Anda di halaman 1dari 26

FIKIH KEJAWEN

Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

Penulis
Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.
FIKIH KEJAWEN
Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

Penulis : Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

Editor : Purwo Adi Wibowo, S.E., M.Sc.

Layouter : Gesi Mei Dinta Pratama

Desain cover : Tim Desain

Cetakan ke 1, Edisi 1, Desember 2021

Diterbitkan oleh:
UNISNU Press
Alamat: Kampus UNISNU Jepara
08957-1000-3000 ; 0857-2930-2000
IG: @unisnupressjepara ; FB: Unisnu Press
Email: unisnupress@unisnu.ac.id

vi + 107 hlm ; 14,8 x 21 cm.


ISBN 978-623-5809-07-6

Hak cipta pada penulis; hak penerbitan pada UNISNU Press


Tidak boleh direproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Isi buku sepenuhnya tanggung jawab dari penulis. Penerbit dan


percetakan tidak bertanggung jawab atas isi buku.
PRAKATA

Assalamualaikum warahmatullah,
Bismillah. Alhamdulillah. Asshalat wassalam ala rasulillah. Wa
ba‘d. Segala puji bagi Allah Swt, atas berkat, rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya, akhirnya buku ini telah selesai disusun dan
siap untuk disajikan sebagai bahan referensi terkait dialektika
Islam dengan kearifan budaya lokal. Buku ini mengkaji secara
mendalam sesosok figur wali di tanah Jawa, Kangjeng Sunan
Kalijaga dengan prestasinya yang menyejarah dalam perannya
mengislamkan tanah jawa. Aspek penting yang dikaji dalam
buku ini adalah jejak-jejak ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga
dalam mendialogkan problematikan kehidupan yang dinamis
dengan teks-teks sumber hukum yang statis dan final. Oleh
karena itu, kami sampaikan kepada para pembaca selamat untuk
menikmati buku ini, besar harapan kami, atas segala kesalahan
dan kekhilafan dalam penyusunan buku ini dapat menjadikan
koreksi konstruktif bagi kami dalam upaya menyajikan
referensi keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan di
kemudian hari.
Wallahul muwaffiq ila aq wamiththariq,
Wassalamualaikum warahmatullah.

Penulis,

Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

III
PRAKATA

PRAKATA iii

DAFTAR ISI v

BAB SATU 1
ISLAM DAN JAWA
A Sekilas Tentang Jawa 1
1 Asal Usul Penduduk Jawa 1
2 Agama dan Kepercayaan Jawa 5
B Mistisisme Jawa 10

BAB DUA 17
ISLAM DAN KEJAWEN
A Islam Kejawen 17
1 Pengertian Kejawen 17
2 Asal Muasal Islam Kejawen 19
B Mistisisme Islam 20
C Titik temu mistik Jawa dengan mistik Islam 27
D Pola hubungan Islam dan Kejawen 29

VI
BAB TIGA 33
KONSEP IJTIHAD DALAM USHUL FIKIH
A Definisi Ijtihad 33
1 Tinjauan bahasa 33
2 Tinjauan Istilah 34
B Dasar Hukum Ijtihad 39
C Hukum Ijtihad 42
D Logika Ijtihad 44
E Kualifikasi Ijtihad 57
F Varian Desain Ijtihad 62

BAB EMPAT 67
KANGJENG SUNAN KALIJAGA
DAN POLA IJTIHADNYA
A Biografi Kangjeng Sunan Kalijaga 67
B Latar belakang dan ruang lingkup Ijtihad 71
Kangjeng Sunan Kalijaga
C Ajaran Kangjeng Sunan Kalijaga 78
D Hasil Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga 80
E Pola Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga 90

DAFTAR PUSTAKA 101

V
BA B I

I S L A M DA N JA W A

A. Sekilas Tentang Jawa

1. Asal Usul Penduduk Jawa

Suyono menjelaskan asal usul penduduk Jawa dengan


merujuk dari buku klasik berbahasa Belanda karya Van Hien.
Sebagai seorang Javanolog, Van Hien menulis apa yang
terjadi dan apa yang ada dalam alam pikiran masyarakat Jawa
pada tahun 1920-an. Masih menurut Suyono, dari karangan
Van Hien, bila merunut secara genealogis disebutkan
dalam tulisan Hindu kuno bahwa, pulau Jawa sebelumnya
adalah pulau-pulau yang diberi nama Nusa Kendang yang
merupakan bagian dari India. Pada 1190 tahun yang lalu,
sebagaimana dinyatakan dalam pelbagai kitab suci, bahwa
banyak daratan di seluruh dunia tenggelam oleh air bah.
Tanah yang sekarang dinamakan kepulauan Nusantara yang
waktu itu masih menyatu dengan daratan Asia dan Australia
terputus dari kedua daratan itu, termasuk lepas dari daratan
Malaka.1
1
Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2007, Cet I) hlm
5-6

1
FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

Babad Tanah Jawi menjelaskan bahwa pada tahun 296


masehi, terjadi letusan gunung berapi di pulau itu, kemudian
hilang dan digantikan gunung-gunung berapi baru. 148 tahun
kemudian, lebih tepatnya tahun 444 masehi, terjadi gempa
bumi yang memisahkan Tembini, daerah selatan pulau Jawa
menjadi pulau tersendiri, yaitu Nusa Kambangan dan Nusa
Barung. Kemudian tahun 1208 masehi pulau Sumatera
juga terpisah dari Jawa. Tahun 1254, Madura yang semula
bernama Hantara, disusul tahun 1293, pulau Bali, keduanya
terpisah dari pulau Jawa.

Adapun para penghuni Jawa, diceritakan dalam Serat Asal


Keraton Malang, berasal dari daerah Turki, tetapi ada juga yang
menyatakan dari Dekhan (India). Pada tahun 350 sebelum
Masehi, Raja Rum, pemimpin daerah tersebut melakukan
pengiriman penduduk tiga kali. Pengiriman pertama,
mengalami kegagalan dengan kembalinya seluruh utusan
ke negeri asal yang terjadi pada tahun 450 sebelum masehi.
Sedangkan pengiriman kedua juga mengalami kegagalan, dari
pengiriman berjumlah 20.000 laki-laki dan 20.000 perempuan,
yang dipimpin oleh Aji Keler, yang tersisa hanya berjumlah
40 pasang, sedangkan selebihnya ada yang melarikan diri dan
ada juga yang dimangsa binatang buas. Pada pengiriman kali
kedua ini Aji Keler menemukan Nusa Kendang (nama pulau
Jawa saat itu) yang ditutupi hutan belantara, dihuni binatang
buas, dan tanah datarnya ditumbuhi tanaman bernama Jawi.

2 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

Oleh karena itu tanah tersebut dinamai dengan tanah Jawi.

Kemudian, setelah Raja Rum menerima laporan dari


patihnya yang dikirim untuk melihat kondisi rakyatnya, beliau
memerintahkan patih untuk melakukan pengiriman ketiga
kalinya, dengan persiapan yang lebih matang, dilengkapi
perbekalan yang cukup selama enam bulan, dan akhirnya
berhasil, kemudian utusan tersebut menyebar ke penjuru
Jawa. Langkah untuk mencegah para penduduk melarikan
diri adalah dengan mengangkat raja yang bernama Kanna.
Keyakinan yang dibawa kelompok gelombang ketiga ini
menganut kepercayaan Animisme.

Pada tahun 100 sebelum masehi, terjadi lagi perpindahan


penduduk keempat, yaitu dari kaum Hindu-Waisya.
Mereka itu dari golongan petani dan pedagang yang karena
permasalahan di India mereka meninggalkan negerinya,
untuk kemudian menetap di Pasuruan dan Probolinggo.
Kemudian secara perlahan mereka membuat koloni-koloni
di bagian selatan pulau Jawa yang pusatnya di Singosari.

Di kemudian hari, kerajaan dipindah ke Kedi (Kediri),


adapun raja yang bertahta di sana tidak ada satu pun yang
tercatat. Pada tahun 900 masehi keturunan dari Hindu-
Waisya dimasukkan dalam kerajaan Medang yang juga
dinamakan kerajaan Kamulan. Medang atau Kamulan
juga dinamakan Ngastina. Raja yang memerintah bernama
Jayabaya. Selanjutnya pada abad ke-5, ke-6 dan ke-7 terjadi

Bab 1 Islam dan Jawa 3


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

perpindahan penduduk dari India ke pulau Jawa, mereka


adalah pelarian yang menghindari pengejaran terhadap
pemeluk agama Brahma dan Budha. Menurut sebuah Babad,
pada tahun 450 masehi terjadi lagi perpindahan penduduk
India yang kemudian menduduki tanah yang terletak antara
sungai Cisadane dan Citarum di Jawa Barat. Para kolonis
Hindu, yang datang tersebut adalah pengikut agama Wishnu,
yang di kemudian hari mereka mendirikan kerajaan sendiri
dan memilih rajanya yang bernama Raja Purnawarman.

Peralihan penduduk yang kedelapan terjadi pada tahun 634


masehi yang disebabkan oleh meninggalnya prabu Jayabaya,
yang meninggalkan banyak keturunan dan pengikut
termasuk Kusuma Citra. Kusuma lah yang mengubah nama
kerajaan Astina menjadi Gujarat. Perpindahan penduduk
yang kesembilan pada tahun 644 masehi sewaktu Angling
Darma yang juga mempunyai nama Jaiya Hamijaiya atau
Hangling Dhriya yang merupakan keturunan dari raja Astina
dengan jumlah penduduk sebanyak 3000 keluarga beragama
Brahma, mendarat di sebelah selatan pulau Jawa. Tempat
mendaratnya diberi nama Ngamerto. Disitulah didirikan
kerajaan Pengging atau Milawa Pati.

Kedatangan China ke pulau Jawa dapat ditelusuri dari


kedatangan peziarah Shi Fa Hian pada tahun 400 masehi.
Dalam perjalanan pulang ke China, Shi Fa Hian dihantam
badai hingga akhirnya terdampar di pulau Jawa dan berdiam

4 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

selama lima bulan. Dalam tulisannya yang dinamakan Tu


Kiu Kie, digambarkan pulau Jawa yang dinamakan Ja Va
dengan amat menarik. Dan baru pada tahun 1021 masehi,
kaisar China membuka jalur perdagangan dengan Jawa,
yang menjadikan perpindahan penduduk China dimulai.
Kemudian pada tahun 800 masehi, menurut catatan lama,
orang Arab berdatangan dengan maksud utama untuk
berdagang, namun setelah melihat kondisi Jawa yang masih
dipengaruhi oleh Animisme, maka orang Arab mulai
melakukan penyebaran agama Islam.2

2. Agama dan kepercayaan Jawa

Suwardi menjelaskan bahwa, jauh sebelum agama-agama


besar datang ke pulau Jawa, orang Jawa sudah memiliki
agama asli sendiri yaitu kepercayaan, yang menjadi gaya
hidup spiritual orang Jawa. Kemudian gaya hidup itu dipoles
dengan kebatinan, sehingga dapat lah disebut bahwa gaya
hidup orang Jawa adalah kebatinan.3 Kebatinan dapat
dianggap sebagai eksponen sinkretisme. Hal ini beralasan
sebab jauh sebelum datangnya agama besar, Jawa telah
memiliki sistem religi Kejawen yang senantiasa menggunakan
kebatinan sebagai wahana komunikasi spiritual, untuk
kemudian diperkaya oleh unsur-unsur kebudayaan dari

2
Ibid, hlm 6-12
3
Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa; Laku hidup utama meraih derajat
sempurna (Yogyakarta: Lembaga Budaya Jawa, cet I, 2011) hlm 81-84

Bab 1 Islam dan Jawa 5


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

agama-agama besar yang masuk.

Ajaran kebatinan dapat dikatakan berakar dari ajaran


Kejawen yang telah diendapkan dalam waktu lama. Melalui
ajaran Kejawen orang Jawa meyakini bahwa hidup ini
dari dan akan menuju dunung tertentu. Sinkretisme secara
etimologi berasal dari bahasa latin Syin dan Kretiozein artinya
mencampuradukkan elemen-elemen yang bertentangan.
Sinkretisme dapat diartikan sebagai sebuah paham yang
menggabungkan antara dua keyakinan atau lebih yang
berbeda hingga bersatu padu. Sinkretisme dapat dianggap
sebagai strategi efektif dalam menyikapi setiap kebuntuan
yang terjadi dalam kehidupan beragama. Pola sinkretisme
yang dipraktekan oleh orang Jawa begitu kentara pada
saat orang Jawa memasuki era madya yang penuh dengan
transisi luar biasa. Zaman madya adalah zaman pertemuan
dan interaksi antara kebudayaan spiritual Nusantara dengan
pengaruh agama-agama besar yang masuk ke Indonesia.4

Berdasar pada pola sinkretik kebatinan orang Jawa


sebagaimana yang dipraktekan, maka agama dan kepercayaan
orang Jawa dapat dijelaskan ke dalam beberapa perkembangan
sebagaimana berikut:

4
Suwardi mengutip Soedjono Humardani yang membagi sejarah kebu-
dayaan spiritual Indonesia ke dalam tiga babak, yaitu; a. jaman Purwa, b. Jaman
Madya, c. Jaman Kontemporer. Lihat lebih jauh dalam Suwardi, op.cit, hlm 84-
85

6 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

a. Perkembangan pada masa pra Hindu-Budha

Sebelum Hindu-Budha datang, masyarakat Jawa


merupakan masyarakat yang tersusun, teratur, sederhana
dan bersahaja. Oleh karena itu sistem religi yang dianut
adalah animisme dan dinamisme. Cara berpikir masyarakat
Jawa pada saat itu bersifat menyeluruh dan emosional.
Hal itu dikarenakan mereka dikuasai oleh perasaan yang
sangat lekat dengan pengaruh kebudayaan agama dan
kepercayaannya kepada roh-roh serta tenaga gaib yang
meliputi seluruh aktivitas kehidupannya. Sehingga segala
perilaku kesehariannya senantiasa tertuju kepada suatu
maksud untuk mendapatkan bantuan dari roh-roh yang
baik agar terhindar dari roh-roh yang jahat.

Dalam masa ini, orang Jawa berpandangan bahwa


eksistensi roh dan daya magis itu dapat mempengaruhi
dan menguasai hidup manusia, bahkan dijadikan dewa
atau tuhan mereka. Dalam hal ini, Vlekke berpendapat
bahwa kepercayaan masyarakat saat itu ditentukan oleh
kepercayaan terhadap benda-benda apa saja yang ada di
alam ini adalah hidup dan memiliki jiwa; bahwa kekuatan
alam merupakan ungkapan kekuatan rohani.5

5
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Uta-
ma, cet VIII, 2001) hlm 22

Bab 1 Islam dan Jawa 7


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

b. Perkembangan pada masa Hindu-Budha

Sekali lagi bahwa kebudayaan Jawa adalah sebuah


budaya yang tegas dan jelas. Tegas dikandung maksud
tidak mudah terpengaruh hingga dapat musnah, ketika
hadirnya kebudayaan yang lain, sedangkan jelas dikandung
maksud bahwa jauh sebelum agama besar datang, Jawa
telah memiliki agama tersendiri yaitu kepercayaan atau
disebut juga dengan Kejawen. Uraian tersebut tidaklah
berlebihan bila mencermati kebudayaan Jawa ketika
diperhadapkan dengan kedatangan Hindu-Budha, yang
tidak menjadikan jati diri Jawa musnah atau lebur, justru
yang terjadi adalah kebangkitan budaya Jawa dengan
memanfaatkan unsur-unsur Budha dan Hindu. Bahkan
keduanya berhasil diJawakan. Sehingga lahirlah Hindu-
Kejawen, Budha-Kejawen sebagaimana dipraktikkan
kalangan kerajaan.

Kedatangan Hindu-Budha di Jawa sama artinya dengan


adanya transformasi budaya India ke dalam budaya Jawa.
Bahkan pengaruh keduanya amat sangat kuat, bila melihat
warisan-warisan budaya, berupa sistem pemerintahan,
tempat pemujaan-pemujaan. Hal ini menandakan adanya
indikasi penerimaan secara terbuka oleh masyarakat Jawa
dengan masuknya Hindu-Budha bahkan menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Jawa.

8 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

c. Perkembangan pada masa Islam

Mengingat begitu kuatnya pengaruh Hindu-Budha di


masyarakat Jawa, terlebih pada kalangan istana, hal itu
menjadikan para sufi (dikenal dengan Walisongo) selama
berabad abad dalam menjalankan perannya menyebarkan
Islam ke tanah Jawa menjadi tidak mudah. Namun para
Wali tidak menjadi patah arang, dengan mengubah
sasaran strategi dakwah yang sebelumnya fokus di
kalangan istana, kemudian beralih ke masyarakat Jawa
pesisir yang ternyata begitu terbuka menerima ajakan para
Wali, sehingga sampai menjadikan pertumbuhan Islam
menjadi semakin subur dengan bukti banyak berdirinya
pesantren-pesantren di pesisir Jawa.

Dengan semakin membesarnya pengaruh Islam, maka


para Wali sedikit demi sedikit mengarahkan dakwahnya
menuju daerah pedalaman terutama di kalangan istana.
Dan tak dipungkiri lagi kewibawaan istana menjadi
tertandingi. Kemudian yang menjadi hasil gemilang dari
dakwah para Wali adalah dengan berdirinya kerajaan
Islam-Demak, yang dapat lah dinyatakan sebagai masa
peralihan dari Hindu-Budha menuju Islam. Peralihan
ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk penghapusan
agama Hindu-Budha melainkan sebagai proses Islamisasi
atau penyesuaian dengan ajaran Islam. Kendati demikian,
patut dicermati bahwa proses Islamisasi yang dipraktikkan

Bab 1 Islam dan Jawa 9


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

masyarakat Jawa tidak lepas dari adanya pola sinkretik,


yakni; sinkretisasi warisan Hinduisme, Buddhisme,
Animisme dan Dinamisme. Dan perpaduan agama
dengan kepercayaan semacam ini disebut dengan Islam
Kejawen.6

B. Mistisisme Jawa

Kata mistisisme merupakan sebuah paham tentang mistik


yang berasal dari kata mysticos (Yunani), atau mystic (Inggris) yang
berarti rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung
dalam kekelaman.7 Van Haeringen berpendapat bahwa paham
mistik itu pada dasarnya mengajarkan kepercayaan adanya
kontak antara manusia bumi dengan Tuhan, persatuan mesra
antara ruh manusia dengan Tuhan.8

Paham mistik ditinjau dari materi ajaran nya terdiri dari


dua macam paham yaitu9 paham yang bersifat keagamaan
dan paham yang bersifat non keagamaan. Pertama, paham
6
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita(Jakarta: UI Press,
1988) hlm 22
7
Lihat lebih jauh dalam A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictio-
nary of current English(Oxford: Oxford University Press, cet V, 1995) hlm 770.
“mystic: Having hidden meaning or spiritual power. Mysticism: the belief that knowledge of
God and of real truth may be reached by directing one’s mind or through spiritual insight.”
8
Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa(Semarang: Rasail Media
Group, cet I, 2008) hlm 39
9
Amin Jaiz, Masalah mistik, tashowwuf dan kebatinan(Bandung: Al-Maar-
if, 1980) hlm 8

10 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

mistik keagamaan mengajarkan tentang mistik yang berkaitan


dengan Tuhan dan ketuhanan-Nya, hubungan atau persatuan
manusia dengan Tuhan. Paham ini memberikan metode tentang
bagaimana usaha manusia dalam hidupnya untuk memelihara
dan meningkatkan kontak, hubungan langsung atau persatuan
dengan Tuhan dengan berbagai macam cara yang serba mistis.
Kedua, paham mistik non keagamaan yang lebih menekankan
pada ajaran tentang sopan santun, akhlak atau etika, ada juga
yang mengajarkan tentang pengobatan dengan daya-daya ghaib
dan juga peramalan nasib.

Mistik Jawa lebih sering dikenal dengan kebatinan Jawa.


Mistik Jawa merupakan sikap hidup keagamaan orang Jawa,
karena kenyataannya mistik Jawa dalam praktek kehidupan
sehari-hari menjadi semacam agama orang Jawa yang bersifat
mistik. Pengetahuan akan mistik Jawa atau kebatinan merupakan
prasyarat penting untuk menyelami pengetahuan tentang
Kejawen, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Soesilo yang
menyatakan “ kalau ingin mendalami ajaran Kejawen lebih dulu harus
mengerti istilah ‘Kebatinan’ atau lebih tepat disebut ‘ngelmu kebatinan”.
Oleh karena itu menjadi tidak berlebihan jika kebatinan dapat
dikatakan sebagai ruh kehidupan Kejawen.10

Adapun kebatinan adalah merupakan bentuk usaha untuk


mewujudkan dan menghayati nilai-nilai dan kenyataan rohani
dalam diri manusia serta alamnya dan membawa orang kepada

10
Suwardi Endraswara, op.cit, hlm 46

Bab 1 Islam dan Jawa 11


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

penemuan kenyataan hidup sejati serta pencapaian budi luhur


dan kesempurnaan hidup. Dari definisi tersebut dapat diungkap
bahwa hakekat mistik Jawa tidak lain adalah meniscayakan orang
Jawa untuk selalu mampu berolah batin atau olah rasa, yang
dikandung maksud agar hidup manusia sesuai dengan prinsip
hidup yang diterima dan dirasa oleh hati.11

Batin dalam aliran kebatinan menempati posisi penting,


karena batin merupakan objek sentral yang hendak diolah oleh
penghayat kebatinan Jawa. Kenapa harus batin, karena batin
merupakan titik tolak motor kehidupan, batin bersemayam di
bagian terdalam dari manusia. Bertolak dari batin ini, manusia
akan mampu melihat kehidupan ini sebagaimana mestinya,
karena dengan kacamata batin manusia akan terlepas dari segala
yang semu, berganda, yang memaksakan hidup serba dua yang
tidak dapat dihayati secara otentik.12

Dalam kebatinan juga, meniscayakan adanya olah rasa.


Kenapa harus rasa, karena rasa adalah piranti batin untuk
menyelami kehidupan. Alam batiniah yang memegang rasa
secara teguh. Ketika batin berolah rasa maka yang ada adalah
sebuah pengalaman perjalanan rasa tanpa batas. Dimana rasa
menjadi semakin hidup dan mampu membimbing diri manusia
agar mampu menyikapi keadaan disekitarnya. Dengan rasa,
seseorang akan dapat menyelami keindahan batin, hingga

11
Samidi Khalim, op.cit, hlm 50-51
12
Suwardi Endraswara, op.cit, hlm 51-55

12 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

menuju suasana yang diinginkan. Bahkan hal-hal yang rahasia di


hidup ini dapat diselami atas dasar rasa. Puncak dari penghayatan
dan penerimaan dari olah batin adalah:13

1. Okultisme

Adalah sebuah taraf bagi seorang penempuh jalan mistik


sehingga mendapatkan kekuatan gaib yang tidak dimiliki
orang biasa. Kekuatan gaib tersebut dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Okultis dapat
diraih bilamana telah melakukan prasyaratnya, semisal
tapa brata, laku keprihatinan. Demikian juga dapat
diupayakan setelah melakukan pengekangan terhadap hawa
nafsu keduniawiyahannya, dan juga menghilangkan rasa
keakuannya dalam rangka penghayatan terhadap kehadiran
Tuhan. Sehingga, okultis dapat lah dijadikan tolok ukur
bahwa seorang penempuh jalan mistik telah berhasil
melakukan kontak dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan telah
menghayati keberadaaNya.

2. Manunggaling Kawulo Gusti

Para penganut kebatinan mengakui bahwa tujuan tertinggi


dalam penghayatan mereka adalah mencapai kesatuan
dengan realitas tertinggi (Tuhan). Salah satu jalan untuk
mencapai hal itu adalah dengan manekung amuntu samadhi,
yaitu membaca rumusan lafal yang dianggap memiliki daya

13
Samidi Khalim, op.cit, hlm 50-54

Bab 1 Islam dan Jawa 13


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

magis yang mampu menyatukan jiwa manusia dengan zat


Tuhan.

Adapun ungkapan yang seringkali digunakan untuk


menggambarkan persatuan manusia dengan Tuhan seperti
curiga manjing ing warangka yakni manusia masuk dalam diri
Tuhan. Sedangkan Rangga Warsita dalam kitab Wirid Hidayat
Jati menggunakan istilah angumpulaken kawula gusti. Ungkapan
Pamoring Kawula Gusti juga termasuk sering diperdengarkan
oleh kalangan kebatinan.14

3. Sangkan Paraning Dumadi

Penganut kebatinan dalam upayanya untuk manunggaling


kawula gusti, juga berupaya lebih dalam mengetahui hakikat
manusia, dari mana asal kehidupan manusia ini berada
dan akan kemana hidup ini berakhir, yang pada akhirnya
mengarah pada penghayatan terhadap realitas ketuhanan.
Pemahaman tersebut lah yang dapat diistilahkan Sangkan
Paraning Dumadi.

Pada dasarnya tujuan hidup di dunia adalah untuk dapat


bersatu dengan tuhan, dan hal itu dapat dicapai dengan
melalui pengembaraan spiritual. Sehingga setelah di dunia
mampu untuk mengadakan kontak dengan tuhan, maka
untuk dapat menjalin kontak yang sebenarnya maka harus
melalui kematian. Oleh karena itu ilmu Sangkan Paraning

Samidi Khalim, op.cit, hlm 53

14 Bab 1 Islam dan Jawa


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

Dumadi mempunyai tujuan agar manusia setelah melalui


kematian, jiwanya tidak tersesat ke dalam kehinaan, tetapi
dapat bersatu dengan tuhan. Metode yang ditempuh dalam
kebatinan, dapat dijelaskan dengan perincian berikut:15

a. Pengintegrasian Diri

Metode ini merupakan anak tangga pertama yang harus


dilalui oleh pengikut kebatinan. Pada fase ini dituntut
untuk dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia.
Fase ini dilakukan terlebih dahulu dengan berusaha
menghilangkan sifat ego manusia dengan mengekang
nafsu dan kebutuhan hidup alaminya.

b. Transformasi

Pada tahap ini, seorang pengikut kebatinan telah


memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibanding pada
taraf sebelumnya. Hal ini dikarenakan seorang pengikut
kebatinan telah berhasil menyatu dengan dzat yang lebih
tinggi. Sehingga dia mencapai taraf kesatuan etis, kosmis
dan pantheistis dengan dzat yang lebih tinggi.

Pada taraf kesatuan etis, seorang pengikut kebatinan


akan menjadi manusia yang luhur, karena telah mampu
mentransformasi nilai kebaikan dari dzat sumber
Kebajikan. Sedangkan pada taraf kesatuan kosmis,
seorang pengikut kebatinan akan melebur menjadi satu
Samidi Khalim, op.cit, hlm 56-58

Bab 1 Islam dan Jawa 15


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

dengan alam. Kesadaran penyatuan dengan alam ini akan


melahirkan perilaku damai, cinta kasih terhadap makhluk,
ramah terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan dalam
taraf ini akan melahirkan kepercayaan bahwa salah satu
tugas manusia di alam ini adalah memayu hayuning bawana
(menjaga keselarasan alam). Selanjutnya, dalam taraf
kesatuan Pantheistis, seorang pelaku kebatinan akan
sampai tahap manunggaling kawula gusti, dimana dia merasa
telah menyatu dengan Tuhan sehingga segala perilakunya
akan mencerminkan sifat dan kehendak Tuhan sendiri.

c. Partisipasi dengan daya ghaib

Seorang penempuh kebatinan setelah melewati


tahapan-tahapan dalam perjalanan kebatinannya, akan
mendapatkan kekuatan yang bersifat gaib, sebagai efek
dari kesatuan dirinya dengan Tuhan maupun kosmos
(alam semesta). Sehingga, dengan kekuatan gaibnya
ini akan dijadikan alat untuk memberikan manfaat bagi
manusia yang lain.

16 Bab 1 Islam dan Jawa


BA B D U A

I S L A M K E JA W E N

A. Islam Kejawen

1. Pengertian Kejawen

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) ditinjau


dari segi etimologi, kata Kejawen diartikan sebagai segala
sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan adat Jawa.16
Adapun secara terminologi, Ahmad Khalil mendefinisikan
sebagai sebuah keyakinan atau ritual campuran antara
agama formal dengan keyakinan yang mengakar kuat di
kalangan masyarakat Jawa. Masih menurut Khalil, terjadinya
percampuran tersebut bisa saja terjadi dikarenakan dua
hal, yaitu: 1), dangkalnya pemahaman terhadap Islam, atau
2), berkat adanya pendalaman terhadap keyakinan warisan
dan Islam secara integral. Dan hal ini telah diakui sejumlah
kalangan peneliti, semisal Clifford Geertz, H. Geertz, Niels
Mulder, bahwa orang Jawa memang memiliki kepercayaan
yang beragam dan campur aduk.17

Menurut Simuh, kondisi tersebut bisa dilihat pada kenyataan

16
Badudu & Zain, op.cit, hlm 640
17
Ahmad Khalil, op.cit, hlm 46-47

17
FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

bahwa kendati masyarakat telah memeluk Islam namun


dalam praktik keagamaannya masih terpengaruh oleh unsur
keyakinan dan kepercayaan pra-Islam, yakni: Animisme,
Dinamisme, Hindu dan Budha.18Hariwijaya mengungkapkan
bahwa ‘Kejawen’ menggambarkan sebuah genre keagamaan
yang sudah jauh dari sifatnya yang murni di tempat asalnya;
yakni Timur Tengah. Demikian pula, ‘Kejawen’ digunakan
untuk menjelaskan adanya pola sinkretis dalam kasus
persinggungan Islam dengan budaya lokal (baca: Jawa),
yang oleh Clifford Geertz, Kejawen diposisikan sebagai
unsur eksternal yang meniscayakan Islam mengalami
transformasi bentuk. Islam dianggap sebagai ‘tradisi besar’
yang mempunyai elemen-elemen kanonik universal, untuk
kemudian diasimilasikan dengan unsur Kejawen.19

Di lain pihak, Harry J. Benda dengan teori ‘penjinakan’


budaya Jawa atas Islam, menganggap Kejawen sebagai
elemen dasar yang membentuk kosmos masyarakat Jawa
yang unsur-unsurnya dibangun melalui percampuran
antar pelbagai elemen yang juga datang sebelumnya.20Dari
uraian tersebut diatas, bila dihubungkan dengan Islam,
dapat penulis simpulkan secara definitif bahwa Islam
Kejawen adalah sebuah praktek pengamalan ajaran agama

18
Simuh, op.cit, hlm 161
19
Hariwijaya, Islam Kejawen: Sejarah, Anyaman Mistik dan Simbolisme Jawa
(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004) hlm 197-198
20
bid, hlm 198

18 Bab 2 Islam Kejawen


Alfa Syahriar, Lc., M.Sy.

Islam yang diasimilasikan dengan ajaran atau keyakinan


lokal masyarakat Jawa. Namun Woodward membedakan
Islam Kejawen dengan Islam Jawa. Mengikuti pendapat
Suparlan, Woodward menyebut Islam Jawa diperuntukkan
kepada varian mistik orang Islam Jawa (priyayi dan Abangan),
sedangkan Islam Kejawen lebih dikhususkan kepada orang-
orang kebatinan.21 Kendati demikian dapat dipahami bahwa
dua peristilahan tersebut (Islam Jawa dan Islam Kejawen) dalam
tataran epistemologi nya mempunyai kesamaan, dalam hal
proses pencapaiannya melalui jalur mistik.

2. Asal-Muasal Islam Kejawen

Upaya mengkonstruksi Islam Kejawen disepakati oleh


konsensus kesarjanaan ada problem yang signifikan, hal itu
dikarenakan upaya penelusuran ihwal persebaran Islam di
Asia Tenggara yang mungkin tidak akan pernah dituntaskan
secara utuh karena kurangnya sumber-sumber yang bisa
dipercaya. Namun paling tidak, menurut Woodward,
penelusuran sumber-sumber Islam Asia Selatan bisa banyak
membantunya. Woodward menyebutkan setidaknya ada
dua sumber, yaitu: (1) komunitas Asia Selatan khususnya
Kerala, dan (2) kerajaan Islam Dekkan dan India Utara.
Signifikansinya adalah bahwa Kerala dipengaruhi oleh tradisi
Arab, sedangkan Dekkan didominasi oleh orde keagamaan
dan politik Indo-Persia. Dan kebudayaan Islam Kejawen
21
Mark Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normative Versus Kebatinan(Yo-
gyakarta: Lkis, 1999) hlm 3

Bab 2 Islam Kejawen 19


FIKIH KEJAWEN: Menelusuri Jejak Ijtihad Kangjeng Sunan Kalijaga

menggabungkan kedua tradisi tersebut.

Mistisisme Islam
Berbicara soal mistisisme Islam dapat merujuk pada istilah
tasawuf. Karena tasawuf adalah paham Islam sufistik yang
bercampur dengan daya mistik. Tasawuf dapat disejajarkan
dengan kebatinan Jawa. Karena keduanya sama-sama
memanfaatkan olah batin. Keduanya mempunyai capaian yang
sama dalam perjalanan nurani manusia yaitu berada sedekat-
dekatnya dengan Tuhan, yang dalam konteks Kejawen disebut
mistik Kejawen, sedangkan dalam konteks Islam disebut
tasawuf.

Tasawuf sebagai mistik Islam menurut Abu Al-Wafa


Taftazani memiliki ciri-ciri umum yang bersifat psikis, moral dan
epistemologis. Menurutnya bahwa tasawuf adalah merupakan
suatu bentuk peningkatan moral, dalam artian bahwa tasawuf
memiliki dan untuk kemudian mengaplikasikan moral tersebut
dengan maksud untuk membersihkan batin.

Keberadaan tasawuf (sufisme) dalam sejarah Islam


dapat dipandang mempunyai andil yang cukup besar bagi
perkembangan Islam di seluruh penjuru dunia, dikarenakan
ajaran tasawuf kaya akan khazanah pemikiran dan praktik
keagamaan. Watak dasar tasawuf yang lebih menekankan
dimensi esoterik baik dalam pola pikir maupun praktik keagamaan
selalu berusaha untuk menembus batas lahiriah agama, sehingga
tidak lah berlebihan bila dianggap sebagai ajaran yang paling

20 Bab 2 Islam Kejawen

Anda mungkin juga menyukai