Anda di halaman 1dari 5

Hariwangsa

Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno. Cerita yang dikisahkan


dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin
menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah
titisan Dewi Sri.
Isi

Sang Kresna yang sedang berjalan-jalan di taman, mendapat


kunjungan batara Narada yang berkata kepadanya bahwa calon istrinya, seseorang yang
merupakan titisan Dewi Sri, telah turun ke dunia di negeri Kundina. Sedangkan Kresna yang
merupakan titisan batara Wisnu harus menikah dengannya. Titisan Dewa Sri bernama Dewi
Rukmini dan merupakan putri prabu Bismaka. Tetapi prabu Jarasanda sudah berkehendak
untuk mengkawinkannya dengan raja Cedi yang bernama prabu Cedya.

Maka prabu Kresna ingin menculik Dewi Rukmini. Lalu pada saat malam sebelum pesta
pernikahan dilaksanakan, Kresna datang ke Kundina dan membawa lari Rukmini.
Sementara itu para tamu dari negeri-negeri lain banyak yang sudah datang. Prabu Bismaka
sangat murka dan dia langsung berrembug dengan raja-raja lainnya yang sedang bertamu.
Mereka takut untuk menghadapi Kresna karena terkenal sangat sakti. Kemudian Jarasanda
memiliki sebuah siasat untuk memeranginya, yaitu dengan meminta tolong Yudistira dan
para Pandawa lainnya untuk membantu mereka.

Kemudian utusan dikirim ke prabu Yudistira dan dia menjadi sangat bingung. Di satu sisi
adalah kewajiban seorang ksatria untuk melindungi dunia dan memerangi hal-hal yang
buruk. Kresna adalah sahabat karib para Pandawa namun perbuatannya adalah curang dan
harus dihukum. Kemudian ia setuju. Namun Bima marah besar dan ingin membunuh utusan
Jarasanda tetapi dicegah Arjuna. Selang beberapa lama, mereka mendapat kunjungan duta
prabu Kresna yang meminta bantuan mereka. Namun karena sudah berjanji duluan,
Yudistira terpaksa menolak sembari menitipkan pesan kepada sang duta supaya prabu
Kresna hendaknya tak usah khawatir karena dia sangat sakti.

Lalu para Pandawa lima berangkat ke negeri Karawira tempat prabu Jarasanda berkuasa
kemudian bersama para Korawa mereka menyerbu Dwarawati, negeri prabu Kresna.

Sementara itu Kresna sudah siap-siap menghadapi musuh, dibantu kakaknya sang
Baladewa. Berdua mereka membunuh banyak musuh. Jarasanda, para Korawa, Bima dan
Nakula dan Sahadewa pun sudah tewas semua. Prabu Yudistira dibius oleh Kresna tidak
bisa bergerak. Kemudian Kresna diperangi oleh Arjuna dan hampir saja dia kalah. Maka
turunlah batara Wisnu dari surga. Kresna sebagai titisan Wisnu juga berubah menjadi
Wisnu, sementara Arjuna yang juga merupakan titisan Wisnu berubah pula menjadi Wisnu.
Yudistira lalu siuman dan meminta Wisnu supaya menghidupkan kembali mereka yang telah
tewas di medan peperangan. Wisnu setuju dan Dia pun menghujankan amerta, lalu
semua ksatria yang telah tewas hidup kembali, termasuk Jarasanda. Semuanya lalu datang
ke pesta pernikahan prabu Kresna di Dwarawati.

Penulis

Kakawin Kresnâyana ditulis oleh mpu Panuluh pada saat prabu Jayabaya memerintah


di Kediri dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi.
Negarakertagama

Salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit dalam bidang sastra ialah Kitab Negarakertagama.
Kitab Negarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca, yang kemudian menjadi sumber sejarah
yang begitu dipercaya. Naskah kitab ini selesai ditulis dalam Bahasa Kawi pada bulan Aswina
tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi). Dari maknanya, Negarakertagama
artinya negara dengan tradisi spiritual. Oleh Mpu Prapanca, kitab ini juga disebut sebagai
Desawarnana, yang berarti tulisan tentang daerah Majapahit. Mpu Prapanca adalah putra
seorang Darmadyaksa Kasogatan (pemimpin urusan Agama Buddha) yang diangkat oleh Sri
Rajasanagara sebagai pengganti ayahnya.

Sejarah

Sejarah Pada awalnya, teks dalam Kitab Negarakertagama dikira hanya terwariskan dalam
sebuah naskah tunggal. Orang yang pertama kali menemukannya adalah JLA Brandes, saat
Belanda menyerang Lombok. Saat istana dibakar pada penyerbuan tersebut, Brandes
menyelamatkan naskah yang menjadi bagian Kitab Negarakertagama ini. Setelah itu, bagian lain
dari Kitab Negarakertagama kemudian ditemukan di beberapa tempat. Kitab Negarakertagama
terdiri dari lima bagian. Bagian pertama ditemukan di Antapura, Lombok. Bagian kedua yang
ditemukan di Bali berjudul Desawarnana. Sementara bagian ketiga hingga kelima masing-
masing ditemukan di Karang Asem, Klungkung, dan Geria.

Isi Kitab Negarakertagama ditulis saat Kerajaan Majapahit masih berdiri dibawah pemerintahan
Sri Rajasanagara, atau dikenal juga dengan nama Prabu Hayam Wuruk. Isi Kitab
Negarakertagama menguraikan kisah keagungan Prabu Hayam Wuruk dan puncak kejayaan
Kerajaan Majapahit. Selain itu, kitab ini juga menceritakan banyak hal tentang Kerajaan
Majapahit. Mulai dari asal-usul, hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya
pemerintahan, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, dan kebudayaan Kerajaan Majapahit.
Naskah dari Kitab Negarakertagama terdiri dari 98 pupuh (puisi atau syair), dengan pembagian
sebagai berikut :7 pupuh membahas keluarga raja, 9 pupuh membahas keagungan dan wilayah
kekuasaan Kerajaan Majapahit, 23 pupuh membahas perjalanan Prabu Hayam Wuruk berkeliling
Lumajang pada 1959, 10 pupuh membahas silsilah raja Kerajaan Majapahit, 10 pupuh
membahas perjalanan Prabu Hayam Wuruk ketika berburu di hutan Nandawa, 23 pupuh
membahas perhatian Prabu Hayam Wuruk pada leluhurnya dan berita mengenai kematian Patih
Gajah Mada, 9 pupuh membahas mengenai upacara keagamaan di Kerajaan Majapahit, 7
pupuh membahas tentang seorang pujangga.
Kitab Sutasoma
Kitab Sutasoma merupakan peninggalan sejarah dalam bentuk karya sastra dikarang
oleh Mpu Tantular pada abad ke-14. Kakawin ini ditulis pada masa keemasan Kerajaan
Majapahit, di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk. Diperkirakan Kitab Sutasoma digubah
antara tahun 1365 dan 1389, karena usianya lebih muda dari Kitab Negarakertagama yang
selesai ditulis pada 1365. Kitab Sutasoma bercerita mengenai Pangeran Sutasoma. Di
dalamnya juga mengajarkan toleransi beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha.
Kakawin inilah yang menjadi sumber inspirasi dirumuskannya semboyan Bhinneka Tunggal
Ika.

Rangkuman
isi Kitab Sutasoma berisi kisah upaya Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk
menegakkan dharma. Sutasoma adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina yang
lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan
ayahnya menjadi raja. Maka pada suatu malam, Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan
semedi di sebuah candi dan mendapat anugerah. Sutasoma kemudian pergi ke
pegunungan Himalaya bersama beberapa pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan,
sang pangeran mendengarkan riwayat cerita tentang raja, reinkarnasi seorang raksasa,
bernama Prabu Purusada yang senang memakan daging manusia. Para pendeta dan Batari
Pretiwi membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada. Namun, Sutasoma menolak
karena ingin melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, sang pangeran bertemu dengan
raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga. Si raksasa dan ular naga yang
tadinya ingin memangsa Sutasoma berhasil ditaklukkan. Setelah mendengar khotbah dari
Sutasoma tentang agama Buddha, keduanya bersedia menjadi muridnya. Sang pangeran
juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri. Sutasoma
sempat mati karena bersedia menjadi mangsa harimau itu. Lalu datanglah Batara Indra dan
Sutasoma dihidupkan kembali.
Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu Dasabahu, berperang dengan anak buah
Prabu Kalmasapada (Purusada). Anak buah Prabu Kalmasapada kalah dan meminta
perlindungan Sutasoma. Prabu Dasabahu yang terus mengejar akhirnya tahu bahwa
Sutasoma adalah sepupunya, lalu di ajak ke negerinya dan dijadikan ipar. Setelah kembali
ke Astina, Sutasoma dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Sutasoma. Cerita dilanjutkan
dengan kisah Prabu Purusada dalam membayar kaul kepada Batara Kala supaya bisa
sembuh dari penyakitnya. Purusada telah mengumpulkan 100 raja, tetapi Batara Kala tidak
mau memakan mereka. Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala sebagai
ganti atas 100 raja sitaan Purusada. Mendengar permintaan raja Astina, Purusada menjadi
sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi.
Smaradahana

Kakawin Smaradahana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno dalam


bentuk kakawin yang menyampaikan kisah terbakarnya Batara Kamajaya

Sejarah

Ketika Batara Siwa pergi bertapa, Indralaya didatangi musuh, raksasa dengan rajanya


bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan
kehidupannya di Kahyangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali
ke Kahyangan,maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya.
Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai
panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya.
Akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:

 Hasrat mendengar yang merdu,


 Hasrat mengenyam yang lezat,
 Hasrat meraba yang halus,
 Hasrat mencium yang harum,
 Hasrat memandang yang serba indah.

Akibat panah pancawisesa (atau pancawisaya?) tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu


kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah
atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya
yang berada di tengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara
Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar
suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali,
permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya
turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa
wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya
termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata yang demikian dahsyatnya sehingga dewi
Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera
berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah raksasa Nilarudraka yang
melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganesha 'lah yang harus
menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan
bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan oleh Gaesha
yang semakin bertambah besar.

Raja Kediri
Dalam kitab Smaradahana, disebutkan nama raja Kediri, Prabu Kameswara yang
merupakan titisan Dewa Wisnu yang ketiga kalinya dan berpermaisuri Sri Kirana Ratu putri
dari Kerajaan Jenggala

Penulis
Penulis Smaradahana bernama Mpu Dharmadja.
Kitab Lubdaka

Kerajaan Kediri adalah kerajaan bercorak Hindu yang didirikan pada 1045 M oleh Sri
Samarawijaya. Kerajaan Kediri terletak di Kediri, Jawa Timur, yang berkuasa selama sekitar 177
tahun. Selama hampir dua abad berkuasa, Kerajaan Kediri berhasil mencapai masa emasnya di
bawah pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1159). Setelah runtuh, Kerajaan Kediri meninggalkan
sejumlah benda-benda bersejarah, mulai dari candi, prasasti, hingga kitab kuno. Salah satu
peninggalan Kerajaan Kediri adalah Kitab Lubdaka. Apa itu Kitab Lubdaka?

Isi kitab

Pada zaman Kerajaan Kediri, karya sastra mengalami perkembangan yang pesat. Ada banyak
sekali karya sastra yang dihasilkan. Salah satunya adalah Kitab Lubdaka yang ditulis oleh Mpu
Tanakung. Lubdaka seorang pemburu yang selalu berburu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan keluarganya. Suatu hari, Lubdaka pergi berburu ke hutan. Namun, sampai malam
Lubdaka tidak mendapatkan hasil buruan apa pun. Alhasil, karena waktu semakin malam
Lubdaka memutuskan untuk tidur di dalam huta. Agar tidak dimakan oleh binatang buas, maka ia
tidur di atas pohon. Sepanjang malam, Lubdaka disebut terus mengucapkan japa mantra, yaitu
pemujaan terhadap Dewa Siwa. Tanpa disadari, ternyata japa mantra yang dilakukan Lubdaka
dengan tulus hati itu membuat Dewa Siwa senang. Setelah meninggal, seharusnya roh Lubdaka
masuk ke neraka mengingat semasa hidup ia telah banyak membunuh hewan-hewan di hutan.
Akan tetapi, pada kenyataannya Lubdaka justru masuk ke surga. Konon, Dewa Indra
menjelaskan alasan Lubdaka dapat masuk ke surga berkat japa mantra yang ia baca. Dewa
Siwa merasa senang dengan pemujaan yang Lubdaka lakukan. Kemudian, Lubdaka dianggap
berhak mendapatkan surga. Kisah Lubdaka ini kemudian ditulis oleh Mpu Tanakang ke dalam
kitab yang bernama Kitab Lubdaka.

Anda mungkin juga menyukai