maknanya berbeda karena
masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Misalnya, antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar
yang bermakna ‘kekasih’, atau antara kata bisa yang berarti ‘racun
ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup’. Sama dengan sinonim dan
antonim, relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga
5. Hiponimi
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk
ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang
lain. Relasi hiponim bersifat searah, misalnya kata merpati
berhiponim dengan kata burung. Kalau merpati berhiponim dengan
burung, burung tidak berhiponim dengan merpati. Dengan kata lain,
kalau merpati adalah hiponim dari burung, burung adalah hipernim
dari merpati. Hiponim dan hipernim membuat klasifikasi terhadap
konsep akan adanya kelas-kelas generik dan spesifik (Chaer,
2010:302).
Menurut Oka (1994:247), hiponim merupakan istilah yang
diadaptasi dari istilah bahasa Inggris hyponymy. Secara etimologis,
D. Perubahan Makna
Sejalan dengan hakikat bahasa yang hidup yang selalu
mengalami perubahan, makna sebagai unsur bahasa merupakan salah
satu unsur yang memiliki potensi untuk berubah. Dalam bahasa
Indonesia dikenal enam jenis perubahan makna, yaitu (a) makna
meluas, (2) makna menyempit, (3) makna amelioratif, (4) makna
peyoratif, (5) makna asosiatif, dan (6) makna sinestesia (Pateda
dalam Muliastuti, 2009:4.27).
1. Makna Meluas
Makna meluas mempunyai arti, kalau tadinya sebuah kata
bermakna ‘A’, kemudian menjadi bermakna ‘B’. Misalnya, kata baju
pada mulanya hanya bermakna ‘pakaian sebelah atas dari pinggang
sampai ke bawah’, seperti pada ungkapan baju batik, baju sport, dan
baju lengan panjang. Dalam kalimat murid-murid itu memakai baju
seragam, yang dimaksud bukan hanya baju, tetapi juga celana,
sepatu, dasi, dan topi (Ratna, 2013).
2. Makna Menyempit
Makna menyempit mempunyai arti kalau tadinya sebuah kata
atau suatu ujaran itu memiliki makna yang sangat umum, tetapi kini
3. Makna Amelioratif
Makna amelioratif adalah makna kata sekarang dirasakan lebih
baik atau tinggi daripada kata sebelumnya atau semula. Contohnya:
wanita, pramunikmat, dan warakauri merpakan kata-kata yang
dipakai untuk lebih menghaluskan dan menyopankan pengertian
yang terkandung dalam kata-kata tersebut (Ratna, 2013).
4. Makna Peyoratif
Makna peyoratif adalah makna kata sekarang mengalami
penurunan nilai rasa kata daripada makna kata pada awal
pemakaiannya. Contoh: kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan
terasa memiliki konotasi menurun atau negatif (Ratna, 2013).
5. Makna Asosiasi
Makna asosisi adalah makna yang muncul karena persamaan
sifat. Misalnya, kata catut dalam kalimat “hati-hati dengan catut itu.”
tergolong kata-kata dengan makna asosiatif. Begitu pula dengan kata
kacamata dalam kalimat. Menurut kacamata saya, perbuatan Anda
tidak benar (Ratna, 2013).
6. Makna Sinestesia
Makna sinestesia adalah makna yang terjadi karena pertukaran
tanggapan antara dua indera. Misalnya, dari indera pengecap ke
indera penglihatan. Kata manis dalam kalimat Gadis itu berwajah
manis. Kata manis mengandung makna enak dan biasanya dirasakan
oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus yang dapat diransang atau
A. Narasi
1. Pengertian Narasi
Menulis adalah kegiatan mengungkapkan gagasan secara
tertulis. (Wiyanto: 2004:1). Narasi adalah suatu bentuk wacana yang
berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca
tentang suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf: 2001:136). Sejalan
dengan itu, Atmazaki (2007:90) mengemukakan bahwa narasi adalah
cerita yang didasarkan atas urutan serangkaian kejadian atau
peristiwa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa menulis narasi adalah
kegiatan mengungkapkan serangkaian kejadian atau peristiwa
melalui tulisan.
Atmazaki (2007:90) menambahkan bahwa narasi adalah cerita
yang didasarkan atas urutan serangkaian kejadian atau peristiwa. Di
dalam kejadian itu, ada satu atau beberapa tokoh, dan tokoh tersebut
mengalami satu atau serangkaian peristiwa. Selain itu, Keraf
(2001:136) mengatakan bahwa narasi dapat dibatasi sebagai suatu
bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang
dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam
satu kesatuan waktu.
Selanjutnya, Thahar (2008:52) mengemukakan bahwa narasi
adalah cerita yang berdasarkan urutan peristiwa atau kejadian yang
dialami oleh tokoh dengan latar tempat dan waktu serta suasana. Di
dalam narasi biasanya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh
menimbulkan konflik-konflik yang menyebabkan cerita menjadi
hidup. Jadi, sebuah karangan narasi yang sempurna itu memiliki
peristiwa, tokoh, latar, dan konflik (Rasyid dan Gani, 2013).
a. Stuktur Narasi
Struktur narasi dilihat dari komponen-komponen yang
membentuknya seperti: tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang
dan amanat.
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 193
1) Tema
Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok. Tema suatu
karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh
setiap pembaca yang cermat sebagai akibat dan membaca karya
tersebut (Tarigan, 2005:160). Kenny (dalam Nurgiantoro, 2010:67)
mengatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Selanjutnya, Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiantoro,
2010:68) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar
umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di
dalam teks sebagai struktur semantik serta yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Sejalan dengan itu, Nurgiantoro (2010:68) menjelaskan bahwa
tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang
bersangkutan sehingga menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa,
konflik dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat
mengikat terhadap kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik,
dan situasi tertentu, serta berbagai unsur instrisik yang lain. Jika tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka dapat dikatakan
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Oleh sebab itu, tema
mempunyai generelisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.
2) Plot
Stanton (dalam Nurgiantoro, 2010:113) mengatakan bahwa
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang dihubungkan
secara sebab-akibat. Dengan kata lain, peristiwa yang lain disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Selanjutnya, Kenny
(dalam Nurgiantoro, 2010:113) mengemukakan bahwa plot sebagai
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat
sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab-akibat. Senada dengan itu, Foster (dalam
Nurgiantoro, 2010:113) mengatakan bahwa plot adalah peristiwa-
a) Tahap awal
Nurgiantoro (2010:142) menjelaskan bahwa tahap awal sebuah
cerita biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap awal biasanya berisi
sebuah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang
akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.
b) Tahap Tengah
Menurut Nurgiantoto (2010:142), tahap tengah cerita yang
dapat juga disebut dengan tahap pertikaian, menampilkan
pertentangan dan konflik yang sudah dimunculkan pada tahap
sebelumnya sehingga menjadi semakin meningkat dan menegangkan.
Konflik yang dikisahkan dapat terjadi dalam diri (batin) atau konflik
fisik dengan tokoh lain. Dalam tahap tengah inilah klimaks
ditampilkan saat konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi.
c) Tahap Akhir
Tahap akhir pada sebuah cerita dikatakan sebagai tahap
peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akhir klimaks.
Dalam bagian ini, biasanya ditampilkan kesudahan cerita, yaitu
3) Penokohan
Menurut Nurgiantoro (2010:166), istilah “penokohan” lebih
luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan”, karena
mencakup tentang siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan serta pelukisannya di dalam cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Sejalan
itu, Jones (dalam Nurgiantoro, 2010:165) mengemukakan bahwa
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
4) Latar
Atmazaki (2007:104) menyatakan bahwa latar adalah tempat
dan urutan waktu ketika tindakan berlangsung. Latar atau setting
yang disebut juga sebagai landas tumpu merupakan pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa–peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton
(1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke
dalam fakta (cerita) karena ketiga hal inilah yang secara konkret dan
langsung membentuk cerita. Tokoh cerita adalah pelaku dan
penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan hal itu
memerlukan tempat dan waktu. Unsur latar dapat dibedakan ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial/ suasana.
a) Latar Tempat
Nurgiantoro (2010:227) menjelaskan latar tempat sebagai
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat–tempat
b) Latar Waktu
Nurgiantoro (2010:230) menjelaskan bahwa latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut,
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa yang dialami oleh tokoh.
5) Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 181:142). Dengan
demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang secara sengaja diplih pengarang utuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya. Gentle (1981:89) menawarkan istilah
fokalisasi, focalisation, yang lebih dekat berhubungan dengan
pengisahan. Istilah fokalisasi tersebut oleh Gentle dimaksudkan
untuk merangkum sekaligus menghindari adanya konotasi-konotasi
spesifik istilah-istilah visi, vission, (seperti dipergunakan Pouillon
dan Todorov), field, (Blin), dan sudut pandang, point of view
6) Amanat
Menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992:38), amanat
merupakan opini, kecendrungan, dan visi pengarang terhadap tema
yang dikemukakannya. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dalam
sebuah fiksi dapat terjadi lebih dari satu, jika semuanya terkait
dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik dengan teknik
4. Jenis-jenis Narasi
Keraf (2001:136-138) mengemukakan bahwa narasi terbagi
dua, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris
bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui
apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu perluasan
pengetahuan pembaca setelah membaca kisah tersebut. Sama halnya
dnegan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga bertalian dengan
tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam suatu kejadian atau
peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian atau peristiwa itu berlangsung
dalam suatu kesatuan waktu tetapi sasaran utamanya bukan bertujuan
memperluas pengetahuan seseorang, melainkan berusaha memberi
makna atau peristiwa atau kejadian sebagai suatu pengalaman.
Karena sasarannya adalah makna peristiwa atau kejadian, maka
narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal atau imajinasi.
B. Deskripsi
1. Pengertian Tulisan Deskripsi
Deskripsi atau pemerian adalah sebuah bentuk tulisan yang
bertalian dengan usaha para penulis untuk memberikan perincian-
perincian dari objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1982:93). Kata
deskripsi berasal dari bahasa Latin describere yang berarti menulis
tentang atau membeberkan tentang sesuatu hal. Sebaliknya kata
deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian yang berasal dari
kata peri-memerikan yang berarti melukiskan sesuatu hal.
Selanjutnya, Atmazaki (2007:88) menyatakan bahwa deskripsi
merupakan bentuk tulisan yang melukiskan suatu objek (tempat,
benda, dan manusia). Pembaca deskripsi seolah-olah ikut mencium,
mendengarkan, meraba, merasakan, atau melihat segala sesuatu yang
dideskripsikan. Deskripsi memberikan satu citra mental mengenai
sesuatu hal yang dialami, misalnya pemandangan, orang atau sensasi.
Menurut Semi (2009:56-57), deskripsi adalah tulisan yang
tujuannya memberikan informasi tentang suatu objek secara detail
atau rinci sehingga memberikan gambaran yang jelas dan
mempengaruhi emosi serta imajinasi pembaca, seolah-olah ikut
200 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
melihat atau mengalami langsung hal tersebut. Untuk menghasilkan
tulisan deskripsi yang baik, penulis harus memahami detail yang
berkenaan dengan objek tulisan sehingga dapat disajikan seperti
kenyataan yang sebenarnya.
Karangan deskripsi merupakan penggambaran suatu keadaan
dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan paragraf-paragraf sehingga
menimbulkan kesan yang hidup. Penggambaran atau pelukisan harus
disajikan sehidup-hidupnya, sehingga apa yang dilukiskan hidup
dalam angan-angan pembaca. Deskripsi lebih menekankan kepada
pengungkapannya melalui kata-kata. Untuk menulis suatu karangan
deskripsi yang baik, penulis harus melakukan identifikasi terlebih
dahulu. Namun, pengertian pola pengembangan deskripsi hanya
menyangkut pengungkapannya melalui kata-kata. Dengan mengenal
ciri-ciri objek tulisan, penulis dapat menggambarkan secara verbal
objek yang akan disajikan kepada pembaca (Rasyid dan Gani, 2013).
C. Eksposisi
1. Pengertian Tulisan Deskripsi
Keraf (1995:7) menjelaskan bahwa karangan eksposisi adalah
suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu obyek
sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca.
Wacana yang digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu
obyek, misalnya untuk menjelaskan pengertian kebudayaan kepada
pembaca. Selanjutnya, Gani (1999:151) menjelaskan bahwa kata
eksposisi berasal dari bahasa Latin yang berarti memulai atau
membuktikan. Eksposisi adalah salah satu bentuk tulisan yang
berusaha menerangkan dan menguraikan suatu pokok pikiran yang
dapat memperluas pengetahuan pembaca.
Semi (2007:35) mengatakan bahwa ekposisi adalah tulisan
yang bertujuan menjelaskan atau memberikan informasi mengenai
sesuatu, seperti petunjuk menjalankan mesin, buku tentang masakan,
dan petunjuk cara merawat wajah dan rambut. Berdasarkan pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa eksposisi adalah suatu bentuk
tulisan yang dimaksudkan untuk menerangkan, menyampaikan, dan
menguraikan suatu hal yang dapat memperluas dan menambah
pengetahuan serta pandangan pembacanya. Sasarannya adalah
menginformasikan sesuatu tanpa ada maksud mempengaruhi pikiran,
perasaan, dan sikap pembacanya. Fakta ilustrasi yang disampaikan
204 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
penulis sekadar memperjelas apa yang disampaikan (Rasyid dan
Gani, 2013).
a. Metode Identifikasi
Identifikasi merupakan suatu metode untuk menggarap sebuah
eksposisi sebagai atas pertanyaan apa dan siapa. Kata identifikasi
sebenarnya berarti “proses membuat sesuatu menjadi sama” atau
“proses menentukan kesatuan dan kelangsungan suatu
individualitas”. Dalam hubungan ini, makna yang tepat untuk
pengertian identifikasi adalah “proses menyebutkan unsur-unsur yang
membentuk suatu hal sehingga ia dikenal sebagai hal tersebut.
Metode identifikasi merupakan sebuah metode yang berusaha
menyebutkan ciri-ciri dan unsur pengenal objek, sehinggga para
pembaca atau pendengar lebih mengenal objek. Apabila tidak
langsung berhadapan dengan objek yang diperkenalkan, maka
penulis akan menggambarkannya dengan kata-kata, memerinci
semua ciri dan tanda pengenal barang atau objek tersebut, sehingga
dapat mengenal objek tersebut.
Untuk memberikan gambaran mengenai cara melakukan
identifikasi, maka dapat diikuti dengan dua cara. Pertama, dengan
memperhatikan sebuah karangan yang ada secara utuh untuk melihat
bagaimana judul-judul utama dari karangan itu sebagai hasil
identifikasi. Kedua, dengan melihat bagaimana tiap topik atau judul
utama diperinci ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, khususnya
bagaimana sebuah gagasan utama dalam sebuah alinia diidentifikasi
ke dalam gagasan-gagasan bawahan alinea (Rasyid dan Gani, 2013).
c. Metode Ilustrasi
Ilustrasi adalah suatu metode untuk mengadakan gambaran
atau penjelasan yang khusus dan konkret atas suatu prinsip umum
atau suatu gagasan umum. Dalam ilustrasi, pengarang ingin
menjelaskan suatu prinsip umum atau kaidah yang lebih luas
lingkupnya dengan mengutip atau menunjukkan suatu pokok yang
khusus dan tercakup dalam prinsip umum atau kaidah yang lebih luas
cakupannya. Hubungan antara hal yang khusus dengan suatu yang
lebih luas merupakan prinsip yang fundamental dalam metode
ilustrasi. Metode ini merupakan metode yang paling sering
dipergunakan dalam sebuah eksposisi karena ia tidak menampilkan
hal-hal yang umum secara abstrak tetapi menunjukkan contoh yang
nyata dan konkret (Rasyid dan Gani, 2013).
d. Metode Definisi
Definisi merupakan suatu proses yang berusaha meletakkan di
mana batas-batas penggunaan sebuah kata. Proses membuat definisi
bukan sekadar permainan kata-kata karena tidak akan membuat
e. Metode Klasifikasi
Klasifikasi merupakan suatu proses yang bersifat alamiah yang
bertujuan untuk menampilkan pengelompokkan-pengelompokkan
suatu objek yang sesuai dengan pengalaman manusia. Objek-objek,
gagasan-gagasan yang dikenal melalui pengalaman-pengalaman
disusun dalam sistem yang teratur. Dengan demikian, klasifikasi
merupakan jalan untuk menjangkau bermacam-macam subjek ke
dalam suatu pertalian, menempatkan sebuah subjek ke dalam
hubungan yang masuk akal dengan objek-objek lainnya berdasarkan
suatu sistem, dan memberi sebuah konteks yang logis. Oleh sebab
itu, klasifikasi selalu mencakup persoalan kelas atau kelompok.
Klasifikasi merupakan suatu metode untuk menempatkan objek-
objek dalam suatu sistem kelas, sehingga dapat dilihat hubungannya
ke samping, ke atas, dan ke bawah (Rasyid dan Gani, 2013).
f. Metode Analisis
Metode analisis berusaha menjelaskan atau menguraikan
bagian-bagian dari suatu yang utuh, mengembangkan gagasan-
gagasan, sehingga menjadi sebuah pemikiran yang bulat dan dapat
diterima pembaca. Analisis merupakan cara pemecahan suatu pokok
persoalan menjadi bagian-bagian yang logis (Rasyid dan Gani, 2013).
A. Artikel
1. Batasan Artikel
Artikel merupakan salah satu jenis prosa yang berisi pendapat
penulis (penjelasan) tentang suatu masalah yang disajikan secara
menarik. Artikel adalah sejenis tulisan yang terdiri atas beberapa
paragraf, tidak berbait-bait, dan tidak berbentuk dialog. Artikel berisi
penjelasan tentang suatu topik, yaitu hal-hal apa saja yang ingin
dijelaskan oleh pengarangnya. Oleh sebab itu, artikel tidak sekadar
kutipan tentang pendapat orang lain.
Susunan dan bahasa yang digunakan dalam suatu artikel
dikemas secara menarik sehingga terjaga minat pembaca untuk terus
membaca. Artikel yang dipublikasikan melalui koran dan majalah
umum, serta berbentuk karya tulis semi ilmiah atau ilmiah populer.
Selain itu, artikel ilmiah hanya dimuat di dalam majalah ilmiah,
sehingga pembacanya adalah para ilmuan atau pakar yang bergerak
dalam bidang tertentu (Gani dan Zulfikarni, 2013).
2. Jenis Artikel
Secara garis besar, artikel dan makalah dapat dipisahkan atas
tulisan ilmiah dan tulisan nonilmiah. Tulisan ilmiah disebut juga
dengan wacana. Artikel ilmiah merupakan tulisan yang berisi
informasi faktual dan objektif yang dapat digunakan pembaca untuk
melakukan tindakan, dijadikan pegangan, bahan perbandingan, atau
penambahan pengetahuan. Tulisan ilmiah dapat dibagi atas dua jenis,
yaitu tulisan imiah dan semi ilmiah. Tulisan ilmiah disebut juga
tulisan ilmiah tinggi atau wacana (teknis tinggi), yaitu tulisan ilmiah
yang mengandung kebenaran objektif yang didukung oleh informasi
214 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
yang telah teruji dengan data–data, diambil dengan ketentuan yang
dipersyaratkan, dan disajikan dengan menggunakan terminologi
teknis yang biasa digunakan di dalam bidang tertentu, sehingga
tulisan itu hanya dapat dikuti dengan baik oleh mereka yang bergerak
dalam bidang keilmuan yang sama (Gani dan Zulfikarni, 2013).
Tulisan semi ilmiah (biasa disebut juga wacana semi teknis,
atau tulisan ilmiah popular) merupakan tulisan yang isinya
mengandung kadar keilmiahan yang bersifat objektif dan
menggunakan pemikiran yang mendalam dengan melakukan
penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan.
Namun, tulisan itu disajikan dengan menggunakan terminologi atau
peristilahan, bukan teknis melainkan peristilahan umum. Perbedaan
antara artikel ilmiah dengan semi ilmiah (populer) adalah sebagai
berikut:
b. Bagian Isi
Bagian isi artikel menyangkut aspek pendahuluan, isi, dan
kesimpulan. Pendahuluan berisi perkenalan dan persoalan, landasan
atau latar belakang pemikiran dengan menghubungkannya dengan
permasalahan yang hendak didiskusikan (Gani dan Zulfikarni, 2013).
c. Bagian Penutup
Bagian penutup artikel ilmiah berisi daftar referensi. Referensi
memenuhi persyaratan, seperti: akurat, lengkap, dan berguna bagi
pembaca yang ingin tahu lebih lanjut tentang hal yang disajikan
(Gani dan Zulfikarni, 2013).
a. Sifat keilmuan
Ciri utama karya tulis ilmiah adalah sifat keilmuannya. Ciri ini
merupakan pembeda utama antara karya tulis ilmiah dengan karya
tulis nonilmiah. Sifat keilmuan ini dapat dicermati dari berbagai
pengamatan, misalnya dalam hal pembuktian kebenaran. Karya tulis
ilmiah harus dapat dibuktikan kebenarannya. Pembuktian tersebut
dapat dilakukan berdasarkan rasional dan empiris. Pembuktian
rasional didasarkan kepada keberlogikaan karya tulis ilmiah yang
bersangkutan. Artinya, kebenaran karya tulis ilmiah tersebut dapat
dicerna oleh akal sehat. Pembuktian secara empiris dilakukan
berdasarkan data-data dan fakta-fakta yang dikemukakan di dalam
karya tulis ilmiah yang bersangkutan (Gani dan Zulfikarni, 2013).
b. Objektif
Objektif adalah mengungkapkan segala sesuatu seperti apa
adanya. Setiap fakta dan data diungkapkan berdasarkan kenyataan
yang sebenarnya, tidak dimanipulasi, dan tidak direkayasa. Setiap
c. Netral
Aspek kenetralan karya tulis ilmiah mengacu kepada setiap
pernyataan, pengungkapan, atau penilaian yang terbebas dari
kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan pribadi maupun
kepentingan kelompok. Karya tulis ilmiah tidak mempertimbangkan
atau tidak mempermasalahkan apakah seseorang akan senang atau
tersinggung dengan pernyataan yang dikemukakan. Karya tulis
ilmiah bebas dari persoalan rasa-rasa atau hal-hal yang berbau
emosional. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang bersifat
mengajak, membujuk, melarang, atau mempengaruhi pembaca perlu
dihindarkan (Gani dan Zulfikarni, 2013).
d. Sistematis
Aspek sistematis mengacu kepada pola penyajian yang bersifat
baku, bukan beku. Sebuah karya tulis ilmiah menguraikan dan
menyajikan sesuatu secara berurutan, contohnya adalah skripsi, tesis,
atau disertasi. Masing-masing tulisan ilmiah tersebut terdiri atas
bagian awal, tengah, dan akhir. Masing-masing bagian tersebut
terdiri atas berbagai subbagian yang letak atau posisinya juga terurut
secara sistematis. Misalnya, bagian awal terdiri atas subbagian
halaman judul (kulit atau kover), halaman persembahan (kalau ada),
halaman pengesahan (pembimbing dan penguji), halaman abstrak,
halaman kata pengantar, halaman ucapan terima kasih (kalau ada),
halaman daftar isi, dan halaman awal daftar-daftar (daftar tabel,
bagan, gambar, dan lain-lain).
e. Logis
Kelogisan mengacu kepada pola penalaran yang digunakan
penulis, misalnya pola penalaran induktif atau deduktif. Jika penulis
bermaksud menyimpulkan suatu fakta atau data, maka digunakan
pola induktif, sebaliknya jika penulis bermaksud membuktikan suatu
teori atau hipotesis, maka digunakanlah pola deduktif. Selain itu,
aspek kelogisan ini juga terlihat pada pola dalam menyatakan pikiran
pada kalimat yang digunakan. Sangat banyak penulis yang kurang
hati-hati terhadap tata kalimat. Artinya, kalimat tersebut tidak mampu
mengkomunikasikan pemikiran penulis Akibatnya, pembaca tidak
mampu memahami pesan yang hendak disampaikan penulis karya
ilmiah yang bersangkutan (Gani dan Zulfikarni, 2013).
f. Menyajikan Fakta
Setiap pernyataan, uraian, atau simpulan dalam karya ilmiah
harus bersifat faktual, yaitu menyajikan segala sesuatu berdasarkan
fakta dan data. Oleh karena itu, pernyataan atau ungkapan yang
emosional (menggebu-gebu seperti orang berkampanye, perasaan
sedih seperti orang berkabung, perasaan senang seperti orang
mendapatkan hadiah, dan perasaan marah seperti orang bertengkar)
hendaknya dihindarkan (Gani dan Zulfikarni, 2013).
a. Makalah
Makalah merupakan suatu karya tulis ilmiah yang membahas
suatu permasalahan secara tuntas berdasarkan satu kerangka berpikir,
yaitu berpikir induktif atau berpikir deduktif. Biasanya penulisan
makalah dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu.
Berdasarkan tujuan tersebut, maka pada umumnya jenis makalah
dapat dibedakan atas tiga, yaitu: (1) makalah tugas perkuliahan, (2)
makalah tugas akhir, dan (3) makalah seminar. Uraian rinci dari
ketiga klasifikasi makalaha tersebut adalah sebagai berikut.
3) Makalah Seminar
Penulisan makalah seminar dimaksudkan untuk dibicarakan
dalam suatu pertemuan ilmiah seperti pada seminar, konferensi,
musyawarah, dan presentasi ilmiah lainnya. Makalah seminar
ditujukan dalam upaya memperbaiki/ meningkatkan suatu program
tertentu. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk makalah jenis ini
sangat ditentukan oleh panitia yang menyelenggarakan pertemuan
ilmiah tersebut.
Selain dari seminar dan konferensi, pertemuan ilmiah juga
dilakukan dalam bentuk lokakarya. Pada pertemuan yang demikian,
dibicarakanlah segala sesuatu yang berkaitan kegiatan yang akan
dikerjakan. Pada pertemuan yang demikian tulisan ilmiah yang
b. Artikel
Pada hakikatnya antara makalah dengan artikel terdapat
kesamaan. Hal ini disebabkan karena proses penyusunan kedua jenis
tulisan tersebut menggunakan kerangka berpikir yang sama, yaitu
pola berpikir deduktif atau induktif, kecuali untuk artikel yang ditulis
berdasarkan hasil suatu penelitian.
Artikel merupakan jenis karya tulis ilmiah yang dimaksudkan
untuk dipublikasikan melalui media cetak umum (koran, majalah,
atau tabloid) atau media cetak kusus (jurnal). Sasaran atau tujuan
penulisan artikel adalah untuk publikasi. Pola atau sistematika
penulisan artikel sangat dipengaruhi oleh segala ketentuan yang
ditetapkan oleh media target, materi yang akan ditulis, bahasa,
c. Laporan Penelitian
Landasan berpikir laporan penelitian tidak hanya tergantung
pada satu pola berpikir deduktif atau induktif saja tetapi didasarkan
kepada kedua pola berpikir tersebut. Gabungan kedua pola pikir
ilmiah inilah yang akan melahirkan metode ilmiah, yaitu logiko,
hipotesiko. dan verivikatif. Dengan kata lain, laporan penelitian
selalu melalui tahapan pengajuan masalah, kajian teori,
hipotesis/pertanyaan, verifikasi data, dan kesimpulan. Akibat adanya
perbedaan ini, maka proses menulis makalah jauh lebih mudah
daripada proses menulis laporan penelitian. Akan tetapi, hasil dari
penulisan laporan penelitian jauh lebih bermakna.
Sebagai hasil dari kegiatan menulis ilmiah, laporan penelitian
tampil dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, atau laporan penelitian
lainnya. Skripsi merupakan suatu karya tulis ilmiah yang ditulis
untuk mendapat gelar kesarjanaan oleh mahasiswa setingkat S1.
Tesis merupakan suatu karya tulis ilmiah yang ditulis untuk meraih
gelar magister (master) oleh mahasiswa setingkat S2 sedangkan
disertasi merupakan suatu karya tulis ilmiah yang ditulis untuk
memperoleh gelar doktor oleh mahasiswa setingkat S3.
Laporan penelitian merupakan suatu karya tulis ilmiah yang
ditulis oleh seorang atau kelompok ilmuwan sebagai laporan atas
A. Hakikat Ringkasan
1. Batasan Ringkasan
Ringkasan berasal dan bentuk dasar “ringkas” yang berarti
singkat atau pendek dari bentuk yang panjang. Hal ini dipakai untuk
mengatakan suatu bentuk karangan panjang yang dihadirkan dalam
jumlah singkat. Suatu ringkasan disajikan dalam bentuk yang lebih
pendek dari tulisan aslinya dengan berpedoman pada keutuhan topik
dan gagasan yang ada di dalam aslinya yang panjang itu. Ringkasan
(precis) adalah suatu cara yang efektif untuk menyajikan suatu
karangan yang panjang dalam bentuk yang singkat. Suatu ringkasan
bertolak dari penyajian suatu karya asli secara singkat.
Ringkasan merupakan suatu keterampilan untuk mengadakan
reproduksi dari hasil-hasil karya yang sudah ada. Ringkasan
merupakan penyajian singkat dari suatu karangan asli tetapi tetap
mempertahankan urutan isi dan sudut pandangan pengarang asli.
Perbandingan bagian atau bab dari karangan asli secara proposional
tetap dipertahankan dalam bentuknya yang singkat itu (Rasyid dan
Gani, 2013).
c. Mengadakan Reproduksi
Dengan mempergunakan catatan-catatan sebagai yang
diperoleh pada langkah kedua dan kesan umum yang diperoleh pada
langkah pertama, maka penulis sudah siap untuk memuat ringkasan
yang dimaksud. Jika catatan yang dibuat sesuai dengan urutan dalam
karangan asli, maka soal urutan isi tidak menjadi masalah. Penulis
ringkasan harus menyusun kalimat-kalimat baru, merangkaikan
semua gagasan tadi ke dalam suatu wacana yang jelas, dan dapat
diterima akal sehat, serta sekaligus menggambarkan kembali isi dari
karangan aslinya (Rasyid dan Gani, 2013).
d. Ketentuan Tambahan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ringkasan
diterima sebagai suatu tulisan yang baik.
1) Sebaiknya dalam menyusun ringkasan dipergunakan kalimat
tunggal daripada kalimat majemuk. Kalimat majemuk
menunjukkan bahwa ada dua gagasan atau lebih yang bersifat
paralel.
2) Bila mungkin ringkaskanlah kalimat menjadi frasa, frasa menjadi
kata. Begitu pula rangkaian gagasan yang panjang hendaknya
diganti dengan suatu gagasan sentral saja. Hal ini tidak berarti
bahwa cara kerja ringkasan hanya merupakan ringkasan kalimat-
kalimat saja.
2. Dasar Resensi
Penulis harus memperhatikan dua faktor untuk memberikan
pertimbangan atau penilaian secara obyektif atas sebuah hasil karya
atau buku, yaitu: resensi harus memahami sepenuhnya tujuan dari
pengarang aslinya dan harus menyadari sepenuhnya apa maksudnya
membuat resensi. Tujuan pengarang buku yang dibuat resensinya itu
dapat diketahui dari kata pengantar atau bagian pendahuluan buku
itu. Penulis resensi harus menemukan apa tujuan pengarang dalam
menulis buku tersebut (Rasyid dan Gani, 2013).
Dengan menilai kaitan antara tujuan sebagaimana ditulis dalam
kata pengantar atau pendahuluan serta realisasinya dalam seluruh
karangan itu, penulis resensi akan mempunyai bahan yang cukup
kuat untuk menyampaikan sesuatu kepada para pembaca. Singkatnya,
penulis resensi harus benar-benar memperhatikan kewajiban mana
yang harus dipenuhinya dalam membuat resensi itu, yaitu
kewajibannya terhadap pembaca dan bagaimana penilaiannya atas
buku tersebut (Rasyid dan Gani, 2013).
3. Sasaran–sasaran Resensi
Untuk membuat suatu resensi yang baik, penulis harus
menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai. Umumnya, tidak ada
ketentuan yang memuaskan semua orang bagaimana seharusnya
bentuk sebuah resensi yang baik. Namun demikian, dapat diberi
beberapa pokok untuk dijadikan sasaran penilaian itu. Pokok-pokok
yang dapat dijadikan sasaran penilaian sebuah buku atau karya
adalah sebagai berikut ini.
c. Keunggulan Buku
Faktor yang dipergunakan untuk memberi evaluasi adalah
mengemukakan segi-segi yang menarik dari buku tersebut. Buku-
buku yang sama jenisnya bisa menunjukkan perbedaan yang sangat
besar, baik dalam segi penulisan maupun dalam segi penetapan
pokok yang khusus. Buku-buku yang nonfiktif sangat berbeda satu
sama lain, sehingga menyebabkan perbedaan nilai dan keunggulan
yang dimiliki masing-masing buku. Mengenai keunggulan buku,
penulis resensi lebih dahulu mempertimbangkan dan mempersoalkan
cara pengorganisasiannya. Organisasi adalah kerangka buku dan
hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Apakah
hubungan itu harmonis, jelas, dan memperlihatkan perkembangan
yang masuk akal. Untuk menilai dari dekat sebuah buku, penulis
resensi mempersoalkan bagaimana isinya. Seorang pengarang
misalnya sangat cermat dalam memberikan detail-detailnya,
sedangkan pengarang-pengarang yang lain tampaknya agak kurang
pas dalam detail-detailnya, tetapi lebih cermat dalam memberikan
sugesti-sugesti dan kesimpulan.
4. Prinsip Resensi
Beberapa hal berikut kiranya harus diperimbangkan dan
diperhatikan dalam membuat resensi:
a. Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam, dan akurat
b. Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, dan tidak konotatif.
c. Format dan isi resensi harus disesuaikan dengan kompetensi,
minat, dan motivasi pembaca.
d. Objektif, seimbang, dan proposional dalam menyampaikan
timbangan terhadap buku atau hasil karya (Rasyid dan Gani,
2013).
5. Unsur-unsur Resensi
Berikut ini disajikan beberapa unsur yang harus dijadikan
pertimbangan dalam meresensi:
a. Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
b. Latar belakang penulisan dan pengalaman penulis
c. Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
d. Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
e. Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresesnsi
f. Jenis buku atau karya karya yang sedang diresensi
g. Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
h. Kelemahan buku atau karya yang sedang diresensi (Rasyid dan
Gani, 2013).
b. Harapan Pembaca
Setelah membaca resensi, diharapkan pembaca akan merasa
terbantu mendapatkan informasi yang diperlukan. Pembaca akan
melihat gambaran keseluruhan isi, informasi tentang buku, dan
kualitas buku tanpa melihat dahulu buku tersebut (Rasyid dan Gani,
2013).
d. Materi Tulisan
Penulis resensi harus memaparkan materi yang ada dalam buku
yang akan mencapai target sasaran pembacanya. Penulis resensi
harus dapat menjembatani kemauan penulis dan keinginan pembaca
(Rasyid dan Gani, 2013).
A. Kutipan
1. Pengertian Kutipan
Kutipan adalah pernyataan pendapat dari seseorang ataupun
pengarang, baik berupa tulisan dalam buku, majalah, surat kabar,
atau dalam bentuk tulisan lainnya maupun dalam bentuk lisan.
Kutipan dapat digunakan sebagai bukti menunjang pendapat dalam
sebuah tulisan (Ulya dan Jaya, 2015). Kutipan juga dapat diambil
dari pernyataan lisan dalam sebuah wawancara, ceramah, dan pidato.
Namun, kutipan dari pernyataan lisan ini harus dikonfirmasikan dulu
kepada narasumbernya sebelum dicantumkan dalam tulisan. Pada
dasarnya, kutipan ditulis sebagai bukti dari teori-teori atau hal-hal
yang hendak mereka sampaikan. Referensi juga ditulis untuk
melengkapi karya tulis yang ditulis. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam mencantumkan kutipan, yaitu:
a. Cantumkan nama pengarang dan tahun terbit dengan format yang
ditentukan
b. Untuk kutipan langsung, nomor halaman buku atau jurnal atau
majalah atau artikel harus disebutkan
c. Untuk kutipan tidak langsung, nomor halaman boleh disebutkan
ataupun tidak
d. Gunakan tanda baca “..” diantara tahun dan nomor halaman,
diketik tanpa spasi
2. Fungsi Kutipan
Kutipan memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai
berikut:
a. Sebagai landasan teori
3. Jenis-Jenis Kutipan
a. Kutipan Langsung
Kutipan langsung (direct quotation) adalah kutipan hasil
penelitian, hasil karya atau pendapat orang lain yang penyajiannya
sama persis dengan teks aslinya (yang dikutip). Dalam merujuk
sumber kutipan teks utama, sebutkan referensinya dengan
menuliskan nama pengarang, tahun penerbitan dan nomor
halamannya (Ulya dan Jaya, 2015). Kutipan langsung dibagi
menjadi:
1) Kutipan langsung kurang dari atau sama dengan 4 baris. Kutipan
ini akan dimasukkan dalam teks dengan cara diintegrasikan
dengan teks, menggunakan jarak dua spasi, diapit dengan tanda
petik (“..”) serta sesudah kutipan selesai diberi urut penunjukkan
setengah spasi ke atas (catatan kaki), atau dalam kurung
ditempatkan nama pengarang, tahun terbit, dan nomor halaman
tempat kutipan tersebut.
Contohnya:
Supaya tulisan kita mudah dipahami orang lain, maka kita
hendaknya membuat kalimat yang efektif. Yang dimaksud
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 245
dengan kalimat efektif itu yang bagaimana? “Kalimat efektif
adalah kalimat yang dengan sadar atau sengaja disusun untuk
mencapai daya informasi yang tepat dan baik”
(Parera,1988:42). Dengan demikian…..
Contohnya:
Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan
ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus
terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan
kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat,
merekam, meyakinkan, menegaskan, melaporkan,
menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud
dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh
para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan
pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas,
lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada
pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan
struktur kalimat (Kurniawan 2006:122).
Contohnya:
Kalimat yang baik adalah yang menunjukkan kesatuan
gagasan, atau hanya mengandung satu ide pokok. Bila ada
dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan digabungkan,
maka akan merusak kesatuan pikiran (Keraf, 1994 :36).
7) Terjemahan
Kotler, Philip. (1997). Manajemen pemasaran: Analisis,
perencanaan, implementasi (Hendra Teguh & Ronny
Antonius Rusli, Penerjemah.). Jakarta: Prenhallindo.
b. Serial
1) Artikel Jurnal
Clark, L.A., Kochanska, G., & Ready, R. (2000). Mothers’
personality and its interaction with child temperament as
predictors of parenting behavior. Journal of Personality
and Social Psychology, 79, 274-285.
2) Artikel Majalah
Greenberg, G. (2001, August 13). As good as dead: Is there
really such a thing as brain death? New Yorker, 36-
41.
c. Wawancara
White, Donna. (1992, December 25). Personal interview.
3) Kaset Audio
McFerrin, Bobby (Vocalist). (1990). Medicine music [Audio
Recording]. Hollywood, CA: EMI-USA.
e. Publikasi Elektronik
1) Karya Lengkap
McNeese, M.N. (2001). Using technology in educational
settings. October 13, 2001. University of Southern
Mississippi, Educational Leadership and Research.
http://www.dept.usm.eduatau~edaatau
4) Dokumen Lembaga
NAACP (1999, February 25). NAACP calls for Presidential
order to halt police brutality crisis. June 3, 2001.
http://www.naacp.orgataupresidentataureleasesataupolice
_brutality.htm
7) Email
Wilson, R.W. (1999, March 24). Pennsylvania reporting data.
Child Maltreatment Research. March 30, 1999. CHILD-
MALTREATMENT-R-L@cornell.edu
8) CD-ROM
Ziegler, H. (1992). Aldehyde. The Software Toolworks
multimedia encyclopedia (CD- ROM version 1.5).
Boston: Grolier. Januari 19, 1999. Software
Toolworks. Nickell, Stephen J. (August 1996).
Competition and corporate performance. The Journal
of Political Economy, 104(4), 724-747. December 15,
2003. Proquest Database (CD-ROM).
C. Catatan Kaki
1. Pengertian Catatan Kaki
Catatan kaki adalah daftar keterangan-keterangan atas teks
atau naskah atau tulisan yang ditempatkan pada kaki halaman tulisan
yang bersangkutan. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan
keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan atau sebagai
Contohnya:
1
Lightstone Caroll, Configuration on the Art, New York: Harper
Lid., 2000, Jilid I, hlm 32.
A. Batasan Surat
Surat adalah sarana komunikasi yang digunakan untuk
menyampaikan informasi tertulis oleh suatu pihak kepada pihak lain.
Informasi yang disampaikan itu dapat berupa pemberitahuan,
pernyataan, serta perintah dan permintaan atau laporan. Hubungan
yang terjadi antara pihak-pihak tersebut disebut dengan surat-
menyurat atau korespondensi. Dengan kata lain, surat-menyurat itu
merupakan salah satu kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam
komunikasi tertulis (Rasyid dan Gani, 2013).
B. Fungsi Surat
Selain sebagai sarana komunikasi, surat juga berfungsi
sebagai:
1. Alat untuk menyampaikan pemberitahuan, permintaan atau
permohonan, buah pikiran atau gagasan;
2. Alat bukti tertulis, misalnya surat perjanjian;
3. Alat untuk mengingat, misalnya surat-surat yang diarsipkan;
4. Bukti historis, misalnya surat-surat yang bersejarah;
5. Pedoman kerja, misalnya surat keputusan dan surat perintah.
C. Jenis Surat
Jika dilihat dari segi bentuk, isi, dan bahasanya, maka surat
dapat digolongkan atas tiga jenis, yaitu (1) surat pribadi, (2) surat
dinas, dan (3) surat niaga. Ciri-ciri yang dimiliki oleh ketiga jenis
surat itu dapat dikemukakan sebagai berikut.
2. Surat Dinas
Surat dinas atau surat resmi ialah segala komunikasi tertulis
yang menyangkut kepentingan tugas dan kegiatan kedinasan suatu
instansi. Surat dinas merupakan salah satu alat komunikasi kedinasan
yang sangat penting dalam pengelolaan administrasi, seperti:
penyampaian berita tertulis yang berisi pemberitahuan, penjelasan,
permintaan, pernyataan pendapat dari instansi kepada instansi lain
dan dari instansi kepada perorangan atau sebaliknya (Rasyid dan
Gani, 2013).
3. Surat Niaga
Surat niaga adalah surat yang dipergunakan orang atau badan
yang menyelenggarakan kegiatan usaha niaga, seperti perdagangan,
perindustrian, dan usaha jasa (misalnya, perusahaan angkutan,
perusahaan bangunan, perusahaan asuransi, dan perbankan).
Korespondensi tergolong ke dalam jenis ini adalah koperasi dan
perusahaan Negara.
Dalam dunia usaha dikenal bermacam-macam surat niaga,
misalnya surat penawaran, surat pesanan, surat pembayaran, surat
penagihan, surat pengiriman barang, surat pengaduan, dan surat
proporsi penjualan. Surat niaga memegang peranan penting dalam
dunia usaha karena sebagian besar hubungan dengan pihak luar
dilakukan melalui surat-menyurat. Oleh karena itu, surat niaga harus
D. Bentuk Surat
Bentuk surat adalah pola surat menurut susunan letak bagian-
bagian surat. Setiap bagian surat itu amat penting peranannya sebagai
identifikasi atau petunjuk pengelolaan surat. Bentuk surat adalah
penempatan tanggal, nomor, salam pembuka, salam penutup,
tembusan, dan lain-lain. Ada beberapa faktor dalam memilih bentuk
surat, yaitu sebagai berikut ini.
1. Faktor Kemudahan
a. Penulisan bagian-bagian surat yang berbentuk lurus lebih
mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan bentuk bertekuk.
Hal ini dapat dipahami karena pada bentuk lurus setiap
penggantian baris tidak perlu menggeser-geser pias kiri.
b. Penulisan alamat di sebelah kiri, selain lebih mudah karena
dimulai dari pias kiri yang lurus, juga memiliki posisi yang
lebih leluasa ke sisi sebelah kanan sehingga kemungkinan
pemenggalan bagian alamat (yang tidak layak) tidak terjadi.
c. Kemudahan bagi pembaca atau penerima surat perlu juga
diperhatikan (Rasyid dan Gani, 2013).
2. Faktor Kehematan
a. Pada penulisan surat menurut bentuk lurus penuh semua
bagian surat ditulis dari garis pias kiri. Jika dilihat dari faktor
3. Faktor Keserasian
a. Susunan letak bagian-bagian surat dapat membuat bentuk surat
itu tampak serasi dan kadang-kadang juga tidak serasi. Oleh
karena itu, kepandaian menyusun atau menata bagian-bagian
surat sangat diperlukan.
b. Ukuran kertas dan formal surat yang memiliki perimbangan
yang tepat dapat menambah keserasian bentuk surat.
c. Pemilihan format surat sangat menentukan keserasian bentuk
surat.
Contoh:
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun
Jakarta 13220
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 267
Kotak Pos 2625 Telepon 4896558, 4894564, 4894584
Contoh:
KEPALA SURAT
Contoh:
Nomor : 110/U/PPHPBI/1990
Lampiran : Satu Berkas
Hal : Permohonan tenaga pengajar
Contoh:
Yth. Bapak Sukoco
Contoh:
Salam Pembuka
1. Salam Sejahtera,
2. Saudara . . . yang terhormat,
3. Assalamualaikum W.W.,
4. Salam Pramuka,
5. Salam Perjuangan,
6. Merdeka,
7. Dengan Hormat,
Salam Penutup
1. Hormat saya,
2. Hormat Kami,
3. Salam Takzim,
4. Wasalam,
F. Bahasa Surat
1. Surat sebagai Sebuah Karangan
Surat adalah suatu karangan, tentu sebuah karangan perlu
diperhatiakan pada waktu kita menulis surat. Ketentuan-ketentuan
yang perlu diperhatikan dalam sebuah karangan, antara lain
mengenai paragraf, kalimat, pilihan kata, kompisisi, dan ejaaan.
Tidak sedikit kesalahan dalam isi surat yang disebakan oleh
kesalahan ejaan. Hampir setiap aspek ejaan dijumpai kesalahan
pemakaiannya dalam surat-menyurat (Rasyid dan Gani, 2013).
3. Kalimat
Kalimat dalam surat hendaklah singkat, jelas, dan tegas
mengingat sebuah surat hanya terdapat suatu pokok pikiran. Kalimat
yang terlalu banyak kata akan menjadikan kalimat itu berbelit-belit
dan panjang, sehingga bahasa surat menjadi tidak baik. Singkat,
berarti tidak panjang, sedangkan jelas, maksudnya terlihat adanya
unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. Tegas, menunjukkan
informasi yang disampaikan dapat dipahami (Rasyid dan Gani,
2013).
A. Hakikat Pidato
1. Pengertian Pidato
Pidato adalah kegiatan berbicara satu arah di depan umum
untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan gambaran atau suatu
masalah kepada pendengar untuk mencapai dan menyampaikan suatu
tujuan tertentu. Misalnya, untuk bermusyawarah, memberikan
rujukan, dan menyampaikan kebijakan. Pidato dapat disampaikan
dalam situasi formal dan non-formal melalui rangkaian kata yang
tersusun dengan sistematis dengan bahasa lisan sebagai media utama.
Pidato bertujuan memberi pemahaman atau informasi dengan rasa
percaya diri untuk mempengaruhi pendengar agar mengikuti ajakan
pembicara secara sukarela (Arief dan Noveria, 2013).
2. Fungsi Pidato
Fungsi pidato antara lain:
a. Menyampaikan informasi (informatif)
b. Menghibur atau menyenangkan hati pendengar (rekreatif)
c. Meyakinkan pendengar (argumentatif)
d. Membujuk atau mempengaruhi pendengar (persuasif)
3. Jenis-Jenis Pidato
Berdasarkan tujuannya, pidato dapat digolongkan menjadi
beberapa jenis sebagai berikut:
a. Pidato Informasi
Pidato informasi adalah pidato yang dilakukan dengan tujuan
menginformasikan, memberitahukan, dan menjelaskan sesuatu.
Suasana yang serius dan tertib benar-benar dibutuhkan pada jenis
pidato ini karena perhatian akan dipusatkan pada pesan yang akan
disampaikan oleh pembicara. Dalam hal ini, orang yang berpidato
haruslah orang yang dapat berbicara dengan jelas, sistematis, dan
tepat isi agar informasi yang disampaikan benar-benar terjaga
keakuratannya. Dengan demikian, pendengar akan berusaha
menangkap informasi dengan jelas. Contohnya, pidato Ketua Umum
Pemilu mengenai hasil pemilihan suara (Arief dan Noveria, 2013).
b. Pidato Persuasi
Pidato persuasi merupakan pidato yang bertujuan untuk
meyakinkan pendengar tentang sesuatu. Pada jenis pidato ini, orang
yang berpidato benar-benar dituntut memiliki keterampilan berbicara
yang baik karena ia bertugas untuk mengubah sikap pendengarnya
dari tidak setuju dan tidak mau membantu menjadi setuju dan mau
membantu. Seorang yang akan berpidato harus melandaskan isi
pembicaraannya pada argumentasi yang nalar, logis, masuk akal, dan
dapat dipertanggungjawabkan. Contohnya, pidato pimpinan partai di
daerah yang kurang menyenangi atau kurang mendukung partai
tersebut (Arief dan Noveria, 2013).
4. Metode Pidato
Berdasarkan cara penyampaiannya terdapat empat metode
pidato, yaitu:
a. Metode Impromptu
Metode impromptu adalah metode pidato berdasarkan
kebutuhan sesaat, tidak ada persiapan. Orang yang berpidato secara
serta merta berbicara atau berpidato berdasarkan pengetahuan dan
kemahirannya. Keuntungan metode ini adalah lebih mengungkapkan
perasaan pembicara, gagasan datang secara spontan, dan
memungkinkan pembicara terus berpikir. Namun, metode pidato ini
juga memiliki beberapa kerugian, yaitu menimbulkan kesimpulan
yang mentah, mengakibatkan penyampaian tidak lancar, gagasan
yang disampaikan tidak teratur serta dapat mengakibatkan demam
panggung (Arief dan Noveria, 2013).
b. Metode Menghafal
Metode menghafal adalah metode pidato yang terlebih dahulu
dilakukan dengan cara menulis naskah dan mengikuti aturan-aturan
penulisan naskah pidato. Setelah itu, naskah pidato tersebut
dihafalkan kata demi kata. Keuntungan dalam metode pidato ini
adalah kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya serta gerak dan isyarat
yang diintegrasikan dengan uraian menjadi teratur. Namun, kerugian
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 275
metode ini adalah komunikasi pendengar akan berkurang karena
pembicara beralih pada usaha untuk mengingat kata-kata. Selain itu,
metode ini juga memerlukan banyak waktu (Arief dan Noveria,
2013).
c. Metode Naskah
Metode naskah adalah metode pidato yang dilakukan dengan
cara membaca naskah yang telah dipersiapkan. Cara atau metode ini
biasanya dilakukan dalam pidato-pidato yang bersifat resmi.
Keuntungan menggunakan metode ini adalah kata-kata dapat dipilih
sebaik-baiknya, pernyataan dapat dihemat, dan kefasihan bicara
dapat dicapai. Namun, kerugian menggunakan metode pidato ini
adalah komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara
tidak berbicara langsung pada mereka, pembicara tidak dapat melihat
pendengar dengan baik, serta pembuatan pidato lebih lama (Arief dan
Noveria, 2013).
d. Metode Ekstemporan
Metode ini adalah metode pidato yang dilakukan dengan
menggunakan catatan-catatan penting sejenis kerangka sebagai
pedoman. Dengan menggunakan kerangka tersebut, si pembicara
atau orang yang berpidato dengan bebas berbicara dan bebas
memilih kata-kata sendiri. Kerangka tersebut hanya digunakan untuk
mengingat urutan-urutan ide. Keuntungan menggunakan metode
pidato ini adalah komunikasi pembicara dengan pendengar lebih baik
serta pesan dapat bersifat fleksibel. Kerugian metode ini adalah
kemungkinan menyimpang dari garis besar serta kefasihan terhambat
karena kesukaran memilih kata-kata (Arief dan Noveria, 2013).
5. Persiapan Pidato
Sebelum memberikan pidato di depan umum, ada baiknya
untuk melakukan 7 langkah berikut ini:
276 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
a. Merumuskan tujuan pidato
b. Menganalisis pendengar dan situasi
c. Memilih dan menyempitkan topik
d. Mengumpulkan bahan
e. Membuat kerangka (outline)
f. Menguraikan isi pidato secara terperinci
g. Berlatih dengan suara nyaring
h. Mengetahui siapa pendengar yang dihadapi, sikap yang harus
diperhatikan, yaitu:
1) Menguasai materi pidato
2) Pandangan menyeluruh kesetiap bagian ruangan
3) Sikap badan tegak, tetapi tidak kaku
4) Sesekali gunakan gerakan tangan, kepala, dan mata untuk
memperjelas pidato
5) Jangan lupa untuk selalu tersenyum
6) Tidak terburu-buru
7) Ucapkan pidato dengan suara lantang (Arief dan Noveria,
2013).
c. Mengadakan Reproduksi
Pakailah kesan umum dan hasil pencatatan untuk membuat
ringkasan. Urutan isi disesuaikan dengan naskah asli, tetapi kalimat-
kalimat dalam ringkasan yang dibuat adalah kalimat-kalimat baru
yang sekaligus menggambarkan kembali isi dari karangan aslinya.
Apabila gagasan yang telah dicatat ada yang masih kabur, silakan
melihat kembali teks aslinya, tetapi jangan melihat teks asli lagi
untuk hal lainnya agar Anda tidak tergoda untuk menggunakan
kalimat dari penulis asli. Kalimat penulis asli hanya boleh digunakan
apabila kalimat itu dianggap penting karena merupakan kaidah,
kesimpulan, atau perumusan yang padat (Arief dan Noveria, 2013).
d. Ketentuan Tambahan
Setelah melakukan langkah ketiga, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan agar ringkasan itu diterima sebagai suatu
tulisan yang baik. Hal-hal yang dimaksud antara lain:
1) Susunlah ringkasan dalam kalimat tunggal daripada kalimat
majemuk.
2) Ringkaskanlah kalimat menjadi frasa, frasa menjadi kata. Jika
rangkaian gagasan panjang, gantilah dengan suatu gagasan sentral
saja.
3) Besarnya ringkasan tergantung jumlah alinea dan topik utama
yang akan dimasukkan dalam ringkasan. Ilustrasi, contoh,
deskripsi, dan sebagainya dapat dihilangkan, kecuali yang
dianggap penting (Arief dan Noveria, 2013).
B. Hakikat Ceramah
1. Pengertian Ceramah
Ceramah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pidato
yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk-petunjuk.
Dengan melihat kepada pengertian di atas, ceramah dapat diartikan
sebagai bentuk dari dakwah, yaitu dakwah, bil-kalam yang berarti
penyampaian ajaran-ajaran atau nasihat dan mengajak seseorang
untuk berbuat baik melalui penyampaian lisan (Arief dan Noveria,
2013).
2. Macam-Macam Ceramah
Ada beberapa pembagian ceramah, yaitu:
a. Ceramah Umum
Ceramah umum merupakan pesan yang bertujuan memberikan
nasihat dan petunjuk-petunjuk untuk siapa saja, khalayak ramai,
masyarakat luas, atau lazim. Ceramah umum merupakan pidato yang
bertujuan untuk memberikan nasihat kepada khalayak umum atau
masyarakat luas. Ceramah umum bersifat menyeluruh. Tidak ada
batasan-batasan apapun baik dari audien yang tua maupun muda,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 281
materinya yang ditentukan, dan disesuaikan dengan tema acara (Arief
dan Noveria, 2013).
b. Ceramah Khusus
Ceramah khusus berarti cermah yang bertujuan untuk
memberikan nasehat-nasehat kepada mad’u atau khalayak tertentu
dan juga bersifat khusus baik itu materi maupun yang lainnya.
Ceramah khusus memiliki batasan-batasan yang dilihat dari segi
audien yang diinginkan dan materi yang disesuaikan dengan keadaan.
Contohnya, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) seperti Isra’ Miraj,
maulid nabi, bulan puasa dll (Arief dan Noveria, 2013).
2. Komponen Ceramah
Komponen-komponen atau unsur-unsur ceramah adalah
sebagai berikut:
a. Da’i (Penceramah)
Seorang da’i atau penceramah harus mengetahui bahwa dirinya
adalah seorang da’i atau penceramah. Artinya, sebelum menjadi
penceramah, seseorang perlu mengetahui apa saja tugas penceramah.
(Arief dan Noveria, 2013).
b. Mad’u
Mad’u atau audien merupakan sebagai penerima nasihat-
nasihat. Audien merupakan bermacam-macam kelompok manusia
yang berbeda mulai dari segi intelektualitas, status ekonomi, status
sosial, pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain (Arief dan Noveria,
2013).
c. Materi
Penceramah harus dapat memiliki bahan yang tepat atau
menarik agar si mad’u tertarik, dan sesuai dengan pokok acara.
Materi yang akan disampaikan harus betul-betul dikuasai sehingga
3. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah sebuah metode yang bertujuan
menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada
audien yang pada umumnya mengikuti secara pasif (Syah, 2000).
Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang
paling ekonomis untuk menyampaikan informasi. Metode ceramah
paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan
yang sesuai dengan jangkauan (Arief dan Noveria, 2013).
C. Hakikat Diskusi
1. Pengertian Diskusi
Diskusi berasal dari bahasa latin yaitu discutio atau discusium
yang artinya bertukar pikiran. Akan tetapi, belum tentu setiap
kegiatan bertukar pikiran dapat dikatakan berdiskusi. Diskusi pada
dasarnya merupakan suatu bentuk tukar pikiran yang teratur dan
terarah, baik dalam kelompok kecil atau besar, dengan tujuan untuk
mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama
mengenai suatu masalah. Dengan demikian, bertukar pikiran baru
dapat dikatakan berdiskusi apabila:
a. Ada masalah yang dibicarakan
b. Ada seseorang yang bertindak sebagai pemimpin diskusi
c. Ada peserta sebagai anggota diskusi
d. Setiap anggota mengemukakan pendapatnya dengan teratur
e. Kalau ada kesimpulan atau keputusan hal itu disetujui oleh
semua anggota
3. Jenis-Jenis Diskusi
Diskusi melibatkan sejumlah massa sehingga terjadi interaksi
massa. Ada beberapa bentuk diskusi yang sering dijumpai dalam
praktik, antara lain sebagai berikut ini.
a. Diskusi Kelompok (Buzz Group)
Diskusi kelompok merupakan bentuk tukar pikiran dalam
musyawarah. Diskusi ini sangat tepat dilaksanakan jika pesertanya
cukup banyak. Masalah yang didiskusikan adalah masalah yang
menyangkut kepentingan bersama. Jumlah peserta terdiri atas 5
sampai 7 orang dan dipimpin oleh seorang ketua. Masing-masing
menyumbangkan dan menilai pendapat yang diajukan dalam diskusi
itu. Buah pikiran dan pendapat yang diajukan dipecahkan bersama-
sama, sehingga terbatas pada satu masalah. Diskusi kelompok
biasanya bertujuan untuk melatih kemampuan berbicara siswa atau
mahasiswa (Arief dan Noveria, 2013). Sebagai latihan permulaan
dalam berbicara diskusi memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
1) Melatih siswa atau mahasiswa berpikir secara logis karena
dalam diskusi ada proses adu argumen;
2) Argumentasi yang dikemukakan dinilai anggota lain, untuk
286 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
meningkatkan kemampuan berpikir;
3) Umpan balik dapat diterima langsung, sehingga dapat
memperbaiki cara berbicara;
4) Peserta yang pasif dapat dirangsang oleh pemandu atau peserta
lain; dan
5) Para peserta diskusi turut mempertimbangkan gagasan-gagasan.
b. Diskusi Panel
Diskusi ini pada prinsipnya melibatkan beberapa panelis yang
mempunyai keahlian dalam bidang masing-masing dan bersepakat
mengutarakan pendapat mengenai suatu masalah untuk kepentingan
pendengar. Panel dipimpin oleh seorang pemandu (moderator). Para
panelis tidak selalu satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat lebih
merangsang para pendengar. Dengan mendengarkan beberapa
pendapat para ahli, pendengar akan dibimbing ke arah berpikir secara
kritis dan melatih kemampuan menganalisis masalah. Keberhasilan
diskusi panel sangat tergantung pada kelincahan pemandu. Jika
semua panelis selesai berbicara, pemandu memberikan kesempatan
kepada pendengar (forum) untuk memberikan tanggapan, maka
diskusi ini berubah nama menjadi diskusi panel forum (Arief dan
Noveria, 2013).
d. Seminar
Seminar merupakan suatu pertemuan untuk membahas suatu
masalah tertentu dengan tanggapan melalui suatu diskusi. Masalah
yang dibahas dalam seminar mempunyai ruang lingkup yang terbatas
dan tertentu. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan jalan keluar dari
suatu masalah. Oleh sebab itu, peserta seminar terdiri dari orang-
orang yang berkecimpung dalam masalah tersebut, sehingga dapat
memberikan pendapat untuk memecahkan masalah. Seminar harus
diakhiri dengan kesimpulan atau keputusan, baik berbentuk usul,
saran, resolusi atau rekomendasi. Biasanya yang menjadi pemakalah
atau pemrasaran dalam seminar adalah orang yang dianggap ahli
tentang masalah yang didiskusikan (Arief dan Noveria, 2013).
e. Simposium
Simposium hampir sama dengan panel. Pemrasaran
menyampaikan makalah atau pembicaraan tentang suatu masalah
yang disorot dari sudut keahlian masing-masing. Pemrasaran dalam
simposium ini adalah orang yang ahli. Masalah yang dibahas
mempunyai ruang lingkup yang luas, sehingga perlu ditinjau dari
f. Kolokium
Kolokium adalah sejenis diskusi yang proses pelaksanaannya
tidak dimulai dengan membacakan atau menyajikan makalah oleh
pemrasaran atau pembicara, dan tidak dimulai dengan ceramah oleh
pemrasaran. Dalam kolokium, diskusi langsung dimulai dengan
tanya-jawab oleh peserta kepada pemrasaran sesuai dengan bidang
keahlian atau kepakaran pemrasaran tersebut. Pemrasaran dan
kolokium itu adalah ahli atau pakar di bidangnya, seperti psikolog,
antropolog, pengamat politik, kriminolog, dan sebagainya (Arief dan
Noveria, 2013).
g. Lokakarya
Istilah lain lokakarya adalah workshop. Masalah yang dibahas
mempunyai ruang lingkup tertentu dan dibahas secara mendalam.
Pesertanya adalah orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.
Dalam lokakarya masalah dibahas melalui tanggapan atau prasaran,
serta diskusi secara mendalam. Sebaiknya, diikuti dengan
demonstrasi atau peragaan. Biasanya, lokakarya diikuti oleh
sekelompok orang yang bergerak dalam lingkungan kerja yang
sejenis atau seprofesi. Lokakarya biasanya diadakan apabila :
1) Ingin mengevaluasi suatu proyek yang sudah dilaksanakan
2) Ingin mengadakan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat
3) Untuk bertukar pengalaman dengan tujuan dan meningkatkan
kemampuan kerja (Arief dan Noveria, 2013).
i. Debat
Pada hakikatnya, debat adalah suatu kegiatan saling adu
argumentasi antarpribadi atau antarkelompok yang mencoba
menjatuhkan lawannya supaya pihaknya berada pada posisi yang
benar. Debat adalah diskusi yang terdiri atas dua kelompok yang
saling bertentangan pendapat. Kelompok pertama berpendapat positif
(proside) dan kelompok kedua kelompok berdampak negatif (contra-
side, mengenai suatu masalah yang diperdebatkan.
Debat dimulai dengan meneliti pendapat dan posisi
argumentatif lawan bicara. Setelah itu, berkonsentrasi pada titik
lemah argumentasi lawan. Debat ini ada 2, yaitu debat Inggris dan
debat Amerika. Debat Inggris diawali dengan pembicaraan dari 2
orang juru bicara masing-masing kelompok secara bergantian
menyatakan pendapatnya, setelah itu diikuti dengan diskusi yang
lain. Penentuan pemenang dalam debat ini dilakakukan dengan
pemungutan suara. Sebaliknya, debat Amerika, pelaksanaannya
dibagi atas 2 ronde. Setelah kedua ronde selesai, pemenang debat
ditentukan oleh juri (Arief dan Noveria, 2013).
Badudu, Yus 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang benar II. Jakarta:
Gramedia.