Anda di halaman 1dari 12

BAHASA DAN LINGKUNGAN ALAM: TOPONIMI

KABUPATEN CIANJUR

M. Rifki Rizaldin1, Nunuy Nurjanah2, Retty Isnéndés3


Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: rifki1996@upi.edu

ABSTRAK

Tulisan ini membahas hubungan bahasa dengan lingkungan alam (the ecology of language). Tujuan
penulisan ini adalah menjelaskan penamaan tempat yang berlatar belakang lingkungan flora, fauna, dan
keadaan tempat di Kabupaten Cianjur. Hasil pembahasan adalah memperlihatkan hubungan erat antara
kondisi alam, terutama flora, fauna, dan lingkungan dengan kelompok manusia yang memancar dalam
kekayaan perbendaharaan (kata) dan arti (semantis). Dari 10 nama tempat yang dibahas, secara umum
terdiri dari satu dan dua kata. Kata-kata tersebut mengandung arti secara kata, morfologis, dan sematik.

Kata Kunci: Bahasa lingkungan alam

THE ECOLOGY OF LANGUAGE:


CIANJUR REGENCY TOPONYMY

ABSTRACT

This paper discusses the relationship of language with the natural environment (the ecology of
language). The purpose of this paper is to explain the naming of places with background in the
environment of flora, fauna, and place conditions in Cianjur Regency. The result of the discussion is
showing the close relationship between natural conditions, especially flora, fauna, and the environment
with human groups that radiate in treasury wealth (words) and meanings (semantics). From the 10 place
names are discussed, they generally consist of one and two words. These words contain meaning in
words, morphological, and semantic.

Keyword: The Ecology of Language

PENDAHULUAN

1
Penulis utama
2
Penulis penanggung jawab I
3
Penulis penanggung jawab II

1
Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan. bahasa dipengaruhi oleh kebudayaan yang berlaku
di daerah tempat bahasa itu digunakan. Hal ini berarti kehidupan berbahasa tidak lepas dari lingkungan
tempat hidupnya sehingga tidak diragukan lagi bahwa bahasa dan lingkungan memiliki hubungan yang
erat. Keduanya memiliki hubungan timbal-balik, yaitu bahasa mencerminkan lingkungan dan lingkungan
mencerminkan bahasa (Tangkas, 2013:384).
Masyarakat Sunda merupakan salah satu masyarakat yang memiliki perhatian terhadap lingkungan.
Di beberapa tempat, masyakarat lokal mengelola lingkungan dengan baik dengan tunduk pada
kapamalian (pertabuan) sehingga kualitas lingkungan hidup masyarakat setempat pun terjaga. Banyak
ekspresi kebahasaan yang memiliki nilai filosofi tinggi berkaitan dengan lingkungan. Misalnya, dalam
masyarakat Sunda dikenal peribahasa herang caina, beunang laukna ’jernih airnya, ikannya dapat’.
Peribahasa tersebut memperlihatkan masyarakat yang. dalam kesehariannya berorientasi dan dekat
dengan lingkungan alam yang menyangkut air dan ikan. Air dalam pemahaman di sini tidak hanya kolam,
tetapi juga sungai dan lainnya. Bagaimana mungkin akan terdapat ikan di sungai jika habitat tempat ikan
itu hidup (sungai), sudah tercemar limbah industri. Penggalian cara pandang masyarakat terhadap alam
melalui nilai budaya tentu menjadi penting. Pemahaman konservasi tanpa dilandasi pemahaman budaya
lokal tidak akan berhasil. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai budaya seperti ini perlu dilakukan agar
masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan (konservasi), tetapi menjadi subjek pemeliharaan
lingkungan alam.
Masyarakat yang masih jauh dari peradaban kota sebagian masih memegang kepercayaan yang
kuat dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam masyarakat Baduy, misalnya, konsep tentang hutan titipan
dapat dipandang sebagai upaya pelestarian alam yang melibatkan pemahamanmasyarakat setempat akan
pentingnya arti lingkungan. Masyarakat Baduy tidak berani mengganggu hutan itu, dan andaikata tidak
memeliharanya, mereka merasa dosa. Dengan demikian, konsep keselarasan alam tetap terjaga. Di hutan
Baduy diduga masih banyak tumbuhan yang terkonservasi dengan baik. Hal inilah tentu yang seyogianya
menjadi fokus perhatian semua pihak, terlebih lagi masyarakat daerah yang memiliki kekaayaan hayati di
wilayahnya. Oleh karena itu, pengkajian dan penanggulangan yang berkaitan dengannya mendesak
dilakukan. Seakan berpacu dengan waktu, pengaruh globalisasi yang sudah merasuk ke berbagai sendi
kehidupan di mana pun tidak boleh dianggap sepele karena lambat laun akan mengubah tatanan hidup
masyarakat, termasuk kearifan berpikir dan bertindak terhadap lingkungan alamnya. Bahkan, Hamzah
(2013: 6) lebih tajam menyebut bahwa kita tengah bunuh diri pelan-pelan secara ekologis. Penamaan
tempat di suatu daerah atau negara dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain, dari cerita rakyat
(legenda), segi historis, dan segi linguistik. Legenda merupakan cerita rakyat yang menceritakan tokoh
terkenal pada masanya atau terjadinya alam, manusia, hewan, dan tumbuhan. Legenda tempat banyak
dijumpai di berbagai suku bangsa di Indonesia. Di samping dilihat dari segi legenda, toponimi atau sistem
penamaan daerah Sunda, dapat pula dilihat dari berbagai versi dan cara, antara lain, dari segi linguistik
dan historis.
Mencermati aspek budaya ini, keadaan alam terutama, menjadi bahan yang sangat berharga
dalam pembentukan kata dan bahasa. Di tatar Sunda terutama, alam memancar dalam pandangan hidup
orang Sunda (Warnaen, 1987). Bahkan dalam penelitian mengenai flora Sunda (Isnendes, 2009-2011)
dicatat nama-nama flora Sunda sebanyak 1131 data dari enam sumber tertulis dan dari folklor. Demikian
juga dari penelitian K. Heyne mengenai Tumbuhan Berguna di Indonesia, dari sekitar 3000 nama
tumbuhan tersebut, hampir 2/3 nya adalah nama-nama yang ditemukannya di Tatar Sunda. Hal ini
memperlihatkan dua kepastian, yang pertama, pemupuan data Heyne lebih lama di Jawa Barat dan yang
kedua pengetahuan orang Sunda tentang alam sekitarnya sangat kaya dan dalam.
Keberadaan flora, fauna, dan lingkungan dalam bahasa dan budaya Sunda mencerminkan tingkat
pengetahuan dan pemahaman (kognisi), perasaan (apeksi), pengolahan (motoris), dan pemanfaatan
(aplikasi) masyarakat Sunda terhadap jenis flora tersebut. Hal itu menunjukkan kekayaan batin orang
Sunda dalam mencerap alam sekitarnya (fisik), mengolahnya dan memancarkannya kembali menjadi nilai
yang diyakini dalam kehidupannya (nonfisik). Kekayaan ini perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Secara fisiografi, wilayah tatar Sunda berwujud dataran rendah alluvial di bagian utara dan
pegunungan di bagian selatan. Perbandingan antara dataran rendah dan bagian pegunungan adalah 1:3. Ini

2
membuktikan bahawa alam Jawa Barat lebih luas bagian pegunungan daripada bagian dataran rendahnya.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa Barat, yaitu sekira 30 gunung.
Di sela-sela kaki gunung dan bukit, hutan terhampar dan sungai mengalir. Jumlah DAS atau
daerah aliran sungai di Jawa Barat mencapai 51 aliran. Keindahannya menyimpan aneka macam
kekayaan tambang, mineral, dan hayati (flora dan fauna) (Ekadjati, 1995: 20).
Keadaan alam yang demikian tersebut menjadikan bahasa Sunda sangat dekat dengan alam fisik
di sekitarnya.Di antaranya pemilihan nama-nama tempat yang diterapkan pada satu wilayah atau kondisi
alam tertentu memperlihatkan betapa dekatnya hubungan manusia Sunda dengan ekologinya. Karena itu,
dalam tulisan ini akan diangkatbagaimana interaksi manusia Sunda dengan lingkungan flora, fauna, dan
keadaan tempat dimana manusia Sunda tinggal.
Kebudayaan suatu masyarakat pada hakikatnya tidak diam (statis) tetapi terus berubah (dinamis),
hal ini dikarenakan terjadinya pergeseran nilai-nilai pada kehidupan. Bergesernya nilai-nilai tersebut
terjadi karena pengaruh zaman yang terus berubah seperti berubahnya teknologi informatika, sistem
ekonomi, gaya hidup dan juga globalisasi. Perubahan tersebut membawa dampak positif dan negatif,
salah satu aspek yang terdampak adalah toponimi. Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan
interaksi bahasa manusia Sunda dan lingkunganna dengan menjelaskan penamaan tempat yang berlatar
belakang lingkungan flora, fauna, dan keadaan tempat dimana mereka tinggal.

TEORI & METODOLOGI


Teori
Kata, Morfologi, dan Semantik

Kata. Kata adalah bentuk bebas yang paling kecil yaitu, kesatuan terkecil yang dapat
diungcapkan secara berdikasi (Bloomflied dalam Tarigan 1987: 6). Ramlan (2001: 33) mengemukakan
bahwa “kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan satuan gramatik”. Sebagai satuan
fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem.
Misalnya kata belajar terdiri dari tiga suku ialah be, la, dan jar. Suku be- terdiri dari dua fonem, suku la-
terdiri dari dua fonem, dan jar- terdiri dari tiga fonem. Jadi kata belajar terdiri dari tujuh fonem, ialah
/b,e,l,a,j,a,r/.
Morfologi. Morfologi. Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari morfem dan
kombinasi-kombinasinya. Selain itu, diartikan sebagai bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata
dan bagian-bagian kata, yakni morfem (Kridalaksana: 1982:111). Ciri-ciri dari dari perubahan morfologi
ini adalah: 1) adanya perubahan bentuk dari asal ke bentuk luas; 2) biasanya dibarengi dengan perubahan
kategori kata; 3) perubahan arti katamenghasilkan arti gramatikal; 4) hasil perubahan itu adalah kata luas.
Proses morfologis mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
1) fungsi gamatikal (fungsi), adalah fungsi yang berhubungan dengan berubahnya bentuk gramatik dan
menghasilkankategorianyar; misalnya, katatani (kata asal dan kata kerja)menjadi patani (kata
berimbuhan dan kata kecap kerja);
2) fungsi semantis (makna), adalah fungsi yang berhubungan dengan berubahnya arti bentuk gramatik
dan menghasilkan arti baru (arti gramatikal); misalnya dalam bahasa Sunda perubahan katatani
(melakukan) menjadi katapatani (pelaku).
Proses morfologis terbagi tiga macam:
1) proses afiksasi, yaitu proses membangun katadengan cara menambahkan imbuhan (afiks), hasilnya
adalah kata turunan;
2) proses reduplikasi, adalah proses membangun kata kompleksdengan cara menyebut dua kali atau
lebih dari bentuk dasarnya, hasilnya adalah kataulang;
3) proses komposisi, adalah prosesmembangun kata kompleks dengan cara menggabungkan dua kecap
atau lebih, hasilnya adalah kata majemuk.
Proses morfologis dalam bahasa Sunda bisa dibagankan sebagai berikut.

Bagan Bentuk Kata

3
Kata Asal
(dasar)
Kata Ulang
Bentuk kata Kata Jadian/Turunan

KataMajemuk
Kata Kompleks
(luas)

Kata dasar atau morfem bebas adalah morfem yang mempunyai potensi berdiri sendiri sebagai
kata dan dapat langsung membentuk kalimat. Contoh katadasar: saya (b. Sunda: kuring), akan (b. Sunda:
rek), makan (b. Sunda dahar), nasi (b. Sunda sangu) (Sudaryat, 1991:41).
Karena yang dibahasa adalah nama tempat dalam bahasa Sunda, maka akan dilihat juga dari
sudut pandang bahasa Sunda. Kata dasar dalam bahasa Sunda, dilihat dari jumlah suku katanya
(engang)dibagi menjadi lima jenis:
1) kata dasar ekaengang (satu suku kata), contoh: ah, blug, tuh, jung, dll;
2) kata dasar dwiengang (dua suku kata), contoh: tanjung, darat, muncang,dll;
3) kata dasar triengang (tiga suku kata), contoh: palabuhan,mumunggang, parongpong, katapang, dll;
4) kata dasar caturengang (empat suku kata), contoh nama tempat:bojongkaso, keboncau, kebonjeruk,
sukabumi, jrrd; jeung
5) kat adasar pancaengang (lima suku kata), contoh nama tempat:tanjakanemen, mandalakasih, jrrd.
Kata Kompleks adalah kata yang dibentuk oleh sekurang-kurangnya dua morfem, bersifatna
anekamorfem. Kata kompleks dibagi menjadi tigajenis, yaitu: jadian/turunan, ulang, dan majemuk.
KataJadian/Turunan adalah kata dari hasil proses afiksasi, contoh: parongpong dari pong +
-ar- + pong → parongpong. Imbuhan dalama bahasa Sunda ditabelkan demikian.

Tabel Bentuk Kata Jadian/Turunan

IMBUHAN
Depan Tengah Belakang Barung
ba- -ar- -an ka- -an
barang- -in- -eun kapi-
di- -um- -ing pa- -an
ka- -keung pang- -keun
N- -man/wan pang- -na
pa- pi- -an
pang- pi- -eun
pada- pika-
para- pika- -eun
per- sa- -an
pi- sa- -eun
pra- sa- -na
sa- ting- -ar
sang-
si-
ti-
ting-
(Sudaryat, 1991:42)

Kata Ulang adalah kata yang diulang, sebagian, seluruhnya, atau diulang tiga kali, contoh: pasir-
pasir, gugunungan, blag-blig-blug, dsb.Menurut Alam Sutawijaya dalam Rosmana (2003:34), secara

4
garis besar, kata ulang dalam bahasa Sunda adalah (1) dwilingga, (2) dwipurwa, (3) dwimadya, jeung (4)
trilingga.

Bagan Kata Ulang Bahasa Sunda

Dwimurni
Dwilingga Dwireka
Dwireka binarung rarangken

Dwipurwa tanrarangken
Dwipurwa
Dwipurwa binarung rarangken

Dwimadyatanrarangken
Dwimadya
Dwimadya binarung rarangken
Trilingga

Kata Majemuk adalah kata kompleks yang mengandung arti mandiri atauberbedadengan unsur-
unsur pembentuknya (Sudaryat, 1991:57), menurut Rosmana (2003:51), kata majemuk adalah katayang
dihasilkan karena bertautnya dua morfem atau lebih yang bisa membentuk arti dan fungsi. Ada dua jenis
kata majemuk menurut tipe dan persamaan distribusinya dengan salah satu atau seluruh unsurnya, yaitu:
1) kata majemuk endosentris, yaitu kata majemuk yang distribusinya mempunyai fungsi yang sama
dengan salah satu atau seluruh unsurna. Contoh: lebak siuh (Lebaksiuh), sukabumi (Sukabumi), pasir
hayam (pasirhayam)dsb;
2) kata majemuk eksosentris, yaitu kata majemuk yang distribusinya tidak mempunyai fungsi yang sama
dengan salah satu atau seluruh unsurna. Jadi, berupa rakitan dalit, contohna: gede hulu, dsb
(Sudaryat, 1991:58-59).
Jenis Kata. Jenis kata atau kelas kata menurut Kridalaksana (1982:80) adalah golongan kata yang
mempunyai kesamaan dalam perilaku formalnya, klasifikasi atas nomina, adjektiva, dsb (1982:80).
Menurut Sudaryat (1991:64) jenis kata adalah pasangan kata berdasarkan sifat, fungsi, dan perilaku
formal dalam kalimat.
Jenis kata dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) kata utama, yaitu sejumlah kata yang mempunyai arti leksikal, bersifat peka terhadap alam, peka
budaya, peka tempat, dan umumnya bisa berubah bentuk; kata utaman ini meliputi kata benda
(nomina), kata kerja (verba), kecap sifat (adjektiva), dan katap bilangan (numeria);
2) kata bantu, yaitu sejumlah katayang berfungsi untuk menunjukkan hubungan ketatabahasaan
(gramatikal) atauberfungsi menjelaskan kalimat-kalimat dan unsur-unsurnya; kata bantu meliputi
adverbial, preposisi, konjungsi, dan interjeksi (Sudaryat, 1991:65).

Bagan Jenis Kata

5
nomina
verba
Kata utama adjektiva
numeria
Jenis kata
Adverbial
Kata bantu preposisi
konjungsi
interjeksi

Semantik. Etimologis kata semantik berasal dari bahasa Yunani semantickos, artinya adalah
‘penting atau ngandung arti’, yang berasal dari kata sema ‘tanda’. Sematik adalah (1) bagian dari struktur
bahasa yang berhubungan dengan makna dan ungkapan dan juga struktur makna suatu wicara, (2) sistem
dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya (Kridalaksana, 1982:
149). Semantik diartikan juga sebagai penelaahan terhadap lambang-lambang atau tanda-tanda yang
menjelaskan makna. Semantik juga menelaah makna katadan makna-makna kata yang berkembang pada
masyarakat. Oleh sebab itu, semantik meliputi makna kata, perkembangannya, juga perubahannya
(Tarigan, 1985:155).
Arti atau makna adalah hubungan lambang tuturan dengan ceritaan (referen) yang dituturkan. Arti
adalah berupaisi (maksud) yang dikandung oleh kata-kata atau ceritaan, apa-apa yang dimaksud oleh si
pembicara (Sudaryat, 1991:105).

Bagan Hubungan Lambang, Acuan, dan Arti

Makna (referensi/pikiran)

Lambang Acuan (referen)

Penjelasannya adalah bahwa adanya hubungan antara lambang (simbol) dan acuan (referen).
Hubungan antara lambang dan acuan mempunyai sifat tak langsung, sedangkeun hubungan antara
lambang dan referensi juga antara referensi dan acuan mempunyai hubungan langsung.
Ogden & Richard dalam Sudaryat (1991:106), mengkategorikan 16 rumusan pengertian makna,
yaitu: 1) bersipat intrinsik; 2) berhubungan dengan benda-benda yang unik, tapi dapat dianalisis; 3)
berkenaan dengan kata kamus; 4) berupa konotasi kata; 5) satu hal yang beresensi; 6) satu aktivitas yang
diproyeksikeun pada satu objek; 7) satu peristiwa yang dimaksud; 8) tempat pada satu sistem; 9)
konsekuensi praktis dari satu bendapada satu; 10) konsekuensi teoretis yang dikandung pernyataan; 11)
emosi nu ditimbulkan oleh satu hal; 12) satu hal yang secara aktual dihubungkan dengan satu lambang
oleh hubungan yang sudah dipilih; 13) efek-efek yang mendukung ingatan jika mendapat stimulus;
(beberapa kejadian yang mendukung ingatan pada peristiwa; satu lambang yang ditafsirkeun; satu hal
yang disarankan); 14) dipakainya lambang yang bisa merujuk apa yang dimaksud; 15) kepercayaan dalam
menggunakeun lambang sesuai dengan apa yang dimaksud; 16 tafsir lambang, hubungan-hubungan,
kepercayaan tentang apa nu diacu, dan percaya pada pembicara mengenai apa saja yang dimaksudkannya.
Bila dirumuskan lagi, maka ada tiga unsur pokok mengenai makna: (1) makna adalah hasil
hubungan antara bahasa dan dunia luar; (2) penentuan hubungan karen adanya persetujuan yang
memakainya; (3) perwujudan makna bisa dipakai untuk menyampaikan informasi supaya bisa dimaknai.
Unsur-unsur makna terdiri dari komponen yang disebut ‘kesatuan makna’ (the unit of meaning).
Satuan maknanya diklasifikasikanmenjadi empat kelas semantis, yitu: benda (thing) atau maujud
(entities), peristiwa (events), abstraksi (abtractions), dan relasi (relations).

6
Komponen Makna Nomina. Dilihat dari komponen maknanya, nomina mempunyai ciri hirarkis
semantis yang dimulai dari ciri maujud pada ciri ‘manusia’. Dengan demikian, ciri semantis nomina
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: (1) nama jenis (common nouns), yang terhitung dan
takterhitung, yang konkrit dan abstrak, dan (2) nama diri (proper nouns).
Kridalaksana (1990:67-68) membedakeun kategori nomina menjadi beberapa subkategori,
demikian: (1) bernyawa (a. insan (nama diri; kekeluargaan; kelompok manusia; yang dianggap manusia;,
benda personifikasi), b. fauna, c. flora)
(2) tak bernyawa (a. lembaga, b. geografis, c. waktu, d. bahasa, e. waktu, f. ukuran dan takaran, g.
persamaan bunyi)
(3) berbilang
(4) tak berbilang
(5) kolektif
(6) tak kolektif
Komponen Makna Adjektiva. Adjektiva adalah leksem yangs secara semantis mempunyai ciri
[+ sifat] dan [+ keadaan] pada satu benda. Komponen makna adjektiva ada delapan tipe, yaitu: (1)
[+sikap/tabiat], (2) [+ bentuk], (3) [+ ukuran], (4) [+ waktu dan + umur], (5) [+ warna], (6) [+ jarak], (7)
[+ kuasa tenaga], dan (8) [+ kesan indra] (Chaer, 1995:169-170).

Toponimi dan Pemberian Nama

Masalah tata nama tempat menjadi isu yang penting dibahas mengingat bahwa pada nama
tempat, atau yang juga dikenal dengan nama toponimi, terkandung pandangan dan pemahaman
terhadap ekosistemnya, terutama mencerminkan identitas masyarakatnya, atau sebagai bentuk
branding dari tempat tersebut, bahkan branding suatu negara (Anholt, 2010; Kostanski, 2011).
Jika memerhatikan kompleksitas tersebut, pengkajian mengenai toponimi memerlukan
pendekatan yang komprehensif. Sebagaimana telah disebutkan, toponimi menjadi bagian penting
dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari proses pembentukan identitas diri. Hall (1998,
1997) dan Woodward (2004) berpendapat bahwa identitas tidaklah ajek. Identitas akan
terusmenerus berubah. Begitu juga dengan nama tempat walaupun nama tempat cenderung
melekat, identitas yang menyertainya dapat saja berubah. Dengan demikian, toponimi juga dapat
memberi gambaran budaya masa silam dan bagaimana pergerakan manusia terjadi di sebuah
daerah atau wilayah. Anholt (2010) menyebutkan bahwa toponimi juga berfungsi sebagai bentuk
identitas nasional yang dalam hal ini berkontribusi terhadap kedaulatan sebuah negara. Kondisi
ini dapat dipahami mengingat pemberian nama tempat tentu dengan berbagai pertimbangan,
terutama yang menyangkut kesejarahan, sekaligus juga sebagai upaya pelestarian budaya
(bahasa). Hal senada ditegaskan pula oleh Rais dkk. (2008: xi) bahwa banyak nama tempat
berakar dari sejarah dan kebudayaan bangsa (masyarakat) itu sendiri. Nama suatu tempat dari
waktu ke waktu tentunya berbeda karena nama tempat bergantung pada pengalaman dan kondisi
sosio- kultural masyarakat yang mendiami tempat tersebut. Penamaan tempat (toponimi), saat ini
sudah mengalami banyak perubahan, contohnya penamaan yang sudah tidak memperhatikan lagi
kaidah budaya yang dapat dijadikan ciri khas suatu daerah. Toponimi adalah ilmu yang meniliti
latar belakang dari penamaan suatu tempat. Menurut Rais (2008: hlm. 4-5) toponimi berasal dari
bahasa Inggris yaitu toponym, yang secara harfiah memiliki arti nama tempat di muka bumi
(“topos” yang artinya tempat atau permukaan seperti topografi, gambaran mengenai tempat
dimuka bumi, dan “nym” diambil dari kata “onyma” yang berarti nama), dalam bahasa Inggris
toponimi juga sering disebut geographical names (nama geografis) atau places names (nama
tempat). Dalam toponimi terdapat pemahaman manusia mengenai ekosistem, dan lingkungan
sekitarnya, selain itu toponimi juga dapat dijadikan sebagai identitas dan ciri khas dari suatu

7
masyarakat (Sobarna, 2015: hlm. 101). Toponimi juga dapat digunakan untuk menganalisis
aspek budaya lokal (Muhyidin, 2013: hlm. 233). Masyarakat Sunda pada masa lampau
menyadari bahwa kehidupannya dipengaruhi dan juga mempengaruhi alam di sekitarnya,
masyarakat Sunda juga memperhatikan alam di sekitarnya (Sudaryat, 2015: hlm. 47). Karena itu,
masyarakat Sunda memberikan nama tempat berdasarkan kondisi alam yang ada di sekitarnya
sebagai ciri khas dan identitas dari masyarakat yang mendiami tempat tersebut. Saat ini
masyarakat Sunda tidak mengenal arti penting dari penamaan sebuah tempat, hal ini karena
pengaruh negatif dari berubahnya zaman dan gaya hidup masyarakat sekarang yang apatis pada
kebudayaan. Selain itu, masyarakat juga sudah tidak mengenal sejarah tempat yang ada di
daerahnya masing-masing karena kurangnya data sejarah mengenai daerah tersebut. Tidak
terawatnya toponimi oleh masyarakat dapat menyebabkan hilangnya sejarah suatu tempat. Hal
ini terjadi karena tidak adanya dokumentasi sejarah, dan nilai budaya yang ada pada toponimi
dan dapat menyebabkan masyarakat menjadi historis (Taqyuddin, 2016 hlm. 56).
Toponimi di wilayah Sunda sebenarnya telah dilakukan sejak zaman Kolonial Belanda.
Para peneliti asing menaruh minat besar terhadap nilai-nilai budaya Sunda. Oleh sebab itu,
sebenarnya pemaknaan toponimi Sunda, sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad.
Artinya, toponimi Sunda telah mencapai tingkatan klasik. Keklasikan ini tidak saja berkaitan
dengan proses perjalanan waktu, tetapi juga berhubungan dengan kualitas kandungan nilai dan
fungsi serta perannya dalam kehidupan budaya masyarakat Sunda.
Salah satu tempat yang belum memiliki dokumentasi mengenai toponimi adalah
Kabupaten Cianjur. Sebagian besar wilayah Cianjur adalah pegunungan, kecuali di sebagian
pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan merupakan sumber kehidupan
bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknya sungai besar dan kecil yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian. Sungai terpanjang di Cianjur
adalah Sungai Cibuni, yang bermuara di Samudra Hindia. Setiap daerah tentunya memiliki asal-
usul sejarah mengenai nama tempatnya, baik dari kondisi alam di sekitarnya, atau dari kondisi
social-kultural yang pernah terjadi di tempat tersebut.
Kata Cianjur berasal dari kata ci dan anjuran. Ci artinya air, sedangkan Anjuran berasal
dari nama desa. Diberi nama Anjuran karena penduduk selalu mematuhi anjuran pemimpin
mereka. Lama-kelamaan des aitu berkembang menjadi sebuah kota kecil yang bernama
“Cianjur”. Menurut cerita konon di Cianjur dulunya ada pemimpin yang bijaksana dan
penduduknya selalu patuh dan taat pada anjuran beliau, sehingga kata Cianjur berarti anjuran
untuk mengairi dan membuat irigasi yang baik. Hingga sekarang, Cianjur terkenal dengan hasil
berasnya yang enak.
Dalam kaitannya dengan penaman tempat, masyarakat Kabupaten Cianjur
mempertimbangkan penamaan tempat tersebut dengan lingkungan alam di mana mereka hidup.
Hal tersebut dapat dilihat dari pada penamaan tempat yang cenderung berkaitan erat dengan latar
lingkungan alamnya. Penamaan tempat di wilayah tersebut, pada umumnya sebagian besar
dihubungkan dengan tumbuhan (flora) dan binatang (fauna).
Kaidah Pemberian Nama. Memberi nama atau penyebutan (naming) adalah salah satu
dariempat téhnik dalam analisis komponen makna (componential analysis). Ada tiga teknis yaitu:
parafrase, pendefinisian, dan pengklasifikasian., misalnya jalan, orang, makanan, buah-buahan,
tumbuh tumbuhan, dan tempat.
Adapun proses memberi nama adalah sebagai berikut:

8
1) Menirukan bunyi (onomatope), yaitu memeberikan nama sesuai dengan suara benda yang dijadikan
acuannya, misalnya dalam bahasa Sunda ada binatang yang namanya cakcak ‘cicak’. Diberi nama
demikian karena binatang itu berbunyi cak…cak…cak;
2) Menyebut sebagian (prasprototo), yaitu memberi nama dengan cara sebagian dari keseluruhannya
contoh: kata gunung padahal pada gunung tersebut ada bagian-bagian lainnya, seperti punggung
gunung, kaki gunung, dll.
3) Menyebut sifat khas, yaitu memberi nama barang sesuai dengan sifat khas benda tersebut. Contohnya
Si Pendék pada orang yang pendek, Si Jangkung pada orang yang jangkung tubuhnya;
4) Menyebut avélativa, yaitu memberi nama benda berdasarkan pada yang menemukannya, penciptanya,
atau peristiwa yang terjadinya. Contohnya: tanjakan-emen sebuah tanjakan di antara Lembang-
Subang yang diberi nama berdasarkan cerita tragedi kematian Si Emen di tanjakan tersebut.
5) Menyebut tempat asal, yaitu memberi nama berdasarkan nama tempat barang tersebut.Contoh: jeruk
garut artinya sejenis jeruk yang berasal dari Garut;
6) Menyebut bahan, yaitu memberi nama berdasar nama bahan pokok benda tersebut. Contoh: sapu ijuk,
yaitu sapu yang dibuat dari ijuk;
7) Menyebut dari persamaan/kamiripan, yaitu memberi nama berdasarkan kesamaan dengan barang
lainnya. Misalnya: jalan/tanjakan tepung-kanjut sebuah tanjakan yang berada di jalan Ciamis-Banjar.
Dikatakan demikian karena tanjakan tersebut melingkar seolah berkerut seperti kanjut (dalam bahasa
Sunda kanjut artinya scrotum);
8) Menyebut kependekannya, yaitu memberi nama dengan cara memendekannya, misalnya: SMP =
Sekolah Menengah Pertama;
9) Menyebut dengan sebutan baru, yaitu memberi nama satu benda berdasarkan pada masuknya kata-
kata baru (asing) untuk mengganti kata-kata lama yang dianggap tidak cocok, kurang ilmiahh, atau
kurang halus. Contoh: tuna rungu untuk mengganti kata ‘tuli’, dll;
10) Menyebut dari peristilahan, yaitu memberi nama benda yang khusus dibuat untuk bidang keilmuan
tertentu (Prawirasumantri dalam Sudaryat, 2003: 93-97).

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan memakai
pendekatan teks pada kajian bahasa. Teknik yang digunakan adalah penelaah pustaka, dan analisis.
Penelaahan pustaka dilakukan dalam pengumpulan data, dan analisis dilakukan dalam mengidentifikasi
data.

TEMUAN & PEMBAHASAN


Temuan
Penamaan Tempat Berdasarkan Flora, dan Fauna. Begitu banyaknya penamaan tempat di
Kabupaten Cianjur, memerlukan penelitian yang komprehensif. Dalam temuan ini diketengahkan 10
nama tempat dengan rincian lima contoh dari tiap kategori, yaitu: Cikadu, Pasirnangka, Cidaun, Cikaret,
Cipanas, Pasirkuda, Pasirhayam, Cimacan, Cikalong, dan Cibanteng.

Pembahasan
Penamaan Tempat Berdasarkan Flora. Nama tempat berdasarkan flora pada pembahasan ini
adalah sebagai berikut.

9
No Nama Tempat Analisis Unsur Kebahasaan
.

1 Cikadu Kata cikadu, terdiri dari dua kata:

(Kec. Ci (Air: N) + Kadu (durian: N) →


Bojongpicung)
cikadu (N)

2 Pasirnangka Kata pasirnangka terdiri dari dua


kata: Pasir (N) + nangka (tumbuhan)
(Kec, Ciranjang)
→ pasirnangka (N)

3 Cidaun Kata cidaun terdiri dari dua kata: Ci


(Air: N) + daun (N) → cidaun(N)
(Kec.Cidaun)

4 Cikaret Kata cikaret terdiri dari dua kata: Ci


(Air: N) + karet (N) → cikaret (N)
(Kec. Cianjur)

5 Cijati Kata cijati terdiri dari dua kata: Ci


(Air: N) + Jati (N) → cijati (N)
(Kec. Cijati)

Nama Tempat Berdasarkan Fauna. Nama tempat berdasarkan flora pada pembahasan ini
adalah sebagai berikut.
No Nama Tempat Analisis Unsur Kebahasaan
.

1 Cikalongkulon Kata Cikalong terdiri dari dua kata:


Ci (Air: N) + Kalong (N) + Kulon
(Kec.
Cikalongkulon) (Adv) → Cikalongkulon (N)

2 Cibanteng Kata Cibanteng terdiri dari dua kata:


Ci (Air: N) + Banteng (N) →
(Kec.Ciranjang)
Cibanteng (N)
Kesimpulan
3 Cimacan Kata Cimacan terdiri dari dua kata:
Ci (Air: N) + Macan (N) → Cimacan Dari uraian contoh di
(Kec. Cipanas)
atas, jelaslah bahwa
(N)
penamaan tempat di
4 Pasirkuda Kata Pasirkuda terdiri dari dua kata: Kabupaten Cianjur,
sangat berhubungan erat
dengan Pasir (N) + Kuda (N) → Pasirhayam kondisi alam, terutama
(Kec. Pasirkuda)
flora, (N) fauna, dan

5 Pasirhayam Kata Pasirhayam


10 terdiri dari dua
kata: Pasir (N) + Hayam (N) →
(Kec. Cilaku)
Pasirhayam (N)
lingkungannya. Hal ini memperlihatkan eratnya hubungan di Kabupaten Cianjur dengan lingkungan
alamnya dan alam menjadi sorotan dalam kekayaan perbendaharaan (kata) dan arti (semantis). Hal lain
yang diperlihatkan dari uraian ini adalah kekayaan alam di Kabupaten Cianjur sangat beranekaragam
jenis flora, fauna, dan budayanya. Dari analisa unsur kebahasaan, diperlihatkan 10 nama tempat yang
terdiri dari satu dan dua kata. Kata-kata tersebut mengandung arti secara kata, morfologis, dan sematik.

DAFTAR PUSTAKA

Anholt, S. 2010. Places: Identity, Image and Reputation. Palgrave: Macmillan.

Danandjaja, J. 2004. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Hall, S. 1998. The Local and the Global: Globalization and Ethnicity. In A. D. King (Ed.), Culture,
Globalization and the World-System: Contemporary Conditions for the Representation of Identity
(pp. 19-40). Minneapolis: University of Minnesota Press.

11
Hall, S. (Ed.). 1997. Representation – Cultural Representation and Signifying Practices. London,
Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications in association with The Open University.

Isnéndes, Retty. 2015. Bahasa Dan Lingkungan Alam: Kajian Toponimi. Bandung: Jurusan Pendidikan
Bahasa Daerah Fpbs Upi.

Kabupaten Cianjur. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Cianjur pada tanggal 2 Maret


2020 jam 10.00

Muhyidin, A. (2013). Kearifan Lokal Dalam Toponimi di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Sebuah
Penelitian Antropolinguistik. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 17(2), 232–240.
https://doi.org/10.17509/bs

Rais, J. (2008). Toponimi Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.

Sudaryat, Y. (2015). Wawasan Kesundaan. Bandung: JPBD UPI.

Sobarna, C. (2015). Nama Tempat di Wilayah Jabar Selatan: Sebuah Representasi Kearifan Lokal
Kesadaran Ekologis Masyarakat Sunda. Prosiding Seminar Nasional Toponimi, 98–108. Depok:
Departemen Linguistik FIB.

Taqyuddin. (2016). Punahnya Toponimi Indikasi Erosi Bahasa dan Punahnya Bangsa. Prosiding Seminar
Internasional Leksikologi Dan Leksikografi, 55–64. Depok: Departemen Linguistik FIB.

Toponimi Jawa Barat. Diakses


http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/196302101987031-
YAYAT_SUDARYAT/TOPONIMI%20JABAR/1-3_Toponimi.pdf pada tanggal 2 Maret 2020
jam 11.00

Woodward, K., & University, O. 2004. Questioning Identity: Gender, Class, Ethnicity: Routledge.

12

Anda mungkin juga menyukai