Anda di halaman 1dari 20

Tugas : Seni Budaya

Nama : Hesti Ligya Maharani


No. Abs : 04

1. Cerita Ramayana
Ditinjau dari segi kepercayaan, cerita Ramayana merupakan suatu pendidikan rohani
yang mengandung falsafah yang Sangat dalam artinya. Walau cerita ini fiktif,
Ramayana merupakan cerota mitos kuno yang bersumber pada pendidikan. Cerita
Ramayana sesuai dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan
hidup yang sempurna. Cerita Ramayana menyinggung pula kebaikan dan kesetian
Dewi Sri kepada suaminya yaitu Sri Rama, Karena Sri Rama merupakan titisan Dewa
Wisnu, sedangkan Dewi Sri adalah istri Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai bumi
manusia. Dari segi social masyarakat membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sri adalah
merupakan tokoh-tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya. Kitab
Ramayana merupakan hasil sastra India yang indah dan berani. Menurut pemikiran, di
India ada lebih dari 100 juta orang yang pernah membaca kitab Ramayana, artinya
bahwa pengemar cerita Ramayana melebihi pembaca Weda, menurut para budayawan,
kitab Ramayana digubah oleh seorang Empu agung, yaitu Empu Walmiki. Kitab ini
terbagi-bagi menjadi 7 bagian atau 7 kanda. Bagian-bagian tersebut yaitu Bala
Kandha, Ayodya Kandha, Aranyaka Kanda, Kriskindha Kandha, Sundara
Kandha, Yudha Kandha, Utara Kandha.

1. Pada Kandha yang pertama yaitu Bala Kandha, dikisahkan tentang Rama dan
saudara-saudaranya ketika masih kecil. Diceritakan di negeri Kosala dengan
ibukotanya Ayodya dipinpin oleh seorang Raja bernama Prabu Dasarata. Ia
mempunyai 3 istri yaitu Dewi Kausalya (Sukasalya) yang berputra Rama
sebagai, Kekayi yang melahirkan Bratha dan Dewi Sumitra yang berputra
Lasmana dan Satrugna (Satrugena). Dalam sayembara (Swayamwara) di
Wideha (Manthili) Rama berhasil memboyong Sinta putrid Janaka. Sinta
kemudian menikah dengan Rama.

2. Bagian yang kedua disebut Ayodya Kandha mengisahkan Raja Dasarata sudah
tua. Maka Sang Prabu menghendaki turun thata dan Rama diserahi untuk
menggantikannya sebagai raja di negeri Ayodya. Tanpa berpikir panjang tentu
saja Rama sebagai anak sulung menyanggupi diri. Raja Dasarata
memerintahkan agar negeri dihias dengan sebaik-baiknya untuk peresmian
penobatan Raja bagi Sri Rama yang baru saja menikah. Tetapi alangkah
kagetnya sang Raja Dasarata bahwa di malam hari menjelang penobatan Rama,
Dewi Kekayi mengingatkan pada Dasarata akan janji yang telah diungkapkan
tentang anaknya si Brata agar bisa naik tahta. Dan selanjutnya agas brata
tenang memerintah Ayodya, Dewi Kekayi memerintah kepada Rama dan Sinta
agar meninggalkan Ayodya dan hidup di Hutan Kanyaka atau Dhandaka selama
14 tahun. Tentu saja sang Prabu Dasarata sedih sekali dan tak kuasa menolak
janji yang telah terucapkan kepada Kekayi. Hampirhampir sang Dasarata lari
akan bunuh diri. Namun sang Sri Rama tau akan gelagat itu, dengan rela hati
bersama Sinta untuk melepaskan haknya dan pergi ke hutan selama 14 tahun.
Tak mau ketinggalan Raden Lasmana ikut dalam pengusian ke hutan. Sejak
itulah Sang Dasarata meninggal. Brata diangkat sebagai Raja. Sesaat
menduduki singgasana ia kemudian jatuh. Selanjutnya Brata tidak mau naik
tahta malahan lari mencari Rama di hutan untuk menyerahkan kembali
kepemerintahan kepada kakaknya, tetapi Sri Rama harus mengenapi 14 tahun
di hutan. Untuk itu terompah Sri Rama dibawa kembali ke Ayodya sebagai
ganti Sri Rama Sri Rama, maka raja terompah memerintah Ayodya.

3. Aranya Kandha adalah bagian yang ketiga mengisahkan tentang Batara


Wisnu yang menitis ke Rama. Rama memang titisan Batara Wisnu yang ke
Sembilan kalinya. Penitisan ini menjadikan karakter Rama benar-benar
bertindak ingin meluruskan prilaku umat yang jahat dengan cara kesabaran dan
kebenaran. Rama dalam pengasingan di hutan sudah berkali-kalimembantu
para rohaniawan yang diggangu oleh raksasa.

4. Bagian yang ke empat disebut Kiskindha Kandha yang menceritangan


perjalanan Rama hingga mencapai ke negeri Kiskindha. Sebelumnya Rama
sudah bertemu dengan burung Garuda Jatayu yang sudah sekarat dan maut
hamper menjemputnya. Peristiwa tersebut terjadi karena burung Jatayu
bertempur guna merebut Sinta dari tanggan Rahwana. Setelah burung Jatayu
mengatakan semua yang dialaminya akhirnya mati, kemudian Rama dan
Lasmana melanjutkan perjalanan. Dalam perjalana Rama bertemu dengan
Sugriwa raja kera yang terjepit pada dua cabang asam yang berhimpitan dan
tak akan bisa lepas tampa pertolongan orang lain. Himpitan cabang itu dipanah
(jemparing) oleh Sri Rama dan lepaslah Sugriwa dari repitan cabang pohon.
Kemudian berkatalah kepada Sri Rama, bahwa dirinya adalah Sugriwa si raja
kera dari Kriskindha. Sugriwa akhirnya minta tolong kepada Sri Rama agar
sudi membantu melawan kakaknya yang bernama Subali. Bersekutulah
Sugriwa dengan Rama dan saling berjanji akan tolong menolong di dalam
segala kerepotannya. Akhirnya matilah Subali dalam peperangn melawan
Sugriwa yang bibantu Sri Rama. Setelah meraih kemenangan bertahtalah
Sugriwa di kerajaan Kiakindha. Selanjutnya Sugriwa memerintahkan prajurit
berangkat ke Alengka. Setelah sampai di pantai, maka para kera binggung
karena tidak mampu menyebrang laut.

5. Sundara Kandha adalah bagian yang ke lima mengisahkan perjalanan sang


Hanuman yang menjadi utusan Sri Rama. Hanuman, kera putih(wanara seta)
kepercayaan Rama, si anak dewa angin menuju ke Negara Alengka dengan cara
mendaki gunung Mahendra, kemudian meloncat menyebrang samodra dan
tibalan di Alengka. Seluruh kota dijelajahinya hingga masuk ke istana dan
bertemu dengan Sinta. Setelah saling mengabarkan khususnya Sri Rama yang
suatu saat akan menjemputnya ke Alengka. Saat itu Hanuman ddiketahui oleh
Indrajid, Hanuman ditangkap lalu diikat dan kemudian dibakar. Dengan
ekornya yang meneala itu mengakibatkan seluruh kota itu terbakar, kemudian
kembalilah Hanuman ke Ayodya melaporkan peristiwa itu kepada hadapan Sri
Rama.

6. Bagian ke enam yaitu Yudha Kandha menceritakan tentang Wibisana yang


diusir Rahwana dan akhirnya Wibisana bergabung dengan sang Rama.
Sebelumnya Wibisana member petunjuk agar kakaknya yaitu Sang Rahwana
mau mengembalikan Sinta kehadapan Rama, namun petunjuk tersebut
membuat Rahwana marah. Wibisana disuruh pergi dari Alengka. Ia pergi
bergabung dengan Sri Rama. Hal ini mengakibatkan Indrijad mati,
Kumbakarna beserta prajurit dan para senapati gugur dalam perang berebut
Sinta. Rahwana yang sakit itu mengamuk, peperangan pun berlanjut dan
banyak pula prajurit kera yang mati. Hampir saja Rama kewalahan karena
kesatian Rahwana, akhirnya Rahwana pun mati. Selesailah peperangan antara
Sri Rama melawan Rahwana. Wibisana diangkan oleh Rama menjadi Raja
Alengka. Di hati Rama ternyata ada keraguan tentang kesucian Sinta. Untuk
membuktikan, maka ia menyuruh membuat aoi ungun. Masuklah Sinta ke
dalam api itu. Ternyata tidak mati, justru Dewa Agnilah menyerahkan Sinta
untuk Rama sebeb Sinta memang masih suci. Kini Sinta bersama Rama pulang
ke Ayodya, diiringi oleh tentara kera. Mereka disambut oleh Barata, yang
segera menyerahkan tahta kerajaan kepada Sri Rama.

7. Bagian yang ke tujuh disebut Utara Kandha. Dua pertigaan dari buku Utara
Kandha ini berisi tentang cerita yang tidak ada kaitannya dengan riwayat sri
Rama. Dalam kitab ini disebut-sebut tentang nama Raja Dharmawangsa Teguh.
Kitab Ramayana ini berisi bermacam-macam cerita, misalnya tentang raksasa-
raksasa nenek moyang sang Rahwana atau Dasamuka. Terjadinya Dasamuka
dan sikapnya yang kurang sopan terhadap para Dewa dan para pendeta.di
kisahkan pula mengenai Sri Harjuna Sasrabahu yang mengamukan kepada
Dasamuka, disiksa ditarik dengan kereta kencana, diikatkan badanya dengan
roda kereta sampai kesakitan. Siksaan terhadap Dasamuka ini terpaksa
dilakukan oleh Sri Harjuna sebab patihnya yang bernama patih Suwanda
(Sumantri) mati dibunuh olehnya, namun Dasamuka ditolong oleh Pandya
batari Durga.isi pokok dari bagian ke 7 ini sebenarnya berupa lanjutan dari
riwayat Rama Sinta, tetapi ada perbedaan dengan bagian akhir kitab yang ke 6.
Menurut para ahli sastra bagian ke 7 memang berupa Kandha gubahan baru.
Diceritakan setelah Sinta diboyong kle utara (Ayodya), maka Sang Batara
Rama mendengar desas-desus rakyat bawah bahwa kehadirannya sangat
disangsikan akan kesuciannya. Demi memperlihatkan kesempurnaanya, maka
Sinta yang pada saat itu dalam keadaan hamil diusir dari Ayodya oleh Rama.
Pergilah Sinta dengan tiada tujuan tertentu dengan mengenakan pakian orang
sudra papa dan sampailah di pertapaan Empu Walmiki. Usia kehamilan Sinta
semakin besar, maka setelah tiba waktunya lahirlah dua anak yang ternyata
lahir kembar, diberi nama Kusa dan Lawa. Kedua anaknya diasuh dan
dibesarkan oleh Empu Walwiki dan dididik membaca kekawin. Sang Walmiki
juga menulis cerita riwayat Rama dalam kekawin. Suatu saat ketika Sang Rama
mengadakan aswameda yaitu korban pembebasan kuda, Kusa dan Lawa diajak
diajak hadir oleh Sang Wawiki. Kedua anak muda inilah yang membawa
kekawin gubahan sang Empu. Setelah pembacaan sang kekawin dengan
riwayat sang Rama, barulah tau bahwa Kusa dan Lawa adalah anaknya sendiri.
Maka segera Wlmiki diminta untuk mengantar Sinta kembali ke istana. Setiba
di istana Sinta bersumpah “ janganlah kiranya raganya diterima leh bumi
seandainya tidak suci.” Seketika itu juga bumi terbelah menjadi dua dan
muncullah Dewi Pertiwi yang duduk di atas singgasana emas yang didukung
oleh ular-ular naga. Sinta dipeluknya dan dibawanya lenyap masuk ke dalam
belahan bumi. Tentu saja Sri Rama sangat menyesal atas semua itu. Perasaan
Rama sangat haru melihat sang Dewi Pertiwi yang berkenan untuk muncul
menjemput Sinta. Peristiwa tersebut telah membuat Rama mengerti akan
kesetiaan Sinta kepadanya. Itulah penyesalan Rama, yang kemudian dinyatakan
pada semedinya di pantai samudra dan lepaslah penitisan Wisnu kembali ke
Sorgaloka untuk bertemu dengan sang istri yaitu Dewi Pertiwi.

2. Mahabharata Cerita 18 - Svargarohanika


Parva
Parva ini merupakan parva yang ke-18 dan merupakan yang terakhir yang
membangun Mahàbhàrata. Dalam perjalanannya di sorga, ia melihat Duryodhana
duduk di singasana, tetapi dia tidak melihat saudara-saudaranya dan Draupadì.
Ternyata semua itu hanya ilusi. Akhirnya Yudhiûþhira bertemu dengan saudaranya
dan juga Draupadì.

 Svargarohana Parva 6 canto dengan jumlah úlokanya sebanyak 320 buah.


 Sesampainya di sorga Yudhiûþhira melihat Duryodhana dan saudara-
saudaranya dalam kemewahan yang gemerlapan duduk di singasana.

 Terjadi dialog antara Yudhiûþhira dengan Nàrada.

 Kepedulian Yudhiûþhira kepada saudara-saudaranya dan putri Pàñcàla.

 Kedatangan para devatà dan menyampaikan pujian kepada Yudhiûþhira atas


prilaku yang senantiasa berpegang kepada Dharma.
 Yudhiûþhira selanjutnya menceburkan dirinya ke dalam sungai Gaògà di
kahyangan, kemudian berubah wujud devatà dan berjalan paling depan
diiringi oleh para devatà lainnya, demikian pula dengan saudara-saudaranya
dan seluruh mereka orang-orang yang senantiasa berpegang kepada Dharma
mengalami hal yang sama.

 Disaksikan oleh para dewa, Yudhiûþhira berbagi tempat dengan saudara-


saudaranya.

 Yudhiûþhira melihat Govinda dalam wujud Brahmà yang bercahaya


gemerlapan. juga saudara-saudaranya, istrinya, anak-anaknya, ayahnya,
ibunya, pamannya, dan cucu-cucunya.

 Pertanyaan Janamejaya untuk para pahlawan yang gugur di medan


pertempuran berapa lama akan tinggal di kahyangan dan menjadikan
Kurusetra sebagai tempat suci.

 Vaisampayana menjawab dan menjelaskan tentang persembahan ular


(yajñasarpha) Janamejaya.

 Ia kembali dari Takûaúìla ke kotanya setelah melakukan banyak persembahan


dan memperoleh dakûina (honorarium) yang berlimpah.

 Nilai dan keutamaan Mahàbhàrata.

 Pertanyaan Jayamejaya tentang aturan yang berkaitan dengan sopan-santun


untuk mendengarkan pembacaan kitab Mahàbhàrata dan pahala yang
diperolehnya, hal ini dijelaskan pila oleh Vaiûampàyana.

3. Gamelan Jawa
Gamelan Jawa merupakan seperangkat Alat Musik Tradisional Jawa
yang biasanya terdiri dari Gong, Kenong, Gambang, Celempung
serta beberapa Alat Musik pendamping lainnya, Keistimewaan
Alunan Musik Gamelan jawa adalah cenderung bersuara lembut dan
seperti sengaja menghadirkan suasana ketenangan jiwa, dimana hal
itu diselaraskan dengan Prinsip Hidup Masyarakat Jawa pada
umumnya.

Instrument Gamelan Jawa tidak bisa kita lepaskan dari


pandangan Masyarakat Jawa yang cenderung memelihara
keselarasan hidup baik jasmani maupun rohani, keadaan tersebut
menjadikan Orang-orang jawa selalu menghindari eksperesi
tempramental dan berusahan mewujudkan toleransi antar sesama,
Wujud paling nyata bisa kita dapati dalam musik gamelan adalah
tarikan tali rebab yang sedang, panduan keseimbangan bunyi
kenong, saron, kendhang dan gambang serta suara gong pada
setiap penutup irama.

Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang


terdiri dari beberapa putaran dan pethet. dibatasi oleh satu gongan
serta melodinya. diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
komponen utama alat musik gamelan adalah: bambu, logam, dan
kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran
musik gamelan.

Secara etimologi Gamelan berasal dari istilah Bahasa Jawa yakni “Gamel”
yang berarti Menabuh/Memukul, dan akhiran “An” yang menjadikannya kata
benda, jadi Gamelan bisa diartikan Memukul/ Menabuh Benda

Artikel Terkait :

 Sekilas Sejarah Seni Karawitan Jawa


 Fungsi dan Nilai Filosofi Seni Karawitan Jawa

SEJARAH GAMELAN JAWA

Ketika membaca salah satu artikel di www.egamelanku.com,


Sejarah Gamelan Jawa berdasarkan keterangan dari Gusti Puger
putra P.B. XII, dan Serat Wedhapradangga dari keraton surakarta
yang pertama ditulis oleh Raden Tumenggung Warsadiningrat,
kumpulan serat sejarah gamelan tersebut dihimpun oleh Raden
Ngabehi Prajapangrawit pada tahun 1874. bahwa Gamelan lahir
ditanah jawa pertama kali adalah gangsa raras salendro.

Tahun 167 Sang Hyang Guru atau Sang Hyang Jagatnata / Lokanata
memberikan ijazah berupa Swara Karengeng Jagat, swara tersebut
berasal dari gamelan Lokananta atau Lokanata. Menurut keterangan
dari G.P.H. Hadiwijaya (Redaksi Pustaka Jawa) hanya ada 5 ricikan
dalam gamelan Lokananta tersebut yakni Gendhing (Kemanak),
Pamatut (Kethuk), Sauran (Kenong), Teteg (Kendang Ageng) dan
Maguru yang sekarang disebut Gong.

Ditahun 187, terdengar swara Matenggeng Karna, dari Sang Hyang


Indra / Surendra, dan diberi nama Salendro, ricikannya tetap ada 5
dengan swara tembang Sekar Kawi / Ageng. Pada Tahun 336 oleh
Sang Hyang Indra racikan gamelan ditambah lagi dengan
Salundhing atau kempul, dan Gerantang yang sekarang disebut
dengan gambang.

Fakta yang jelas adanya gamelan di tanah jawa menurut Agus Purwo
Murdoko, S.Sn. (Guru Seni Budaya SMAN 1 Kartasura), Panggiyo
S.Kar, MA (dosen Karawitan ISI Surakarta), dan KRA Haryono
Hadiningrat (Prof. Dr. Timbul Haryono, MSc) arkeolog yang tinggal di
Prambanan Yogyakarta dan pernah dimuat di Majalah Sasmita edisi I
tahun 2007, terdapat pada bukti fisik di relief-relief candi Borobudur,
dan candi-candi lainnya ditanah jawa.

Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat dilihat jenis-


jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di
leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal,
suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan)
dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung,
kendang bentuk periuk, simbal (k?c?r), dan suling. Disana
digambarkan bahwa gamelan digunakan sebagai pengiring tari,
upacara kerajaan atau keagamaan.

FUNGSI GAMELAN JAWA

Gamelan Ageng atau penyajian dengan keseluruhan perangkat


gamelan digunakan untuk menyajikan Gending-gending, biasanya
dipakai untuk iringan musik pada pementasan Wayang baik Wayang
Kulit maupun Wayang Orang, Ketoprak, Tarian-tarian Jawa dan Lain-
lain. adapun Gamelan Jawa untuk penyajian gending dalam
karawitan dapat dibedakan menjadi beberapa repertoar yakni :

 Soran : Gending-gending dengan kecenderungan volume


tabuhan yang keras, kesemua perangkat gamelan ditabuh
kecuali Gender, Gambang, Rebab, Suling dan Siter. Alunan
Musik Gamelan jenis ini disajikan dengan tempo tanggung,
Seseg dan antal.
 Lirihan : Sesuai dengan namanya, Penyajian Gending lebih
halus dan pelan dengan kesemua waditra (Instrumen) ditabuh
namun yang lebih diutamakan adalah Gender, Gambang,
Rebab, Siter dan Suling dengan tempo yang berbeda-beda,
adapun penyajian karawitan lirihan dapat dibedakan lagi
berdasarkan ricikan yang dipergunakan, antara lain: gadon,
nyamleng, siteran, genderan, dan lain-lain.
 Terdapat juga Gamelan Ageng yang difungsikan sebagai
sarana upacara yakni :
 Gamelan Sekati yang memiliki nama Kanjeng Kyai
Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Guntursari, biasanya di tabuh
dalam perayaan Sekaten yakni dimulai tanggal 5 Mulud hingga
12 Mulud. selain ditabuh untuk memperingati hari kelahiran
dan wafat Nabi Muhammad SAW, juga untuk menyambut tamu
agung, supitan/tetsan putra/putri Sultan dan sakarsa Dalem.
Instrumen yang ada dalam gamelan sekati terdiri dari: 2 gong
ageng, 1 bedug, 1 kempyang, 1 saron demung, 2 sarong ricik,
2 sarong peking, 1 sampur, dan 1 bonang.
 Gamelan Munggang yang memiliki tiga nada, Gamelan ini
terdiri dari 4 racakan berisi tiga buah bonang besar, 1 kenong
japan, 2 bende, 1 pasang lojeh, 1 kendang gending, 1 kendang
penuntung, dan dua buah gong. Gamelan Munggang ditabuh
untuk menyambut penobatan Sultan, menyambut tamu agung,
supitan/tetesan putra/putri Sultan, malemen, mantu, rampog
macan, grebegan, dan lain-lain sakarsa Dalem.
 Gamelan Corobalen dimainkan untuk acara menyambut
tamu.

PERANGKAT GAMELAN JAWA

BONANG : berupa satu set sepuluh sampai empat-belas gong- gong


kecil berposisi horisontal yang disusun dalam dua deretan,
diletakkan di atas tali yang direntangkan pada bingkai kayu. Pemain
duduk di tengah-tengah pada sisi deretan gong beroktaf rendah,
memegang tabuh berbentuk bulat panjang di setiap tangan. Ada
tiga macam bonang, dibeda-bedakan menurut ukuran, wilayah
oktaf, dan fungsinya dalam ansambel.

 Bonang Barung : berukuran sedang, memiliki oktav tengah


hingga tinggi, merupakan satu dari sekian instrumen pemuka
dalam ansembel, pola nada yang dihasilkan bertugas sebagai
antisipasi nada-nada lanjutan, penuntun instrumen-instrumen
lainnya, kecuali pada tabuhan imbal-imbalan, jenis bonang ini
cenderung bertindak untuk membentuk pola-pola lagu jalin-
menjalin dengan bonang panerus.
 Bonang Penerus : berukuran paling kecil dan beroktaf tinggi.
pada teknik tabuhan pipilan, bonang panerus berkecepatan
dua kali lipat dari pada bonang barung. bonang panerus tidak
berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan
ketinggian wilayah nadanya. meskipun bertugas
mengantisipasi nada-nada balungan, adapun dalam teknik
tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung,
bonang panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.

CELEMPUNG : merupakan Instrumen kawat yang dipetik, dibingkai


pada semacam gerobogan (juga berfungsi sebagai resonator),
memiliki dua pasang kaki, kaki muka lebih tinggi dari sepasang
kaki belakang, memiliki tiga-belas pasang kawat yang ditegangkan
antara paku untuk melaras (di atas) dan paku-paku kecil (di bawah).
terdapat kepingan metaldiatas gerobogan berfungsi sebagai
jembatan pemisah kawat, alat musik ini bertugas untuk merangkai
pola pola lagu.

GAMBANG : terbuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada


gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator. berbilah tujuh-
belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua
oktaf atau lebih. dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan
tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu. berfungsi memainkan
gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg
juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan
ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau
permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu
dengan ritme – ritme sinkopasi.

GENDER : bilah-bilah metal yang ditegangkan dengan tali di atas


bumbung bumbung resonator. dimainkan dengan tabuh berbentuk
bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek. terdapat dua
jenis gender Gender Barung dan Gender Penerus.

 Gender Barung : berukuran besar, beroktaf rendah sampai


tengah. Salah satu dari instrumen pemuka, bermain dalam
pola lagu berketukan ajeg (cengkok) yang dapat menciptakan
tekstur sonoritas yang tebal dan menguatkan rasa pathet
gendhing.
 Gender Penerus : berukuran kecil, beroktaf tengah sampai
tinggi. Meskipun instrumen mi tidak harus ada dalam
ansambel, kehadirannya menambah kekayaan tekstur
gamelan. Gender ini memainkan lagunya dalam pola lagu
ketukan ajeg dan cepat.

KEMPUL : Gong berukuran kecil yang digantung. Kempul menandai


aksen-aksen penting dalam kalimat lagu gendhing. dalam
hubungannya dengan lagu gendhing, kempul bisa memainkan nada
yang sama dengan nada balungan; kadang-kadang kempul
mendahului nada balungan berikutnya; kadang-kadang ia
memainkan nada yang membentuk interval kempyung dengan nada
balungan, untuk menegaskan rasa pathet.
KENDHANG : instrument bersisi dua yang tidak simetris dengan sisi
kulitnya ditegangkan dengan tali dan kulit atau rotan ditata dalam
bentuk ‘Y.’ benfungsi menentukan irama dan tempo (menjaga
keajegan tempo, menuntun peralihan ke tempo yang cepat atau
lambat, dan menghentikan tabuhan gendhing (suwuk)). selain itu
untuk gamelan iringan tari-tarian dan pertunjukan wayang kendhang
juga menginingi gerakan penari atau wayang. Berdasarkan atas
ukuran dan fungsinya, terdapat empat macam kendhang yaitu
kendhang ageng, kendhang wayangan, kendhang ciblon, dan
kendhang ketipung.

KENONG : merupakan satu set instrumen jenis gong berposisi


horisontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai
kayu. Dalam memberi batasan struktur suatu gendhing, kenong
adalah instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Kenong
membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong,
atau kenongan. disamping itu nada kenong juga memiliki hubungan
dengan lagu Gendhing, yang boleh sama dengan nada balungan
ataupun mendahuluinya atau ia dapat memainkan nada berjarak
satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa
pathet.

GONG : kata gong khususnya menunjuk pada gong gantung


berposisi vertikal, berukuran besar atau sedang, ditabuh di tengah-
tengah bundarannya (pencu) dengan tabuh bundar berlapis kain.
berfungsi sebagai tanda permulaan dan akhiran gendhing. dalam
istilah ini Gong bisa di jeniskan menjadi dua yakni :

 Gong Ageng : Gong gantung dengan ukuran besar, ditabuh


untuk menandai permulaan dan akhiran kelompok dasar lagu
(gongan) gendhing.
 Gong Suwukan: Gong gantung berukuran sedang, ditabuh
untuk menandai akhiran gendhing yang berstruktur pendek,
seperti lancaran, srepegan, dan sampak.

KETHUK KEMPYANG : Dua instrumen yang termasuk jenis gong


berposisi horisontal ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada
bingkai kayu. Kethuk – kempyang memberi aksen-aksen alur lagu
gendhing menjadi kalimat kalimat yang pendek. pada gaya tabuhan
cepat lancaran, sampak, srepegan, dan ayak ayakan, kethuk ditabuh
di antara ketukan ketukan balungan, menghasilkan pola-pola jalin-
menjalin yang cepat.

REBAB : Alat Musik berkawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan


pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan
membran (kulit tipis) dari babad sapi. Instument ini termasuk salah
satu bagian dari instrumen pemuka yang diakui sebagai pemimpin
lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih.
memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras,
dan pathet yang akan dimainkan. alur lagu rebab memberi petunjuk
yang jelas jalan alur lagu gendhing.

SARON : berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu


oktaf atau satu oktaf dan satu nada) ditumpangkan pada bingkai
kayu yang juga berfungsi sebagai resonator.ditabuh dengan tabuh
dibuat dari kayu atau tanduk (yang akhir ini untuk peking). Saron
sendiri terbagi menjadi 3 jenis sesuai ukuran dan fungsi masing-
masing

 Saron Demung : Instrument berukuran besar dan beroktaf


tengah. memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya
yang terbatas. satu perangkat gamelan mempunyai satu atau
dua demung. Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai
lebih dari dua demung.
 Saron Barung : berukuran sedang dan beroktaf tinggi, juga
memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas. suatu
perangkat gamelan bisa mempunyai saron wayangan yang
berbilah sembilan. saron ini dimainkan khususnya untuk
ansambel mengiringi pertunjukan wayang.
 Saron Peking (Penerus) : ukuran paling kecil dan beroktaf
paling tinggi. memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap
empat lagu balungan. peking juga berusaha menguraikan lagu
balungan dalam konteks lagu gendhing.

SLENTHEM : termasuk keluarga gender ketika kita lihat dari


kontruksinya, sering dinamakan gender panembung. Tetapi
slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron, beroktaf paling
rendah dalam kelompok instrumen saron. memainkan lagu balungan
dalam wilayahnya yang terbatas.

SULING : terbuat dari bambu dan termasuk dalam kategori alat


musik tiup. memainkan instrument dalam pola-pola lagu bergaya
bebas metris. dimainkan secara bergantian, biasanya pada waktu
lagunya mendekati akhiran kalimat. tetapi kadang – kadang pemain
suling juga memainkan lagu lagu pendek di permulaan atau di
tengah kalimat lagu.
4. WAYANG
I.1 Asal-Usul Kata Wayang

Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang,


yang berarti bayangan; seperti halnya kata watu dan batu, yang
berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi b
dilambangkan dangan huruf b dan w pada kata yang pertama
dengan yang kedua tidak mengakibatkan perubahan makna pada
kedua kata tersebut. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang
dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan , dalam bahasa melayu
artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar,
menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern,
bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata
"yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata:
laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-
reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat
sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal:
poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata
yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka
jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak
berkali-kali, tidak tetap, melayang,

Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk


menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang
disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang
berdiri atau duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya
matahari yang mengenai badan orang itu, maka orang itu
menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang
Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang-
pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut
posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka
bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut matahari
tinggi, bayangan semakin pendek.

Terdapat pula kata yang berhubungan dengan kata ayang, yaitu


ngayang. Ngayang (Bahasa Jawa), artinya seseorang dalam
keadaan melengkungkan badannya kebekakang dengan posisi
kepala meilhat kebelakang; atau hanya sampai pada melihat dan
memeperhatikan langit, angkasa atau 'atas'. Sehingga apabila
dikaitkan dengan pengertian wayang dalam konteks hyang, yang
berarti roh melayang-layang di angkasa atau keatas, maka kata
ngayang tersebut ada relevansinya. Hanya saja kata ngayang
biasanya dipergunakan dalam konteks permainan maupun olah raga
(permainan tersebut dinamakan brok atau sawah-sawahan; suatu
permainan anak-anak di Jawa yang sangat populer dengan
mempergunakan pecahan genteng sebagai gacuk (alat yang
dilemparkan oleh si pemain); sedangkan dalam olah raga biasanya
salah satu gerakan senam).

Pengertian-pengertian wayang di atas lebih beroriantasi pada


seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang
dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah benda
tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah
lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan.
Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat,
layar(kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian
belakang layer (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua
bagian bayangan; yang pertama, bayangan di depan layer terjadi
apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layer dan mendekati
blencong, maka bayangan akan membesar baik didepan atau di
belakang layer.

SEJARAH WAYANG

II.1. Wayang dalam karya sastra

Wayang dalam bentuk karya tertulis banyak jumlahnya. Apabila


ditelusuri secara diakronis, maka cerita dengan lakon wayang tidak
dapat dipisahkan dari perjalanan karya sastra wayang itu sendiri.
Tokoh wayang yang sekarang dikenal oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, terutama Jawa, tidak terpisahkan dari epos
tanah Hindu(India), terutama Ramayana dan Mahabharata dan
perbedaannya dengan yang terdapat di Indonesia, namun ditinjau
dari persamaan nama tokoh, maka hal itu tidak dapat dipisahkan
(kerangka pemikiran histories), meskipun mengalami sedikit
perubahan (transformasi budaya).

Lakon-lakon yang dipentaskan di dalam pertunjukkan wayang


tidak secara langsung mengambil dari cerita-cerita yang bersumber
dari India (berbahasa Sansekerta) maupun Jawa Kuno, tetapi
menyajikan lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan dan digubah
oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada 'jaman Jawa baru',
seperti kitab Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta) dan Serat
Kandaning Ringgit Purwa (gagrag Yogyakarta). Paling tidak dari dua
sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian diciptakan tersebut
dapat dibentuk dalam dua lakon besar, yaitu lakon
pokok/baku/lajer/pakem dan lakon carangan. Lakon Pakem yaitu
lakon yang sudah dibukukan (serat pakem tuntungan pedalangan),
sudah diturunkan selama lebih dari dua generasi dan sudah banyak
dipentaskan oleh banyak dalang lakon carangan (carang=ranting);
ibarat pohon merupakan cabang-cabang dari pohon inti (batang);
yaitu lakon yang belum dibukukan, belum diturunkan lebih dari dua
generasi dan belum dipentaskan oleh banyak dalang. Adapun
pengertian lakon pakem terbagi menjadi dua bagian, yaitu: lakon
pakem belungan dan lakon paken jangkep. Lakon balungan ialah
lakon yang memuat pokok/inti cerita dan mengandung urutan
pengadegan. Sedangkan lakon pakem jangkep yaitu lakon yang
memuat seluruh/hamper seluruh unsure-unsur didalam pertunjukan
wayang, yang biasanya erat menggunakan judul serat pakem
tuntunan pedhalangan (sedalu muput). Ki Siswoharsojo menuolis
beberapa lakon wayang yang dijadikan patokan (lakon pakem) oleh
para calon dalang maupun para dalang, antara lain: Wahyu
Makutharama dan Wahyu Purbasejati; Ki Nojowirongko menggubah
buku akem pedalangan Lempahan Irawan Rabi/pernikahan Irawan
(berisi mengenai patokan mendalang dan lakon pernikahan Irawan
itu sendiri). Sedangkan untuk lakon balungan sebagi contoh yaitu:
Pakem Ringgit Purwo Lampahan Laripun Romo – Brubuh Ngalangka,
yang disusun oleh Ki S. Soetarsa. Lakon carangan yang pernah
dipentaskan oleh beberapa dalang yaitu Petruk Kelangan Pathel dan
Bagong Sunat.

Wayang yang termuat di dalam suatu karya sastra dapat pula


sebagai sumber informasi mengenai pertunjukkan wayang
(permainan bayang-bayang), bukan mengenai cerita atau lakon
wayang itu sendiri. Sebagai contoh: di dalam Arjunawiwaha
Kakawin karya Empu Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa Timur
(950 Saka=IX sesudah Masehi), masa kediri, disebutkan mengenai
seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh sekali ia,
padahal sudah tahu yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah,
kata orang ia terkena gaya gaib.

II.2 Wayang dalam prasasti dan relief candi

Pada masa purba Indonesia, informasi mengenai suatu berita


dapat ditulis pada prasasti. Prasasti dapat berupa tonggak batu
maupun lempengan tembaga. Sebagai contoh: prasasti
Mulawarman dari Kutei, bertulisan Pallawa sekitar tahun 400M,
berbentuk yupa (sebuah tugu peringatan upacara kurban),
berbahasa Sansekerta dan tersusun dalam bentuk syair.
(Soekmono, 1991:53). Prasasti dapat dipandang sebagai benda
yang bernilai sejarah. Dari prasasti itu dapat ditelusuri keterangan-
keterangan mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau.
Dari prasasti itu pula dapat dideteksi mengenai latar
belakang/orientasi pemikiran masyarakat pada waktu itu. Sebagai
contoh adanya pemikiran religius Jawa Kuna, yang salah satunya
dalah menyembah dan menganggungkan dewa-dewa, seperti
kepada dewa Wisnu, Brahma, dan Siwa.

Beberapa prasasti telah membuktikan bahwa pertunjukkan


wayang telah ada pada jaman kuna. Misalnya empat lempengan
tembaga yang di temukan di Bali. Lempengan ini berangka tahun
980 Saka (1058 M) dan isinya telah disalain oleh Van Der Tuuk dan
Dr. Brandes. Lempengan ini menyebutkan kata ringgit. Kata ringgit
hingga saat ini masih dipergunakan sebagai sinonim dari kata
wayang. Dengan demikian penggunaan kata ringgit untuk
pengertian wayang telah sangat tua. Lebih lanjut Hazeu
mengatakan lempengan berangka tahun 782 Saka yang diterbitkan
dan di terangkan oleh Prof. Kern terdapat istilah juru barata. Istilah
tersebut berarti orang yagn memainkan teater atau lelucon atau
dalang. (1979: 45). Kecuali itu did ala mlempengan yang memuat
kata kawi yang diterbitkan oleh Cohen Stuart, dibicarakan tentang
juru banyol dan aringgit, abanyol. Lempenan ini berangka 762
Saka, meskipun didalam prasasti (lempengan logam) berulang kali
disebutkan kata ringgit namun dengan menyebutkan secara berdiri
sendiri, kirany sulit untk membuat kesimpulan, sementara itu sejak
abad IX setelah masehi, sekalipun dalam keadaan yang sangat
kuna, di Jawa sudah ada pertunjukkan teater bayang-bayang
tersebut diduga merupakan asal pertunjukkan wayang yang kita
kenal sekarang.

Keterangan mengenai wayang juga ditemukan pada relief candi;


berupa gambar atau visualisasi tokoh-tokoh wayang yang dipahat
pada dinding-dingdingnya. Apabila kita beranggapan bahwa wayang
berasala dari gambar-gamabr relief candi, maka dugaan yang
dikemukakan adanya usaha orang jaman dulu untuk mengutip
gambar pada relief tersebut agar dapat digulung, dan dapat dibawa
kemana-mana sehingga dapat dipentaskan atau dipergelarkan.
Dugaan tersebut terbukti dengan banyaknya candi yang memuat
cerita wayang, misalnya: relief di Candi Prambanan, candi Jago,
candi Panatara. Pada candi-candi tersebut didapatkan stilisasi
tokoh-tokoh dalam relief yang tidak serupa dengan wayang kulit
Purwa (Jawa) tetapi mirip dengan adanya wayang dari kertas yang
dapat digulung dan digelar, terkenal dengan nama wayang beber
yang masih tumbuh dan berkembang didaerah Wonosari,
Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi
bentuk stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang
diambil sebagai pola ialah perkembangan terakhir. Disamping itu
pada candi Panataran terdapat dua gaya relief, yaitu gaya yang
dekat dengan berntuk-bentuk alam, seperti yang terdapat pada
cerita Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yang terdapat
pada panil-panil relief Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa
tidak benar suatu anggapan yang memandang gaya realistic pada
relief candi Panataran kemudian berangsur-angsur berubah menjadi
dekoratif seperti yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur yang
lebih tua usianya. Kemudian pada candi Jago, terdapat tradisi untuk
membatasi adegan-adegan dala mrelief dengan menggunakan
gunungan-gunungan atau kayon seperti yang terdapat pada
pertunjukan wayang kulit. Ini rupa-rupanya terpengaruh pekeliran
wayang kulit yang selalu mengawali dan mengakhiri adegan-
adegannya dengan cara menancapkan gunungan di tengah layer.
Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil orang sampiai pada pemilihan
gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan dalam relief candi.
Misalnya di candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif ikal
bersambung yang dibuat menegak memenuhi seluruh tinggi relief.
Dengan demikian maka keteragnan tentang wayang pun dapat
ditemukan pada prasasti dan relief candi, disamping keterangan
mengenai wayang di dalam karya sastra.

II.3 Jenis-jenis wayang di Indonesia

Wayang yang tersebar di seluruh Indonesia terdiri dari berbagai


bentuk dan jenisnya. Bentuk dan jenis wayang tersebut dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu berdasarkan: 1.
Sumber ceritanya; 2. Bahan boneka atau sejenisnya; 3. Wilayah
kebudayaan(asal dan penyebarannya); 4. Bunyi (musik) instrument
yang terdengar; Bentuk pertunjukannya; 6. Fungsinya; dan 7.
Bunyi benturan boneka wayang. Pengklasifikasian ini cenderung
berorientasi pada masalah penamaan atau penyebutan wayang. L.
Surruer telah mengadakan angket penelitian tentang jenis-jenis
wayang yang ada di pulau Jawa seperti yang disunting oleh Padam
Guritno; hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul
De Wayang Poerwa; buku ini memuat jenis-jenis wayang yang
dikenal di pulau Jawa, diantaranya: wayang beber, gedhog, golek,
jemblung, klithik, krucil, langendria, lilingong, lumping, madya,
pegon, purwa, purwara, sasak, topeng, dan wayang wong. Namun
rupa-rupanya penelitian ini belum mencakup semua jenis dan
bentuk wayang di Indonesia, sehingga perlu dilengkapi dan
dikembangkan.

Perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sangat


berpengaruh terhadap perkembangan perwayangan dan pedalangan
di Indonesia. Dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi itu
para seniman dalang dapat menciptakan jenis-jenis wayang baru
sesuai dengan keinginannya. Seiring dengan hal itu maka pemikiran
masyarakat seniman, dalam hal ini para dalang juga turut
berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan wayang yang
dikaitkan pada penciptaan karya seni berorientasi pada boneka
wayang, pertunjukan wayang dan sastra wayang.

II.4 Pendukung dan perlengkapan pertunjukan wayang

Pendukung seni pertunjukan seni wayang ini terdiri paling tidak


empat unsur, yaitu dalang, nayaga, pesinden, wiraswara.
Sedangakan perlengkapan seni pertunjukan wayang dapat terdiri
dari wayang, kelir, blencong, dobog, kotak wayng, cempala, kepyak
dan gamelan.

1. Dalang

Dalang dapat dikatakan sebagai seniman utama dalam


pertunjukan wayang. Ia sebagai pemimpin pertunjukan (leading
artist), sehingga ia dapat sebagai pusata perhatian penonton dalam
memeinkan wayang. Pada umunya dalang adalah pria, karena
pekerjaan sebagai dalang memang amat berat. Dalang dalam
wayang harus duduk bersila semalam suntuk, melaksanakan
pertunjukan tersebut (yang dimainkannya), dan juga memimpin
lain-lain seniman-seniwati yang duduk dibelakangnya dengan aba-
aba tersamar, berupa wangsalan atau petunjuk sastra yang
diselipkan dalam cariyos atau narasinya, berupa gerak-gerik
wayang. Nyanyian, dedogan, dan kepyakan. Secara tradisional ada
beberapa kelas dalang, yaitu: 1. mereka yang beru dapat
mendalang; 2. yang sudah pandai mendalang; 3. yang telah
menguasai semua isi pendalangan; 4. yang telah menguasai semua
isi perdalangan; 5. dalang sejati yang disamping telah menguasai
semua isi pedalangan juga dapat memberi suri tauladan kepada
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang arif,
bijaksana dan patut dihormati.
2. Nayaga

Adalah sebutan bagi para penabuh gamelan. Untuk mengiring


pertunjukan wayang kulit purwa, nayaga itu sedikitnya sepuluh
orang untuk memainkan sedikitnya lima belas peralatan gamelan.
Nayaga biasanya pria. Yang menduduki tempat terpenting untuk
mengiringi pertunjukan wayang adalah penabuh kendang, karea
biasanya ialah yang menangkap isyarat atau perintah dari dalang,
dan meneruskannya pada nayaga lain, terutama untuk melirihkan
atau mengeraskan bunyi gamelan, mempercepat atau
memperlambat irama gending, memulai dan menghentikannya.
Dikalangan karawitan Jawa kini dikenal juga nama lain bagi para
nayaga yaitu pradangga, nama yang kita tahu baru diperkenalkan
sevcara luas setelah negara kita merdeka, meskipun istilah itu
sudah lama dikenal. Disamoing menabuh gamelan, para nayaga itu
juga kadang-kadang menyanyi dalam paduan suara pria yang
dinamakan gerong.

3. Swarawati

Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama dikenal dikalangan seni


di pulau Jawa. Namun sebagai seniwati yang mengiringi pagelaran
wayang purwa, mereka baru dikenal sekitar dasawarsa tiga puluhan
abad ini, sehingga mulai masa itu setiap pagelaran wayang purwa
ada pesindennya. Dan dianggap tidak wajar apabila pesindennya
tidak ada. Jika para nayaga dinamakan pradangga, maka para
pesinden pun mendapat nama-nama baru yaitu waranggana,
widuwati atau swarawati.

4. Wiraswara

Wiraswara ialah seorang atau beberapa orang laki-laki yang


mempunyai peran melantunkan syair tertentu untuk mengisi
jalannya alunan gending. Pengertian wiraswar yaitu, wira = perwira
(berani/sakti/ampuh), swara = suara, jadi yang dimaksudkan
wairaswara ialah orang atau beberapa orang yang mempunyai
"kesaktian" dalam hal tarik suara. Dalam pertunjukan wayang posisi
wiaraswara biasanya dibelakang atau sejajar dengan swarawati.
5. Wayang

Satu kotak wayang kulit purwa berisi sekitar 200 buah boneka
atau wayang yang terbuat dari belulang atau kulit kerbau, dan
dapat juga terbuat dari kulit lembu (namun ini kurang baik). Bagi
para penggemar wayang berbeda, jumlah wayang-wayangnya dapat
berlipat dua atau lebih jumlah tersebut. Menurut buku-buku, koleksi
wayang kulit yang lengkap jumlanhya sekitar empat ratus buah.

6. Gamelan

Alat musik tradisional ini kebanyakan adalah instrument pukul


yang kebanyakan terbuat dari perunggu yang berkualitas baik atau
juga dari besi. Berbagai jenis gamelan yang saat ini digunakan
untuk mengiringi pagelaran wayang adalah kendang (besar,sedang,
kecil atau ketipung), rebab (instrument gesek atau cordophone),
gender (dapat dua buah) demung (semacam gender besar),
gambang (instrument pukul dari kayu), suling (satu-satunya
instrument tiup), siter (cordophone), kempyang atau kemong
(tergantung laras gamelannya), kethuk, kempul, saron (dua buah),
saron kecil (peking), saron besar (slenthem), boning (dapat dua
buah) dan gong.

7. Kelir

Yang dimaksud dengan panggung dimuka adalah bagian kelir atau


layer di depan dalang yang lebarnya sekitar 160 cm. kelir itu dibuat
dari kain katun berwarna putih. Pinggiran bagian atas dinamakan
pelangitan yang menunjukan langit atau angkasa, dengan lebar
layar yang lebih, demikian pula bagian pinggir kiri dan kanan yang
fungsinya sebagai hiasan.

8. Blencong

Adalah nama lampu minya kelapayang digunakan dalam


pertunjukan wayang kulit purwa. Lampu ini terbuat dari logam atau
perunggu, biasanya bentuknya menyerupai burung dengan ekornya
berfungsi sebgai reflector. Sebagai sumbu lampu minyak itu
dinamakan lawe, yaitu benang-benang kapas yang keluar dari paruh
burung yang menyerupai garuda.
9. Debog

Untuk pertunjukan wayang purwa biasanya diperlukan tiga


batang pisang yang cukup panjang, dari jenis pisang yang padat
batangnya. Dhebog atas merupakan bagian pentas untuk
menancapkan tokoh-tokoh wayang yang berstatus tinggi. Dhebog
atas disebut pamedan sedang dhebog bawah disebut paseban.
Adapun status yang menentukan apakah seorang tokoh wayang
berdiri atau duduk (dari sisi bayangan) adalah berdasarkan
pangkat, usia atau kedudukannya dalam keluarga.

10. Kothak

Adalah peti wayang yang terbuat dari kayu, namun kayu yang
terbaik adalah dari kayu nangka, ukuran biasanya panjang 150 cm,
lebar 75 cm, dan tinggi termasuk tutupnya 55 cm, sedang tebal
papan kayu yang digunakan untuk membuat kothak itu kira-kira 2
cm. pada waktu pertunjukan kothak itu ditempatkan di sebalah kiri
dalang, membujur kearah kelir.

11. Cempala

Dua buah cempala digunakan dalam pertunjukan wayang purwa.


Cempala besar dubuat dari kayu jenis keras, biasanya kayu jait,
cempala besar ini biasanya dipegang tangan kiri dalangdan diketuk-
ketukan pada bagian dalam kotak yang dekat padanya dimana
perlu. Cempala kecil terbuat dari logam berukuran separuh cempala
besar. Dalam pertunjukan , cempala ini dijepit empujari kaki kanan
dalang dan jari kaki sebelahnya.

12. Kepyak

Alat yang disebut kepyak (Surakarta-Yogyakarta) atau kecrek


(Banyumas) itu bentuk dan bahan-bahan pembuatannya dapat
berbeda-beda, meskipun fungsinya sama, yaitu mirip dengan
cempala.

Anda mungkin juga menyukai