Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat beliaulah saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul TARI SAKRAL dengan
baik dan tepat pada waktunya.
Karya tulis ini disusun dalam bentuk makalah yang akan membahas mengenai salah
satu Tari Sakral yang khususnya di Bali, dengan tujuan dapat memberikan gambaran
mengenai tarian ini.
Banyak kendala baik secara internal maupun eksternal yang harus dihadapi dalam
penyusunan makalah ini. Berbagai bentuk bantuan dibutuhkan dari orang-orang baik secara
fisik, moral, materi, maupun dukungan spiritual sehingga penciptaan makalah ini dapat
diselesaikan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan
makalah ini. Makalah ini sudah diusahakan secara maksimal, tetapi saya menyadari
sepenuhnya bahwa apa yang saya sajikan ini jauh dari kata sempurna, mengingat kemampuan
saya yang terbatas. Sebuah karya seni pasti memiliki kekurangan, untuk itu saya meminta
kepada semua pihak agar memberikan saran dan kritik yang bertujuan untuk
menyempurnakan makalah ini seperti yang sebagaimana yang diharapkan. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tabanan, 01 November 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seni tari tidak bisa terlepas dari budaya yang menghasilkannya. seni tari mempunyai arti
penting dalam kehidupan manusia, seperti dalam konteks ritual, dalam hal ekspresi estetik
murni, maupun sebagai media komunikasi personal maupun kolektif. Namun dinamika
budaya masyarakat ikut membawa perubahan – perubahan pada seni tari. Perubahan itu
terjadi, baik pada aspek bentuk, fungsi, maupun maknanya. Secara rasional, masyarakat
mengakui bahwa tari-tarian itu berasal dari cetusan rasa hati dan meniru gerak-gerak alam,
seperti gerak pepohonan yang ditiup angin, gerak burung, binatang dan sebagainya. Tetapi
pada masyarakat yang tinggi kebudayaannya, apalagi bersifat religius seperti di Bali, maka
gerak tari ini disadur dan dibumbui dengan syarat dan kode-kode tertentu yang mempunyai
kekuatan gaib dan dibuatkan mitologi yang sesuai dengan gerak dan tujuan tari tersebut.
Agama Hindu di Indonesia memiliki kekayaan kesenian yang jelas berhubungan dengan
kepercayaan. Kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yang beragama Hindu seolah-olah tidak
dapat dipisahkan dengan unsur-unsur kebudayaan dan kesenian. Persembahan tersebut
dengan bentuk sesaji dengan penuh kecermatan dalam pemilihan bahan-bahan sesaji, nampak
menyajikan simbol-simbol yang bersifat ekspresif dengan rasa estetik dan penataan artistik.
Upacara keagamaan yang lebih besar yang banyak dilakukan setiap tahunnya di pura-pura
yang sakral, suasana kehadiran seni, khususnya seni tari sangatlah menonjol. Sebagian besar
seni pertunjukan tari atau drama ada hubungannya dengan upacara ritual. Misalnya tarian
wali yang memiliki sifat suci, dipertunjukan dalam hubungannya untuk memperkuat
kepercayaan dan memformulasikan konsepsi agama mengenai kehidupan manusia. Tarian
yang berhubungan dengan religi atau kepercayaan bersifat sakral atau suci, seperti misalnya
banyak terdapat dalam peninggalan jenis tarian budaya primitif. Penyembahan atau
pemujaan terhadap roh nenek moyang dilakukan dengan bentuk tarian merupakan
kepercayaan yang telah diwarisi secara turun temurun sejak masyarakat primitif.
Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali yang universal identik dengan kehidupan religi
masyarakatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Para penganutnya
dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa. Maka banyak muncul
kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan tertentu atau sebagai pelengkap pemujaan
tersebut. Upacara di Pura-Pura (tempat suci) tidak lepas dari seni suara, tari, karawitan, seni
lukis, seni rupa dan sastra. Candi-candi, Pura-Pura, dibangun sedemikian rupa sebagai
ungkapan rasa estetika, etika dan sikap religius dari penganut Hindu di Bali. Pregina (penari)
dalam semangat ngayah (bekerja tanpa pamrih) mempersembahkan tarian sebagai wujud
bhakti kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), bhakti dan pengabdian
sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri.
Para seniman pun ingin menyatu dengan seni karena sesungguhnya setiap insan di dunia
ini adalah percikan seni. Selain itu juga berkembang pertunjukkan seni yang bersifat
menghibur. Maka di Bali, berdasarkan sifatnya seni digolongkan menjadi seni wali yang
disakralkan dan seni yang tidak sakral (disebut profan) yang berfungsi sebagai tontonan atau
hiburan saja.
Pada seni tari, tari sakral atau wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya
atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan.
Kesuciannya tampak pada peralatan yang digunakan, misalnya pada tari Pendet ada canang
sari (sesajian janur dan bunga yang disusun rapi), pasepan (perapian), dan tetabuhan. Pada
tari Rejang pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari
(khusus Rejang Renteng). Topeng Sidakarya pada bentuk tapel (topeng), kekereb (tutup…),
dan beras sekar ura (bunga yang dipotong kecil-kecil untuk ditaburkan). Semuanya tidak
boleh digunakan sembarangan. Kesakralan juga ada pada si penari itu sendiri, misalnya
seorang penari Rejang atau penari Sang Hyang harus menampilkan penari yang masih muda,
belum pernah kawin, dan belum haid. Atau penarinya harus melakukan pewintenan
(upacara penyucian diri) dulu sebelum menarikan tarian sakral.
Dalam sejarahnya tari wali ini sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang
berkembang di daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dibuat bersamaan atau sesudah tari wali
itu diciptakan atau sebelumnya. Meskipun tarian ini diciptakan manusia, tetapi karena sudah
merupakan konsensus dari masyarakat pendukungnya maka tari wali ini mendapat tempat
khusus di hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agama, terutama agama Hindu.
Pakar seni tari Bali, I Made Bandem Wijaya, pda awal tahun 1980-an pernah menggolongkan
tarian Bali dan salah satunya adalah Tari Rejang. Tari Rejang -- Dalam Lontar "Usana Bali"
disebutkan bahwa rejang itu adalah simbol widyadari atau bidadari yang turun ke dunia
menuntun Ida Bhatara pada waktu melelasti. Khusus pada tari Rejang Renteng, ada tanda
yang khusus yaitu "manuntun benang" -- prosesinya adalah "jempana linggih Ida Bhatara"
dituntun dengan benang yang panjang, diikatkan di pinggang setiap penari rejang.Jenis-jenis
tari Rejang antara lain Rejang Renteng, Rejang Lilit, Rejang Bengkol, Rejang Oyod Padi,
Rejang Ngregong, Rejang Alus, Rejang Nyangnyingan, Rejang Luk Penyalin, dan Rejang
Glibag Ganjil.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan tari sakral?
2. Apa saja ciri – ciri dari tari sakral?
3. Jelaskan salah satu contoh dari tari sakral?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tari sakral
2. Untuk mengetahui ciri – ciri dari tari sakral
3. Untuk mengetahui salah satu contoh dari tari sakral

D. MANFAAT
Dapat mengetahui apa itu tari sakral, ciri – cirinya dan dapat mengetahui salah satu
contoh tari sakral beserta penjelasannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TARI SAKRAL


Kata Sakral memiliki arti suci atau kesucian, magis, super natural power, pantang dilanggar
sebab membahayakan, kekuatan sakti, angker atau keramat dan melindungi. Jadi, tari sakral
dapat diartikan sebagai tarian yang disucikan, memiliki kekuatan magis, dan harus mengikuti
aturan-aturan yang berlaku dalam menarikan dan mementaskannya. Biasanya tari sakral
dipentaskan pada saat melaksanakan ritual atau upacara keagamaan (Tim penyusun, 2011:
19).

Dalam agama Hindu, kita memiliki banyak sekali tari sakral. Setiap pementasan dihubungkan
dengan makna pelaksanaan upacara keagamaan.

B. CIRI – CIRI TARI SAKRAL


1) Dilakukan pada kegiatan ritual keagamaan yang bersifat sakral dan magis serta pada
kegiatan kemasyarakatan yang bersifat sakral.
2) Gerakannya sangat sederhana karena gerak merupakan ungkapan spontan sebagai
ungkapan dalam menjembatani kehendak jiwa para penarinya.
3) Gerakannya monoton dan banyak pengulangan.
4) Perwujudan sajian tari (waktu, aturan) erat dengan tujuan penyelenggaraannya.
5) Musik terdengar monoton.
6) Menggunakan alat musik sederhana dan seadanya.
7) Penyajiannya tidak menyentuh segi artistik.
8) Inti dari gerak tari ini adalah terkabul atau tersampaikannya tujuan.

C. CONTOH TARI SAKRAL


1. PENGERTIAN TARI REJANG
Tari Rejang adalah sebuah tarian klasik (tradisional) yang gerak-gerak tarinya
sangat sederhana (polos), lemah gemulai, yang dilakukan secara berkelompok atau masal,
dan penuh dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Tari ini dilakukan oleh para wanita di
dalam mengikuti persembahyangan dengan cara berbaris, melingkar, dan sering pula
berpegangan tangan. Biasanya, tari Rejang menggunakan pakaian adat atau pakaian
upacara, menggunakan hiasan bunga-bunga emas di kepalanya sesuai dengan pakaian adat
daerah masing-masing. Tarian ini masih dapat dilihat di beberapa daerah di Bali, bahkan
kebanyakan desa memiliki kelompok yang memang difokuskan untuk pertunjukan ini.
Salah satu desa yang memiliki kelompok Rejang di daerah Bali timur adalah desa
Bugbug, Karangasem.Tari Rejang yang ada di desa Bugbug, Karangasem merupakan
salah satu warisan budaya nenek moyang yang tidak boleh dilupakan. Hal ini disebabkan
karena tarian ini wajib untuk disajikan setiap tahunnya dalam suatu upacara ritual yang
disebut dengan usabha, demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat desa
tersebut. Upacara agama tersebut didukung oleh Rejang.

2. SEJARAH TARI REJANG


Sejarah Tari : Menurut para sesepuh desa, dikatakan bahwa ketika itu desa yang
ada sekarang, belum terbentuk. Orang-orang tinggal di areal persawahan (pra-desa) yang
dekat dengan sungai yang disebut Tukad Buhu. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang tiada
henti-hentinya dan menyebabakan banjir dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga
menjadi penghambat bagi orang-orang (Krama Desa) sekitarnya untuk melakukan aktifitas
mereka, termasuk penguburan mayat. Kemudian timbul keinginan Ide Gde (Bhatara Gde
Gumang) untuk mempersatukan gubuk-gubuk tersebut di sebuah tempat yang layak dan
terbebas dari banjir. Untuk tujuan tersebut, maka tempat yang pertama dipilih adalah
Pangiyu (lateng ngiyu). Tetapi setelah diperhatikan, tempat tersebut sangat sempit dan
kurang mendukung. Kemudian ditinjaulah daerah di bagian timur Bukit Penyu (Bukit
Dukuh), yang tenyata terdapat genangan air berwarna biru yang disebut Telaga Ngembeng
atau Banu Wka.
Tempat ini merupakan tempat yang sangat baik, datar, dan luas, sehingga cocok
untuk dijadikan tempat pemukiman untuk sebuah desa. Dengan upaya, menimbun
genangan air tersbeut untuk mengumpulkan (mempersatukan) orang-orang yang mendiami
gubuk-gubuk yang tersebar di areal persawahan (pra-desa). Setelah lama menimbun
genangan air tesebut, tetapi genagan air tetap saja demikian adanya, tidak tertimbun.
Setelah hampir mencapai puncak keputusan dari orang-orang yang bekerja menimbun
genangan air tersebut, kemudian Ida Gde beryoga dan mempersatukan bayu, sabda, dan
idep untuk menyatu (manunggal) dengan Bhatara Kala, tanpa diketahui oleh orang-orang.
Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa
yang merupakan wujud lain dari Ide Gde yang sudah menyatu dengan Bhatara Kala.
Orang-orang tidak mengenali siapa sebenarnya yang datang tersebut. Beliau menamakan
dirinya Ki Taruna Bali. Perwujudan Dewata inilah yang menyanggupi untuk menimbun
genangan air tersebut. Tetapi beliau memberi persyaratan kepada orang-orang agar
dirinya ditanggung makan dan minumnya oleh orang-orang yang telah mendirikan gubuk-
gubuk sementara di sekitar Telaga Ngembeng tersebut.
Orang-orang itupun menyanggupinya untuk menanggung makan dan minumnya
hingga selesai.Setelah beberapa lama melakukan pekerjaan menimbun genangan air
tersebut, porsi makan dan minum Ki Taruna Bali semakin hari semakin bertambah. Maka,
orang-orang yang tadinya berjanji dan siap untuk menanggung makan dan minumnya
menjadi kewalahan. Tidak lama kemudian setelah hampir selesai menimbun genangan iar
tersebut, di saat itulah muncul niat yang kurang baik dari orang-orang untuk memperdaya
(membinasakan) Ki Taruna Bali. Tetapi Ki Taruna Bali yang merupakan perwujudan
Dewata, mengetahui niat orang-orang tersebut. Karena keprihatinan Beliau akan kesetiaan
dan ketulusan dari orang-orang tersebut, Ki Taruna Bali yang sangat bijaksana
memberikan jalan keluarnya dengan memberikan isyarat da pamoran doeng, yang
maksudnya adalah jangan menorehkan kapur saja. Secara lebih luas, maksudnya adalah
janganlah senantiasa memiliki niat yang kurang baik seperti itu. Beliau berkata kepada
orang-orang agar nantinya ia melakukan kewajiban menyelenggarakan upacara dan
upakara babanten pacaruan (caru) lengkap dengan rajah (gambar) wong-wongan Sang
Hyang Yamaraja Dhipati Uriping Bhuana pada natar Pura Penataran Bale Agung Desa
Pakraman Bugbug, Karangasem. dan dikelilingi oleh tarian rejang.
Tarian rejang ini nantinya ditarikan oleh anak-anak mereka yang masih muda yang
disebut dengan Daha. Agar selalu ditaati oleh orang-orang yang menjadi Krama Desa
hingga kelak, maka terbentuklah desa yang dinamakan desa Bugbug (dalam bahasa Bali
berarti pusat atau dipersatukan).
Tari Rejang tersebut memiliki gerak yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan
karena tidak mementingkan keindahan gerak, tetapi maksud yang diinginkan dari
penyajiannya. Gerak tarinya hanya berdiri biasa, tangan kiri memegang kain putih yang
digunakan oleh penari yang ada di belakangnya dan penari yang ada di barisan paling
depan kain putih yang digunakan diselempangkan ke kanan, dengan gerak
membentangkan tangan ke samping kiri, kanan, dan kedua tangan, yang diulang hingga
dua kali. Untuk gerak membentangkan kedua tangan ke samping untuk yang kedua
kalinya, dilakukan bersamaan dengan pukulan gong. Tarian ini tidak harus dilakukan
dengan kompak atau bersamaan antara satu penari dengan penari lainnya, melainkan yang
ditekankan di sini adalah geraknya dilakukan dua kali (diulang) dan gerak terakhir tepat
pada saat pukulan gong.
Setelah satu frase gerak selesai, penari yang berada di barisan paling depan pindah
ke belakang dan tidak menari. Demikian pula gerak selanjutnya sama dengan gerak
pertama, dan seterusnya hingga ada yang memberitahu untuk mengakhirinya. Hanya satu
frase gerak yang digunakan, sehingga tidak memerlukan waktu untuk latihan. Seperti
yang telah disebutkan di atas pada sejarah tari rejang ini, penarinya adalah anak-anak
gadis yang merupakan Krama Desa Ngarep yang disebut dengan Daha. Usia penarinya,
yaitu kurang lebih antara 17 tahun sampai 26 tahun yang belum menikah dan sudah
mengalami akil balik. Ada rapat khusus untuk menentukan usia penari. Selain itu juga,
tidak ada proses inisiasi (penyucian) atau prosesi khusus untuk menentukan penarinya
karena penarinya sudah didaulat. Cara yang dilakukan untuk mendaulat penarinya adalah
dengan cara memeberikan ketipat sumbu kepada calon penarinya dan pada usabha yang
akan datang, harus sudah mulai menarikan tarian Rejang tersebut. Jumlah penarinya tidak
ditentukan karena tergantung dari penari yang ada dan sudah didaulat.

3. PENDUKUNG TARIAN REJANG


Adapun yang dimaksud dengan pendukung tarian Rejang ini, yaitu
- Tata rias yang digunakan sangat sederhana, yaitu rias sehari-hari yang tidak terlalu
mencolok (tata rias natural/alami). Tata busana, yang terdiri dari : Kain dan angkin
celagi manis yang telah ditentukan dan diberikan oleh desa; Klip (seperti tutup dada,
tetapi lebih panjang dan lebarnya lebih kecil),yang dililitkan pada tubuh penari; Rantai
yang terbuat dari perak atau slaka, yang dililitkan pada tubuh penari di antara lilitan klip.
Kain putih yang panjangnya kurang lebih dua meter, yang diikatkan pada pinggang penari.
Kain ini yang digunakan pada saat menari; serta rangkaian selendang berwarna-warni
yang disebut dengan kibul, yang diikatkan pada pinggang penari menutupi kain putih dan
bokong penari..
-Rambut penari dipusung menggunakan antol tepat di atas ubun-ubun penari, yang
fungsinya adalah untuk menjaga bunga-bunga yang akan digunakan nantinya. Ada yang
dijahit untuk menguatkan pusungan dan diberi pelepah batang pohon pisang untuk
menyejukkan kepala penari. Semuanya tergantung dari orang yang memasangkan
pusungan tersebut.Tidak semua orang dapat memusung rambut penari, hanya ada
beberapa orang di desa tersebut yang telah ahli dalam hal memusung rambut penari
tersebut; Kain hitam yang dipasang pada dahi penari untuk menahan petitis; Bunga
kamboja (jepun), yang dirangkai dan dipasang pada kepala bagian belakang penari dan
dibentuk setengah lingkaran; Petitis; Bunga mitir yang dipasang tepat di atas petitis ;
Bunga-bunga imitasi, tergantung dari penari berapa jumlah dan bunga apa yang
digunakan; Bunga palsu yang terbuat dari kertas jagung yang jumlahnya tidak ditentukan;
dan Palendo yang merupakan hiasan kuncup-kuncup bunga yang terbuat dari kertas jagung
dan wajib digunakan. Apabila tidak digunakan, penari akan dikenakan sanksi.
Tempat pementasannya ada dua, yaitu di pantai yang dilakukan pada saat mencari air suci
(tirtha amertha), tirtha sudha-mala, dan lain-lain, di tengah laut. Tepatnya adalah pada saat
dua hari menjelang puncak usabha. Datang dari pantai, penari Rejang menari di natar Pura
Penataran Agung Desa Pakraman Bugbug atau Penataran Bale Agung dan mengelilingi
rajah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pada saat ini tidak ada pergantian penari
karena penari membentuk lingkaran dan berkeliling.
Sehari sebelum puncak upacara dan pada saat puncak upacara, penari Rejang menari di
natar Pura Penataran Agung Desa Pakraman Bugbug dengan posisi berbaris menghadap
utara. Jadi yang dimaksud dengan tempat pementasannya ada dua tempat tergantung dari
waktu pementasannya. Waktu pementasannya pun dilakukan dengan waktu yang berbeda.
Pada saat di pantai penyajiannya dilekukan pada sore hari, yaitu menjelang matahari
terbenam. Sedangkan pada saat sehari menjelang puncak upacara dan pada saat puncak
upacara dilekukan pada saat pagi hari, yaitu sekitar pukul 9 pagi. Sama halnya dengan tari
Rejang lainnya yang ada di daerah Bali timur (Karangasem), tari Rejang ini juga
menggunakan seperangkat gambelan Slonding, yang merupakan gambelan khas
Karangasem, sebagai iringan tarinya. Mengenai usia dari tarian ini, hingga saat ini belum
dapat diketahui secara pasti tahun berapa tarian ini ada. Berdasarkan informasi dari
sesepuh desa tersebut, dikatakan bahwa tarian Rejang tersebut ada sejak pertama kalinya
ada upacara agama yang disebut aci atau usabha manggung di desa tersebut.
Tarian ini harus disajikan setiap bulan pertama sasih kasa (Shrawana) nuju beteng di desa
tersebut. Pelaksaan tarian Rejang di desa tersebut sama dengan pelaksanaan tarian Rejang
di desa Tenganan, Karangasem. Mengenai jenisnya, tarian Rejang ini belum dapat
digolongkan ke dalam jenis yang mana dari 14 jenis Rejang yang diketahui. Hal ini
disebabkan karena belum ada yang melakukan penelitian secara khusus mengenai tarian
Rejang ini. Apakah karena desa ini tidak terkenal seperti desa lainnya yang ada di
kabupaten Karangasem (Tenganan, Asak, Bongaya, Seraya, dan lainnya). Padahal di desa
ini terdapat tempat wisata yang terkenal, yaitu Candidasa. Dalam penyajiannya, tidak ada
sesaji (banten) khusus untuk mementaskannya. Sedangkan mengenai struktur dari awal
hingga akhir, tarian ini tidak memiliki struktur seperti tarian lainnya. Hanya saja, setiap
penari melakukan persembahyangan secara pribadi sebelum menari. Usai penyajiannya,
setiap penari kembali ke rumah masing-masing tanpa ada upacara khusus.
Saat ini, tarian ini telah mendapatkan generasi yang sudah tak terhitung. Hal ini belum
dapat dipastikan karena usia dari tarian ini yang sudah tua dan usia tarian ini pun tidak
diketahui.
Tarian ini tidak banyak yang mengetahui. Hanya masyarakat desa tersebut yang
mengetahuinya. Bahkan jenis Rejangnya tidak diketahui. Hal ini disebabkan karena belum
ada yang meneliti tarian tersebut, tidak banyaknya orang mengetahui desa tersebut, serta
tidak adanya pembinaan-pembinaan terhadap kesenian daerah.
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
1. Tari Rejang adalah sebuah tarian klasik (tradisional) yang gerak-gerak tarinya sangat
sederhana (polos), lemah gemulai, yang dilakukan secara berkelompok atau masal, dan
penuh dengan rasa pengabdian kepada leluhur.
2. Tarian rejang ini nantinya ditarikan oleh anak-anak mereka yang masih muda yang disebut
dengan Daha. Agar selalu ditaati oleh orang-orang yang menjadi Krama Desa hingga
kelak, maka terbentuklah desa yang dinamakan desa Bugbug (dalam bahasa Bali berarti
pusat atau dipersatukan).
3. Adapun yang dimaksud dengan pendukung tarian Rejang ini, yaitu :
Tata rias yang digunakan sangat sederhana, yaitu rias sehari-hari yang tidak terlalu
mencolok (tata rias natural/alami). Tata busana, yang terdiri dari : Kain dan angkin
celagi manis yang telah ditentukan dan diberikan oleh desa; Klip (seperti tutup dada,
tetapi lebih panjang dan lebarnya lebih kecil),yang dililitkan pada tubuh penari; Rantai
yang terbuat dari perak atau slaka, yang dililitkan pada tubuh penari di antara lilitan klip.
Kain putih yang panjangnya kurang lebih dua meter, yang diikatkan pada pinggang
penari.

B. SARAN
Mengingat sekarang ini semakin banyak kesenian-kesenian yang muncul akibat dari
perkembangan global, maka melalui tulisan ini dapat disarankan :
1. Kita sebagai generasi penerus bangsa wajib menjaga, selalu mengagumi, dan
mempunyai apresiasi serta orientasi tentang karya seni yang telah kita miliki
sekarang.
2. Kita harus menjaga serta lebih peduli terhadap kesenian Indonesia, khususnya
kesenian Bali.
3. Pemerintah harus lebih tegas dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan atau
kesenian Indonesia dengan membuat Undang-Undang.
4. Kelangsungan Kebudayaan Indonesia sangat bergantung kepada masyarakat itu
sendiri. Warga Negara bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan budaya
Indonesia agar tetap utuh dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai