5 bahasa
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Sunting sumber
Lihat riwayat
1. Kidung Sunda
2. Kidung Sundâyana (Perjalanan orang Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung
Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi inilah yang
dibahas dalam artikel ini.
Ringkasan[sunting | sunting sumber]
Bab atau bagian ini
tidak memiliki referensi atau sumber
tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Tolong
bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi
yang layak. Bab atau bagian ini akan dihapus bila tidak
tersedia referensi ke sumber tepercaya dalam
bentuk catatan kaki atau pranala luar.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per
pupuh.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda.
Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah
Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian
menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit
yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan
memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak
dari Sunda disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan
jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang
dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung bertingkat sembilan
campuran Tatar (Mongolia/Tiongkok)-Jawa seperti banyak dipakai semenjak
perang Wijaya”[1] (bait 1. 43a.).
:270
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih
Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat
mendengar hal ini, tetapi mereka tidak berani melawan.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia menjadi
negara bawahan Majapahit. Maka dia berkata memberi tahukan
keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela
kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit.
Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya
dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin
tetap menemani sang raja.
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda
dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang
Sunda pun menolaknya dengan marah dan pertempuran tidak dapat
dihindarkan.
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang
ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa
memilukan yang terjadi.
Analisis[sunting | sunting sumber]
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah
kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa
berdasarkan kejadian faktual.[2]
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya
bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis.
Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat.
Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa
hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah
Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk
yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para
pembaca terharu.[butuh rujukan]
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan
logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya
patih Gajah Mada. Menurut Nugroho, moksa adalah perlambang kematian.
[3] Hal ini tidak seperti sumber-sumber lainnya, seperti kakawin
:208
Nagarakretagama. Biasanya naskah Bali (kidung) diturunkan dari generasi ke
generasi, secara bertahap kehilangan akurasinya dan juga mengandung hal-
hal yang lebih fantastis dan menakjubkan.[4]
:31
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang
Sunda dan seperti sudah dikemukakan, sering kali bertentangan dengan
sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih
Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama. [butuh
rujukan]
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, tampaknya dalam kidung Sunda,
nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain
sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka.[butuh rujukan]
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian
antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan
orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut
sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang,
orang Tumasik (Singapura), Sampit, Madura, Bali, Koci (Kawci/Jiaozhi,
Vietnam; atau Cochinchina, Vietnam), Wandan (Banda, Maluku Tengah),
Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku) (contoh
bait 1.54b dan 65a). Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di
mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka
harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.
[butuh rujukan]