Anda di halaman 1dari 295

BAB I

HAKIKAT BAHASA INDONESIA

A. Definisi Bahasa
Gorys Keraf menyatakan bahwa dari segi fungsinya bahasa
dapat didefinisikan sebagai alat komunikasi. Berbeda dengan Pateda
dan Kencono yang mendefinisikan bahasa bertolak dari sosok bahasa
itu sendiri. Menurut Pateda (1990:6), bahasa adalah seperangkat
bunyi yang bermakna, bersifat individual dan kooperatif, serta alat
yang ampuh untuk menghubungkan dunia seseorang dengan dunia di
luar dirinya. Sependapat dengan Pateda, Kencono (1997:2)
mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer dan digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk
berkomunikasi.
Terkait dengan pengertian bahasa tersebut, Nasr (dalam Oka,
1994:4) menyatakan bahwa bahasa itu sebagai berikut: (1) bekerja
secara sistematis dan teratur, (2) pada dasarnya berupa bunyi dan
simbol-simbol bunyi yang mewakili makna karena simbol-simbol itu
dihubungkan dengan situasi dan pengalaman kehidupan, dan (3)
memiliki fungsi sosial karena tanpa fungsi sosial tersebut masyarakat
tidak mungkin ada. Menurut Finocchiaro (dalam Muliastuti,
2009:1.6), bahasa adalah satu sistem simbol yang arbitrer yang
digunakan untuk berkomunikasi oleh semua orang dalam satu
kebudayaan tertentu atau oleh orang lain yang telah mempelajari
sistem kebudayaan tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Wardhaugh (dalam Muli
astuti, 2009:1.6) yang menyatakan bahwa bahasa adalah satu simbol
vokal arbitrer yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat dipahami bahwa bahasa
merupakan segala ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 1


yang telah disepakati dan bertujuan untuk berkomunikasi dan
berinteraksi (Ratna, 2013).

B. Karakteristik Bahasa
Bertolak dari definisi bahasa yang dikemukakan oleh Pateda
dan Kencono, maka dapat diidentifikasi bahwa ciri bahasa, antara
lain: (1) sistem, (2) lambang, (3) bunyi, (4) arbitrer. Selain itu, Chaer
(2010:33) menambahkan delapan ciri lagi, yaitu (1) bermakna, (2)
konvensional, (3) unik, (4) universal, (5) produktif, (6) bervariasi, (7)
dinamis, dan (8) manusiawi. Dengan demikian, ada dua belas ciri
bahasa. Kedua belas ciri bahasa yang dimaksud, yaitu: (1) bahasa itu
sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi,
(4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa
itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu
bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu
bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, dan (12) bahasa itu
bersifat manusiawi (Ratna, 2013).

1. Bahasa itu Sistem


Sistem dalam konteks ini adalah susunan teratur, berpola, dan
membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem
dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang saling terkait
secara fungsional. Bahasa disebut sistem karena bahasa memiliki
aturan atau pola. Aturan atau pola dalam bahasa bisa dipelajari.
Misalnya, pada konstruksi “Lulu mem... seekor ....” unsur predikat
dan objek sebagian dihilangkan. Sebagai penutur bahasa Indonesia,
kita dapat memahami bahwa konstruksi tersebut merupakan bahasa
Indonesia yang benar. Dengan memahami pola konstruksi tersebut,
maka dapat diperkirakan bahwa unsur predikat yang dihilangkan
adalah sebuah kata kerja yang diawali dengan fonem /b/. Begitu juga
dengan unsur objek yang dihilangkan adalah sebuah kata benda

2 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


berwujud binatang. Dengan memahami polanya, konstruksi tersebut
lengkapnya seperti berikut ini.
(1) Lulu membeli seekor ayam.
(2) Lulu membakar seekor ikan.
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis.
Sistematis artinya bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tertata
menurut suatu pola tertentu dan membentuk satu kesatuan.
Sebagaimana yang dicontohkan di atas, dengan mudah dapat diduga
bunyi kalimat tersebut secara utuh. Hal itu disebabkan unsur-unsur
dalam bahasa diatur menurut pola-pola yang berulang sehingga kalau
salah satu unsur saja yang ada, dapat diramalkan unsur lain secara
keseluruhan. Menurut Oka (1994:11), bahasa bersifat sistematis,
artinya dalam bahasa itu terdapat aturan yang harus dipatuhi. Lebih
lanjut lagi, Oka (1994:11) menyatakan bahwa sejumlah satuan yang
terbatas hanya dapat berkombinasi dalam sejumlah cara yang
terbatas. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, prefiks ber- dapat
berkombinasi dengan verba. Akan tetapi, tidak selamanya kombinasi
prefiks ber- dengan verba menghasilkan bentuk yang gramatikal,
misalnya bersembelih, berlihat, dan bermandi (Ratna, 2013).

2. Bahasa Berwujud Lambang


Lambang adalah tanda yang dipergunakan oleh anggota
kelompok sosial berdasarkan perjanjian dan untuk memahaminya
harus dipelajari. Tanda adalah hal/ benda yang mewakili sesuatu,
atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama terhadap yang
diwakilinya (Kencono, 1994:2). Berdasarkan rumusan kedua istilah
tersebut, dapat dikatakan bahwa lambang merupakan sejenis tanda.
Perbedaannya, lambang bersifat konvensional, sedangkan tanda
bersifat alamiah. Satuan bahasa, seperti kata dan frasa adalah
lambang bukan disebut tanda karena lambang bersifat arbitrer.
Lambang bahasa yang berwujud bunyi [kuda] dengan rujukannya
seekor binatang berkaki empat yang biasa dikendarai atau menarik
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 3
bendi tidak ada hubungannya sama sekali, tidak ada ciri alamiahnya
sedikit pun. Lambang bunyi [air] dengan rujukannya sejenis benda
cair (H2O) dalam ilmu kimia tidak ada hubungannya sama sekali.
Lambang [kuda] dan [air] pada contoh tersebut mengacu pada
konsepnya sesuai konvensi. Dengan kata lain, hal yang dilambangkan
adalah konsep, pengertian, ide atau gagasan yang disampaikan dalam
wujud bunyi. Melalui lambang-lambang bunyi itulah manusia
berkomunikasi. Misalnya, kita ingin mengatakan kemarin tidak dapat
hadir karena mobil mogok. Kita tidak perlu menghadirkan konsep
“mogok” di benak mitra bicara kita. Melalui kalimat “Maaf, kemarin
mobil saya mogok”, mitra bicara sudah paham maksud yang kita
sampaikan. Jadi, dengan lambang /m/, /o/, /g/, /o/, /k/ sudah terwakili
konsep yang dimaksudkan (Ratna, 2013).

3. Bahasa Berupa Bunyi


Masuk akal jika dikatakan bahasa itu bunyi karena pada
kenyataannya keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai
adalah menyimak dan berbicara. Kehadiran bunyi bahasa lebih
dahulu daripada kehadiran tulisan. Sehubungan dengan itu,
Bloomfield (dalam Oka, 1994:10) mengungkapkan bahwa bahasa itu
bunyi. Perlu dipahami bahwa tidak semua bunyi dapat dikatakan
bahasa. Bunyi pada konteks ini adalah bunyi yang dihasikan oleh alat
ucap manusia. Alat ucap manusia itu, di antaranya bibir, lidah, gigi,
rongga mulut, dan pita suara. Jadi, bunyi bahasa adalah bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bersin, dengkur, dan batuk
bukan bunyi bahasa karena tidak tergolong ke dalam sistem bunyi
bahasa. Kalaupun dengkuran itu dihasilkan oleh alat ucap manusia,
terjadinya tidak disadari dan tidak dapat menyampaikan pesan apa
pun. Batuk, terjadinya bisa disadari dan bisa digunakan untuk
menyampaikan pesan seperti halnya bahasa. Akan tetapi, tidak dapat
disebut bahasa karena bunyi tersebut tidak dapat dikombinasikan
dengan bunyi lain (Chaer, 2010:43). Jadi, bunyi dapat dikatakan
4 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
bahasa jika memenuhi empat syarat berikut. Pertama, dihasilkan oleh
alat ucap manusia. Kedua, terjadinya direncanakan atau disadari.
Ketiga, dapat menyampaikan pesan atau bermakna. Keempat, bunyi
tersebut dapat berkombinasi dengan bunyi lain (Ratna, 2013).

4. Bahasa Bersifat Arbitrer


Arbitrer berasal dari arbitrary yang berarti selected at random
and without reason diterjemahkan “dengan dipilih secara acak tanpa
alasan". Arbitrer diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak
tetap, manasuka. Menurut Chaer (2010:45), arbitrer adalah tidak ada
hubungan yang wajib antara lambang bahasa yang berwujud bunyi
itu dengan konsep, makna, atau pengertian oleh lambang tersebut.
Misalnya, tempat duduk yang dilambangkan dengan kursi atau
bangku tidak dapat dinalar atau dijelaskan mengapa dilambangkan
dengan bunyi kursi atau bangku. Contoh lain, burung digunakan
untuk menamai binatang vertebrata yang bersayap dan bertelur dalam
bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, digunakan lambang bird,
dalam bahasa Belanda digunakan vogel, dan dalam bahasa Arab
digunakan lambang thoirun. Mengapa untuk konsep yang sama,
seperti binatang vertebrata tersebut lambangnya berbeda-beda? Hal
itu tidak dapat dijawab karena tidak ada hubungan yang logis antara
lambang yang digunakan dengan konsepnya. Tidak satu pun ciri atau
sifat yang dapat dijadikan patokan untuk melambangkan konsep
tersebut dengan burung, bird, vogel, atau thoirun (Ratna, 2013).
Bunyi-bunyi yang bersifat arbitrer tersebut digunakan oleh
masyarakat pemakai suatu bahasa. Bunyi-bunyi yang arbitrer itu
selanjutnya menjadi kebiasaan (conventionl) yang menetap dan
akhirnya menjadi suatu aturan atau sistem. Andaikan bahasa tidak
bersifat arbitrer, tentu untuk lambang burung dalam bahasa Indonesia
akan dilambangkan dengan burung juga dalam bahasa Inggris,
Belanda, dan Arab. Karena sifat kearbitreran itu, bahasa menjadi

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 5


bervariasi. Bayangkan jika bahasa tidak bersifat arbitrer, tentu hanya
ada satu bahasa di muka bumi ini (Chaer, 2010:46).

5. Bahasa itu Bermakna


Lambang pada suatu bahasa melambangkan konsep, ide,
pikiran yang ingin disampaikan. Karena lambang dalam suatu bahasa
mengacu pada konsep, ide, atau pikiran, dapat dikatakan bahwa
bahasa itu memiliki makna (Chaer, 2010:44). Lambang bahasa yang
berwujud bunyi [pencuri] melambangkan konsep “Orang yang
mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya”.
Contoh lain, lambang bahasa yang berwujud bunyi [kuda] mengacu
pada konsep “Sejenis binatang berkaki empat yang memiliki ekor
panjang yang biasa ditunggangi”. Kedua contoh tersebut
menunjukkan bahwa bahasa itu bermakna (Ratna, 2013).

6. Bahasa itu Konvensional


Hubungan antara lambang dan yang dilambangkan bersifat
arbitrer. Namun, penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep
tertentu bersifat sosial bukan individual (Oka, 1994:14). Maksudnya,
penggunaan lambang untuk suatu konsep tertentu merupakan
kesepakatan masyarakat pemakai suatu bahasa. Karena merupakan
hasil kesepakatan itulah, bahasa disebut bersifat konvensional.
Kesepakatan untuk menentukan lambang tertentu tidak besifat
formal. Artinya, tidak melalui musyawarah, sidang, rapat atau
kongres. Akan tetapi, pemakai bahasa harus tunduk terhadap
kesepakatan itu. Jika kesepakatan tidak dipatuhi, komunikasi akan
terganggu. Misalnya, pemakai bahasa Indonesia sepakat
menggunakan lambang bahasa [anjing] untuk melambangkan konsep
“binatang peliharaan yang menggonggong”. Seandainya lambang
tersebut diganti dengan lambang lain, komunikasi tidak akan lancar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekonvensionalan bahasa
mengacu pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan
6 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
lambang bahasa sesuai dengan konsep yang dilambangkan.
Sebaliknya, kearbitreran bahasa terkait dengan hubungan lambang-
lambang bunyi dengan konsep yang dilambangkan (Ratna, 2013).

7. Bahasa itu Unik


Bahasa dikatakan unik karena setiap bahasa mempunyai ciri
khas, ciri yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Ciri khas sebuah
bahasa di antaranya bisa terkait dengan sistem bunyi, sistem
pembentukan kata, dan sistem pembentukan kalimat. Jika sebuah
kalimat diberikan tekanan pada kata tertentu, maka makna kata
tersebut tidak berubah, yang berubah adalah makna kalimatnya.
Misalnya, jika pada kalimat “Lilis menggoreng ayam”, tekanan
diberikan pada kata Susi, kalimat tersebut bermakna bahwa yang
melakukan tindakan menggoreng adalah Susi bukan Sisi atau Sri.
Seandainya kata menggoreng yang diberikan tekanan, kalimat
tersebut bermakna bahwa yang dilakukan Lilis adalah menggoreng
bukan memanggang atau menangkap ayam. Kalau tekanan diberikan
pada kata ayam, kalimat tersebut bermakna bahwa yang digoreng
Susi adalah ayam bukan tahu atau ikan (Chaer, 2010:51).
Keunikan seperti dalam bahasa Indonesia itu tidak ditemukan
dalam bahasa Batak atau dalam bahasa Inggris. Misalnya, dalam
bahasa Batak kata ‘bontar berbeda maknanya dengan kata bon’tar.
Kata ‘bontar artinya darah, sedangkan kata bon’tar artinya putih.
Begitu juga dengan kata ‘insult dan in’sult dalam bahasa Inggris
berbeda maknanya. Kata ‘insult artinya penghinaan, sedangkan
in’sult artinya menghina. Perbedaan makna kata tersebut disebabkan
perbedaan pemberian tekanan (Ratna, 2013).

8. Bahasa itu Universal


Bahasa dikatakan bersifat universal karena memiliki ciri yang
sama. Maksudnya, ada ciri-ciri yang sama dimiliki oleh setiap bahasa
di dunia. Ciri-ciri yang universal ini tentunya merupakan unsur
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 7
bahasa yang paling umum. Ciri-ciri yang dapat dikaitkan dengan ciri
yang dimiliki oleh bahasa lain. Dengan kata lain, ciri-ciri yang
berlaku pada semua bahasa (Chaer, 2010:52). Misalnya, setiap
bahasa memiliki unsur bunyi yang terdiri atas vokal dan konsonan.
Berapa banyaknya vokal dan konsonan dalam setiap bahasa bukan
persoalan keuniversalan. Bahasa Indonesia, misalnya, memiliki enam
vokal dan 22 konsonan, bahasa Arab memiliki enam vokal dan 28
konsonan, dan bahasa Inggris mempunyai 16 vokal (termasuk
diftong) dan 24 konsonan (Al-Kuli dalam Chaer, 2010:52).
Ciri keuniversalan yang lain adalah bahwa setiap bahasa
memiliki kata yang berkategori benda, kerja, sifat, dan keterangan.
Setiap bahasa memiliki morfem, kata, klausa, kalimat, dan wacana.
Akan tetapi, bagaimana satuan-satuan bahasa itu terbentuk mungkin
tidak sama untuk setiap bahasa. Jika pembentukan satuan bahasa itu
hanya berlaku dalam sebuah bahasa, berarti itu bukan keuniversalan
bahasa, melainkan ciri keunikan. Kalau ciri yang sama dimiliki oleh
sejumlah bahasa dalam satu rumpun atau satu golongan bahasa, ciri
tersebut menjadi ciri universal dan ciri keunikan rumpun atau
subrumpun bahasa tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa ciri universal dilihat dari rumpun atau subrumpun sebagai
satu kesatuan, sedangkan keunikan dilihat dari rumpun atau
subrumpun lain (Ratna, 2013).

9. Bahasa itu Produktif


Bahasa dikatakan produktif karena dengan unsur-unsurnya
yang terbatas, pemakai bahasa dapat menghasilkan satuan bahasa
yang jumlahnya tidak terbatas. Dengan pola-pola dan lambang-
lambang bahasa yang terbatas, pemakai bahasa dapat mengkreasi hal-
hal baru melalui bahasa (Oka, 1994:20). Hal-hal baru yang dikreasi
melalui bahasa tersebut tentunya sesuai dengan sistem yang yang
berlaku dalam suatu bahasa. Misalnya, pemakai bahasa mampu
menciptakan frasa kedai pamanku, kedai tetangga saya, dan kedai
8 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
majikan saya, yang jumlahnya tidak terbatas. Dalam bahasa
Indonesia hanya ada enam bunyi vokal dan 22 bunyi konsonan, tetepi
dengan bunyi-bunyi tersebut dapat dibentuk kata, frasa atau kalimat
yang jumlahnya tidak terbatas.
Lebih lanjut, Oka (1994:20) menyatakan bahwa keproduktivan
bahasa itu merupakan perbandingan unsur-unsur bahasa dengan daya
pemakaiannya. Dari unsur-unsur yang terbatas, bahasa dapat
digunakan secara tidak terbatas oleh pemakainya. Dengan 28 fonem,
pemakai bahasa Indonesia mampu menghasilkan puluhan ribu kata.
Dengan jumlah kata lebih kurang 60.000, pemakai bahasa Indonesia
mampu menghasilkan kalimat yang jumlahnya tidak terbatas (Chaer,
2010:50). Bukti lain keproduktivan bahasa dapat dilihat dari pola
kalimat ‘frasa nomina (FN) + frasa nomina (FN)’ pemakai bahasa
mampu menciptakan kalimat “Orang itu tetangga saya dan Anak
perempuan itu teman adiknya” dan lain-lain (Ratna, 2013).

10. Bahasa itu Bervariasi


Bahasa digunakan oleh suatu masyarakat tertentu yang disebut
masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang
yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa yang sama
(Kencono, 1997:116). Anggota masyarakat bahasa tersebut tentu saja
memiliki latar belakang sosial beragam, baik dari segi tempat tinggal,
pekerjaan, maupun pendidikan. Keanekaragaman latar belakang
itulah yang menyebabkan bahasa bervariasi.
Menurut Chaer (2010:55), ada tiga istilah yang terkait dengan
variasi bahasa, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi
bahasa yang bersifat individual. Setiap orang pasti memiliki gaya
bicara yang berbeda, begitu juga dalam menulis. Bahasa tulis seorang
Sapardi Djoko Damono berbeda dengan bahasa tulis Arswendo
Atmowiloto. Dengan membaca kedua tulisan pengarang tersebut,
dapat dikenali seperti apa ciri khas atau idiolek Sapardi dan seperti
apa idiolek Arswendo. Dialek adalah variasi bahasa menurut
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 9
pemakainya (Kencono, 1997:116). Dialek dapat dibedakan dari segi
status sosial pemakainya, asal daerah pemakainya, dan masa atau
waktu pemakaiannya. Variasi bahasa berdasarkan status sosial
pemakainya disebut dengan sosiolek, misalnya ragam bahasa
masyarakat terpelajar, ragam bahasa petani, ragam bahasa nelayan.
Variasi bahasa berdasarkan daerah asal pemakainya dinamakan
dialek regional. Selanjutnya, variasi bahasa yang digunakan pada
masa tertentu disebut kronolek, misalnya bahasa Indonesia pada
Zaman Balai Pustaka jelas berbeda dengan bahasa pada Indonesia
Zaman Orde Baru (Ratna, 2013).

11. Bahasa itu Dinamis


Sesuai dengan kehidupan masyarakat yang selalu berubah atau
dinamis, bahasa sebagai salah satu unsur yang terkait erat dengan
kehidupan manusia otomatis juga berubah. Perkembangan budaya
suatu masyarakat bahasa turut berpengaruh pada perkembangan
bahasa. Perkembangan bahasa tersebut dapat berupa penambahan
unsur atau perubahan bentuk/ makna. Misalnya, kata canggih yang
awalnya bermakna cerewet berubah menjadi banyak tuntutan atau
sangat rumit. Contoh lain, kata sarjana yang dahulu bersinonim
dengan cendekiawan berubah rujukannya pada lulusan perguruan
tinggi (Muliastuti, 2009:1.10).
Pada tataran bunyi bahasa, dulu dalam bahasa Indonesia tidak
dikenal fonem /kh/, /f/, /z/, dan /sy/. Keempat fonem tersebut
disamakan dengan fonem /k/, /p/, /j/, dan /s/ sehingga kata khawatir
dilafalkan kawatir, februari dilafalkan pebruari, zakat dilafalkan
jakat, dan kata syair dilafalkan sair. Akan tetapi, sekarang
keberadaan fonem itu sudah dianggap otonom karena ada pasangan
minimalnya yang membedakan fonem /kh/ dengan /k/, /f/ dengan /p/,
dan /sy/ dengan /s/, misalnya, kata folio berbeda maknanya dengan
polio dan kata syarat berbeda maknanya dengan sarat.

10 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Perubahan yang sangat mencolok terjadi pada tataran kata dan
makna. Hampir setiap saat ada kata baru yang muncul akibat
perubahan budaya, ilmu, dan teknologi. Misalnya, kata komputer,
perangkat lunak, perangkat keras, internet, dan surat elektronik
merupakan kata yang muncul mengikuti perkembangan teknologi.
Hal tersebut dapat dipahami karena kata sebagai satuan bahasa
terkecil merupakan wadah penampung suatu konsep yang ada dalam
masyarakat. Dengan berkembangnya kebudayaan, ilmu pengetahuan,
dan teknologi, sudah dapat dipastikan akan bermunculan konsep baru
yang memerlukan wadah penampungnya berupa kata atau istilah
baru. Pesatnya perkembangan leksikon dalam bahasa Indonesia dapat
diketahui dari jumlah kata yang terdapat dalam kamus. Jumlah kata
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan tahun 2008 sudah
pasti lebih banyak daripada jumlah kata dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia terbitan tahun 2003 (Ratna, 2013).

12. Bahasa itu Manusiawi


Bahasa adalah suatu aspek perilaku yang dapat dipelajari.
Manusialah yang mampu mempelajari bahasa. Hal itu disebabkan
manusia memiliki akal budi atau yang dikenal dengan animal
rationale. Dengan akal budi itulah manusia dapat memikirkan
sesuatu, menemukan ide-ide baru, dan menyampaikannya kepada
orang lain melalui bahasa. Melalui akal budinya, manusia dapat
berkembang. Berbeda halnya dengan binatang yang tidak mempunyai
akal budi. Karena tidak memiliki akal budi, alat komunikasi binatang
tidak berubah dan terbatas untuk keperluan hidup kebinatangannya
saja (Chaer, 2010:58). Kalaupun ada binatang yang dapat mengerti
dan melakukan perintah yang disampaikan melalui bahasa, itu bukan
karena intelegensinya, melainkan berkat latihan yang dilakukan
secara berulang-ulang.
Bahasa menumbuhkembangkan kemampuan manusia untuk
berkomunikasi. Bahasa dapat menempatkan peradaban manusia jauh
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 11
di atas berbagai bentuk kehidupan makhluk yang lebih rendah (Oka,
1994:21). Oleh karena itu, dikatakan bahwa alat komunikasi manusia
yang berupa bahasa bersifat manusiawi. Dengan kata lain, bahasa
hanya milik manusia dan hanya manusia yang menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi (Ratna, 2013).

C. Fungsi Bahasa
Secara umum, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi.
Selain fungsi bahasa secara umum, bahasa memiliki fungsi-fungsi
yang khusus. Fungsi-fungsi khusus tersebut tetap merupakan bagian
dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi (Oka, 1994:36).
Finochiaro salah seorang ahli bahasa, membagi fungsi bahasa
menjadi lima kelompok. Kelima fungsi bahasa yang dimaksud, yaitu
(1) personal, (2) interpersonal, (3) direktif, (4) referensial, dan (5)
imajinasi (Ratna, 2013).

1. Fungsi Personal
Fungsi personal yang disebut oleh Jacobson dengan istilah
emotive speech adalah fungsi bahasa untuk menyatakan diri atau
perasan. Tolok ukur dari fungsi ini adalah apa yang disampaikan itu
berasal darinya bukan dari diri orang lain. Secara garis besar yang
terdapat dalam diri seseorang dibedakan atas dua macam, yaitu
perasaan dan pikiran. Perasaan dan pikiran yang dapat dinyatakan itu,
misalnya senang, susah, kalut, jengkel, dan marah. Misalnya, ketika
seorang teman sedang menceritakan kegalauan pikirannya pada
Anda, dia akan menggunakan bahasa yang mengemban fungsi
personal. Contoh lain, Anda menceritakan betapa senangnya Anda
ketika bertemu dengan pacar Anda. Tentunya Anda menggunakan
bahasa yang mengemban fungsi personal (Ratna, 2013).

12 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


2. Fungsi Interpersonal
Sesuai dengan namanya, fungsi interpersonal merupakan
fungsi yang terkait dengan hubungan antarpenutur. Fungsi
interpersonal tujuannya untuk membina hubungan atau menjalin
hubungan sosial. Ciri khas fungsi interpersonal adalah teciptanya
hubungan antarpemakai bahasa itu. Dalam kehidupan sehari-hari,
fungsi interpersonal dapat diwujudkan ketika dua orang yang saling
tidak kenal lalu bertegur sapa. Bahasa yang digunakan ketika dua
orang tersebut bertegur sapa mengemban fungsi interpersonal.
Jacobson menyebutnya dengan istilah phatic speech. Pathic Speech
digunakan pada situasi tertentu, misalnya sapaan atau basa-basi
terhadap seseorang untuk mengakrabkan suasana (Ratna, 2013).

3. Fungsi Direktif
Fungsi direktif merupakan fungsi bahasa untuk mengatur
orang lain, mempengaruhi orang lain, dan mengondisikan pikiran /
tingkah laku mitra bicara. Melalui fungsi direktif, penutur bermaksud
menyuruh mitra tutur, menyarankan mitra tutur untuk melakukan
tindakan atau meminta sesuatu. Dampak fungsi bahasa direktif
adalah mitra tutur berperilaku sesuai dengan yang dikehendai
penutur. Bahasa yang digunakan memiliki ciri khas bentuk direktif.
Menurut Fasold (dalam Oka, 1994:37), penggunaan bahasa direktif
menimbulkan risiko karena penutur harus memilih bentuk-bentuk
bahasa yang cocok/ sesuai. Selain itu, penutur juga harus memahami
situasi, menginterpretasi, dan memprediksi konteks sosial dan budaya
yang berlaku.
Penerapan fungsi direktif tersebut dapat diamati, misalnya
ketika seorang ibu menyuruh anaknya belajar. Kalimat yang
disampaikan bisa bermacam-macam. Namun, maksudnya persis
sama, yakni menyuruh anak untuk belajar. Si ibu bisa menggunakan
kalimat langsung “Belajarlah, Nak” atau kalimat tidak langsung,
“Kok, masih menonton televisi juga”. Dari kedua contoh tersebut,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 13
ternyata bentuk bahasa yang digunakan tidak paralel dengan fungsi
yang diemban (Ratna, 2013).

4. Fungsi Referensial
Fungsi referensial merupakan fungsi bahasa yang bertujuan
menampilkan suatu acuan/ referen dengan menggunakan lambang
bahasa. Dengan fungsi referensial, penutur mampu membicarakan
atau menjelaskan sesuatu tanpa harus menghadirkan acuannya ke
konteks dan situasi tuturan. Jika fungsi bahasa referensial tidak ada,
maka manusia akan kerepotan menjelaskan sesuatu. Dengan adanya
fungsi ini, penutur menjadi lebih mudah dalam berkomunikasi.
Misalnya, untuk menjelaskan tentang Sang Maha Pencipta cukup
dengan menggunakan lambang Allah (Ratna, 2013).

5. Fungsi Imajinatif
Fungsi imajinatif pada umumnya ditemukan di dalam karya
sastra, seperti dalam cerpen, puisi, novel, dan roman. Dengan kata
lain, karya sastra merupakan karya yang lahir berkat fungsi bahasa
sebagai alat berimajinasi. Fungsi imajinatif digunakan untuk
menciptakan sesuatu dengan berimajinasi. Fungsi imajinasi tersebut
sulit untuk dipelajari atau diajarkan. Fungsi imajinatif sangat
tergantung pada bakat. Bakat yang ada pada diri seseorang dapat
mempengaruhi berkembangnya kemampuan seseorang untuk
berimajinasi (Finochiaro dalam Oka, 1994:38). Fungsi imajinatif
disebut dengan poetic speech. Poetic speech adalah ujaran yang
digunakan untuk membentuk ujaran tersendri dengan menonjolkan
nilai-nilai estetika (Jacobson dalam Chaedar, 2000:42).
Ahli lain yang membicarakan fungsi bahasa adalah Halliday.
Menurut Halliday (dalam Oka, 1994:38), fungsi bahasa
dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi instrumental, (2)
fungsi regulatori, (3) fungsi representasional, (4) fungsi interaksional,
(5) fungsi personal, (6) fungsi huristik, dan (7) fungsi imajinatif.
14 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
6. Fungsi Instrumental
Fungsi instrumental merupakan fungsi bahasa untuk mengatur
lingkungan agar tercipta situasi atau peristiwa tertentu. Misalnya,
seorang pemilik rumah mengatakan kepada tamunya “Silakan
masuk” atau “Masuklah”. Kalimat yang digunakan pemilik rumah
mengemban fungsi instrumental. Dengan menggunakan kalimat
tersebut terciptalah situasi yang diharapkan. Situasi yang dimaksud
adalah tamu memasuki rumah. Contoh lain, seseorang mengatakan
pada temannya “Tolong ambilkan aku segelas air”. Dengan kalimat
“Tolonglah ambilkan aku segelas air”, peristiwa lawan tutur
mengambilkan segelas air akan terwujud dengan tuturan tolonglah
tersebut (Ratna, 2013).

7. Fungsi Regulatori
Fungsi regulatori sama dengan fungsi direktif menurut
klasifikasi Finochiaro. Fungsi regulatori digunakan untuk
memelihara dan mengontrol keadaan dan peristiwa. Peristiwa
negosiasi (penolakan dan persetujuan), atau pengendalian tingkah
laku yang dilakukan dengan menggunakan bahasa merupakan bukti
penerapan fungsi regulatori (Ratna, 2013).

8. Fungsi Representasional
Fungsi representasional digunakan untuk mengomunikasikan
fakta dan khasanah ilmu pengetahuan. Fakta keduniaan dan khasanah
ilmu pengetahuan merupakan benda yang memerlukan perujukan/
referen. Untuk keperluan itu, bahasa memainkan fungsinya sebagai
fungsi representasional. Melalui fungsi representasional penutur
bahasa mampu menghadirkan dunia ke hadapan lawan tuturnya.
Misalnya, seorang ilmuwan menyampaikan khasanah ilmunya di
dalam seminar. Ilmuwan tersebut menggunakan bahasa yang
mengemban fungsi representasional (Ratna, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 15


9. Fungsi Interaksional
Fungsi interaksional digunakan sebagai alat untuk berinteraksi.
Fungsi interaksional dapat diwujudkan, jika nilai-nilai atau
karakteristik budaya yang berlaku dalam bahasa yang digunakan,
dapat dipahami dengan baik. Misalnya, jika ingin menggunakan
bahasa Inggris, maka seseorang harus memahami aspek-aspek
budaya yang berlaku dalam bahasa Inggris. Pemahaman terhadap
aspek budaya suatu bahasa sangat penting. Penggunaan bahasa akan
salah dari ukuran konteks komunikasi jika menyimpang dari nilai-
nilai budaya yang berlaku. Dalam kaitan penggunaan bahasa yang
mengemban fungsi interaksional, perlu dibedakan antara kebenaran
(correctness) dengan kecocokan (appropriacy) (Widdowson dalam
Oka, 1994:39).

10. Fungsi Personal


Fungsi personal dalam klasifikasi yang dikemukakan Halliday
ini sama dengan fungsi personal yang diungkapkan oleh Finochiaro.
Fungsi personal menyiratkan bahwa bahasa merupakan alat untuk
menyampaikan pikiran atau perasaan yang bersifat pribadi. Dengan
kata lain, infomasi yang disampaikan penutur terkait dengan masalah
pribadinya bukan menginformasikan masalah pribadi orang lain. Jika
yang menginformasikan tersebut permasalahan orang lain, bahasa
yang digunakan untuk menginformasikan masalah itu bukan
mengemban fungsi personal (Ratna, 2013).

11. Fungsi Huristik


Fungsi huristik digunakan untuk mendapatkan informasi
berupa ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, manusia memanfaatkan
bahasa yang berfungsi huristik. Penggunaan fungsi huristik dapat
ditemukan dalam karya ilmiah dalam bentuk rumusan masalah.

16 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Ungkapan berikut merupakan contoh penggunaan bahasa yang
mengemban fungsi huristik (Ratna, 2013).
1. Bagaimana caranya ular dapat mengenali lingkungannya,
padahal ular tidak memiliki gendang telinga?
2. Mengapa daun talas dengan air tidak kohesif?
3. Mengapa orang enggan duduk di deretan paling depan pada
forum pertemuan?
Untuk memperoleh jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut, manusia
memerlukan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang
mengemban fungsi huristik.

12. Fungsi Imajinatif


Kemampuan berimajinasi merupakan salah satu ciri pembeda
manusia dengan spesies lain. Dengan kemampuan berimajinasi itu,
manusia mampu menciptakan berbagai karya, misalnya cerpen atau
novel. Berbeda dengan fungsi referensial, fungsi imajinasi tidak
bergantung pada dunia faktual. Acuan yang dilambangkan bahasa
bukanlah dunia yang nyata, tetapi dunia khayalan (Oka, 1994:40).
Kemampuan berimajinasi menuntut manusia untuk menguasai
bahasa sebagai alatnya. Seseorang tidak akan mampu berimajinasi
dalam bahasa Inggris jika yang bersangkutan tidak menguasai bahasa
Inggris. Dengan kata lain, kemampuan berimajinasi baru dapat
diwujudkan kalau seseorang menguasai bahasa yang relevan. Hal itu
disebabkan kemampuan berimajinasi adalah aktivitas mental untuk
mengkreasi referen imajinatif. Untuk mampu mengkreasi referen
imajinatif, dalam otak seseorang seharusnya sudah tersedia lambang-
lambang bahasa dan hubungan antarlambang tersebut dalam rangka
mengimplementasikan referen yang dimaksud (Ratna, 2013).
Klasifikasi lain tentang fungsi bahasa dikemukakan oleh
Nababan. Nababan (1985) mengklasifikasikan fungsi bahasa atas
empat kelompok, yaitu (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi
kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, (4) fungsi pendidikan.
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 17
Keempat kelompok itu saling berkaitan. Maksudnya, sebuah bentuk
bahasa tidak mengemban satu fungsi, tetapi dalam penggunaannya
fungsi-fungsi bahasa tersebut bisa tumpang tindih. Misalnya, sebuah
pernyataan dapat berfungsi regulatori sekaligus mengemban fungsi
instrumental.

13. Fungsi Kebudayaan


Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat.
Bahasa dalam kebudayaan mengemban fungsi kebudayaan. Fungsi
kebudayaan itu mencakup fungsi bahasa sebagai (a) sarana
perkembangan kebudayaan, (b) jalur penerus kebudayaan, dan (c)
inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dalam konteks kebudayaan itu,
bahasa merupakan unsur kebudayaan yang dapat mengembangkan
kebudayaan. Kebudayaan suatu masyarakat akan bertumbuh dan
berkembang selama masyarakat pemilik kebudayaan itu tidak punah.
Kebudayaan suatu masyarakat senantiasa mengalami perkembangan.
Khasanah kebudayaan sangat ditentukan oleh bahasa yang
mewadahinya. Khasanah kebudayaan merupakan hasil kumulatif
perkembangan kebudayaan itu sendiri. Kumulatif perkembangan
kebudayaan terjadi karena dapat mewujudkan fungsi bahasa sebagai
sarana perkembangan kebudayaan.
Kebudayaan suatu masyarakat tidak muncul dengan serta-
merta, karena masyarakat bertumbuh dan berkembang. Dalam
perkembangannya tersebut, maka terjadilah regenerasi. Regenerasi
yang dimaksud bukanlah peristiwa yang revolusioner. Maksudnya,
perkembangan generasi itu berlangsung secara bertahap sehingga
dalam proses perkembangan masyarakat tersebut terjadi pewarisan
kebudayaan. Dalam konteks ini, bahasa memerankan fungsinya
sebagai jalur penerus kebudayaan.
Unsur-unsur kebudayan yang diwariskan pada generasi
selanjutnya perlu diabadikan. Jika tidak diabadikan, tentu unsur-
unsur kebudayaan itu akan hilang. Benda-benda purbakala dan candi-
18 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
candi merupakan perekaman budaya. Untuk merekam unsur-unsur
kebudayaan itu, selain dalam bentuk peninggalan benda-benda
purbakala, diperlukan bahasa. Bahasa merupakan alat perekam
unsur-unsur kebudayaan secara verbal. Dengan demikian, dalam
konteks ini, bahasa mengemban fungsi sebagai inventaris
kebudayaan (Ratna, 2013).

14. Fungsi Kemasyarakatan


Fungsi kemasyarakatan bahasa berdasarkan ruang lingkupnya
terbagi atas dua, yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah. Dalam
skala nasional, bahasa berfungsi sebagai: (a) lambang kebanggaan
bangsa, (b) lambang identitas nasional, (c) alat pemersatu aneka
suku, dan (d) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Keempat fungsi tersebut berlaku untuk bahasa Indonesia yang
berkedudukan sebagai bahasa nasional. Penggunaan suatu bahasa
tidak selamanya berskala nasional. Kelompok-kelompok tertentu
dalam suatu negara, seperti Indonesia memiliki bahasa sendiri.
Bahasa yang digunakan kelompok-kelompok tersebut dinamakan
bahasa daerah. Bahasa daerah memiliki fungsi yang berbeda dengan
bahasa nasional. Bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) lambang
identitas daerah dan (b) alat pelaksanaan kebudayaan daerah.
Bahasa daerah di Indonesia berfungsi sebagai: (a) lambang
kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, dan (c) alat
perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Sebagai
lambang kebanggaan daerah, bahasa daerah itu menumbuhkan rasa
bangga sebagai orang daerah. Sebagai lambang identitas daerah,
bahasa daerah itu menandai pemakainya sebagai orang daerah
tertentu. Dengan kata lain, penutur bahasa dalrah akan
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang daerah tertentu saat yag
bersangkutan menggunakan bahasa daerahnya. Sebagai alat
perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah, bahasa daerah

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 19


itu digunakan dalam keluarga dan dalam berbagai peristiwa yang
berciri khas daerah (Oka, 1994:46).

15. Fungsi Perorangan


Fungsi bahasa perorangan yang dikemukakan oleh Nababan
identik dengan fungsi bahasa yang diungkapkan oleh Halliday.
Menurut Nababan (dalam Oka, 1994:47), fungsi bahasa perorangan
selain yang dikemukakan oleh Halliday ditambahnya dengan fungsi
informatif. Dengan demikian, fungsi bahasa perorangan menurut
Nababan ada tujuh, yaitu (a) fungsi instrumental, (b) fungsi
menyuruh, (c) fungsi interaksional, (d) fungsi kepribadian atau
representasional, (e) fungsi pemecahan masalah atau huristik, (f)
fungsi khayal atau imajinatif, dan (g) fungsi informatif.

16. Fungsi Pendidikan


Berdasarkan pada tujuan penggunaan bahasa dalam dunia
pendidikan dan pembelajaran, bahasa dapat mengemban fungsi
pendidikan. Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, fungsi
bahasa dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (a) fungsi integratif, (b)
fungsi instrumental, (c) fungsi kultural, dan (d) fungsi penalaran.

D. Sejarah Bahasa Indonesia


Secara historis, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
berasal dari bahasa Melayu. Aksara pertama dalam bahasa Melayu
atau Jawi yang ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di
Nusantara, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang
menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu (atau sebutan bagi
wilayahnya sebagai Malaya) berasal dari Kerajaan Malayu yang
bertempat di Batang Hari, Jambi. Bahasa Melayu yang digunakan di
Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan di kemudian hari bahasa

20 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah
kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari,
Jambi di Pulau Sumatera. Jadi, secara geografis semula hanya
mengacu kepada wilayah kerajaan yang merupakan sebagian dari
wilayah Pulau Sumatera. Dalam perkembangannya, pemakaian
istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari
wilayah Kerajaan Malayu yang mencakup negeri-negeri di Pulau
Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti
disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibu kota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman
karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi
Melayu. Belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke
pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi
klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu
marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke
Filipina telah membawa penyebaran bahasa Melayu semakin meluas.
Hal tersebut tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna. Bahasa
Melayu Kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat
"o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang, dan
Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut
juga dengan Hujung Medini yang artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya, orang-orang Melayu bermigrasi ke
Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada
masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya
adalah Kesultanan Malaka. Istilah Melayu bergeser kepada
Semenanjung Malaka (Semenanjung Malaysia) yang akhirnya
disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah
bahwa istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang
berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga
penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 21


Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau
Kalimantan. Jadi, diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan
penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak
yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu Kuno di
Sumatera, misalnya: Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan),
dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu
Baku. Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai
bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku
Mentawai. Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian
mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan
Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama
bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara,
yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu
(Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu
Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan
kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu
sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah
etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah
mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis. M. Muhar
Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan
sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari
faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia,
tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa,
Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera
Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku
Orang Kampong-Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai
bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa
kenegaraan. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatera bagian
selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang
bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa

22 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini
diketahui cukup luas. Hal ini disebabkan karena ditemukan juga
dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau
Luzon. Kata-kata seperti: samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin,
dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi. Pada abad
ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu
Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai
oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut
sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan
keluarga kerajaan di sekitar Pulau Sumatera, Jawa, dan Semenanjung
Malaya.
Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan
adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Pulau
Sumatera dan Pulau Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari
Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling
menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata
pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari
penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-
kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan
kertas, serta kata-kata Parsi seperti: anggur, cambuk, dewan,
saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol,
dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan
masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak
memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan
sehari-hari, seperti: gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan
jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di
bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan
kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti: asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman
dari bahasa ini.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 23


Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun
dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka
yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat
diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan
perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu,
loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred
Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang
Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di
"dunia timur". Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan
berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan
menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara
bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun
bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota
pelabuhan di kawasan timur Nusantara, seperti di Manado, Ambon,
dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga
menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa
Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai
sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama
berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini
secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti
bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-
19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka)
menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama
tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena
memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua
kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara:
Bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa
Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar.

24 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan
berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu menyadari bahwa
bahasa Melayu dapat dipakai atau digunakan untuk membantu
kegiatan administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah.
Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah
memiliki kitab-kitab rujukan), sejumlah sarjana Belanda mulai
terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun
dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya
sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio"
bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk
semula bahasa Melayu Riau-Johor. Pada awal abad ke-20,
perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat.
Pada tahun 1901, di Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) telah
mengadopsi ejaan yang dikenal dengan sebutan van Ophuijsen.
Selanjutnya, pada tahun 1904, Persekutuan Tanah Melayu (kelak
menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan
Wilkinson. Penerapan ejaan van Ophuijsen pertama kali digunakan
untuk menyusun Kitab Logat Melayu (yang dimulai tahun 1896) ,
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim. Selanjutnya, intervensi pemerintah semakin kuat dengan
dibentuknya suatu komisi yang disebut dengan Commissie voor de
Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat/ KBR) pada tahun 1908. Kelak
lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910, komisi ini
dipimpin olehh seseorang yang bernama D.A. Rinkes, melancarkan
program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di
berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, sehingga dalam dua tahun
telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.
Bahasa dipahami sebagai sistem perlambangan yang secara
arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 25


digunakan sebagai sarana berinteraksi manusia. Bahasa Indonesia
dahulu dikenal dengan bahasa Melayu merupakan bahasa yang
berfungsi sebagai penghubung antaretnis yang mendiami Kepulauan
Nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara suku-suku,
bahasa Melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan
internasional di kawasan Kepulauan Nusantara yang digunakan oleh
berbagai suku bangsa Indonesia dengan para pedagang asing. Selain
itu, ada beberapa alasan yang kuat bahasa melayu dipilih sebagai
dasar maupun cikal bakal bahasa Indonesia, yaitu: (1) bahasa
kebudayaan, yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup
dan sastra, (2) bahasa perhubungan (lingua franca) antar suku di
Indonesia, (3) bahasa perdagangan, baik bagi suku yang ada di
Indonesia mapupun pedagang yang berasal dari luar Indonesia, dan
(4) bahasa resmi kerajaan.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional
pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa nasional merupakan usulan dari
Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.
Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan bahwa “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa
yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa
dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat
laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan. Secara
sosiologis, kita dapat mengatakan bahwa bahasa Indonesia resmi
diakui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini juga
sesuai dengan butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu “Kami putra
dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.” Namun, secara yuridis bahasa Indonesia diakui pada
tanggal 18 Agustus 1945 atau setelah Kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan
bahasa Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:

26 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


1. Tahun 1801 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A.
Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab
Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan
penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor
de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini
menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran
bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kayo menggunakan bahasa
Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam
sidang Volksraad (dewan rakyat), seseorang berpidato
menggunakan bahasa Indonesia.
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi pengukuhan bahasa
Indonesia menjadi bahasa persatuan.
5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres tersebut, dapat
disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan
budayawan Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 27


9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik
(ejaan Soewandi) sebagai pengganti ejaan van Ophuijsen yang
berlaku sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober–2 November 1954 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan
perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik
Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di
hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan
Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober–2 November 1978 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan
dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini
selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan
perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
14. Tanggal 21–26 November 1983 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan
dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan
sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

28 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


15. Tanggal 28 Oktober–3 November 1988 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri
oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara-negara sahabat, seperti:
Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan
Australia. Kongres tersebut juga telah ditandatangani dan
dipersembahkan sebagai karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara,
yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.
16. Tanggal 28 Oktober–2 November 1993 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak
770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman,
Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea
Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan
disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu
mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Masa permulaan perkembangan bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia adalah pada awal abad ke-20. Menurut para ahli,
banyak faktor yang mendorong hal tersebut terjadi. Faktor yang
paling utama adalah faktor politik. Bangsa Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku bangsa dan bahasa yang beraneka pula, mengalami
kesulitan untuk mencapai kemerdekaan jika tidak ada alat pemersatu.
Alat yang dimaksud adalah suatu bahasa yang difungsikan untuk
menyatakan pikiran, perasaan dan kehendak yang dapat
menjembatani ketergantungan serta kesenjangan komunikasi antara
suku bangsa dengan bahasa sebelumnya.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 29


E. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting,
yaitu :
1. Sebagai Bahasa Nasional
Seperti yang tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928
yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Hal ini berarti bahasa
Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Nasional yang
kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai:
a. Lambang kebangsaan
b. Lambang identitas nasional
c. Alat penghubung antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya
d. Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa
dengan latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-
beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat (Ulya dan
Jaya, 2015).
2. Sebagai Bahasa Negara
Tercantum dalam Undang-Undang Dasar1945 (Bab XV Pasal 36)
mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa
bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Dalam kedudukannya
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
a. Bahasa resmi kenegaraan
b. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
c. Alat penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
d. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi (Ulya dan Jaya, 2015).

30 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


F. Ragam dan Variasi Bahasa Indonesia
1. Ragam Bahasa
Adanya bermacam-macam ragam bahasa terjadi karena fungsi,
kedudukan, serta lingkungan yang berbeda-beda. Ada beberapa
ragam bahasa, yaitu:
a. Ragam Lisan dan Ragam Tulis
Perbedaan ragam lisan dan tulis, yaitu:
1) Ragam lisan mengkehendaki adanya orang kedua dan teman
bicara sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan.
2) Dalam ragam lisan unsur-unsur gramatikal seperti subjek,
predikat, dan objek tidak selalu dinyatakan, sedangkan ragam
tulis harus dinyatakan.
3) Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan
waktu, sedangkan ragam tulis tidak.
4) Ragam lisan dipengaruhi oleh intonasi suara sedangkan
ragam tulis dipengaruhi oleh tanda baca, huruf kapital, dan
huruf miring.
b. Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku
Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh
sebagian besar warga masyarakat pemakaiannya sebagai bahasa
resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam
penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak
dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari
norma ragam baku.
c. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan
Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam
buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Ragam baku
lisan bergantung kepada besar atau kecilnya ragam daerah yang
terdengar dalam ucapannya.
d. Ragam Sosial dan Ragam Fungsional
Ragam sosial adalah ragam bahasa yang sebagian norma dan
kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 31
sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Ragam fungsional
adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga,
lingkungan kerja atau kegiatan tertentu lainnya.

2. Variasi Bahasa
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi
sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat
beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.
Variasi bahasa ada beberapa macam, yaitu:
a. Variasi Bahasa dari Segi Penutur
Variasi bahasa yang muncul dari setiap orang baik individu
maupun sosial.
b. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya
disebut fungsiolek atau register. Fungsiolek atau register adalah
variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk
keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer,
pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Setiap
bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak
digunakan dalam bidang lain.
c. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan
Ada beberapa macam variasi bahasa dari segi keformalan yaitu:
1) Variasi Beku (frozen), yaitu variasi bahasa paling formal yang
digunakan pada situasi hikmat seperti upacara kenegaraan dan
khotbah.
2) Variasi Resmi (formal) adalah variasi bahasa yang digunakan
pada kegiatan resmi atau formal seperti surat dinas dan pidato
kenegaraan.
d. Variasi Usaha (konsultatif)
Variasi usaha merupakan variasi bahasa yang lazim dalam
pembicaraan biasa, seperti pembicaraan di sekolah dan rapat.

32 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


e. Variasi Santai (casual)
Variasi santai merupakan variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi tidak resmi, seperti: perbincangan dalam keluarga atau
perbincangan dengan teman.
f. Variasi Akrab (intimate)
Variasi akrab merupakan variasi bahasa yang biasa digunakan
oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab.
g. Variasi Bahasa dari Segi Sarana
Variasi bahasa dari segi sarana adalah variasi bahasa yang dapat
dilihat dari sarana atau jalur yang digunakan, seperti telepon,
telegraf, dan radio.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 33


BAB II
EJAAN BAHASA INDONESIA

A. Sejarah Perkembangan Ejaan van Ophuijsen hingga


EBI
1. Ejaan van Ophuijsen
Hal-hal yang menonjol dalam ejaan van Ophuijsen adalah
sebagai berikut.
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda dialektik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk
menuliskan kata-kata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamai’.

2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan untuk
menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat
diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal baru yang perlu sehubungan
dengan pergantian ejaan itu antara lain:
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada
kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka-2, seperti anak2,
berjalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai
dengan kata yang mengikutinya.

3. Ejaan Melindo
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu
menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan
nama ejaan Melindo (Melayu Indonesia).
34 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia
meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Berdasarkan
Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul “Pedoman
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”, sebagai patokan
pemakaian ejaan itu.

5. Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)


Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) adalah ejaan bahasa Indonesia
yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ejaan ini
menggantikan Ejaan yang Disempurnakan. Tidak terdapat banyak
perbedaan antara EYD dan EBI. Pada EBI, terdapat penambahan satu
huruf diftong, yaitu huruf ei sehingga huruf diftong dalam Bahasa
Indonesia menjadi empat huruf, yakni ai, ei, au, dan oi. Selain itu,
terdapat juga penambahan aturan pada penggunaan huruf tebal dan
huruf kapital.

B. Pemakaian Huruf
1. Huruf Kapital
a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat.
Misalnya:
Apa maksudnya?
Dia membaca buku.
Kita harus bekerja keras.
Pekerjaan itu akan selesai dalam satu jam.
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama orang,
termasuk julukan.
Misalnya:
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 35
Amir Hamzah
Dewi Sartika
Halim Perdanakusumah
Wage Rudolf Supratman
Jenderal Kancil
Dewa Pedang
Alessandro Volta
André-Marie
Ampère Mujair
Rudolf Diesel

Catatan:
1) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama
orang yang merupakan nama jenis atau satuan ukuran.
Misalnya:
ikan mujair mesin diesel
5 ampere
10 volt
2) Huruf kapital tidak dipakai untuk menuliskan huruf
pertama kata yang bermakna ‗anak dari‘, seperti
bin, binti, boru, dan van, atau huruf pertama kata tugas.
Misalnya:
Abdul Rahman bin Zaini
Siti Fatimah binti Salim
Indani boru Sitanggang
Charles Adriaan van Ophuijsen
Ayam Jantan dari Timur
Mutiara dari Selatan

c. Huruf kapital dipakai pada awal kalimat dalam petikan


langsung.
Misalnya:

36 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Adik bertanya, "Kapan kita pulang?"
Orang itu menasihati anaknya, "Berhati-hatilah,
Nak!"
"Mereka berhasil meraih medali emas," katanya.
"Besok pagi," kata dia, "mereka akan berangkat."

d. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata


nama agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk sebutan dan
kata ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
Islam Alquran
Kristen Alkitab
Hindu Weda
Allah Tuhan
Allah akan menunjukkan jalan kepada hamba-Nya.
Ya, Tuhan, bimbinglah hamba-Mu ke jalan yang Engkau
beri rahmat.

e. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur


nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, atau
akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik
yang mengikuti nama orang.
Misalnya:
Sultan Hasanuddin
Mahaputra Yamin
Haji Agus Salim
Imam Hambali
Nabi Ibrahim
Raden Ajeng Kartini
Doktor Mohammad Hatta
Agung Permana, Sarjana Hukum
Irwansyah, Magister Humaniora

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 37


f. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama
gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, profesi, serta nama
jabatan dan kepangkatan yang dipakai sebagai sapaan.
Misalnya:
Selamat datang, Yang Mulia.
Semoga berbahagia, Sultan.
Terima kasih, Kiai.
Selamat pagi, Dokter.
Silakan duduk, Prof.
Mohon izin, Jenderal.

g. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama


jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang
dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi,
atau nama tempat.
Misalnya:
Wakil Presiden Adam Malik
Perdana Menteri Nehru
Profesor Supomo
Laksamana Muda Udara Husein Sastranegara
Proklamator Republik Indonesia (Soekarno-Hatta)
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
Gubernur Papua Barat

h. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa,


suku bangsa, dan bahasa.

Misalnya:
bangsa Indonesia
suku Dani
bahasa Bali

38 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Catatan:
Nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai
sebagai bentuk dasar kata turunan tidak ditulis dengan huruf
awal kapital.
Misalnya:
pengindonesiaan kata asing
keinggris-inggrisan
kejawa-jawaan

i. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun,


bulan, hari, dan hari besar atau hari raya.
Misalnya:
tahun Hijriah tarikh Masehi
bulan Agustus bulan Maulid
hari Jumat hari Galungan
hari Lebaran hari Natal

j. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama


peristiwa sejarah.
Misalnya:
Konferensi Asia Afrika
Perang Dunia II
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Catatan:
Huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai
sebagai nama tidak ditulis dengan huruf kapital.

Misalnya:
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Perlombaan senjata membawa
risiko pecahnya perang dunia.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 39


k. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya:
Jakarta Asia Tenggara
Pulau Miangas Amerika Serikat
Bukit Barisan Jawa Barat
Dataran Tinggi Dieng Danau Toba
Jalan Sulawesi Gunung Semeru
Ngarai Sianok Jazirah Arab
Selat Lombok Lembah Baliem
Sungai Musi Pegunungan Himalaya
Teluk Benggala Tanjung Harapan
Terusan Suez Kecamatan Cicadas
Gang Kelinci Kelurahan Rawamangun

Catatan:
1) Huruf pertama nama geografi yang bukan nama diri
tidak ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya:
berlayar ke teluk mandi di sungai
menyeberangi selat berenang di danau

2) Huruf pertama nama diri geografi yang dipakai


sebagai nama jenis tidak ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya:
jeruk bali (Citrus maxima)
kacang bogor (Voandzeia subterranea)
nangka belanda (Anona muricata)
petai cina (Leucaena glauca)

3) Nama yang disertai nama geografi dan merupakan nama


jenis dapat dikontraskan atau disejajarkan dengan nama
jenis lain dalam kelompoknya.

40 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Misalnya:
Kita mengenal berbagai macam gula, seperti gula
jawa, gula pasir, gula tebu, gula aren, dan gula
anggur.
Kunci inggris, kunci tolak, dan kunci ring
mempunyai fungsi yang berbeda.
Contoh berikut bukan nama jenis.
Dia mengoleksi batik Cirebon, batik Pekalongan,
batik Solo, batik Yogyakarta, dan batik Madura.
Selain film Hongkong, juga akan diputar film India,
film Korea, dan film Jepang. Murid-murid sekolah
dasar itu menampilkan tarian Sumatra Selatan,
tarian Kalimantan Timur, dan tarian Sulawesi
Selatan.

l. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata


(termasuk semua unsur bentuk ulang sempurna) dalam nama
negara, lembaga, badan, organisasi, atau do- kumen, kecuali
kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk.
Misalnya:
Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
dalam Pidato Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
Pejabat Lainnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

m. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata


(termasuk unsur kata ulang sempurna) di dalam judul buku,

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 41


karangan, artikel, dan makalah serta nama majalah dan surat
kabar, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan
untuk, yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan
Lain ke Roma. Tulisan itu dimuat dalam majalah
Bahasa dan Sastra.
Dia agen surat kabar Sinar Pembangunan.
Ia menyajikan makalah "Penerapan Asas-Asas
Hukum Perdata".

n. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan


nama gelar, pangkat, atau sapaan.
Misalnya:
S.H. sarjana hukum
S.K.M. sarjana kesehatan masyarakat
S.S. sarjana sastra
M.A. master of arts
M.Hum. magister humaniora
M.Si. magister sains
K.H. kiai haji
Hj. hajah
Mgr. monseigneur
Pdt. pendeta
Dg. daeng
Dt. datuk
R.A. raden ayu
St. sutan
Tb. tubagus
Dr. doktor
Prof. profesor
Tn. tuan

42 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Ny. nyonya
Sdr. Saudara

o. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk


hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, adik, dan
paman, serta kata atau ungkapan lain yang dipakai dalam
penyapaan atau pengacuan.
Misalnya:
"Kapan Bapak berangkat?" tanya Hasan. Dendi
bertanya, "Itu apa, Bu?"
"Silakan duduk, Dik!" kata orang itu.
Surat Saudara telah kami terima dengan baik.
Hai, Kutu Buku, sedang membaca apa?
Bu, saya sudah melaporkan hal ini kepada Bapak.

Catatan:
1) Istilah kekerabatan berikut bukan merupakan penyapaan
atau pengacuan.
Misalnya:
Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
2) Kata ganti Anda ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
Sudahkah Anda tahu? Siapa nama Anda?

2. Huruf Miring
a. Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku, nama
majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan,
termasuk dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Saya sudah membaca buku Salah Asuhan karangan
Abdoel Moeis. Majalah Poedjangga Baroe
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 43
menggelorakan semangat kebangsaan. Berita itu
muncul dalam surat kabar Cakrawala.
Pusat Bahasa. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa. Edisi Keempat (Cetakan Kedua).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

b. Huruf miring dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan


huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata dalam kalimat.
Misalnya:
Huruf terakhir kata abad adalah d.
Dia tidak diantar, tetapi mengantar.
Dalam bab ini tidak dibahas pemakaian tanda baca.
Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan lepas
tangan.

c. Huruf miring dipakai untuk menuliskan kata atau ungkapan


dalam bahasa daerah atau bahasa asing.
Misalnya:
Upacara peusijuek (tepung tawar) menarik perhatian
wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh.
Nama ilmiah buah manggis ialah Garcinia
mangostana.
Weltanschauung bermakna 'pandangan dunia'.
Ungkapan bhinneka tunggal ika dijadikan semboyan
negara Indonesia.
Catatan:
1) Nama diri, seperti nama orang, lembaga, atau organisasi,
dalam bahasa asing atau bahasa daerah tidak ditulis dengan
huruf miring.
2) Dalam naskah tulisan tangan atau mesin tik (bukan
komputer), bagian yang akan dicetak miring ditandai
dengan garis bawah.

44 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


3) Kalimat atau teks berbahasa asing atau berbahasa daerah
yang dikutip secara langsung dalam teks berbahasa
Indonesia ditulis dengan huruf miring.

3. Huruf Tebal
a. Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang
sudah ditulis miring.
Misalnya:
Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak
terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.
Kata et dalam ungkapan ora et labora berarti dan.

b. Huruf tebal dapat dipakai untuk menegaskan bagian- bagian


karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab.
Misalnya:
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Kondisi kebahasaan di Indonesia yang diwarnai
oleh satu bahasa standar dan ratusan bahasa
daerah—ditambah beberapa bahasa asing, terutama
bahasa Inggris—membutuhkan penanganan yang
tepat dalam perencanaan bahasa. Agar lebih jelas,
latar belakang dan masalah akan diuraikan secara
terpisah seperti tampak pada paparan berikut.

1.1.1 Latar Belakang


Masyarakat Indonesia yang heterogen
menyebabkan munculnya sikap yang beragam
terhadap penggunaan bahasa yang ada di
Indonesia, yaitu (1) sangat bangga terhadap
bahasa asing, (2) sangat bangga terhadap
bahasa daerah, dan (3) sangat bangga
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 45
terhadap bahasa Indonesia.
1.1.2 Masalah
Penelitian ini hanya membatasi masalah pada
sikap bahasa masyarakat Kalimantan terhadap
ketiga bahasa yang ada di Indonesia. Sikap
masyarakat tersebut akan digunakan sebagai
formulasi kebijakan perencanaan bahasa yang
diambil.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
mengukur sikap bahasa masyarakat Kalimantan,
khususnya yang tinggal di kota besar terhadap
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
asing.

C. Penulisan Kata
1. Kata Dasar
a. Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya:
Kantor pajak penuh sesak.
Saya pergi ke sekolah.
Buku itu sangat tebal.

2. Kata Berimbuhan
a. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta gabungan
awalan dan akhiran) ditulis serangkai dengan bentuk
dasarnya.
Misalnya:
berjalan berkelanjutan mempermudah gemetar lukisan
kemauan perbaikan

46 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Catatan:
Imbuhan yang diserap dari unsur asing, seperti -isme, -man, -
wan, atau -wi, ditulis serangkai dengan bentuk dasarnya.
Misalnya:
sukuisme seniman kamerawan gerejawi

b. Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang


mengikutinya.
Misalnya:
adibusana infrastruktur prasejarah
aerodinamika inkonvensional proaktif
antarkota kontraindikasi purnawirawan
antibiotik kosponsor saptakrida
awahama mancanegara semiprofesional
biokimia multilateral subbagian
dekameter narapidana swadaya
demoralisasi nonkolaborasi transmigrasi
dwiwarna paripurna tunakarya
ekabahasa pascasarjana tritunggal
ekstrakurikuler pramusaji tansuara

c. Kapital dirangkaikan dengan tanda hubung (-).


Misalnya:
non-Indonesia
pan-Afrikanisme
pro-Barat
non-ASEAN
anti-PKI

d. Bentuk maha yang diikuti kata turunan yang mengacu


pada nama atau sifat Tuhan ditulis terpisah dengan huruf
awal kapital.
Misalnya:

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 47


Marilah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih. Kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Pengampun

e. Bentuk maha yang diikuti kata dasar yang mengacu


kepada nama atau sifat Tuhan, kecuali kata esa, ditulis
serangkai.
Misalnya:
Tuhan Yang Mahakuasa menentukan arah hidup kita.
Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa melindungi
kita.

3. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung
(-) di antara unsur- unsurnya.
Misalnya:
anak-anak biri-biri lauk-pauk berjalan-jalan
buku-buku cumi-cumi mondar-mandir mencari-cari
hati-hati kupu-kupu ramah-tamah terus-menerus
kuda-kuda kura-kura sayur-mayur porak-poranda
mata-mata ubun-ubun serba-serbi tunggang- langgang

Catatan:
Bentuk ulang gabungan kata ditulis dengan mengulang unsur
pertama.

Misalnya:
surat kabar surat-surat kabar
kapal barang kapal-kapal barang
rak buku rak-rak buku
kereta api cepat kereta-kereta api cepat

48 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


4. Gabungan Kata
a. Unsur gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk,
termasuk istilah khusus, ditulis terpisah.
Misalnya:
duta besar model linear
kambing hitam persegi panjang
orang tua rumah sakit jiwa
simpang empat meja tulis
mata acara cendera mata

b. Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah


pengertian ditulis dengan membubuhkan tanda hubung (-)
di antara unsur-unsurnya.
Misalnya:
anak-istri pejabat anak istri-pejabat
ibu-bapak kami ibu bapak-kami
buku-sejarah baru buku sejarah-baru

c. Gabungan kata yang penulisannya terpisah tetap ditulis


terpisah jika mendapat awalan atau akhiran.
Misalnya:
bertepuk tangan, menganak sungai, garis bawahi, sebar
luaskan

d. Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran sekaligus


ditulis serangkai.
Misalnya:
Dilipatgandakan, menggarisbawahi, menyebarluaskan,
penghancurleburan, pertanggungjawaban

e. Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai.


Misalnya:
acapkali, adakalanya, apalagi, bagaimana, barangkali,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 49
beasiswa, belasungkawa, bilamana, bumiputra,
darmabakti, dukacita, hulubalang, kacamata,
kasatmata, kilometer, manasuka, matahari, olahraga,
padahal, peribahasa, perilaku, puspawarna, radioaktif,
saptamarga, saputangan, saripati, sediakala, segitiga,
sukacita, sukarela, syahbandar, wiraswata

5. Pemenggalan Kata
a. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
1) Jika di tengah kata terdapat huruf vokal yang berurutan,
pemenggalannya dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya:
bu-ah
ma-in
ni-at
sa-at
2) Huruf diftong ai, au, ei, dan oi tidak dipenggal.
Misalnya:
pan-dai
au-la
sau-da-ra
sur-vei
am-boi
3) Jika di tengah kata dasar terdapat huruf konsonan
(termasuk gabungan huruf konsonan) di antara dua huruf
vokal, pemenggalannya dilakukan sebelum huruf kon-
sonan itu.
Misalnya:
ba-pak
la-wan
de-ngan
ke-nyang
50 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
mu-ta-khir
mu-sya-wa-rah

4) Jika di tengah kata dasar terdapat dua huruf


konsonan yang berurutan, pemenggalannya dilakukan di
antara kedua huruf konsonan itu.
Misalnya:
Ap-ril
cap-lok
makh-luk
man-di
sang-gup
som-bong
swas-ta

5) Jika di tengah kata dasar terdapat tiga huruf konsonan atau


lebih yang masing- masing melambangkan satu bunyi,
pemenggalannya dilakukan di antara huruf konsonan yang
pertama dan huruf konsonan yang kedua.
Misalnya:
ul-tra in-fra ben-trok
in-stru-men

Catatan:
Gabungan huruf konsonan yang melambangkan satu bunyi
tidak dipenggal.
Misalnya:
bang-krut
bang-sa
ba-nyak
ikh-las
kong-res

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 51


makh-luk
masy-hur

b. Pemenggalan kata turunan sedapat-dapatnya dilakukan di


antara bentuk dasar dan unsur pembentuknya.
Misalnya:
ber-jalan mem-pertanggungjawabkan
mem-bantu memper-tanggungjawabkan
di-ambil mempertanggung-jawabkan
ter-bawa mempertanggungjawab-kan
per-buat me-rasakan
makan-an merasa-kan
letak-kan per-buatan
pergi-lah perbuat-an
apa-kah ke-kuatan
kekuat-an

Catatan:
1) Pemenggalan kata berimbuhan yang bentuk dasarnya
mengalami perubahan dilakukan seperti pada kata dasar.
Misalnya:
me-nu-tup
me-ma-kai
me-nya-pu
me-nge-cat
pe-mi-kir
pe-no-long
pe-nga-rang
pe-nge-tik
pe-nye-but

52 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


2) Pemenggalan kata bersisipan dilakukan seperti pada kata
dasar.
Misalnya:
ge-lem-bung
ge-mu-ruh
ge-ri-gi
si-nam-bung
te-lun-juk

3) Pemenggalan kata yang menyebabkan munculnya satu


huruf di awal atau akhir baris tidak dilakukan.
Misalnya:
Beberapa pendapat mengenai masalah itu telah
disampaikan....
Walaupun cuma-cuma, mereka tidak mau mengambil
makanan itu.

c. Jika sebuah kata terdiri atas dua unsur atau lebih dan salah
satu unsurnya itu dapat bergabung dengan unsur lain,
pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur itu. Tiap
unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata dasar.
Misalnya:
biografi bio-grafi bi-o-gra-fi
biodata bio-data bi-o-da-ta
Fotografi foto-grafi fo-to-gra-fi
Fotokopi foto-kopi fo-to-ko-pi
introspeksi intro-speksi in-tro-spek-si
introjeksi intro-jeksi in-tro-jek-si
kilogram kilo-gram ki-lo-gram
kilometer kilo-meter ki-lo-me-ter
pascapanen pasca-panen pas-ca-pa-nen
pascasarjana pasca-sarjana pas-ca-sar-ja-na

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 53


d. Nama orang yang terdiri atas dua unsur atau lebih pada akhir
baris dipenggal di antara unsur-unsurnya.
Misalnya:
Lagu―Indonesia Raya digubah oleh Wage Rudolf
Supratman.
Buku Layar Terkembang dikarang oleh Sutan Takdir
Alisjahbana.

e. Singkatan nama diri dan gelar yang terdiri atas dua huruf atau
lebih tidak dipenggal.
Misalnya:
Ia bekerja di DLLAJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R.Ng.
Rangga Warsita.

Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
Ia bekerja di DLL- AJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R. Ng.
Rangga Warsita.

6. Kata Depan
Kata depan, seperti di, ke, dan dari, ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya.
Misalnya:
Di mana dia sekarang?
Kain itu disimpan di dalam lemari.
Dia ikut terjun ke tengah kancah perjuangan.
Mari kita berangkat ke kantor.
Saya pergi ke sana mencarinya.
Ia berasal dari Pulau Penyengat.
Cincin itu terbuat dari emas.
54 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
7. Partikel
a. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah buku itu baik-baik!
Apakah yang tersirat dalam surat itu?
Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih hati?

b. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.


Misalnya:
Apa pun permasalahan yang muncul, dia dapat
mengatasinya dengan bijaksana.
Jika kita hendak pulang tengah malam pun, kendaraan
masih tersedia.
Jangankan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah
berkunjung ke rumahku.

Catatan:
1) Partikel pun yang merupakan unsur kata penghubung ditulis
serangkai.
Misalnya:
Meskipun sibuk, dia dapat menyelesaikan tugas tepat
pada waktunya.
Dia tetap bersemangat walaupun lelah.
Adapun penyebab kemacetan itu belum diketahui.
Bagaimanapun pekerjaan itu harus selesai minggu
depan

2) Partikel per yang berarti ‘demi’, ‘tiap’, atau ‘mulai’


ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Misalnya:
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 55
Mereka masuk ke dalam ruang rapat satu per satu.
Harga kain itu Rp50.000,00 per meter.
Karyawan itu mendapat kenaikan gaji per 1 Januari.

8. Singkatan dan Akronim


a. Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat
diikuti dengan tanda titik pada setiap unsur singkatan itu.
Misalnya:
A.H. Nasution Abdul Haris Nasution
H. Hamid Haji Hamid
Suman Hs. Suman Hasibuan
W.R. Supratman Wage Rudolf Supratman
M.B.A. Master of Business Administration
M.Hum. Magister Humaniora
M.Si. Magister Sains
S.E. Sarjana Ekonomi
S.Sos. Sarjana Sosial
S.Kom. Sarjana Komunikasi
S.K.M. Sarjana Kesehatan Masyarakat
Sdr. Saudara
Kol. Darmawati Kolonel Darmawati

b. Singkatan yang terdiri atas huruf awal setiap kata nama


lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, lembaga
pendidikan, badan atau organisasi, serta nama dokumen
resmi ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
UI Universitas Indonesia
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
WHO World Health Organization
PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia
56 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Singkatan yang terdiri atas huruf awal setiap kata yang


bukan nama diri ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda
titik.
Misalnya:
PT perseroan terbatas
MAN madrasah aliah negeri
SD sekolah dasar
KTP kartu tanda penduduk
SIM surat izin mengemudi
NIP nomor induk pegawai

d. Singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti dengan
tanda titik.
Misalnya:
hlm. halaman
dll. dan lain-lain
dsb. dan sebagainya
dst. dan seterusnya
sda. sama dengan di atas
ybs. yang bersangkutan
yth. yang terhormat
ttd. tertanda
dkk. dan kawan-kawan

e. Singkatan yang terdiri atas dua huruf yang lazim dipakai


dalam surat-menyurat masing- masing diikuti oleh tanda titik.
Misalnya:
a.n. atas nama
d.a. dengan alamat
u.b. untuk beliau

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 57


u.p. untuk perhatian
s.d. sampai dengan

f. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran,


timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu kuprum
cm sentimeter
kVA kilovolt-ampere
l liter
kg kilogram
Rp rupiah

g. Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap kata
ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
BIG Badan Informasi Geospasial
BIN Badan Intelijen Negara
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia

h. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau


gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan
huruf awal kapital.

Misalnya:
Bulog Badan Urusan Logistik
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kowani Kongres Wanita Indonesia
Kalteng Kalimantan Tengah
Mabbim Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-

58 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Malaysia
Suramadu Surabaya Madura

i. Akronim bukan nama diri yang berupa gabungan huruf


awal dan suku kata atau gabungan suku kata ditulis dengan
huruf kecil.
Misalnya:
iptek ilmu pengetahuan dan teknologi
pemilu pemilihan umum
puskesmas pusat kesehatan masyarakat
rapim rapat pimpinan
rudal peluru kendali

9. Angka dan Bilangan


Angka Arab atau angka Romawi lazim dipakai sebagai
lambang bilangan atau nomor.
Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C
(100), D (500), M (1.000),

a. Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau


dua kata ditulis dengan huruf, kecuali jika dipakai secara
berurutan seperti dalam perincian.
Misalnya:
Mereka menonton drama itu sampai tiga kali.
Koleksi perpustakaan itu lebih dari satu juta buku.
Di antara 72 anggota yang hadir, 52 orang setuju, 15
orang tidak setuju, dan 5 orang abstain.
Kendaraan yang dipesan untuk angkutan umum
terdiri atas 50 bus, 100 minibus, dan 250 sedan.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 59


b. Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf.
Misalnya:
Lima puluh siswa teladan mendapat beasiswa dari
pemerintah daerah.
Tiga pemenang sayembara itu diundang ke Jakarta.

Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
50 siswa teladan mendapat beasiswa dari pemerintah
daerah.
3 pemenang sayembara itu diundang ke Jakarta.

c. Apabila bilangan pada awal kalimat tidak dapat dinyatakan


dengan satu atau dua kata, susunan kalimatnya diubah.
Misalnya:
Panitia mengundang 250 orang peserta.
Di lemari itu tersimpan 25 naskah kuno.

Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
250 orang peserta diundang panitia.
25 naskah kuno tersimpan di lemari itu.

d. Angka yang menunjukkan bilangan besar dapat ditulis


sebagian dengan huruf supaya lebih mudah dibaca.
Misalnya:
Dia mendapatkan bantuan 250 juta rupiah untuk
mengembangkan usahanya.
Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 550 miliar
rupiah.
Proyek pemberdayaan ekonomi rakyat itu memerlukan
biaya Rp10 triliun.

60 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


e. Angka dipakai untuk menyatakan (a) ukuran panjang, berat,
luas, isi, dan waktu serta (b) nilai uang.
Misalnya:
0,5 sentimeter
5 kilogram
4 hektare
10 liter
2 tahun 6 bulan 5 hari
1 jam 20 menit
Rp5.000,00
US$3,50
£5,10
¥100

f. Angka dipakai untuk menomori alamat, seperti jalan, rumah,


apartemen, atau kamar.
Misalnya:
Jalan Tanah Abang I No. 15 atau
Jalan Tanah Abang I/15
Jalan Wijaya No. 14
Hotel Mahameru, Kamar 169
Gedung Samudra, Lantai II, Ruang 201

g. Angka dipakai untuk menomori bagian karangan atau ayat


kitab suci.

Misalnya:
Bab X, Pasal 5, halaman 252
Surah Yasin: 9
Markus 16: 15—16

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 61


h. Penulisan bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
a) Bilangan Utuh
Misalnya:
dua belas (12)
tiga puluh (30)
lima ribu (5.000)

b) Bilangan Pecahan
setengah atau seperdua (1/2)
seperenam belas (1/16)
tiga perempat (3/4)
dua persepuluh (2/10)
tiga dua-pertiga (3 2/3)
satu persen (1%)
satu permil (1o/oo)
i. Penulisan bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara
berikut.
Misalnya:
abad XX
abad ke-20
abad kedua puluh
Perang Dunia II
Perang Dunia Ke-2
Perang Dunia Kedua

j. Penulisan angka yang mendapat akhiran -an dilakukan dengan


cara berikut.
Misalnya:
lima lembar uang 1.000-an (lima lembar uang
seribuan)
tahun 1950-an (tahun seribu sembilan ratus lima
puluhan)
uang 5.000-an (uang lima ribuan)

62 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


k. Penulisan bilangan dengan angka dan huruf sekaligus
dilakukan dalam peraturan perundang-undangan, akta, dan
kuitansi.
Misalnya:
Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan
rupiah tiruan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Telah diterima uang sebanyak Rp2.950.000,00 (dua
juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
pembayaran satu unit televisi.

l. Penulisan bilangan yang dilambangkan dengan angka dan


diikuti huruf dilakukan seperti berikut.
Misalnya:
Saya lampirkan tanda terima uang sebesar
Rp900.500,50 (sembilan ratus ribu lima ratus rupiah
lima puluh sen).
Bukti pembelian barang seharga Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) ke atas harus dilampirkan pada
laporan pertanggungjawaban.

m. Bilangan yang digunakan sebagai unsur nama geografi ditulis


dengan huruf.
Misalnya:
Kelapa dua
Koto nan ampek
Raja ampat
Simpang lima
Tiga raksa

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 63


10. Kata Ganti ku-, kau-, -ku, -mu, dan –nya
a. Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya, sedangkan -ku, - mu, dan -nya ditulis serangkai
dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Rumah itu telah kujual.
Majalah ini boleh kaubaca.
Bukuku, bukumu, dan bukunya tersimpan di
perpustakaan.
Rumahnya sedang diperbaiki.

b. Kata Sandang si dan sang


Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Misalnya:
Surat itu dikembalikan kepada si pengirim.
Toko itu memberikan hadiah kepada si pembeli.
Ibu itu menghadiahi sang suami kemeja batik.
Sang adik mematuhi nasihat sang kakak.
Harimau itu marah sekali kepada sang Kancil.
Dalam cerita itu si Buta berhasil menolong kekasihnya.

Catatan:
Huruf awal sang ditulis dengan huruf kapital jika sang
merupakan unsur nama Tuhan.
Misalnya:
Kita harus berserah diri kepada Sang Pencipta.
Pura dibangun oleh umat Hindu untuk memuja Sang
Hyang Widhi Wasa.

D. Pemakaian Tanda Baca


1. Tanda Titik (.)
a. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat pernyataan.
64 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Misalnya:
Mereka duduk di sana.
Dia akan datang pada pertemuan itu.

b. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam


suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.
Misalnya:
a. I. Kondisi Kebahasaan di Indonesia
A. Bahasa Indonesia
1. Kedudukan
2. Fungsi
B. Bahasa Daerah
1. Kedudukan
2. Fungsi
C. Bahasa Asing
1. Kedudukan
2. Fungsi
b. 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Ilustrasi
1.2.1 Gambar Tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
2. Patokan Khusus

...
Catatan:
1) Tanda titik tidak dipakai pada angka atau huruf yang
sudah bertanda kurung dalam suatu perincian.
Misalnya:
Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai
1) bahasa nasional yang berfungsi, antara lain,

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 65


a) lambang kebanggaan nasional,
b) identitas nasional, dan
c) alat pemersatu bangsa;
2) bahasa negara ….
2) Tanda titik tidak dipakai pada akhir penomoran digital
yang lebih dari satu angka (seperti pada Misalnya 2b).
3) Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau angka
terakhir dalam penomoran deret digital yang lebih dari
satu angka dalam judul tabel, bagan, grafik, atau gambar.
Misalnya:
Tabel 1 Kondisi Kebahasaan di Indonesia
Tabel 1.1 Kondisi Bahasa Daerah di Indonesia
Bagan 2 Struktur Organisasi
Bagan 2.1 Bagian Umum
Grafik 4 Sikap Masyarakat Perkotaan terhadap Bahasa
Indonesia
Grafik 4.1 Sikap Masyarakat Berdasarkan Usia
Gambar 1 Gedung Cakrawala
Gambar 1.1 Ruang Rapat

c. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan


detik yang menunjukkan waktu atau jangka waktu.
Misalnya:
pukul 01.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik atau
pukul 1, 35 menit, 20 detik)
01.35.20 jam (1 jam, 35 menit, 20 detik)
00.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
00.00.30 jam (30 detik)

d. Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka di antara nama


penulis, tahun, judul tulisan (yang tidak berakhir dengan tanda
tanya atau tanda seru), dan tempat terbit.

66 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Misalnya:
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
2008. Peta Bahasa di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jakarta.
Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta:
Gramedia.

e. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan


atau kelipatannya yang menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau.
Penduduk kota itu lebih dari 7.000.000 orang.
Anggaran lembaga itu mencapai Rp225.000.000.000,00.

Catatan:
1) Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan
ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Dia lahir pada tahun 1956 di Bandung.
Kata sila terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa
halaman 1305.
Nomor rekening panitia seminar adalah 0015645678.

2) Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang


merupakan kepala karangan, ilustrasi, atau tabel.
Misalnya:
Acara Kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Bentuk dan Kedaulatan (Bab I UUD 1945)
Gambar 3 Alat Ucap Manusia
Tabel 5 Sikap Bahasa Generasi Muda Berdasarkan
Pendidikan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 67


3) Tanda titik tidak dipakai di belakang (a) alamat penerima
dan pengirim surat serta (b) tanggal surat.
Misalnya:
Yth. Direktur Taman Ismail Marzuki
Jalan Cikini Raya No. 73
Menteng
Jakarta 10330
Yth. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun
Jakarta Timur
Indrawati, M.Hum. Jalan Cempaka II No. 9
Jakarta Timur
21 April 2013
Jakarta, 15 Mei 2013 (tanpa kop surat)

2. Tanda Koma (,)


a. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu
pemerincian atau pembilangan.
Misalnya:
Telepon seluler, komputer, atau internet bukan barang
asing lagi.
Buku, majalah, dan jurnal termasuk sumber
kepustakaan.
Satu, dua, ... tiga!
b. Tanda koma dipakai sebelum kata penghubung, seperti
tetapi, melainkan, dan sedangkan, dalam kalimat majemuk
(setara).
Misalnya:
Saya ingin membeli kamera, tetapi uang saya belum
cukup.
Ini bukan milik saya, melainkan milik ayah saya.

68 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Dia membaca cerita pendek, sedangkan adiknya
melukis panorama.

c. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat


yang mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau diundang, saya akan datang.
Karena baik hati, dia mempunyai banyak teman.
Agar memiliki wawasan yang luas, kita harus banyak
membaca buku.

Catatan:
Tanda koma tidak dipakai jika induk kalimat
mendahului anak kalimat.
Misalnya:
Saya akan datang kalau diundang.
Dia mempunyai banyak teman karena baik hati.
Kita harus banyak membaca buku agar memiliki
wawasan yang luas.

d. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan


penghubung antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan
demikian, sehubungan dengan itu, dan meskipun demikian.
Misalnya:
Mahasiswa itu rajin dan pandai. Oleh karena itu, dia
memperoleh beasiswa belajar di luar negeri.
Anak itu memang rajin membaca sejak kecil. Jadi,
wajar kalau dia menjadi bintang pelajar
Orang tuanya kurang mampu. Meskipun demikian,
anak-anaknya berhasil menjadi sarjana.

e. Tanda koma dipakai sebelum dan/atau sesudah kata seru,

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 69


seperti o, ya, wah, aduh, atau hai, dan kata yang dipakai
sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Nak.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, jalannya licin!
Nak, kapan selesai kuliahmu?
Siapa namamu, Dik?
Dia baik sekali, Bu.

f. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung


dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya:
Kata nenek saya, Kita harus berbagi dalam hidup ini.
Kita harus berbagi dalam hidup ini, kata nenek
saya, karena manusia adalah makhluk sosial.

Catatan:
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan
langsung yang berupa kalimat tanya, kalimat perintah, atau
kalimat seru dari bagian lain yang mengikutinya. Misalnya:
"Di mana Saudara tinggal?" tanya Pak Lurah. "Masuk
ke dalam kelas sekarang!" perintahnya.
Wow, indahnya pantai ini! seru wisatawan itu.

g. Tanda koma dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-
bagian alamat, (c) tempat dan tanggal, serta (d) nama tempat
dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Sdr. Abdullah, Jalan Kayumanis III/18,
Kelurahan Kayumanis, Kecamatan
Matraman, Jakarta 13130

70 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia,
Jalan Salemba Raya 6, Jakarta
Surabaya, 10 Mei 1960
Tokyo, Jepang

h. Tanda koma dipakai untuk memisahkan bagian nama yang


dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Gunawan, Ilham. 1984. Kamus Politik Internasional.
Jakarta: Restu Agung.
Halim, Amran (Ed.) 1976. Politik Bahasa Nasional.
Jilid 1. Jakarta: Pusat Bahasa.
Tulalessy, D. dkk. 2005. Pengembangan Potensi
Wisata Bahari di Wilayah Indonesia Timur. Ambon:
Mutiara Beta.

i. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan


kaki atau catatan akhir.
Misalnya:
Sutan Takdir Alisjahbana, Tata Bahasa Baru
Bahasa Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Rakyat,
1950), hlm. 25.
Hadikusuma Hilman, Ensiklopedi Hukum Adat dan
Adat Budaya Indonesia (Bandung: Alumni, 1977),
hlm. 12.
W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk
Karang-mengarang (Jogjakarta: UP Indonesia, 1967),
hlm. 4.

j. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan


singkatan gelar akademis yang mengikutinya untuk
membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 71


marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E. Ny. Khadijah, M.A. Bambang
Irawan, M.Hum. Siti Aminah, S.H., M.H.

Catatan:
Bandingkan Siti Khadijah, M.A. dengan Siti Khadijah M.A.
(Siti Khadijah Mas Agung).

k. Tanda koma dipakai sebelum angka desimal atau di


antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
27,3 kg
Rp500,50
Rp750,00

l. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan atau


keterangan aposisi.
Misalnya:
Di daerah kami, Misalnya, masih banyak bahan
tambang yang belum diolah.
Semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan,
harus mengikuti latihan paduan suara.
Soekarno, Presiden I RI, merupakan salah seorang
pendiri Gerakan Nonblok.
Pejabat yang bertanggung jawab, sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), wajib menindaklanjuti
laporan dalam waktu paling lama tujuh hari.
Bandingkan dengan keterangan pewatas yang
pemakaiannya tidak diapit tanda koma!
Siswa yang lulus dengan nilai tinggi akan diterima

72 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


di perguruan tinggi itu tanpa melalui tes.

m. Tanda koma dapat dipakai di belakang keterangan yang


terdapat pada awal kalimat untuk menghindari salah
baca/salah pengertian.
Misalnya:
Dalam pengembangan bahasa, kita dapat
memanfaatkan bahasa daerah. Atas perhatian Saudara,
kami ucapkan terima kasih.
Bandingkan dengan:
Dalam pengembangan bahasa kita dapat memanfaatkan
bahasa daerah. Atas perhatian Saudara kami ucapkan
terima kasih.

3. Tanda Titik Koma (;)


a. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata
penghubung untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari
kalimat setara yang lain di dalam kalimat majemuk.
Misalnya:
Hari sudah malam; anak-anak masih membaca buku.
Ayah menyelesaikan pekerjaan; Ibu menulis makalah;
Adik membaca cerita pendek.

b. Tanda titik koma dipakai pada akhir perincian yang berupa


klausa.

Misalnya:
Syarat penerimaan pegawai di lembaga ini adalah
(1) berkewarganegaraan Indonesia;
(2) berijazah sarjana S-1;
(3) berbadan sehat; dan
(4) bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 73


Kesatuan Republik Indonesia.

c. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan bagian-bagian


pemerincian dalam kalimat yang sudah menggunakan tanda
koma.
Misalnya:
Ibu membeli buku, pensil, dan tinta; baju, celana, dan
kaus; pisang, apel, dan jeruk.
Agenda rapat ini meliputi
a. pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara;
b. penyusunan anggaran dasar, anggaran rumah tangga,
dan program kerja; dan
c. pendataan anggota, dokumentasi, dan aset
organisasi.

4. Tanda Titik Dua (:)


a. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap
yang diikuti pemerincian atau penjelasan.
Misalnya:
Mereka memerlukan perabot rumah tangga: kursi,
meja, dan lemari.
Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan:
hidup atau mati.

b. Tanda titik dua tidak dipakai jika perincian atau


penjelasan itu merupakan pelengkap yang mengakhiri
pernyataan.
Misalnya:
Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
Tahap penelitian yang harus dilakukan meliputi a.
persiapan, b. pengumpulan data, c. pengolahan data,
dan d. pelaporan.

74 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


c. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang
memerlukan pemerian.
Misalnya:
Ketua : Ahmad Wijaya
Sekretaris : Siti Aryani
Bendahara : Aulia Arimbi
Narasumber : Prof. Dr. Rahmat Effendi
Pemandu : Abdul Gani, M.Hum.
Pencatat : Sri Astuti Amelia, S.Pd.

d. Tanda titik dua dipakai dalam naskah drama sesudah kata


yang menunjukkan pelaku dalam percakapan.
Misalnya:
Ibu : "Bawa koper ini, Nak!"
Amir : "Baik, Bu."
Ibu : "Jangan lupa, letakkan baik-baik!"

e. Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan
halaman, (b) surah dan ayat dalam kitab suci, (c) judul dan
anak judul suatu karangan, serta (d) nama kota dan penerbit
dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Horison, XLIII, No. 8/2008: 8
Surah Albaqarah: 2—5
Matius 2: 1—3
Dari Pemburu ke Terapeutik: Antologi Cerpen
Nusantara
Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat
Bahasa.

5. Tanda Hubung (-)


a. Tanda hubung dipakai untuk menandai bagian kata yang

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 75


terpenggal oleh pergantian baris.
Misalnya:
Di samping cara lama, diterapkan juga ca-
ra baru ….
Nelayan pesisir itu berhasil membudidayakan rum-
put laut.
Kini ada cara yang baru untuk meng-
ukur panas.
Parut jenis ini memudahkan kita me-
ngukur kelapa.

b. Tanda hubung dipakai untuk menyambung unsur kata ulang.


Misalnya:
anak-anak berulang-ulang kemerah-merahan
mengorek-ngorek

c. Tanda hubung dipakai untuk menyambung tanggal, bulan,


dan tahun yang dinyatakan dengan angka atau menyambung
huruf dalam kata yang dieja satu-satu.
Misalnya:
11-11-2013 p-a-n-i-t-i-a

d. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan


bagian kata atau ungkapan.
Misalnya:
ber-evolusi meng-ukur
dua-puluh-lima ribuan (25 x 1.000)
23/25 (dua-puluh-tiga perdua-puluh-lima)
mesin hitung-tangan
Bandingkan dengan:
be-revolusi
me-ngukur
76 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
dua-puluh lima-ribuan (20 x 5.000)
20 3/25 (dua-puluh tiga perdua-puluh-lima)
mesin-hitung tangan

e. Tanda hubung dipakai untuk merangkai


1) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf
kapital (se-Indonesia, se-Jawa Barat);
2) ke- dengan angka (peringkat ke-2);
3) angka dengan –an (tahun 1950-an);
4) kata atau imbuhan dengan singkatan yang berupa huruf
kapital (hari-H, sinar-X, ber-KTP, di-SK-kan);
5) kata dengan kata ganti Tuhan (ciptaan-Nya, atas rahmat-
Mu);
6) huruf dan angka (D-3, S-1, S-2); dan
7) kata ganti -ku, -mu, dan -nya dengan singkatan yang
berupa huruf kapital (KTP-mu, SIM-nya, STNK-ku).

Catatan:
Tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan
angka jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf.

Misalnya:
BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia)
LP3I (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi
Indonesia)
P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan)

f. Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa


Indonesia dengan unsur bahasa daerah atau bahasa asing.
Misalnya:
di-sowan-i (bahasa Jawa, ‗didatangi‘)
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 77
ber-pariban (bahasa Batak, ‗bersaudara sepupu‘)
di-back up
me-recall
pen-tackle-an

g. Tanda hubung digunakan untuk menandai bentuk terikat yang


menjadi objek bahasan.
Misalnya:
Kata pasca- berasal dari bahasa Sanskerta.
Akhiran -isasi pada kata betonisasi sebaiknya diubah
menjadi pembetonan.

6. Tanda Pisah (—)


a. Tanda pisah dapat dipakai untuk membatasi penyisipan kata
atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun
kalimat.
Misalnya:
Kemerdekaan bangsa itu—saya yakin akan tercapai—
diperjuangkan oleh bangsa itu sendiri.
Keberhasilan itu—kita sependapat—dapat dicapai jika
kita mau berusaha keras.
b. Tanda pisah dapat dipakai juga untuk menegaskan adanya
keterangan aposisi atau keterangan yang lain.
Misalnya:
Soekarno-Hatta—Proklamator Kemerdekaan RI—
diabadikan menjadi nama bandar udara internasional.
Rangkaian temuan ini—evolusi, teori kenisbian,
dan pembelahan atom—telah mengubah konsepsi
kita tentang alam semesta.
Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat
Sumpah Pemuda—harus terus digelorakan

78 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


c. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau
tempat yang berarti 'sampai dengan' atau 'sampai ke'.
Misalnya:
Tahun 2010—2013
Tanggal 5—10 April 2013
Jakarta—Bandung

7. Tanda Tanya (?)


a. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
Misalnya:
Kapan Hari Pendidikan Nasional diperingati?
Siapa pencipta lagu ―Indonesia Raya?

b. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk


menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang
kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
Misalnya:
Monumen Nasional mulai dibangun pada tahun 1961
(?).
Di Indonesia terdapat 740 (?) bahasa daerah.

8. Tanda Seru (!)


Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau
pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan
kesungguhan, ketidakpercayaan, atau emosi yang kuat.
Misalnya:
Alangkah indahnya taman laut di Bunaken!
Mari kita dukung Gerakan Cinta Bahasa Indonesia!
Bayarlah pajak tepat pada waktunya!
Masa! Dia bersikap seperti itu? Merdeka!

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 79


9. Tanda Elipsis (...)
a. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu
kalimat atau kutipan ada bagian yang dihilangkan.
Misalnya:
Penyebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan
bahwa bahasa negara ialah ….
..., lain lubuk lain ikannya.

Catatan:
1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik
(jumlah titik empat buah).

b. Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai


dalam dialog.
Misalnya:
― Menurut saya … seperti … bagaimana, Bu?‖
―Jadi, simpulannya … oh, sudah saatnya istirahat.‖

Catatan:
1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik
(jumlah titik empat buah).

10. Tanda Petik ("…")


a. Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang
berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain.
Misalnya:
"Merdeka atau mati!" seru Bung Tomo dalam
pidatonya.
"Kerjakan tugas ini sekarang!" perintah atasannya.

80 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


"Besok akan dibahas dalam rapat."
Menurut Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, "Setiap warga
negara berhak memperoleh pendidikan."

b. Tanda petik dipakai untuk mengapit judul sajak, lagu, film,


sinetron, artikel, naskah, atau bab buku yang dipakai dalam
kalimat.
Misalnya:
Sajak "Pahlawanku" terdapat pada halaman 125 buku
itu. Marilah kita menyanyikan lagu "Maju Tak Gentar"!
Film ―Ainun dan Habibie‖ merupakan kisah nyata
yang diangkat dari sebuah novel.
Saya sedang membaca "Peningkatan Mutu Daya
Ungkap Bahasa Indonesia" dalam buku Bahasa
Indonesia Menuju Masyarakat Madani.
Makalah "Pembentukan Insan Cerdas Kompetitif"
menarik perhatian peserta seminar. Perhatikan
"Pemakaian Tanda Baca" dalam buku Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.

c. Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang


kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.
Misalnya:
"Tetikus" komputer ini sudah tidak berfungsi.
Dilarang memberikan "amplop" kepada petugas!

11. Tanda Petik Tunggal ('…')


a. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang
terdapat dalam petikan lain.
Misalnya:

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 81


Tanya dia, "Kaudengar bunyi 'kring-kring' tadi?"
"Kudengar teriak anakku, 'Ibu, Bapak pulang!', dan
rasa letihku lenyap seketika," ujar Pak Hamdan.
―Kita bangga karena lagu ‗Indonesia Raya‘
berkumandang di arena olimpiade itu,‖
kata Ketua KONI.

b. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna,


terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan.
Misalnya:
tergugat 'yang digugat'
retina 'dinding mata sebelah dalam'
noken 'tas khas Papua'
tadulako 'panglima'
marsiadap ari 'saling bantu'
tuah sakato 'sepakat demi manfaat bersama'
policy 'kebijakan'
wisdom 'kebijaksanaan'
money politics 'politik uang'

12. Tanda Kurung ((…))


a. Tanda kurung dipakai untuk mengapit tambahan keterangan
atau penjelasan.
Misalnya:
Dia memperpanjang surat izin mengemudi (SIM).
Warga baru itu belum memiliki KTP (kartu tanda
penduduk).
Lokakarya (workshop) itu diadakan di Manado.

b. Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau


penjelasan yang bukan bagian utama kalimat.
Misalnya:

82 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Sajak Tranggono yang berjudul "Ubud" (nama
tempat yang terkenal di Bali) ditulis pada tahun
1962.
Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan arus
perkembangan baru pasar dalam negeri.

c. Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang


keberadaannya di dalam teks dapat dimunculkan atau
dihilangkan.
Misalnya:
Dia berangkat ke kantor selalu menaiki (bus)
Transjakarta.
Pesepak bola kenamaan itu berasal dari (Kota) Padang.

d. Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau angka


yang digunakan sebagai penanda pemerincian.
Misalnya:
Faktor produksi menyangkut (a) bahan baku, (b) biaya
produksi, dan (c) tenaga kerja. Dia harus melengkapi
berkas lamarannya dengan melampirkan
(1) akta kelahiran,
(2) ijazah terakhir, dan
(3) surat keterangan kesehatan

13. Tanda Kurung Siku ([…])


a. Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata,
atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan atas
kesalahan atau kekurangan di dalam naskah asli yang ditulis
orang lain.
Misalnya:
Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemerisik.
Penggunaan bahasa dalam karya ilmiah harus

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 83


sesuai [dengan] kaidah bahasa Indonesia.
Ulang tahun [Proklamasi Kemerdekaan] Republik
Indonesia dirayakan secara khidmat.

b. Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit keterangan


dalam kalimat penjelas yang terdapat dalam tanda kurung.
Misalnya:
Persamaan kedua proses itu (perbedaannya
dibicarakan di dalam Bab II [lihat halaman
35─38]) perlu dibentangkan di sini.

14. Tanda Garis Miring (/)


a. Tanda garis miring dipakai dalam nomor surat, nomor
pada alamat, dan penandaan masa satu tahun yang terbagi
dalam dua tahun takwim.
Misalnya:
Nomor: 7/PK/II/2013
Jalan Kramat III/10 tahun ajaran 2012/2013

b. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata dan, atau,


serta setiap.
Misalnya:
mahasiswa/mahasiswi 'mahasiswa dan mahasiswi'
dikirimkan lewat darat/laut 'dikirimkan lewat darat atau
lewat laut' buku dan/atau majalah 'buku dan majalah
atau buku atau majalah' harganya Rp1.500,00/lembar
'harganya Rp1.500,00 setiap lembar'

c. Tanda garis miring dipakai untuk mengapit huruf, kata,


atau kelompok kata sebagai koreksi atau pengurangan atas
kesalahan atau kelebihan di dalam naskah asli yang ditulis
orang lain.

84 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Misalnya:
Buku Pengantar Ling/g/uistik karya Verhaar dicetak
beberapa kali. Asmara/n/dana merupakan salah satu
tembang macapat budaya Jawa.
Dia sedang menyelesaikan /h/utangnya di bank.

15. Tanda Penyingkat atau Apostrof (')


a. Tanda penyingkat dipakai untuk menunjukkan penghilangan
bagian kata atau bagian angka tahun dalam konteks tertentu.
Misalnya:
Dia 'kan kusurati. ('kan = akan)
Mereka sudah datang, 'kan? ('kan = bukan)
Malam 'lah tiba. ('lah = telah)
5-2-‗13 (‘13 = 2013)

E. Kaidah Penyerapan Kata


Dalam perkembangannya bahasa Indonesia menyerap unsur
dari berbagai bahasa, baik dari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa,
Sunda, dan Bali, maupun dari bahasa asing, seperti bahasa
Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina, dan Inggris. Berdasarkan
taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing yang
belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti force
majeur, de facto, de jure, dan l’exploitation de l'homme par
l'homme. Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa
Indonesia, tetapi cara pengucapan dan penulisannya masih
mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang penulisan dan
pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Dalam hal ini, penyerapan diusahakan agar ejaannya diubah
seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan
dengan bentuk asalnya.
Kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan itu adalah
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 85
sebagai berikut.
a (Arab, bunyi pendek atau
bunyi panjang) menjadi a
(bukan o)

mażhab mazhab
qadr kadar
ṣaḥābat sahabat
‘umrah umrah
iqāmah Ikamah
khātib khatib
riḍā’ rida
ẓālim zalim

‘ain (‫ ﻉ‬Arab) pada awal suku kata menjadi a, i, u


‘ajā’ib ajaib
sa‘ādah saadah
‘ilm ilmu
qā‘idah kaidah
‘uzr uzur
ma‘ūnah maunah

‘ain (‫ ﻉ‬Arab) di akhir suku kata menjadi k


’i‘ tiqād iktikad
mu‘jizat mukjizat
ni‘mat nikmat
rukū‘ rukuk
simā‘ simak
ta‘rīf takrif

aa (Belanda) menjadi a
paal pal
baal bal
octaaf oktaf
86 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
ae tetap ae jika tidak bervariasi dengan e
aerobe aerob
aerodinamics aerodinamika

ae, jika bervariasi dengan e, menjadi e


haemoglobin hemoglobin
haematite hematit

ai tetap ai
trailer trailer
caisson kaison

au tetap au
audiogram audiogram
autotroph autotrof
tautomer tautomer
hydraulic hidraulik
caustic kaustik
c di depan a, u, o, dan konsonan menjadi k
calomel kalomel
construction konstruksi
cubic kubik
coup kup
classification klasifikasi
crystal kristal

c di depan e, i, oe, dan y menjadi s


central sentral
cent sen
circulation sirkulasi
coelom selom
cybernetics sibernetika

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 87


cylinder silinder

cc di depan o, u, dan konsonan menjadi k


accomodation akomodasi
acculturation akulturasi
acclimatization aklimatisasi
accumulation akumulasi
acclamation aklamasi

cc di depan e dan i menjadi ks


accent aksen
accessory aksesori
vaccine vaksin

cch dan ch di depan a, o, dan konsonan menjadi k s


saccharin sakarin
charisma karisma
cholera kolera
chromosome kromosom
technique teknik
ch yang lafalnya s atau sy menjadi s
echelon eselon
machine mesin

ch yang lafalnya c menjadi c


charter carter
chip cip

ck menjadi k
check cek
ticket tiket

88 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


ç (Sanskerta) menjadi s
çabda sabda
çastra sastra

ḍad (‫ ﺽ‬Arab) menjadi d


’afḍal Afdal
ḍa’īf Daif
farḍ Fardu
hāḍir Hadir

e tetap e
effect efek
description deskripsi
synthesis sintesis

ea tetap ea
idealist idealis
habeas habeas

ee (Belanda) menjadi e
stratosfeer stratosfer
systeem sistem

ei tetap ei
eicosane eikosan
eidetic eidetik
einsteinium einsteinium

eo tetap eo
stereo stereo
geometry geometri
zeolite zeolit

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 89


eu tetap eu
neutron neutron
eugenol eugenol
europium europium

fa (‫ ﻑ‬Arab) menjadi f

ʼafḍal Afdal
‘ārif Arif
faqīr fakir
faṣīh fasih
mafhūm mafhum

f tetap f
fanatic fanatik
factor faktor
fossil fosil

gh menjadi g
ghanta genta
sorghum sorgum
gain (‫ ﻍ‬Arab) menjadi g
gā’ib (‫)ﺏﺌاﻏ‬ gaib
magfirah (‫)ﺓﺭﻓﻐﻤ‬ magfirah
magrib (‫)ﺏﺭﻐﻤ‬ magrib

gue menjadi ge
igue ige
gigue gige

ḥa (‫ ﺡ‬Arab) menjadi h
ḥākim Hakim
iṣlāḥ Islah
90 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
siḥr Sihir

hamzah (‫ ﺀ‬Arab) yang diikuti oleh vokal menjadi a, i, u


’amr Amar

mas’alah masalah
’iṣlāḥ islah

’ufuq Ufuk

hamzah (‫ ﺀ‬Arab) di akhir suku kata, kecuali di akhir kata, menjadi k


ta’wīl takwil
ma’mūm makmum
mu’mīn mukmin

hamzah (‫ ﺀ‬Arab) di akhir kata dihilangkan


imlā’ Imla
istinjā’ istinja/tinja
munsyi’ munsyi
wuḍū’ wudu

i (Arab, bunyi pendek atau bunyi panjang) menjadi i


ʼi‘tiqād Iktikad
muslim Muslim
naṣīḥah Nasihat
ṣaḥīḥ Sahih

i pada awal suku kata di depan vokal tetap i


iambus iambus
ion ion
iota iota

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 91


ie (Belanda) menjadi i jika lafalnya i
politiek politik
riem rim

ie tetap ie jika lafalnya bukan i


variety varietas
patient pasien
hierarchy hierarki

jim (‫ ﺝ‬Arab) menjadi j


jāriyah jariah
janāzah jenazah
ʼijāzah ijazah

kha (‫ ﺥ‬Arab) menjadi kh


khuṣūṣ khusus
makhlūq makhluk
tārīkh tarikh

ng tetap ng
contingent kontingen
congres kongres
linguistics linguistik

oe (oi Yunani) menjadi e


foetus fetus
oestrogen estrogen
oenology enologi

oo (Belanda) menjadi o
komfoor kompor
provoost provos

92 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


oo (Inggris) menjadi u
cartoon kartun
proof pruf
pool pul

oo (vokal ganda) tetap oo


zoology zoologi
coordination koordinasi

ou menjadi u jika lafalnya u


gouverneur gubernur
coupon kupon
contour kontur

ph menjadi f
phase fase
physiology fisiologi
spectograph spektograf

ps tetap ps
pseudo pseudo
psychiatry psikiatri
psychic psikis
psychosomatic psikosomatik

pt tetap pt
pterosaur pterosaur
pteridology pteridologi
ptyalin ptialin

q menjadi k
aquarium akuarium

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 93


frequency frekuensi
equator ekuator

qaf (‫ ﻕ‬Arab) menjadi k


‘aqīqah akikah
maqām makam
muṭlaq mutlak

rh menjadi r
rhapsody rapsodi
rhombus rombus
rhythm ritme
rhetoric retorika

sin (‫ ﺱ‬Arab) menjadi s


asās asas
salām salam
silsilah silsilah

śa (‫ ﺙ‬Arab) menjadi s
aśiri asiri
ḥadiś hadis
śulāśā selasa
wāriś waris

(‫ ﺹ‬Arab) menjadi s
‘aṣr asar
muṣībah musibah
khuṣūṣ khusus
ṣaḥḥ sah

syin (‫ ﺵ‬Arab) menjadi sy


‘āsyiq asyik
94 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
‘arsy arasy
syarṭ syarat

sc di depan a, o, u, dan konsonan menjadi sk


scandium skandium
scotopia skotopia
scutella skutela
sclerosis sklerosis

sc di depan e, i, dan y menjadi s


scenography senografi
scintillation sintilasi
scyphistoma sifistoma

sch di depan vokal menjadi sk


schema skema
schizophrenia skizofrenia
scholastic skolastik

t di depan i menjadi s jika lafalnya s


actie aksi
ratio rasio
patient pasien

th menjadi t
theocracy teokrasi
orthography ortografi
thrombosis trombosis
methode (Belanda) metode

u tetap u
unit unit
nucleolus nukleolus
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 95
structure struktur
institute institut

u (Arab, bunyi pendek atau bunyi panjang) menjadi u


rukū’ Rukuk
syubḥāt syubhat
sujūd sujud
’ufuq ufuk

ua tetap ua
aquarium akuarium
dualisme dualisme
squadron skuadron

ue tetap ue
consequent konsekuen
duet duet
suede sued

ui tetap ui
conduite konduite
equinox ekuinoks
equivalent ekuivalen

uo tetap uo
fluorescein fluoresein
quorum kuorum
quota kuota

uu menjadi u
lectuur lektur

96 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


prematuur prematur
vacuum vakum

v tetap v
evacuation evakuasi
television televisi
vitamin vitamin

wau (‫ ﻭ‬Arab) tetap w


jadwal jadwal
taqwā takwa
wujūd wujud

wau (‫ ﻭ‬Arab, baik satu maupun dua konsonan) yang didahului u


dihilangkan
nahwu nahu
nubuwwah nubuat
quwwah kuat

aw (diftong Arab) menjadi au, termasuk yang diikuti konsonan


x pada awal kata tetap x
awrāt aurat
hawl haul
mawlid maulid
walaw walau
xanthate xilofon
xantat xenon
xenon xylophone

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 97


x pada posisi lain menjadi ks
executive eksekutif
express ekspres
latex lateks
taxi taksi

xc di depan e dan i menjadi ks


exception eksepsi
excess ekses
excision eksisi
excitation eksitasi

xc di depan a, o, u, dan konsonan menjadi ksk


excavation ekskavasi
excommunication ekskomunikasi
excursive ekskursif
exclusive eksklusif

y tetap y jika lafalnya y


yakitori yakitori
yangonin yangonin
yen yen
yuan yuan

y menjadi i jika lafalnya ai atau i


dynamo dinamo
propyl propil
psychology psikologi
yttrium itrium

ya (‫ ﻱ‬Arab) di awal suku kata menjadi y


‘ināyah Inayah

98 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


yaqīn Yakin
ya‘nī Yakni

ya (‫ ﻱ‬Arab) di depan i dihilangkan


khiyānah Khianat
qiyās Kias
ziyārah Ziarah

z tetap z
zenith zenit
zirconium zirkonium
zodiac zodiak
zygote zigot

zai (‫ ﺯ‬Arab) tetap z


ijāzah Ijazah
khazānah khazanah
ziyārah Ziarah
zaman Zaman

żal (‫ ﺫ‬Arab) menjadi z


ażān azan
iżn izin
ustāż ustaz
żāt zat
ẓa (‫ ﻅ‬Arab) menjadi z
ḥāfiẓ hafiz
ta‘ takzim
ẓālim zalim

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 99


Konsonan ganda diserap menjadi konsonan tunggal, kecuali kalau
dapat membingungkan. Misalnya:
accu aki
‗allāmah alamah
commission komisi
effect efek
ferrum ferum
gabbro gabro
kaffah kafah
salfeggio salfegio
tafakkur tafakur
tammat tamat
ʼummat umat

Perhatikan penyerapan berikut!


ʼAllah Allah
mass massa
massal massal

Catatan:
Unsur serapan yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa
Indonesia tidak perlu lagi diubah.
Misalnya:
bengkel Nalar Rabu
dongkrak Napas Selasa
faedah Paham Senin
kabar Perlu sirsak
khotbah Pikir soal
koperasi Populer telepon

Selain kaidah penulisan unsur serapan di atas, berikut ini


disertakan daftar istilah asing yang mengandung akhiran serta
penyesuaiannya secara utuh dalam bahasa Indonesia.
100 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
-aat (Belanda) menjadi –at
advocaat advokat

-age menjadi -ase


percentage persentase
etalage etalase

-ah (Arab) menjadi –ah atau –at


‗aqīdah akidah
ʼijāzah ijazah
‘umrah umrah
ʼāyah ayat
ma‘siyyah maksiat
hikmah hikmah, hikmat
‘ibādah ibadah, ibadat

-al (Inggris), -eel dan -aal (Belanda) menjadi –al structural,


structureel struktural
formal, formeel formal
normal, normaal normal

-ant menjadi -an


accountant akuntan
consultant konsultan
informant informan

-archy (Inggris), -archie (Belanda) menjadi arki


anarchy, anarchie anarki
monarchy, monarchie monarki
oligarchy, oligarchie oligarki

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 101


-ary (Inggris), -air (Belanda) menjadi -er
complementary, complementair komplementer
primary, primair primer
secondary, secundair sekunder

-(a)tion (Inggris), -(a)tie (Belanda) menjadi -asi, -si


action, actie aksi
publication, publicatie publikasi

-eel (Belanda) menjadi -el


materieel materiel
moreel morel

-ein tetap -ein


casein kasein
protein protein
-i, -iyyah (akhiran Arab) menjadi –i atau –iah
‘ālamī alami
ʼinsānī insani
‘āliyyah aliah
‘amaliyyah amaliah

-ic, -ics, dan -ique (Inggris), -iek dan -ica (Belanda) menjadi -ik, ika
dialectics, dialektica dialektika
logic, logica logika
physics, physica fisika
linguistics, linguistiek linguistik
phonetics, phonetiek fonetik t
echnique, techniek teknik

-ic (Inggris), -isch (adjektiva Belanda) menjadi -ik


electronic, elektronisch elektronik
mechanic, mechanisch mekanik
102 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
ballistic, ballistisch balistik

-ical (Inggris), -isch (Belanda) menjadi -is


economical, economisch ekonomis
practical, practisch praktis
logical, logisch logis

-ile (Inggris), -iel (Belanda) menjadi -il


mobile, mobiel mobil
percentile, percentiel persentil
projectile, projectiel proyektil

-ism (Inggris), -isme (Belanda) menjadi -isme


capitalism, capitalisme kapitalisme
communism, communisme komunisme
modernism, modernisme modernisme

-ist menjadi -is


egoist egois
hedonist hedonis
publicist publisis

-ive (Inggris), -ief (Belanda) menjadi -if


communicative,communicatief komunikatif
demonstrative, demonstratief demonstratif
descriptive, descriptief deskriptif

-logue (Inggris), -loog (Belanda) menjadi -log


analogue, analoog analog
epilogue, epiloog epilog
prologue, proloog prolog

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 103


-logy (Inggris), -logie (Belanda) menjadi -logi
technology, technologie teknologi
physiology, physiologie fisiologi
analogy, analogie analogi

-oid (Inggris), oide (Belanda) menjadi -oid


anthropoid, anthropoide antropoid
hominoid, hominoide hominoid

-oir(e) menjadi -oar


trotoir trotoar
repertoire repertoar

-or (Inggris), -eur (Belanda) menjadi -ur, -ir


director, directeur direktur
inspector, inspecteur inspektur
amateur amatir
formateur formatur

-or tetap -or


dictator diktator
corrector korektor
distributor distributor

-ty (Inggris), -teit (Belanda) menjadi -tas


university, universiteit universitas
quality, kwaliteit kualitas
quantity, kwantiteit kuantitas

-ure (Inggris), -uur (Belanda) menjadi -ur


culture, cultuur kultur

104 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


premature, prematuur prematur
structure, struktuur struktur

-wi, -wiyyah (Arab) menjadi -wi, -wiah


dunyāwī duniawi
kimiyāwī kimiawi
lugawiyyah lugawiah

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 105


BAB III
BUNYI BAHASA

A. Grafem
Grafem merupakan nama lain dari huruf atau gabungan huruf
sebagai satuan pelambang fonem dalam sistem ejaan. Huruf dalam
bahasa Indonesia disusun berdasarkan urutan abjad. Abjad dalam
bahasa Indonesia terdiri atas 26 huruf yang terbagi atas dua jenis,
yaitu: huruf vokal dan huruf konsonan. Penjelasan mengenai abjad
bahasa Indonesia, dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel Grafem atau Abjad Bahasa Indonesia


Huruf
Nama Pengucapan
Kapital Nonkapital
A A a A
B b be bé
C c ce cé
D d de dé
E e e é
F f ef èf
G g ge gé
H h ha ha
I i i i
J j je jé
K k ka ka
L l el èl
M m em èm
N n en èn
O o o o
P p pe pé
Q q ki ki
R r er èr
S s es ès
T t te té
U u u u
V v ve vé
W w we wé
106 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Huruf
Nama Pengucapan
Kapital Nonkapital
X x eks èks
Y y ye yé
Z z zet zèt

1. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia
terdiri atas lima huruf, yaitu a, e, i, o, dan u.

Tabel Vokal Bahasa Indonesia dari Segi Posisi dalam Kata

Posisi Pemakaian dalam Kata


Huruf
Vokal Depan Tengah Belakang
a api padi Lusa
e* enak petak sore
ember pendek -
emas kena tipe
i itu simpan murni
o oleh kota radio
u ulang bumi ibu
* Untuk pengucapan (pelafalan) kata yang benar, diakritik berikut ini dapat
digunakan jika ejaan kata itu dapat menimbulkan keraguan.

a. Diakritik (é) dilafalkan [e].


Misalnya:
Anak-anak bermain di teras (téras).
Kedelai merupakan bahan pokok kecap (kécap).
b. Diakritik (è) dilafalkan [ɛ].
Misalnya:
Kami menonton film seri (sèri).
Pertahanan militer (militèr) Indonesia cukup kuat.
c. Diakritik (ê) dilafalkan [ə].

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 107


Misalnya:
Pertandingan itu berakhir seri (sêri).
Upacara itu dihadiri pejabat teras (têras) Bank
Indonesia.
Kecap (kêcap) dulu makanan itu.
2. Huruf Konsonan
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia
terdiri atas 21 huruf, yaitu b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w,
x, y, dan z.

Tabel Konsonan Bahasa Indonesia dari Segi Posisi dalam Kata

Huruf Posisi Pemakaian dalam Kata


Konsonan Depan Tengah Belakang
b Bahasa sebut adab
c cakap kaca -
d dua ada abad
f fakir kafan maaf
g guna tiga gudeg
h hari saham tuah
j jalan manja mikraj
k kami paksa politik
l lekas alas akal
m maka kami diam
n nama tanah daun
p pasang apa siap
q* qariah iqra -
r raih bara putar
s sampai asli tangkas
t tali mata rapat
v variasi lava molotov
w wanita hawa takraw
x* xenon - -
y yakin payung -
z zeni lazim juz
Keterangan:
* Huruf q dan x khusus digunakan untuk nama diri dan keperluan ilmu.
Huruf x pada posisi awal kata diucapkan [s].
108 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
B. Fonem
Fonem merupakan satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau
aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan makna kata.
Keberadaan bunyi-bunyi bahasa manusia ditentukan oleh tiga faktor
yang sama memiliki peranan penting. Ketiga faktor tersebut adalah:
(1) alat bicara penutur, (2) udara sebagai pengantar gelombang bunyi
dan (3) indera telinga pendengar sebagai penerima bunyi. Jadi, bunyi
bahasa yang diucapkan manusia tidak hanya ada karena dilahirkan
oleh alat bicara manusia melainkan pada hakikatnya bunyi bahasa
ada karena ditangkap atau diterima oleh indera pendengaran manusia.
Jika tidak ditangkap dan tanpa diterima oleh indera pendengaran
manusia, maka bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara tidaklah
ada dan tidak pernah terdengar. Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan
oleh alat bicara manusia tidak mungkin begitu saja bisa ditangkap
oleh indera pendengaran manusia dengan mudah. Proses
penyampaian bunyi bahasa ke indera manusia sangat ditentukan oleh
udara sebagai pengantar gelombang bunyi. Artinya, keberadaan tiga
aspek yang diuraikan di atas sama-sama penting dan menentukan
dalam melahirkan keberadaan bunyi-bunyi bahasa manusia.
Bunyi-bunyi bahasa manusia dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Alat ucap yang dimaksud, yaitu (1) paru-paru (2) batang
tenggorokan, (3) pangkal tenggorokan, (4) pita suara, (5) krikoid, (6)
tiroid, (7) aritenoid, (8) dinding rongga tenggorokan, (9) epiglotis,
(10) akar lidah, (11) pangkal lidah, (12) tengah lidah, (13) daun lidah,
(14) ujung lidah, (15) anak tekak, (16) langit-langit lunak, (17)
langit-langit keras, (18) lengkung kaki gigi, (19) gigi atas, (20) gigi
bawah, (21) bibir atas, (22) bibir bawah, (23) mulut, (24) rongga
mulut, dan (25) rongga hidung. Untuk dapat memahami bagaimana
bunyi bahasa dihasilkan, perlu diketahui alat-alat ucap tersebut.
Berdasarkan ada tidaknya hambatan udara, bunyi bahasa dibedakan
atas konsonan dan vokal.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 109


1. Konsonan
Konsonan (conconant) terbentuk bila aliran udara dari paru-
paru yang mengalir keluar mendapat hambatan/rintangan/gangguan
pada salah satu titik pertemuan dua buah alat ucap. Dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa konsonan terbentuk berdasarkan dua hal.
Pertama, cara udara keluar dari paru-paru (manner of articulation).
Kedua, tempat udara mengalami hambatan/rintangan/gangguan.
Tempat itu disebut titik artikulasi (point of articulation) yang
merupakan titik pertemuan dua buah alat ucap.
Berdasarkan cara udara mengalir dari paru-paru yang keluar
menuju ke rongga mulut (oral cavity) atau ke rongga hidung (nasal
cavity), konsonan dibedakan atas: stops, frikatif, nasal, lateral,
retrofleks, dan semi vokal. Disamping itu, konsonan juga dibedakan
atas konsonan tak bersuara (voiceless conconants). Konsonan tak
bersuara jika waktu menghasilkan konsonan itu tidak menimbulkan
suara, sedangkan konsonan bersuara (voiced consonant) bila waktu
menghasilkan konsonan itu menimbulkan terjadinya suara. Namun,
suara yang dihasilkan bukanlah suara seperti biasa yang dapat
didengar dengan jelas, melainkan suara di dalam kerongkongan yang
hanya dapat didengar biasanya dengan jalan menutup telinga sewaktu
menghasilkan konsonan tersebut. Dengan demikian, konsonana dapat
dibedakan atas enam macam, yaitu (1) konsonan stops terdiri atas
konsonan stops tak bersuara (p, t, c, k, dan ?) dan konsonan stops
bersuara ( b, d, j, g), (2) konsonan frikatif tak bersuara (f, s, s, x, h )
dan frikatif bersuara ( v, z), (3) konsonan nasal bersuara ( m, n, n, n),
(4) konsonan lateral bersuara (l), (5) konsonan rtrofleksi bersuara (r),
dan (6) konsonan semi vokal bersuara (w, y).

110 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Tabel Konsonan Bahasa Indonesia

Titik artikulasi Labial


Keterangan
Cara udara keluar 1 2 3 4 5 6
Stops tb P - t C k ? 1. Bilabial
b - d j g 2. Labidental
Frikatif b - f s s x 3. Dental/alveolar
- v z - - 4. Palatal
Nasal tb m - n n n 5. Valar
Lateral b - - l - - 6. Glotal
Rtrofleksi b - - r - - tb = tidak bersuara
Semi vokal B w - - y - b = bersuara
Art = artikulasi

Berdasarkan titik artikulasi yang menghasilkan bunyi


konsonan tersebut, konsonan dapat dibedakan atas enam macam,
yaitu (1) bilabial ( p, b, m, w), (2) labidental (f, v ), (3)
dental/alveolar (t, d, s, z, n, l, r ), (4) palatal (c, j, s, n, y), (5) velar (k,
g, x, n), dan (6) glottal (?, h ).

2. Vokal
Vokal (vowel) adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap tanpa
adanya hambatan/gangguang/rintangan terhadap udara yang mengalir
keluar dari paru-paru. Vokal dibedakan berdasarkan atas: (1) posisi
lidah (tinggi, sedang, dan rendah) dan (2) bagian lidah yang berperan
dalam menghasilkan bunyi (depan, tengah, dan belakang).
Berdasarkan posisi tinggi rendahnya lidah sewaktu menghasilkan
bunyi vokal, vokal dibedakan atas tiga macam:

a. Tinggi : I, u
b. Sedang : e, o
c. Rendah : E, a

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 111


Berdasarkan bagian lidah yang berperan dalam menghasilkan
vokal, vokal juga dibedakan atas tiga macam.
a. Muka/depan : I, E
b. Tengah : e, a
c. Belakang : u, o

Disamping itu, vokal dibedakan pula atas vokal bundar dan


vokal tak bundar. Dikatakan vokal bundar karena bentuk mulut
membundar ketika mengucapkan vokal tersebut, misalnya u dan o.
Sebaliknya, dinamakan vokal tak bundar karena bentuk mulut tidak
bundar, tetapi melebar saat mengucapkan vokal itu, misalnya i dan e.

Tabel Vokal Bahasa Indonesia


Muka/Depan Tengah Belakang
Bagian lidah
tak tak tak
yang berperan bunyi bunyi bunyi
bunyi bunyi bunyi
Tinggi - I - - u -
Sedang - - - e o -
Rendah - E - a - -

Keterangan:
Bunyi : bentuk bibir bundar
Tak bunyi : bentuk bibir tidak bundar

Bunyi [E] dalam tabel berarti e keras seperti dalam kata berikut
ini.
sate  [ satE]
toge  [ togE]
Bunyi [E] dalam tabel di atas melambangkan e lembut seperti
dalam kata berikut ini.
lemah  [ lemah]
cepat  [ cepat]

112 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Bibir membentuk lingkaran (bundar), sedangkan vokal tidak
bundar bila bibir tidak membentuk lingkaran. Vokal bundar dalam
bahasa indonesia adalah u dan o.

3. Diftong
Diftong adalah kombinasi vokal yang mendapat satu hembusan
napas waktu mengucapkannya. Berbeda halnya dengan deretan vokal
yang mendapat hembusan nafas yang sama atau hampir sama untuk
setiap vokal itu. Deretan vokal itu /ai/ dalam kata gulai yang berarti
sambal mendapat satu hembusan nafas saja. Berbeda dengan kata
gulai dalam arti memberi gulai. Setiap vokal /a/ dan /i/ masing-
masing mendapat satu hembusan nafas. Dengan demikian, diftong
bukanlah sekadar deretan vokal, tetapi deretan vokal yang hanya
mendapat satu hembusan nafas sewaktu diucapkan. Di samping itu,
diftong dapat dibedakan dari cara mengucapkannya. Jika
mengucapkan bunyi tersebut, misalnya [gulay] dengan bunyi /ai/
menjadi /ay/, maka bunyi itu adalah diftong. Akan tetapi, apabila
[gulai] tersebut diucapkan dengan bunyi [gulai] maka /ai/ di sini
merupakan deretan vokal.
Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga buah diftong, yakni, /ai/,
/au/, dan /oi/. Ketiga diftong tersebut dapat dibedakan dengan deretan
vokal. Cara membedakannya melalui pengucapanya. Kalau
diucapkan dalam satu hembusan nafas, bunyi itu adalah diftong,
tetapi kalau diucapkan dengan masing-masing satu hembusan nafas
(setiap vokal itu mendapatkan satu hembusan nafas), bunyi tersebut
adalah deretan vokal. Dengan kata lain, dapat dikatakan deretan
vokal jika berada dalam suku kata yang berbeda. Akan tetapi, kalau
berada pada suku kata yang sama, bunyi tersebut dinamakan diftong.
Sebagai contoh dapat diikuti seperti di bawah ini.
Diftong: /ai/ [ay] [tupay] tupai
/au/ [aw] [limaw] limau
/oi/ [oy] [koboy] koboi
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 113
Deretan vokal: /ai/ [ai] [gulai] beri gula
/au/ [au] [mau] mau
/oi/ [oi] [jagoi] jagoi

Kalau diftong dan deretan vokal di atas dipisahkan atas suku


katanya, pemisahan yang terjadi adalah sebagai berikut.
Diftong: tupai menjadi tu-pai
limau menjadi li-mau
koboi menjadi ko-boi
Deretan vokal: gulai menjadi gu-la-i
mau menjadi ma-u
jagoi menjadi ja-go-i
4. Gugus Konsonan
Kata ‘konstruksi’, dapat diuraikan menjadi kon-struk-si.
Dalam silabel ‘struk’ ada tiga konsonan berderet. Deretan konsonan
dalam satu silabel itu disebut gugus konsonan. Dalam kata-kata
seperti banting dan konsonan, bunyi /nt/ dan /ns/ bukanlah
merupakan gugus konsonan atau consonant cluster. Kata-kata
tersebut tidak memiliki gugus konsonan karena deretan konsonan itu
tidak berada dalam silabel yang sama. Deretan konsonan /nt/ dalam
kata banting terletak pada silabel yang berbeda yaitu, ban-ting.
Begitu pula kata seperti dan kata suntikan kalau dipisahkan atas
silabelnya akan menjadi se-per-ti dan sun-tik-an. Dalam setiap
silabelnya tidak terdapat deretan konsonan yang dinamakan gugus
konsonan.

C. Hubungan Grafem dengan Fonem


Hubungan grafem dengan fonem dalam bahasa Indonesia
terlihat pada proses pembentukan kata (Lapoliwa, 1981:7). Berikut
ini ditampilkan beberapa contoh hubungan grafem dengan fonem
dalam proses pembentukan kata:

114 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Contoh Fonem Grafem
/i/ i /ibu/ ibu
/u/ u /satu/ satu
/e/ e /enak/ enak
/∂/ /∂mas/ emas
/o/ o /toko/ toko
/a/ a /apa/ apa
/y/ y /ayah/ ayah
/w/ w /kawan/kawan
/h/ h /hari/ hari
/p/ p /apa/ apa
b /jawap/ jawab
/b/ /buka/ buka
/t/ t /tutup/ tutup
d /abat/ abad
/d/ /duduk/duduk
/k/ k /kuat/ kuat
g /gudek/ gudeg
/g/ /gula/ gula
/f/ f, p /taraf/ taraf , tarap
v /feto/ veto
/s/ s /saya/ saya
/z/ z,s /azas/ azas, asas
j /zaman/jaman

/s/ sy,s /sah/ syah, sah


/x/ kh /xas/ khas
g /axen/ agen
/c/ c /cuci/ cuci
/j/ j /ajar/ ajar
/l/ l /lari/ lari
/r/ r /rumah/rumah

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 115


/m/ m /muda/ muda
/n/ n /ini/ ini
/ñ/ ny /bañak/ banyak
/ŋ/ ng /oraŋ/ orang

Hubungan fonem dengan alofon-alofonnya dan grafem


dalam bahasa Indonesia (Chaer, 1994:138-139) adalah berikut ini.
Fonem Alofon Grafem Contoh
/i/ [i] i i.ni, ni.la
[I] il.ham, ba.tik
/u/ [u] u su.su, ka.mu
/e/ [e] e sa.te
[E] ro.bek, mo.nyet
/∂/ [∂] ke.ra, be.tul
/o/ [o] o so.to, bak.so
[. ] to.koh, bodoh
/a/ [a] a a.pa, ka.dal
/ay/ [ay] ai an.dai, gu.lai
/aw/ [aw] aw au.la, ker.bau
/oy/ [oy] oy am.boi, se.koi
/y/ [y] y ya.kin, sa.ya
/w/ [w] w wa.ris, ka.wan
/p/ [p] p pa.sar. a.sap
/b/ [p] b sab.tu, ja.wab
[b] bu.ka, sa.bun
/f/ [f] f fa.sih, si.fat
v va.ria, vi.tal
/m/ [m] m ma.ri, a.mal
/t/ [t] t ta.ri, da.pat
/d/ [t] d ji.had, la.had
[d] da.ri, a.dat
/c/ [c] c ca.ri, a.carci

116 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


/j/ [j] j ja.ri, a.jar
/s/ [s] s sa.ri, be.sar
/z/ [z] z za.kat, zia.rah
/r/ [r] r ra.ja, la.par
/n/ [n] n na.si, bi,nal
/s/ [s] sy sya.rat, in.syaf
/ñ/ [ñ] ny nya.ring, ba.nyak
/k/ [k] k ka.bar, de.kat
[?] nik.mat, rak.yat
/g/ [g] g gu.dek, gu.buk
g ga.ji, tu.gas
/x/ [x] kh khot.bah, a.khir
/ŋ/ [ŋ] ng nga.nga, a.ngan
/h/ [h] h ha.sil, pa.hat
/l/ [l] l la.ri, ba.tal

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 117


BAB IV
MORFEM DAN KATA

A. Morfem
1. Pengertian Morfem
Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang bermakna
secara inheren (Chaer, 2008:5). Menurut Nida (dalam Maksan,
1994:48), morfem adalah the smallest meaningful of an utterance.
Hampir sama dengan Nida, Hockett (dalam Maksan, 1994:48)
menyatakan bahwa morfem merupakan unsur-unsur terkecil yang
mempunyai makna dalam tutur sebuah bahasa. Bloomfield (dalam
Maksan, 1994:48 ) memberikan batasan bahwa morfem sebagai satu
bentuk bahasa yang tidak mirip dengan bentuk lain manapun, baik
dari segi bunyi (bentuk) maupun dari segi makna. Berdasarkan
pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfem adalah
satuan bahasa terkecil yang mempunyai makna leksikal atau
gramatikal dan berbeda bunyi atau bentuknya (Ratna, 2013).

2. Identifikasi Morfem
Untuk mengetahuinya suatu bentuk tergolong morfem atau
bukan, maka perlu dibandingkan dengan bentuk-bentuk lain. Jika
bentuk-bentuk tersebut dapat hadir secara berulang-ulang dengan
bentuk lain, maka bentuk tersebut tergolong pada morfem (Chaer,
2010:147). Misalnya, bentuk {membuat} dapat dibandingkan dengan
bentuk {membongkar}, {membeli}, {membantu}, {membantah},
{membuka}, dan {membungkuk}. Bentuk mem- pada bentuk-bentuk
tersebut dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan
mempunyai makna yang sama, yaitu melakukan pekerjaan. Dengan
demikian, bentuk mem- pada bentuk-bentuk tersebut dapat
digolongkan sebagai sebuah morfem. Hal itu disebabkan bentuk

118 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


mem- merupakan satuan terkecil yang dapat hadir secara berulang-
ulang dan mempunyai makna yang sama. Begitulah caranya untuk
menentukan apakah sebuah bentuk itu morfem atau bukan (Ratna,
2013).
Terkait dengan penentuan morfem tersebut, Maksan (1994:52)
menyatakan ada tujuh hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dua
bentuk yang sama atau lebih memiliki makna yang sama merupakan
sebuah morfem. Contohnya, kata bulan pada ketiga kalimat berikut
adalah morfem yang sama.
(1) Bulan depan ia akan pindah rumah.
(2) Sudah dua bulan ia menunggak pembayaran uang kos.
(3) Bulan Desember lamanya 31 hari.

Kedua, dua bentuk yang sama atau lebih bila memiliki


makna yang berbeda merupakan dua morfem yang berbeda.
Misalnya, kata bunga pada kalimat berikut adalah dua buah morfem
yang berbeda.
(1) Bank Pembangunan Daerah memberikan bunga yang kecil
untuk para guru.
(2) Dia datang membawa sekuntum bunga.

Ketiga, dua buah bentuk yang berbeda, tetapi memiliki makna


yang sama merupakan dua morfem yang berbeda. Contohnya, kata
ayah dan kata bapak pada kedua kalimat berikut adalah dua morfem
yang berbeda.
(1) Ayah mengunjungi Ibu ke Bandung.
(2) Bapak baru pulang dari Bandung.

Keempat, bentuk-bentuk yang mirip, tetapi maknanya sama


adalah sebuah morfem yang sama, asal perbedaan bentuk itu dapat
dijelaskan secara fonologis. Misalnya, bentuk-bentuk me-, mem-,

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 119


meny-, meng-, dan menge- pada kata-kata berikut adalah sebuah
morfem yang sama.
(1) melihat
(2) membina
(3) mendengar
(4) menyusul
(5) mengambil
(6) mengecat

Kelima, bentuk yang hanya muncul dengan pasangan satu-


satunya juga merupakan sebuah morfem. Misalnya, renta pada
konstruksi tua renta dan bentuk kuyup pada konstruksi basah kuyup
adalah morfem. Contoh lain, bentuk bugar pada segar bugar, dan
bentuk mersik pada kering mersik.

Keenam, bentuk yang muncul berulang-ulang pada satuan


yang lebih besar apabila memiliki makna yang sama merupakan
sebuah morfem yang sama. Misalnya, bentuk baca pada kata-kata
berikut adalah sebuah morfem yang sama.
(1) membaca
(2) pembaca
(3) pembacaan
(4) bacaan
(5) terbaca
(6) keterbacaan

Ketujuh, bentuk yang muncul berulang-ulang pada satuan


bahasa yang lebih besar (klausa atau kalimat) apabila maknanya
berbeda secara polisemi merupakan morfem yang sama. Misalnya,
kata kepala pada kalimat-kalimat berikut memiliki makna yang
berbeda secara polisemi, tetapi tetap merupakan morfem yang sama.

120 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


(1) Ibunya menjadi kepala sekolah di sana,
(2) Nomor teleponnya tertera pada kepala surat itu.
(3) Kepala jarum itu terbuat dari plastik.
(4) Setiap kepala mendapat bantuan sepuluh ribu rupiah.
(5) Tubuhnya memang besar, tetapi sayang kepalanya
kosong (Ratna, 2013).

3. Alomorf (Variasi Bentuk)


Alomorf adalah pertuturan konkret dari realisasi morfem yang
bersifat nyata. Misalnya, morfem {kuda} direalisasikan dalam bentuk
unsur leksikal kuda. Contoh lain, morfem {-kan} direalisasikan
dalam bentuk sufiks –kan seperti pada konstruksi meluruskan atau
membacakan (Chaer, 2010:15). Pada umumnya sebuah morfem
hanya memiliki sebuah alomorf. Namun, ada juga morfem yang
direalisasikan dalam beberapa bentuk alomorf. Misalnya, morfem
{ber-} memiliki tiga bentuk alomorf, yaitu ber-, be-, dan bel-, seperti
terdapat pada tabel berikut.

Morfem Alomorf Contoh (pada kata)


ber- bertemu, berdoa
ber- be- beternak, bekerja
bel- belajar.

Demikian juga halnya dengan morfem {me-}. Morfem {me-}


memiliki enam buah alomorf seperti yang tertera pada tabel berikut
ini.

Morfem Alomorf Contoh (pada kata)


me- melihat, merawat
mem- membaca, membawa
Me-
men- menduga, mendengar
meny- menyisir, menyusul

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 121


Morfem Alomorf Contoh (pada kata)
meng- menggali, mengebor
menge- mengecat, mengetik

4. Klasifikasi Morfem
Dalam kajian morfologi morfem dibedakan berdasarkan
kriteria kebebasan, keutuhan, fonem pembentuk, dan maknanya.
Berdasarkan kebebasannya untuk dapat digunakan secara langsung
dalam pertuturan, morfem dibedakan atas dua macam, yaitu morfem
bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang tanpa
kehadiran morfem lain dapat langsung dipergunakan dalam
pertuturan. Misalnya, morfem {pergi}, {sibuk}, {duduk}, {merah},
dan {bunga}, dapat hadir dalam pertuturan tanpa harus bergabung
dengan morfem lain (Ratna, 2013).
Morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih dahulu
bergabung dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam
pertuturan. Dalam hal ini, semua afiks/ imbuhan dalam bahasa
Indonesia termasuk morfem terikat. Misalnya, sufiks, prefiks, infiks,
dan konfiks merupan contoh morfem terikat. Selain afiks, bentuk
prakategorial juga merupakan contoh morfem terikat. Misalnya,
bentuk {juang}, {henti}, dan {geletak} tergolong morfem terikat
karena bentuk-bentuk tersebut tidak dapat muncul dalam pertuturan
sebelum terlebih dahulu mengalami proses morfologis. Bentuk
{juang} menjadi berjuang, pejuang, dan daya juang; {henti} harus
digabung dengan afiks tertentu seperti menjadi berhenti, perhentian
terhenti, dan menghentikan; dan {geletak} harus diberi imbuhan,
misalnya menjadi tergeletak dan menggeletak (Ratna, 2013).
Berdasarkan keutuhan bentuknya, morfem dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu morfem utuh dan morfem terbagi. Morfem
utuh secara fisik merupakan satu-kesatuan yang utuh. Karena
merupakan satu-kesatuan yang utuh, bentuk ini tidak dapat dipisah.
Semua morfem dasar, baik bebas maupun terikat, dan sebagian dari

122 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


morfem terikat yang berupa afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}
termasuk morfem utuh (Chaer, 2010:153). Misalnya morfem {bibit}
pada bentuk pembibitan, morfem {batu} dan {mem-} pada bentuk
membatu, morfem {henti} dan {ber-} pada bentuk berhenti tergolong
ke dalam morfem utuh karena bentuk-bentuk tersebut tidak dapat
disegmentasikan lagi (Ratna, 2013).
Morfem terbagi adalah morfem yang fisiknya terbagi atau
disisipi oleh morfem lain. Semua konfiks seperti: {pe- an}, {ke- an},
{per- an}, dan {ber- an} termasuk morfem terbagi. Misalnya, pada
bentuk kesatuan terdapat morfem utuh {satu} dan morfem terbagi
{ke-/- an} dan pada bentuk persaudaraan terdapat marfem utuh
{saudara} dan morfem terbagi {per-/-an}. Selain konfiks, yang
tergolong morfem terbagi dalam bahasa Indonesia adalah kata yang
berinfiks. Misalnya, morfem {-er-} pada bentuk gerigi, {-el-} pada
bentuk telunjuk, dan {-em-} pada bentuk gemetar. Ketiga morfem
yang berupa infiks tersebut telah mengubah morfem utuh {gigi}
menjadi {g- / - igi}, morfem utuh {tunjuk} menjadi {t- / - unjuk},
dan morfem {g- / - etar} (Ratna, 2013).
Berdasarkan jenis fonem yang membentuknya, morfem
dibedakan menjadi morfem segmental dan morfem suprasegmental.
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem
segmental. Misalnya, morfem {lihat}, {ter-}, {sikat}, dan {lah}
dibentuk dari bunyi-bunyi bahasa. Morfem {lihat} terbentuk dari
bunyi /l/, /i/, /h/, /a/, dan /t/. Begitu juga dengan morfem {ter-}
dibentuk dari bunyi /t/, /e/, dan /r/.. Jadi, morfem segmental adalah
morfem yang dibentuk dari bunyi-bunyi bahasa (Ratna, 2013).
Morfem suprasegmental adalah morfem yang terbentuk dari
fomem suprasegmental, seperti nada, tekanan, durasi, dan intonasi.
Dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan morfem suprasegmental,
tetapi dalam bahasa Cina, Thai, dan Burma morfem tersebut dapat
ditemukan. Misalnya, morfem {mung} dalam bahasa Thai
mempunyai makna yang berbeda karena nadanya berbeda. Morfem

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 123


{mung} yang dilafalkan dengan nada netral bermakna
‘mengerumuni’, {mung} dengan nada naik turun bermakna
‘mengarah kepada’, dan {mung} dengan nada naik bermakna
‘kelambu’.
Berdasarkan maknanya, morfem dibedakan atas dua macam,
yaitu morfem bermakna leksikal dan bermakna gramatikal. Morfem
bermakna leksikal adalah morfem yang mempunyai makna dasar
yang menunjuk pada benda, hal, perbuatan, dan sifat yang terdapat
dalam alam sekitar (Kencono, 1997:43). Morfem bermakna leksikal
secara inheren telah memiliki makna tanpa harus berproses dengan
morfem lain. Morfem {rumah}, {lari}, {duduk}, dan {cantik},
tergolong morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem-
morfem tersebut dapat digunakan secara bebas dan mempunyai
kedudukan yang otonom dalam pertuturan.
Morfem bermakna gramatikal tidak dapat berdiri sendiri dalam
pertuturan tanpa bergabung dengan morfem lain. Morfem bermakna
gramatikal akan mempunyai makna jika telah mengalami proses
morfologis. Morfem afiks, seperti prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks
tergolong morfem bermakna gramatikal. Misalnya, dalam morfem
{menjahit} terdiri atas morfem {jahit} yang bermakna leksikal dan
morfem {men-} yang bermakna gramatikal “melakukan pekerjaan”.
Morfem {terbaca} terdiri atas morfem {baca} yang bermakna
leksikal dan morfem {ter-} yeng bermakna gramatikal “dapat di”
(Ratna, 2013).

B. Kata
1. Pengertian Kata
Kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian. Kata
merupakan deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi dan
mempunyai satu arti. Bloomfield menyatakan bahwa kata merupakan
satuan bebas terkecil. Batasan ‘kata’ yang dijumpai dalam buku
linguistik Eropa adalah bentuk yang ke dalam mempunyai susunan
124 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
fonologis yang stabil atau tidak berubah dan keluar mempunyai
kemungkinan mobilitas di dalam kalimat (Chaer ,2010:162).
Kata merupakan satuan bahasa yang terbentuk dari satu
morfem atau lebih (Oka, 1994:25). Kridalaksana (dalam Oka,
1994:25) berpendapat bahwa kata merupakan satuan gramatikal yang
dapat diujarkan sebagai bentuk bebas. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri
sendiri (Ratna, 2013).

2. Jenis Kata
Menurut Aristoteles salah seorang tokoh aliran tradisional
bangsa Romawi Kuno, kata dapat dibagi menjadi sepuluh jenis, (a)
kata benda (nomina), (b) kata kerja (verba), (c) kata sifat (adjektiva),
(d) kata keterangan (adverbia), (e) kata ganti (pronomina), (f) kata
bilangan (numeralia), (g) kata depan (perposisi), (h) kata penghubung
(konjungsi), (h) kata sandang (artikulus), dan (j) kata seru
(interjeksi).

a. Kata Benda (Nomina)


Kata benda adalah kata yang menerangkan adverbia
pendampingnya. Kata-kata yang dapat digolongkan sebagai nomina
harus memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, tidak dapat
didahului oleh adverbia negasi tidak. Kata-kata seperti: kucing, meja,
bulan, rumah dan pensil tergolong nomina. Jadi, kata-kata tersebut
tidak dapat didahului oleh negasi tidak. Kedua, tidak dapat didahului
oleh adverbia derajat agak (lebih, sangat dan paling). Kata-kata
seperti: matahari, piring, dan gelas tergolong nomina. Kata-kata
tersebut tidak dapat didahului kata derajat agak. Ketiga, tidak dapat
didahului oleh adverbia keharusan wajib. Kata-kata seperti pena,
buku, dan sepeda tidak dapat didahului oleh kata keharusan wajib.
Oleh karena itu, kata pena, buku, dan sepeda tergolong nomina.
Keempat, dapat didahului oleh adverbia yang menyatakan jumlah,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 125
seperti seekor, sebuah, secarik, dan sebatang. Kata-kata seperti:
kucing, pensil, kertas, dan rumah merupakan nomina. Kata-kata
tersebut dapat didahului oleh adverbia yang menyatakan jumlah
sehingga menjadi seekor kucing, sebuah rumah, secarik kertas, dan
sebatang pensil (Ratna, 2013).

b. Kata Kerja (Verba)


Kata kerja atau verba adalah kata yang menyatakan tindakan
atau perbuatan. Kata kerja dapat didampingi oleh adverbia (1) negasi
tidak dan tanpa, (2) frekuensi, (3) jumlah, (4) kala, (5) keselesaian,
(6) keharusan, dan (7) kepastian. Adverbia negasi ‘tidak’ dan ‘tanpa’
dapat mendahului kata kerja. Misalnya, tidak datang dan tanpa
makan. Adverbia negasi bukan dapat juga mendampingi sebuah
verba, tetapi dengan syarat apabila berada dalam konstruksi
kontrastif. Misalnya, dia bukan menangis karena sedih, melainkan
karena terharu. Kedua, semua adverbia frekuensi dapat mendahului
kata-kata, seperti: datang, makan, dan pulang. Misalnya, sering
datang, jarang datang, kadang-kadang makan, jarang pulang, dan
sering pulang. Ketiga, semua adverbia jumlah dapat mendahului
kata-kata seperti membaca, tidur, dan menarik, misalnya kurang
membaca, kurang tidur, dan cukup menarik. Keempat, semua
adverbial kala dapat mendahului kata-kata seperti pulang, tidur, dan
pergi. Contohnya kata: akan pulang, sedang tidur, hendak pergi.
Kelima, semua adverbia keselesaian dapat mengikuti kata-kata
seperti mandi, datang, makan, dan pulang. Contohnya kata: sedang
mandi, belum datang, sudah makan, dan baru pulang. Keenam,
semua adverbia keharusan dapat mendahului kata-kata seperti datang,
pergi, dan pulang. Contohnya kata: wajib datang, harus pergi, dan
harus pulang. Ketujuh, semua adverbia kepastian dapat mendahului
kata-kata seperti datang, pulang, dan pergi. Contohnya kata: pasti
datang, mungkin pulang, dan mungkin pergi.

126 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Selanjutnya, kata kerja tidak dapat didampingi oleh kata
bilangan dengan penggolongannya dan semua adverbia derajat. Kata-
kata seperti: sebuah, selembar, dan sebutir sebagai kata bantu
bilangan tidak dapat mendahului kata kerja. Begitu pula dengan kata-
kata seperti: agak, cukup, lebih, sangat, paling, dan sedikit sebagai
adverbia derajat tidak dapat mendahului kata kerja (Ratna, 2013).

c. Kata Sifat (Adjektiva)


Kata sifat adalah kata yang menerangkan keadaan dari
adverbia yang mendampingingya. Ciri utama kata sifat adalah
sebagai berikut. Pertama, tidak dapat didampingi oleh (1) adverbia
frekuensi seperti: kata sering, jarang dan kadang-kadang, (2)
adverbia jumlah, seperti kata. banyak, dan sedikit, dan (3) adverbia
kala, seperti kata hendak dan mau. Kedua, dapat didampingi oleh (1)
semua adverbia derajat, seperti: kata agak, cukup, lebih, sangat,
sedikit, jauh, paling dan (2) adverbia kepastian seperti pasti, tentu,
mungkin, dan barangkali (Ratna, 2013).

d. Kata Keterangan (Adverbia)


Adverbia lazim disebut kata keterangan atau kata keterangan
tambahan. Fungsinya adalah menerangkan kata kerja, kata sifat, dan
jenis kata lainnya. Adverbia pada umumnya berupa bentuk dasar.
Sedikit sekali yang berupa kata bentukan. Adverbia yang berupa kata
bentukan secara morfologis dapat dikenali dari bentuk-bentuk
berikut.
(1) Berprefiks se- seperti sejumlah, sebagian, seberapa, dan
semoga.
(2) Berprefiks se- dengan reduplikasi seperti sekali-kali, semena-
mena.
(3) Berkonfiks se-nya, seperti sebaiknya, seharusnya,
sesungguhnya, dan sebisanya.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 127


Berdasarkan bentuknya, adverbia dibedakan atas bentuk
tunggal (monomorfemis) dan bentuk jamak (polimorfemis). Bentuk
tunggal, misalnya sangat, lebih, segera, agak dan akan. Sebaliknya,
bentuk jamak, misalnya belum tentu, benar-benar, mau tidak mau,
kerap kali, dan mula-mula (Widjono, 2007:137).

e. Kata Ganti (Pronomina)


Pronomina lazim disebut kata ganti karena tugasnya memang
menggantikan nomina yang ada. Secara umum, pronomina dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu (1) pronomina
demontrativa atau kata ganti penunjuk, (2) pronomina personal atau
kata ganti diri, (3) pronomina introgativa atau kata ganti tanya dan
(4) pronomina tak tentu. Pronomina demontrantiva dibedakan
menjadi pronomina umum dan tempat. Pronomina umum misalnya
ini dan itu, sedangkan pronomina tempat misalnya sini dan sana.
Pronomina personal adalah pronomina yang mengacu pada
orang. Pronomina personal dikelompokkan atas tiga jenis, yaitu (a)
personal pertama, (b) personal kedua, dan (c) personal ketiga.
Persona pertama tunggal misalnya saya dan aku, sedangkan personal
pertama jamak, seperti kami dan kita. Persona kedua tunggal, seperti
engkau, kamu, dan Anda, sedangkan persona kedua jamak, seperti
kalian dan kamu sekalian. Persona ketiga, seperti dia, ia, dan beliau.
Pronomina introgativa digunakan sebagai pemarkah (penanda)
pertanyaan. Dari segi maknanya, pronomina interogativa dibedakan
atas interogativa orang, benda/barang, dan pilihan. Pronomina orang,
misalnya, siapa. Pronomina barang misalnya apa menghasilkan
turunan mengapa berapa, dan dengan apa. Pronomina pilihan
misalnya mana menghasilkan turunan bagaimana, di mana, ke mana,
dan dari mana (Ratna, 2013).

128 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


f. Kata Bilangan (Numeralia)
Kata bilangan atau numeralia adalah kata-kata yang
menyatakan bilangan, jumlah, nomor, urutan, dan suatu himpunan.
Menurut subkategorinya, kata bilangan dibedakan atas dua macam,
yaitu: (1) kata bilangan takrif dan (2) kata bilangan tak takrif
(Widjono, 2007:136). Kata bilangan takrif terdiri atas: (a) kata
bilangan pokok, (b) kata bilangan tingkat, dan (c) kata bilangan
kolektif. Kata bilangan pokok ditandai dengan jawaban dari
pertanyaan yang ke berapa, misalnya satu, dua, dan seratus. Kata
bilangan tingkat ditandai dengan jawaban dari pertanyaan yang ke
berapa, misalnya kedua puluh, keseratus, dan keseribu. Kata bilangan
kolektif ditandai dengan satuan bilangan, misalnya lusin, rim, meter,
kodi, dan rupiah. Kata bilangan tak takrif, misalnya beberapa,
berbagai, segenap, dan semua (Ratna, 2013).

g. Kata Depan (Preposisi)


Kata depan atau preposisi adalah kata-kata yang digunakan
untuk merangkaikan nomina dengan verba di dalam suatu klausa.
Menurut Widjono (2007:138), kata depan adalah kata yang terletak di
depan kata lain sehingga membentuk sebuah frasa. Berdasarkan
bentuknya, kata depan dibedakan atas dua jenis, yaitu: (1) kata depan
dasar dan (2) kata depan turunan. Kata depan dasar, misalnya di, ke,
dari, pada, dan demi, sedangkan kata depan turunan, misalnya ke
dalam, dari atas, di antara, daripada, dan kepada. Contoh penggunaan
kata depan dapat dicermati dalam kalimat berikut.
(1) Nenek duduk di kursi.
(2) Demi kemakmuran bangsa, marilah kita tegakkan hukum
dan keadilan.
(3) Di antara calon peserta terdapat nama seorang peserta
yang pernah menjuarai perlombaan.
(4) Dia bekerja sebagai kasir pada Bank Mandiri (Ratna,
2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 129


h. Kata Penghubung (Konjungsi)
Kata penghubung atau konjungsi adalah kata-kata yang
menghubungkan satuan-satuan sintaksis, baik antara kata dengan
kata, antara frasa dengan frasa, antara klausa dengan klausa, atau
antara kalimat dengan kalimat. Dengan kata lain, kata penghubung
berfungsi merangkaikan bagian-bagian kalimat atau kalimat yang
satu dengan kalimat yang lain. Berdasarkan fungsinya, kata
penghubung dibedakan atas dua macam, yaitu (1) kata penghubung
intrakalimat dan (2) kata penghubung antarkalimat. Kata penghubung
intrakalimat, misalnya agar, atau, dan, hingga, sedangkan, sehingga,
serta, tetapi, karena, dan sebab. Sebaliknya, kata penghubung
antarkalimat, misalnya akan tetapi, namun, karena itu, oleh karena
itu, selain itu, dengan demikian, jadi, bahkan, akibatnya, walaupun
demikian, dan tambahan lagi. Contoh penggunaan kata penghubung
atau konjungsi dapat dicermati dalam kalimat berikut:
(1) Ibu dan ayah pergi ke Bogor.
(2) Adik belajar hingga larut malam.
(3) Orang itu kaya raya, tetapi hidup sederhana.
(4) Dia senantiasa membangun karakternya. Selain itu, dia
juga memperluas wawasannya.
(5) Kualitas pendidikan kita tertinggal dari negara-negara
maju. Karena itu, kita harus bekerja keras untuk
mengejar ketertinggalan itu (Ratna, 2013).

i. Kata Sandang (Artikulus)


Kata sandang atau artikulus adalah kata yang berfungsi sebagai
penentu atau mendefinitkan suatu nomina, ajektiva, atau kelas lain.
Artikulus yang ada dalam bahasa Indonesia adalah si, para, kaum,
umat, sri, dan sang. Kata sandang berfungi mendampingi nomina dan
verba pasif (Widjono, 2007:137). Contoh penggunaan kata sandang
dapat dicermati dalam kalimat berikut ini.

130 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


(1) Mana si gendut, sejak tadi belum muncul.
(2) Para penonton terhibur atas kehadirannya.
(3) Sri Baginda Raja selalu memberi nasihat kepada para
prajurit.
(4) Sang penyelaman sudah berada di antara kita.
(5) Di antara kaum kerabat yang hadir dalam acara itu, ada
seorang yang tidak kukenal (Ratna, 2013).

j. Kata Seru (Interjeksi)


Kata seru atau interjeksi adalah kata-kata yang difungsikan
untuk mengungkapkan perasaan (Widjono, 2007:139). Berdasarkan
bentuknya, kata seru dibedakan atas dua jenis, yaitu (1) bentuk dasar
dan (2) bentuk turunan. Kata seru yang berupa bentuk dasar,
misalnya aduh, ah, dan wah. Sebaliknya, kata seru yang berupa
bentuk turunan, misalnya astaga, alhamdulillah, brengsek, dan
insyaAllah. Contoh penggunaan kata seru dapat dicermati pada
kalimat berikut ini.
(1) “Alhamdulillah, akhirnya kita berhasil!” seru ketua RT.
(2) Wah, saya amat tersanjung dengan sambutan ini.
(3) Kalau tidak ada halangan insya Allah saya hadir.
(4) Brengsek, ke mana saja kamu. Aku capek menunggumu
di sini.
Terkait dengan jenis kata yang dikemukakan oleh Aristoteles
tersebut, Chaer (2010:219) membagi kata menjadi dua jenis, yaitu (1)
kata penuh dan (2) kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara
leksikal memiliki makna, mempunyai kemungkinan untuk
mengalami proses morfologis, merupakan kelas terbuka, dan dapat
berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Kata penuh terdiri atas: (1) kata
benda, (2) kata kerja, (3) kata sifat, (4) kata ganti, dan (5) kata
bilangan. Sebaliknya, kata tugas adalah kata yang secara leksikal
tidak memiliki makna, tidak mengalami proses morfologis,
merupakan kelas tertutup, dan tidak dapat berdiri sendiri dalam

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 131


pertuturan. Kata tugas terdiri atas kata depan dan kata penghubung
(Ratna, 2013).

C. Proses Pembentukan Kata


Di dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai macam proses
morfologis, di antaranya: (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) komposisi,
dan (4) abserviasi.

1. Afiksasi/ Pengimbuhan Kata


Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar
atau bentuk dasar. Dalam proses morfologis tersebut terlibat unsur-
unsur seperti: (1) dasar atau bentuk dasar, (2) makna gramatikal yang
dihasilkan, dan (3) afiks. Bentuk dasar atau bentuk dasar yang
menjadi dasar dalam proses afiksasi dapat berupa akar. Akar adalah
bentuk terkecil yang tidak dapat disegmentasikan lagi. Makna
gramatikal adalah makna yang terjadi akibat proses gramatikal,
seperti afiksasai, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Misalnya,
dalam proses afiksasi, prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan
makna gramatikal “ memakai” dan prefiks ber- dengan bentuk dasar
sepeda melahirkan makna gramatikal “mengendarai”. Afiks adalah
sebuah bentuk yang biasanya berupa morfem terikat yang
diimbuhkan pada sebuah bentuk dasar dalam pembentukan kata.
Sesuai dengan sifat kata yang dibentuknya, afiks dibedakan menjadi
dua, yaitu (1) afiks inflektif dan (2) afiks derivatif. Dilihat dari posisi
melekatnya pada bentuk dasar afiks biasanya dibedakan atas prefiks,
infiks, sufiks, konfiks, interfiks, dan transfiks (Ratna, 2013).

a. Prefiks/ Awalan
Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di depan bentuk dasar.
Menurut Chaer (2010:178), ada bermacam-macam prefiks, di
antaranya prefiks me-, ber-, pe-, per-, dan ter-. Contoh penggunaan
kata yang prefiks dapat dicermati pada bentuk-bentuk-berikut.
132 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
(1) menghibur, mengangkat, mengetik, dan menyapu
(2) bekerja, belajar, dan berambut
(3) penulis, penerbang, dan pelatih
(4) terkait, terawat, dan tertarik

b. Infiks/ Sisipan
Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar.
Menurut Chaer (2010:178), dalam bahasa Indonesia, terdapat tiga
infiks, yaitu atas el-,em-, dan er-. Contoh penggunaan dapat
dicermati pada kata-kata berikut ini.
(1) telunjuk
(2) seruling
(3) gemetar

c. Sufiks/ Akhiran
Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk
dasar (Chaer, 2010:178). Dalam bahasa Indonesia terdapat empat
sufiks, yaitu –an, -nya, -kan, dan –i. Contoh penggunaan sufiks
dapat dicermati pada kata berikut ini.
(1) bagian
(2) pulangnya
(3) lemparkan
(4) hampiri

d. Konfiks/ Gabungan Awalan dan Akhiran


Konfik adalah afiks yang berupa morfem terbagi, yang bagian
pertama berposisi pada awal bentuk dasar dan bagian yang kedua
berposisi pada akhir bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia, terdapat
konfiks per-/-an, ke-/-an, ber-/-an dan pe-/-an. Contoh penggunaan
konfiks dapat dicermati pada kata berikut ini.
(1) pertemuan
(2) keterangan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 133


(3) bermunculan
(4) pepohonan

2. Reduplikasi/ Pengulangan Kata


Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk
dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial) maupun
dengan perubahan bunyi. Reduplikasi dibedakan atas reduplikasi
penuh dan reduplikasi dengan perubahan bunyi. Menurut Sutawijaya
(1997:49), hasil dari proses reduplikasi dikelompokan atas empat
macam, yaitu redupliksi utuh, sebagian, berimbuhan, dan berubah
bunyi. Reduplikasi utuh adalah proses pembentukan kata melalui
pengulangan bentuk dasarnya secara utuh, misalnya meja-meja dan
buku-buku. Reduplikasi sebagian adalah proses pembentukan kata
dengan cara mengulang sebagian bentuk dasarnya, misalnya bersiap-
siap dan membaca-baca. Reduplikasi berimbuhan adalah proses
pembentukan kata dengan cara utuh bentuk yang dikombinasikan
dengan afiks. Proses pengulangan dan pengimbuhan afiks bersama-
sama mendukung satu fungsi, misalnya kereta-keretaan dan buah-
buahan. Reduplikasi berubah bunyi adalah proses pembentukan kata
dengan cara mengulang bentuk dasar yang disertai perubahan bunyi,
misalnya sayur-mayur dan gerak-gerik (Ratna, 2013).
Berdasarkan sifatnya, proses reduplikasi dapat dibedakan atas
reduplikasi paradigmatis dan derivasional. Reduplikasi paradigmatis
tidak mengubah identitas leksikal, tetapi hanya memberi makna
gramatikal. Sebaliknya, reduplikasi derivasional menbentuk kata baru
atau kata yang identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya
(Chaer, 2010:163).

3. Komposisi/ Penggabungan Kata


Komposisi adalah hasil dari proses penggabungan morfem
dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat
sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas
134 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
leksikal yang berbeda, dan yang baru. Hasil dari proses morfologis
melalui komposisi ini adalah kata majemuk (Sutawijaya, 1997:52).
Kata majemuk sebagai hasil dari proses komposisi memiliki tiga ciri,
yaitu: (1) hubungan unsur-unsurnya merupakan satu-kesatuan, (2)
struktur unsur-unsur pembentuknya tidak dapat dipertukarkan, dan
(3) salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata. Hasil dari
proses komposisi yang berupa kata majemuk, dapat dilihat pada
contoh berikut.
(1) meja tulis
(2) kursi goyang
(3) daya juang
(4) bola mata
Dalam bahasa Indonesia, proses komposisi sangat produktif.
Keproduktifan proses komposisi itu menimbulkan berbagai masalah
dan berbagai pendapat karena komposisi itu memiliki jenis dan
makna yang berbeda-beda. Masalah yang dimaksud terkait dengan
kata majemuk, aneksi, dan frasa (Ratna, 2013).

4. Abserviasi/ Penyingkatan Kata


Abserviasi adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem
atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat,
tetapi maknanya tetap sama dengan bentuk utuhnya (Chaer,
2010:191). Menurut Sutawijaya (1997:53), abserviasi adalah salah
satu proses pembentukan kata melalui penanggalan satu atau
beberapa bagian morfem sehingga menjadi bentuk baru yang
berstatus kata. Proses pembentukan kata melalui abserviasi tersebut
menghasilkan penggalan, singkatan, dan akronim. Penggalan adalah
kependekan berupa pengekalan satu atau dua suku pertama dari
bentuk yang dipendekkan itu, misalnya sekretariat menjadi sekre.
Singkatan adalah proses pembentukan kata melalui penyingkatan
yang berupa huruf. Hasil proses morfologis dalam bentuk singkatan
ini tidak dilafalkan seumpama melafalkan kata. Pelafalannya dieja
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 135
huruf demi huruf, misalnya KKN singkatan dari kuliah kerja nyata
dan atau korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, ada bentuk
singkatan yang tidak dilafalkan huruf demi hurufnya, misalnya: dll.
harus dibaca seutuhnya. Akronim adalah proses pembentukan kata
melalui penggabungan huruf, suku kata, dan bagian-bagian lain.
Hasil proses pemendekan yang berupa akronim dilafalkan sebagai
kata. Pelafalan bentuk ini setidaknya memenuhi kaidah fonotaktik
bahasa Indonesia, seperti: (1) ABRI, (2) UNRI, (3) Yarsi, (4) balita,
(5) rapim, dan (6) UPI

136 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


BAB V
SELUK-BELUK KALIMAT

A. Frasa
1. Pengertian Frasa
Maksan (1994:57) mengatakan bahwa frasa adalah satuan
gramatikal yang dibentuk oleh kata-kata yang belum mempunyai
predikat dan biasanya berfungsi sebagai pembentuk klausa. Menurut
Chaer (2010:222), frasa adalah gabungan kata yang mengisi salah
satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Oleh sebab itu, dapat dipahami
bahwa frasa adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang tidak
mempunyai hubungan subjek predikat dan hanya menduduki satu
fungsi sintaksis (Ratna, 2013).

2. Jenis-jenis Frasa
Chaer (2010:225) mengatakan bahwa frasa dapat dibedakan
atas empat macam, yaitu: (a) frasa eksosentrik, (b) frasa endosentrik,
(c) frasa koordinatif, dan (d) frasa apositif.

a. Frasa Eksosentrik
Frasa eksosentik adalah frasa yang komponen-komponennya
tidak mempuyai perilaku sintaksis yang sama dengan
keseluruhannya. Frasa eksosentrik biasanya dibedakan atas frasa
eksosentrik yang direktif dan frasa eksosentrik yang nondirektif.
Frasa eksosentrik yang direktif komponen pertamanya berupa
preposisi, seperti di, ke, dan dari dan komponen keduanya berupa
kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina. Frasa
eksosentrik nondirektif, komponen pertamanya berupa artikulus,
seperti si dan sang atau kata lain seperti yang, para, dan kaum serta

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 137


komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata berkategori
nomina, adjektiva, atau verba (Ratna, 2013).

b. Frasa Endosentrik
Frasa endosentrik adalah frasa yang salah satu unsurnya atau
komponennya memiliki perilaku sintaksis yang tidak sama dengan
keseluruhannya. Artinya, salah satu komponen tersebut dapat
menggantikan kedudukan atau posisi keseluruhannya. Misalnya,
frasa sedang membaca dalam kalimat Nenek sedang membaca komik
di kamar. Komponen keduanya, yaitu membaca dapat menggantikan
kedudukan frasa tersebut sehingga menjadi kalimat Nenek membaca
komik di kamar.
Frasa endosentrik disebut frasa modifikatif karena komponen
keduanya (komponen yang bukan inti) mengubah atau membatasi
makna komponen inti. Misalnya, kata membaca yang belum
diketahui kapan tejadinya, dalam frasa sedang membaca dibatasi
maknanya oleh kata sedang sehingga maknanya itu menjadi
‘perbuatan membaca itu tengah berlangsung’. Jadi, komponen kedua
dari frasa itu memodifikasi makna komponen intinya. Komponen inti
tersebut letaknya bisa di depan dan di belakang (Ratna, 2013).

c. Frasa Koordinatif
Frasa koordinatif adalah frasa yang komponen pembentuknya
terdiri atas dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat. Secara
potensial, komponen-komponen tersebut dapat dihubungkan oleh
konjungsi koordinatif, baik yang tunggal maupun konjungsi terbagi.
Konjungsi tunggal, misanya dan, atau, tetapi, sedangkan konjungsi
terbagi, misalnya makin…, makin…, dan baik…, maupun…. Frasa
koordinatif mempunyai kategori sesuai dengan kategori komponen
pembentuknya. Contoh: sehat dan kuat, buruh atau majikan, makin
terang makin baik, dan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tidak
selamanya komponen dalam frasa koordinatif dihubungkan oleh

138 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


konjungsi. Dengan kata lain, ada frasa koordinatif yang tidak
menggunakan konjungsi secara eksplisit. Frasa koordinatif seperti itu
disebut frasa parataksis. Misalnya, hilir mudik, tua muda, sawah
ladang, dan dua tiga hari (Ratna, 2013).

d. Frasa Apositif
Frasa apositif adalah frasa koordinatif yang kedua
komponennya saling merujuk sesamanya. Oleh karena itu, urutan
komponennya dapat dipertukarkan. Misalnya, frasa apositif Pak
Ahmad, guru saya dalam kalimat Pak Ahmad, guru saya, rajin sekali.
dapat diubah menjadi kalimat Guru saya, Pak Ahmad, rajin sekali.
Contoh frasa apositif yang lain dapat dicermati dalam kalimat berikut
ini.
(1) Soekarno, Presiden RI pertama, seorang orator.
(2) Dika membelikan baju untuk Nita, kakaknya.
(3) Alat komunikasi internasional, bahasa Inggris, banyak
dipelajari orang. (Ratna, 2013).

B. Klausa
1. Pengertian Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata, frasa,
dan mempunyai satu predikat atau (P). Klausa lazimnya merupakan
konstituen kalimat (Kencono, 1997:58). Menurut Chaer (2010:231),
klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata berkonstruksi
predikat. Maksudnya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa
kata atau frasa yang berfungsi sebagai predikat sedangkan komponen
lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 139


2. Jenis-jenis Klausa
Chaer (2010:235-236) mengatakan bahwa klausa dapat
dibedakan berdasarkan struktur dan kategori segmental yang menjadi
predikatnya.

a. Berdasarkan Struktur
Berdasarkan strukturnya, klausa dibedakan atas klausa bebas
dan klausa terikat. Klausa bebas adalah klausa yang mempunyai
unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan
predikat. Klausa mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor.
Berbeda dengan klausa bebas yang mempunyai struktur lengkap,
klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap. Unsur yang ada
dalam klausa terikat mungkin hanya subjek, mungkin objeknya, atau
juga hanya keterangan. Oleh karena itu, klausa terikat tidak
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat
biasanya bisa dikenali dengan konjungsi subordinatif di depannya.
Misalnya klausa terikat, ketika kami sedang belajar di dalam kalimat
dia pingsan ketika kami sedang belajar. Klausa terikat yang diawali
dengan konjungsi-konjungsi subordinatif disebut dengan nama klausa
subordinatif atau klausa bawahan. Klausa lain yang hadir bersama
dengan klausa bawahan di dalam sebuah kalimat majemuk, disebut
klausa atasan atau klausa utama (Ratna, 2013).

b. Berdasarkan Kategori
Berdasarkan kategori kata yang menjadi predikatnya, klausa
dibedakan atas: klausa verbal dan klausa nonverbal. Klausa verbal
adalah klausa yang predikatnya berkategori verba. Misalnya, klausa
nenek mandi, sapi itu berlari, dan matahari terbit. Sesuai dengan
adanya berbagai tipe verba, dikenal adanya (1) klausa transitif, (2)
klausa intransitif, (3) klausa reseptif, (4) klausa resiprokal. Klausa
transitif adalah klausa yang predikatnya berupa verba transitif.
Misalnya, adik menulis surat dan kakek membaca buku silat. Klausa
140 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
intransitif adalah klausa yang predikatnya berupa verba intransitif.
Misalnya, nenek menangis, adik melompat-lompat, dan paman
berangkat ke Medan. Klausa refleksif adalah klausa yang predikatnya
berupa verba refleksif. Misalnya, kakak sedang berdandan dan kakek
sedang mandi. Klausa resiprokal adalah klausa yang predikatnya
berupa verba resiprokal. Misalnya, mereka bertengkar sejak kemarin
dan keduanya bersalaman.
Klausa nonverbal adalah klausa yang predikatnya selain
verbal. Dengan kata lain, predikat pada klausa nonverbal dapat
berupa nominal atau frasa nominal, adjektiva, adverbial,
preposisional, dan numeralia. Contoh klausa nonverbal dapat
dicermati pada konstruksi berikut ini.
(1) Kakeknya petani di desa itu.
(2) Dia dulu dosen linguistik.
(3 ) Bandelnya teramat sangat.
(4) Nenek di kamar.
(5) Dia dari Medan.
(6) Gajinya lima juta sebulan.

Dalam bahasa Indonesia ragam baku, konstruksi klausa (4),


(5), dan (6) tidak berterima. Konstruksi (4) harus diberi verba ada
dan konstruksi (5) harus diberi verba datang sehingga kedua
konstruksi tersebut menjadi (4a) nenek ada di kamar dan (5a) dia
datang dari Medan. Dengan demikian, klausa tersebut bukan lagi
klausa nonverba, melainkan klausa verba. Begitu juga dengan
konstruksi (6). Konstruksi tersebut tidak berterima dalam bahasa
Indonesia ragam baku. Seharusnya konstruksi (6) harus diberi verba
adalah sehingga konstruksi tersebut menjadi (6a) gajinya adalah
lima juta sebulan. Karena kata adalah tergolong verba, kluasa (6)
tersebut sebenarnya bukanlah klausa nonverbal, melainkan klausa
verbal (Ratna, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 141


C. Kalimat
1. Pengertian Kalimat
Dalam kaitannya dengan satuan sintaksis yang lebih kecil,
kalimat dapat didefinisikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari
konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan
konjungsi jika peru, dan diakhiri dengan intonasi final (Kencono,
1997:59). Chaer (2010:240) mengatakan bahwa kalimat merupakan
satuan yang langsung digunakan dalam kegiatan berbahasa. Para tata
bahasawaan tradisional biasanya membuat definisi kalimat dengan
mengaitkan peranan kalimat sebagai alat interaksi dan kelengkapan
pesan atau isi yang akan disampaikan. Oleh karena itu, kalimat
adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang
lengkap. Menurut Maksan (1994:61), kalimat adalah satuan bahasa
yang terkecil, baik dalam wujud lisan maupun tulis, yang bertujuan
mengungkapkan pikiran yang utuh.

2. Jenis-jenis Kalimat
Kalimat dapat dibedakan berdasarkan enam kriteria. Keenam
kriteria yang dimaksud, yaitu (1) jumlah klausa, (2) stuktur interen
klausa atasan, (3) kategori prediket, (4) sifat hubungan pelaku-
perbuatan, (5) ada tidaknya unsur ingkar, dan (6) fungsi (Kencono,
1997:63).

a. Berdasarkan Jumlah Klausa


Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibedakan atas dua,
yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah
kalimat yang memiliki satu pola (klausa) yang terdiri atas satu subjek
dan satu predikat. Kalimat tunggal merupakan kalimat dasar
sederhana. Kalimat-kalimat yang panjang dapat dikembalikan ke
dalam kalimat-kalimat dasar yang sederhana dan dapat juga ditelusuri

142 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


pola-pola pembentukannya. Pola-pola kalimat dasar yang dimaksud
seperti berikut ini.
(1) KB + KK
(2) FN + FV + FN
(3) FN + FV + FN + FN
(4) FN + FN
(5) FN + FA
(6) FN + FNum
(7) FN + FPrep
Kalimat tunggal dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
kalimat nominal dan kalimat verba. Kalimat nominal adalah kalimat
yang predikatnya berupa kata benda. Setiap kalimat tunggal dapat
diperluas dengan menambahkan kata-kata pada unsur-unsurnya.
Dengan penambahan unsur-unsur itu, unsur utama dari kalimat masih
dapat dikenali. Suatu kalimat tunggal dapat diperluas dengan: (1)
keterangan waktu, tempat, alat, modalitas, cara, aspek, tujuan, sebab,
aposisi dan (2) frasa yang. Contoh perluasan kalimat tunggal tersebut
dapat dicermati pada konstruksi berikut.
(1) Victoria akan bernyanyi di Las Vegas.
(2) Masalahnya seribu satu yang belum terpecahkan.
(3) Ika sangat rajin menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan kepadanya.

Kalimat majemuk terdiri atas dua atau lebih kalimat tunggal


yang saling berhubungan, baik koordinasi maupun subordinasi.
Kalimat majemuk dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu: (1) Kalimat
majemuk setara, (2) kalimat majemuk bertingkat, dan (3) kalimat
majemuk campuran.
Kalimat majemuk setara terbentuk dari dua atau lebih kalimat
tunggal dan kedudukan tiap kalimat sederajat. Kalimat majemuk
setara dapat dikelompokkan menjadi kalimat majemuk setara
penggabungan dan kalimat majemuk setara pertentangan. Kalimat

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 143


majemuk setara penggabungan adalah dua atau lebih kalimat tunggal
yang dihubungkan oleh konjungsi dan atau serta. Kalimat majemuk
setara pertentangan adalah dua kalimat tunggal yang dihubungkan
oleh konjungsi tetapi, sedangkan, dan melainkan. Contoh kalimat
majemuk setara dapat dicermati pada kontrusi berikut ini.
(1) Kami mencari bahan dan mereka meramunya.
(2) Indonesia tergolong negara berkembang, sedangkan
Jepang tergolong negara maju.

Kalimat majemuk bertingkat terdiri atas satu klausa bebas dan


satu klausa terikat. Kedua klausa tersebut memiliki pola hubungan
yang tidak sederajat. Bagian yang memiliki kedudukan lebih penting
(inti gagasan) disebut sebagai klausa utama (induk kalimat). Bagian
yang lebih rendah kedudukannya disebut dengan klausa sematan
(anak kalimat).
Selanjutnya, ada beberapa penanda hubungan/ konjungsi yang
dapat dipergunakan dalam sebuah kalimat majemuk bertingkat, yaitu
(1) konjungsi waktu (ketika, sejak), (2) konjungsi sebab (karena,
sebab), (3) akibat (hingga, sehingga, maka), (4) syarat (jika, asalkan,
apabila), (5) konjungsi perlawanan (meskipun, walaupun), (6)
konjungsi pengandaian (andaikata, seandainya), (7) konjungsi tujuan
(agar, supaya, untuk, biar), (8) konjungsi perbandingan (seperti,
laksana, ibarat, seolah-olah), (9) konjungsi pembatasan (kecuali,
selain), (10) konjungsi alat (dengan+ katabenda), dan (11) konjungsi
kesertaan (dengan+ orang).
Kalimat majemuk campuran atau kalimat majemuk kompleks
terdiri atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat
atau kebalikannya. Contoh penggunaan kalimat majemuk campuran
dapat dicermati pada konstruksi berikut ini.
Dia mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil selembar
uang sepuluh ribu untuk membayar ongkos becak.

144 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Konstruksi tersebut terdiri atas tiga klausa, yaitu (1) dia
mengeluarkan dompetnya, (2) dia mengambil selembar uang sepuluh
ribu, dan (3) dia membayar ongkos becak. Klausa pertama dengan
klausa kedua dihubungkan secara koordinatif dengan bantuan
konjungsi lalu. Klausa kedua dengan klausa ketiga dihubungkan
secara sudordinatif dengan menggunakan konjungsi untuk (Ratna,
2013).

b. Berdasarkan Struktur Interen


Berdasarkan struktur interen klausa atasan/ klausa utamanya,
kalimat dibedakan atas kalimat mayor dan kalimat minor. Kalimat
mayor dan kalimat minor dibedakan berdasarkan kelengkapan
konstituen dasar kalimat tersebut. Jika struktur klausa lengkap atau
sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka
konstruksi tersebut dinamakan kalimat mayor. Sebaliknya, jika salah
satu unsurnya yang hadir dalam suatu konstruksi, konstruksi tersebut
disebut dengan kalimat minor. Dengan kata lain, dalam
konstruksinya kalimat hanya terdiri atas subjek, predikat, objek, dan
keterangan. Kalimat-kalimat jawaban singkat, kalimat seruan,
kalimat perintah, dan kalimat salam, termasuk kalimat minor (Ratna,
2013). Contoh kalimat mayor dan kalimat minor dapat dicermati
pada konstruksi-konstruksi berikut ini.
(1) Adik berlari-lari.
(2) Banjir kiriman datang dari Bogor.
(3) Sedang makan.
(4) Halo!
(5) Cepat berangkat!
(6) Sialan!
(7) Dilarang merokok.
(8) Silahkan duduk!

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 145


c. Berdasarkan Predikat
Berdasarkan kata yang menduduki fungsi predikatnya, kalimat
dibedakan atas kalimat verbal dan kalimat nonverbal. Kalimat verbal
dan nonverbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal atau
kalimat yang predikatnya berupa kata atau frasa yang berkategori
verba. Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verba, kalimat
verbal dibedakan atas kalimat transitif, kalimat intransitif, kalimat
aktif, kalimat pasif, kalimat dinamis, kalimat statis, kalimat refleksif,
kalimat resiprokal, dan kalimat ekuatif. Kalimat nonverbal adalah
kalimat yang predikatnya selain kata atau frasa verba. Perbedaan
kalimat verbal dengan kalimat nonverbal dapat dicermati melalui
contoh-contoh berikut ini.
(1) Dari tadi dia mengerjakan tugas itu.
(2) Adik belum pulang.
(3) Bawang diiris oleh kakak.
(4) Mahasiswa itu sedang berdiskusi.
(5) Kambing itu sudah mati.
(6) Kakak mencukur kumisnya.
(7) Mereka berpelukan sebelum berpisah.
(8) Cairan itu menjadi uap.
(9) Mereka bukan penduduk desa ini.

Kalimat nomor (1) sampai dengan nomor (7) merupakan


kalimat verbal karena kata atau frasa yang mengisi fungsi
predikatnya berkategori verba. Berdasarkan tipe verbanya, kalimat
(1) adalah contoh kalimat aktif transitif, kalimat (2) adalah contoh
kalimat aktif intransitif, kalimat (3) adalah contoh kalimat pasif,
kalimat (4) adalah contoh kalimat dinamis, kalimat (5) adalah contoh
kalimat statis, kalimat (6) adalah contoh kalimat reflektif, kalimat (7)
adalah contoh kalimat resiprokal, dan kalimat (8) adalah contoh
kalimat ekuatif. Sebaliknya, kalimat (9) merupakan contoh kalimat

146 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


nonverbal karena frasa yang mengisi fungsi predikatnya berkategori
bukan verba (Ratna, 2013).

d. Berdasarkan Hubungan Pelaku-Perbuatan


Berdasarkan hubungan pelaku dengan perbuatan dalam
klausanya, kalimat dibedakan atas kalimat aktif, kalimat pasif,
kalimat tengah, dan kalimat netral. Kalimat aktif, apabila subjeknya
adalah pelaku dan subjeknya melakukan pekerjaan serta predikatnya
berupa verba aktif (Kencono, 1997:62). Menurut Chaer (2010:250),
verba aktif dalam bahasa Indonesia ditandai dengan prefiks me- atau
memper-. Kalimat aktif lazimnya dipertentangkan dengan kalimat
pasif yang subjeknya menjadi tujuan (Kencono, 1997:62). Kalimat
pasif predikatnya berupa verba pasif yang ditandai aleh prefiks di-
atau diper- (Chaer, 2010:250).
Selain kalimat aktif dan kalimat pasif tersebut, berdasarkan
hubungan pelaku-perbuatan, dikenal adanya kalimat tengah dan
kalimat netral. Kalimat tengah adalah kalimat yang subyeknya
sebagai pelaku dan sekaligus sebagai sasaran perbuatan. Akan tetapi,
jika kalimat tidak berstruktur pelaku-perbuatan, kalimat tersebut
dinamakan kalimat netral (Kencono, 1997:64). Contoh kalimat
berdasarkan hubungan pelaku-perbuatan dalam klausanya, dapat
dicermati melalui konstruksi berikut ini.
(1) Bapak mencukur rambut adik.
(2) Pencuri itu dihajar oleh massa.
(3) Yuli menata alisnya.
(4) Gepeng pelawak terkenal.

e. Berdasarkan Unsur Ingkar


Berdasarkan ada atau tidaknya unsur ingkar dalam kalimat,
kalimat dibedakan atas kalimat positif dan kalimat negatif. Kalimat
positif adalah kalimat yang tidak mengandung partikel tidak atau
bukan. Kalimat positif dikenal juga dengan kalimat afirmatif.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 147


Sebaliknya, kalimat negatif adalah kalimat yang mengandung
partikel tidak atau bukan (Kencono, 1997:64). Contoh kalimat
afirmatif dan kalimat negatif dapat dicermati melalui konstruksi
berikut ini.
(1) Dia sangat disenangi oleh teman kuliahnya.
(2) Anak itu selalu hadir dalam diskusi.
(3) Engkau tidak pantas berbuat seperti itu kepada
orang yang sangat mencintaimu.
(4) Rumah itu bukan milik pemerintah daerah,
walaupun sudah lama dijadikan sebagai kantor
(Ratna, 2013).

f. Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan fungsinya, kalimat dibedakan atas kalimat berita
(deklaratif), kalimat perintah (imperatif), dan kalimat tanya
(interogatif). Kalimat berita adalah kalimat yang isinya
memberitahukan sesuatu yang ditandai dengan tanda titik (.). Kalimat
berita pada umumnya mendorong orang untuk memberikan respons.
Kalimat berita dibedakan atas tiga macam, yaitu (1) kalimat berita
kepastian, (2) kalimat berita pengingkaran, dan (3) kalimat berita
kesangsian.
Contoh : Nenek akan datang dari Bandung besok pagi.
Saya tidak akan datang pada acara ulang tahunmu.
Bapak mungkin akan tiba besok pagi.
Kami tidak tahu mengapa dia datang terlambat.

Kalimat perintah adalah kalimat yang bertujuan memberikan


perintah kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Kalimat
perintah biasanya diakhiri dengan tanda seru (!). Dalam bentuk lisan,
kalimat perintah ditandai dengan intonasi tinggi. Kalimat perintah
dibedakan atas: (1) kalimat perintah biasa, (2) kalimat larangan, dan
(3) kalimat ajakan. Kalimat perintah biasa ditandai dengan partikel

148 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


lah. Kalimat larangan ditandai dengan penggunaan kata jangan.
Kalimat ajakan ditandai dengan kata mohon, tolong, dan silahkan.
Contoh kalimat perintah dapat dicermati melalui konstruksi berikut
ini.
(1) Gantilah bajumu!
(2) Jangan membuang sampah sembarangan!
(3) Tolong temani nenekmu di rumah!

Kalimat tanya adalah kalimat yang isinya menanyakan sesuatu


atau seseorang sehingga diperoleh jawaban tentang suatu masalah.
Kalimat tanya biasanya diakhiri dengan tanda Tanya (?). Secara
lisan, kalimat tanya ditandai dengan intonasi yang rendah (Ratna,
2013). Contoh kalimat tanya dapat dicermati pada konstruksi berikut
ini.
(1) Apakah kamu sakit?
(2) Siapa yang membeli buku ini?
(3) Mengapa kamu tidak membuat tugas?

3. Unsur Kalimat Beserta Ciri-cirinya


Kridalaksana (1984) mengemukakan konsep tentang kalimat
sebagai berikut: (1) suatu bahasa yang secara relatif berdiri sendiri,
mempunyai intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri
atas klausa; (2) klausa bebas yang menjadi bagian kognitif
percakapan, satuan proposisi yang merupakan gabungan kata, klausa,
atau satu klausa yang berbentuk satuan yang bebas, serta jawaban
minimal, seruan, salam, dsb; (3) konstruksi gramatikal yang terdiri
atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu dan
dapat berdiri sendiri sebagai satuan. Untuk memeriksa apakah
kalimat yang ditulis memenuhi syarat kaidah tata bahasa, seorang
penulis perlu mengenal ciri-ciri unsur kalimat (ciri-ciri subjek,
predikat, objek, pelengkap, dan keterangan) karena kalimat yang

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 149


benar harus lengkap unsur-unsurnya (Ratna, 2013). Berikut akan
dikemukakan ciri-ciri unsur kalimat tersebut.
a. Ciri-ciri Subjek
Subjek merupakan unsur pokok yang terdapat dalam sebuah
kalimat di samping unsur predikat. Subjek memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Pada umumnya subjek berupa nomina atau frasa nomina dan
kelas kata lain yang menduduki fungsi subjek.
2) Sebjek merupakan jawaban atas pertanyaan apa atau siapa.
3) Subjek dapat diperluas dengan kata itu untuk menyatakan takrif.
4) Subjek dapat didahului oleh kata bahwa jika kalimat tersebut
dalam bentuk pasif.
5) Subjek dapat diperluas dengan menggunakan kata pewatas yang.
6) Subjek tidak didahului oleh preposisi, serta, dari, dalam, di,
kepada, dan pada (Rasyid dan Gani, 2013).

b. Ciri-ciri Predikat
Predikat merupakan unsur utama suatu kalimat di samping
subjek. Berikut ini dikemukakan ciri-ciri suatu predikat:
1) Pada umumnya, predikat berupa verba atau frasa verba, adjektiva
atau frasa adjektiva, nomina atau frasa nominal, numeral atau
frasa numeralia.
2) Predikat merupakan jawaban dari suatu pertanyaan mengapa atau
bagaimana.
3) Predikat dapat disertai dengan kata adalah, ialah, atau
merupakan.
4) Predikat dapat diingkarkan dengan kata tidak dan bukan.
5) Predikat dapat disertai dengan kata-kata aspek (misalnya: sudah,
belum, akan, dan sedang) dan modalitas (misalnya: ingin,
hendak, dan mau) (Rasyid dan Gani, 2013).

150 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


c. Ciri-ciri Objek
Objek adalah unsur kalimat yang kehadirannya dituntut oleh
predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Dengan kata
lain, objek hanya terdapat pada kalimat aktif transitif. Objek dalam
bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Pada umumnya, objek berupa nomina atau frasa nominal dan
klausa (anak kalimat).
2) Objek terletak langsung di belakang predikat.
3) Objek dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif.
4) Objek tidak didahului oleh preposisi (Rasyid dan Gani, 2013).

d. Ciri-ciri Pelengkap
Pelengkap berbeda dengan objek. Pelengkap dalam kalimat
bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Alwi, 1993):
1) Pada umumnya, pelengkap berwujud nomina atau frasa nominal,
verba atau frasa verba, adjetiva atau frasa adjektiva, atau klausa.
2) Pelengkap berada langsung di belakang predikat jika tida ada
objek dan di belakang objek kalau unsur objek hadir.
3) Pelengkap tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan kalimat.
4) Pelengkap terdapat dalam kalimat berpredikat verba (Rasyid dan
Gani, 2013).

e. Ciri-ciri Keterangan
Keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan
informasi lebih lanjut tentang sesuatu yang dinyatakan dalam
kalimat. Misalnya, keterangan tentang tempat, waktu, alat, dan cara.
Keterangan dalam bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri, antara lain
sebagai berikut.
1) Pada umumnya, keterangan bukan berupa unsur utama kalimat
melainkan merupakan unsur tambahan.
2) Keterangan tidak terikat oleh preposisi, artinya memiliki
keleluasaan menempatkannya dalam kalimat;

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 151


3) Keterangan didahului oleh kata depan (di, dari, pada, selama,
dengan, sebab, dan lain-lain); dan
4) Keterangan berupa frasa preposisional (Rasyid dan Gani, 2013).

152 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


BAB VI
KALIMAT EFEKTIF

A. Batasan Kalimat Efektif


Manaf (1999) mendefinisikan kalimat efektif sebagai kalimat
yang dapat mengungkapkan pikiran atau perasaan penutur atau
penulis secara lengkap dan akurat sehingga dapat dipahami secara
mudah dan tepat oleh penyimak atau pembaca. Semi (1989)
berpendapat bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang harus
memenuhi sasaran, mampu menimbulkan pengaruh, dan dapat
meninggalkan kesan.
Keraf (1994:36) memberikan batasan kalimat efektif dalam
bentuk dua persyaratan, yaitu: (1) kalimat efektif secara tepat dapat
mewakili gagasan atau perasaan pembicara atau penulis dan (2)
kalimat efektif sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya
dalam pikiran pendengar atau pembaca seperti yang dipikirkan oleh
pembicara atau penulis. Apabila kedua syarat ini dipenuhi, tidak
mungkin akan terjadi salah paham antara seorang yang terlibat dalam
komunikasi.
Selain itu, Suryaman (1998:176) menyatakan bahwa kalimat
efektif adalah kalimat baku yang disusun selugas-lugasnya sehingga
isi atau maksud yang disampaikan oleh penulis atau pembicara dapat
ditangkap secara tepat oleh penerima. Artinya kalimat efektif, tidak
berbelit-belit, tidak bonus dalam penggunaan kata atau bentukan
kata, dan tidak menimbulkan makna ganda. Hal tersebut berguna
untuk memudahkan pemahaman isi atau maksud oleh pembaca.
Selanjutnya, Suparno dan Yunus (2003:2.1) mengemukakan
bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan
untuk mengungkapkan gagasan penutur sehingga pendengar atau
pembaca dapat memahami gagasan yang terungkap dalam kalimat
sebagaimana gagasan yang dimaksudkan oleh penutur. Berdasarkan
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 153
definisi tersebut, kalimat efektif menjadi unsur pengungkap gagasan
yang penting dan strategis. Kalimat efektif menjadi unsur yang
berguna untuk menghindari kesalahan pemahaman pembaca.
Berhubungan dengan hal tersebut, Finoza (2008:163)
mengemukakan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang dapat
mengungkapkan maksud penutur secara tepat sehingga maksud itu
dapat dipahami oleh pendengar atau pembaca secara tepat. Kalimat
efektif harus dapat mewakili pikiran penulis atau pembicara secara
tepat sehingga pendengar atau pembaca akan memahami pikiran
tersebut dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti yang dimaksud
oleh penulis atau pembicaranya.
Berdasarkan pendapat para pakar, dapat disimpulkan bahwa
kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan pikiran
atau informasi secara logis dan disusun selugas-lugasnya, sehingga
isi atau maksud penulis dapat dipahami pembaca atau pendengar
secara tepat. Hal tersebut berguna untuk menghindari
kesalahpahaman pembaca. Jadi, kalimat efektif sangat memudahkan
pembaca memahami informasi dan maksud yang dituju oleh penulis.

B. Persyaratan Kalimat Efektif


Kalimat efektif dapat diwujudkan dengan memperhatikan
persyaratan yang berlaku. Widdowson (dalam Suparno dan Yunus,
2003:2.19) mengemukakan bahwa terdapat dua persyaratan yang
perlu diperhatikan untuk mewujudkan kalimat efektif yaitu, (1)
kebenaran struktur dan (2) kecocokan konteks. Kedua persyaratan
tersebut dapat menuntun penulis dalam menyampaikan gagasan
dengan menggunakan kalimat efektif. Untuk lebih jelasnya diuraikan
sebagai berikut ini.

a. Kebenaran Struktur
Kalimat efektif terikat pada kaidah struktur. Dengan
keterikatan itu, kalimat efektif dituntut memiliki struktur yang benar.
154 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Struktur itu dapat dilihat pada hubungan antarunsur kalimat. Kalimat
yang berstruktur benar adalah kalimat yang unsur-unsurnya memiliki
hubungan yang jelas. Dengan hubungan fungsi yang jelas itu, makna
yang terkandung di dalamnya juga jelas.
Pada tataran kalimat, unsur-unsur yang memiliki fungsi
sintaksis seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan
harus jelas. Misalnya, dalam kalimat “Kepada hadirin dimohon
berdiri!” Kalimat tersebut terdiri atas tiga unsur fungsi, yakni kepada
hadirin, dimohon, dan berdiri. Hubungan ketiga unsur fungsi itu
tidak jelas, karena tidak dapat dicari fungsi subjeknya, walaupun
dapat ditentukan predikatnya, yakni dimohon dan unsur berdiri.
Kalimat tersebut juga tidak logis, karena yang dimohon berdiri
adalah kepada hadirin. Kalimat menjadi logis jika yang dimohon
berdiri adalah hadirin. Jadi, hal ini membuktikan bahwa kesalahan
struktur dapat berdampak pada kebenaran isi kalimat.

b. Kecocokan Konteks
Persyaratan kecocokan konteks adalah persyaratan yang
mengatur ketepatan kalimat dalam konteks. Kecocokan tidak hanya
ditentukan oleh konteks kebahasaan, yakni konteks yang berupa
kalimat sebelumnya. Konteks non-kebahasaan juga sangat
menentukan kecocokan itu. Contohnya sebagai berikut ini.
(1) Silahkan minum, Pak!
(2) Minumlah!
(3) Minum!
Kalimat (1), (2), dan (3) memiliki konteks penggunaan yang
berbeda. Kalimat itu diungkapkan di depan orang yang memiliki
hubungan berbeda-beda dengan penutur.

C. Ciri-Ciri Kalimat Efektif


Agar kalimat yang ditulis dapat memberikan informasi kepada
pembaca secara tepat seperti yang diharapkan penulis, perlu
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 155
diperhatikan beberapa hal yang merupakan ciri-ciri kalimat efektif.
Ciri-ciri kalimat efektif berbeda-beda pada setiap ahli. Keraf
(1994:36-48) mengemukakan bahwa ciri-ciri kalimat efektif ada
enam, yaitu (1) kesatuan yang kompak, (2) koherensi yang baik, (3)
penekanan yang wajar, (4) adanya variasi, (5) paralelisme, dan (6)
logis.
Berhubungan dengan hal tersebut, Semi (2003:154)
mengemukakan bahwa kalimat efektif memiliki enam ciri-ciri.
Keenam ciri-ciri tersebut adalah: (1) sesuai dengan tuntutan bahasa
baku, (2) jelas, (3) ringkas atau lugas, (4) adanya hubungan yang baik
atau koherensi, (5) kalimat harus hidup, dan (6) tidak ada unsur yang
mubazir. Selanjutnya, Finoza (2008:167) juga memberikan enam
ciri-ciri kalimat efektif. Keenam ciri-ciri tersebut adalah: (1)
kesatuan, (2) kepaduan atau koherensi, (3) keparalelan, (4) ketepatan,
(5) kehematan, dan (6) kelogisan. Agar lebih jelas ciri-ciri kalimat
efektif tersebut, cermatilah penjelasan berikut ini.
1. Kesatuan
Kesatuan adalah terdapatnya satu ide pokok dalam sebuah
kalimat. Dengan satu ide, kalimat boleh panjang atau pendek,
menggabungkan lebih dari satu unsur pilihan, bahkan dapat
mempertentangkan unsur pilihan yang satu dan yang lainnya asalkan
ide atau gagasan kalimatnya tunggal (Finoza, 2008:164). Berikut ini
adalah Contoh kalimat yang tidak jelas kesatuan gagasannya.
1) Pembangunan gedung sekolah baru pihak yayasan dibantu oleh
bank yang memberikan kredit. (terdapat subjek ganda dalam
kalimat tunggal)
2) Dalam pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik.
(memakai kata depan yang salah sehingga gagasan kalimat
menjadi kacau)
Pada contoh kalimat (1) terdapat kesalahan berupa subjek
ganda dalam kalimat tunggal. Pada contoh kalimat (2) terdapat
pemakaian kata depan yang salah sehingga gagasan kalimat menjadi

156 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


kacau. Agar lebih jelas kesatuan gagasannya, kalimat dapat
diperbaiki sebagai berikut ini.
1) Pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberi kredit untuk
membangun gedung sekolah baru.
2) Pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik.

2. Kepaduan atau Koherensi


Koherensi adalah terjadinya hubungan yang padu antara unsur-
unsur pembentuk kalimat. Pembentuk unsur-unsur kalimat adalah
kata, frasa, klausa, tanda baca, dan fungsi sintaksis S-P-O-Pel-K
(Finoza, 2008:165). Berikut contoh kalimat yang tidak koheren.
1) Kepada setiap pengemudi mobil harus memiliki surat izin
mengemudi. (tidak mempunyai subjek/subjeknya tidak jelas)
2) Saya punya rumah baru saja diperbaiki. (struktur kalimat tidak
benar/rancu)
Berdasarkan contoh kalimat di atas, diketahui bahwa kalimat
(1) tidak benar karena tidak mempunyai subjek yang jelas. Pada
kalimat (2) tedapat struktur kalimat yang tidak benar atau rancu. Jadi,
jika diperbaiki kalimat tersebut menjadi sebagai berikut ini.
1) Setiap pengemudi mobil harus memiliki surat izin mengemudi.
2) Rumah saya baru saja diperbaiki.

3. Keparalelan
Keparalelan atau kesejajaran adalah terdapatnya unsur-unsur
yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang
dipakai di dalam kalimat. Misalnya dalam sebuah perincian, jika
unsur pertama menggunakan verba, unsur kedua dan seterusnya juga
harus verba. Jika unsur pertama berbentuk nomina, bentuk berikutnya
juga harus nomina (Finoza, 2008:166). Berikut contoh kalimat
dengan kesejajaran atau paralelisme yang salah:
1) Kegiatan perpustakaan meliputi pembelian buku, membuat
katalog, dan buku-buku diberi label.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 157


2) Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha?

Jika diperbaiki kalimat tersebut menjadi sebagai berikut ini.


1) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, pembuatan
katalog, dan pelabelan buku.
2) Kakakmu menjadi dosen atau menjadi pengusaha?

4. Ketepatan
Ketepatan adalah kesesuaian atau kecocokan pemakaian unsur-
unsur yang membangun suatu kalimat sehingga terbentuk pengertian
yang bulat dan pasti. Di antara semua unsur yang berperan dalam
pembentukan kalimat, harus diakui bahwa kata memegang peranan
terpenting. Tanpa sebuah kata, maka kalimat tidak akan pernah ada.
Akan tetapi, perlu diingat kadang-kadang kita harus memilih dengan
akurat satu kata, satu frasa, satu idiom, satu tanda baca dari sekian
pilihan demi terciptanya makna yang bulat dan pasti (Finoza,
2008:166). Berikut Contoh kalimat yang tidak memperhatikan faktor
ketepatan.
1) Karyawan teladan itu memang tekun bekerja dari pagi sehingga
petang. (salah dalam pemakaian kata sehingga)
2) …bukan saya yang tidak mau, namun dia yang tidak suka. (salah
memilih kata namun sebagai pasangan kata bukan)
Kedua contoh kalimat di atas salah karena ketidaktepatan
pemilihan pasangan kata. Pada kalimat pertama, terdapat kesalahan
pemakaian kata sehingga sebagai pasangan kata dari. Seharusnya
kata sehingga diganti dengan kata sampai. Pada kalimat kedua,
terdapat kesalahan pemakaian kata namun sebagai pasangan kata
bukan. Seharusnya kata namun diganti dengan kata melainkan. Jadi,
jika diperbaiki kalimat tersebut menjadi sebagai berikut ini.
1) Karyawan teladan itu memang tekun bekerja dari pagi sampai
petang.
2) …bukan saya yang tidak mau, melainkan dia yang tidak suka.

158 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


5. Kehematan
Kehematan adalah adanya upaya menghindari pemakaian kata
yang tidak perlu. Hemat berarti tidak memakai kata-kata mubazir;
tidak mengulang subjek; tidak menjamakkan kata yang sudah
berbentuk jamak. Dengan hemat kata, diharapkan kalimat menjadi
padat berisi (Finoza, 2008:168). Berikut contoh kalimat yang tidak
hemat kata.
1) Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri mahasiswa itu
belajar sepanjang hari dari pagi sampai sore.
2) Dalam pertemuan yang mana hadir Wakil Gubernur DKI
dilakukan suatu perundingan yang membicarakan tentang
perparkiran.
Kedua kalimat di atas salah karena adanya pemakaian kata
yang tidak perlu. Pada kalimat pertama, dengan mata kepala saya
merupakan unsur yang tidak perlu karena jika dihilangkan tidak akan
merubah makna kalimat tersebut. Begitu juga dengan kalimat yang
kedua, kata mana dan suatu merupakan unsur yang tidak perlu. Jadi,
jika diperbaiki kalimat tersebut menjadi sebagai berikut ini.
1) Saya melihat sendiri mahasiswa itu belajar seharian.
2) Dalam pertemuan yang dihadiri Wakil Gubernur DKI dilakukan
perundingan perparkiran.

6. Kelogisan
Kelogisan adalah terdapatnya arti kalimat yang logis atau
masuk akal. Logis dalam hal ini juga menuntut adanya pola pikir
yang sistematis (runtut/teratur dalam penghitungan angka dan
penomoran). Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah
benar juga pemakaian tanda baca, kata, atau frasanya, dapat menjadi
salah jika maknanya lemah dari segi logika berbahasa (Finoza,
2008:168). Berikut contoh kalimat yang lemah dari segi logika
berbahasa.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 159


1) Kambing sangat senang bermain hujan. (padahal kambing
tergolong binatang antiair).
2) Karena lama tinggal di asrama putra, anaknya semua laki-laki.
(tidak ada hubungan tinggal di asrama putra dengan mempunyai
anak laki-laki).
3) Tumpukan uang itu terdiri atas pecahan ribuan, ratusan, sepuluh
ribuan, lima puluh ribuan, dua puluh ribuan. (tidak runtut dalam
merinci)
4) Kepada Bapak (Dekan), waktu dan tempat kami persilahkan.
(waktu dan tempat tidak perlu dipersilahkan)

D. Penyusunan Kalimat Efektif


Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun kalimat
efektif ada lima, yaitu: (1) kata penghubung intrakalimat dan
antarkalimat, (2) gagasan pokok dalam sebuah kalimat, (3)
penggabungan yang menyatakan sebab dan waktu, (4) penggabungan
kata ”dengan”, ”yang”, ”dan”, dan (5) penggabungan kalimat yang
menyatakan hubungan akibat dan hubungan tujuan. Selain itu, untuk
mencapai efektivitas dan memberikan nuansa yang menarik
pembaca, pada sebuah kalimat terdapat variasi-variasi.
Variasi tersebut di antaranya adalah, subjek pada awal kalimat,
kata modal pada awal kalimat, frasa pada awal kalimat, jumlah
kalimat dan jenis kalimat. Untuk menyusun kalimat efektif
diperlukan kiat-kiat tertentu. Suparno dan Yunus (2003:2.23)
mengemukakan bahwa terdapat empat kiat penyusunan kalimat
efektif, yaitu (1) kiat pengulangan, (2) pengedepanan, (3)
penyejajaran, dan (4) variasi kalimat. Untuk lebih jelasnya diuraikan
sebagai berikut ini.

1. Kiat Pengulangan
Kiat pengulangan digunakan untuk memperlihatkan bagian
yang dipentingkan dalam kalimat. Dengan pengulangan, bagian yang
160 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
diulang menjadi menonjol. Pengulangan tidak harus dengan bentuk
yang sama. Pengulangan dapat dilakukan dengan bentuk-bentuk yang
berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengungkapkan suatu hal yang
bervariasi.

2. Kiat Pengedepanan
Dalam penyampaian informasi, pengedepanan menunjukkan
bahwa hal yang dikedepankan itu penting. Hal itu dapat dipahami
karena kesan penerima tutur akan terpusat pada bagian yang diterima
pertama daripada bagian yang lain. Jadi, jika ingin menonjolkan
informasi, bagian yang berisi informasi itu ditampilakn pada bagian
awal kalimat.

3. Kiat Penyejajaran
Penyejajaran merupakan salah satu kiat untuk menimbulkan
kesan bahwa unsur yang disejajarkan itu penting. Hal ini dapat
dipahami karena unsur yang disejajarkan itu tampak menonjol.
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyejajaran adalah
konsistensi. Konsistensi dibagi atas dua yaitu, konsistensi kategori
dan konsistensi struktur.

4. Kiat Pengaturan Variasi Kalimat


Variasi dapat dikenakan pada dua hal, yakni variasi struktur
dan variasi jenis. Variasi struktur memiliki kemungkinan struktur
aktif-pasif, struktur panjang-pendek. Variasi jenis memiliki
kemungkinan jenis kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat
perintah.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 161


BAB VII
SERBA-SERBI PARAGRAF

A. Batasan Paragraf
Pengertian paragraf telah banyak diungkapkan oleh para ahli,
di antaranya Alwi (2001:1) menyatakan bahwa paragraf adalah
satuan informasi yang memiliki satu gagasan utama atau ide pokok
sebagai pengendali. Dikatakan sebagai pengendali, artinya gagasan
utama akan menentukan kalimat yang dapat dikelompokan ke dalam
paragraf tersebut. Dengan kata lain, gagasan utama atau ide pokok
dalam paragraf adalah ringkasan informasi yang dikemukakan dalam
paragraf.
Hal senada juga diungkapkan Arifin (2008:115) yang
menyatakan bahwa paragraf adalah seperangkat kalimat yang
membicarakan suatu gagasan atau topik. Kalimat-kalimat dalam
paragraf memperlihatkan kesatuan pikiran atau mempunyai
keterkaitan dalam membentuk gagasan atau topik tersebut. Atmazaki
(2009:94) mengungkapkan bahwa paragraf adalah unit dasar wacana
yang berisi informasi dalam satu paket yang terorganisasi secara jelas
dan memperhatikan bagaimana potongan-potongan informasi saling
terkait. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa menyusun paragraf
pada hakikatnya adalah menyusun sejumlah kalimat dalam rangka
menghubungkan sejumlah gagasan.
Dari uraian dan pendapat pakar di atas, dapat disimpulkan
bahwa paragraf mempunyai gagasan utama yang dituangkan dalam
bentuk kalimat topik dan didukung oleh kalimat-kalimat penjelas
sehingga menadi sebuah paket informasi yang dapat dipahami atau
diterima oleh para pembaca. Bagi penulis, gagasan utama merupakan
pengendali isi paragraf sedangkan bagi pembaca, gagasan utama
menjadi kunci pemahaman.

162 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


B. Unsur-unsur Paragraf
Paragraf merupakan satu kesatuan yang memiliki gagasan
utama. Gagasan utama tersebut dituangkankan dalam bentuk kalimat
utama. Kalimat utama didukung oleh kalimat-kalimat penjelas
sehingga membentuk suatu kesatuan. Menurut fungsinya, seluruh
kalimat yang membangun sebuah paragraf pada umumnya dapat
diklasifikasikan atas dua macam, yaitu kalimat topik/ kalimat pokok
dan kalimat penjelas/pendukung. Kalimat topik adalah kalimat yang
berisi ide pokok atau ide utama paragraf. Kalimat topik merupakan
kalimat terpenting dan harus ada dalam setiap paragraf. Jika dalam
satu paragraf tidak terdapat kalimat topik, maka ide paragraf itu juga
tidak ada. Kalimat penjelas/ pendukung sesuai dengan namanya
adalah kalimat yang berfungsi menjelaskan atau mendukung ide
utama paragraf.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur paragraf ada dua. Kedua unsur-unsur tersebut
adalah (1) kalimat topik dan (2) kalimat penjelas. Kalimat topik
memiliki ciri sebagai berikut.
a. Mengandung permasalahan yang potensial untuk dirinci dan
diuraikan lebih lanjut.
b. Merupakan kalimat lengkap yang berdiri sendiri.
c. Mempunyai arti yang cukup jelas tanpa harus dihubungkan
dengan kalimat lain.
d. Dapat dibentuk tanpa bantuan kata sambung atau kata
penghubung/transisi.

Kalimat penjelas memiliki ciri sebagai berikut.


a. Sering merupakan kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri (dari
segi arti).
b. Arti kalimat kadang-kadang baru jelas setelah dihubungkan
dengan kalimat lain dalam satu paragraf.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 163


c. Pembentukkannya sering memerlukan kata sambung atau frasa
penghubung/transisi.
d. Isinya berupa rincian, keterangan, contoh dan data tambahan lain
yang bersifat mendukung kalimat topik.

C. Fungsi Paragraf
Tarigan (1986) mengungkapkan bahwa fungsi paragraf adalah:
(1) menampung pokok pikiran, (2) menghindari kesulitan bagi
pembaca dan memahami ide penulis, (3) alat pengembangan ide
secara berurutan, (4) pedoman bagi pembaca memahami jalan pikiran
penulis, (5) alat untuk menyampaikan pokok pikiran penulis, (6)
penanda mulainya ide baru, dan (7) sebagai pengantar, penghubung,
dan penutup suatu karangan.
Sumadipura (1991) mengemukakan bahwa fungsi paragraf ada
lima, yaitu (1) alat untuk mengembangkan jalan pikiran penulisan
secara sistematis, (2) alat untuk menyampaikan gagasan atau
fragmen-fragmen pikiran penulis, (3) alat untuk memudahkan
pembaca memahami jalan pikiran penulis, (4) pedoman bagi
pembaca dalam mengikuti alur pikir penulis, dan (5) penampung
gagasan pokok atau fragmen pikiran penulis. Menurut Keraf (2001),
fungsi paragraf adalah sebagai berikut.
a. Memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan
suatu pokok pikiran dengan yang lain, karena setiap paragraf
hanya mengandung satu pokok pikiran.
b. Memisahkan dan menghasilkan perhatian secara wajar dan formal
untuk memungkinkan pembaca berhenti lebih lama di akhir
kalimat. Perhentian tersebut memungkinkan terjadinya pemusatan
pikiran pada pokok pikiran yang diungkapkan dalam paragraf
(Keraf, 2001).

164 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


D. Ciri-ciri Paragraf yang Baik
Sebuah paragraf dikatakan baik jika memenuhi beberapa
kriteria yang dipersyaratkan. Kriteria tersebut adalah: (1) kesatuan
atau kohesi, (2) penyatuan atau koherensi, (3) kecukupan
pengembangan, dan (4) keterpolaan susunan atau susunan yang
terpola.

1. Kohesi atau Kesatuan


Kesatuan atau kohesi atau keutuhan merupakan syarat utama
sebuah paragraf. Sebuah paragraf dikatakan utuh apabila
pengembangannya atau kalimat yang membangunnya selalu mengacu
kepada suatu topik. Dengan kata lain, keseluruhan uraian yang
membangun paragraf itu harus mengacu kepada satu gagasan. Semua
kalimat yang membina paragraf, harus mendiskusikan hal yang sama.
Apabila tidak demikian, maka aspek kesatuan paragraf akan
mengakibatkan sulitnya ditangkap gagasan yang disampaikan penulis
(Rasyid dan Gani, 2013).
Pokok pikiran yang diperbincangan dalam sebuah paragraf
disebut topik utama paragraf. Satu paragraf hanya memiliki satu
topik utama. Pengembangan topik utama dapat dilakukan dengan
beberapa topik penjelas. Hal yang penting adalah topik penjelas harus
mengacu kepada topik utama. Agar pengembangan topik dapat
dilakukan secara terarah, ada beberapa hal yang dapat dilakukan,
misalnya: (1) membagi topik utama atas beberapa subtopik, lalu
subtopik dikembangkan atas beberapa kalimat, (2) menyisihkan
detail atau ide penjelas yang tidak penting, dan (3) memilih dan
mengambil ide penjelas yang sesuai dengan ide pokok. Perhatikan
contoh di bawah ini.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 165


Dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan
berbahasa. Hal itu disebabkan peran sangat besar dalam duni
pendidikan tersebut. Hampir setiap kegiatan pendidikan
menggunakan bahasa. Melaui bahasa dan berbahasa dunia
pendididkan bahasa diajarkan. perilaku berbahasa seseorang dapat
memcerminkan tingkat pendidikannya. Artinya, semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, semakin teraturlah bahasa yang
digunakannya, demikian pula sebaliknya.
(Rasyid dan Gani, 2013).

2. Koherensi atau Penyatuan


Koherensi atau penyatuan atau kesetalian adalah kerapatan
hubungan antarkalimat yang membangun suatu paragraf, harus
mempunyai hubungan timbal balik secara baik, padu, dan teratur.
Suatu paragraf dapat dikatakan koheren apabila terdapat kekompakan
antara kalimat satu dengan kalimat yang lainnya di dalam satu
paragraf. Koherensi sebuah paragraf akan terwujud jika aliran
kalimat yang satu ke kalimat yang lainnya berjalan dengan mulus dan
lancar. Aliran tersebut dapat dicapai melalui susunan yang logis dan
kaitan antarkalimat, sehingga tercipta kepaduan. Biasanya, hal yang
mempengaruhi kekoherensian paragraf berkaitan dengan ketaatan
dalam hal penggunaaan (1) kata hubung, (2) kata ganti, (3)
pengulangan atau kata ulang, (4) kata dan frasa, dan (5) penggunaan
struktur paralel dan lain-lain.
Menurut Semi (1990), kekoherenan sebuah paragraf dapat
diperoleh dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: (1) ide disusun
dengan satu pola susunan yang tepat dan tertib (2) kalimat-kalimat
disusun dalam pola dan kaidah kebahasaan yang teratur. Artinya,
penyatuan paragraf ini bukan saja dimaksudkan untuk menyatakan
hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain, melainkan juga
untuk menunjukkan kejelasan hubungan antara kalimat. Hal itu dapat

166 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


dicapai jika: tidak menggunakan kata transisi, kata ganti, repetisi, dan
penggunaan struktur paralel (Rasyid dan Gani, 2013).

3. Kecukupan atau Kelengkapan Pengembangan


Kecukupan sering juga disebut dengan kelengkapan.
Kecukupan adalah pemanfaatan ide penjelas sedemikian rupa dalam
menginformasikan pokok pikiran paragraf secara utuh. Aspek
kecukupan pada sebuah paragraf dapat diamati dari kalimat penjelas
yang membangun paragraf tersebut. Jika dengan sekian kalimat
(misalnya enam kalimat) ide pokok telah dapat disampaikan secara
utuh kepada pembaca, maka sebenarnya paragraf itu telah dapat
dianggap sebagai paragraf yang memenuhi aspek kecukupan
pengembangan (Rasyid dan Gani, 2013).
Paragraf yang dibangun oleh banyak kalimat bukan berarti
paragraf itu telah memenuhi aspek kecukupan. Sebaliknya, paragraf
yang sedikit kalimatnya bisa jadi merupakan sebuah paragraf yang
memenuhi aspek kecukupan. Contoh:

Perkembangan linguistik pada dua dasawarsa terakhir sangat


pesat, sehingga sulit diikuti oleh para peminatnya, baik bagi
mereka yang baru belajar maupun bagi mereka yang sudah lama
berkecimpung di bidang ini. Tentang apa dan bagaimana dengan
perkembangan linguistik tersebut, pahamilah uraian berikut ini.
(Rasyid dan Gani, 2013).

E. Pola pengembangan Paragraf


1. Teknik Membuka Paragraf
Teknik membuka paragraf adalah cara mengolah dan membuat
kalimat pertama dengan sedemikian rupa. Jika sebuah paragraf terdiri
dari (misalnya) enam kalimat, maka teknik membuka ditujukan pada
kalimat nomor satu. Artinya, kalimat pertama tersebut harus
diciptakan sedemikian rupa hingga mampu merangsang,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 167
mengarahkan, dan memandu menulis untuk melahirkan kalimat-
kalimat selanjutnya. Apabila goresan atau kalimat pertama ditulis
dengan baik, maka besar kemungkinan kalimat selanjutnya juga
ditulis dengan baik. Agar kalimat pertama tersebut dapat ditulis
dengan lancar, buatlah kalimat pertama tersebut dengan
memperhatikan hal-hal berikut ini.

a. Tesis (Te)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertamanya dalam bentuk
tesis atau pernyataan. Misalnya: (1) Bahasa adalah alat untuk
berkomunikasi, (2) Setiap laki-laki menyenangi wanita yang
menarik, (3) Pola hiidup sehat perlu dimasyarakatkan. Ambillah satu
dari pernyataan tersebut. Letakkan pernyataan yang diambil itu pada
kalimat pertama paragraf. Lalu kembangkanlah dengan kalimat-
kalimat berikutnya sampai paragraf tersebut dianggap selesai (Rasyid
dan Gani, 2013).

b. Omongan (0)
Awalilah paragraf dengan kalimat pertamanya dalam bentuk
kalimat yang memuat kutipan omongan (0) seseorang. Omongan
adalah peminjaman atau pengambilan pikiran atau pendapat orang
lain yang disampaikan secara lisan atau tulis. Artinya, kalimat
pertama paragraf pada teknik ini bertujuan sebagai bentuk
menyampaikan kembali pikiran orang lain yang dipinjam (Rasyid
dan Gani, 2013).

c. Pembuatan (P)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang memuat
deskripsi dari suatu perbuatan atau peristiwa. Rangkaian peristiwa
dan perbuatan itu menjadi sebuah kalimat. Kemudian tempatkanlah
kalimat itu sebagai kalimat pertama pada paragraf yang ditulis
(Rasyid dan Gani, 2013).
168 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
d. Kurosioritas (K)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
kurosioritas. Kurosioritas adalah kalimat yang dapat membangkitkan
rasa keingintahuan, mampu mensugesti pembaca, sehingga pembaca
terbangkit emosinya untuk mngetahui lebih lanjut (Rasyid dan Gani,
2013).

e. Perumpamaan atau umpama (U)


Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
ungkapan. Ungkapan adalah suatu ekspresi berbahasa dengan
menggunakan perumpamaan, yaitu kalimat yang bermakna tidak
langsung atau bermakna konotatif, misalnya dengan menggunakan
peribahasa, petatah-petitih, idiom, istilah, dan lain-lain (Rasyid dan
Gani, 2013).

f. Alkisah (A)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
alkisah. Alkisah adalah berkisah, yaitu mengungkapkan kembali
segala sesuatu yang mengingatkan penulis pada masa yang telah lalu.
Ungkapkan kembali tersebut dapat berupa benda, peristiwa, atau
lokasi (Rasyid dan Gani, 2013).

g. Tanya (Ta)
Bukalah paragraf dengan kalimat pertama yang berisikan
pertanyaan. Pertanyaan adalah pernyataan yang menghendaki
jawaban. Ajukanlah pertanyaan pada kalimat pertama, dan
kemukakanlah jawaban pertanyaan tersebut pada kalimat-kalimat
berikutnya (Rasyid dan Gani, 2013).

2. Teknik Mengembangkan Paragraf


Teknik pengembangan paragraf adalah teknik pengelolaan
persoalan yang ingin disampaikan. Pokok pikiran yang hendak
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 169
disampaikan, selanjutnya dikelola sedemikian rupa dan
dikembangkan dengan pola-pola tertentu yang relevan. Pola tersebut
dapat berupa pengembangan: (1) kronologis (K), (2) ruang (R), dan
(3) logis (L). Teknik pengembangan tersebut disingkat dengan KRL
(Rasyid dan Gani, 2013).

a. Pengembangan Paragraf dengan Pola Kronologis


Pengembangan kronologis adalah pengembangan paragraf
yang dilakukan dengan memperhatikan pengurutan atau urutan.
Urutan tersebut disusun sedemikian rupa sehingga kaitan hal-hal
yang diurutkan terlihat dengan jelas. Misalnya, urutan dari kiri ke
kanan, dari atas ke bawah, dan dari muka ke belakang. Pola
pengembangan kronologis dapat dilakukan dengan mengembangkan
topik tulisan dalam bentuk urutan waktu, lokasi, dan peristiwa.
Pola pengembangan kronologis ada dua, yaitu urutan
kronologis objektif dan urutan kronologis subjektif. Urutan
kronologis objektif adalah urutan waktu atau peristiwa yang terjadi
seperti apa adanya dan berada di luar diri penulis, misalnya peristiwa
yang dilihat, didengar, dan lain-lain. Urutan kronologis subjektif
adalah urutan waktu atau peristiwa yang terjadi di dalam diri penulis
(Rasyid dan Gani, 2013).
Pengembangan kronologis sering dilakukan dengan
menggunakan kata-kata bantu yang bersifat mengurutkan. Untuk
jelasnya perhatikan contoh berikut.

No. Contoh Paragraf


1. Cara membuat dadar jagung tidaklah sukar. Mula-mula
jagung disisir dan dihaluskan. Keluarkan biji cabai merah,
lalu haluskan bersama dengan bumbu lainnya. Setelah itu
bahan dan bumbu dicampur dengan telur ayam yang sudah
dikocok. Tambahkan seledri dan daun bawang yang sudah
diiris. Selanjutnya bubuhkan garam secukupnya. Aduklah

170 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


adonan itu sampai rata. Setelah rata gorenglah dengan
minyak yang telah panas. Bila matang, angkatlah.
Selanjutnya siap dihidangkan.
2. Aku tidak dapat memahami pikiran ayah. Ayah mengusulkan
agar berhenti kuliah, setelah itu kawin dengan pilihannya.
Dulu ayahlah yang berkeras memaksaku kuliah di IKIP ini.
Sekarang aku telah betah kuliah di lembaga ini. Rencanaku
setelah wisuda nanti aku akan menjadi guru di desa terpencil.
Menjadi guru bagi anak-anak yang masih polos. Anak-anak
yang butuh perhatian akan pendidikan. Bila perlu aku kawin
dengan penduduk desa terpencil itu. Sekali setahun aku akan
ke kota melihat ayah. Bercengkrama kembali, bercerita
kembali, dan banyak lagi. Hmm, bahagia rasanya. Sekarang
semua angan yang kubangun itu diruntuhkan sendiri oleh
ayah.
(Rasyid dan Gani, 2013).

b. Pengembangan Paragraf dengan Pola Ruang


Pola pengembangan ruang disebut juga dengan pola
pengembangan parsial. Pengembangan ruang adalah pola
pengembangan paragraf dengan menitikberatkan pada pendeskripsian
kondisi, bentuk, atau letak obyek yang diamati. Deskripsi itu dapat
dilakukan dengan bentuk gambaran umum, yaitu gambaran yang
tidak tegas atau dalam bentuk gambaran rincian atau spesifik, yaitu
ganbaran yang pasti atau tegas (Rasyid dan Gani, 2013). Gambaran
umum merupakan gambaran sekilas dari suatu objek. Untuk
menguraikan gambaran umum, kata bantu yang sering digunakan
adalah di atas, ke utara, di sebelah, pada bagian, agak besar, lebih
kecil, dari kiri, belok ke kanan, dan lain-lain. Gambaran umum dan
gambaran rinci pada pengembangan ruang, dapat dibuat secara
bersamaan pada suatu paragraf. Biasanya pengembangan yang seperti
ini (bervariasi) membuat paragraf lebih hidup dan menarik, sehingga

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 171


apa yang hendak disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh
pembaca. Pola pengembangan ruang biasanya digunakan untuk
mendeskripsikan sesuatu yang diamati, baik berupa benda, lokasi,
ataupun peristiwa.
Pola pengembangan kronologis dan pola pengembangan ruang
pada dasarnya adalah pola pengembangan paragraf secara alamiah,
yaitu pola pengembangan paragraf secara objektif. Kenyataan
memperlihatkan bahwa pola pengembangan ruang dan pola
pengembangan kronologis sering muncul secara bersamaan.
Keseringan ini muncul karena hal itu dapat membantu kelancaran
penginformasian pesan. Selain itu, juga diakibatkan oleh kesamaan
pola asalnya, yaitu pola alamiah. Untuk jelasnya perhatikan contoh
berikut ini.

Dosen yang mengajar kami sangat menarik perhatianku. Tubuhnya


sangat atletis, berat dan tingginya cukup harmonis. Humornya
membuat kami tidak pernah mengantuk ketika PBM berlangsung.
Jika mengajar pertama yang dilaksanakannya adalah mengamati isi
kelas, selain itu ia akan mengambil absensi. Mahasiswa yang datang
setelah pengambilan absen tidak diperkenankan mengikuti
perkuliahan. Setelah pengambilan absen, ia akan membuka
pelajaran dengan ilustrasi-ilustrasi yang menarik. Ilustrasi itu sering
diadakannya kepada materi yang akan diajarkan. Biasanya setelah
ilustrasi adalah tanya-jawab, kemudian mengerjakan latihan, setelah
mendiskusikan latihan, dan terakhir penjelasan seperlunya. Cara
mengajar yang demikian cocok dengan seleraku. Bila kelak menjadi
guru aku akan mengajar dengan demikian.
(Rasyid dan Gani, 2013).

c. Pengembangan Paragraf dengan Pola Logis


Pola pengembangan logis adalah pola pengembangan paragraf
yang didasarkan kepada dialektika berpikir. Kelogisan itu meliputi

172 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


materi dan cara penyampaiannya. Pola pengembangan logis dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa cara, yaitu: (1)
pemberian contoh, (2) menampilkan fakta, (3) mengemukakan
alasan, (4) secara bercerita, (5) menggunakan pengalaman pribadi,
(6) memperluas definisi, (7) sebab akibat, (8) membandingkan atau
mempertentangkan, (9) klimaks-antiklimaks, (10) analogi, (11)
klasifikasi, (12) umum ke khusus atau sebaliknya, dan lain-lain
(Sikumbang, 1981).

1) Pengembangan Paragraf dengan pola Mengemukakan


Contoh
Kadang-kadang, memahami isi sebuah paragraf tidaklah
mudah. Namun, kesulitan itu dapat dikurangi, jika penulis
mengemukakan contoh-contoh pada paragraf yang disusunnya.
Dengan mengemukakan contoh tersebut, pembaca akan lebih
menyenangi apa yang dibacanya.
Perhatikan contoh berikut.

Penggunaan bahasa Indonesia pada papan nama merek usaha cukup


memperhatikan. Kepribadian ini karena pada umumnya bahasa
iklan tersebut tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Nama-nama seperti: Pondok Indah Mall, Blok M Plaza,
Citra Grand Centre, Singgalang Real Estate, Penjahit Tailor, Juwita
shoes, dan lain-lain sebagainya sudah sering dipampangkan dengan
megahnya. Tidak malu menggunakan bahasa yang demikian? Atau,
Tidakkah ada ungkapan yang tepat untuk mempromosikan usaha
dagang tersebut dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar?
Terlalu miskinkah bahasa kita? Jawaban pertanyaan tersebut
terpulang kepada kita semua.
(Rasyid dan Gani, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 173


2) Pengembangan Paragraf dengan Pola Menampilkan Fakta
Fakta adalah kenyataan-kenyataan yang dapat dibuktikan
kebenarannya. Melalui fakta-fakta itu, diharapkan pembaca
memahami dengan mudah apa yang dimaksud oleh sebuah paragraf.

Contoh:
Bandung dikenal juga dengan sebutan “Paris Van Java”. Daerah ini
banyak dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Sampai tahun
1970-an, kota Bandung sangat cocok dengan wisatawan
mancanegara, terutama wisatawan yang berasal dari Eropa. Hal ini
disebabkan karena hawanya yang sejuk dan nyaman, bahkan
terkadang dingin. Di beberapa tempat seperti Dago dan Ledeng
sering dipasang tugu pemanas untuk melawan udara yang dingin.
Menyenangkan suasana kala itu. Kini, setelah 25 tahun iklim
Bandung sudah sangat jauh bedanya. Bandung sekarang tidak lagi
sejuk. Suhu udara sering menigkat terus. Kenaikan suhu ini antara
lain disebabkan karena kepadatan penduduk, penebangan pohon
pelindung, bertambahnya kendaraan bermotor, menjamurnya rumah
kaca yang menjulang ke angkasa, dan lain sebagainya. Akibat suhu
yang meningkat ini, banyak gedung perkantoran, pasar swalayan,
dan rumah penduduk yang menggunakan alat pendingin (AC) untuk
melawan gerahnya udara. Berbedanya Bandung yang dulu dengan
Bandung yang sekarang adalah hal yang wajar.
(Rasyid dan Gani, 2013).

3) Pengembangan Paragraf dengan Pola Mengemukakan Alasan


Pengemukaan alasan ini dilakukan dalam rangka memudahkan
pemahaman terhadap materi yang disampaikan. Dengan kata lain,
alasan harus mendukung pokok persoalan yang dibicarakan.
Pengembangan paragraf dengan mengemukakan alasan dapat
membawa pembaca kepada cara berpikir kritis.

174 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Contoh:
Tidak selamanya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam dunia pendidikan. Pada jenjang pendidikan
tertentu dapat digunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
Biasanya, bahasa daerah digunakan pada jenjang pendidikan dasar
(SDK dan SD kelas rendah). Penggunaan bahasa daerah dilakukan
karena murid tidak begitu mengenal bahasa Indonesia. Mereka tidak
dapat memahami dengan cepat segala informasi yang disampaikan
dengan bahasa Indonesia. Bila murid memahami informasi yang
disampaikan dengan bahasa Indonesia, untuk apa dipaksakan
penggunaan bahasa tersebut! Bukankah proses belajar mengajar
adalah kegiatan pemindahan informasi dari guru ke murid! Oleh
sebab itu, kemudian memilih bahasa pengantar yang tepat dalam
kegiatan kependidikan perlu dimiliki guru.
(Rasyid dan Gani, 2013).

4) Pengembangan Paragraf dengan Pola Bercerita


Paragraf-paragraf yang membangun karya sastra, seperti;
cerpen, novel, dan roman adalah paragraf yang dikembangkan
dengan cara bercerita. Biasanya paragraf jenis ini menampilkan
lukisan benda, peristiwa, dan suasana yang sedang atau telah lama
berlalu. Melalui lukisan itu pembaca seolah-olah berhadapan dengan
apa yang dilukiskan penulis tersebut.

Contoh:
Di dinginnya pagi, bergelimpangan beberapa mayat, tangisan anak-
anak dan perempuan muda. Pemandangan yang sangat
memprihatinkan itu sudah sejak dari tadi diperhatikan Giring-giring
Perak. Dia merasa hatinya amat iba. Luluh lantak perasaannya. Bagi
yang kematian ibu, alangkah sepinya hidup mereka. Sepi sekali.
Tidak seperti anak-anak lain, yang setiap hari didendangkan dengan
lagu cinta, disuapkan dengan kasih sayang. Bagi yang kematian

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 175


ayah, siapa lagi yang mencarikan mereka nafkah? Siapa lagi yang
akan melindungi? Apalagi hidup dalam zaman Minangkabau yang
keras dan hampi-hampir tidak beradab seperti saat ini. Ah,... dia
merasa hiba melihat nasib anak-anak itu. Dan karenanya, dia
menyesali dirinya. Kenapa dia harus terlambat datang malam tadi.
(Rasyid dan Gani, 2013).

176 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


BAB VIII
ILMU MAKNA DALAM BAHASA INDONESIA

A. Batasan Makna
Ilmu tentang makna bahasa dikenal dengan istilah semantik.
Semantik berasal dari kata Yunani sema yang berarti ‘tanda’,
semainein berati memperlihatkan, menyatakan dan semantickos
berarti penting, berarti. Semantik sebagai cabang ilmu bahasa adalah
ilmu yang mempelajari masalah makna/ arti dalam suatu bahasa
(Maksan, 1994:69). Makna merupakan unsur bahasa yang tidak dapat
dipisahkan dari tanda sehingga berada di dalam tanda bahasa. Makna
juga dapat dikenali melalui pendekatan lain (selain dari teori de
Saussure). Dua pendekatan yang populer tentang makna adalah
pendekatan analitis atau referensial dan pendekatan kontekstual atau
operasional. Berdasarkan pendekatan analisis, makna dapat dikenali
melalui model segi tiga dasar Ogden dan Richard. Mengacu pada
model segi tiga dasar itu, makna melibatkan tiga komponen, yaitu (1)
pikiran, (2) simbol, dan (3) acuan. Ketiga komponen tersebut
mempunyai hubungan. Pikiran dengan simbol dan pikiran dengan
acuan memiliki hubungan secara langsung, sedangkan simbol dengan
acuan memiliki hubungan tidak langsung.
Berdasarkan pendekatan kontekstual, makna dapat ditentukan
dalam konteks. Maksudnya, makna itu ditentukan dalam penggunaan
kata itu dalam konteks tertentu. Menurut pendekatan kontektual,
makna kata tidak ditentukan ketika kata tersebut berdiri sendiri, tetapi
makna sebuah kata harus ditentukan pada saat kata itu digunakan.
Jadi, makna adalah konsep yang timbul ketika kata itu digunakan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebuah kata memiliki
banyak makna karena konteksnya yang berbeda (Ratna, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 177


B. Jenis Makna
Makna dapat diklasifikasikan atas lima jenis, yaitu: (1) makna
leksikal dan makna gramatikal, (2) makna referensial dan makna
nonreferensial, (3) makna denotatif dan makna konotatif, (4) makna
konseptual dan makna asosiatif, dan (5) makna kata dan istilah, dan
makna idiom dan peribahasa.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal


Makna leksikal adalah makna yang dimiliki leksem meskipun
tanpa konteks apapun. Contoh, leksem kuda memiliki makna leksikal
‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Dengan
contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna
yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi , atau
makna apa adanya. Sebaliknya, makna gramatikal baru ada kalau
terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi,
atau kalimatisasi (Chaer, 2010:289). Misalnya, dalam proses afiksasi
prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal
‘mengenakan atau memakai baju’. Contoh lain, proses komposisi
dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal ‘bahan’
dengan dasar madura melahirkan makna gramatikal ‘asal’ (Ratna,
2013).
Makna leksikal adalah makna leksikon atau leksem atau kata
yang berdiri sendiri, tidak berada dalam konteks, atau terlepas dari
konteks. Makna leksikal adalah makna yang terdapat dalam kamus.
Makna leksikal merupakan makna yang diakui ada dalam leksem
atau leksikon tanpa digunakan. Begitu juga dengan kata amplop
dapat diberi makna ”sampul surat”, dengan tanpa menggunakan kata
itu dalam konteks. Makna “sampul surat” yang terkandung dalam
kata amplop itu merupakan makna leksikal. Makna gramatikal
merupakan makna yang timbul karena peristiwa gramatikal. Makna
gramatikal itu dikenali dalam kaitannya dengan unsur yang lain
dalam satuan gramatikal. Jika satuan yang lain itu merupakan
178 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
konteks, makna gramatikal itu disebut juga makna kontekstual.
Dalam konteks itu, kata amplop, tidak lagi bermakna “sampul surat”,
tetapi dapat berarti uang suap. Makna gramatikal tidak hanya berlaku
bagi kata atau unsur leksikal, tetapi juga berlaku untuk morfem.
Makna gramatikal juga dapat berupa hubungan semantis antarunsur.
Dua unsur yang membentuk frasa juga memiliki makna gramatikal.
Contohnya, rumah papan, kain pembalut, orang lapangan, dan batik
Solo (Oka, 1994:233).

2. Makna Referensial dan Nonreferensial


Sebuah kata atau leksem disebut makna referensial jika ada
referensnya atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan
gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena
ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti dan,
atau, dan karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna
referensial karena kata-kata itu tidak memiliki referen.
Berbicara tentang acuan atau referen, kata-kata yang tergolong
deiktik acuannya tidak menetap pada satu wujud. Akan tetapi,
acuannya dapat berpindah dari wujud satu pada wujud yang lain.
Kata-kata yang tergolong deiktik adalah kata-kata pronomina seperti
dia, saya, dan kamu. Contoh lain kata-kata yang menyatakan ruang,
seperti di sini, di sana, dan di situ dan kata-kata yang menyatakan
waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti (Ratna, 2013).

3. Makna Denotatif dan Konotatif


Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna
yang sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna
denotatif sama dengan makna leksikal. Misalnya, kata babi bermakna
denotatif ‘sejenis binatang yang bisa diternakkan untuk dimanfaatkan
dagingnya. Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan”.
Pada makna denotatif tadi, makna kata dihubungkan dengan nilai
rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 179
tersebut. Misalnya, kata babi pada contoh di atas, bagi orang yang
beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi
yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak jika mendengar
kata itu (Ratna, 2013).
Menurut Oka (1994:235), makna denotatif merupakan makna
dasar suatu kata yang bebas dari nilai rasa. Makna konotatif adalah
makna kata yang merupakan makna tambahan, yang berupa nilai
rasa. Nilai rasa itu bisa bersifat positif, bersifat negatif, bersifat halus,
atau bersifat kasar. Dua buah kata atau lebih memiliki makna
denotatif yang sama. Perbedaannya terletak pada makna
konotatifnya. Kata kamu dan Anda, memiliki makna denotatif yang
sama, yakni ‘orang kedua tunggal’. Kedua kata itu berbeda makna
konotatifnya. Kata kamu berkonotasi kasar (kecuali bagi orang-orang
Tapanuli/ Batak) sedangkan kata Anda berkonotasi halus (Ratna,
2013).

4. Makna Kata dan Makna Istilah


Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna
yang dimiliki oleh sebuah kata adalah makna leksikal, makna
denotatif, dan makna konseptual. Penggunaan makna kata dapat
menjadi jelas apabila sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Kita belum tahu makna jatuh sebelum kata itu
berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Berbeda
dengan makna kata, makna yang disebut istilah mempunyai makna
yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa
konteks kalimat. Contoh kata tangan dan lengan dalam bidang
kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Kata tangan bermakna
bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan, sedangkan kata
lengan mempunyai makna bagian dari pergelangan sampai ke
pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam

180 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


ilmu kedokteran tidak bersinonim. Hal itu disebabkan kedua istilah
itu memiliki makna yang berbeda (Chaer, 2010:295).

5. Makna Idiom dan Makna Peribahasa


Idiom adalah suatu ujaran yang maknanya tidak dapat
“diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal
maupun secara gramatikal. Idiom dibedakan atas dua macam, yaitu;
(1) idiom penuh dan (2) idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom
yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan
sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.
Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja
hijau termasuk contoh idiom penuh. Idiom sebagian adalah idiom
yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.
Misalnya, idiom buku putih bermakna buku yang memuat
keterangan resmi mengenai suatu kasus dan idiom daftar hitam
bermakna memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai
berbuat kejahatan, serta idiom koran kuning bermakna koran yang
memuat berita sensasi. Pada contoh tersebut, kata buku, daftar, dan
koran masih memiliki makna leksikalnya (Chaer, 2010:296).
Berbeda dengan makna idiom yang maknanya dapat
“diramalkan” (baik secara leksikal maupun gramatikal), makna
peribahasa adalah makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak
dari makna unsur-unsurnya. Hal itu disebabkan adanya “asosiasi”
antara makna asli dengan makna sebagai peribahasa. Misalnya,
peribahasa seperti anjing dengan kucing bermakna ‘dikatakan ihwal
dua orang yang tidak pernah akur’. Makna itu memiliki asosiasi
bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bertemu
memang selalu berkelahi atau tidak pernah damai (Chaer, 2010:296).
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di
dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnnya sudah
memiliki kebudayaan yang tinggi. Makna idiom dapat diketahui

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 181


dengan cara melihatnya di dalam kamus, khususnya kamus
peribahasa dan kamus idiom (Ratna, 2013).

C. Relasi Makna
1. Sinonim
Hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Misalnya, antara betul dengan kata benar, antara kata hamil dengan
frasa duduk perut, dan antara kalimat Dika menendang bola dengan
Bola ditendang Dika. Relasi sinonim ini bersifat dua arah.
Maksudnya kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satu
ujaran B, satuan ujaran B itu besinonim dengan satuan ujaran A.
Secara konkret, kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, maka
kata benar itu juga bersinonim dengan kata betul.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis
sama maknanya. Ketidaksamaan itu terjadi karena enam faktor
berikut ini. Pertama, faktor waktu dapat mengakibatkan makna kata
berubah. Misalnya, kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan. Kata hulubalang memiliki pengertian klasik, sedangkan
kata komandan tidak memiliki pengertian klasik. Kedua, faktor
tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta dua buah kata
yang bersinonim. Kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan
kata beta hanya cocok untuk wilayah Indonesia Bagian Timur atau
dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia Bagian Timur.
Ketiga, faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua
buah kata yang bersinonim. Kata uang dapat digunakan dalam ragam
formal dan tidak formal, sedangkan kata duit hanya cocok digunakan
untuk ragam tidak formal (Ratna, 2013).
Keempat, faktor sosial. Misalnya, kata saya dan aku adalah
dua buah kata yang bersinonim. Kata saya dapat digunakan oleh
siapa saja dan kepada siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat
digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab, atau
182 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
pada yang lebih muda. Kelima, bidang kegiatan. Misalnya, kata
matahari dan surya adalah dua buah kata bersinonim. Kata matahari
dapat digunakan dalam kegiatan apa saja atau dapat digunakan secara
umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam
khusus terutama ragam sastra. Keenam, faktor nuansa makna.
Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau, dan
mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Akan tetapi, antara
satu dengan yang lain tidak selalu dapat dipertukarkan karena
masing-masing memiliki nuansa makna yang tidak sama.
Berdasarkan keenam faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan
atau disubstitusikan. Sinonim merupakan relasi makna yang
menunjukkan kesamaan. Anggota makna yang memiliki relasi
kesamaan itu disebut sinonim. Sinonimi merupakan istilah yang
melabeli relasinya, sedangkan sinonim itu merupakan istilah yang
melabeli anggotanya (makna-makna yang bersinonim). Verhaar
(1990) mengartikan sinonim sebagai ungkapan (kata, frasa, atau
kalimat) yang maknanya kurang lebih sama. Sinonim tidak selalu
beranggotakan dua unsur, tetapi dapat beranggotakan dari tiga unsur,
seperti gemuk, gendut, dan gembrot. Contoh lain, seperti: kurus,
kerempeng, dan ceking.
Sinonim dapat terjadi pada berbagai tataran gramatikal.
Satuan-satuan yang bersinonim dapat berupa morfem, bahkan
morfem terikat, seperti in- dan non- pada inkonvensional dan
nonkapitalis. Sinonim antarkata merupakan sinonim yang paling
umum, seperti antara mati, meninggal, dan wafat. Sinonim juga dapat
terjadi antara frasa, seperti yang tampak pada minta maaf dan mohon
ampun.
Sinonim dapat dikenali dengan dua cara (Depdikbud Ditjen
Dikti,1985). Cara yang pertama adalah tes substitusi. Dengan tes itu,
sebuah kata disubstitusikan dengan kata lain, lalu diuji apakah makna
penggantinya masih mempertahankan makna atau tidak. Kata sebab

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 183


dapat dipastikan bersinonim dengan kata karena dan lantaran
berdasarkan pertimbangan bahwa ketiga kata itu dapat saling
mengganti. Cara kedua, dua buah kata atau lebih dikatakan
bersinonim jika kata-kata itu memiliki antonim yang sama. Kata
kurus, kerempeng, dan ceking dikatakan bersinonim karena kata-kata
itu memiliki antonim yang sama. Ketiga kata bersinonim itu
antonimnya gemuk. Sinonim dapat terjadi karena dua hal. Pertama,
karena keperluan nuansa-nuansa makna. Misalnya, yang tampak pada
kata-kata bahasa Jawa: nggawa ‘membawa’. Kedua, karena pengaruh
bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah serta bahasa
serumpun (Ratna, 2013).

2. Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua
buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan. Misalnya,
kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim
dengan kata hidup, dan kata membeli berantonim dengan kata
menjual. Hubungan antara dua satuan ujaran yang berantonim juga
bersifat dua arah. Jadi, kalau kata membeli berantonim dengan kata
menjual, kata menjual juga berantonim dengan kata membeli. Dilihat
dari sifat hubungannya, antonim dapat dibedakan atas empat jenis,
yaitu (1) antonim yang bersifat mutlak, (2) antonim yang bersifat
relatif, (3) antonim yang bersifat relasional, dan (4) antonim yang
bersifat hierarkial.
Pertama, antonim bersifat mutlak. Misalnya, kata hidup
berantonim secara mutlak dengan kata mati. Dikatakan demikian,
karena sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati. Contoh lain,
kata diam berantonim secara mutlak dengan kata bergerak karena
sesuatu yang diam tentu tidak bergerak. Kedua, antonim bersifat
relatif atau bergradasi. Misalnya, kata besar dan kecil berantonim
secara relatif. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif karena batas
antara satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas.
184 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Batasnya dapat bergerak menjadi lebih atau menjadi kurang. Oleh
karena itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil. Ketiga,
antonim yang bersifat relasional. Misalnya, kata membeli dengan
menjual, suami dengan istri, dan kata guru dengan murid. Antonim
jenis ini disebut relasional karena munculnya yang satu harus disertai
dengan yang lain. Adanya membeli karena adanya menjual, adanya
suami karena adanya istri. Kalau salah satu tidak ada, yang lain juga
tidak ada (Ratna, 2013).
Keempat, antonim bersifat hierarkial. Misalnya, kata tamtama
dengan bintara berantonim secara hierarkia karena kedua satuan
ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau
hierarki. Di dalam bahasa Indonesia, juga terdapat satuan ujaran yang
memiliki pasangan antonim lebih dari satu. Bentuk antonim semacam
itu disebut antonim majemuk. Misalnya, kata berdiri dapat
berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, dan bersila.
Antonim, sering juga disebut dengan istilah aposisi makna. Menurut
Oka (1994:243), aposisi dibedakan atas lima jenis, yaitu (a) aposisi
mutlak, (b) aposisi kutub, (c) aposisi hubungan, (d) aposisi hierarkial,
dan (e) aposisi majemuk.

a. Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak merupakan oposisi yang menunjukkan
pertentangan secara mutlak. Oposisi ditandai dengan prinsip jika
salah satu berlaku, yang lain tidak berlaku. Contoh opsisi antara
hidup dan mati. Dengan prinsip itu jika seseorang dikatakan hidup,
pasti dia tidak mati (Ratna, 2013).
b. Oposisi Kutub
Dalam oposisi kutub tidak terdapat pertentangan yang mutlak.
Pertentangan dalam oposisi kutub bersifat gradual. Karena itu,
oposisi kutub disebut juga oposisi gradual karena diantara dua kutub
yang bertentangan itu terdapat anggota yang lain. Kata-kata yang
beroposisi kutub pada umumnya berkategori adjektiva. Contohnya:

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 185


kaya dengan miskin, panjang dengan pendek, dan dekat dengan jauh
(Ratna, 2013).

c. Oposisi Hubungan
Dalam oposisi hubungan, sebuah anggota oposisi saling
tergantung dan saling melengkapi. Oposisi hubungan berlaku bagi
kata-kata memberi dan meminta, menjual dan membeli, mengajar dan
belajar, dan lain-lain (Ratna, 2013).

d. Oposisi Hierarkial
Oposisi hierarkial adalah oposisi yang memiliki jenjang dalam
suatu deret. Kata-kata yang beroposisi adalah kata-kata yang berupa
nama hitungan, angka, kelas, tanggal, dan lain-lain. Misalnya,
pangkat dalam bidang militer memiliki oposisi-oposisi yang bersifat
hierarkial. Dengan demikian, ada aposisi kopral, sersan, letnan,
kapten, kolonel, jendral (Ratna, 2013).

e. Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk memiliki anggota yang banyak dan oposisi
suatu anggota tidak dapat ditentukan. Kata tidur belum tentu
beroposisi dengan bangun. Kata tidur mungkin saja beroposisi
dengan pergi, bekerja, makan, dan seterusnya. Dalam oposisi
majemuk, oposisi tidak terjadi pada satu kata, tetapi dapat beroposisi
dengan dua kata atau lebih (Ratna, 2013).

3. Polisemi
Sebuah kata atau suatu ujaran disebut polisemi kalau kata itu
mempunyai makna lebih dari satu. Kata kepala setidaknya
mempunyai makna: (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau
pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang
berbentuk bulat, dan (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting.
Makna pertama pada kasus polisemi adalah makna sebenarnya,

186 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya,
sedangkan yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan
berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau
satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata
atau satuan ujaran yang polisemi masih berkaitan satu dengan yang
lain (Chaer, 2010:301).
Polisemi berarti banyak makna. Meskipun bermakna lebih dari
satu, makna-makna tersebut saling berkaitan. Polisemi terjadi karena
kemungkinan-kemungkinan berikut. Pertama, polisemi terjadi karena
perubahan penggunaan sebuah kata. Perubahan penggunan kata
tersebut mengakibatkan munculnya makna baru. Misalnya, kata
raksasa yang berarti ‘(makhluk) besar’ dalam cerita-cerita yang
kemudian digunakan dalam konteks baru, seperti pada rapat raksasa,
proyek raksasa, atau rumah raksasa. Kedua, polisemi terjadi karena
lingkungan sosial. Pada lingkungan sosial medis, kata operasi berarti
‘bedah’, tetapi pada lingkungan sosial hankamnas kata operasi itu
berarti ‘penertiban’ atau ‘serangan’. Ketiga, polisemi terjadi karena
metafora, misalnya kata mata yang makna intinya alat untuk melihat,
lalu digunakan secara metafora menjadi mata air, mata angin, dan
mata anggaran. Keempat, polisemi terjadi karena pengaruh
penggunaan bahasa asing, pengguna bahasa ingin menghemat
pemakaian kata, dan pengaruh sistem bahasa yang terbuka untuk
menerima perubahan (Pateda dalam Muliastuti, 2009:4.24).

4. Homonim
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang
bentuknya “kebetulan” sama namun maknanya berbeda karena
masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Misalnya, antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar
yang bermakna ‘kekasih’, atau antara kata bisa yang berarti ‘racun
ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup’. Sama dengan sinonim dan
antonim, relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 187


berlaku dua arah. Pada kasus homonimi, ada dua istilah yang bisa
dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya
kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan
ejaannya, apakah ejaannya sama atau berbeda. Oleh karena itu, bila
dilihat dari bunyinya, maka bentuk-bentuk pacar I dan pacar II yang
dibicarakan di atas adalah dua bentuk homonim.
Homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ejaannya,
atau ortografinya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Contoh
homografi dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kita hanya
menemukan contoh kata teras /təras/ yang maknanya ‘inti’ dan kata
teras /teras/ yang maknanya ‘bagian serambi rumah’. Menurut Oka
(1994:247), homonim dapat dipilih atas tiga kategori, yakni (1)
homofoni dan homografi, (2) homofoni, dan (3) homografi. Kategori
pertama memiliki dua kesamaan, yakni bunyi dan tulisan, seperti bisa
yang berarti ‘racun’ dan bisa yang berarti ‘dapat. Kategori kedua
memiliki kesamaan bunyi saja seperti bank ‘bank’ dan bang ’kak’.
Kategori ketiga memiliki kesamaan tulisan saja, seperti teras yang
berarti ‘rumah bagian depan’ dan teras yang berarti ‘penting’,
misalnya teras rumah dan pejabat teras (Ratna, 2013).

5. Hiponimi
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk
ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang
lain. Relasi hiponim bersifat searah, misalnya kata merpati
berhiponim dengan kata burung. Kalau merpati berhiponim dengan
burung, burung tidak berhiponim dengan merpati. Dengan kata lain,
kalau merpati adalah hiponim dari burung, burung adalah hipernim
dari merpati. Hiponim dan hipernim membuat klasifikasi terhadap
konsep akan adanya kelas-kelas generik dan spesifik (Chaer,
2010:302).
Menurut Oka (1994:247), hiponim merupakan istilah yang
diadaptasi dari istilah bahasa Inggris hyponymy. Secara etimologis,

188 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


istilah itu berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘di bawah’ dan
onoma yang berarti ‘nama’. Dari etimologinya itu hiponimi dapat
diartikan sebagai ‘nama yang berada di dalam nama yang lain’.
Hiponim mengisyaratkan dua komponen, yakni kelas atasan dan
kelas bawahan. Kelas atasan merupakan anggota yang disebut
hipermin. Hipernim adalah kelas yang maknanya mencakup nama-
nama yang berada di bawahnya. Kelas bawahan merupakan hiponim.
Hiponim adalah kelas yang maknanya tercantum dalam kelas di
atasnya (Ratna, 2013).

D. Perubahan Makna
Sejalan dengan hakikat bahasa yang hidup yang selalu
mengalami perubahan, makna sebagai unsur bahasa merupakan salah
satu unsur yang memiliki potensi untuk berubah. Dalam bahasa
Indonesia dikenal enam jenis perubahan makna, yaitu (a) makna
meluas, (2) makna menyempit, (3) makna amelioratif, (4) makna
peyoratif, (5) makna asosiatif, dan (6) makna sinestesia (Pateda
dalam Muliastuti, 2009:4.27).

1. Makna Meluas
Makna meluas mempunyai arti, kalau tadinya sebuah kata
bermakna ‘A’, kemudian menjadi bermakna ‘B’. Misalnya, kata baju
pada mulanya hanya bermakna ‘pakaian sebelah atas dari pinggang
sampai ke bawah’, seperti pada ungkapan baju batik, baju sport, dan
baju lengan panjang. Dalam kalimat murid-murid itu memakai baju
seragam, yang dimaksud bukan hanya baju, tetapi juga celana,
sepatu, dasi, dan topi (Ratna, 2013).

2. Makna Menyempit
Makna menyempit mempunyai arti kalau tadinya sebuah kata
atau suatu ujaran itu memiliki makna yang sangat umum, tetapi kini

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 189


maknanya menjadi khusus atau sangat khusus. Misalnya, kata
sarjana pada mulanya bermakna ‘orang cerdik pandai’, tetapi kini
hanya bermakna ‘lulusan perguruan tinggi’ (Ratna, 2013).

3. Makna Amelioratif
Makna amelioratif adalah makna kata sekarang dirasakan lebih
baik atau tinggi daripada kata sebelumnya atau semula. Contohnya:
wanita, pramunikmat, dan warakauri merpakan kata-kata yang
dipakai untuk lebih menghaluskan dan menyopankan pengertian
yang terkandung dalam kata-kata tersebut (Ratna, 2013).

4. Makna Peyoratif
Makna peyoratif adalah makna kata sekarang mengalami
penurunan nilai rasa kata daripada makna kata pada awal
pemakaiannya. Contoh: kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan
terasa memiliki konotasi menurun atau negatif (Ratna, 2013).

5. Makna Asosiasi
Makna asosisi adalah makna yang muncul karena persamaan
sifat. Misalnya, kata catut dalam kalimat “hati-hati dengan catut itu.”
tergolong kata-kata dengan makna asosiatif. Begitu pula dengan kata
kacamata dalam kalimat. Menurut kacamata saya, perbuatan Anda
tidak benar (Ratna, 2013).

6. Makna Sinestesia
Makna sinestesia adalah makna yang terjadi karena pertukaran
tanggapan antara dua indera. Misalnya, dari indera pengecap ke
indera penglihatan. Kata manis dalam kalimat Gadis itu berwajah
manis. Kata manis mengandung makna enak dan biasanya dirasakan
oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus yang dapat diransang atau

190 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


dirasakan oleh indera penglihatan. Demikan juga dengan kata panas,
kasar, sejuk, dan sebagainya (Ratna, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 191


BAB IX
JENIS POLA PENGEMBANGAN PARAGRAF

A. Narasi
1. Pengertian Narasi
Menulis adalah kegiatan mengungkapkan gagasan secara
tertulis. (Wiyanto: 2004:1). Narasi adalah suatu bentuk wacana yang
berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca
tentang suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf: 2001:136). Sejalan
dengan itu, Atmazaki (2007:90) mengemukakan bahwa narasi adalah
cerita yang didasarkan atas urutan serangkaian kejadian atau
peristiwa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa menulis narasi adalah
kegiatan mengungkapkan serangkaian kejadian atau peristiwa
melalui tulisan.
Atmazaki (2007:90) menambahkan bahwa narasi adalah cerita
yang didasarkan atas urutan serangkaian kejadian atau peristiwa. Di
dalam kejadian itu, ada satu atau beberapa tokoh, dan tokoh tersebut
mengalami satu atau serangkaian peristiwa. Selain itu, Keraf
(2001:136) mengatakan bahwa narasi dapat dibatasi sebagai suatu
bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang
dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam
satu kesatuan waktu.
Selanjutnya, Thahar (2008:52) mengemukakan bahwa narasi
adalah cerita yang berdasarkan urutan peristiwa atau kejadian yang
dialami oleh tokoh dengan latar tempat dan waktu serta suasana. Di
dalam narasi biasanya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh
menimbulkan konflik-konflik yang menyebabkan cerita menjadi
hidup. Jadi, sebuah karangan narasi yang sempurna itu memiliki
peristiwa, tokoh, latar, dan konflik (Rasyid dan Gani, 2013).

192 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


2. Tujuan Menulis Narasi
Menurut Semi (2009:41), narasi merupakan bentuk percakapan
atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan
rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia berdasarkan
perkembangan dari waktu ke waktu. Berdasarkan rumusan itu, jelas
bahwa narasi merupakan penyampaian seperangkat peristiwa atau
pengalaman tentang diri sendiri, orang lain, serta tentang diri sendiri
dan orang lain pada kurun waktu tertentu (Rasyid dan Gani, 2013).
Selain itu, Keraf (2001:136) menyatakan bahwa ada narasi
yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada pembaca agar
pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Selain itu,
ada narasi yang disusun dan disajikan sedemikian rupa hingga
mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha
menyampaikan sebuah makna kepada pembaca melalui daya khayal
yang dimilikinya. Narasi ini disebut narasi sugestif.

3. Ciri-ciri Tulisan Narasi


Semi (2009:42-43) mengemukakan bahwa narasi mempunyai
enam ciri penanda. Pertama, berupa cerita tentang peristiwa atau
pengalaman manusia. Kedua, kejadian atau peristiwa yang
disampaikan dapat berupa peristiwa atau kejadian yang benar-benar
terjadi, imajinasi semata atau gabungan keduanya. Ketiga,
berdasarkan konflik karena biasanya tanpa konflik biasanya narasi
tidak menarik. Keempat, memiliki nilai estetika karena isi dan cara
penyampaiannya bersifat sastra, khususnya narasi berbentuk fiksi.
Kelima, menekankan pada susunan kronologis. Keenam, biasanya
memiliki dialog.

a. Stuktur Narasi
Struktur narasi dilihat dari komponen-komponen yang
membentuknya seperti: tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang
dan amanat.
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 193
1) Tema
Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok. Tema suatu
karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh
setiap pembaca yang cermat sebagai akibat dan membaca karya
tersebut (Tarigan, 2005:160). Kenny (dalam Nurgiantoro, 2010:67)
mengatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Selanjutnya, Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiantoro,
2010:68) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar
umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di
dalam teks sebagai struktur semantik serta yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Sejalan dengan itu, Nurgiantoro (2010:68) menjelaskan bahwa
tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang
bersangkutan sehingga menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa,
konflik dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat
mengikat terhadap kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik,
dan situasi tertentu, serta berbagai unsur instrisik yang lain. Jika tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka dapat dikatakan
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Oleh sebab itu, tema
mempunyai generelisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.

2) Plot
Stanton (dalam Nurgiantoro, 2010:113) mengatakan bahwa
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang dihubungkan
secara sebab-akibat. Dengan kata lain, peristiwa yang lain disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Selanjutnya, Kenny
(dalam Nurgiantoro, 2010:113) mengemukakan bahwa plot sebagai
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat
sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab-akibat. Senada dengan itu, Foster (dalam
Nurgiantoro, 2010:113) mengatakan bahwa plot adalah peristiwa-

194 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan
kausalitas.
Nurgiantoro (2010:142) menjelaskan bahwa plot sebuah cerita
haruslah bersifat padu (unity). Antara peristiwa satu dengan yang
lainnya, antara peristiwa yang diceritakan terlebih dahulu dengan
yang kemudian, memiliki saling keterkaitan. Kaitan antar peristiwa
haruslah jelas, logis, dan dapat dikenali. Plot yang memiliki sifat
keutuhan dan kepaduan akan menyuguhkan cerita yang utuh dan
padu juga. Sejalan dengan itu, Abrams (dalam Nurgiantoro,
2010:142) mengatakan bahwa untuk memperoleh keutuhan sebuah
plot haruslah terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap awal (beginning),
tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end).

a) Tahap awal
Nurgiantoro (2010:142) menjelaskan bahwa tahap awal sebuah
cerita biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap awal biasanya berisi
sebuah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang
akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.

b) Tahap Tengah
Menurut Nurgiantoto (2010:142), tahap tengah cerita yang
dapat juga disebut dengan tahap pertikaian, menampilkan
pertentangan dan konflik yang sudah dimunculkan pada tahap
sebelumnya sehingga menjadi semakin meningkat dan menegangkan.
Konflik yang dikisahkan dapat terjadi dalam diri (batin) atau konflik
fisik dengan tokoh lain. Dalam tahap tengah inilah klimaks
ditampilkan saat konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi.

c) Tahap Akhir
Tahap akhir pada sebuah cerita dikatakan sebagai tahap
peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akhir klimaks.
Dalam bagian ini, biasanya ditampilkan kesudahan cerita, yaitu

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 195


bagaimana akhir dari sebuah cerita. Dalam teori klasik Aristoteles,
penyelesaian cerita dibedakan kedalam dua macam kemungkinan,
yaitu kebahagiaan dan kesedihan.

3) Penokohan
Menurut Nurgiantoro (2010:166), istilah “penokohan” lebih
luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan”, karena
mencakup tentang siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan serta pelukisannya di dalam cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Sejalan
itu, Jones (dalam Nurgiantoro, 2010:165) mengemukakan bahwa
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

4) Latar
Atmazaki (2007:104) menyatakan bahwa latar adalah tempat
dan urutan waktu ketika tindakan berlangsung. Latar atau setting
yang disebut juga sebagai landas tumpu merupakan pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa–peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton
(1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke
dalam fakta (cerita) karena ketiga hal inilah yang secara konkret dan
langsung membentuk cerita. Tokoh cerita adalah pelaku dan
penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan hal itu
memerlukan tempat dan waktu. Unsur latar dapat dibedakan ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial/ suasana.

a) Latar Tempat
Nurgiantoro (2010:227) menjelaskan latar tempat sebagai
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat–tempat

196 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama
jelas.

b) Latar Waktu
Nurgiantoro (2010:230) menjelaskan bahwa latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut,
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa yang dialami oleh tokoh.

c) Latar Sosial / Suasana


Nurgiantoro (2010:223) menjelaskan latar sosial/ suasana
menyaran pada hal–hal yang berhubungan dengan perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata
cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, serta yang tergolong latar spiritual.

5) Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 181:142). Dengan
demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang secara sengaja diplih pengarang utuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya. Gentle (1981:89) menawarkan istilah
fokalisasi, focalisation, yang lebih dekat berhubungan dengan
pengisahan. Istilah fokalisasi tersebut oleh Gentle dimaksudkan
untuk merangkum sekaligus menghindari adanya konotasi-konotasi
spesifik istilah-istilah visi, vission, (seperti dipergunakan Pouillon
dan Todorov), field, (Blin), dan sudut pandang, point of view

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 197


(Lubbock). Visi atau aspek itu sendiri oleh Pouillon dan Todorov
dibedakan ke dalam tiga kategori: vision from behind, vission with,
dan vission from whitout, yang masing-masing menyaran pada
pengertian narator lebih tahu dari pada tokoh, narator sama tahunya
dengan tokoh, serta narator kurang tahu dibanding tokoh. Sudut
pandang (Lubbock) dan ”field” (Blin) sama artinya dengan vission
whit. Fokalisasi itu sendiri menyaran pada pengertian adanya
hubungan antara unsur-unsur peristiwa dengan visi yang disajikan
kepada pembaca (Luxemburg dkk, 1992:131).
Sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan ke
dalam dua macam yaitu: persona pertama, first-person, gaya “aku”,
dan persona ketiga, third-person, gaya ”dia”. Jadi, dari sudut
pandang ”aku” atau ”dia”, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita
dapat dikisahkan. Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur
fiksi yang penting. Teknik penyajian sudut pandang tertentu akan
lebih efektif jika diikuti oleh pemilihan bentuk gramatika dan
retorika yang sesuai. Lubbock (Friedman, dalam Stevick, 1967:86)
menyatakan bahwa sudut pandang tidak hanya dianggap cara
pembatasan dramatik saja, melainkan secara lebih khusus berfungsi
sebagai penyajian definisi tematik. Sudut pandang dapat berupa ide,
gagasan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup, kritik, pelukisan,
penjelasan, serta penginformasian. Namun, demi menariknya
kebagusan sesuatu cerita, semuanya dipertimbangkan untuk
mencapai tujuan artistik.

6) Amanat
Menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992:38), amanat
merupakan opini, kecendrungan, dan visi pengarang terhadap tema
yang dikemukakannya. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dalam
sebuah fiksi dapat terjadi lebih dari satu, jika semuanya terkait
dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik dengan teknik

198 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


pencarian tema. Jadi, amanat adalah gagasan yang mendasari karya
sastra dan sekaligus pesan yang ingin disampaikan pengararang
kepada pembaca atau pendengar (Rasyid dan Gani, 2013).

4. Jenis-jenis Narasi
Keraf (2001:136-138) mengemukakan bahwa narasi terbagi
dua, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris
bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui
apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu perluasan
pengetahuan pembaca setelah membaca kisah tersebut. Sama halnya
dnegan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga bertalian dengan
tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam suatu kejadian atau
peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian atau peristiwa itu berlangsung
dalam suatu kesatuan waktu tetapi sasaran utamanya bukan bertujuan
memperluas pengetahuan seseorang, melainkan berusaha memberi
makna atau peristiwa atau kejadian sebagai suatu pengalaman.
Karena sasarannya adalah makna peristiwa atau kejadian, maka
narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal atau imajinasi.

b. Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif

Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif


1. Memperluas pengetahuan 1. Menyampaikan suatu makna
2. Menyampaikan informasi atau amanat yang tersirat
mengenai suatu kejadian 2. Menimbulkan daya khayal
3. Didasarkan pada penalaran 3. Penalaran hanya berfungsi
untuk mencapai kesepakatan sebagai alat untuk menyampikan
rasional makna, sehingga kalau perlu
4. Bahasanya lebih condong ke penalaran dapat dilanggar
bahasa informatif dengan titik 4. Bahasanya lebih condong ke
berat pada penggunaan kata- bahasa figuratif dengan
kata denotatif menitikberatkan pada
penggunaan kata-kata konotatif

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 199


Selanjutnya, Semi (2009:44) menjelaskan bahwa pada
dasarnya narasi dapat dibagi atas dua jenis, yaitu narasi informatif
dan narasi artistik atau literer. Narasi informatif sering disebut narasi
ekspositoris. Narasi ekspositoris pada dasarnya berkecenderungan
sebagai bentuk eskposisi yang menginformasikan peristiwa dengan
bahasa yang lugas dan konfliknya tidak terlalu kelihatan. Pada
dasarnya, narasi artistiklah yang sesungguhnya murni sebagai tulisan
narasi. Narasi jenis ini umumnya berupa cerita pendek atau novel.
Jadi, narasi informatif lebih dekatnya ke bentuk eksposisi, sedangkan
narasi literer berbentuk karya fiksi, yang berupa produk seni kreatif.
Narasi informatif lebih bersifat objektif, sedangkan narasi literer
lebih bersifat subjektif.

B. Deskripsi
1. Pengertian Tulisan Deskripsi
Deskripsi atau pemerian adalah sebuah bentuk tulisan yang
bertalian dengan usaha para penulis untuk memberikan perincian-
perincian dari objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1982:93). Kata
deskripsi berasal dari bahasa Latin describere yang berarti menulis
tentang atau membeberkan tentang sesuatu hal. Sebaliknya kata
deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian yang berasal dari
kata peri-memerikan yang berarti melukiskan sesuatu hal.
Selanjutnya, Atmazaki (2007:88) menyatakan bahwa deskripsi
merupakan bentuk tulisan yang melukiskan suatu objek (tempat,
benda, dan manusia). Pembaca deskripsi seolah-olah ikut mencium,
mendengarkan, meraba, merasakan, atau melihat segala sesuatu yang
dideskripsikan. Deskripsi memberikan satu citra mental mengenai
sesuatu hal yang dialami, misalnya pemandangan, orang atau sensasi.
Menurut Semi (2009:56-57), deskripsi adalah tulisan yang
tujuannya memberikan informasi tentang suatu objek secara detail
atau rinci sehingga memberikan gambaran yang jelas dan
mempengaruhi emosi serta imajinasi pembaca, seolah-olah ikut
200 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
melihat atau mengalami langsung hal tersebut. Untuk menghasilkan
tulisan deskripsi yang baik, penulis harus memahami detail yang
berkenaan dengan objek tulisan sehingga dapat disajikan seperti
kenyataan yang sebenarnya.
Karangan deskripsi merupakan penggambaran suatu keadaan
dengan kata-kata, kalimat-kalimat, dan paragraf-paragraf sehingga
menimbulkan kesan yang hidup. Penggambaran atau pelukisan harus
disajikan sehidup-hidupnya, sehingga apa yang dilukiskan hidup
dalam angan-angan pembaca. Deskripsi lebih menekankan kepada
pengungkapannya melalui kata-kata. Untuk menulis suatu karangan
deskripsi yang baik, penulis harus melakukan identifikasi terlebih
dahulu. Namun, pengertian pola pengembangan deskripsi hanya
menyangkut pengungkapannya melalui kata-kata. Dengan mengenal
ciri-ciri objek tulisan, penulis dapat menggambarkan secara verbal
objek yang akan disajikan kepada pembaca (Rasyid dan Gani, 2013).

2. Ciri-ciri Karangan Deskripsi


Karangan deskripsi mempunyai perbedaan jika dibandingkan
dengan bentuk karangan lain. Ciri utama deskripsi adalah pelukisan
atau penggambaran objek oleh penulis, apa yang dilihat, didengar,
dibaca, dan dirasakan penulis apa adanya. Semi (2003:41)
mengemukakan bahwa terdapat lima ciri karangan deskripsi. Ciri
tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, deskripsi lebih
berupaya memperlihatkan detail atau perincian tentang objek. Kedua,
deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivitas dan
membentuk imajinasi pembaca. Ketiga, deskripsi disampaikan
dengan gaya yang memikat dan dengan pilihan kata yang
menggugah, berbeda dengan karangan eksposisi yang gayanya lebih
lugas. Keempat, deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu
yang dapat dilihat, didengar, dibaca, dan dirasakan sehingga
objeknya pada umumnya benda, alam, warna dan manusia. Kelima,

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 201


organisai penyampaiannya lebih banyak menggunakan susunan ruang
(spartial order).
Pada umumnya deskripsi memiliki ciri, yaitu gaya yang indah
dan memikat sehingga memancing sensitivitas dan imajinasi
pembaca atau pendengar. Namun, ada juga deskripsi yang
disampaikan dengan bahasa yang lugas dan tidak bertujuan
memancing sensitivitas, melainkan menekankan kepada perincian
atau detail dengan mengajukan pembuktian atau banyak contoh,
Contohnya, deskripsi tentang struktur suatu bahasa, keistimewaan
suatu teknologi mutakir, dan sebagainya (Rasyid dan Gani, 2013).

3. Jenis-jenis Karangan Deskripsi


Karangan deskripsi adalah bentuk karangan yang bersifat
memaparkan, menggambarkan, atau melukiskan suatu benda, alam,
atau manusia sehingga memberikan pengaruh dan sensitivitas kepada
pembacanya. Bahkan, karangan deskripsi dapat membuat pembaca
seolah-olah ikut merasakan, melihat mendengar, dan meraba objek
tersebut. Menurut Keraf (1982:94), terdapat dua jenis deskripsi, yaitu
deskripsi sugestif dan deskripsi teknis atau ekspositoris. Sasaran
deskripsi segestif adalah dengan perantaraan rangkaian kata-kata
yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan ciri, sifat, dan watak
dari objek tersebut, sehingga dapat diciptakan sugesti tertentu pada
pembaca. Dengan kata lain, deskripsi sugestif berusaha menciptakan
suatu penghayatan terhadap objek melalui imajinasi pembaca
sedangkan deskripsi teknis atau ekspositoris bertujuan memberikan
identifikasi atau informasi mengenai objek, sehingga pembaca dapat
mengenalnya jika bertemu atau berhadapan dengan objek tersebut.
Menurut Semi (2003:42), jenis deskripsi terbagi dua, yaitu
sebagai berikut. Pertama, deskripsi ekspositorik (deskripsi teknis)
bertujuan untuk menjelaskan sesuatu dengan perincian yang jelas
sebagaimana adanya tanpa menekankan unsur impresi atau sugesti
kepada pembaca. Bahasa yang biasa digunakan adalah bahasa yang
202 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
lugas dan formal, hampir sama dengan eksposisi. Kedua, deskripsi
artistik (literer, impresionistik, atau sugestif) mengarah pada
pemberian pengalaman kepada pembaca seakan berkenalan langsung
dengan objek yang disampaikan, dengan cara menciptakan sugesti
dan impresi melalui keterampilan penyampaian melalui gaya yang
memikat dan pilihan kata yang dapat menggugah perasaan (Rasyid
dan Gani, 2013).
Marahimin (dalam Thahar, 2008:36) mengemukakan dua jenis
deskripsi, yaitu: (1) deskripsi ekspositoris dan (2) deskripsi
impresionistis. Deskripsi ekspositoris mengutamakan hubungan logis
secara berurutan dengan menekankan detail tiap bagian dan ketat
terhadap objek. Deskripsi impresionistis lebih mengutamakan kesan
(impresi) penulisnya, tanpa harus tunduk pada urutan dan detail yang
ketat.

4. Langkah-langkah Menulis Deskripsi


Sebelum menulis karangan deskripsi hendaknya terlebih
dahulu harus mengetahui langkah-langkah atau petunjuk-petunjuk
menulis karangan deskripsi agar karangan yang dihasilkan memenuhi
karakteristik karangan deskripsi. Menurut Semi (2009:71), langkah-
langkah menulis karangan deskripsi adalah sebagai berikut.
a. Pilih dan perhatikan detail (rincian) dengan teliti. Maksudnya,
sebelum penulis menggambarkan atau melukiskan tentang suatu
objek, masalah peristiwa atau kejadian harus dipahami terlebih
dahulu seluk-beluk objek masalah peristiwa atau kejadian yang
akan digambarkan dan yang akan dilukiskan. Pilihlah detail
(rincian) yang memang sangat baik untuk dipaparkan. Detail
harus disusun dengan sistematis.
b. Gunakanlah pilihan kata yang tepat. Maksudnya, penulis
hendaknya menguasai dengan baik mengenai diksi dan gaya
bahasa sehingga apa yang disajikan dalam tulisan itu benar-benar
mewakili dan sesuai dengan objeknya. Dalam sebuah karangan
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 203
deskripsi, diksi dan gaya bahasa yang tepat sangat diperlukan
untuk memberikan impresi dan imajinasi serta menggugah
pembaca. Penggunaan diksi dan gaya bahasa yang tepat juga akan
mendukung apa yang diamati dan dirasakan penulis dapat diamati
dan dirasakan oleh pembaca. Oleh sebab itu, gunakanlah
ungkapan atau kata yang spesifik (kata yang secara khusus
dipakai untuk suatu benda atau nama tertentu). Hindarilah
menggunakan istilah yang umum karena istilah yang umum tidak
memancing kesan yang khas.

C. Eksposisi
1. Pengertian Tulisan Deskripsi
Keraf (1995:7) menjelaskan bahwa karangan eksposisi adalah
suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu obyek
sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca.
Wacana yang digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu
obyek, misalnya untuk menjelaskan pengertian kebudayaan kepada
pembaca. Selanjutnya, Gani (1999:151) menjelaskan bahwa kata
eksposisi berasal dari bahasa Latin yang berarti memulai atau
membuktikan. Eksposisi adalah salah satu bentuk tulisan yang
berusaha menerangkan dan menguraikan suatu pokok pikiran yang
dapat memperluas pengetahuan pembaca.
Semi (2007:35) mengatakan bahwa ekposisi adalah tulisan
yang bertujuan menjelaskan atau memberikan informasi mengenai
sesuatu, seperti petunjuk menjalankan mesin, buku tentang masakan,
dan petunjuk cara merawat wajah dan rambut. Berdasarkan pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa eksposisi adalah suatu bentuk
tulisan yang dimaksudkan untuk menerangkan, menyampaikan, dan
menguraikan suatu hal yang dapat memperluas dan menambah
pengetahuan serta pandangan pembacanya. Sasarannya adalah
menginformasikan sesuatu tanpa ada maksud mempengaruhi pikiran,
perasaan, dan sikap pembacanya. Fakta ilustrasi yang disampaikan
204 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
penulis sekadar memperjelas apa yang disampaikan (Rasyid dan
Gani, 2013).

2. Ciri-ciri Karangan Eksposisi


Keraf (1995) memaparkan bahwa ciri-ciri karangan eksposisi,
yaitu sebagai berikut. Pertama, berusaha menyampaikan suatu
pengetahuan tanpa mempengaruhi pembaca. Kedua, berusaha untuk
menjelaskan atau menerangkan suatu pokok persoalan. Ketiga, pada
eksposisi rasa frustasi pada penulis tidak ada atau sekurang-
kurangnya tidak kelihatan karena memang sama sekali tidak
bermaksud mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca. Keempat,
gaya penulisan bersifat informatif yang berusaha menguraikan objek
sejelas-jelasnya sehingga pembaca dapat menangkap apa yang
dimaksudkan penulis. Kelima, bahasa yang digunakan adalah bahasa
berita tanpa rasa subjektif dan emosional. Keenam, fakta-fakta yang
dipakai hanya sebagai alat konkretisasi, yaitu membuat rumusan dan
kaidah yang dikemukakan lebih konkret.
Selanjutnya, ciri-ciri paragraf eksposisi menurut Tarigan
(1986:62) ada tiga. Pertama, setelah membaca tulisan eksposisi
pembaca akan memahami hal yang dijelaskan penulis. Kedua,
paragraf eksposisi hanya berisi penjelasan tentang suatu hal. Ketiga,
pengungkapan tulisan dilakukan dengan cara memberikan jawaban-
jawaban atas sejumlah pertanyaan-pertanyaan vital, seperti: apa,
bagaimana, berapa, di mana, dan mengapa.
Semi (2007:62) mengemukakan ciri-ciri eksposisi, yaitu: (1),
bertujuan memberikan informasi, pengertian dan pengetahuan. (2),
menjawab pertanyaan tentang apa, mengapa, kapan, dan mengapa.
(3), disampaikan dengan lugas dan bahasa yang baku, (4)
menggunakan susunan yang logis dengan memperlihatkan
keterkaitan antara kalimat topik dan kalimat penjelas karangan secara
berurutan, dan (5) disajikan dengan nada netral (tidak memihak dan
tidak memaksakan sikap penulis terhadap pembaca). Berdasarkan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 205


pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tulisan eksposisi
merupakan tulisan yang bertujuan memberikan informasi dengan
tujuan pembaca mendapatkan jawaban atas pertanyaan apa, mengapa,
kapan, bagaimana (Rasyid dan Gani, 2013).

3. Langkah-langkah Menulis Karangan Eksposisi


Keraf (1995:9) menjelaskan ada tiga langkah yang dilakukan
dalam menulis karangan eksposisi. Langkah-langkah itu adalah
menulis pendahuluan, menulis tubuh eksposisi, dan menulis
kesimpulan. Pertama, pendahuluan. Pada bagian ini, penulis
menyajikan latar belakang penulisan, alasan memilih topik, dan
pentingnya topik tersebut. Kedua, bagian tubuh eksposisi. Pada
bagian ini penulis harus mengembangkan sebuah organisasi atau
kerangka karangan terlebih dahulu, kemudian menyajikan uraiannya
mengenai tiap bagian secara terperinci. Ketiga, kesimpulan. Pada
bagian ini, penulis menyajikan kesimpulan mengenai apa yang
disajikan dalam isi eksposisi.
Selanjutnya, Semi (2007:65) menjelaskan agar menghasilkan
sebuah tulisan yang baik dan benar khususnya dalam menulis
karangan eksposisi ada empat langkah yang harus dilakukan.
Pertama, merupakan memilih sumber materi secara teliti. Hal ini
dimaksudkan agar apa yang disampaikan itu memang informasi yang
berharga bagi pembaca. Kedua, selalu menyadari tujuan tulisan, agar
tulisan terpusat kepada sasaran yang tepat. Ketiga, mengingat calon
pembaca tulisan, sebab tulisan yang baik adalah tulisan yang selaras
antara keinginan dan maksud pembaca. Keempat, pilihlah organisasi
penyajian yang sesuai dengan tujuan dan topik.

4. Metode Pengembangan Karangan Eksposisi


Dalam menyampaikan informasi melalui tulisan eksposisi,
dapat digunakan beberapa metode. Menurut Keraf (1982:7), ada
enam metode yang bisa digunakan untuk menyampaikan informasi

206 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


melalui tulisan eksposisi. Keenam cara tersebut adalah: (1) metode
identifikasi, (2) metode perbandingan, (3) metode ilustrasi atau
eksemplifikasi, (4) metode klasifikasi, (5) metode definisi, dan (6)
metode analisis. Untuk lebih jelasnya, metode tersebut akan
dijelaskan satu persatu sebagai berikut ini.

a. Metode Identifikasi
Identifikasi merupakan suatu metode untuk menggarap sebuah
eksposisi sebagai atas pertanyaan apa dan siapa. Kata identifikasi
sebenarnya berarti “proses membuat sesuatu menjadi sama” atau
“proses menentukan kesatuan dan kelangsungan suatu
individualitas”. Dalam hubungan ini, makna yang tepat untuk
pengertian identifikasi adalah “proses menyebutkan unsur-unsur yang
membentuk suatu hal sehingga ia dikenal sebagai hal tersebut.
Metode identifikasi merupakan sebuah metode yang berusaha
menyebutkan ciri-ciri dan unsur pengenal objek, sehinggga para
pembaca atau pendengar lebih mengenal objek. Apabila tidak
langsung berhadapan dengan objek yang diperkenalkan, maka
penulis akan menggambarkannya dengan kata-kata, memerinci
semua ciri dan tanda pengenal barang atau objek tersebut, sehingga
dapat mengenal objek tersebut.
Untuk memberikan gambaran mengenai cara melakukan
identifikasi, maka dapat diikuti dengan dua cara. Pertama, dengan
memperhatikan sebuah karangan yang ada secara utuh untuk melihat
bagaimana judul-judul utama dari karangan itu sebagai hasil
identifikasi. Kedua, dengan melihat bagaimana tiap topik atau judul
utama diperinci ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, khususnya
bagaimana sebuah gagasan utama dalam sebuah alinia diidentifikasi
ke dalam gagasan-gagasan bawahan alinea (Rasyid dan Gani, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 207


b. Metode Perbandingan
Perbandingan adalah suatu cara menunjukkan kesamaan-
kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara dua objek atau lebih
dengan mempergunakan dasar-dasar tertentu. Sebagai suatu metode
dalam eksposisi, dasar-dasar mengadakan perbandingan adalah
menempatkan sesuatu yang belum diketahui ke dalam kerangka suatu
hal yang sudah dikenal oleh pembaca. Hal ini berarti bahwa tujuan
perbandingan adalah membicarakan sesuatu yang dianggap belum
diketahui pembaca, dengan cara memperbandingkannya dengan hal
lain yang dianggap sudah diketahui oleh pembaca. Dengan
membandingkan kedua hal tersebut, berarti penulis menempatkan
objek garapan berdampingan untuk mengetahui persamaannya dan
perbedannya (Rasyid dan Gani, 2013).

c. Metode Ilustrasi
Ilustrasi adalah suatu metode untuk mengadakan gambaran
atau penjelasan yang khusus dan konkret atas suatu prinsip umum
atau suatu gagasan umum. Dalam ilustrasi, pengarang ingin
menjelaskan suatu prinsip umum atau kaidah yang lebih luas
lingkupnya dengan mengutip atau menunjukkan suatu pokok yang
khusus dan tercakup dalam prinsip umum atau kaidah yang lebih luas
cakupannya. Hubungan antara hal yang khusus dengan suatu yang
lebih luas merupakan prinsip yang fundamental dalam metode
ilustrasi. Metode ini merupakan metode yang paling sering
dipergunakan dalam sebuah eksposisi karena ia tidak menampilkan
hal-hal yang umum secara abstrak tetapi menunjukkan contoh yang
nyata dan konkret (Rasyid dan Gani, 2013).

d. Metode Definisi
Definisi merupakan suatu proses yang berusaha meletakkan di
mana batas-batas penggunaan sebuah kata. Proses membuat definisi
bukan sekadar permainan kata-kata karena tidak akan membuat

208 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


sebuah definisi yang baik, apabila tidak mengetahui tentang barang
yang diwakili oleh kata tersebut. Pembatasan tersebut harus
memberikan pengertian tentang objeknya. Oleh karena itu, sesuai
dengan prinsip dan tujuan eksposisi, yaitu memperluas pengetahuan
orang, maka definisi juga dapat dipergunakan sebagai suatu metode
deskripsi. Definisi memberikan pengetahuan kepada orang lain
tentang suatu barang (Rasyid dan Gani, 2013).

e. Metode Klasifikasi
Klasifikasi merupakan suatu proses yang bersifat alamiah yang
bertujuan untuk menampilkan pengelompokkan-pengelompokkan
suatu objek yang sesuai dengan pengalaman manusia. Objek-objek,
gagasan-gagasan yang dikenal melalui pengalaman-pengalaman
disusun dalam sistem yang teratur. Dengan demikian, klasifikasi
merupakan jalan untuk menjangkau bermacam-macam subjek ke
dalam suatu pertalian, menempatkan sebuah subjek ke dalam
hubungan yang masuk akal dengan objek-objek lainnya berdasarkan
suatu sistem, dan memberi sebuah konteks yang logis. Oleh sebab
itu, klasifikasi selalu mencakup persoalan kelas atau kelompok.
Klasifikasi merupakan suatu metode untuk menempatkan objek-
objek dalam suatu sistem kelas, sehingga dapat dilihat hubungannya
ke samping, ke atas, dan ke bawah (Rasyid dan Gani, 2013).

f. Metode Analisis
Metode analisis berusaha menjelaskan atau menguraikan
bagian-bagian dari suatu yang utuh, mengembangkan gagasan-
gagasan, sehingga menjadi sebuah pemikiran yang bulat dan dapat
diterima pembaca. Analisis merupakan cara pemecahan suatu pokok
persoalan menjadi bagian-bagian yang logis (Rasyid dan Gani, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 209


D. ARGUMENTASI
1. Pengertian Tulisan Argumentasi
Menurut Keraf (1986:3), argumentasi adalah suatu bentuk
retorika yang berusaha mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain,
agar mereka percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh penulis atau pembicara. Melalui argumentasi, penulis
berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikan rupa, sehingga mampu
menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar
atau tidak.
Menurut Gani (1999:157), kata argumentasi berasal dari
bahasa Inggris argument yang berarti alasan, perdebatan, bukti, atau
perbandingan. Dalam bentuk karangan, argumentasi adalah tulisan
yang bertujuan untuk meyakinkan pembaca dengan cara memberikan
pembuktian, contoh, alasan, dan ulasan secara objektif. Gani
(1999:158) menambahkan bahwa argumentasi pada dasarnya
bertujuan meyakinkan pembaca dengan pembuktian tentang
kebenaran pokok persoalan dan mengubah pendapat pembaca dengan
memanfaatkan fakta-fakta sebagai bukti.
Semi (2003:47) menambahkan bahwa argumentasi adalah
tulisan yang bertujuan meyakinkan atau membujuk pembaca tentang
kebenaran pendapat atau pernyataan penulis. Melalui tulisan
argumentasi, pembaca diyakini dengan memberikan pembuktian,
alasan, atau ulasan secara objektif dan meyakinkan. Alwasilah
(2007:11) menyatakan bahwa argumentasi adalah karangan yang
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari sebuah pernyataan.
Dalam teks argumentasi, penulis menggunakan berbagai strategi atau
piranti retorika untuk meyakinkan pembaca ihwal kebenaran atau
ketidakbenaran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tulisan
argumentasi adalah tulisan yang memaparkan opini atau pendapat
tentang suatu hal yang dibuktikan oleh fakta yang mendukung,
sehingga pembaca yakin akan kebenaran fakta penulis. Fakta tersebut
210 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
berupa pembuktian, alasan atau ulasan secara objektif dan
meyakinkan pembaca tentang kebenaran yang disampaikan, serta
pendapat yang dipaparkan harus logis dan menguatkan fakta yang
ada (Rasyid dan Gani, 2013).

2. Ciri-ciri Paragraf Argumentasi


Gani (1999:157) mengungkapkan bahwa di dalam tulisan
argumentasi harus terdapat beberapa hal, yaitu (1) terdapat contoh-
contoh yang meyakinkan, (2) terjadi kesamaan pemikiran, pendapat,
pengalaman antara pembaca dan penulis, sehingga keragu-raguan
pembaca terhadap sesuatu hal dapat dihilangkan, (3) terdapat data-
data yang dan kebenarannya tidak perlu diuji atau dibuktikan secara
logika atau empiris, (4) terdapat hubungan sebab-akibat yang kuat
dan padu dari pernyataan atau pendapat yang dikemukakan penulis,
serta (5) tulisan argumentasi merupakan hasil pemikiran yang kritis
dan logis.
Menurut Keraf (2007:3-4), dalam sebuah tulisan argumentasi
harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut: (1)
merupakan hasil pemikiran yang kritis dan logis, (2) bertolak dari
fakta-fakta dan evidensi-evidensi yang ada, (3) bersifat mengajak
atau mempengaruhi orang lain, dan (4) dapat diuji kebenarannya.
Semi (2003) juga menyatakan ciri penanda argumentasi adalah
sebagai berikut: (1) bertujuan mempersuasikan atau meyakinkan
pembaca tentang ketepatan sikap dan pandangan penulis, (2) penulis
menampilkan data dan fakta untuk membuktikan kebenaran pendapat
dan kebenarannya, (3) penulis berusaha mengubah pandangan atau
sikap pembaca yang berseberangan dengannya, dan (4) faktor yang
ditampilkan dalam argumentasi merupakan bahan pembuktian atau
penguatan argumentasi.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 211


3. Langkah-langkah Menulis Argumentasi
Menurut Semi (2003:48-49), langkah-langkah dalam menulis
argumentasi adalah sebagai berikut. Pertama, kumpulkan fakta dan
data sebelum penulisan dilakukan. Kedua, tentukan sikap dan posisi.
Karena karangan argumentasi merupakan karangan yang berisi
pendapat, maka sikap dan posisi harus jelas ke arah pro atau kontra.
Ketiga, nyatakan pada bagian awal atau pengantar tentang sikap
dengan paragraf yang singkat namun jelas. Kempat, kembangkan
penalaran dengan urutan dan kaitan yang jelas. Kelima, uji argumen
dengan jalan mencoba mengandaikan diri berada pada posisi kontra.
Keenam, hindari menggunakan istilah yang terlalu umum atau istilah
yang dapat menimbulkan prasangka atau melemahkan argumentasi.
Ketujuh, penulis harus menetapkan secara tepat titik ketidakpaksaan
yang akan diargumentasikan.

4. Pengembangan Tulisan Argumentasi


Keraf (1986:104) mengungkapkan hal-hal yang harus
diperhatikan sebelum mengemukakan argumen adalah penulis harus
menyusun semua fakta dan pendapat itu secara kritis dan logis.
Sebelum menyusun semua fakta harus diseleksi terlebih dahulu.
Apabila semua bahan sudah terkumpul, maka penulis harus
menyajikannya dengan metode terbaik, yaitu dengan mengikuti
prinsip umum yang terdiri atas pendahuluan, pembuktian (tubuh
argumentasi), dan kesimpulan.
Selanjutnya, Suparno dan Yunus (2003:541-546) menyatakan
argumentasi sering dikembangkan dari pemaparan hal-hal yang
khusus untuk mencapai suatu generelisasi dan kadang-kadang juga
dibangun mulai dari pemaparan yang general (umum) ke pemaparan
hal-hal yang khusus. Oleh karena itu, dikenal dua teknik
pengembangan karangan argumentasi, yaitu: (1) teknik induktif dan
(2) teknik deduktif.

212 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Pengembangan karangan argumentasi dengan teknik induktif
adalah penyusunan yang dilakukan dengan mengemukakan terlebih
dahulu bukti-bukti yang berkaitan dengan topik. Berdasarkan bukti-
bukti tersebut, kemudian diambil sebuah kesimpulan yang bersifat
umum, sedangkan pengembangan argumentasi dengan teknik
deduktif dimulai dengan suatu kesimpulan yang umum, kemudian
disusul uraian mengenai hal-hal yang khusus. Alasan-alasan atau
bukti-bukti yang memperkuat atau mendukung kesimpulan dalam
argumentasi deduktif disebut premis (Rasyid dan Gani, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 213


BAB X
ARTIKEL DAN KARYA TULIS ILMIAH

A. Artikel
1. Batasan Artikel
Artikel merupakan salah satu jenis prosa yang berisi pendapat
penulis (penjelasan) tentang suatu masalah yang disajikan secara
menarik. Artikel adalah sejenis tulisan yang terdiri atas beberapa
paragraf, tidak berbait-bait, dan tidak berbentuk dialog. Artikel berisi
penjelasan tentang suatu topik, yaitu hal-hal apa saja yang ingin
dijelaskan oleh pengarangnya. Oleh sebab itu, artikel tidak sekadar
kutipan tentang pendapat orang lain.
Susunan dan bahasa yang digunakan dalam suatu artikel
dikemas secara menarik sehingga terjaga minat pembaca untuk terus
membaca. Artikel yang dipublikasikan melalui koran dan majalah
umum, serta berbentuk karya tulis semi ilmiah atau ilmiah populer.
Selain itu, artikel ilmiah hanya dimuat di dalam majalah ilmiah,
sehingga pembacanya adalah para ilmuan atau pakar yang bergerak
dalam bidang tertentu (Gani dan Zulfikarni, 2013).

2. Jenis Artikel
Secara garis besar, artikel dan makalah dapat dipisahkan atas
tulisan ilmiah dan tulisan nonilmiah. Tulisan ilmiah disebut juga
dengan wacana. Artikel ilmiah merupakan tulisan yang berisi
informasi faktual dan objektif yang dapat digunakan pembaca untuk
melakukan tindakan, dijadikan pegangan, bahan perbandingan, atau
penambahan pengetahuan. Tulisan ilmiah dapat dibagi atas dua jenis,
yaitu tulisan imiah dan semi ilmiah. Tulisan ilmiah disebut juga
tulisan ilmiah tinggi atau wacana (teknis tinggi), yaitu tulisan ilmiah
yang mengandung kebenaran objektif yang didukung oleh informasi
214 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
yang telah teruji dengan data–data, diambil dengan ketentuan yang
dipersyaratkan, dan disajikan dengan menggunakan terminologi
teknis yang biasa digunakan di dalam bidang tertentu, sehingga
tulisan itu hanya dapat dikuti dengan baik oleh mereka yang bergerak
dalam bidang keilmuan yang sama (Gani dan Zulfikarni, 2013).
Tulisan semi ilmiah (biasa disebut juga wacana semi teknis,
atau tulisan ilmiah popular) merupakan tulisan yang isinya
mengandung kadar keilmiahan yang bersifat objektif dan
menggunakan pemikiran yang mendalam dengan melakukan
penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan.
Namun, tulisan itu disajikan dengan menggunakan terminologi atau
peristilahan, bukan teknis melainkan peristilahan umum. Perbedaan
antara artikel ilmiah dengan semi ilmiah (populer) adalah sebagai
berikut:

Artikel semi ilmiah (popular) Artikel ilmiah


1) Disajikan di dalam media massa. 1) Disajikan dalam jurnal ilmiah.
2) Sasaran tulisan: masyarakat luas. 2) Sasarannya ilmian yang
3) Topiknya terkait dengan bergerak dalam bidang ilmu
peristiwa aktual dan hangat. tertentu.
4) Terdapat unsur hiburan. 3) Topik terkait penemuan,
5) Menggunakan terminologi penellitian, atau pemikiran.
umum. 4) Tidak ada unsur hiburan.
5) Menggunakan terminologi
ilmiah.
(Gani dan Zulfikarni, 2013).

3. Struktur Artikel Ilmiah


Struktur tulisan artikel ilmiah sama saja dengan tulisan esai
pada umumnya, yaitu bagian pembuka (intro), bagian isi, dan bagian
penutup.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 215


a. Bagian Pembuka (intro atau heading)
Artikel ilmiah yang dimuat di dalam majalah ilmiah umumnya
di bagian awal atau heading menyebutkan judul tulisan, nama
penulis, afliasi penulis (dengan menyebutkan judul nama lembaga
keberadaan penulisan), dan abstrak (Gani dan Zulfikarni, 2013).

b. Bagian Isi
Bagian isi artikel menyangkut aspek pendahuluan, isi, dan
kesimpulan. Pendahuluan berisi perkenalan dan persoalan, landasan
atau latar belakang pemikiran dengan menghubungkannya dengan
permasalahan yang hendak didiskusikan (Gani dan Zulfikarni, 2013).

c. Bagian Penutup
Bagian penutup artikel ilmiah berisi daftar referensi. Referensi
memenuhi persyaratan, seperti: akurat, lengkap, dan berguna bagi
pembaca yang ingin tahu lebih lanjut tentang hal yang disajikan
(Gani dan Zulfikarni, 2013).

B. Karya Tulis Ilmiah


1. Pengertian Karya Tulis Ilmiah
Secara etimologi, karya tulis ilmiah terdiri atas kata majemuk
karya tulis dan ilmiah. Karya tulis adalah hasil dari suatu kegiatan
menulis. Hasil karya tulis ini dapat berupa catatan perkuliahan,
catatan harian, makalah, cerpen, skripsi, puisi, tesis, novel, komik,
dan lain-lain. Artinya, seluruh hasil perbuatan menulis disebut
dengan karya tulis. Ilmiah adalah segala sesuatu yang bersifat
keilmuan. Ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Pengujian kebenaran tersebut bisa dilakukan secara rasional atau
secara empiris melalui metode-metode ilmiah.
Pengujian kebenaran secara rasional dilakukan dengan cara
mengoptimalkan kemampuan berpikir ilmiah di dalam mencermati
objek yang diuji. Pengujian kebenaran secara empiris dilakukan
216 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
dengan cara menganalisis data, baik data kuantitatif (berupa angka)
maupun data kualitatif (berupa kata-kata atau kalimat-kalimat). Di
dalam kedua analisis tersebut, ilmu pengetahuan, pengalaman,
wawasan, kekritisan, kecermatan, keseriusan, kedalaman,
konsentrasi, dan lain-lain akan mempengaruhi kualitas analisis orang
yang bersangkutan terhadap objek yang dianalisisnya (Gani dan
Zulfikarni, 2013).
Menulis karya ilmiah merupakan salah satu cara bagi para
akademisi baik tenaga pengajar, siswa dan mahasiswa, peneliti,
praktisi ataupun ilmuwan untuk memaparkan gagasan, pemikiran,
atau temuan sehingga dapat disebarkan dan dikomunikasikan kepada
sesama ilmuwan ataupun masyarakat luas lainnya. Kemampuan
menulis karya ilmiah tidak dapat dimiliki oleh seseorang begitu saja.
Day (1983) mendefinisikan karya ilmiah sebagai tulisan yang harus
ditulis dengan cara tertentu dan juga dipublikasi dengan cara tertentu
pula. Senada dengan Day, Brotowijoyo (1993) mengatakan bahwa
karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan
fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan karya tulis ilmiah adalah karya tulis yang bersifat
keilmuan yang disusun secara sistematis menurut kaidah-kaidah
tertentu berdasarkan hasil berpikir ilmiah dan metode ilmiah.
Kaidah-kaidah karya tulis ilmiah dapat berupa kaidah-kaidah
keilmuan, kebakuan bahasa, kekonsistenan, keobjektifan,
kelogisan, kejelasan, kebermaknaan, tata tulis, dan lain -lain.
Pada umumnya, orang beranggapan bahwa karya tulis ilmiah
adalah karya tulis yang didasarkan atas suatu penelitian ilmiah.
Anggapan seperti ini tidak selalu benar, karena dalam
kenyataannya ada karya tulis ilmiah yang tidak didahului oleh
suatu penelitian, melainkan didasarkan atas kajian teoretis secara
mendalam terhadap objek yang dipermasalahkan.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 217


Berdasarkan pengertian di atas, yang dapat dikategorikan
sebagai karya tulis ilmiah antara lain: makalah, artikel, skripsi, tesis,
disertasi, dan laporan penelitian lainnya. Hal itu disebabkan karena
masing-masing karya tulis ilmiah tersebut dikembangkan dengan
menggunakan metode ilmiah. Makalah merupakan karya tulis ilmiah
yang ditulis untuk memenuhi tugas-tugas perkuliahan atau untuk
seminar. Artikel merupakan karya tulis yang lebih ditujukan untuk
mengembangkan ilmu atau menguji kebenaran ilmu (teori). Skripsi,
tesis, disertasi, dan laporan penelitian merupakan karya tulis yang
dihasilkan dari suatu penelitian. Skripsi, tesis, dan disertasi ditulis
pada akhir program suatu studi untuk mendapatkan gelar tertentu.
Skripsi ditulis untuk mendapat gelar kesarjanaan oleh mahasiswa
setingkat Sl. Tesis ditulis untuk meraih gelar magister (master) oleh
mahasiswa setingkat pendidikan S2 sedangkan disertasi ditulis untuk
memperoleh gelar doktor oleh mahasiswa setingkat S3.
Berdasarkan derajat keilmiahannya, sebuah karya tulis ilmiah
dapat digologkan/ diklasifikasikan atas empat jenjang. Jenjang
pertama disebut dengan frontier science. Karya tulis ilmiah pada
jenjang ini adalah karya tulis ilmiah yang dihasilkan untuk
mendapatkan pengetahuan baru dengan cara yang kurang terukur,
eksperimen yang kurang mantap, dengan mencoba-coba, dengan
pemikiran secara sederhana dan belum dicetak atau diterbitkan.
Jenjang kedua disebut dengan primary literature. Karya tulis ilmiah
pada jenjang ini adalah karya tulis ilmiah yang sudah dicetak atau
dipublikasikan. Akan tetapi, karya ilmiah tersebut belum sepenuhnya
dianggap sebagai sumber pengetahuan ilmiah. Keberadaannya baru
diangap sebagai suatu informasi untuk dibaca secara luas. Jenjang
ketiga disebut dengan secondary literature. Karya tulis ilmiah pada
jenjang ini adalah karya tulis ilmiah yang sudah dipublikasikan,
mulai menarik minat banyak orang, mulai diperhitungkan sebagai
bahan kutipan atau rujukan, telah menjadi konsensus di antara komu-
nitas ilmiah, dan tahan uji sampai waktu yang cukup lama. Pada

218 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


jenjang ini karya tulis ilmiah tersebut dapat berupa monograph,
review article, dan graduate textbooks. Jenjang keempat disebut
dengan tertiary literature atau textbook science. Karya tulis
ilmiah pada jenjang ini adalah karya tulis ilmiah yang sudah
menjadi textbook. Dalam koridor keilmuan, kebenaran karya
ilmiah tersebut menjadi seakan absolute, sehingga menjadi sejenis
materi pengajaran dogmatis (Gani dan Zulfikarni, 2013).

2. Ciri-ciri Karya Tulis Ilmiah


Sebuah karya tulis dapat dianggap sebagai karya tulis ilmiah
jika mempunyai beberapa ciri tertentu. Pada umumnya, ciri-ciri
tersebut meliputi beberapa hal sebagai berikut, yaitu: (1) sifat
keilmuan, (2) objektif, (3) netral, (4) sistematis, (5) logis, dan (6)
menyajikan fakta.

a. Sifat keilmuan
Ciri utama karya tulis ilmiah adalah sifat keilmuannya. Ciri ini
merupakan pembeda utama antara karya tulis ilmiah dengan karya
tulis nonilmiah. Sifat keilmuan ini dapat dicermati dari berbagai
pengamatan, misalnya dalam hal pembuktian kebenaran. Karya tulis
ilmiah harus dapat dibuktikan kebenarannya. Pembuktian tersebut
dapat dilakukan berdasarkan rasional dan empiris. Pembuktian
rasional didasarkan kepada keberlogikaan karya tulis ilmiah yang
bersangkutan. Artinya, kebenaran karya tulis ilmiah tersebut dapat
dicerna oleh akal sehat. Pembuktian secara empiris dilakukan
berdasarkan data-data dan fakta-fakta yang dikemukakan di dalam
karya tulis ilmiah yang bersangkutan (Gani dan Zulfikarni, 2013).

b. Objektif
Objektif adalah mengungkapkan segala sesuatu seperti apa
adanya. Setiap fakta dan data diungkapkan berdasarkan kenyataan
yang sebenarnya, tidak dimanipulasi, dan tidak direkayasa. Setiap

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 219


pernyataan atau simpulan yang disampaikan didasarkan kepada
bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan cara yang
demikian, siapa pun yang meragukan dan mempertanyakan karya
tersebut dapat mengecek kebenaran dan keabsahannya (Gani dan
Zulfikarni, 2013).

c. Netral
Aspek kenetralan karya tulis ilmiah mengacu kepada setiap
pernyataan, pengungkapan, atau penilaian yang terbebas dari
kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan pribadi maupun
kepentingan kelompok. Karya tulis ilmiah tidak mempertimbangkan
atau tidak mempermasalahkan apakah seseorang akan senang atau
tersinggung dengan pernyataan yang dikemukakan. Karya tulis
ilmiah bebas dari persoalan rasa-rasa atau hal-hal yang berbau
emosional. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang bersifat
mengajak, membujuk, melarang, atau mempengaruhi pembaca perlu
dihindarkan (Gani dan Zulfikarni, 2013).

d. Sistematis
Aspek sistematis mengacu kepada pola penyajian yang bersifat
baku, bukan beku. Sebuah karya tulis ilmiah menguraikan dan
menyajikan sesuatu secara berurutan, contohnya adalah skripsi, tesis,
atau disertasi. Masing-masing tulisan ilmiah tersebut terdiri atas
bagian awal, tengah, dan akhir. Masing-masing bagian tersebut
terdiri atas berbagai subbagian yang letak atau posisinya juga terurut
secara sistematis. Misalnya, bagian awal terdiri atas subbagian
halaman judul (kulit atau kover), halaman persembahan (kalau ada),
halaman pengesahan (pembimbing dan penguji), halaman abstrak,
halaman kata pengantar, halaman ucapan terima kasih (kalau ada),
halaman daftar isi, dan halaman awal daftar-daftar (daftar tabel,
bagan, gambar, dan lain-lain).

220 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Sub-subbagian tersebut juga terdiri dari berbagai aspek. Untuk
subbagian judul (misalnya) terdiri dari berbagai subbagian terkecil,
misalnya: judul, identitas tulisan, identitas penulis, lambang, nama
lembaga, kota, dan tahun. Selain dari penyajian, kebersistematisan
tersebut juga terdapat pada pola pengembangan tertentu, misalnya
pola urutan, klasifikasi, kausalitas, dan sebagainya. Dengan
kebersistematisan tersebut, pembaca dapat mengikuti dengan mudah
alur uraian karya tulis ilmiah tersebut (Gani dan Zulfikarni, 2013).

e. Logis
Kelogisan mengacu kepada pola penalaran yang digunakan
penulis, misalnya pola penalaran induktif atau deduktif. Jika penulis
bermaksud menyimpulkan suatu fakta atau data, maka digunakan
pola induktif, sebaliknya jika penulis bermaksud membuktikan suatu
teori atau hipotesis, maka digunakanlah pola deduktif. Selain itu,
aspek kelogisan ini juga terlihat pada pola dalam menyatakan pikiran
pada kalimat yang digunakan. Sangat banyak penulis yang kurang
hati-hati terhadap tata kalimat. Artinya, kalimat tersebut tidak mampu
mengkomunikasikan pemikiran penulis Akibatnya, pembaca tidak
mampu memahami pesan yang hendak disampaikan penulis karya
ilmiah yang bersangkutan (Gani dan Zulfikarni, 2013).

f. Menyajikan Fakta
Setiap pernyataan, uraian, atau simpulan dalam karya ilmiah
harus bersifat faktual, yaitu menyajikan segala sesuatu berdasarkan
fakta dan data. Oleh karena itu, pernyataan atau ungkapan yang
emosional (menggebu-gebu seperti orang berkampanye, perasaan
sedih seperti orang berkabung, perasaan senang seperti orang
mendapatkan hadiah, dan perasaan marah seperti orang bertengkar)
hendaknya dihindarkan (Gani dan Zulfikarni, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 221


3. Jenis-jenis Karya Tulis Ilmiah
Karya tulis ilmiah merupakan karya tulis yang menonjolkan
sifat keilmuan, dihasilkan dengan landasan berpikir ilmiah,
menggunakan metode ilmiah, dan disajikan secara sistematis.
Berdasarkan batasan tersebut, secara umum, karya tulis ilmiah dapat
diklasifikasi atas tiga klasifiksi utama, yaitu: (1) makalah, (2) artikel,
dan (3) laporan penelitian. Dikatakan sebagai klasifikasi utama
karena masing-masing klasifikasi tersebut dapat dibagi atas beberapa
jenis karya tulis ilmiah lainnya. Uraian rinci klasifikasi tersebut
adalah sebagai berikut.

a. Makalah
Makalah merupakan suatu karya tulis ilmiah yang membahas
suatu permasalahan secara tuntas berdasarkan satu kerangka berpikir,
yaitu berpikir induktif atau berpikir deduktif. Biasanya penulisan
makalah dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu.
Berdasarkan tujuan tersebut, maka pada umumnya jenis makalah
dapat dibedakan atas tiga, yaitu: (1) makalah tugas perkuliahan, (2)
makalah tugas akhir, dan (3) makalah seminar. Uraian rinci dari
ketiga klasifikasi makalaha tersebut adalah sebagai berikut.

1) Makalah Tugas Perkuliahan


Penulisan makalah jenis ini dimaksudkan untuk melengkapi
tugas-tugas perkuliahan yang diberikan oleh dosen yang mengampu
mata kuliah tertentu, atau guru yang mengajar mata pelajaran
tertentu. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk makalah jenis ini
biasanya sangat tergantung dari dosen atau guru yang bersangkutan.
Makalah jenis ini lebih bersifat klasikal. Dikatakan bersifat demikian
(klasikal) karena ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jenis makalah ini
diberlakukan hanya untuk kelas yang bersangkutan dan dengan dosen
yang bersangkutan (Gani dan Zulfikarni, 2013).

222 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


2) Makalah Tugas Akhir
Penulisan makalah jenis ini dimaksudkan untuk melengkapi
persyaratan guna menyelesaikan program studi tertentu pada jenjang
pendidikan diploma (misalnya diploma III). Hal itu disebabkan
karena jenjang pendidikan DIII atau diploma tidak mempersyaratkan
mahasiswanya untuk menulis skripsi. Pada lembaga pendidikan
tertentu, kadang-kadang makalah tugas akhir juga dibolehkan ditulis
oleh mahasiswa S1. Makalah tugas akhir yang seperti ini dianggap
sebagai pengganti skripsi. Penulisan makalah tugas akhir pengganti
skripsi ini diberlakukan untuk mahasiswa dengan kasus-kasus
tertentu, misalnya untuk menyelamatkan mereka dari dropout (DO).
Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk jenis makalah tugas
akhir sangat ditentukan oleh pedoman penulisan karya ilmiah yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan penulisan
tugas akhir tersebut. Makalah jenis ini lebih bersifat kelembagaan
(sesuai dengan kebijakan lembaga tertentu). Makalah tugas akhir ada
yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dan ada yang ditulis
berdasarkan konsep-konsep yang lazim (konseptual) (Gani dan
Zulfikarni, 2013).

3) Makalah Seminar
Penulisan makalah seminar dimaksudkan untuk dibicarakan
dalam suatu pertemuan ilmiah seperti pada seminar, konferensi,
musyawarah, dan presentasi ilmiah lainnya. Makalah seminar
ditujukan dalam upaya memperbaiki/ meningkatkan suatu program
tertentu. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk makalah jenis ini
sangat ditentukan oleh panitia yang menyelenggarakan pertemuan
ilmiah tersebut.
Selain dari seminar dan konferensi, pertemuan ilmiah juga
dilakukan dalam bentuk lokakarya. Pada pertemuan yang demikian,
dibicarakanlah segala sesuatu yang berkaitan kegiatan yang akan
dikerjakan. Pada pertemuan yang demikian tulisan ilmiah yang

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 223


disajikan disebut dengan kertas kerja (workpaper). Isi kertas kerja
tersebut berkaitan dengan pedoman atau petunjuk-petunjuk teknis
dari sesuatu yang akan dikerjakan.
Dalam menulis makalah, tidak seluruh metode ilmiah dapat
dipergunakan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa keilmiahan
sebuah makalah akan hilang. Pada satu sisi, ada makalah yang
disusun hanya berdasarkan pada pola berpikir rasional, yaitu dengan
mengandalkan kajian teoritis. Pada sisi lain, ada makalah yang
pembahasannya hanya didasarkan pada data empiris, yaitu berupa
pemaparan dan pendiskripsian temuan-temuan yang telah
dikumpulkan di lapangan. Berdasarkan kenyataan ini, maka kerangka
berpikir penciptaan makalah dapat dilakukan secara deduktif atau
induktif.
Pembahasan sebuah permasalahan dalam bentuk makalah
biasanya diuraikan dalam tiga bagian pokok, yaitu: (1) pendahuluan
atau pengajuan masalah, (2) pembahasan atau pemecahan masalah,
dan (3) penutup atau kesimpulan. Melalui ketiga bagian pokok inilah
segala permasalahan diuraikan sehingga menjadi sebuah makalah
(Gani dan Zulfikarni, 2013).

b. Artikel
Pada hakikatnya antara makalah dengan artikel terdapat
kesamaan. Hal ini disebabkan karena proses penyusunan kedua jenis
tulisan tersebut menggunakan kerangka berpikir yang sama, yaitu
pola berpikir deduktif atau induktif, kecuali untuk artikel yang ditulis
berdasarkan hasil suatu penelitian.
Artikel merupakan jenis karya tulis ilmiah yang dimaksudkan
untuk dipublikasikan melalui media cetak umum (koran, majalah,
atau tabloid) atau media cetak kusus (jurnal). Sasaran atau tujuan
penulisan artikel adalah untuk publikasi. Pola atau sistematika
penulisan artikel sangat dipengaruhi oleh segala ketentuan yang
ditetapkan oleh media target, materi yang akan ditulis, bahasa,

224 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


panjang tulisan, calon pembaca, dan lain-lain. Apabila tidak
mengikuti ketentuan yang dipersyaratkan oleh media target, maka
besar kemungkinan artikel tersebut tidak akan dipublikasikan.
Berdasakan hal tersebut, kemurnian keilmiahan karya tulis
tersebut kadang-kadang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur
publikasi. Bahasa yang digunakan telah direkayasa sedemikian rupa.
Kata-kata atau kalimat-kalimat yang dipakai, disusun dengan
mempertimbangkan calon pembaca. Mungkin inilah sebabnya artikel
ini sering juga disebut dengan tulisan semi ilmiah atau tulisan ilmiah
popular (Gani dan Zulfikarni, 2013).

c. Laporan Penelitian
Landasan berpikir laporan penelitian tidak hanya tergantung
pada satu pola berpikir deduktif atau induktif saja tetapi didasarkan
kepada kedua pola berpikir tersebut. Gabungan kedua pola pikir
ilmiah inilah yang akan melahirkan metode ilmiah, yaitu logiko,
hipotesiko. dan verivikatif. Dengan kata lain, laporan penelitian
selalu melalui tahapan pengajuan masalah, kajian teori,
hipotesis/pertanyaan, verifikasi data, dan kesimpulan. Akibat adanya
perbedaan ini, maka proses menulis makalah jauh lebih mudah
daripada proses menulis laporan penelitian. Akan tetapi, hasil dari
penulisan laporan penelitian jauh lebih bermakna.
Sebagai hasil dari kegiatan menulis ilmiah, laporan penelitian
tampil dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, atau laporan penelitian
lainnya. Skripsi merupakan suatu karya tulis ilmiah yang ditulis
untuk mendapat gelar kesarjanaan oleh mahasiswa setingkat S1.
Tesis merupakan suatu karya tulis ilmiah yang ditulis untuk meraih
gelar magister (master) oleh mahasiswa setingkat S2 sedangkan
disertasi merupakan suatu karya tulis ilmiah yang ditulis untuk
memperoleh gelar doktor oleh mahasiswa setingkat S3.
Laporan penelitian merupakan suatu karya tulis ilmiah yang
ditulis oleh seorang atau kelompok ilmuwan sebagai laporan atas

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 225


kegiatan ilmiah yang telah dilakukannya. Laporan penelitian ditulis
karena suatu kegiatan ilmiah yang didanai oleh pihak-pihak tertentu
yang bertindak sebagai sponsor (Gani dan Zulfikarni, 2013).

4. Karya Tulis Ilmiah dan NonIlmiah


Karya tulis ilmiah dengan karya yang nonilmiah memiliki
suatu perbedaan. Pada hematnya, perbedaan tersebut dapat ditinjau
dari beberapa titik pengamatan. Secara rinci, perbedaan tersebut
dapat dijelaskan dengan menggunakan tabel berikut.

Perbedaan Antara Karya Tulis Ilmiah dengan Nonilmiah

No. Titik Pengamatan Karya Tulis Karya Tulis


Ilmiah (KTI) Nonilmiah (KTNI)
1. Masalah Biasanya masalah Biasanya masalah
yang dibicarakan yang dibicarakan
adalah hal-hal yang berkaitan dengan
berkaitan dengan masalah
masalah keilmuan kemanusiaan, seperti
atau sesuatu yang cinta kasih,
bersifat ilmu persahabatan,
pengetahuan. kekeluargaan,
Masalah tersebut perjuangan, dan lain-
diperoleh dari hasil lain.
observasi di Masalah cenderung
lapangan (empiris) diperoleh secara tidak
atau dari bahan terencana (insiden)
bacaan (rasional). sesuai dengan suasana
Semakin banyak hati dan daya
mengamati, imajinasi.
berdiskusi, dan
membaca, maka
semakin banyaklah
masalah tersebut
dimiliki
2. Judul Antara judul Antara judul dengan
dengan permasalahan tidak

226 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


permasalahan yang selalu saling
dikemukakan atau mencerminkan. Bisa
dibahas selalu saja judul merupakan
saling kiasan dari sesuatu.
mencerminkan. Misalnya, sebuah
Melalui judul dapat karangan judulnya
diramalkan masalah "Kelinci Merah"
yang akan dibahas tetapi yang
dan melalui dibicarakan adalah
masalah yang di kebuasan nafsu seks
pilih dapat seorang lelaki.
ditentukan judul Contoh lain, Sutan
karya tulis lmiah. Takdir Alisyahbana
(STA) menulis roman
dengan judul “Layar
Terkembang”, yang
dibahas dalam
karangan tersebut
bukan tentang layar
dengan segala
dinamikanya,
melainkan tentang
harapan terhadap
perempuan masa
depan Indonesia
3. Efek bagi Pembaca Merangsang Merangsang daya
kemampuan emosional pembaca
berpikir pembaca sehingga pembaca
sehingga merasa senang,
pengetahuan, marah, takut, benci,
wawasan, dan geli, terhadap
kekritisan, sesuatu hal sesuai
ketajaman, dan dengan apa yang
daya analisis dibacanya. Pembaca
pembaca terhadap lebih memiliki
sesuatu hal menjadi kematangan emosi,
bertambah baik. kepekaan, berbudi,
Pembaca menjadi dan lain-lain.
lebih Pengaruh tersebut
berpengetahuan. akan lebih terasa bila
KTNI tersebut
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 227
ditampilkan melalui
sinetron atau film.
4. Bahasa Menggunakan Menggunakan bahasa
bahasa yang baik yang baik. Tidak
dan benar. Baik selalu mengacu
mengacu kepada kepada konsep bahasa
konteks yang baik dan benar.
penggunaan bahasa Bahasa diciptakan
dan baku mengacu dengan sedemikian
kepada kaidah- rupa sehingga
kaidah kebahasaan menjadi begitu
yang berlaku. menarik,
Bahasa tidak menyenangkan, dan
ambiguitas, jelas, mampu
bermakna denotatif, mempengaruhi
singkat, tepat, jujur. pembaca. Pengarang
Dengan kata lain, atau penyair bebas
bahasa yang dipakai berkreasi dengan
tidak ada yang diksi atau kalimat
percuma yang digunakannya
(licentia poetica),
lebih-lebih di dalam
menulis puisi
5. Pola Pe-ngembangan Tulisan Tulisan
Tulisan dikembangkan dikembangkan dalam
dalam bentuk bentuk karangan
karangan eksposisi narasi dan deskripsi
dengan pola dengan pola
pengembangan pengembangan
logis dan ruang kronologis dan ruang
Untuk puisi, penyair
bebas memilih dan
menggunakan
pengembangan yang
diinginkannya.
6. Prosedur Penciptaan Ditulis melalui Ditulis melalui
prosedur baku, kemam-puan
misalnya melalui berimajinasi,
penelitian atau berangan-angan,
analisis rasional berfantasi, dan daya
yang kritis khayal,
228 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
7. Sistematika Penulisan Uraian terhadap Uraian terhadap
permasalahan permasalahan dapat
disusun secara saja secara sistematis
sistematis, sehingga (awal peristiwa,
pola berpikir peristiwa bergerak,
penulis dapat dilihat klimaks, antiklimaks,
dengan jelas. dan penyelesaian) dan
Biasanya urutan itu dapat juga secara
terdiri atas tidak beraturan. Hal
pengajuan masalah ini dapat dilihat dari
(pendahuluan), penggunaan alur balik
pembahasan, dan (flash back) dari suatu
kesimpulan cerita.
(penutup).
8. Pembahas-an Permasalahan Permasalahan dibahas
dibahas secara dan disampaikan
rasional, empiris, dengan cara bercerita
atau perpaduan sesuai dengan
keduanya. Analisis imajinasi, daya
rasional didasarkan khayal, fantasi, dan
kepada teori-teori angan-angan
standar yang pengarang terhadap
berlaku. Analisis masalah yang
empiris didasarkan diangkatnya.
kepada data-data Menonjolkan ekspresi
dan fakta-fakta emosi atau perasaan
yang diperoleh di yang sangat subjektif.
lapangan.
Menonjolkan
ekspresi akal
pikiran. Penulis
karya ilmiah bebas
mengekspresikan
analisis logis yang
objektif.
9. Sasaran Lebih ditujukan Ditujukan kepada
kepada orang yang siapa saja (umum),
menggeluti suatu bukan kepada orang-
disiplin ilmu orang tertentu.
tertentu. Biasanya Artinya, tidak ada
orang yang pembatasan tentang
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 229
berdisiplin ilmu siapa yang seharusnya
yang samalah yang membaca sebuah
akan membacanya. karya sastra, dan
KTI yang karya sastra apa saja
membahas masalah yang seharusnya
bahasa hanya dibaca. Dengan kata
(cenderung) dibaca lain, siapapun dapat
oleh orang yang membaca sebuah
mempelajari atau karya sastra.
menekuni bidang
bahasa, demikian
seterusnya
10. Keterpeca-yaan Dapat dibuktikan Tidak dapat
kebenarannya, baik dibuktikan
pembuktian secara kebenarannya karena
rasional (kajian segala sesuatu yang
teoritis) atau dikemukakan hanya
pembuktian secara bersifat imajiner,
empiris (kajian walaupun imajiner
terhadap data dan tersebut dipicu oleh
fakta). kondisi-kondisi riil di
lapangan.
11. Referensi Menggunakan Tidak menggunakan
referensi keilmuan referensi keilmuan
sebagai bahan karena masalah yang
acuan. Referensi dipilih
tersebut dapat dikembangakan
berupa artikel, hasil berdasarkan
penelitian, buku, kemampuan imajiner
atau bahan pengarang.
publikasi internet.
12. Jenis tulisan Makalah, artikel, Cerpen, cerbung,
skripsi, tesis, novel, roman, cergam
disertasi, dan (komik), puisi dan
laporan penelitian. lain-lain.
13. Penulis Ilmuawan, yaitu Sastrawan atau
orang yang penyair, yaitu orang
menguasai bidang yang memiliki
ilmu tertentu. kepekaan terhadap
kondisi-kondisi yang
terjadi dan
230 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
berkembang di
lapangan.
14. Publikasi Tidak dapat Dapat pada media
disembarang media masa umum seperti
karena tidak koran, majalah,
bersifat umum. tabloit, dan lain-lain.
Biasanya pada
media tertentu
(khusus) seperti
Jurnal. Ada juga
yang dipublikasikan
di media umum,
seperti artikel
popular.
15. Sapaan bagi pembuat Penulis Pengarang
(Gani dan Zulfikarni, 2013)

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 231


BAB XI
PANDUAN MENULIS RINGKASAN DAN RESENSI

A. Hakikat Ringkasan
1. Batasan Ringkasan
Ringkasan berasal dan bentuk dasar “ringkas” yang berarti
singkat atau pendek dari bentuk yang panjang. Hal ini dipakai untuk
mengatakan suatu bentuk karangan panjang yang dihadirkan dalam
jumlah singkat. Suatu ringkasan disajikan dalam bentuk yang lebih
pendek dari tulisan aslinya dengan berpedoman pada keutuhan topik
dan gagasan yang ada di dalam aslinya yang panjang itu. Ringkasan
(precis) adalah suatu cara yang efektif untuk menyajikan suatu
karangan yang panjang dalam bentuk yang singkat. Suatu ringkasan
bertolak dari penyajian suatu karya asli secara singkat.
Ringkasan merupakan suatu keterampilan untuk mengadakan
reproduksi dari hasil-hasil karya yang sudah ada. Ringkasan
merupakan penyajian singkat dari suatu karangan asli tetapi tetap
mempertahankan urutan isi dan sudut pandangan pengarang asli.
Perbandingan bagian atau bab dari karangan asli secara proposional
tetap dipertahankan dalam bentuknya yang singkat itu (Rasyid dan
Gani, 2013).

2. Tujuan Membuat Ringkasan


Latihan membuat ringkasan atas sebuah artikel atau sebuah
karya adalah suatu cara yang sangat berguna untuk mengembangkan
ekspresi serta penghematan kata. Latihan-latihan yang intensif akan
mengembangkan daya kreasi dan konsentrasi, serta mempertajam
kemungkinan pemahaman karya asli, sehingga karya ringkasan
tersebut tampaknya seolah-olah hasil pematangan dalam diri penulis
ringkasan (Rasyid dan Gani, 2013).

232 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Karena tujuan ringkasan adalah memahami dan mengetahui isi
sebuah buku atau karangan, maka latihan-latihan untuk maksud
tersebut akan membimbing dan menuntun seseorang agar dapat
membaca karangan asli dengan cermat, dan bagaimana harus
menulisnya kembali dengan tepat. Penulis tidak akan membuat
ringkasan dengan baik, apabila kurang cermat membaca, dan tidak
sanggup membeda-bedakan gagasan utama dari gagasan-gagasan
tambahan. Sebuah ringkasan dibuat atas kerja menyingkat atau
memendekkan sebuah karangan yang panjang. Pembuat ringkasan
harus mampu memilah-milah mana gagasan utama dan mana gagasan
bawahan. Ringkasan berguna untuk membantu pembaca membaca
dalam waktu yang singkat dengan cara menghemat waktu (Rasyid
dan Gani, 2013).

3. Cara Membuat Ringkasan


Beberapa pegangan yang dipergunakan untuk membuat
ringkasan yang baik dan teratur, adalah sebagai berikut ini.

a. Membaca Naskah Asli


Langkah pertama yang harus dilakukan oleh penulis ringkasan
adalah membaca naskah asli satu atau dua kali, kalau perlu diulang
beberapa kali, untuk mengetahui kesan umum tentang pengarang itu
secara meyeluruh. Untuk membantu penulis mencapai hal tersebut,
maka judul dan daftar isi karangan itu dapat dijadikan pegangan.
Perincian daftar isi karangan mempunyai pertalian dengan judul
karangan itu. Sebaliknya, alinea-alinea dalam karangan dapat
menunjang pokok-pokok yang tercantum dalam daftar isi (Rasyid
dan Gani, 2013).

b. Mencatat Gagasan Utama


Tindakan atau langkah yang harus dikerjakan adalah membaca
kembali karangan itu bagian demi bagian, aline demi alinea sambil

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 233


mencatat semua gagasan yang penting dalam bagian atau alinea itu.
Pencatatan itu dilakukan untuk dua tujuan. Pertama, untuk tujuan
pengamanan agar memudahkan penulis pada waktu meneliti kembali
apakah pokok-pokok yang dicatat itu penting atau tidak. Kedua,
catatan ini juga akan menjadi dasar bagi pengolahan selanjutnya.
Tujuan terpenting mulai menulis kembali untuk menyusun sebuah
ringkasan dengan mempergunakan poko-pokok yang telah dicatat itu
(Rasyid dan Gani, 2013).

c. Mengadakan Reproduksi
Dengan mempergunakan catatan-catatan sebagai yang
diperoleh pada langkah kedua dan kesan umum yang diperoleh pada
langkah pertama, maka penulis sudah siap untuk memuat ringkasan
yang dimaksud. Jika catatan yang dibuat sesuai dengan urutan dalam
karangan asli, maka soal urutan isi tidak menjadi masalah. Penulis
ringkasan harus menyusun kalimat-kalimat baru, merangkaikan
semua gagasan tadi ke dalam suatu wacana yang jelas, dan dapat
diterima akal sehat, serta sekaligus menggambarkan kembali isi dari
karangan aslinya (Rasyid dan Gani, 2013).

d. Ketentuan Tambahan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ringkasan
diterima sebagai suatu tulisan yang baik.
1) Sebaiknya dalam menyusun ringkasan dipergunakan kalimat
tunggal daripada kalimat majemuk. Kalimat majemuk
menunjukkan bahwa ada dua gagasan atau lebih yang bersifat
paralel.
2) Bila mungkin ringkaskanlah kalimat menjadi frasa, frasa menjadi
kata. Begitu pula rangkaian gagasan yang panjang hendaknya
diganti dengan suatu gagasan sentral saja. Hal ini tidak berarti
bahwa cara kerja ringkasan hanya merupakan ringkasan kalimat-
kalimat saja.

234 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


3) Jumlah alinea tergantung dari besarnya ringkasan dan jumlah
topik utama yang akan dimaksudkan dalam ringkasan. Alinea
yang mengandung ilustrasi, contoh, deskripsi, dsb, dapat
dihilangkan kecuali yang dianggap penting. Semua alinea
semacam itu yang akan dipertahankan karena dianggap penting,
harus dipersingkat atau digeneralisasi.
4) Bila mungkin semua keterangan atau kata sifat dibuang, kadang-
kadang sebuah kata sifat atau keterangan masih dipertahankan
untuk menjelaskan gagasan umum yang tersirat dalam rangkaian
keterangan, atau rangkaian kata sifat yang terdapat dalam naskah.
5) Pertahankan susunan gagasan asli, serta ringkaskanlah gagasan-
gagasan itu dalam urutan seperti urutan naskah asli. Urutan topik
sebagaimana dicatat dari karangan asli itulah yang harus
dirumuskan kembali dalam kalimat penulis ringkasan. Dalam
usaha merumuskan kembali karangan itu, penulis ringkasan harus
menjaga agar tidak boleh ada hal yang baru dimasukkan, atau
tanpa sadar penulis memasukkan pikiran sendiri.
6) Untuk membedakan ringkasan atas sebuah tulisan biasa (bahasa
tak langsung) dan sebuah pidato atau ceramah (bahasa langsung)
yang mempergunakan sudut pandang orang pertama tunggal atau
jamak.
7) Biasanya untuk ringkasan ditentukan pula panjang ringkasan
finalnya. Dengan demikian, meringkaskan suatu karangan
menjadi 100 kata, padahal yang diminta adalah 200 kata, bukan
merupakan suatu keahlian. Dengan membuat ringakasan 100 kata
berarti ada separuh dari gagasan yang seharusnya dimasukkan
atau dihilangkan begitu saja. Oleh sebab itu, penulis ringkasan
harus melakukan seperti apa yang diminta (Rasyid dan Gani,
2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 235


B. Hakikat Resensi
1. Batasan Resensi
Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah
hasil karya atau buku. Resensi dapat juga dikatakan sebagai suatu
komentar atau ulasan seorang penulis atas sebuah hasil karya, baik
buku, film, karya seni, maupun produk yang lain. Tujuan resensi
adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku
atau hasil karya itu patut mendapatkan sambutan dari masyarakat
atau tidak (Rasyid dan Gani, 2013).
Seorang penulis buku bertolak dari tujuan membantu para
pembaca dalam menentukan perlu tidaknya membaca sebuah buku
tertentu, atau perlu tidaknya menikmati suatu hasil karya seni.
Apabila pertimbangan yang diberikan itu tetap memperhatikan titik
tolak tadi, maka penulis secara terus-menerus akan berusaha
menyesuaikan pertimbangannya dengan selera pembaca. Di samping
itu, pertimbangan-pertimbangan buku harus disesuaikan dengan
tingkat pendidikan pembacanya. Pembaca-pembaca merupakan
pendengar-pendengar yang akan dihadapi secara langsung oleh
penulis. Resensi umumnya dipahami sebagai ulasan dan penilaian
terhadap sebuah karya. Karya tersebut bermacam-macam, mungkin
film, mungkin buku, mungkin karya seni, atau mungkin pula sebuah
produk teknologi. Penilaian itu harus berkaitan dengan kualitas dari
karya yang sedang dicermati atau diresensi tersebut (Rasyid dan
Gani, 2013).
Satu hal yang harus dicatat oleh siapa pun yang hendak
meresensi sebuah karya, yakni bahwa penilaian itu harus dilakukan
secara seimbang dan proposional. Maksudnya, tidak boleh seorang
peresensi itu hanya memberikan penilaian dan alasan ihwal segala
sesuatu yang menjadi positifnya saja, atau tidak tepat pula jika
resensi itu hanya dilakukan untuk mengorek kelemahan dan
kekurangannya saja. Tujuan pokok resensi adalah agar pembaca
tertarik untuk membaca secara langsung buku yang sedang diresensi
236 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
tersebut. Jadi, tidaklah benar kalau sebuah resensi akhirnya justru
mematikan minat pembaca untuk menjangkau bukunya secara
langsung (Rasyid dan Gani, 2013).

2. Dasar Resensi
Penulis harus memperhatikan dua faktor untuk memberikan
pertimbangan atau penilaian secara obyektif atas sebuah hasil karya
atau buku, yaitu: resensi harus memahami sepenuhnya tujuan dari
pengarang aslinya dan harus menyadari sepenuhnya apa maksudnya
membuat resensi. Tujuan pengarang buku yang dibuat resensinya itu
dapat diketahui dari kata pengantar atau bagian pendahuluan buku
itu. Penulis resensi harus menemukan apa tujuan pengarang dalam
menulis buku tersebut (Rasyid dan Gani, 2013).
Dengan menilai kaitan antara tujuan sebagaimana ditulis dalam
kata pengantar atau pendahuluan serta realisasinya dalam seluruh
karangan itu, penulis resensi akan mempunyai bahan yang cukup
kuat untuk menyampaikan sesuatu kepada para pembaca. Singkatnya,
penulis resensi harus benar-benar memperhatikan kewajiban mana
yang harus dipenuhinya dalam membuat resensi itu, yaitu
kewajibannya terhadap pembaca dan bagaimana penilaiannya atas
buku tersebut (Rasyid dan Gani, 2013).

3. Sasaran–sasaran Resensi
Untuk membuat suatu resensi yang baik, penulis harus
menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai. Umumnya, tidak ada
ketentuan yang memuaskan semua orang bagaimana seharusnya
bentuk sebuah resensi yang baik. Namun demikian, dapat diberi
beberapa pokok untuk dijadikan sasaran penilaian itu. Pokok-pokok
yang dapat dijadikan sasaran penilaian sebuah buku atau karya
adalah sebagai berikut ini.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 237


a. Latar Belakang
Seringkali penulis tidak tahu bagaimana harus memulai
resensinya. Namun, bermanfaat bagi para pembaca, apabila penulis
mulai menyajikan latar belakang buku yang akan diresensi. Penulis
dapat memulainya dengan mengemukakan tema dari karangan.
Penyajian tema secara singkat itu dapat dilengkapi dengan deskripsi
mengenai isi buku. Dalam hal ini terdapat titik singgung antar resensi
dan ringkasan atau ikhtisar. Dengan kata lain, penulis dapat
menyampaikan ringkasan atau ikhtisar buku, sehingga para pembaca
yang belum tahu memperoleh gambaran mengenai isi buku.
Gambaran inilah yang akan menjadi landasan bagi penilaiannya.
Deskripsi mengenai buku itu bukan hanya menyangkut isinya,
tetapi juga dapat menyangkut penerbit yang telah menerbitkan buku
itu, kapan dan di mana diterbitkan buku itu, berapa tebalnya (jumlah
bab dan halaman) dan kalau perlu ada formatnya. Penulis resensi
dapat pula memperkenalkan pengarang: namanya, ketenaran yang
diperolehnya, buku atau karya mana yang telah ditulisnya, atau
mengapa ia sampai menulis buku itu. Intinya, semua hal yang
menyangkut latar belakang buku yang perlu diketahui pembaca.
Dengan demikian, sebelum masuk ke dalam teknis penilaian, para
pembaca sudah mengetahui sedikit mengenai buku tersebut (Rasyid
dan Gani, 2013).

b. Macam atau Jenis Buku


Pembaca-pembaca tidak selalu mempunyai selera yang sama.
Ada yang senang dengan cerita komik, ada yang senang dengan
cerita detektif, serta ada pula yang lebih senang dengan buku-buku
filsafat dan buku ilmu pengetahuan. Para ahli akan lebih tertarik pada
teori-teori baru dalam bidangnya masing-masing. Betapapun terdapat
perbedaan-perbedaan antara berbagai macam pembaca sebagai
diketengahkan di atas, namun masih terdapat suatu persamaan umum
pada mereka yaitu: mereka semua ingin mengetahui sesuatu apabila

238 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


ada sebuah buku baru diterbitkan. Mereka ingin mengetahui: Buku
itu macam apa? Penulis resensi yang mengabaikan pertanyaan ini
sengaja atau tidak, sudah gagal dalam melaksanakan tugasnya.
Penulis resensi harus menunjukkan kepada pembaca buku yang baru
diterbitkan itu termasuk dalam golongan buku yang mana.
Dengan kata lain, ia harus mengadakan klasifikasi mengenai
buku itu. Dengan memasukkannya ke dalam kelas buku tertentu,
maka dengan mudah ia dapat menunjukkan persamaan dan perbedaan
dengan buku-buku lain yang termasuk dalam kelompok yang sama
itu. Dengan mengadakan perbandingan itu, pembaca-pembaca akan
merasa tertarik dan ingin mengetahui lebih lanjut tentang isi buku
tersebut secara terperinci (Rasyid dan Gani, 2013).

c. Keunggulan Buku
Faktor yang dipergunakan untuk memberi evaluasi adalah
mengemukakan segi-segi yang menarik dari buku tersebut. Buku-
buku yang sama jenisnya bisa menunjukkan perbedaan yang sangat
besar, baik dalam segi penulisan maupun dalam segi penetapan
pokok yang khusus. Buku-buku yang nonfiktif sangat berbeda satu
sama lain, sehingga menyebabkan perbedaan nilai dan keunggulan
yang dimiliki masing-masing buku. Mengenai keunggulan buku,
penulis resensi lebih dahulu mempertimbangkan dan mempersoalkan
cara pengorganisasiannya. Organisasi adalah kerangka buku dan
hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Apakah
hubungan itu harmonis, jelas, dan memperlihatkan perkembangan
yang masuk akal. Untuk menilai dari dekat sebuah buku, penulis
resensi mempersoalkan bagaimana isinya. Seorang pengarang
misalnya sangat cermat dalam memberikan detail-detailnya,
sedangkan pengarang-pengarang yang lain tampaknya agak kurang
pas dalam detail-detailnya, tetapi lebih cermat dalam memberikan
sugesti-sugesti dan kesimpulan.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 239


Masalah keunggulan buku adalah masalah bahasa.
Barangkali ada yang berpendapat bahwa yang penting itu isinya,
bahasa tidak penting. Tetapi, bagaimana mungkin pembaca dapat
memahami sesuatu yang dapat disampaikan dengan mudah dan
sederhana dalam bahasa yang jelas dan teratur, harus disampaikan
secara berbelit-belit dalam rangkaian kalimat dan urutan kata-kata
yang tidak masuk akal. Buku-buku ilmiah misalnya, bukan
dimaksudkan menjadi buku-buku sastra tetapi perbedaan esensial
antara buku ilmiah dan buku sastra bukan antara bahasa yang baik
dan bahasa yang tidak baik. Kedua-duanya harus menggunakan
bahasa yang baik. Perbedaanya terletak dalam bahasa karya ilmiah,
harus bersifat denotatif sedangkan bahasa sastra, memungkinkan
orang mengembangkan imajinasinya, dan bahasanya harus bersifat
konotatif.
Hal terakhir yang terdapat dikemukakan oleh penulis resensi
dalam memberikan penilaiannya adalah mengenai masalah teknik.
Sebuah buku yang baik harus pula ditampilkan dalam wajah yang
baik. Wajah yang baik adalah segala sesuatu yang menyangkut
perwajahan (layout), kebersihan, dan lebih lagi pencetakannya.
Kesalahan dalam mencetak kata-kata atau menempatkan tanda baca
akan sangat mengganggu para pembaca. Sebab itulah salah satu
aspek yang tidak kalah pentingnya adalah memberi catatan mengenai
kesalahan-kesalahan pencetakan, baik yang disebabkan oleh petugas
di percetakan, tetapi juga ada kemungkinan kesalahan dari
pengarang.
Seorang penulis resensi harus berusaha dengan tepat
menunjukkan keunggulan buku itu dengan memberikan penilaian
langsung, kutipan-kutipan yang tepat, dan menunjukkan pertalian
yang kompak antara bagian-bagiannya. Menilai sebuah buku berarti
memberi saran kepada pembaca untuk menolak atau menerima
kehadiran buku itu. Oleh sebab itu, jangan menolak kehadiran sebuah

240 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


buku hanya dengan menyoroti sebagian saja dari buku itu tetapi harus
dinilai secara keseluruhan (Rasyid dan Gani, 2013).

4. Prinsip Resensi
Beberapa hal berikut kiranya harus diperimbangkan dan
diperhatikan dalam membuat resensi:
a. Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam, dan akurat
b. Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, dan tidak konotatif.
c. Format dan isi resensi harus disesuaikan dengan kompetensi,
minat, dan motivasi pembaca.
d. Objektif, seimbang, dan proposional dalam menyampaikan
timbangan terhadap buku atau hasil karya (Rasyid dan Gani,
2013).

5. Unsur-unsur Resensi
Berikut ini disajikan beberapa unsur yang harus dijadikan
pertimbangan dalam meresensi:
a. Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
b. Latar belakang penulisan dan pengalaman penulis
c. Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
d. Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
e. Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresesnsi
f. Jenis buku atau karya karya yang sedang diresensi
g. Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
h. Kelemahan buku atau karya yang sedang diresensi (Rasyid dan
Gani, 2013).

6. Cara Menulis Resensi


Menulis resensi berarti menyampaikan informasi mengenai
ketetapan buku bagi pembaca. Di dalam resensi, disajikan berbagai
ulasan mengenai buku tersebut dari berbagai segi. Ulasan ini
dikaitkan dengan selera pembaca dalam upaya memenuhi kebutuhan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 241


akan bacaan yang dapat dijadikan acuan bagi kepentingannya.
Penulis resensi seyogianya mempertimbangkan hal-hal berikut.

a. Landasan Filosofi Penulisan


Keinginan penulis tidak seluruhnya tertuang dalam karangan,
misalnya misi, visi, dan hakikatnya penulisan tidak seluruhnya
dituangkan dalam karangannya. Oleh sebab itu, penulis resensi harus
memahami sepenuhnya tujuan dari pengarang aslinya dan menyadari
sepenuhnya apa maksud menulis resensi tersebut. Untuk mengetahui
hal tersebut, penulis resensi perlu mengkaji landasan filosofi yang
dijadikan dasar penulisan (Rasyid dan Gani, 2013).

b. Harapan Pembaca
Setelah membaca resensi, diharapkan pembaca akan merasa
terbantu mendapatkan informasi yang diperlukan. Pembaca akan
melihat gambaran keseluruhan isi, informasi tentang buku, dan
kualitas buku tanpa melihat dahulu buku tersebut (Rasyid dan Gani,
2013).

c. Harapan Penulis dan Pembaca


Resensi berupaya mengkomunikasikan harapan pembaca dan
penulis terhadap kualitas sebuah buku. Itulah sebabnya, penulis
resensi harus menginformasikan sasaran dan target yang diharapkan
penulis bagi pembacanya (Rasyid dan Gani, 2013).

d. Materi Tulisan
Penulis resensi harus memaparkan materi yang ada dalam buku
yang akan mencapai target sasaran pembacanya. Penulis resensi
harus dapat menjembatani kemauan penulis dan keinginan pembaca
(Rasyid dan Gani, 2013).

242 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


7. Sistematika Resensi
Pada dasarnya, sistematika resensi adalah sebagai berikut.
a. Cantumkan tema atau judul karya yang diresensi.
b. Sebutkan nama pengarang, judul karya, penerbit, tempat terbit,
jumlah bab, dan jumlah halaman.
c. Kemukalan sistematika, bahasa, dan ringkasan karya yang
diresensi.
d. Jelaskan kualitas karya yang diresensi, kekuatan dan
kelemahannya, serta perbedaannya dengan karya sejenis yang
sudah ada.
e. Sampaikan pendapat dan simpulan penulis resensi secara pribadi.
f. Tuliskan identitas si penulis resensi (Rasyid dan Gani, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 243


BAB XII
ASESORIS KARANGAN ILMIAH

A. Kutipan
1. Pengertian Kutipan
Kutipan adalah pernyataan pendapat dari seseorang ataupun
pengarang, baik berupa tulisan dalam buku, majalah, surat kabar,
atau dalam bentuk tulisan lainnya maupun dalam bentuk lisan.
Kutipan dapat digunakan sebagai bukti menunjang pendapat dalam
sebuah tulisan (Ulya dan Jaya, 2015). Kutipan juga dapat diambil
dari pernyataan lisan dalam sebuah wawancara, ceramah, dan pidato.
Namun, kutipan dari pernyataan lisan ini harus dikonfirmasikan dulu
kepada narasumbernya sebelum dicantumkan dalam tulisan. Pada
dasarnya, kutipan ditulis sebagai bukti dari teori-teori atau hal-hal
yang hendak mereka sampaikan. Referensi juga ditulis untuk
melengkapi karya tulis yang ditulis. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam mencantumkan kutipan, yaitu:
a. Cantumkan nama pengarang dan tahun terbit dengan format yang
ditentukan
b. Untuk kutipan langsung, nomor halaman buku atau jurnal atau
majalah atau artikel harus disebutkan
c. Untuk kutipan tidak langsung, nomor halaman boleh disebutkan
ataupun tidak
d. Gunakan tanda baca “..” diantara tahun dan nomor halaman,
diketik tanpa spasi

2. Fungsi Kutipan
Kutipan memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai
berikut:
a. Sebagai landasan teori

244 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


b. Sebagai penguat pendapat orang lain
c. Sebagai penjelasan suatu uraian
d. Sebagai bahan bukti untuk menunjang pendapat tersebut
e. Sebagai penunjuk kualitas ilmiah yang lebih tinggi
f. Sebagai penunjuk kecermatan yang lebih akurat
g. Memudahkan dalam penilaian penggunaan sumber data
h. Memudahkan perbedaan data pustaka dan ketergantungan
tambahan
i. Mencegah pengulangan penulisan daftar pustaka
j. Memudahkan peninjauan kembali penggunaan referensi dan
memudahkan penyuntingan naskah terkait dengan daftar pustaka.

3. Jenis-Jenis Kutipan
a. Kutipan Langsung
Kutipan langsung (direct quotation) adalah kutipan hasil
penelitian, hasil karya atau pendapat orang lain yang penyajiannya
sama persis dengan teks aslinya (yang dikutip). Dalam merujuk
sumber kutipan teks utama, sebutkan referensinya dengan
menuliskan nama pengarang, tahun penerbitan dan nomor
halamannya (Ulya dan Jaya, 2015). Kutipan langsung dibagi
menjadi:
1) Kutipan langsung kurang dari atau sama dengan 4 baris. Kutipan
ini akan dimasukkan dalam teks dengan cara diintegrasikan
dengan teks, menggunakan jarak dua spasi, diapit dengan tanda
petik (“..”) serta sesudah kutipan selesai diberi urut penunjukkan
setengah spasi ke atas (catatan kaki), atau dalam kurung
ditempatkan nama pengarang, tahun terbit, dan nomor halaman
tempat kutipan tersebut.

Contohnya:
Supaya tulisan kita mudah dipahami orang lain, maka kita
hendaknya membuat kalimat yang efektif. Yang dimaksud
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 245
dengan kalimat efektif itu yang bagaimana? “Kalimat efektif
adalah kalimat yang dengan sadar atau sengaja disusun untuk
mencapai daya informasi yang tepat dan baik”
(Parera,1988:42). Dengan demikian…..

2) Kutipan langsung lebih dari empat baris. Kutipan ini ditulis


dengan cara dipisahkan dari teks dalam jarak 1,5 spasi, jarak
antara baris dengan baris kutipan satu spasi, kutipan boleh atau
tidak diapit dengan tanda petik, kemudian sesudah kutipan selesai
diberi nomor urut penunjukkan setengah spasi ke atas (catatan
kaki), atau dalam kurung ditempatkan nama pengarang, tahun
terbit, dan nomor halaman tempat kutipan tersebut.

Contohnya:
Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan
ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus
terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan
kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat,
merekam, meyakinkan, menegaskan, melaporkan,
menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud
dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh
para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan
pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas,
lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada
pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan
struktur kalimat (Kurniawan 2006:122).

b. Kutipan tidak langsung


Kutipan tidak langsung (indirect quotation) merupakan
kutipan hasil penelitian, hasil karya, atau pendapat orang lain yang
penyajiannya tidak sama dengan teks aslinya, melainkan
menggunakan bahasa atau kalimat penulis atau penulis itu sendiri.

246 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Dalam pengutipan ini, sumber rujukan harus disebutkan, baik dengan
nomor halaman atau tanpa nomor halaman. Syarat penulisan kutipan
tidak langsung di antaranya, yaitu kutipan diintegrasikan dengan
teks, jarak antarbaris dua spasi, kutipan tidak diapit tanda petik,
kemudian sesudah kutipan selesai diberi nomor urut penunjukkan
setengah spasi ke atas (catatan kaki), atau dalam kurung ditempatkan
nama pengarang, tahun terbit, dan nomor halaman tempat terdapat
kutipan tersebut (Ulya dan Jaya, 2015).

Contohnya:
Kalimat yang baik adalah yang menunjukkan kesatuan
gagasan, atau hanya mengandung satu ide pokok. Bila ada
dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan digabungkan,
maka akan merusak kesatuan pikiran (Keraf, 1994 :36).

4. Penulisan Kutipan (Format American Psychological


Association/ APA)
a. Penulisan Kutipan Tidak Langsung
Pada format APA, kutipan tidak langsung dituliskan dalam
kalimat atau teks dengan mencantumkan nama pengarang dan tahun
penerbitan, tanpa menuliskan halaman karya yang dikutip.
1) Nama penulis disebutkan dalam kalimat, seperti:
Jones (1998) membandingkan performa siswa…
Pada tahun 1998, Jones membandingkan performa siswa…
2) Nama penulis tidak disebutkan dalam kalimat, seperti:
Dalam penelitan terbaru mengenai performa siswa (Jones,
1998), …

b. Kutipan Langsung Pendek


Kutipan langsung pendek adalah kalimat yang dikutip kurang
atau sama dengan 40 kata. Kutipan langsung pendek dituliskan dalam
teks dengan memberi tanda petik di awal atau di akhir kutipan.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 247


1) Nama penulis tidak disebutkan dalam kalimat, seperti:
Ia menyatakan “Siswa sering mengalami kesulitan dalam
menggunakan sistem kutipan APA” (Jones, 1998, hal. 199),
namun ia tidak memberikan penjelasan mengapa.
2) Nama penulis disebutkan dalam kalimat, seperti:
Menurut pendapat Jones (1998), “Siswa sering mengalami
kesulitan dalam menggunakan sistem kutipan APA” (hal. 199);
implikasi apa yang diperoleh oleh guru?

c. Kutipan Langsung Panjang


Kutipan langsung panjang adalah kalimat yang dikutip lebih
dari 40 kata. Kutipan langsung panjang ditulis dalam paragraf
tersendiri, dengan jarak 5 ketuk atau spasi dari margin kiri dan tetap
dalam jarak 1,5 spasi (seperti teks)
1) Nama penulis tidak disebutkan dalam kalimat, seperti:
Ia menyatakan: Siswa sering mengalami kesulitan dalam
menggunakan sistem kutipan APA, khususnya ketika pertama
kali mereka mengutip sumber. Kesulitan ini disebabkan karena
siswa tidak mendapat akses terhadap petunjuk mengenai
kutipan atau sulit mendapatkan bantuan dari guru. (Jones,
1993, hal.199).
2) Nama penulis disebutkan dalam kalimat, seperti:
Penelitian yang dilakukan Jones 1993 menemukan bahwa:
Siswa seing mengalami kesulitan dalam menggunakan sistem
kutipan APA, khususnya ketika mereka baru pertama kali
mengutip sumber. KKesulitan ini disebabkan karena siswa
tidak mendapat akses terhadap petunjuk mengenai kutipan atau
sulit mendapatkan bantuan dari guru (hal. 199)

248 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


5. Contoh Penulisan Kutipan
a. Karya dengan 2 sampai 6 Penulis
Nama keluarga atau nama belakang penulis disebutkan semua,
seperti:
Richards, Jones dan Moore (1998) menyatakan bahwa
mahasiswa yang berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
ekstrakurikuler mencapai prestasi akademis yang sangat baik
karena mereka belajar bagaimana mengatur waktu mereka
dengan lebih efektif.
Penulis menyatakan bahwa mahasiswa yang berpartisipasi
secara aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler mencapai prestasi
akademis yang sangat baik karena mereka belajar bagaimana
mengatur waktu mereka dengan lebih efektif (Richards, Jones
& Moore, 1998).

b. Karya lebih dari 6 Penulis


Jika karya yang dikutip ditulis lebih dari 6 pengarang, yang
ditulis hanya nama keluarga atau belakang penulis pertama, dengan
memberi inisial et.al., seperti:
Pemerintah Massachusets telah menginisiasikan beberapa
program untuk meningkatkan keamanan publik, termasuk
kebijakan komunitas dan kegiatan setelah sekolah (Smith et
al., 1997).

c. Lebih dari 1 Karya dengan Penulis yang Sama


Semua tahun penerbitan publikasi harus disebutkan semua,
seperti:
Smith (1972) dalam penelitiannya mengenai pengaruh alkohol
dalam kemampuan mengemudi, Smith (1991) menunjukkan
bahwa masa reaksi pengemudi dipengaruhi oleh sedikitnya dua
belas ons kaleng bir.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 249


d. Karya dengan Nama Belakang Penulis Sama
Jika mengutip dari karya dengan nama belakang penulis yang
sama dengan kutipan sebelumnya, nama depan penulis perlu
dicantumkan pada kutipan berikutnya, seperti:
Setidaknya 66.665 ekor singa dibunuh antara tahun 1907 dan
1978 di Kanada dan Amerika Serikat (Kevin Hansen, 1980).
D.M. Smith (1994) dan P.W. Smith (1995) keduanya
menyimpulkan gaya mengasuh orang tua dan perkembangan
anak.

e. Mengutip dari Kutipan


Jika mengutip dari sumber yang mengutip, nama penulis asli
dicantumkan pada kalimat dan nama penulis yang mengutip
dicantumkan pada akhir kalimat kutipan, seperti:
Tingkah laku dipengaruhi oleh situasi. Seperti yang
dipostulasikan oleh Wallace (1972) dalam Individual and
Group Behaviour, seseorang yang bertingkah laku dengan cara
tertentu secara mandiri akan bertingkah dengan tingkah laku
yang berbeda dengan anggota kelompok lain. (Barkin, 1992,
hal. 478).

f. Tidak Ada Nama Penulis


Jika tidak ada nama penulis, tuliskan 1 atau 2 kata pertama dari
judul buku atau halaman web. Jika mengutip dari buku atau website,
judul ditulis dalam cetak miring. Jika mengutip dari artikel jurnal,
majalah atau surat kabar, maka judul ditulis dalam huruf tegak
dengan memberi tanda petik di awal dan akhir kutipan, seperti:
Setidaknya 66.665 ekor singa dibunuh antara tahun 1907 dan
1978 di Kanada dan Amerika Serikat (Innovations, 1997).

250 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


g. Artikel Tanpa Nama Penulis dan Tahun Penerbitan
Contohnya:
Dalam penelitian lain mengenai siswa dan keputusan penelitian,
ditemukan bahwa siswa akan berhasil dengan tutor (“Tutoring and
APA”, n.d).
Catatan: n.d. = no date

h. Lembaga sebagai Penulis


Contohnya:
Standar pengukuran performa digunakan dalam mengevaluasi
sistem (United Stataes Department of Transportation, Federal
Aviation Administration, 1997)

i. Komunikasi melalui E-mail


Contohnya:
….dapat disimpulkan bahwa jurusan Teknik Mesin kurang
diminati oleh siswa perempuan (wawancara dengan Juliana
Anggono, 5 Januari 1999)

j. Mengutip dari Website


Contohnya:
Pada dasarnya mengutip dari website atau sumber elektronik
sama dengan mengutip dari sumber tercetak. Jika mengutip dari
website atau media elektronik yang perlu dicantumkan adalah
nama penulis, tahun penerbitan, nomor halaman (untuk kutipan
langsung) atau jika tidak ada nomor halaman, sebutkan nomor
bab (chapter), nomor gambar, tabel atau paragraf. Alamat
website (URL) dan informasi lain dituliskan pada daftar referensi

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 251


B. Daftar Pustaka/ Referensi/ Rujukan
1. Pengertian Daftar Pustaka/ Referensi/ Rujukan
Definisi daftar pustaka atau bibliografi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah daftar yang mencantumkan judul
buku, nama pengarang, penerbit dan sebagainya yang ditempatkan
pada bagian akhir suatu karangan atau buku dan disusun berdasarkan
abjad. Menurut Keraf (1997:213), yang dimaksud dengan daftar
kepustakaan atau bibliografi adalah sebuah daftar yang berisi judul
buku-buku, artikel-artikel, dan bahan-bahan penerbitan lainnya yang
mempunyai pertalian dengan sebuah karangan yang tengah digarap.
Melalui daftar pustaka yang disertakan pada akhir tulisan, para
pembaca dapat melihat kembali pada sumber aslinya. Secara umum,
format penulisan (citation style) dibedakan atas dua jenis berdaarkan
golongan ilmu, yaitu humanities style (contohnya APA) dan scientific
style (contohnya MLA).
Fungsi dari daftar pustaka diantaranya adalah untuk membantu
pembaca mengenal ruang lingkup studi penulis, memberi informasi
kepada pembaca untuk memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap
dan mendalam daripada kutipan yang digunakan oleh penulis, serta
membantu pembaca memilih referensi dan materi dasar untuk
studinya. Ada beberapa unsur dalam penulisan daftar pustaka, yaitu:
nama penulis dan nama keluarga (jika ada), tahun penerbitan, judul
buku, tempat penerbitan dan nama penerbit.

2. Ketentuan Umum Penulisan Daftar Pustaka/ Referensi/


Rujukan
a. Sumber yang dikutip dalam uraian atau teks harus ditulis lengkap
dalam “Daftar Referensi“. Sebaliknya, sumber yang terdaftar
dalam Daftar Referensi harus ditulis dalam teks sebagai kutipan.
b. Nama penulis ditulis nama keluarga atau nama belakang terlebih
dahulu, kecuali nama Cina, Jepang, Korea, karena nama keluarga
sudah di awal.
252 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Contoh :
Nama: Kwik Kian Gie. Penulisan: Kwik Kian Gie.
Nama: Heribertus Andi Mattalata. Penulisan: Mattalata, Heribertus Andi.
Nama: Joyce Elliot-Spencer. Penulisan: Elliot-Spencer, Joyce.
Nama : Anthony T. Boyle, PhD. Penulisan: Boyle, Anthony T.
Nama : Sir Philip Sidney. Penulisan: Sidney, Philip.
Nama : Arthur George Rust Jr. Penulisan: Rust, Arthur George, Jr.
Nama : John D. Rockfeller IV. Penulisan: Rockfeller, John. D., IV

c. Gelar kebangsawanan, akademik, dan keagamaan tidak perlu


ditulis.
d. Jika tidak ada nama penulis, judul karya dituliskan sebagai tema
utama.
e. Pada format APA, huruf pertama dari judul karya atau judul
tambahan ditulis dengan huruf kapital. Pada format MLA huruf
kapital digunakan pada setiap awal kata dari judul karya (kecuali
kata sandang).
f. Baris kedua setiap sumber ditulis dengan jarak 5 ketukatauspasi
dari margin kiri baris pertama dengan jarak antar baris 1,5 spasi.
g. Daftar diurutkan berdasarkan abjad nama keluarga atau nama
belakang dengan jarak 1,5 spasi.

3. Penulisan Daftar Pustaka Menggunakan Format APA


a. Buku
1) Penulis Tunggal
Baxter, C. (1997). Race equality in health care and education.
Philadelphia: Balliere Tindall.

2) Penulis Dua atau Tiga


Cone, J.D., & Foster, S.L. (1993). Dissertations and theses
from start to finish: Psychology and related fields.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 253


Washington, DC: American Psychological
Association.

3) Tidak Ada Nama Penulis


Merriam-Webster’s collegiate dictionary (10th ed.). (1993).
Springfield, MA: Merriam-Webster.

4) Bukan Edisi Pertama


Mitchell, T.R., & Larson, J.R. (1987). People in organizations:
An introduction to organizational behavior (3rd ed.).
New York: McGraw-Hill.

5) Penulis Berupa Tim atau Lembaga


American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and
statistical manual of mental disorders (4th ed.).
Washington, DC: Author.

6) Buku Berseri atau Multi Volume (editor sebagai penulis)


Koch, S. (Ed.). (1959-1963). Psychology: A study of science
(Vols. 1-6). New York: McGraw-Hill.

7) Terjemahan
Kotler, Philip. (1997). Manajemen pemasaran: Analisis,
perencanaan, implementasi (Hendra Teguh & Ronny
Antonius Rusli, Penerjemah.). Jakarta: Prenhallindo.

8) Artikel atau Bab dalam Buku yang Diedit


Eiser, S., Redpath, A., & Rogers, N. (1987). Outcomes of early
parenting: Knowns and unknowns. In A. P. Kern & L.
S. Maze (Ed.). Logical thinking in children (pp. 58-
87). New York: Springer.

254 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


9) Artikel atau Istilah dalam Buku Referensi
Schneider, I. (1989). Bandicoots. In Grzimek’s encyclopedia of
mammals (vol.1, pp. 300 304). New York: McGraw-Hill.

10) Makalah Seminar, Konferensi, dan Sejenisnya.


Crespo, C.J. (1998, March). Update on national data on asthma.
Paper presented at the meeting of the National Asthma
Education and Prevention Program, Leesburg, VA.

b. Serial
1) Artikel Jurnal
Clark, L.A., Kochanska, G., & Ready, R. (2000). Mothers’
personality and its interaction with child temperament as
predictors of parenting behavior. Journal of Personality
and Social Psychology, 79, 274-285.

2) Artikel Majalah
Greenberg, G. (2001, August 13). As good as dead: Is there
really such a thing as brain death? New Yorker, 36-
41.

3) Artikel surat kabar


Crossette, Barbara. (1990, January 23). India lodges first
charges in arms Scandal. New York Times, A4.

4) Artikel surat kabar, tanpa penulis


Understanding early years as a prerequisite to development.
(1986, May 4). The Wall Street Journal, p. 8.

5) Resensi buku dalam jurnal


Grabill, C. M., & Kaslow, N. J. (1999). Anounce of
prevention: Improving children's mental health for

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 255


the 21st century [Review of the book Handbook of
prevention and treatment with children and
adolescents]. Journal of Clinical Child Psychology,
28, 115 116.

6) Resensi film dalam jurnal


Lane, A. (2000, December 11). Come fly with me [Review of
the motion picture Crouching tiger, hidden dragon]. The
New Yorker, 129-131

c. Wawancara
White, Donna. (1992, December 25). Personal interview.

d. Karya Lain dan Karya Noncetak


1) Acara Televisi
Crystal, L. (Executive Producer). (1993, October 11). The
MacNeilatauLehrer news hour. [Television broadcast].
New York and Washington, DC: Public Broadcasting
Service.

2) Kaset Video atau VCD


National Geographic Society (Producer). (1987). In the
shadow of Vesuvius . [Videotape]. Washington, DC:
National Geographic Society.

3) Kaset Audio
McFerrin, Bobby (Vocalist). (1990). Medicine music [Audio
Recording]. Hollywood, CA: EMI-USA.

256 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


4) Perangkat Lunak Komputer
Arend, Dominic N. (1993). Choices (Version 4.0) [Computer
software]. Champaign, IL: U.S. Army Corps of Engineers
Research Laboratory. (CERL Report No.CH7- 22510).

e. Publikasi Elektronik
1) Karya Lengkap
McNeese, M.N. (2001). Using technology in educational
settings. October 13, 2001. University of Southern
Mississippi, Educational Leadership and Research.
http://www.dept.usm.eduatau~edaatau

2) Artikel dari Pangkalan Data Online


Senior, B. (1997, September). Team roles and team
performance: Is there really a link? Journal of
Occupational and Organizational Psychology, 70,
241-258. June 6, 2001. ABIatauINFORM Global
(Proquest) database.

3) Artikel Jurnal di Website


Lodewijkx, H. F. M. (2001, May 23). Individual- group
continuity in cooperation and competition
undervarying communication conditions. Current
Issues in Social Psychology, 6 (12), 166-182.
September 14, 2001.
http://www.uiowa.eduatau~grpprocatau
crispataucrisp.6.12.htm.

4) Dokumen Lembaga
NAACP (1999, February 25). NAACP calls for Presidential
order to halt police brutality crisis. June 3, 2001.
http://www.naacp.orgataupresidentataureleasesataupolice
_brutality.htm

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 257


5) Dokumen Lembaga, Tanpa Nomor Halaman, Tanpa
Informasi Tahun Penerbitan
Greater Hattiesburg Civic Awareness Group, Task Force on
Sheltered Programs. (n.d.). Fund-raising efforts.
November 10, 2001. http://www.hattiesburgcag.org

6) Penulis dan Informasi Waktu Penerbitan Tidak Diketahui


GVU's 8th WWW user survey. (n.d.). September 13, 2001.
http://www.gvu.gatech.eduatauuser_surveysatausurvey-
1997-10atau

7) Email
Wilson, R.W. (1999, March 24). Pennsylvania reporting data.
Child Maltreatment Research. March 30, 1999. CHILD-
MALTREATMENT-R-L@cornell.edu

8) CD-ROM
Ziegler, H. (1992). Aldehyde. The Software Toolworks
multimedia encyclopedia (CD- ROM version 1.5).
Boston: Grolier. Januari 19, 1999. Software
Toolworks. Nickell, Stephen J. (August 1996).
Competition and corporate performance. The Journal
of Political Economy, 104(4), 724-747. December 15,
2003. Proquest Database (CD-ROM).

C. Catatan Kaki
1. Pengertian Catatan Kaki
Catatan kaki adalah daftar keterangan-keterangan atas teks
atau naskah atau tulisan yang ditempatkan pada kaki halaman tulisan
yang bersangkutan. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan
keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan atau sebagai

258 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


pedoman penyusunan daftar bacaan atau bibliografi (Ulya dan Jaya,
2015).

2. Tujuan Catatan Kaki


Ada beberapa tujuan catatan kaki:
a. Pembuktian
Menunjukkan tempat atau sumber bahwa yang disebutkan
pada tulisan telah dibuktikan orang lain
b. Memberi apresiasi
Penghargaan, rasa terima kasih pada orang yang telah
dikutipnya
c. Menyampaikan keterangan tambahan
Memperkuat uraian di luar persoalan dalam teks, biasanya
berupa: inti cerita, informasi tambahan, pendangan lain,
komentar, penjelasan tidak penting dan sebagainya.
d. Merujuk bagian lain dalam tulisan
Referensi melihat bagian lain dalam tulisannya, biasanya
dengan singkatan-singkatan tertentu

3. Prinsip Catatan Kaki


Beberapa prinsip dalam penulisan catatan kaki
a. Penggunaan nomor urut penunjukkan yang sama, baik dalam
teks maupun dalam catatan kaki, dituliskan ½ spasi ke atas
b. Nomor urut penunjukkan berlaku untuk seluruh tulisan, tidak
per halaman
c. Ikuti aturan teknis pembuatan catatan kaki yang berlaku

4. Teknik Penulisan Catatan Kaki


Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penulisan
catatan kaki, sebagai berikut:

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 259


a. Nomor pada catatan kaki atau footnote agak diangkat sedikit di
atas baris biasa, tetapi tidak sampai setinggi satu spasi. Nomor itu
jauhnya tujuh huruf dari margin atau tepi teks, atau sama dengan
permulaan alinea baru. Jika catatan kaki terdiri lebih dari dua
baris, baris kedua dan selanjutnya dimulai pada garis margin atau
tepi teks biasa.
b. Nama pengarang ditulis menurut urutan nama aslinya. Pangkat
atau gelar seperti Prof., Dr., Ir., dan sebagainya tidak perlu
dicantumkan.
c. Judul buku digarisbawahi jika diketik dengan mesin ketik atau
dicetak miring jika diketik dengan komputer.
d. Jika buku, majalah, atau surat kabar ditulis oleh dua atau tiga
orang, nama pengarang dicantumkan semua.
e. Jika sumbernya berasal dari internet, maka nama depan dan
belakang penulis, “Judul dokumen,” nama website, alamat web
komplit, tanggal dokumen tersebut diunduh.
f. Pengarang yang lebih dari tiga orang, ditulis hanya nama
pengarang pertama, lalu di belakangnya ditulis et al., atau dkk.

5. Unsur yang Ada dalam Catatan Kaki Sumber Referensi


a. Pengarang
b. Judul
c. Data Publikasi
d. Nomor halaman

Contohnya:
1
Lightstone Caroll, Configuration on the Art, New York: Harper
Lid., 2000, Jilid I, hlm 32.

260 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


6. Singkatan dalam Catatan Kaki
Dalam menuliskan catatan kaki, adakalanya digunakan
singkatan-singkatan tertentu seperti berikut.
a. Ibid
Singkatan dari kata ibidem (bahasa latin) yang artinya “pada
tempat yang sama”. Digunakan jika pengutip mengambil kutipan
dari sumber yang sama yang telah ada di bagian terdahulu tanpa
diselingi sumber lain. Jika yang dikutip halamannya masih sama
seperti kutipan sebelumnya, maka ditulis cukup kata ibid saja.
Jika yang dikutip sudah berbeda halaman, maka kata ibid, lalu
diikuti halaman. Kata ibid, biasanya dituliskan dengan huruf
miring atau digarisbawahi
b. Op. cit.
Singkatan dari Opere Citato (bahasa Latin) yang artinya “pada
karya yang telah dikutip”. Digunakan jika menunjuk sumber yang
telah disebutkan sebelumnya, tetapi telah diselingi sumber lain.
Jika halaman yang dikutip berbeda, penulisannya: nama
pengarang, op.cit., nomor halaman. Jika satu pengarang ada
beberapa buku rujukan yang dipakai, setelah nama harus diikuti
judul bukunya.
c. Loc. cit.
Singkatan dari Loco Citato (bahasa Latin) yang artinya “pada
tempat yang telah dikutip”. Digunakan jika menunjuk sumber
yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi telah diselingi sumber
lain. Halaman yang dikutip sama. Penulisannya: nama pengarang,
loc.cit., nomor halaman. Jika satu pengarang ada beberapa buku
rujukan yang dipakai, setelah nama harus diikuti judul bukunya.
d. Supra
Supra memiliki arti di atas atau sudah terdapat lebih dulu pada
teks yang sama

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 261


e. Infra
Infra memiliki arti di bawah atau lihat artikelatautulisan yang
sama di bawah
f. C. atau ca.
Ca merupakan singkatan dari circa yang artinya kira-kiraatau
sekitar untuk tahun yang meragukan
g. Cap atau chap
Cap adalah singkatan dari caput atau chapter yang berarti bab
h. Et. seq
Et. seq adalah singkatan dari et sequens artinya halaman-halaman
berikutnya.
i. Passim
Passim memiliki arti tersebar sana-sini atau kompilasi.
j. C.f. atau conf.
C.f. memiliki arti bandingkan dengan.

7. Contoh Penulisan Catatan Kaki


1
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1999, hlm. 8.
2
Ibid., hlm. 15 (berarti dikutip dari buku di atas)
3
Ismail Marahimin, Menulis secara Populer, Pustaka Jaya, Jakarta,
2001, hlm 46.
4
Soedjito dan Mansur Hasan, Keterampilan Menulis
Paragraf,Remaja Rosda Karya, Bandung, hlm. 23.
5
Gorys Keraf, op. cit. hlm 8 (buku yang telah disebutkan di atas)
6
Ismail Marahimin, loc. cit. (buku yang telah disebut di atas di
halaman yang sama, yakni hlm. 46)
7
Soedjito dan Mansur Hasan, loc. cit. (menunjuk ke halaman yang
sama dengan yang disebut terakhir, yakni hlm. 23).

262 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


BAB XIII
SURAT MENYURAT

A. Batasan Surat
Surat adalah sarana komunikasi yang digunakan untuk
menyampaikan informasi tertulis oleh suatu pihak kepada pihak lain.
Informasi yang disampaikan itu dapat berupa pemberitahuan,
pernyataan, serta perintah dan permintaan atau laporan. Hubungan
yang terjadi antara pihak-pihak tersebut disebut dengan surat-
menyurat atau korespondensi. Dengan kata lain, surat-menyurat itu
merupakan salah satu kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam
komunikasi tertulis (Rasyid dan Gani, 2013).

B. Fungsi Surat
Selain sebagai sarana komunikasi, surat juga berfungsi
sebagai:
1. Alat untuk menyampaikan pemberitahuan, permintaan atau
permohonan, buah pikiran atau gagasan;
2. Alat bukti tertulis, misalnya surat perjanjian;
3. Alat untuk mengingat, misalnya surat-surat yang diarsipkan;
4. Bukti historis, misalnya surat-surat yang bersejarah;
5. Pedoman kerja, misalnya surat keputusan dan surat perintah.

C. Jenis Surat
Jika dilihat dari segi bentuk, isi, dan bahasanya, maka surat
dapat digolongkan atas tiga jenis, yaitu (1) surat pribadi, (2) surat
dinas, dan (3) surat niaga. Ciri-ciri yang dimiliki oleh ketiga jenis
surat itu dapat dikemukakan sebagai berikut.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 263


1. Surat Pribadi
Surat pribadi adalah surat yang ditulis oleh seseorang yang
isinya menyangkut kepentingan pribadi. Surat menyurat pribadi itu
timbul dalam pergaulan hidup sehari-hari dan terjadi dalam
komunikasi antara anak dan orang tua, kerabat, sejawat, dan teman.
Untuk surat pribadi, dapat digunakan kartu pos, warkat pos, atau
surat bersampul (Rasyid dan Gani, 2013).

2. Surat Dinas
Surat dinas atau surat resmi ialah segala komunikasi tertulis
yang menyangkut kepentingan tugas dan kegiatan kedinasan suatu
instansi. Surat dinas merupakan salah satu alat komunikasi kedinasan
yang sangat penting dalam pengelolaan administrasi, seperti:
penyampaian berita tertulis yang berisi pemberitahuan, penjelasan,
permintaan, pernyataan pendapat dari instansi kepada instansi lain
dan dari instansi kepada perorangan atau sebaliknya (Rasyid dan
Gani, 2013).

3. Surat Niaga
Surat niaga adalah surat yang dipergunakan orang atau badan
yang menyelenggarakan kegiatan usaha niaga, seperti perdagangan,
perindustrian, dan usaha jasa (misalnya, perusahaan angkutan,
perusahaan bangunan, perusahaan asuransi, dan perbankan).
Korespondensi tergolong ke dalam jenis ini adalah koperasi dan
perusahaan Negara.
Dalam dunia usaha dikenal bermacam-macam surat niaga,
misalnya surat penawaran, surat pesanan, surat pembayaran, surat
penagihan, surat pengiriman barang, surat pengaduan, dan surat
proporsi penjualan. Surat niaga memegang peranan penting dalam
dunia usaha karena sebagian besar hubungan dengan pihak luar
dilakukan melalui surat-menyurat. Oleh karena itu, surat niaga harus

264 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


disusun dengan sebaik-baiknya, jelas dan menarik, serta perlu
dikelola secara profesional oleh pegawai yang mempunyai keahlian
dalam bidang surat-menyurat. Selain ketiga jenis surat seperti yang
telah dikemukakan di atas, terdapat juga jenis surat yang lain,
misalnya surat edaran, surat pengumuman, surat perjanjian, dan surat
keputusan (Rasyid dan Gani, 2013).

D. Bentuk Surat
Bentuk surat adalah pola surat menurut susunan letak bagian-
bagian surat. Setiap bagian surat itu amat penting peranannya sebagai
identifikasi atau petunjuk pengelolaan surat. Bentuk surat adalah
penempatan tanggal, nomor, salam pembuka, salam penutup,
tembusan, dan lain-lain. Ada beberapa faktor dalam memilih bentuk
surat, yaitu sebagai berikut ini.

1. Faktor Kemudahan
a. Penulisan bagian-bagian surat yang berbentuk lurus lebih
mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan bentuk bertekuk.
Hal ini dapat dipahami karena pada bentuk lurus setiap
penggantian baris tidak perlu menggeser-geser pias kiri.
b. Penulisan alamat di sebelah kiri, selain lebih mudah karena
dimulai dari pias kiri yang lurus, juga memiliki posisi yang
lebih leluasa ke sisi sebelah kanan sehingga kemungkinan
pemenggalan bagian alamat (yang tidak layak) tidak terjadi.
c. Kemudahan bagi pembaca atau penerima surat perlu juga
diperhatikan (Rasyid dan Gani, 2013).

2. Faktor Kehematan
a. Pada penulisan surat menurut bentuk lurus penuh semua
bagian surat ditulis dari garis pias kiri. Jika dilihat dari faktor

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 265


kemudahan memang sangat mudah, tetapi bentuk seperti itu
boros menggunakan halaman surat.
b. Pemakaian halaman surat yang kurang hemat terlihat pula
bentuk beberapa surat dinas atau instansi.
c. Ada beberapa bagaian surat yang hanya diperlukan menurut
keperluan surat. Misalnya, lampiran dan tembusan kadang-
kadang diperlukan kadang-kadang tidak. Demi kehematan, jika
kedua bagian itu tidak berfungsi, sebaiknya jangan dipakai.

3. Faktor Keserasian
a. Susunan letak bagian-bagian surat dapat membuat bentuk surat
itu tampak serasi dan kadang-kadang juga tidak serasi. Oleh
karena itu, kepandaian menyusun atau menata bagian-bagian
surat sangat diperlukan.
b. Ukuran kertas dan formal surat yang memiliki perimbangan
yang tepat dapat menambah keserasian bentuk surat.
c. Pemilihan format surat sangat menentukan keserasian bentuk
surat.

E. Sistematika Penulisan Surat


Bagian surat terdiri atas:
(1) Kepala surat
(2) Tanggal
(3) Nomor Surat
(4) Lampiran
(5) Hal atau Perihal
(6) Alamat tujuan
(7) Salam pembuka
(8) Isi surat
(9) Salam penutup
(10) Pengirim surat
(11) Tembusan
266 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
(12) Inisial (Rasyid dan Gani, 2013).

(1) Kepala surat


Kepala surat yang lengkap terdiri atas (1) nama instansi, (2)
alamat lengkap, (3) nomor telepon, (4) nomor kotak pos, (5)
alamat kawat, dan (6) lambing atau logo

Contoh:
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun
Jakarta 13220
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 267
Kotak Pos 2625 Telepon 4896558, 4894564, 4894584

(2) Tanggal Surat


Tanggal surat ditulis secara lengkap, yaitu tanggal ditulis dengan
angka, bulan ditulis dengan huruf, dan tahun ditulis dengan
angka (Rasyid dan Gani, 2013).

Contoh:
KEPALA SURAT

Jakarta, 22 Maret 1990

(3) Nomor, Lampiran, dan Hal


Kata Nomor, Lampiran, dan Hal ditulis dengan diawali huruf
kapital, Nomor, Lampiran, dan Hal dengan diikuti oleh tanda
titik dua yang ditulis secara estetik ke bawah sesuai dengan
panjang pendeknya ketiga kata itu (Rasyid dan Gani, 2013).

Contoh:
Nomor : 110/U/PPHPBI/1990
Lampiran : Satu Berkas
Hal : Permohonan tenaga pengajar

(4) Alamat Surat


Penulisan alamat surat tergantung macam bentuk. Bentuk
penulisan alamat ditulis di sebelah kanan atas bawah tanggal
surat dan bentuk yang kedua adalah alamat yang ditulis di
sebelah kiri atas di bawah bagian Hal atau sebelum salam
pembuka.

Contoh:
Yth. Bapak Sukoco

268 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Kepala Biro Tatat Usaha
Departemen A
Jalan Sarlitan Raya 17
Jakarta

(5) Penulisan Salam


Dalam penulisan surat terdapat dua buah salam, yaitu (1) salam
pembuka dan (2) salam penutup. Penulisan kedua bentuk salam
dan penerima surat. Salam pembuka lazim ditulis di sebelah kiri
di bawah alamat surat, di atas kalimat pembuka isi surat. Salam
penutup lazim ditulis di sebelah kanan bawah (Rasyid dan Gani,
2013).

Contoh:
Salam Pembuka
1. Salam Sejahtera,
2. Saudara . . . yang terhormat,
3. Assalamualaikum W.W.,
4. Salam Pramuka,
5. Salam Perjuangan,
6. Merdeka,
7. Dengan Hormat,

Salam Penutup
1. Hormat saya,
2. Hormat Kami,
3. Salam Takzim,
4. Wasalam,

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 269


(6) Isi Surat
Secara garis besar isi surat terbagi atas tiga bagian, yaitu bagian
pertama merupakan paragraf pembuka, bagian kedua merupakan
paragraf isi dan bagian ketiga merupakan paragraf penutup.
Paragraf pembuka mengantarkan isi surat yang akan
diberitahukan. Contoh:
1. Kami ingin memberitahukan kepada Suadara bahwa . . . .
2. Salah satu kegiatan Proyek Penelitian adalah meneliti sastra
lisan sunda. Sehubungan dengan itu, . . . .
Dalam paragraf isi dikemukakan hal yang perlu disampaikan
kepada penerima surat. Namun, isi surat harus singkat, lugas,
dan jelas. Paragraf penutup merupakan simpulan dan kunci isi
surat. Di samping itu, paragraf penutup dapat mengandung
harapan penulis surat atau berisi ucapan terima kasih kepada
penerima surat (Rasyid dan Gani, 2013).
Contoh:
1. Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.
2. Atas perhatian dan kerja sama Saudara yang baik selama ini,
kami ucapkan terima kasih.

(7) Nama Pengirim


Nama pengiri surat ditulis di bawah tanda di bawah slam
penutup. Tanda tangan diperlukan sebagai keabsahan surat
dinas. Contoh:
1. Drs. Doni Susanto
Kepala
2. Kepala,
Drs. Doni susanto
NIP 130130130

270 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


(8) Tembusan Surat
Kata tembusan yang ditulis dengan huruf awal kapital
(Tembusan) diletakkan di sebelah kiri pada bagian kaki surat,
lurus dengan bagian nomor dan hal, serta sejajar dengan nama
pengiriman surat. Tulisan Tembusan diikuti tanda titik dua,
tanpa digarisbawahi. Contoh:
1. Tembusan:
Kepala Bagian Perlengkapan
2. Tembusan:
Kepala Badan Pengujian

(9) Inisial (Sandi)


Inisial (Sandi) ditempatkan pada bagian paling bawah sebelah
kiri di bawah tembusan (kalau ada). Inisial merupakan tanda
pengenal yang bearupa singkatan nama pengonsep dan pengetik
surat. Inisial berguna untuk keperluan selingkung pengirim surat
untuk mengetahuai siapa pengonsep dan pengetik surat. Contoh:
HA/SS

HA singkatan nama pengonsep: Hidayah Asmuni


SS singkatan nama pengetik: Sandi Susatio

F. Bahasa Surat
1. Surat sebagai Sebuah Karangan
Surat adalah suatu karangan, tentu sebuah karangan perlu
diperhatiakan pada waktu kita menulis surat. Ketentuan-ketentuan
yang perlu diperhatikan dalam sebuah karangan, antara lain
mengenai paragraf, kalimat, pilihan kata, kompisisi, dan ejaaan.
Tidak sedikit kesalahan dalam isi surat yang disebakan oleh
kesalahan ejaan. Hampir setiap aspek ejaan dijumpai kesalahan
pemakaiannya dalam surat-menyurat (Rasyid dan Gani, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 271


2. Bentuk dan Pilihan Kata
Bentuk dan pilihan kata memeganag peranan penting dalam
penulisan surat. Tidak sedikit surat yang tidak membawa informasi
yang jelas karena pilihan dan bentuk kata yang salah (Rasyid dan
Gani, 2013).

3. Kalimat
Kalimat dalam surat hendaklah singkat, jelas, dan tegas
mengingat sebuah surat hanya terdapat suatu pokok pikiran. Kalimat
yang terlalu banyak kata akan menjadikan kalimat itu berbelit-belit
dan panjang, sehingga bahasa surat menjadi tidak baik. Singkat,
berarti tidak panjang, sedangkan jelas, maksudnya terlihat adanya
unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. Tegas, menunjukkan
informasi yang disampaikan dapat dipahami (Rasyid dan Gani,
2013).

272 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


BAB XIV
SENI BERBICARA

A. Hakikat Pidato
1. Pengertian Pidato
Pidato adalah kegiatan berbicara satu arah di depan umum
untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan gambaran atau suatu
masalah kepada pendengar untuk mencapai dan menyampaikan suatu
tujuan tertentu. Misalnya, untuk bermusyawarah, memberikan
rujukan, dan menyampaikan kebijakan. Pidato dapat disampaikan
dalam situasi formal dan non-formal melalui rangkaian kata yang
tersusun dengan sistematis dengan bahasa lisan sebagai media utama.
Pidato bertujuan memberi pemahaman atau informasi dengan rasa
percaya diri untuk mempengaruhi pendengar agar mengikuti ajakan
pembicara secara sukarela (Arief dan Noveria, 2013).

2. Fungsi Pidato
Fungsi pidato antara lain:
a. Menyampaikan informasi (informatif)
b. Menghibur atau menyenangkan hati pendengar (rekreatif)
c. Meyakinkan pendengar (argumentatif)
d. Membujuk atau mempengaruhi pendengar (persuasif)

Agar pidato dapat menarik minat dan perhatian pendengar,


maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Kemukakan fakta dengan jelas
b. Gunakan bahasa Indonesia yang baik sehingga mampu
membangkitkan minat pendengar terhadap masalah yang kita
sampaikan
c. Berbicara secara wajar dan terbuka

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 273


d. Sajikan materi dengan lafal dan intonasi yang tepat
e. Gunakan mimik dan gerak-gerik secara wajar (Arief dan
Noveria, 2013).

3. Jenis-Jenis Pidato
Berdasarkan tujuannya, pidato dapat digolongkan menjadi
beberapa jenis sebagai berikut:
a. Pidato Informasi
Pidato informasi adalah pidato yang dilakukan dengan tujuan
menginformasikan, memberitahukan, dan menjelaskan sesuatu.
Suasana yang serius dan tertib benar-benar dibutuhkan pada jenis
pidato ini karena perhatian akan dipusatkan pada pesan yang akan
disampaikan oleh pembicara. Dalam hal ini, orang yang berpidato
haruslah orang yang dapat berbicara dengan jelas, sistematis, dan
tepat isi agar informasi yang disampaikan benar-benar terjaga
keakuratannya. Dengan demikian, pendengar akan berusaha
menangkap informasi dengan jelas. Contohnya, pidato Ketua Umum
Pemilu mengenai hasil pemilihan suara (Arief dan Noveria, 2013).

b. Pidato Persuasi
Pidato persuasi merupakan pidato yang bertujuan untuk
meyakinkan pendengar tentang sesuatu. Pada jenis pidato ini, orang
yang berpidato benar-benar dituntut memiliki keterampilan berbicara
yang baik karena ia bertugas untuk mengubah sikap pendengarnya
dari tidak setuju dan tidak mau membantu menjadi setuju dan mau
membantu. Seorang yang akan berpidato harus melandaskan isi
pembicaraannya pada argumentasi yang nalar, logis, masuk akal, dan
dapat dipertanggungjawabkan. Contohnya, pidato pimpinan partai di
daerah yang kurang menyenangi atau kurang mendukung partai
tersebut (Arief dan Noveria, 2013).

274 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


c. Pidato Aksi
Pidato aksi adalah pidato yang bertujuan untuk menggerakkan
massa. Pada pidato jenis ini, orang yang menyampaikan pidato
haruslah orang yang berwibawa, tokoh idola, figur atau panutan
masyarakat yang memiliki keterampilan berbicara dan pandai
membangkitkan semangat. Contohnya, pidato presiden Soekarno
dalam menggerakkan rakyat Indonesia untuk tetap memiliki
semangat dalam berjuang melawan penjajah (Arief dan Noveria,
2013).

4. Metode Pidato
Berdasarkan cara penyampaiannya terdapat empat metode
pidato, yaitu:
a. Metode Impromptu
Metode impromptu adalah metode pidato berdasarkan
kebutuhan sesaat, tidak ada persiapan. Orang yang berpidato secara
serta merta berbicara atau berpidato berdasarkan pengetahuan dan
kemahirannya. Keuntungan metode ini adalah lebih mengungkapkan
perasaan pembicara, gagasan datang secara spontan, dan
memungkinkan pembicara terus berpikir. Namun, metode pidato ini
juga memiliki beberapa kerugian, yaitu menimbulkan kesimpulan
yang mentah, mengakibatkan penyampaian tidak lancar, gagasan
yang disampaikan tidak teratur serta dapat mengakibatkan demam
panggung (Arief dan Noveria, 2013).

b. Metode Menghafal
Metode menghafal adalah metode pidato yang terlebih dahulu
dilakukan dengan cara menulis naskah dan mengikuti aturan-aturan
penulisan naskah pidato. Setelah itu, naskah pidato tersebut
dihafalkan kata demi kata. Keuntungan dalam metode pidato ini
adalah kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya serta gerak dan isyarat
yang diintegrasikan dengan uraian menjadi teratur. Namun, kerugian
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 275
metode ini adalah komunikasi pendengar akan berkurang karena
pembicara beralih pada usaha untuk mengingat kata-kata. Selain itu,
metode ini juga memerlukan banyak waktu (Arief dan Noveria,
2013).

c. Metode Naskah
Metode naskah adalah metode pidato yang dilakukan dengan
cara membaca naskah yang telah dipersiapkan. Cara atau metode ini
biasanya dilakukan dalam pidato-pidato yang bersifat resmi.
Keuntungan menggunakan metode ini adalah kata-kata dapat dipilih
sebaik-baiknya, pernyataan dapat dihemat, dan kefasihan bicara
dapat dicapai. Namun, kerugian menggunakan metode pidato ini
adalah komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara
tidak berbicara langsung pada mereka, pembicara tidak dapat melihat
pendengar dengan baik, serta pembuatan pidato lebih lama (Arief dan
Noveria, 2013).

d. Metode Ekstemporan
Metode ini adalah metode pidato yang dilakukan dengan
menggunakan catatan-catatan penting sejenis kerangka sebagai
pedoman. Dengan menggunakan kerangka tersebut, si pembicara
atau orang yang berpidato dengan bebas berbicara dan bebas
memilih kata-kata sendiri. Kerangka tersebut hanya digunakan untuk
mengingat urutan-urutan ide. Keuntungan menggunakan metode
pidato ini adalah komunikasi pembicara dengan pendengar lebih baik
serta pesan dapat bersifat fleksibel. Kerugian metode ini adalah
kemungkinan menyimpang dari garis besar serta kefasihan terhambat
karena kesukaran memilih kata-kata (Arief dan Noveria, 2013).

5. Persiapan Pidato
Sebelum memberikan pidato di depan umum, ada baiknya
untuk melakukan 7 langkah berikut ini:
276 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
a. Merumuskan tujuan pidato
b. Menganalisis pendengar dan situasi
c. Memilih dan menyempitkan topik
d. Mengumpulkan bahan
e. Membuat kerangka (outline)
f. Menguraikan isi pidato secara terperinci
g. Berlatih dengan suara nyaring
h. Mengetahui siapa pendengar yang dihadapi, sikap yang harus
diperhatikan, yaitu:
1) Menguasai materi pidato
2) Pandangan menyeluruh kesetiap bagian ruangan
3) Sikap badan tegak, tetapi tidak kaku
4) Sesekali gunakan gerakan tangan, kepala, dan mata untuk
memperjelas pidato
5) Jangan lupa untuk selalu tersenyum
6) Tidak terburu-buru
7) Ucapkan pidato dengan suara lantang (Arief dan Noveria,
2013).

6. Menulis Naskah Pidato


Naskah pidato biasanya ditulis dengan susunan pembukaan,
pendahuluan, isi pokok, kesimpulan, harapan, dan penutup.
a. Pembukaan, pembukaan pidato biasanya diawali dengan kata-kata
pembuka seperti “Assalamualaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh”, atau “Salam Sejahtera selalu”.
b. Pendahuluan, pendahuluan berupa ucapan terima kasih yang
disampaikan kepada para undangan atas waktu atau kesempatan
yang telah diberikan dan juga sedikit penjelasan mengenai pokok
masalah yang akan diuraikan dalam pidato.
c. Isi pokok, merupakan uraian yang menjelaskan secara terperinci
semua materi dan persoalan. Urutannya harus teratur dan jelas
mulai dari awal sampai akhir.
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 277
d. Kesimpulan, dalam pidato bagian ini sangat penting karena
dengan menyimpulkan segala sesuatu yang telah dibicarakan,
ditambah dengan penjelasan dan anjuran, para hadirin dapat
menghayati maksud dan tujuan semua yang dibicarakan oleh si
pembicara karena apa yang terakhir dikatakan biasanya lebih
mudah dan lebih lama diingat.
e. Harapan, harapan merupakan sebagian dari kesimpulan, tetapi
biasanya merupakan suatu dorongan agar hadirin menaruh minat
dan memberikan kesan terhadap pembicaraanya.
f. Penutup, bagian ini merupakan ucapan terima kasih atas
kesediaan hadirin untuk memperhatikan isi pidato disertai salam
penutup kepada hadirin.

Beberapa tahap dalam membuat naskah pidato dijelaskan


sebagai berikut:
a. Membaca Naskah Asli
Bacalah naskah asli sekali atau dua kali, kalau perlu berulang
kali agar Anda mengetahui kesan umum tentang karangan tersebut
secara menyeluruh. Penulis ringkasan juga perlu mengetahui maksud
dan sudut pandang penulis naskah asli. Untuk mencapainya, judul
dan daftar isi tulisan (kalau ada) dapat dijadikan pegangan karena
perincian daftar isi mempunyai pertalian dengan judul dan alinea-
alinea dalam tulisan, Selain itu, dapat menunjang pokok-pokok yang
tercantum dalam daftar isi (Arief dan Noveria, 2013).

b. Mencatat Gagasan Utama


Jika Anda sudah menangkap maksud, kesan umum, dan sudut
pandang pengarang asli. Silakan memperdalam dan mengonkritkan
semua hal itu! Bacalah kembali karangan itu bagian demi bagian,
alinea demi alinea, sambil mencatat semua gagasan yang penting
dalam bagian atau alinea itu. Pokok-pokok yang telah dicatat dipakai
untuk menyusun sebuah ringkasan. Langkah kedua ini juga

278 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


menggunakan judul dan daftar isi sebagai pegangan. Sasaran
pencatatan adalah judul-judul bab, judul anak bab, dan alinea, kalau
perlu gagasan bawahan alinea yang betul-betul esensial untuk
memperjelas gagasan utama tadi juga dicatat (Arief dan Noveria,
2013).

c. Mengadakan Reproduksi
Pakailah kesan umum dan hasil pencatatan untuk membuat
ringkasan. Urutan isi disesuaikan dengan naskah asli, tetapi kalimat-
kalimat dalam ringkasan yang dibuat adalah kalimat-kalimat baru
yang sekaligus menggambarkan kembali isi dari karangan aslinya.
Apabila gagasan yang telah dicatat ada yang masih kabur, silakan
melihat kembali teks aslinya, tetapi jangan melihat teks asli lagi
untuk hal lainnya agar Anda tidak tergoda untuk menggunakan
kalimat dari penulis asli. Kalimat penulis asli hanya boleh digunakan
apabila kalimat itu dianggap penting karena merupakan kaidah,
kesimpulan, atau perumusan yang padat (Arief dan Noveria, 2013).

d. Ketentuan Tambahan
Setelah melakukan langkah ketiga, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan agar ringkasan itu diterima sebagai suatu
tulisan yang baik. Hal-hal yang dimaksud antara lain:
1) Susunlah ringkasan dalam kalimat tunggal daripada kalimat
majemuk.
2) Ringkaskanlah kalimat menjadi frasa, frasa menjadi kata. Jika
rangkaian gagasan panjang, gantilah dengan suatu gagasan sentral
saja.
3) Besarnya ringkasan tergantung jumlah alinea dan topik utama
yang akan dimasukkan dalam ringkasan. Ilustrasi, contoh,
deskripsi, dan sebagainya dapat dihilangkan, kecuali yang
dianggap penting (Arief dan Noveria, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 279


7. Teknik Berpidato
Teknik yang dapat dilakukan dalam menulis naskah pidato
antara lain:
a. Mengumpulkan Bahan
Menulis naskah pidato dapat dengan menggunakan hal-hal
yang telah diketahui dari persoalan yang akan dibicarakan atau
disampaikan. Jika hal ini dianggap kurang maka harus mencari
bahan-bahan tambahan berupa fakta, ilustrasi, cerita atau pokok-
pokok yang konkret untuk mengembangkan pidato (Arief dan
Noveria, 2013).

b. Membuat Kerangka Pidato


Kerangka dasar dapat disusun sebelum mencari bahan-bahan
dengan menentukan pokok-pokok yang akan dibicarakan, sedangkan
kerangka yang terperinci baru dapat disusun setelah bahan-bahan
selesai dikumpulkan. Setelah menentukan pokok-pokok utama,
kemudian disusun suatu perincian dengan tujuan bahwa bagian-
bagian yang terperinci yang dapat memperjelas pokok-pokok utama
tersebut. Inti dari kerangka pidato adalah pendahuluan, isi dan
penutup (Arief dan Noveria, 2013).
Contoh pidato sederhana:
Yang terhormat Bapak Kepala Sekolah, Bapak dan Ibu
Guru, serta teman-teman yang saya cintai. Pertama-tama marilah
kita ucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas segala rahmat-Nya pada hari ini kita dapat berkumpul
bersama guna mengadakan acara perpisahan sekolah. Para hadirin
yang saya hormati, izinkan saya mewakili teman-teman untuk
menyampaikan sambutan dalam rangka perpisahan ini. Selama
bersekolah, kami sebagai siswa sangat bangga dan berterima kasih
dengan semua guru yang telah mengajar di sekolah ini, yang
dengan sangat baik, tidak pernah pilih kasih dalam mendidik,
sangat sabar dan tidak kenal lelah dalam membimbing kami.
280 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Berkat jerih payah semua guru, kami pun dapat lulus dari SMP
ini. Mudah-mudahan semua guru yang bertugas mengajar di
sekolah ini dapat diberikan kesehatan yang baik dan diberi
kebahagiaan selalu.Juga untuk teman-teman semua. Sungguh
berat rasanya berpisah dengan kalian semua, karena kita sudah
bersama-sama 3 tahun ini. Tapi tetap saya juga mendoakan teman-
teman semua dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi,
baik ke SMA, ke SMK, ke STM maupun institusi pendidikan
lainnya untuk dapat mencapai cita-cita yang selama ini diangan-
angan kan. Akhir kata, saya mau mengucapkan sukses selalu buat
teman-teman, doa saya menyertai teman-teman semua (Arief dan
Noveria, 2013).

B. Hakikat Ceramah
1. Pengertian Ceramah
Ceramah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pidato
yang bertujuan untuk memberikan nasihat dan petunjuk-petunjuk.
Dengan melihat kepada pengertian di atas, ceramah dapat diartikan
sebagai bentuk dari dakwah, yaitu dakwah, bil-kalam yang berarti
penyampaian ajaran-ajaran atau nasihat dan mengajak seseorang
untuk berbuat baik melalui penyampaian lisan (Arief dan Noveria,
2013).

2. Macam-Macam Ceramah
Ada beberapa pembagian ceramah, yaitu:
a. Ceramah Umum
Ceramah umum merupakan pesan yang bertujuan memberikan
nasihat dan petunjuk-petunjuk untuk siapa saja, khalayak ramai,
masyarakat luas, atau lazim. Ceramah umum merupakan pidato yang
bertujuan untuk memberikan nasihat kepada khalayak umum atau
masyarakat luas. Ceramah umum bersifat menyeluruh. Tidak ada
batasan-batasan apapun baik dari audien yang tua maupun muda,
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 281
materinya yang ditentukan, dan disesuaikan dengan tema acara (Arief
dan Noveria, 2013).

b. Ceramah Khusus
Ceramah khusus berarti cermah yang bertujuan untuk
memberikan nasehat-nasehat kepada mad’u atau khalayak tertentu
dan juga bersifat khusus baik itu materi maupun yang lainnya.
Ceramah khusus memiliki batasan-batasan yang dilihat dari segi
audien yang diinginkan dan materi yang disesuaikan dengan keadaan.
Contohnya, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) seperti Isra’ Miraj,
maulid nabi, bulan puasa dll (Arief dan Noveria, 2013).

2. Komponen Ceramah
Komponen-komponen atau unsur-unsur ceramah adalah
sebagai berikut:
a. Da’i (Penceramah)
Seorang da’i atau penceramah harus mengetahui bahwa dirinya
adalah seorang da’i atau penceramah. Artinya, sebelum menjadi
penceramah, seseorang perlu mengetahui apa saja tugas penceramah.
(Arief dan Noveria, 2013).

b. Mad’u
Mad’u atau audien merupakan sebagai penerima nasihat-
nasihat. Audien merupakan bermacam-macam kelompok manusia
yang berbeda mulai dari segi intelektualitas, status ekonomi, status
sosial, pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain (Arief dan Noveria,
2013).

c. Materi
Penceramah harus dapat memiliki bahan yang tepat atau
menarik agar si mad’u tertarik, dan sesuai dengan pokok acara.
Materi yang akan disampaikan harus betul-betul dikuasai sehingga

282 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


tampil dengan penuh keyakinan, tidak ragu, dan tidak menghilangkan
konsentrasi dirinya sendiri. Selain itu, materi harus disusun secara
sisitematis, sesuai judul, isi, dan acara. Ketiganya, betul-betul
mempunyai hubungan sehingga pembahasan sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan (Arief dan Noveria, 2013).

3. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah sebuah metode yang bertujuan
menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada
audien yang pada umumnya mengikuti secara pasif (Syah, 2000).
Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang
paling ekonomis untuk menyampaikan informasi. Metode ceramah
paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan
yang sesuai dengan jangkauan (Arief dan Noveria, 2013).

C. Hakikat Diskusi
1. Pengertian Diskusi
Diskusi berasal dari bahasa latin yaitu discutio atau discusium
yang artinya bertukar pikiran. Akan tetapi, belum tentu setiap
kegiatan bertukar pikiran dapat dikatakan berdiskusi. Diskusi pada
dasarnya merupakan suatu bentuk tukar pikiran yang teratur dan
terarah, baik dalam kelompok kecil atau besar, dengan tujuan untuk
mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama
mengenai suatu masalah. Dengan demikian, bertukar pikiran baru
dapat dikatakan berdiskusi apabila:
a. Ada masalah yang dibicarakan
b. Ada seseorang yang bertindak sebagai pemimpin diskusi
c. Ada peserta sebagai anggota diskusi
d. Setiap anggota mengemukakan pendapatnya dengan teratur
e. Kalau ada kesimpulan atau keputusan hal itu disetujui oleh
semua anggota

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 283


Dengan memerhatikan syarat-syarat di atas, ternyata tidak
semua bentuk bertukar pikiran dapat digolongkan ke dalam diskusi.
Diskusi yang sifatnya melibatkan sejumlah massa sehingga terjadi
interaksi massa, bentuknya dapat bermacam-macam antara lain:
diskusi kelompok, seminar, dan sebagainya. Diskusi merupakan
suatu sarana terbaik untuk membicarakan suatu masalah. Dengan
berdiskusi, kita dapat mencari, menemukan pendapat, dan
memecahkan masalah secara bersama. Pendapat-pendapat pribadi
dalam memecahkan suatu masalah dapat dipergunakan atau dijadikan
sebagai pendapat bersama. Dalam diskusi, terjadi pembicaraan dua
arah. Pembicaraan itu dilakukan dengan tatap muka. Dengan
demikian, diskusi dapat diartikan sebagai proses pelibatan dua atau
lebih individu yang berinteraksi secara verbal dan tatap muka dalam
bertukar pikiran untuk memahami suatu masalah, menemukan sebab,
dan mencarikan pemecahannya (Arief dan Noveria, 2013).
Diskusi merupakan kegiatan melibatkan individu dalam
berinteraksi secara verbal. Interaksi verbal itu dilaksanakan dalam
situasi tatap muka, dan interaksi terjadi secara terpimpin dan terarah
untuk menuju suatu tujuan yang telah digariskan dan ditetapkan. Di
samping itu, diskusi juga berarti memberikan jawaban atas
pertanyaan atau pembicaraan serius tentang suatu masalah objektif.
Di dalam diskusi kelompok, pada umumnya dikemukakan banyak
pikiran. Suatu diskusi tidak harus menghasilkan keputusan. Namun,
sekurang-kurangnya pada akhir diskusi, para pendengar atau pemirsa
memiliki pandangan dan pengetahuan yang lebih jelas mengenai
masalah yang didiskusikan. Oleh sebab itu, diskusi mempunyai
hubungan yang erat dengan proses pembentukan pikiran atau
pendapat (Arief dan Noveria, 2013).

284 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


2. Hambatan dalam Berdiskusi
Dalam diskusi sering juga terjadi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaannya. Biasanya hambatan-hambatan itu bisa diatasi.
Hambatan-hambatan dalam diskusi ini antara lain sebagai berikut:
a. Sikap agresif dan reaksioner, artinya menolak ide atau pendapat
seseorang tanpa memberikan argumentasi yang dapat dipahami,
lebih-lebih lagi bertentangan dengan ide atau usul yang disadari
memang lemah. Sikap reaksioner dan agresif ini sebetulnya
bertentangan dengan prinsip komunikasi dan toleransi, karena
mengarah kepada sikap ingin menguasai orang lain.
b. Sikap menutup diri dan tidak ingin menghargai pendapat orang
lain, atau takut mengeluarkan pendapat di muka umum. Peserta
ini biasanya lebih suka diam, meskipun kadang-kadang ada yang
ingin disampaikan. Penyebabnya, mungkin peserta ini takut
salah, takut ditertawakan, dan tidak percaya diri. Bahkan, tidak
mau mengomentari pendapat orang lain, sehingga terkesan
seperti tidak menghargai pendapat orang lain. hal ini akan
menghambat keberhasilan suatu diskusi.
c. Berbicara terlalu banyak dan tidak menuju sasaran. Ada peserta
diskusi yang diberi kesempatan berbicara oleh pemandu, ia
cenderung berbicara berbelit-belit. Bahkan, terkesan tidak
berurutan, lama, dan membosankan. Akibatnya, sulit dipahami
dan membuang waktu diskusi.
d. Mementingkan pribadi dan melupakan kepentingan bersama.
Berdiskusi bertujuan untuk memecahkan suatu masalah bagi
kepentingan bersama. Kadang-kadang ada peserta yang sengaja
berbicara untuk memperlihatkan pada peserta lain bahwa ia
orang pandai, dan cenderung memonopoli kesempatan untuk
kepentingan pribadinya, sehingga kepentingan bersama
dinomorduakan.
e. Berbisik-bisik dengan orang lain dan menilai orang yang baru
berbicara. Kadang-kadang ada peserta diskusi yang suka
Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 285
memperhatikan siapa saja dalam ruang diskusi, kemudian ada
yang terlihat aneh dan lucu, diberitahukan atau dibisikannya
pada teman di sebelahnya. Kebiasaan ini dapat membuat
kegaduhan atau merusak konsentrasi peserta untuk mengikuti
diskusi dengan baik. Sekaligus, cara ini menghambat kelancaran
diskusi.
f. Bersikap tidak mau tahu. Peserta ini datang pada acara diskusi
hanya sekadar untuk duduk saja karena terkesan seperti tidak
peduli dan tidak acuh dengan diskusi yang sedang berlangsung.
Penyebab dari keadaan ini karna pembicara tidak mengerti
dengan topik yang sedang didiskusikan, atau orang ini
mempunyai sikap acuh (Arief dan Noveria, 2013).

3. Jenis-Jenis Diskusi
Diskusi melibatkan sejumlah massa sehingga terjadi interaksi
massa. Ada beberapa bentuk diskusi yang sering dijumpai dalam
praktik, antara lain sebagai berikut ini.
a. Diskusi Kelompok (Buzz Group)
Diskusi kelompok merupakan bentuk tukar pikiran dalam
musyawarah. Diskusi ini sangat tepat dilaksanakan jika pesertanya
cukup banyak. Masalah yang didiskusikan adalah masalah yang
menyangkut kepentingan bersama. Jumlah peserta terdiri atas 5
sampai 7 orang dan dipimpin oleh seorang ketua. Masing-masing
menyumbangkan dan menilai pendapat yang diajukan dalam diskusi
itu. Buah pikiran dan pendapat yang diajukan dipecahkan bersama-
sama, sehingga terbatas pada satu masalah. Diskusi kelompok
biasanya bertujuan untuk melatih kemampuan berbicara siswa atau
mahasiswa (Arief dan Noveria, 2013). Sebagai latihan permulaan
dalam berbicara diskusi memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
1) Melatih siswa atau mahasiswa berpikir secara logis karena
dalam diskusi ada proses adu argumen;
2) Argumentasi yang dikemukakan dinilai anggota lain, untuk
286 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
meningkatkan kemampuan berpikir;
3) Umpan balik dapat diterima langsung, sehingga dapat
memperbaiki cara berbicara;
4) Peserta yang pasif dapat dirangsang oleh pemandu atau peserta
lain; dan
5) Para peserta diskusi turut mempertimbangkan gagasan-gagasan.

b. Diskusi Panel
Diskusi ini pada prinsipnya melibatkan beberapa panelis yang
mempunyai keahlian dalam bidang masing-masing dan bersepakat
mengutarakan pendapat mengenai suatu masalah untuk kepentingan
pendengar. Panel dipimpin oleh seorang pemandu (moderator). Para
panelis tidak selalu satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat lebih
merangsang para pendengar. Dengan mendengarkan beberapa
pendapat para ahli, pendengar akan dibimbing ke arah berpikir secara
kritis dan melatih kemampuan menganalisis masalah. Keberhasilan
diskusi panel sangat tergantung pada kelincahan pemandu. Jika
semua panelis selesai berbicara, pemandu memberikan kesempatan
kepada pendengar (forum) untuk memberikan tanggapan, maka
diskusi ini berubah nama menjadi diskusi panel forum (Arief dan
Noveria, 2013).

c. Ramu Pendapat (Brainstorming)


Bentuk ini dapat dipakai untuk membicarakan segala masalah.
Brainstorming adalah aktivitas dari sekelompok orang yang
memproduksi atau menciptakan gagasan yang baru sebanyak-
banyaknya. Brainstorming dilaksanakan apabila:
1) Ingin menentukan informasi macam apa yang diperlukan, dan
bagaimana mendapatkan informasi itu;
2) Ingin menentukan kriteria yang tepat untuk menguji tepat
tidaknya sebuah gagasan;
3) Ingin menentukan gagasan mana yang mungkin dilakukan; dan

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 287


4) Ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan keputusan setepat-
tepatnya.
Dengan brainstorming, diharapkan tercetus gagasan atau kritik
sebanyakbanyaknya. Semakin banyak gagasan atau kritik, maka akan
semakin baik. Peserta berlatih menggabungkan dan meningkatkan
gagasan-gagasan. Bentuk ini sangat berguna bagi orang yang sudah
berpengalaman dalam meningkatkan keterampilannya berdiskusi
sehingga yang belum berpengalaman dapat mencontoh cara
berdiskusi yang baik. Jika kegiatan brainstorming mendadak berhenti
karena kehabisan gagasan, maka kewajiban pemandu untuk
memancing dengan pertanyaan-pertanyaan terhadap gagasan yang
sudah disampaikan (Arief dan Noveria, 2013).

d. Seminar
Seminar merupakan suatu pertemuan untuk membahas suatu
masalah tertentu dengan tanggapan melalui suatu diskusi. Masalah
yang dibahas dalam seminar mempunyai ruang lingkup yang terbatas
dan tertentu. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan jalan keluar dari
suatu masalah. Oleh sebab itu, peserta seminar terdiri dari orang-
orang yang berkecimpung dalam masalah tersebut, sehingga dapat
memberikan pendapat untuk memecahkan masalah. Seminar harus
diakhiri dengan kesimpulan atau keputusan, baik berbentuk usul,
saran, resolusi atau rekomendasi. Biasanya yang menjadi pemakalah
atau pemrasaran dalam seminar adalah orang yang dianggap ahli
tentang masalah yang didiskusikan (Arief dan Noveria, 2013).

e. Simposium
Simposium hampir sama dengan panel. Pemrasaran
menyampaikan makalah atau pembicaraan tentang suatu masalah
yang disorot dari sudut keahlian masing-masing. Pemrasaran dalam
simposium ini adalah orang yang ahli. Masalah yang dibahas
mempunyai ruang lingkup yang luas, sehingga perlu ditinjau dari

288 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


berbagai aspek ilmu untuk perbandingan. Para peserta dapat
mengemukakan pendapatnya secara langsung kepada pemrasaran
melalui pemandu. Selain itu, dalam simposium tidak diambil suatu
keputusan (Arief dan Noveria, 2013).

f. Kolokium
Kolokium adalah sejenis diskusi yang proses pelaksanaannya
tidak dimulai dengan membacakan atau menyajikan makalah oleh
pemrasaran atau pembicara, dan tidak dimulai dengan ceramah oleh
pemrasaran. Dalam kolokium, diskusi langsung dimulai dengan
tanya-jawab oleh peserta kepada pemrasaran sesuai dengan bidang
keahlian atau kepakaran pemrasaran tersebut. Pemrasaran dan
kolokium itu adalah ahli atau pakar di bidangnya, seperti psikolog,
antropolog, pengamat politik, kriminolog, dan sebagainya (Arief dan
Noveria, 2013).

g. Lokakarya
Istilah lain lokakarya adalah workshop. Masalah yang dibahas
mempunyai ruang lingkup tertentu dan dibahas secara mendalam.
Pesertanya adalah orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.
Dalam lokakarya masalah dibahas melalui tanggapan atau prasaran,
serta diskusi secara mendalam. Sebaiknya, diikuti dengan
demonstrasi atau peragaan. Biasanya, lokakarya diikuti oleh
sekelompok orang yang bergerak dalam lingkungan kerja yang
sejenis atau seprofesi. Lokakarya biasanya diadakan apabila :
1) Ingin mengevaluasi suatu proyek yang sudah dilaksanakan
2) Ingin mengadakan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat
3) Untuk bertukar pengalaman dengan tujuan dan meningkatkan
kemampuan kerja (Arief dan Noveria, 2013).

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 289


h. Mimbar Film
Mimbar film adalah sejenis diskusi yang biasanya diadakan
untuk menentukan filin-film yang dibenarkan untuk beredar. Ada
beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain: (1) film yang
akan dijadikan bahan diskusi harus memenuhi syarat, baik dari isi
maupun nilainya; (2) semua pengikut terlebih dahulu harus mengerti
tentang film yang dipertunjukkan; serta (3) pertanyaan dalam diskusi
harus jelas dan konkret. Peserta diskusi ini terdiri atas pimpinan
diskusi, penulis naskah cerita, sutradara, anggota sensor yang telah
ditunjuk, bintang utama, serta kalangan pengamat atau dari badan
sensor. Selain itu, film yang dibicarakan hendaknya juga disajikan,
baik berupa penggalan-penggalan, maupun secara utuh (Arief dan
Noveria, 2013).

i. Debat
Pada hakikatnya, debat adalah suatu kegiatan saling adu
argumentasi antarpribadi atau antarkelompok yang mencoba
menjatuhkan lawannya supaya pihaknya berada pada posisi yang
benar. Debat adalah diskusi yang terdiri atas dua kelompok yang
saling bertentangan pendapat. Kelompok pertama berpendapat positif
(proside) dan kelompok kedua kelompok berdampak negatif (contra-
side, mengenai suatu masalah yang diperdebatkan.
Debat dimulai dengan meneliti pendapat dan posisi
argumentatif lawan bicara. Setelah itu, berkonsentrasi pada titik
lemah argumentasi lawan. Debat ini ada 2, yaitu debat Inggris dan
debat Amerika. Debat Inggris diawali dengan pembicaraan dari 2
orang juru bicara masing-masing kelompok secara bergantian
menyatakan pendapatnya, setelah itu diikuti dengan diskusi yang
lain. Penentuan pemenang dalam debat ini dilakakukan dengan
pemungutan suara. Sebaliknya, debat Amerika, pelaksanaannya
dibagi atas 2 ronde. Setelah kedua ronde selesai, pemenang debat
ditentukan oleh juri (Arief dan Noveria, 2013).

290 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


DAFTAR RUJUKAN

Akhadiah, Sabarti, dkk. 1990. Pembinaan Kemampuan Menulis


Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Linguistik Umum: Suatu Pengantar.


Bandung: Angkasa.

Arief, Ermawati dan Noveria, Ena. 2013. Perangkat Pembelajaran


Mata Kuliah Retorika. Bahan Ajar Perkuliahan. Padang: FBS
UNP.

Arifin, Zaenal dan S. Arman Tasai. 2008. Cermat berbahasa


Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

Atmazaki. 2007. Kiat-kiat Mengarang dan Menyunting. Padang:


UNP Press.

Badudu, Yus. 1983. Inilah Bahasa Indonesia yang benar. Jakarta:


Gramedia.

Badudu, Yus 1986. Inilah Bahasa Indonesia yang benar II. Jakarta:
Gramedia.

Badudu, Yus 1989a. Inilah Bahasa Indonesia yang benar. Jakarta:


Gramedia.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia: Pendekatan


Proses. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2010. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar


Pemahaman Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 291


Finoza, Lamuddin. 2008. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Diksi.

Gani, Erizal. 1995. Menulis Karya Ilmiah, Teori, dan Terapan.


Padang: FPBS IKIP.

Gani, Erizal. 1999. Pembinaan Kemampuan Menulis di Perguruan


Tinggi. Padang: UNP.

Gani, Erizal. 2012. Bahasa Karya Tulis. Padang: UNP Press.

Gani, Erizal. 2013. Menulis Karya Ilmiah: Teori dan Terapan.


Padang: UNP Press.

Gani, Erizal dan Zulfikarni. 2013. Perangkat Pembelajaran Menulis


Karya Ilmiah. Bahan Ajar Perkuliahan. Padang: FBS UNP.

Hs. Widjono. 2008. Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Kemendikbud. 2015. Permendikbud No. 50 tentang Ejaan bahasa


Indonesia. Jakarta: Kemendikbud RI.
Kencono, Djoko. 1997. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta:
FSUI.

Keraf, Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah.

Keraf, Gorys. 1983a. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia.

Keraf, Gorys. 1983b. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Keraf, Gorys.1994. Komposisi. Flores: Nusa Indah.

Lumintaintang, Yayah B. Mugnisjah. 1996. Petunjuk Praktis


Pemakaian Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar bagi
Pengonsep Surat Dinas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

292 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi


Maksan, Marjusman. 1983. Pedoman Menyusun Karya Tulis Ilmiah.
Padang: IKIP Padang.

Maksan, Marjusman. 1994. Ilmu Bahasa. Padang: IKIP Padang.

Manaf, Ngusman Abdul. 1999. Sintaksis Bahasa Indonesia. Padang:


UNP.
Muliastuti, Liliana dan Krisanjaya. 2009. Linguistik Umum. Jakatra:
Universitas Terbuka.

Nababan, PWJ. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Depdikbud.

Nadar, F. X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nadeak, Wilson. 1994. Penulis yang Sukses. Jakarta: Pustaka


Wina.

Nugroho, Adi. 1996. Surat Menyurat. Surabaya: Indah.

Oka, IGN. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Parera, J.D. 1980. Kalimat Efektif. Pengajaran Bahasa dan Sastra.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Pateda, Mansoer. 1990. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung :


Angkasa.

Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung:


Angkasa

Prayitno, Harun Joko dkk. 2001. Pembudayaan Penulisan Karya


Ilmiah. Surakarta: Muhammadiayah university Press.

Pusat Bahasa. 2004. Pedoman Umum Pembentukan Istilah.


Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 293


Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: Erlangga.

Rasyid, Yulianti dan Gani, Erizal. 2013. Perangkat pembelajaran


dasar-dasar Komposisi. Bahan Ajar Perkuliahan. Padang: FBS
UNP.

Ratna, Ellya. 2013. Perangkat Pembelajaran Mata Kuliah pengantar


Ilmu bahasa. Bahan Ajar Perkuliahan. Padang: FBS UNP.

Sakri, Adjat. 1992. Bangun Paragraf. Bandung: ITB.

Sakri, Adjat. 1994a. Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung:


ITB.

Semi. M. Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.


Semi, M.Atar. 1992. Tuntunan Menulis Efektif. Padang: FPBS IKIP
Padang.

Semi, M. Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya.


Sikumbang, A.R. 1979. Kalimat Efektif. Jakarta: Gramedia.

Soedjito dan Mansur Hasan. 1991. Keterampilan Menulis


Paragraf. Bandung: Rosda Karya.

Sudarsa, Caca dkk. 1992. Surat Menyurat dalam Bahasa


Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.

Sudjana, Nana. 1988. Tuntutan Penulisan Karya Ilmiah. Bandung:


Sinar Baru.

Sudjiman, Panuti dan Sugono, Dendy. 1998. Petunjuk Penulisan


Karya Ilmiah. Jakarta: Kelompok 24 Pengajar Bahasa.

Sumantri, Maman, dkk. 1985. Pedoman Surat Menyurat. Jakarta:


Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
294 Ridha Hasnul Ulya, Erni, dan Herwandi
Sumantri, Yuyun Suria. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Sinar Baru.

Sunaryo, Adi, 1996. Acuan Penggunaan Bahasa Indonesia yang


Baik dan Benar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Suparno dan Yunus. 2003. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta:


Universitas Terbuka.
Suryaman, Ukun. 1998. Dasar-Dasar Bahasa Indonesia Baku.
Bandung: Alumni.
Sutawijaya, H. Alam, dkk. 1997. Morfologi Bahasa Indonesia.
Jakarta: Depdikbud.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis: Sebagai Suatu Keterampilan


Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung:


Penerbit Angkasa.

Verhaar, JWM. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Ulya, Ridha Hasnul dan Jaya, Suhatman. 2015. Ragangan Bahasa


Indonesia. Padang: Sukabina Press.

Wardani, I.G.A.K. 2007. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta:


Universitas Terbuka.

Widyamastaya, A. 1978. Kreatif Mengarang. Yogyakarta:


Kanisius.

Bahasa Indonesia: Dua dalam Satu Dunia 295

Anda mungkin juga menyukai