Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN

ISLAM DI NUSANTARA
Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam III

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Siti Ngaisah, M. Ag.

Disusun Oleh Kelompok 2/PAI 3B:

Tahara Nabila Yarlis 221210044

Fayza Aulia Azzahra 221210045

Rizki Sahri Ramadhon 221210054

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN PENDIDIKAN

UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

TAHUN AKDEMIK 2024


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia nya
sehingga makalah ini dapat tersusun dengan selesai. Tidak lupa sholawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, yakni Nabi Muhammad SAW. tidak pula
juga kepada dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam III yakni Dr. Hj. Siti Ngaisah,
M. Ag, semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa diberikan rezeki.

Juga tidak lupa pula kepada tim yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Bisa dibilang makalah ini belum sempurna jika belum ada arahan dari Ibu Dosen. Apabila
terdapat banyak kekurangan dalam proses pembuatan makalah ini mohon maaf, saran juga kritik
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, Februari 2024

Penyusun

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 3

KATA PENGANTAR 2

BAB I PENDAHULUAAN 4

A. Latar Belakang 4
B. Rumusan masalah 4
C. Tujuan penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN 6

A. Sejarah Kemunculan Walisongo 6


B. Sejarah Hidup dan Wilayah Penyebaran Agama Islam
Masing-masing Walisongo 7
C. Peran Walisongo di Indonesia 23

BAB III PENUTUP 26

A. Simpulan 26

DAFTAR PUSTAKA 27

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Sejarah Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran penting para tokoh-
tokoh agama yang dikenal sebagai Walisongo. Walisongo, secara harfiah berarti
“sembilan wali”, merupakan para tokoh ulama dan sufi yang memegang peran sentral
dalam menyebarkan agama Islam di kepulauan Nusantara pada abad ke-14 hingga ke-16
Masehi. Perjalanan dakwah mereka tidak hanya melibatkan penyebaran ajaran agama,
tetapi juga pembentukan nilai-nilai budaya dan sosial yang menjadi landasan keislaman
di wilayah ini.
Makalah ini akan mengulas secara mendalam mengenai peran Walisongo dalam
penyiaran Islam di Nusantara. Mulai dari latar belakang sejarah mereka, metode dakwah
yang mereka terapkan, hingga dampak yang mereka tinggalkan dalam pembentukan
masyarakat dan budaya Islam di wilayah ini. Melalui penelusuran sejarah dan analisis
mendalam, kita akan memahami bagaimana kontribusi para Walisongo telah membentuk
wajah Islam di Nusantara dan meninggalkan jejak yang masih terasa hingga saat ini.
Dengan menelusuri peran Walisongo, kita juga dapat menggali pemahaman yang
lebih dalam tentang dinamika peradaban Islam di Nusantara serta memperoleh wawasan
yang bermanfaat dalam konteks pluralitas agama dan budaya yang menjadi ciri khas
Indonesia.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana sejarah kemunculan Walisongo?
2. Bagaimana sejarah hidup dan wilayah penyebaran agama Islam masing-masing
Walisongo?
3. Bagaimana Peran Walisongo di Indonesia?

C. Tujuan Masalah.
1. Untuk mengetahui sejarah kemunculan Walisongo.

4
2. Untuk mengetahui sejarah hidup dan wilayah penyebaran agama Islam masing-
masing Walisongo.
3. Untuk mengetahui peran Walisongo di Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kemunculan Walisongo.


Islam masuk ke wilayah Nusantara sudah terjadi sejak lama. Sebagian
berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-7 M dan datang langsung dari Arab.
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk pada abad ke-13 M, dan ada juga yang
berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar abad ke-9 M atau ke-11 M. Perbedaan
pendapat tersebut disebabkan oleh bukti-bukti sejarah serta penelitian masing- masing
sejarawan yang menggunakan pendekatan dan metodenya sendiri. Perkembangan Islam
di Nusantara sangat erat dengan peran tokoh atau ulama yang hidup pada saat itu, di
mana tokoh yang sangat berjasa dalam proses islamisasi di Nusantara, terutama di tanah
Jawa adalah para Walisongo. Mereka adalah para wali yang membantu proses islamisasi
di Jawa.
Walisongo kemudian menjadi sosok yang sangat penting di kalangan masyarakat
muslim Jawa. Hal ini karena ajaran-ajaran dan dakwah mereka yang unik, serta sosok-
sosok mereka yang menjadi teladan serta ramah terhadap masyarakat Jawa. Dengan
begitu, Walisongo mudah untuk menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Nusantara.
Walisongo menyebarkan agama Islam dari Jawa Barat sampai ke Jawa Timur. Mereka
berdakwah di Cirebon, Demak, Kudus, Muria, Surabaya, Gresik, dan Lamongan. Proses
islamisasi berjalan dengan damai. Jarang ada perlawanan yang diberikan oleh masyarakat
terkait dengan proses islamisasi. Hanya ada pertentangan kecil yang tidak terlihat sebagai
perang atau pemaksaan budaya. Penduduk Jawayang pada akhirnya memeluk Islam,
melakukan hijrah tersebut dengan sukarela. Walisongo menerapkan metode dakwah yang
lembut dan damai sehingga dapat diterima dengan sangat baik oleh masyarakat Jawa.
Bahkan, kehadiran para Wali di tengah-tengah Pulau Jawa tidak pernah dianggap sebagai
sebuah ancaman.1
Para Wali ini menyebarkan agama Islam menggunakan pendekatan budaya
dengan cara menyerap seni budaya lokal yang dipadukan dengan ajaran Islam, seperti
wayang, tembang Jawa, gamelan, upacara-upacara adat yang digabungkan dengan unsur

1Rodiayah Rodiayah and Hefika Juipa Beta, “Sejarah Dakwah Dan Metode Dakwah Walisongo Di Indonesia,”
DAWUH : Islamic Communication Journal 3, no. 1 (March 31, 2022): 1–6.

6
atau makna-makna Islam dan sebagainya. Para Wali juga memadukan unsur ajaran
sebelumnya sebagai media dakwah. Mereka memasukkan nilai-nilai agama Islam ke
dalam unsur tersebut, sehingga kedua unsur, baik unsur sebelumnya yang masih
menganut ajaran Hindu-Buddha, bergabung bersama unsur ajaran Islam dan membentuk
sebuah keserasian.2
B. Sejarah Hidup dan Wilayah Penyebaran Agama Islam Masing-masing Walisongo.
1. Sunan Gresik.
Sunan Gresik diyakini sebagai Wali Sanga pertama yang datang dan
menyebarkan Islam di tanah Jawa. Nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim.
Ia juga dikenal dengan julukan Syekh Maghribi atau Maulana Maghribi. Adapun
julukannya yang lain adalah Sunan Tandhes, Sunan Raja Wali, Wali Quthub,
Mursyidul Auliya' Wali Sanga, Sayyidul Auliya Wali Sanga, Ki Ageng Bantal,
dan Maulana Makdum Ibrahim I (sedangkan Maulana Makdum Ibrahim II adalah
gelar Sunan Bonang bin Sunan Ampel). Karena dianggap Wali Sanga yang
pertama kali datang ke Jawa, maka Sunan Gresik dipandang sebagai wali paling
senior di antara para Wali Sanga. Menurut sumber lisan dan cerita rakyat, ia
datang ke Nusantara pada masa Majapahit, dan mulai menyiarkan Islam di Jawa
bagian timur dengan mendirikan masjid di Desa Pasucinan, Kecamatan Manyak.
Mengenai asal usul Sunan Gresik, terdapat banyak versi. Salah satu versi
menyebutkan bahwa Sunan Gresik merupakan keturunan ke-22 dari Nabi
Muhammad. Ia diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad ke-14 Masehi. Versi lain datang dari J.P. Moquette, berdasarkan pembacaan
prasasti pada makamnya. Menurut versi ini, Sunan Gresik berasal dari Kashan,
Iran. Versi lain menyebutkan bahwa Sunan Gresik berasal dari wilayah Arab
Maghrib di Afrika Utara. Hal ini didasarkan pada sebutan yang disematkan
kepadanya, Syekh Maghribi. asal usul Sunan Gresik tertulis dalam prasasti yang
terdapat di makam Sunan Gresik. Dalam prasasti itu, Sunan Gresik berasal dari
Iran. Namun, terlepas dari perbedaan tersebut, satu hal yang jelas bahwa Sunan
Gresik adalah wali pertama di Jawa yang bukan berasal dari golongan pribumi

2Zulham Farobi and Karin Lee, Sejarah Wali Songo : Perjalanan Penyebaran Islam Di Nusantara (Yogyakarta:
Mueeza, 2018).

7
(bukan orang Jawa). Dari segi silsilah, tercatat bahwa Sunan Gresik masih
keturunan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ia adalah
putra dari Maulana Jumadil Kubra, leluhur Wali Sanga di Nusantara yang
merupakan keturunan ke-10 dari Husain, cucu Nabi Muhammad Saw.
Metode dakwah: dalam berdakwah, Sunan Gresik menggunakan cara
yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran al-Qur'an dalam surat
an-Nahl ayat 125:
ۡ َ ‫ظ ِة ۡال َح‬
َ ‫سبِ ۡي ِل َربِكَ بِ ۡالحِ ۡك َم ِة َو ۡال َم ۡو ِع‬
َ ‫ع ا ِٰلى‬
‫س ُنؕ ا َِّن َربَّكَ ه َُو اَ ۡعلَ ُم‬ َ ‫سنَ ِة َو َجادِل ُهمۡ بِالَّت ِۡى ه‬
َ ۡ‫ِى اَح‬ ُ ‫ا ُ ۡد‬
١٢٥ َ‫سبِ ۡيلِه َوه َُو اَ ۡع َل ُم بِ ۡال ُمهۡ تَد ِۡين‬َ ‫ع ۡن‬ َ ‫بِ َم ۡن‬
َ ‫ض َّل‬
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikma dan pengajaran
yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
Sunan Gresik dikenal sebagai orang yang lemah lembut, welas asih, dan
ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau nonmuslim. Sifatnya
ini kemudian membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat
sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan
menjadi pengikut setianya. Akidah dan mazhab fiqh yang dianutnya adalah Islam
Ahlusunnah wal Jamaah dan bermazhab Syafi'i dalam urusan fiqh. 3
Adapun metode dakwah yang digunakan Sunan Gresik dalam menyiarkan
Islam itu adalah sebagai berikut:
a. Pertama, pendekatan personal. Cara pertama yang digunakan Sunan
Gresik dalam berdakwah adalah dengan mendekati masyarakat secara
personal, yakni melalui pergaulan. Dalam metode ini, Sunan Gresik
senantiasa memperlihatkan sifat- sifat mulia, seperti ramah tamah, welas
asih, suka menolong, dan lain-lain. Sehingga, dengan sifat baik tersebut,
masyarakat menjadi dekat dengannya dan menghormatinya. Bahkan, tidak
sedikit masyarakat yang masuk Islam dengan suka rela karena melihat
budi pekerti Sunan Gresik yang luhur tersebut. Meski masyarakat yang
3 Rizem Aizid, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: Diva Press, 2016).

8
dihadapinya waktu itu beragama Hindu, tetapi Ia tidak menentang secara
tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya
memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam.
Maka, metode ini pun cukup sukses dalam menarik perhatian masyarakat
sehingga Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat tanpa harus
melalui jalan kekerasan.
b. Kedua, perdagangan. Metode dakwah kedua yang dilakukan Sunan Gresik
dalam rangka menyiarkan Islam adalah melalui jalan perdagangan. Dalam
hal ini, Sunan Gresik berprofesi sebagai pedagang. Ia berdagang di tempat
pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Romo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak.
Selain itu, raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan
perdagangan tersebut sebagai pelaku jual beli, pemilik kapal atau
pemodal. Setelah cukup dikenal dan dihormati oleh masyarakat, Sunan
Gresik kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di
Trowulan. Meskipun kunjungannya dalam rangka menyebarkan agama
Islam gagal, karena Raja Majapahit tidak masuk Islam, tetapi ia berhasil
mendapatkan perhatian dari Raja Majapahit, sehingga sang Raja kemudian
memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah
yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura.
c. Ketiga, pertanian dan pengobatan. Cara lain yang digunakan Sunan Gresik
dalam menyiarkan agama Islam adalah melalui jalur pengobatan. Menurut
literatur sejarah, Sunan Gresik adalah seorang ahli pertanian dan
pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik
meningkat tajam. Selain itu, orang-orang sakit pun banyak yang
disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu. Dengan jalan ini, Sunan
Gresik berhasil mendapatkan simpati masyarakat sehingga Islam pun
dapat tersebar luas.
d. Keempat, mendirikan pondokan. Cara selanjutnya yang ditempuh Sunan
Gresik dalam menyiarkan Islam adalah dengan membangun dan

9
mendirikan pondokan sebagai tempat belajar agama di Leran. Tempat ini
selesai dibangun pada tahun 1419 Masehi.
Itulah empat metode dakwah yang digunakan Sunan Gresik dalam upaya
menegakkan panji-panji Islam di Jawa, khususnya di wilayah Gresik.
2. Sunan Ampel.
Setelah Syekh Maulan Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Walisongo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam di Pulau
Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan
merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel
Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada
tempat tinggalnya, sebuah nama tempat dekat Surabaya. Menurut Prof. Dr. B.J.O.
Schrieke, Makdum Ibrahim, sebagai putra Raden Rahmat lahir paling awal pada
tahun 1465. Tentang nama Campa ini, menurut Ensiklopedia Van Nederlandsch-
Indie adalah suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja (Indocina) yang
kemudian dikuasai oleh bangsa Khmer dari Vietnam. Sedangkan, menurut Raffles
yang dimaksud Campa adalah Jeumpa-Aceh (wilayah administrative Aceh Utara).
Menurut tradisi, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana
Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari kalangan istana, bernama Nyai
Ageng Manila putri seorang Adipati di Tuban, bernama Arya Teja. la dikaruniai
beberapa putera dan puteri, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang
merupakan isteri dari Sunan Kudus. Di antaranya yang menjadi penerusnya
adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan
istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di
pantai utara Pulau Jawa tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan mendapat
restu dari penguasa kerajaan.
Metode dakwah: Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan
Maulana Malik Ibrahim. la memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok
pesantren di Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, yang
sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Jawa. Agar pesantren
yang didirikan di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja

10
Majapahit mendapat simpatik mula-mula Ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang
sangat berpengaruh. Para pemuda-pemudi Islam dididik sebagai kader, untuk
kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa. Di antara
muridnya Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden
Patah (Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya V, raja Majapahit) yang kemudian
menjadi Sultan Pertama dari Kesultanan Islam di Bintoro Demak (1475 M.),
Raden Makdum Ibrahim yang dikenal dengan Sunan Bonang (putera Raden
Rahmat), Raden Kosim Syarifuddin yang dikenal dengan Sunan Drajat (putera
Raden Rahmat), Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan untuk
dakwah islamiyah disana, dan banyak lagi muballig yang mempunyai andil besar
dalam dakwah Islam di Pulau Jawa, dan Madura.
Sunan Ampel turut membidani lahirnya Kesultanan Islam pertama di
Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak, tahun 1447 atau 1479 M. Ia pula
yang menunjuk muridnya Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya VI Majapahit,
menjadi Sultan Demak tahun 1475 M dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah.
Kota Demak terletak sekitar 25 km di selatan kota Kudus. Karenanya, tidaklah
berlebihan jika kemudian Sunan Ampel dipandang punya jasa yang paling besar
dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara.
Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut memndirikan Mesjid Agung
Demak pada tahun 1479 M bersama wali-wali lainnya. Ketika mendirikan masjid
tersebut, para wali mengadakan pembagian tugas. Sunan Ampel diserahi tugas
membuat salah satu dari saka guru (tiang kayu raksasa) yang kemudian dipasang
dibagian tenggara, sehingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang
membuatnya yakni Sunan Ampel. Sunan Ampel juga orang yang pertama kali
menciptakan huruf pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Degan huruf
pegon ini, Ia dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hasil
didikan Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak
melakukan lima hal tercela, yaitu:
a. Moh Main atau tidak mau berjudi.
b. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak (bermabuk-mabukkan).

11
c. Moh Maling atau tidak mau mencuri.
d. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja, dan lain-lain.
e. Moh Madon atau tidak mau berzina.4
Pada awal dakwah Islam di Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar
masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan
masyarakat Jawa seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup
dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun
wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut
harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak.
Akhirnya Sunan Ampel mentoleransinya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya
ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha,
mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Sunan
Ampel setuju wakaupun ia tetap mengkhawatirkan adat dan upacara-upacara
tersebut kelak menjadi bid'ah.
Masjid Ampel dibangun pada tahun 1421, lokasinya di kelurahan Ampel,
kecamatan Pabean Cantikan, daerah Surabaya utara. Masjid ini didesain dengan
arsitektur Jawa kuno, menggunakan atap tumpang tiga, tidak memiliki kubah
seperti bangunan Timur Tengah. Memiliki 16 tiang penyangga dari kayu jati,
masing-masing berukuran 17 m, dengan diameter 60 cm. Yang menarik dari
tiang-tiang penyangga itu adalah tanpa sambungan', sehingga menimbulkan
misteri yg sampai sekarang masih belum terjawab: Bagaimana mendatangkan
kayu-kayu sebesar itu dari asalnya ke Ampel? Waktu itu kan semuanya masih
sangat sederhana, belum ada alat transportasi atau konstruksi modern. Di sebelah
barat masjid, ada makam Sunan Ampel, beserta para sahabatnya, dan para
syuhada haji. Di dekat pintu masuk makam ada sejumlah gentong berisi air
minum, dari sumur yg konon tidak pernah kering, di bawah masjid.
Di kampung Ampel, sekitar kompleks Masjid Agung Sunan Ampel,
terdapat 5 gapura yang sebagai symbol Rukun Islam:
a. Gapura Paneksen (Syahadat, bersaksi tiada Tuhan selain Allah SWT).

4Bahrur Rosi and Wasil, “STRATEGI DAKWAH SUNAN AMPEL DALAM MENYEBARKAN ISLAM DI TANAH JAWA,” Al-
Miftah: Jurnal Sosial Dan Dakwah 1, no. 2 (December 5, 2022),
https://ejournal.iaimu.ac.id/index.php/almiftah/article/view/186.

12
b. Gapura Madep (Sholat, melaksanakan sholat menghadap Kiblat).
c. Gapura Ngamal (Zakat, menunaikan zakat/shodaqoh bagi yang mampu).
d. Gapura Poso (Puasa, puasa seperti di bulan suci Ramadhan).
e. Gapura Munggah (Haji, menunaikan haji bagi yang mampu). 5
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya. Kini, komplek makamnya
menempati area seluas 1000 m2, bersama ratusan santrinya.
3. Sunan Bonang.
Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel dan saudara dari Sunan
Drajat. Silsilah keturunan dari arah Rasulullah SAW. sudah jelas. Sebab, ayahnya
merupakan keturunan langsung dari nabi, meskipun terdapat banyak versi
mengenai urutannya. Ibunya adalah putri Raja Brawijaya, yaitu Dewi Candrawati,
tetapi ada yang menyebutnya dengan nama Nyi Ageng Malaka. Sunan Bonang
belajar langsung pada ayahnya, Sunan Ampel, bersama dengan Sunan Giri.
Setelah itu, Ia menuntut ilmu ke Pasai. Di sana, Ia belajar kepada ayah Sunan Giri
dan beberapa ulama tasawuf dari berbagai negara, seperti Baghdad, Mesir, Persia
(Iran), dan lain sebagainya. Setelah kembali ke Jawa, Sunan Bonang diperintah
oleh ayahnya untuk berdakwah di daerah Lasem, Tuban, Rembang, dan
Sempadan Surabaya. Sedangkan, Sunan Giri di pegunungan di Gresik.
Metode dakwah: selain mumpuni di bidang agama, Sunan Bonang juga
sangat ahli dalam bidang kesenian. Dalam berdakwah, Ia memanfaatkan
keahliannya itu dengan menciptakan seperangkat alat musik khas Jawa berupa
gamelan yang dikenal dengan nama bonang. la pun terkenal dengan sebutan
Sunan Bonang. Bahkan, literatur lain menyebutkan jika desa yang ditinggalinya
juga disebut desa Bonang. Dengan alat musiknya tersebut, Sunan Bonang
menciptakan berbagai tembang yang bernuansa Islami. Cara inilah yang membuat
banyak penduduk setempat terpikat. Ketika dimainkan, banyak penduduk yang
berbondong- bondong untuk menikmatinya. Dengan tembang ini pula, tanpa
disadari, penduduk telah mendapatkan berbagai pelajaran Islam.

5Nur Hamiyatun, “PERANAN SUNAN AMPEL DALAM DAKWAH ISLAM DAN PEMBENTUKAN MASYARAKAT MUSLIM
NUSANTARA DI AMPELDENTA,” Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam 5, no. 1 (February 25, 2019): 38–
57, https://doi.org/10.36835/dakwatuna.v5i1.321.

13
Alat musik itu benar-benar mengikat perhatian banyak penduduk, apalagi
ketika Sunan Bonang sendiri yang memainkan. Dengan cara itulah banyak
penduduk yang menyatakan diri untuk mengikuti jejaknya tanpa adanya paksaan
sedikit pun. Selain alat musik yang diciptakan, Sunan Bonang juga menulis karya
sastra yang sarat akan makna Islam. Karyanya diakui banyak kalangan dan
mengandung nilai seni tinggi dan keindahan yang luar biasa. Karya sastranya
biasa disebut suluk. Ada yang mengatakan bahwa kata suluk berasal dari bahasa
Arab, yaitu ‫( سلك الطريقة‬salakat thariiqah), yang artinya menempuh jalan

(tasawuf) atau tarikat. Dalam menyampaikan ajaran Islam, Sunan Bonang


berdasarkan berbagai kitab-kitab ulama besar dari berbagai belahan dunia, dan
naskah-naskah yang diciptakannya sendiri. Secara garis besarajaran yang
disampaikannya terdiri atas tiga pokok, yaitu ushuluddin, fiqh, dan tasawuf.
Dengan berbagai keahlian dan kebijaksanaannya, Sunan Bonang menjadi
sosok yang sangat dihormati di tengah-tengah para anggota Walisongo. Tidak
mengherankan jika Ia dipercaya memimpin tiga persidangan besar yang pernah
dilaksanakan oleh para anggota Walisongo. Tiga persidangan besar tersebut
adalah pengangkatan Raden Patah sebagai Raja Demak yang pertama, pendirian
Masjid Demak, dan persidangan dalam kasus Syekh Siti Jenar. 6
4. Sunan Drajat.
Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Sumber yang lain mengatakan
namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama
Dewi Candrawati. Diperkirakan Sunan Drajat lahir pada tahun 1470 M. Raden
Qasim menghabiskan waktu kecilnya di pesantren Ampel Denta, milik
ayahnyaSunan Ampel. Setelah dewasa, Sunan Ampel memberinya tugas untuk
berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan
Tuban. Perjalanan menuju pesisir Gresik Tuban, Raden Qasim berhasil mendarat
di 1485 M. Di Kampung Jelak, beliau disambut baik oleh tetua setempat bernama
Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Konon kedua tokoh kampung tersebut
telah diislamkan oleh pendakwah dari Surabaya yang terdampar di sana beberapa

6 Rofi’e Arinro and Hakan Syukur, Panduan Wisata Religi Ziarah Wali Sanga (Yogyakarta: Saufa, 2016).

14
tahun sebelumnya. Kemudian Raden Qasim menetap di Jelak, dan menikah
dengan Kemuning, puteri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, beliau mendirikan
sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Dalam waktu yang singkat telah banyak orang-orang yang berguru kepadanya.
Setahun kemudian, Raden Qasim pindah ke daerah sebelah selatan yang lebih
tinggi, tempat tersebut dinamakan Desa Drajat. Di desa ini, Raden Qasim
mendirikan mushala atau surau dan dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga
tahun tinggal di daerah tersebut, beliau berpindah lagi ke tempat yang lebih tinggi,
satu bukit.
Di tempat baru tersebut, beliau berdakwah dengan menggunakan kesenian
rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang-
orang, kemudian Ia memberikan ceramah agama kepada mereka. Sunan Drajat
menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522 M, dan
dimakamkan di desa Drajat, kecamatan Paciran, Lamongan Jawa Timur. Di
tempat tersebut kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang
peninggalan Sunan Drajat. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini
dibiarkan kosong.
Metode dakwah: Sunan Drajat memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam
menyampaikan ajarannya, beliau menggunakan berbagai macam cara antara lain;
lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar, melalui penyelenggaraan
pendidikan di pesantren, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu
masalah, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat
tembang pangkur dengan iringan gending. Beliau juga menyiarkan ajaran agama
melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah berikan tongkat kepada orang buta;
berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang;
dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat juga sangat memperhatikan penduduk. Beliau sering ber-
jalan pada malam hari melihat situasi perkampungan. Penduduk merasa aman dan
terlindungi dari segala macam gangguan. Setelah salat ashar, Sunan Drajat

15
berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk agar melaksanakan
salat magrib. "Berhentilah bekerja, jangan lupa salat," katanya dengan nada
membujuk. Beliau selalu membesuk warga yang sakit, dengan mengobatinya
menggunakan ramuan tradisional dan doa. 7
5. Sunan Kudus.
Data Silsilah dan kerabat Sunan Kudus, diperoleh penulis, lazimnya
bersumber dari penuturan yang bersifat regenerasi. Dengan demikian, berpeluang
terjadinya perbedaan data. Sunan Kudus memiliki kakak kandung bernama Dewi
Sujinah yang dinikahi Sunan Muria. Pernikahan Sunan Muria dikaruniai anak
bernama Pangeran Santri atau Sunan Ngadilangu. Dengan penamaan ini, muncul
anggapan bahwa Sunan Muria merupakan putra Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
hidup dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kadilangu, Demak. Sedangkan
makam Dewi Sujinah di kompleks pemakaman Sunan Kudus, di belakang Masjid
al-Aqsha Menara Kudus.
Menurut Sunyoto, nama Sunan Kudus semasa kecil adalah Ja’far Shodiq,
putra Sunan Udung/Ngudung dengan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi
Ageng Maloka. Sunan Ngudung seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana
hingga ke Jawa. Silsilah Sunan Ngudung/Sunan Kudus yakni Nabi SAW, Ali bin
Abi Tholib, Husein bin Ali, Zainal Abidin, Maulana Jumadal Kubro, Zaini Al-
Khusaini, Zaini Al-Kubro, Zainul Alim, Ibrahim As-Samarkandi, Usman
Haji/Sunan Ngudung, Sunan Kudus.8
Sunan Kudus semula bernama Amir Haji karena pernah memimpin
rombongan jamaah haji pada era pengabdiannya di Kerajaan Bintoro, Demak.
Penamaan Ja‟far Sodiq tatkala Ia berpindah dan menetap di Kudus yang masa itu
menjadi bagian wilayah Karisidenan Pati. Kudus memiliki otonomi sebagai
daerah perdikan yakni daerah yang bebas membayar pajak/upeti pada Kesultanan
Demak. Di Kudus saat itu banyak umat Hindu, agar masuk Islam, Ia
menambatkan sapi (hewan yang dikeramatkan umat Hindu) diberi nama Kebo
Gumarang di halaman masjid Menara Kudus. Tatkala warga berkumpul, Sunan

7 Imam Subchi, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2016).
8 Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Jakarta: Pustaka IIman dan Lesbumi PBNU, 2016).

16
Kudus menjelaskan makna surat Al-Baqarah (bermakna sapi betina). Dalam
kisah tutur, kepindahan Sunan Kudus akibat perselisihan ide/pendapat dengan
Sultan Trenggono dalam menentukan 1 Ramadan tahun 1520 M. Sunan Kudus
mampu memperluas wilayah Kerajaan Bintoro Demak hingga ke wilayah Cirebon
Jawa Barat dan Madura Jawa Timur. Sunan Kudus pun bersama Pati Unus
(dengan nama lain Adipati Unus, Yat Sun, Sultan Demak 1518-1521 pengganti
Raden Patah) dengan kapal perang memimpin pasukan Kerajaan Demak
menghadapi Portugis di Malaka tahun 1513 M, tetapi Demak dikalahkan. Di
Kasultanan Demak semasa dipimpin Raden Prawata, Sunan Kudus diangkat
sebagai panglima perang Adipati Jipang, Arya Penangsang.Sunan Kudus berguru
pada Sunan Kalijaga.
Sunan Kudus tatkala berhaji, ia singgah di Baitul Maqdis (al-Quds)
mendalami Islam, setelah kembali di Kudus membawa batu prasasti berbahasa
Arab tertanggal 956 H (1549 M) terpasang di Mihrab (orang Kudus menyebut
pengimaman) Masjid Menara Kudus.Versi cerita rakyat, ketika Sunan Kudus
berada di Baitul Maqdis, terjadi wabah penyakit mematikan (pagebluk) sehingga
atas kemampuannya dapat diberantasnya. Oleh Amir Palestina (guru Sunan
Kudus) memberi kuasa sebagai hadiah menempati daerah di Palestina (tercatat
dalam prasasti) yang dipindahkan ke Jawa. 9
Metode dakwah: Diawali dengan metode pendekatan yang dilakukan
dengan toleransi terhadap budaya masyarakat setempat, beliau menggunakan
beberapa strategi dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus
merupakan pendakwah ulung di Tanah Jawa yang mampu melakukan dakwah
dengan cara-cara fleksibel untuk mengambil hati masyarakat non-islam.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan pendekatan kebudayaan. Dengan
begitu, agama Islam mampu diterima dengan baik oleh masyarakat setempat
tanpa melakukan tindakan kekerasan. Ada berbagai macam cara dilakukan oleh
Sunan Kudus dalam melakukan pendekatan kebudayaan.

9Moh Rosyid, “Islam dan Kearifan Lokal: Kajian Tradisi Khoul Sunan Kudus,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 19, no.
2 (April 13, 2020): 279–96, https://doi.org/10.24042/ajsk.v19i2.3370.

17
Salah satu cara Sunan Kudus mendekati masyarakat adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu-Buddha, yang terlihat pada arsitektur Masjid
Menara Kudus. Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan Sunan
Kudus yang paling populer. Bentuk menara masjid ini menyerupai candi Hindu,
sedangkan beberapa bagian masjid lainnya menunjukkan adanya pengaruh
Buddha. Tanpa menghilangkan tradisi, masyarakat setempat tidak berat untuk
datang ke masjid untuk mendengarkan dakwah Sunan Kudus.
Sunan Kudus juga memanfaatkan sapi sebagai salah satu strategi
dakwahnya. Sapi merupakan hewan suci bagi umat Hindu, sehingga untuk
menarik perhatian masyarakat setempat beliau memanfaatkan sapi yang diberi
nama Kebo Gumarang untuk menarik perhatian masyarakat. Kebo Gumarang
dihias sedemikian rupa dan diikat di halaman masjid untuk menarik orang datang
dan akhirnya mendengarkan dakwah. 10
6. Sunan Giri.
Sunan Giri adalah salah satu tokoh Wali Songo yang kedudukannya
sebagai pandhita ratu (raja sekaligus guru suci). Strategi dakwahnya, terutama
melalui kekuasaan, perniagaan, dan pesantren. Jejak dakwah Sunan Giri beserta
keturunannya bukan sebatas di Jawa, melainkan juga mencapai Kalimantan
(Banjarmasin, Martapura, Pasir, dan Kutai), Sulawesi Selatan (Buton dan Gowa),
Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku, dan Papua.
Mengenai orang tua Sunan Giri, di Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa
ayah Sunan Giri adalah Syekh Maulana Ishaq, ibunya Dewi Sekardadu, dan
kakeknya Prabu Menak Sembuyu. Sementara, menurut Serat Walisana, ayah
Sunan Giri adalah Sayyid Ya'kub (Pangeran Raden Wali Lanang), ibunya Retno
Sabodi, dan kakeknya Prabu Sadmuddha. Namun, kedua sumber itu sama-sama
menyebutkan bahwa baik Dewi Sekardadu maupun Retno Sabodi adalah
keturunan Raja Blambangan. Maka, menurut Raffles dalam The History of Java,
Sunan Giri adalah keturunan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir
yang dirajakan di Blambangan). Kata "Giri", suatu wilayah di Gresik, Dakwah

10Aristy Dila, “Sunan Kudus: Asal-Usul, Metode, dan Strategi Dakwah | Sewa Rumah, Apartemen, Kost Coliving |
Sewa Hunian Jangka Panjang,” Rukita, October 28, 2023, https://www.rukita.co/stories/sunan-kudus.

18
Sunan Giri mengikuti jejak Sunan Ampel, yaitu lewat pendidikan. Ia membangun
pesantren. Santri-santrinya berasal dari wilayah-wilayah di Jawa timur, Jawa
tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate,
Tidore, dan Hitu. Sunan Giri juga menciptakan macam- macam permainan anak-
anak, seperti jelungan, jamuran, dan gendi gerit. Ia juga menciptakan tembang-
tembang religius, seperti tembang Padang Bulan, Jor, Gula Ganti, dan Cublak-
cublak Suweng, dan tembang-tembang lain yang sangat disukai oleh masyarakat.
Dengan demikian, Ia dapat dikatakan sebagai salah seorang pencetus sistem
pendidikan sambil bermain.
Metode dakwah: metode yang digunakan yakni, sistem pendidikan yang
juga dikembangkan oleh Sunan Giri adalah tabligh. Ia mengadakan perkumpulan-
perkumpulan, seperti selamatan dan acara-acara keislaman. Di acara-acara itu,
menyampaikan ajaran Islam. Sehingga, Islam diterima secara wajar, dan lambat
laun masyarakat hidup dengan nilai-nilai yang diwajibkan dan dianjurkan dalam
Islam. Bahkan, Sunan Giri tidak segan mendatangi rumah-rumah masyarakat
untuk menyampaikan ajaran Islam.Untuk memancing orang-orang berkumpul,
Sunan Giri memanfaatkan seni pertunjukan dan, isi dari pertunjukan itu adalah
pedoman hidup yang digali dari ajaran Islam. Ia mereformasi seni pertunjukan
wayang. Lakon wayang yang biasanya berisi kisah-kisah Ramayana-Mahabharata
atau ajaran-ajaran Hindu-Buddha, Ia ubah isinya sehingga memuat nilai-nilai
Islam. Ia mengarang lakon-lakon wayang lengkap dengan suluknya. Ia juga
menambahkan tokoh-tokoh wayang dari golongan wanara (kera), yaitu Kapi
Menda, Kapi Sraba, Kapi Anala, Kapi Jembawan, Kapi Winata, dan Urahasura.
Bentuk wayang yang ada pun diubah, untuk mengidentifikasi wayang model
Sunan Giri dengan model sebelumnya. Sunan Giri menambah gelang hias di
pangkal lengan wayang, gelang kaki, anting telinga, hiasan di punggung, dan
hiasan di kepala.11
7. Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga adalah gelar yang diberikan kepada Raden Mas Said.
Beliau adalah putra dari Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Tumenggung

11 Husnul Hakim, Sejarah Lengkap Islam Jawa (Yogyakarta: Laksana, 2022).

19
Wilatikta adalah keturunan Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti
nama menjadi Raden Sahur. Ibu Sunan Kalijaga bernama Dewi Nawangrum.
Sunan Kalijaga lahir dari keluarga bangsawan asli di Istana Tumenggung
Wilatikta di Tuban. Sunan Kalijaga dididik dalam bidang pemerintahan dan
kemiliteran, khususnya di bidang angkatan laut. Beliau juga ahli di bidang
kesenian dan arsitektur.
Nama Kalijaga berasal dari rangkaian bahasa Arab yaitu qadizaka. Qadi
artinya pelaksana atau pemimpin sedangkan zaka artinya membersihkan. Jadi,
qadizaka artinya pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan dan
kebenaran agama Islam. Namun, kata qadizaka menurut lidah dan ejaan Jawa
menjadi kalijaga. Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Sarokah. Beliau
mempunyai lima orang anak. Kelima anaknya yaitu Kanjeng Ratu Pembayun,
Nyai Ageng Panenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng
Ngerang.
Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga juga pernah
menikah dengan putri dari Maulana Ishaq, yaitu Dewi Saroh. Dari pernikahan
tersebut, mereka dianugerahi tiga orang anak, yaitu Raden Umar Said atau Sunan
Muria, Dewi Rukoyah, dan Dewi Sofiah. Semasa hidupnya, Sunan Kalijaga
sering melakukan perjalanan. Dalam perjalanan itu, beliau bertemu dengan Sunan
Bonang. Akhirnya, Sunan Kalijaga pun menjadi murid Sunan Bonang. Sunan
Kalijaga juga memiliki murid yang termasuk dalam Wali Sanga, yaitu Sunan
Kudus.
Metode dakwah: Sunan Kalijaga berdakwah dengan memadukan antara
unsur tradisi Jawa dan ajaran agama Islam. Beliau mewarnai seni dan budaya
Jawa dengan corak agama Islam. Salah satu contohnya adalah menceritakan
kisah-kisah tentang ajaran agama Islam melalui pewayangan. Sunan Kalijaga
merupakan seorang ahli dalam bidang arsitektur, politik, dan militer. Beliau
pandai mengumpulkan massa untuk mendengarkan dakwah ajaran agama Islam.
Karyanya yang terkenal adalah wayang kulit dan cerita- cerita tentang ajaran
agama Islam. Sunan Kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Mereka harus didekati secara bertahap yaitu mengikuti

20
sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika masyarakat sudah paham
ajaran agama Islam maka kebiasaan lama akan hilang.
Dakwah Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa ajaran agama Islam masuk
dan berkembang di Jawa melalui pengenalan budaya tanpa kekerasan, tanpa
paksaan, tanpa hujatan, dan dilakukan dengan damai. Dengan demikian, agama
Islam dapat diterima oleh berbagai golongan. Masyarakat pun tidak enggan untuk
belajar mengenai agama Islam dan menjadi seorang muslim. 12
8. Sunan Muria.
Sunan Muria memiliki nama kecil yaitu Raden Prawoto. Beliau juga
dikenal dengan nama Raden Umar Said, yaitu nama yang diberikan Ayahnya di
waktu kecil. Raden Prawoto adalah putra pertama dari sunan Kalijaga dengan
dewi Saroh. Dewi Saroh adalah saudara dari sunan Giri yang merupakan putra
dari Syeh Maulana Ishaq. Jadi sunan sunan Muria masih keponakan dari sunan
Giri. Beliau terkenal dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi
pada masa kesul- tanan di Demak. Raden Prawoto ini tinggal di Gunung Muria
tepatnya Puncak Colo yang terletak di sebelah utara Kota Kudus, karenanya
Sunan ini terkenal dengan nama Sunan Muria.
Metode dakwah: Seperti beberapa tokoh dalam Walisongo yang lain,
Sunan Muria juga mengedepankan kelembutan pada saat berdakwah kepada
masyarakat luas. Tidak hanya menye- barkan terkait kebaikan Islam, juga manfaat
Islam dalam kehidupan. dasarnya, budaya Pada Islam sudah dianut oleh beberapa
tradisi asli masyarakat. Namun mereka saja yang belum mengetahui bahwa tradisi
tersebut adalah ajaran Islam. Walisongo memiliki berbagai metode dalam
berdakwah, salah satu ciri khas Sunan Muria dalam berdakwah adalah
menggunakan kesenian. Kesenian dalam hal ini menggunakan gamelan dan
wayang. Beliau memperkenalkan Islam melalui gamelan dan wayang dalam
bentuk cerita sehingga mudah dipahami dan meresap di hati. Melalui penampilan
kesenian berupa gamelan dan wayang, Beliau menceritakan berbagai kisah agama
Islam dengan cara menyenangkan. Penonton yang memiliki berbagai profesi

12Yusak Burhanudin and Ahmad Fida’, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Ibtidaiyah Kelas VI (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2021).

21
seperti pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat biasa semakin memahami nilai-nilai
Islam yang disampaikan oleh Sunan Muria.13
9. Sunan Gunung Jati.
Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah adalah salah satu dari penyiar
agama Islam di tanah Jawa bersama kesembilan wali yang dikenal dengan nama
Walisongo. Sunan Gunung Djati merupakan cucu dari penguasa Tanah Sunda,
Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda Padjadjaran. Sangat unik melihat kenyataan
bahwa Sunan Gunung Djati adalah penyiar agama Islam yang terkemuka, karena
kakeknya Prabu Siliwangi adalah Raja dari kerajaan bercorak Hindu-Buddha di
Jawa Barat. Cirebon baru menjadi kerajaan yang berdaulat dan tidak lagi berada
dibawah kekuasaan manapun, ketika Sunan Gunung Djati berkuasa dan
melepaskan diri dari Kerajaan Sunda Padjadjaran.
Syarif Hidayatullah atau yang biasa kita kenal sebagai Sunan Gunung
Djati lahir dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim dan
Nyai Rara Santang. Beliau lahir pada tahun 1448 Masehi dan saat mulai beranjak
dewasa beliau ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin kerajaan. Namun ia
menolak dengan alasan ingin menyebarkan ajaran agama Islam.
Sunan Gunung Djati yang tadinya tinggal bersama kedua orang tuanya di
Timur Tengah, memutuskan kembali ke tanah Jawa untuk melanjutkan niatnya
dalam penyebaran agama Islam. Pada usia 25 tahun beliau sudah dikenal sebagai
ulama penyebar Islam yang sangat dihormati. Tidak hanya itu saja, beliau juga
disegani karena kepemimpinannya yang sangat adil dan bijaksana.
Metode dakwah: Sunan Gunung Jati mempunyai caranya sendiri dalam
menyebarkan agama Islam, yaitu dengan menggunakan media kesenian gamelan
di Cirebon. Konon, setiap orang yang ingin melihat pertunjukan gamelan dari
Sunan Gunung Djati harus mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu.
Itulah mengapa gamelan digunakan beliau sebagai media syiar Islam. Hingga
sekarang, gamelan tersebut masih di mainkan oleh pihak keraton Cirebon
walaupun usianya sudah ratusan tahun. Rangkaian gamelan yang berupa gong,
bonang, dan saron tersebut masih tersimpan rapi di museum pusaka Keraton

13 Yoyok Rahayu Basuki, Sunan Muria (Raden Umar Said) (Malang: Azhar Publisher, 2023).

22
Kasepuhan Cirebon. Untuk terkadang digunakan pada acara pementasan saat hari-
hari kebesaran tertentu agama Islam. 14
C. Peran Walisongo di Indonesia.
Sejarah Walisongo sangat berhubungan dengan catatan penyebaran ajaran Islam
di Jawa. Perjalanan mereka membentuk masyarakat Islam di Pulau Jawa memberikan
sumbangan besar bagi perkembangan peradaban Nusantara. Selama berabad-abad, agama
Islam kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa, baik di desa maupun di
kota, dari pesisir pantai hingga ke daerah pegunungan. Selanjutnya, agama Islam menjadi
ajaran yang benar-benar melekat di dalam setiap kehidupan masyarakat.Pembangunan
tempat-tempat ibadah juga menjadi salah satu bukti bahwa agama Islam telah menjadi
salah satu ajaran yang dianut oleh banyak orang. Pembangunan langgar atau masjid
selain tempat beribadah juga sebagai tempat untuk mengajarkan ajaran-ajaran moral yang
ada di dalam agama Islam. Tempat-tempat ibadah tersebutlah yang kemudian menjadi
pusat penyebaran agama Islam.
Menurut MB. Rahimsyah (2006), Walisongo merupakan nama suatu dewan
dakwah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat,
maka akan segera diganti oleh wali lainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya
dominasi budaya Hindu-Buddha di Nusantara,yang kemudian digantikan dengan
kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di
Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun, peranan mereka yang sangat
besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih
banyak dikenal dibanding tokoh lainnya.
Kesembilan wali ini memiliki peran yang begitu penting dalam penyebaran agama Islam
di pulau Jawa. Sebagai tokoh penyebar agama Islam kepada masyarakat awam yang
masih menganut ajaran sebelumnya, Hindu-Buddha, para wali berusaha dengan berbagai
upaya sehingga masyarakat mulai mengenal Islam.
Para wali sebagai orang yang ahli agama, memberikan pengajaran sebagai guru
yang mampu menerangkan banyak hal mengenai Islam kepada murid-muridnya. Para

14Idik Saeful Bahri, Silsilah Keluarga Besar Kiai Ending Zahidi Lengkong (Suatu Jejak Yang Hampir Terlupakan)
(Tuban: Bahasa Rakyat, 2023).

23
wali juga menjadi salah satu contoh teladan. Ketika masyarakat yang menjadi murid-
muridnya memiliki pertanyaan, maka para wali akan menjelaskannya dengan terperinci.
Para wali bahkan tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memberikan contoh langsung.
Baik di dalam kehidupan sehari-hari, maupun di dalam urusan peribadahan. Bahkan di
kala para wali hanya sekadar beribadah, masyarakat yang melihat akan mencontohnya.
Mereka, para wali, pun menjadi pemimpin agama Islam di daerah yang mereka tempati.
Selain mereka memilki pengikut yang jumlahnya cukup banyak, para wali ini bahkan
menjadi tokoh yang disegani di dalam masyarakat.
Berkat perjuangan Walisongo itulah, agama Islam menyebar ke seluruh penjuru
Pulau Jawa. Mereka adalah awal mula persebaran agama Islam, bahkan selanjutnya
agama Islam menyebar sampai ke seluruh daerah di Nusantara. Di dalam bidang
pendidikan, peran Walisongo terlihat dari aktivitas mereka dalam mendirikan pesantren,
sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan
Ampel mendirikan pesantren di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya, yang
sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah,
dia mendidik pemuda-pemudi Islam sebagai agen untuk menyebarkan ajaran Islam, untuk
kemudian disebarkan ke berbagai tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain
Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim
Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari
Kerajaan Islam Demak), Maulana Ishaq, dan banyak lagi mubaligh yang mempunyai
andil besar dalam proses islamisasi Pulau Jawa. Sedangkan Sunan Giri mendirikan
pesantren di daerah Giri. Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi
lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti
Madura, Bawean, Kangean, Ternate, dan Tidore. Sunan Bonang memusatkan kegiatan
pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren yang didirikan di daerah Tuban. Sunan
Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Patah, putra Raja
Majapahit, yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan tersebut kini
dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
Bidang politik yang diselami oleh para wali pun berkaitan dengan masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Walisongo
mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka ada yang menjadi penasihat

24
raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung Jati. Sunan Ampel sangat
berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Istrinya berasal dari kalangan istana, dan
Raden Patah, seorang putra Raja Majapahit, adalah muridnya. Dekatnya Sunan Ampel
dengan kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat
hambatan, bahkan mendapat restu dari penguasa kerajaan. Sunan Giri fungsinya sering
dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah
penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan keputusan dan
pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasihat Kesultanan Demak Bintoro. 15
Dari penjelasan di atas, sudah jelas sepertinya bahwa peran Walisongo cukup
dominan adalah di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubaligh,
Walisongo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam.
Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa terpencilSalah satu
karya yang bersejarah dari Walisongo adalah mendirikan Masjid Demak. Hampir semua
Walisongo terlibat di dalam segala perkembangan sejarah Islam di Nusantara. Adapun
sarana yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin oleh
para Walisongo. Selain itu juga melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka
memanfaatkan pertunjukan- pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan
meniupkan napas Islam ke dalamnya.16

15 Waluyo Waluyo, “PERAN WALISONGO DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA AKULTURASI
BUDAYA JAWA,” Wahana Akademika: Jurnal Studi Islam Dan Sosial 8, no. 2 (November 1, 2021): 137–47,
https://doi.org/10.21580/wa.v8i2.8771.
16 “Peran Walisongo Dalam Penyebaran Islam Di Indonesia | PDF,” accessed February 17, 2024,

https://id.scribd.com/document/373793433/Peran-Walisongo-Dalam-Penyebaran-Islam-Di-Indonesia.

25
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Melalui upaya dakwah dan penyebaran ajaran Islam yang gigih dan terorganisir,
para Walisongo telah memberikan kontribusi yang besar dalam membawa agama Islam
ke Nusantara. Mereka tidak hanya menyebarkan ajaran Islam secara teoritis, tetapi juga
membangun hubungan dekat dengan masyarakat setempat, menggunakan bahasa dan
budaya lokal untuk menyampaikan pesan Islam dengan cara yang lebih dapat diterima.
Selain itu, mereka juga berperan sebagai mediator antara budaya lokal dan Islam,
memfasilitasi proses akulturasi dan transformasi agama yang mengakomodasi tradisi-
tradisi lokal tanpa mengorbankan esensi ajaran Islam.
Pentingnya peran Walisongo dalam sejarah Islam di Nusantara tidak dapat
diragukan lagi. Melalui usaha mereka, agama Islam telah menjadi bagian integral dari
identitas budaya dan spiritual Nusantara. Dengan mewariskan nilai-nilai Islam yang
toleran, inklusif, dan adaptif, warisan intelektual dan spiritual Walisongo tetap relevan
dan menjadi landasan bagi pemahaman Islam yang berkelanjutan di Nusantara.
Karenanya, menghargai dan mempelajari peran mereka adalah penting dalam memahami
dinamika sejarah agama dan budaya di Indonesia dan kawasan sekitarnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Agus Sunyoto. Atlas Wali Songo. Jakarta: Pustaka IIman dan Lesbumi PBNU, 2016.

Dila, Aristy. “Sunan Kudus: Asal-Usul, Metode, dan Strategi Dakwah | Sewa Rumah,
Apartemen, Kost Coliving | Sewa Hunian Jangka Panjang.” Rukita, October 28, 2023.
https://www.rukita.co/stories/sunan-kudus.

Hamiyatun, Nur. “PERANAN SUNAN AMPEL DALAM DAKWAH ISLAM DAN


PEMBENTUKAN MASYARAKAT MUSLIM NUSANTARA DI AMPELDENTA.”
Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam 5, no. 1 (February 25, 2019): 38–57.
https://doi.org/10.36835/dakwatuna.v5i1.321.

Husnul Hakim. Sejarah Lengkap Islam Jawa. Yogyakarta: Laksana, 2022.

Idik Saeful Bahri. Silsilah Keluarga Besar Kiai Ending Zahidi Lengkong (Suatu Jejak Yang
Hampir Terlupakan). Tuban: Bahasa Rakyat, 2023.

Imam Subchi. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII. Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 2016.

“Peran Walisongo Dalam Penyebaran Islam Di Indonesia | PDF.” Accessed February 17, 2024.
https://id.scribd.com/document/373793433/Peran-Walisongo-Dalam-Penyebaran-Islam-
Di-Indonesia.

Rizem Aizid. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: Diva Press, 2016.

Rodiayah, Rodiayah, and Hefika Juipa Beta. “Sejarah Dakwah Dan Metode Dakwah Walisongo
Di Indonesia.” DAWUH : Islamic Communication Journal 3, no. 1 (March 31, 2022): 1–
6.

Rofi’e Arinro and Hakan Syukur. Panduan Wisata Religi Ziarah Wali Sanga. Yogyakarta:
Saufa, 2016.

Rosi, Bahrur, and Wasil. “STRATEGI DAKWAH SUNAN AMPEL DALAM


MENYEBARKAN ISLAM DI TANAH JAWA.” Al-Miftah: Jurnal Sosial Dan Dakwah
1, no. 2 (December 5, 2022).
https://ejournal.iaimu.ac.id/index.php/almiftah/article/view/186.

Rosyid, Moh. “Islam dan Kearifan Lokal: Kajian Tradisi Khoul Sunan Kudus.” Analisis: Jurnal
Studi Keislaman 19, no. 2 (April 13, 2020): 279–96.
https://doi.org/10.24042/ajsk.v19i2.3370.

Sulistiono, Budi. “Wali Songo dalam pentas sejarah nusantara,” May 2014.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/39170.

Waluyo, Waluyo. “PERAN WALISONGO DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN


ISLAM DI ERA AKULTURASI BUDAYA JAWA.” Wahana Akademika: Jurnal Studi

27
Islam Dan Sosial 8, no. 2 (November 1, 2021): 137–47.
https://doi.org/10.21580/wa.v8i2.8771.

Yoyok Rahayu Basuki. Sunan Muria (Raden Umar Said). Malang: Azhar Publisher, 2023.

Yusak Burhanudin and Ahmad Fida’. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Ibtidaiyah Kelas VI.
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2021.

Zulham Farobi and Karin Lee. Sejarah Wali Songo : Perjalanan Penyebaran Islam Di
Nusantara. Yogyakarta: Mueeza, 2018.

28

Anda mungkin juga menyukai