Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat beliaulah saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul TARI SAKRAL dengan
baik dan tepat pada waktunya.
Karya tulis ini disusun dalam bentuk makalah yang akan membahas mengenai salah
satu Tari Sakral yang khususnya di Bali, dengan tujuan dapat memberikan gambaran
mengenai tarian ini.
Banyak kendala baik secara internal maupun eksternal yang harus dihadapi dalam
penyusunan makalah ini. Berbagai bentuk bantuan dibutuhkan dari orang-orang baik secara
fisik, moral, materi, maupun dukungan spiritual sehingga penciptaan makalah ini dapat
diselesaikan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan
makalah ini. Makalah ini sudah diusahakan secara maksimal, tetapi saya menyadari
sepenuhnya bahwa apa yang saya sajikan ini jauh dari kata sempurna, mengingat kemampuan
saya yang terbatas. Sebuah karya seni pasti memiliki kekurangan, untuk itu saya meminta
kepada semua pihak agar memberikan saran dan kritik yang bertujuan untuk
menyempurnakan makalah ini seperti yang sebagaimana yang diharapkan. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seni tari tidak bisa terlepas dari budaya yang menghasilkannya. seni tari mempunyai arti
penting dalam kehidupan manusia, seperti dalam konteks ritual, dalam hal ekspresi estetik
murni, maupun sebagai media komunikasi personal maupun kolektif. Namun dinamika
budaya masyarakat ikut membawa perubahan – perubahan pada seni tari. Perubahan itu
terjadi, baik pada aspek bentuk, fungsi, maupun maknanya. Secara rasional, masyarakat
mengakui bahwa tari-tarian itu berasal dari cetusan rasa hati dan meniru gerak-gerak alam,
seperti gerak pepohonan yang ditiup angin, gerak burung, binatang dan sebagainya. Tetapi
pada masyarakat yang tinggi kebudayaannya, apalagi bersifat religius seperti di Bali, maka
gerak tari ini disadur dan dibumbui dengan syarat dan kode-kode tertentu yang mempunyai
kekuatan gaib dan dibuatkan mitologi yang sesuai dengan gerak dan tujuan tari tersebut.
Agama Hindu di Indonesia memiliki kekayaan kesenian yang jelas berhubungan dengan
kepercayaan. Kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yang beragama Hindu seolah-olah tidak
dapat dipisahkan dengan unsur-unsur kebudayaan dan kesenian. Persembahan tersebut
dengan bentuk sesaji dengan penuh kecermatan dalam pemilihan bahan-bahan sesaji, nampak
menyajikan simbol-simbol yang bersifat ekspresif dengan rasa estetik dan penataan artistik.
Upacara keagamaan yang lebih besar yang banyak dilakukan setiap tahunnya di pura-pura
yang sakral, suasana kehadiran seni, khususnya seni tari sangatlah menonjol. Sebagian besar
seni pertunjukan tari atau drama ada hubungannya dengan upacara ritual. Misalnya tarian
wali yang memiliki sifat suci, dipertunjukan dalam hubungannya untuk memperkuat
kepercayaan dan memformulasikan konsepsi agama mengenai kehidupan manusia. Tarian
yang berhubungan dengan religi atau kepercayaan bersifat sakral atau suci, seperti misalnya
banyak terdapat dalam peninggalan jenis tarian budaya primitif. Penyembahan atau
pemujaan terhadap roh nenek moyang dilakukan dengan bentuk tarian merupakan
kepercayaan yang telah diwarisi secara turun temurun sejak masyarakat primitif.
Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi
masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya
dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul
kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan
tersebut. Upacara di Pura-Pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni
lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi, Pura-Pura, dibangun sedemikian rupa sebagai
ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di Bali. Pregina (penari)
dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud
bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian
sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia
ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang bersifat
menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi seni wali yang
disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang berfungsi sebagai tontonan atau
hiburan saja.
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya
atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan.
Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang
sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada
tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari
(khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup…),
dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak
boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya
seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda,
belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan
(upacara penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Dalam sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang
berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali
itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah
merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat
khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Pakar seni tari Bali, I Made Bandem Wijaya, pda awal tahun 1980-an pernah menggolongkan
tarian Bali dan salah satunya adalah Tari Rejang. Tari Rejang -- Dalam Lontar "Usana Bali"
disebutkan bahwa rejang itu adalah simbol widyadari atau bidadari yang turun ke dunia
menuntun Ida Bhatara pada waktu melelasti. Khusus pada tari Rejang Renteng, ada tanda
yang khusus yaitu "manuntun benang" -- prosesinya adalah "jempana linggih Ida Bhatara"
dituntun dengan benang yang panjang, diikatkan di pinggang setiap penari rejang.Jenis-jenis
tari Rejang antara lain Rejang Renteng, Rejang Lilit, Rejang Bengkol, Rejang Oyod Padi,
Rejang Ngregong, Rejang Alus, Rejang Nyangnyingan, Rejang Luk Penyalin, dan Rejang
Glibag Ganjil.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan tari sakral?
2. Apa saja ciri – ciri dari tari sakral?
3. Jelaskan salah satu contoh dari tari sakral?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tari sakral
2. Untuk mengetahui ciri – ciri dari tari sakral
3. Untuk mengetahui salah satu contoh dari tari sakral
D. MANFAAT
Dapat mengetahui apa itu tari sakral, ciri – cirinya dan dapat mengetahui salah satu
contoh tari sakral beserta penjelasannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam agama Hindu, kita memiliki banyak sekali tari sakral. Setiap pementasan dihubungkan
dengan makna pelaksanaan upacara keagamaan.
A.KESIMPULAN
1. Tari Rejang adalah sebuah tarian klasik (tradisional) yang gerak-gerak tarinya sangat
sederhana (polos), lemah gemulai, yang dilakukan secara berkelompok atau masal, dan
penuh dengan rasa pengabdian kepada leluhur.
2. Tarian rejang ini nantinya ditarikan oleh anak-anak mereka yang masih muda yang disebut
dengan Daha. Agar selalu ditaati oleh orang-orang yang menjadi Krama Desa hingga
kelak, maka terbentuklah desa yang dinamakan desa Bugbug (dalam bahasa Bali berarti
pusat atau dipersatukan).
3. Adapun yang dimaksud dengan pendukung tarian Rejang ini, yaitu :
Tata rias yang digunakan sangat sederhana, yaitu rias sehari-hari yang tidak terlalu
mencolok (tata rias natural/alami). Tata busana, yang terdiri dari : Kain dan angkin
celagi manis yang telah ditentukan dan diberikan oleh desa; Klip (seperti tutup dada,
tetapi lebih panjang dan lebarnya lebih kecil),yang dililitkan pada tubuh penari; Rantai
yang terbuat dari perak atau slaka, yang dililitkan pada tubuh penari di antara lilitan klip.
Kain putih yang panjangnya kurang lebih dua meter, yang diikatkan pada pinggang
penari.
B. SARAN
Mengingat sekarang ini semakin banyak kesenian-kesenian yang muncul akibat dari
perkembangan global, maka melalui tulisan ini dapat disarankan :
1. Kita sebagai generasi penerus bangsa wajib menjaga, selalu mengagumi, dan
mempunyai apresiasi serta orientasi tentang karya seni yang telah kita miliki
sekarang.
2. Kita harus menjaga serta lebih peduli terhadap kesenian Indonesia, khususnya
kesenian Bali.
3. Pemerintah harus lebih tegas dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan atau
kesenian Indonesia dengan membuat Undang-Undang.
4. Kelangsungan Kebudayaan Indonesia sangat bergantung kepada masyarakat itu
sendiri. Warga Negara bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan budaya
Indonesia agar tetap utuh dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.