Anda di halaman 1dari 5

BRATA SIWARATRI

I. PENDAHULUAN Kakawin Siwaratrikalpa telah dikeluarkan oleh Prof. Dr. A. Teeuw dkk, berjudul Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung (1969), Prof. Dr. Zoetmulder dalam Kalangwan (1974), dan sebelumnya oleh Prof. Dr. R. Ng. Poeratjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952). Pembicaraan tentang lukisan yang berhubungan dengan Siwaratri (cerita Lubdhaka) pernah dilakukan oleh P. J. Worsley dalam tulisannya A Missing Piece of Balinese Painting of the Siwaratri (1970) dan Andrian Vickers dalam tulisan A Balinese illustrated Manuscript of the Siwaratrikalpa (1982). Pembicaraan tentang Brata Siwaratri secara singkat pernah dilakukan oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five studies in Hindu Balinese Religeon (1964), dan penulis pernah mempublikasika hasil bacaan dan pemahaman terhadap Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung (1982). Aspek aspek filosofis, ethis, dan hal hal yang berkaitan dengan Brata, upacara dan tata cara pelaksanaan Siwaratri, yang sudah tentu tidak semua hal itu akan terjangkau oleh makalah kecil ini. Tapi rumusan yang dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan Siwaratri kiranya boleh dan dpat diharapkan dari forum malam ini. Dan rumusan semacam itu sudah sangat diperlukan. II. SUMBER AJARAN SIWARATRI

Dalam keputakaan Sansekerta uraian tentang Siwaratri, upacaranya, sekaligus dengan si pemburunya yang naik sorga, tepatnya mendapat anugrah Siwa di Siwa loka, dapat ditemui dalam empat buah purana yaitu dalam Padma purana, Siwa purana, Skanda purana, dan Garuda purana. Uraian yang terdapat dalam bagian Kedakarakanda dari Maheswarakanda dalam Skanda purana antara lain memuat percakapan antara Lomasa dan para Resi. Lomasa menceritakan kepada para Resi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala makhluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut Kebenaran. Dalam purana ini diuraikan pula tentang asal mula upacara Siwaratri tersebut. Bagian Acarakanda dari Purwakanda dalam Garuda purana memuat uraian singkat tentang Siwaratri. Diceritakan bahwa suatu ketika Parwati bertanya kepada Siwa tentang pelaksanaan Brata yang terpenting. Dalam menjawab pertanyaan itulah Siwa menguraikan tentang pelaksanaan Brata Siwaratri. Berikut diceritakan kisah seorang raja yang berperangi buru bernama Sundarasenaka pergi ke hutan berburu bersama seekor anjing. Rangkaian kisah sang raja inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu sebagai tersebut dalam purana terdahulu.

Bagian Jnanasamhita dari Siwa purana yang memuat percakapan antara Suta dengan para Resi., menguraikan pulan pentingnya dan jalannya upacara Siwaratri. Uraian tersebut disertai oleh oleh kisah si orang kejam bernama Rurudruha yang setelah melaksanakan brata Siwaratri akhirnya menjadi sadar akan kekejaman dan kedangkalan pikirannya. Sumber Sansekerta yang paling dekat dengan Kakawin Siwaratrikalpa (Kakawin Lubdhaka) sebuah kkawin yang banyak dikenal di Bali adalah bagian Uttarakanda dari Padmapurana. Di dalam termuat percakapan antara raja Dilipa dengan Wasistha. Dalam percakapan tersebut Wasistha menceritakan kepada raja Dilipa bahwa Siwaratri adalah brata yang sangat utama dan jatuh antara bulan Nagha dan Palguna. Apabila dalam kakawin Siwaratrikalpa si pemburu bernama Lubdhaka, maka dalam Padma purana ia memakai nama Nisada (kadang kadang disebut Pulinda dan Sabara). Dalam Padma purana kata Lubdhaka terpakai dua kali yang dalam konteks kalimat bermakna pemburu: niraso lubdaka tisthad yavad astam gato rawih (37); tasya gandham samasandhya lubdhakasya varanane (42). Berkat brata Siwaratri yang dilaksanakan akhirnya ia pun berhasil diterima oleh Bhatara Siwa di Siwa loka. Demikianlah sumber Sansekerta yang memuat tentang uraian Siwaratri. Sudah pula kita tunjukkan bahwa dalam kepustakaan Jawa Kuna kita mengenal Kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kekawin yang dibentuk oleh 20 wirama (beberapa wirama dipakai lebih dari sekali) dan dengan jumlah bait 232 buah ini, disamping dengan secara indahnya menguraikan kisah perjalanan si Lubdhaka, juga dengan cukup mendasar menguraikan pelaksanaan dan brata Siwaratri. Apabila kita mengetahui bahwa Padmapurana adalah sebuah teks didaktik tanpa suatu pretense estetis, sedangkan Siwaratrikalpa adalah teks didaktik yang mempunyai pretense estetis, maka dapat kita ketahui bahwa Mpu Tanakung mempunyai metode sintetik dalam penyebaran agama, yaitu dengan memanfaatkan media sastra (kekawin) yang digemari oleh masyarakat. Karya Mpu Tanakung yang satu ini oleh peneliti sastra dianggap sebagai karya trobosan. Karena karya sastra ini adalah satu-satunya kekawin yang menjadikan manusia biasa (malah manusia papa) sebagai tokoh utamanya, dan karya sastra ini berhasil hadir dalam suatu kegiatan keagamaan. Mpu Tanakung memang dikenal sebagai seorang kawi yang produktif dan kreatif. Di samping kekawin Siwaratrikalpa, pengarang ini juga mewariskan karya-karya kekawin Wretta Sancaya, Bhasa Sadana Yoga, Bhasamretamasa, Bhasa Sangutangis, Bhasa Kanalisan, Bhasa Tanakung, Bhasa Gumiringsing, Bhanawa Sekar, Puja Samara, Patibrata. Lewat studi terhadap beberapa kekawin tersebut menunjukkan bahwa Mpu Tanakung telah menyuratkan dan menyiratkan tentang konvensi sastra dan kanvensi budaya kekawin, yang paling menarik adalah gambaran yang diberikan tentang filsafat keindahan yang dianut oleh para kawi sampai pada cita-cita hidup seorang kawi. Mpu Tanakung, pengarang yang memakai nama tanpa cinta ini hidup pada zaman Majapahit akhir, dan mengarang kekawin Siwaratrikalpa pada kuartal ke-3 abad 15, tidak pada zaman Ken Angrok sebagaimana pernah dituduhkanoleh beberapa peneliti. Kesimpulan itu ditarik setelah diadakan penelitin terhadap dua buah prasasti, masingmasing prasasti Waringin pitu berangka tahun 1447M, dan prasasti Pamitihan berangka tahun 1473M. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja Majapahit bernama Singhawikrama

dengan nama kecilnya Suraprabhawa, sebuah nama yang tercantum dalam manggala kekawin Siwaratrikalpa (/manggeh doyan rahaywa sang panikelan tanah anulusa katwang ing praja/ tan lyan sry Adisuraprabhawa sira bhupati saphala Girindrawangsaja// 2,c dan d). Jelaslah bahwa Mpu Tanakung dengan menulis kekawin Siwaratrikalpa tidaklah bertujuan untuk mengambil hati Ken Arok, apalagi mendapat perintahnya, atau istilah yang kejam lagi menjilat Ken Arok. Hal ini kita tegaskan kembali bahwa dalam usaha memberi kedudukan yang benar kepada karaya sastra yang satu ini, dank arena sementara orang masih ada yang berpendapat begitu. Sebuah buku yang terbit pada tahun 1982 masih menuduh Mpu Tanakung sebagai penjilat Keng Angrok. Mangunwijaya penulis buku itu menyatakan, Gubahan Lubdhaka jelas dibuat untuk menjilat, namun juga untuk melegitimasi Raja Girindrawangsaja alias Ken Angrok. Sebab Ken Angrok dulu memang seorang garong dan pembunuh (hal.16). Memang sangat disayangkan, penulis buku yang mendapatkan hadiah sastra tersebut tidak mengikuti hasil penelitian mutakhir tentang Mpu Tanakung dan karya-karyanya. Sumber lain yang terdapat dalam kepustakaanBaliadalah lontar Lubdhaka Carita (milik Fak Sas Unud, No.774), dan Lubdhaka Gending (No.705). sedangkan dalam lontar Aji Brata (milik Gedong Nriya Singaraja, No.IIIb, 1875 / 7) kita dapat membaca secara cukup terperinci tentang pelaksanaan brata Siwaratri. III. BRATA SIWARATRI

Si Lubdhaka di pagi hari pada hari panglong ping 14 sasih ka pitu pergi ke tengah hutan untuk berburu. Perjalanannya yang seorang diri menylusupi hutan jauh sampai ke tengah. Ia pun kemalaman di tengah hutan itu. Untuk menghindari sergapan binatang buas, ia naik ke atas pohon bilwa (maja) dan untuk mengusir kantuk supaya tidak jatuh, ia memetik daun bilwa itu. Dengan tidak diketahuinya daun bilwa yang dibuangnya itu jatuh kepada sebuah lingga (-noraginawa) yang ada di dalam ranu (danau) dibawah pohon itu. Semua daun bilwa yang dipetiknya malam itu menimpa Siwalingga itu. Ketika matahari muncul di ufuk Timur, si Lubdhaka meninggalkan keindahan pagi di hutan itu, ia kembali ke rumahnya. Ia baru tiba di rumahnya senja harinya. Tak lama sejak peristiwa itu, setelah tertimpa sakit, Lubdhaka meninggal dunia. Jenasahnya segera dibakar, sedangkan atmanya melayang-layang di angkasa dengan kesedihan dan tidak menemui jalan yang mana harus ditempuhnya. Hyang Siwa mengetahui keadaanya demikian. Teringatlah Beliau pada perbuatan si Lubdhaka yang telah melaksanakan brata Siwaratri, sekalipun dengan tidak sengaja. Maka beliau mengutus para Ganabala (serdadu Siwalaya) menjemput si Lubdhaka. Di pihak lain Bhatara Dharma (Yama) mengutus para Yamabala (Kingkarabala) menangkap si Lubdhaka untuk dibawa ke Yamaloka. Ia pun disakiti oleh para Kingkara. Para Ganabala segera tiba. Betapa terkejutnya mereka melihat si Lubdhaka disiksa dan disakiti. Pertempuran anatara Kingkara dan Ganabala tidak dapat dihindari, karena sama-sama menjalankan perintah. Pertempuran diakhiri dengan kemenangan para Ganabala. Para Ganabala dengan gembira mengiringi si Lubdhaka mengahadap Bhatara Siwa. Bhatara Siwa menerimanya dengan penuh keramahan, dan memberi anugerah kepadanya. Demikian synopsis cerita Lubdahaka, si pemburu yang dinyatakan telah melaksanakan brata Siwaratri. Bagaimana sesungguhnya brata Siwaratri itu?

Petikan yang kita ambil dari Kekawin Siwaratrikalpa berikut memberikan penjelasan tentang brata beserta pelaksanaan upacara Siwaratri tersebut: Ring enjing i huwus ning anggelar anusmarana datenga ring guru greha / manembaha jugajwitanglekasaken brata sumuhana pada sang guru / ri sampun ika madyusasisiga manggelarakena Siwanalarcana / tener duluranopawasa saha mona manigasana suddhakangsuga // (37,1) Ri sampun i telas nikang rahina ring wengi niyata matanghya tan mrema / bhatara Siwalingga kewala sirarcanan i dalem ikang suralaya / Kumara nguniweh Gajendrawadana ng ruhunanan sira kapwa pujanen / rikang rajani yama pat gelarana karma nira manuta ng sakabwatan // (37,2) Menur kanyiri gambir arja kacubung arja waduri putih lawan putat / asoka saha nagapuspa hana tangguli bakula kalak macampaka / saroja biru bang putih sahana ning kusuma halapen ing samangkana / makadi semi ning majarja sulasih panekara ning angarcane sira // (37,3) Lawan sahana ning sugandha pakadhupa saha ghreta sudipa ring kulem / ikang caru bubur pehan saha bubur gula liwet acarub hatak wilis / yateka pinakadi ning caru yadin dulurana phala pana matsyaka / samangkana samangkana keta ng kramolahakeneng sawengi saka sayama tan lupa // (37,4) Mredangga sahanonyan-unyan asameni kapanalimurarip ing mata / yadin mangucapa ng kidung rumasana ng kakawin apasang arja len nita / sabhagya keta yan wruhangucapaken Sabarakathana ring samangkana / awas katemu tang padadhika tekap akathana Lubdhakatmaka // (37,5) Ri moksa nikanang kulem ri teka ning rihana masunga dana ring subha / suwarna-Siwalingga dana ri mahadwija paramasusila wedawit / asing lwira nikang dateng sungana dana sakawasa hayo jugatulak / teher kaluputeng turu ri rihananya sagawaya kurang tutur // (37,5) Petikan panjang yang sengaja kami cantumkan ini diharapkan telah dapat memberikan kejelasan tentang pelaksanaan brata serata upacara Siwaratri. Mona (bisu), upawasa (puasa) dan jagra (melek) adalah tapa brata yang semestinya dilakukan pada hari suci Siwaratri. Jagra (melek) dilakukan selama 36 jam, mulai dari pagi hari pada panglong ke-14 sampai pada senja hari panglong ke-15 (tilem) kepitu, sedangkan mona (bisu) dan upawasa (puasa) dilakukan selama 24 jam, mulai dari pagi hari panglong ke-14 samapai pada pagi hari panglong ke-15 (tilem). Di samping melakukan brata, melakukan pemujaan kepada Siwa, Gana dan Kumara adalah kegiatan utama. Mpu Tanakung tidak saja menekankan hal-hal tersebut, tetapi pada pelaksanaan dana punya yang semestinya dilakukan pula. Secara tersirat Mpu Tanakung menyatakan pula bahwa brata Siwaratri tidak mesti dilakukan dengan paksa, artinya perlu diadakan tahapan (atau tingkatan) pelaksanaan brata tersebut. Karenanya pada malam panglong ke-14 itu dianjurkan untuk membaca kekawin, kidung , mengadakan pertunjukan kesenian, dan yang penting membaca atau menceritakan kisah si pemburu, si Lubdhaka. Lontar Aji Brata di samping memuat brata dan puja yang berkaitan dengan Siwaratri, menekankan pula pemakaian daun maja dalam upacara Siwaratri tersebut. Lontar ini secara terperinci memuat juga urutan-urutan bhakti yang mesti dilakukan pada hari Siwaratri. Demikianlah, brata Siwaratri yang dianggap sebagai brata terpenting dalam ajaran Siwa ini, memang mengandung hal-hal yang khas dalam aturan dan

pelaksanaannya. Tapi adakah makna filsafat keagamaan yang terkandung di dalamnya? IV. SEPUTAR ISTILAH KEAGAMAAN DALAM PADMA PURANA DAN SIWARATRIKALPA Sebagaimana diketahui ajaran agama yang terkandung dalam Siwaratri adalah ajaran Siwa. Sembah dan persembahan ke hadapan Siwa sebagai Tuhan Pengasih dan Maha Agung sudah pasti menjadi ajaran pokok di dalamnya. Dan pertemuan dan persatuan dengan Siwa adalah menjadi tujuan akhir pemeluk ajaran tersebut. Dalam mencapai tujuan tersebut sudah tentu ada tatacara (misal yang berkaitan dengan etika dan upacara) yang harus dilaksanakan, sebagaimana diajarkan oleh agama tersebut. Melalui ringkasan cerita Lubdhaka dapat diketahui bahwa si Lubdhaka pada saat yang tepat telah melakukan pajagran atau tidak tidur. Istilah lain dari jagra yang banyak dipakai dalam Kekawin Siwaratrikalpa adalah tan aturu, tan mrena, atanghi atau atutur. Terhadap istilah inilah kita fokuskan perhatian kita. Di samping itu sebelumnya perlu diingat bahwa si Lubdhaka dalam padma purana atau Kekawin Siwaratrikalpa dinyatakan sebagai orang yang papa (tidak dengan istilah dosa). Dalam Padma Purana tertulis : Siwaratri winjneya sarvapa papaharini (239:3), dan berkali-kali dipakai susunan katayang sama yaitu : tesam papani nasyanti siwaratriprajagarat (204 : 45, 48, 49, 50, 51, 52, 55). Berikut kita perhatikan kalimat-kalimat dalam Siwaratrikalpa : Ikangkang makangaran si Lubdhaka juga ng huwus anglahaken warabrata / matanghi rikanang wenging kapitu makathiti caturdasottama / (34, 5a, b) sapapa nika sirna de ni phala ning brata winuwusakenku tan salah (34, 4d).

Anda mungkin juga menyukai