Anda di halaman 1dari 6

Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang Gagah Perkasa

Meresmikan berdirinya suatu kerajaan baru tiadalah sukar. Dengan beberapa patah kata,
dengan pengumuman ringkas, orang bisa lekas tahu. Janji bisa lekas dilupakan orang jika
tanpa bukti, tanpa ujud yang dapat dirasakan adanya.

Membangun, memajukan dan mempertahankan kedaulatan


Negara merupakan tugas yang maha berat bagi Panji Semirang. Hal itu disadari benar
olehnya dan berkat dorongan kemauan yang kuat, segala sesuatunya berjalan baik juga.

Tampak dua orang penjaga pintu gerbang. Elok paras mukanya. Galak-galak sorot matanya.
Langkahnya gagah seperti pahlawan yang tak kenal takut.

Itulah Ken Bayan dan Ken Sanggit, dayang-dayang yang berpakaian pria dan berganti nama
pula. Yang seorang bernama Kuda Perwira dan yang seorang lagi dipanggilkan Kuda
Peranca.

Tugas mereka berat. Mereka harus mencegah orang-orang yang lewat, baik yang datang dari
arah Kuripan menuju Daha, maupun sebaliknya. Hanya orang-orang Gagelang dibolehkan
terus berjalan tetapi yang lain harus dipaksa menghadap Panji Semirang. Kuda Peranca
matanya beringas melihat serombongan pedagang yang hendak lalu. Ujung kumis palsu
dipelintir, supaya kelihatan bertambah bengis. Tangan kiri memegang tombak. Tangan kanan
bertolak pinggang. Berjalan gagah seperti juara silat. Pangkal tombak ditumbukkan ke tanah.
Mulut membentak, "Berhenti!" Para pedagang kecil hatinya melihat tingkah laku Kuda
Peranca, lalu berhenti berjalan.

"Kalian dari mana ? Mau ke mana ?"

"Kami dari Gegelang," jawab seorang kepala rombongan pedagang.

"Semua dari Gagelang ?"

"Betul! Kami hendak berdagang."

"Hem! Dari Gagelang !" Kuda Peranca berkata sendirian sambil menatap pedagang-pedagang
itu seorang demi seorang. Tangan memelintir ujung kumis palsu.

"Kabarkan kepada orang-orang di negeri kalian tentang negeri kami. Raja kami ialah Sri
Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja gagah perkasa tapi adil."
Demikian perintah Kuda Peranca kepada pedagang-pedagang itu. Maksudnya agar supaya
nama Panji Semirang dikenal orang di mana-mana.

"Baik Raden!" sahut para pedagang itu serentak.

''Kalian boleh lewat," kata Kuda Peranca.

Kemudian berjalanlah rombongan pedagang itu dengan hati lega, diikuti oleh pandangan
mata Kuda Perwira dan Kuda Peranca.

Selang beberapa jam sesudah itu, tampak pula serombongan orang yang hendak lalu. Kuda
Peranca dan Kuda Perwira bersiap-siap hendak menegur bersama-sama. Sebab orang-orang
yang hendak lewat itu agak besar jumlahnya.

"Berhenti !" teriak Kuda Peranca dan Kuda Perwira dengan suara lantang.

"Kalian dari mana ? Mau ke mana ?"

"Kami dari negeri Mentawan. Kami hendak pergi ke negeri Kuripan, Raden," sahut kepala
rombongan.

"O, dari negeri Mentawan? Apa maksud kalian ke Kuripan?" tegur Kuda Peranca.

"Macam-macam Raden. Ada yang hendak berdagang, ada yang hendak menjual tenaga atau
ada juga yang hendak menyelenggarakan tontonan. Seperti lais, ronggeng, debus, sunglap,
dan macam-macam lagi pertunjukan."

Jadi kalian semua dari negeri Mentawan ?" Kuda Perwira minta ketegasan sekali lagi.

"Betul, Raden."

Kuda Peranca dan Kuda Perwira saling memandang. Kemudian Kuda Perwira berkata,
"Kalian dilarang meneruskan perjalanan ke Kuripan. Kalian mesti ikut kami menghadap Sri
Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja adil dan budiman. Di negeri kami, kalian boleh
mencari nafkah hidup. Sumber penghidupan luas terbuka bagi siapa pun."

Kuda Perwira berhenti berbicara. Memandang muka para pedagang yang tampak tidak setuju
dan agak kesal hatinya. Mereka merasa dibegal dan bakal menderita rugi. Berdagang di
Kuripan sudah kelihatan untungnya, sebab sudah banyak langganan di sana. Sedangkan di
negeri yang baru itu segala-galanya belum tentu.

"Kami tidak setuju, Raden ! Kami harus meneruskan perjalanan ke Kuripan. Langganan
menunggu kedatangan kami di sana," sahut kepala rombongan pedagang. Dan serentak pula
pedagang-pedagang itu bangkit hendak berjalan.

Kuda Peranca marah. Sambil menumbukkan pangkal tombaknya ke tanah ia membentak,


"Siapa-siapa tidak mau menurut perintah, kami tangkap. Yang berani melawan dengan
kekerasan kami bunuh ! Mengerti ?"
"Mengerti, Raden! Kami menurut saja kehendak Raden." Demikian sahut orang-orang dari
rombongan kesenian. Maka timbullah perpecahan di antara orang-orang negeri Mentawan itu.
Segolongan menurut dan segolongan yang lain membangkang.

Enam orang pedagang yang pemberani, serentak mencabut keris masing-masing. Terus
menyerang Kuda Peranca dan Kuda Perwira. Timbullah pertikaian. Dua lawan enam! Dengan
sigap kedua prajurit itu memainkan tombak masing-masing. Mempertahankan diri. Tangkai
tombak dipegang sama tengah. Dengan cara demikian mereka bisa memukul penyerang
dengan ujung dan pangkal tombak. Tak! Musuh kena pukul pangkal tombak. Musuh
sempoyongan. Cos! Mata tombak ditusukkan ke perut musuh. Sur! Darah membersit
membasahi tanah. Musuh jatuh — mengerang kesakitan — berdengus-dengus napasnya —
akhirnya mati.

Dua penyerang sudah terang jadi mayat. Yang empat lagi luka-luka berat. Keenam-enamnya
bergeletak di tanah tanpa daya. Orang-orang Mentawan itu menjadi takut semua kepada Kuda
Perwira dan Kuda Peranca. Mereka menurut tanpa syarat segala perintah kedua prajurit itu.
Kemudian terus digiring untuk menghadap Sri Baginda Panji Semirang.

Dengan kata-kata lemah-lembut, dengan sikap yang menarik, Baginda Raja menyampaikan
sabdanya, "Dengan rasa persaudaraan, rakyat kami menyambut kedatangan kalian di negeri
kami. Rakyat kami mengajak kalian bekerja bersama-sama; secara gotong royong
membangun negeri kami sehingga menjadi bertambah makmur. Kehidupan kalian kami
jamin."

Selanjutnya Sri Baginda memerintahkan rakyat untuk menghibur orang Mentawan dengan
makan minum. Tiap keluarga harus menerima dua tiga orang tamu di rumah masing-masing.
Kemudian secara gotong royong mendirikan perkampungan baru. Setelah itu mengadakan
keramaian di alun-alun.

Orang-orang Mentawan senang hatinya mendengar sabda Sri Baginda sedemikian. Hilanglah
takut mereka dan timbul rasa persaudaraan dengan rakyat Baginda Raja Panji Semirang.
Lambat laun mereka merasa betah tinggal di negeri baru itu. Dengan sukarela orang-orang
Mentawan menyatakan hendak menjadi rakyat Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka.
Dengan demikian bertambah banyaklah rakyat Sri Baginda. Keadilan dan kemakmuran yang
dijanjikan Sri Baginda menjadi kenyataan, oleh karena rakyat sendiri patuh dan giat bekerja,
rajin usaha; masing-masing menurut kecakapannya sendiri-sendiri. Barangsiapa merasa
belum cakap bekerja pasti mendapat bimbingan. Barangsiapa menghadapi kesulitan, pasti
diberi pertolongan. Yang sakit, yang papa atau pun cacat dirawat baik-baik. Anak-anak muda
dilatih membuat alat perkakas pertanian dan alat perang. Juga dilatih menjaga keamanan
negeri. Barangsiapa memperlihatkan kecakapan dan kerajinan bekerja yang luar biasa, pasti
dikaruniai hadiah oleh Sri Baginda.

Nama Baginda Panji Semirang semakin harum tersiar ke mana-mana. Semakin banyak rakvat
berasal dari Daha, dari Kuripan, dan dari Mentawan pada pindah ke negara Panji Semirang.
Banyak di antara orang-orang pendatang itu yang hidup makmur dan beroleh pangkat dalam
kerajaan. Ada orang asal Daha menjabat pangkat menteri, ada orang asal Kuripan menjadi
demang atau temenggung. Tidak sedikit pula orang-orang asal Mentawan yang menjabat
pangkat bupati.
Sementara itu Raja Mentawan bersedih hati, oleh karena rakyat banyak yang pindah ke negeri
Baginda Panji Semirang. Tidak hanya rakyat biasa, melainkan juga orang-orang berpangkat
pada meninggalkan tempat, kemudian menjabat pangkat di negeri Panji Semirang.

Negeri Mcntawan semakin lemah, semakin mundur. Raja Mentawan cemas hatinya dan
merasa takut kalau-kalau negerinya akhimya diserang dan dijajah Baginda Panji Semirang.

Menumt dugaannya Baginda Panji Semirang itu orangnya jahat, ganas. Badannya tinggi
besar seperti raksasa. Gagah perkasa tanpa tanding.

"Jika negeriku diserang, rakyatku rusak binasa. Permaisuri dan kedua putriku pasti menjadi
korban juga. Dijadikan seperti barang rampasan." Demikian pikir Raja Mentawan.
Perasaannya rusuh. Pikirannya kelam kabut. Lebih-lebih mengingat kepada kedua putrinya,
Puspa Juita dan Puspa Sari.

Pada suatu hari isi keraton Mentawan menjadi gempar. Beratus-ratus orang dari desa-desa
pinggiran, berbondong-bondong menuju ibu kota. Sebab di perbatasan negeri, tampak
pasukan tentara Baginda Panji Semirang. Orang-orang menduga negeri Mentawan akan
diserang musuh yang sangat kuat.

Raja Mentawan segera mengutus Patih pergi ke perbatasan untuk menyelidiki benar tidaknya
kabar yang disampaikan orang-orang pengungsi itu. Patih bersama-sama hulubalang dan
beberapa prajurit segera berangkat ke perbatasan. Betul! Dari jauh sudah kelihatan betapa
banyak lasykar musuh yang sedang berkemah di sana. Dengan hati berdebar-debar Patih terus
mendapatkan hulubalang pasukan Panji Semirang dan minta izin hendak menghadap Sri
Baginda. Permintaan Patih diperkenankan. Dengan dihantarkan Hulubalang Kuda Perwira
dan Kuda Peranca, Patih menghadap Sri Baginda Panji Semirang.

Patih terkejut ketika melihat Sri Baginda yang sangat cantik itu. Sungguh di luar dugaan !
Sebab ia menduga akan berhadapan dengan seorang raja yang serba kasar tingkah lakunya;
yang jahat dan bengis perangainya. Tetapi kiranya ia berhadapan dengan raja yang gagah
perkasa tapi molek cantik. Sangatlah kagum Patih melihat kecantikan paras Sri Baginda Panji
Semirang! Serasa menghadap sang Dewa Kamajaya dari keindraan.

"Paman Patih ! Harap Paman sampaikan sembah sujud kami ke hadapan Paduka Sri Baginda
Mentawan. Jika Paduka Raja berkenan hati kami bermaksud hendak menghadap untuk
mengeratkan silaturahmi kami dengan Paduka Raja. Kami menunggu balasan Paduka Raja,
Paman." Demikian sabda Baginda Panji Semirang.

Bukan main-main lega hati Patih mendengar sabda Baginda Panji Semirang demikian.
Dengan khidmat Paman Patih bersembah, "Hamba junjung setinggi-tingginya sabda Paduka.
Hamba mohon diri."

Patih segera naik kuda. Terus kembali ke istana Mentawan.

Kegemparan di istana mendadak menjadi reda. Kegelisahan hati segera hilang lenyap, setelah
Patih mempersembahkan berita dari perbatasan itu. Dan segera pula Baginda Raja
menitahkan Patih mengatur segala persiapan untuk menyambut kedatangan tamu agung Sri
Baginda Panji Semirang. Permaisuri, Puspa Juita dan Puspa Sari berpeluk-pelukan, tertawa-
tawa oleh karena hatinya terlalu girang. Girang oleh karena mereka tidak jadi diancam
malapetaka, tetapi sebaliknya bakal mendapat kehormatan menerima kunjungan muhibah Sri
Baginda Panji Semirang yang sudah masyhur namanya itu.

Tak lama kemudian kedengaranlah suara gamelan dan macam-macam bunyi-bunyian,


pertanda tamu agung beserta pengiringnya sudah tiba. Dan kedengaran pulalah sorak sorai
rakyat Mentawan yang menyambut tamu agung itu sepanjang jalan.

Rakyat Mentawan berdesak-desakan, berjejal-jejal, karena ingin jelas melihat Sri Baginda
yang masyhur karena cantik dan gagah perkasanya itu; yang dikabarkan sebagai penjelmaan
Dewa Kamajaya itu.

Raden Panji nan cantik jelita, naik kuda berwarna putih bersih. Menyambut rakyat Mentawan
dengan senyum manis. Senyum mesra, tanpa dibuat-buat ke luar dari kalbu bersih sang Nata.

Banyak gadis lupa akan tunangan, karena hati terpikat Raden Panji. Mata memandang tanpa
kedip, mulut ternganga lebar. Jantung berdebar-debar, kaki tak berasa capek mengikuti Sri
Baginda yang naik kuda. Nenek-nenek lupa akan rambut sudah putih, bertingkah seperti
gadis remaja. Hendak berlari menyongsong Baginda jelita, tapi kaki kaku tak mau diajak
cepat-cepat melangkah. Tinggallah nenek berdiri sendirian, seperti orang-orangan di tengah
sawah. Jika kakek tidak menyeret pulang, maulah nenek menunggu sampai Sri Baginda nanti
kembali.

Jika nenek melihat cermin barulah ia sadar, bahwa masa muda sudah lama meninggalkan dia.

Permaisuri mentawan dan kedua putrinya berdiri tertegun. Matanya terbelalak seperti mata
belalang melihat Sri Baginda Raja Panji Semirang masuk istana, terus menyembah dengan
hormatnya di hadapan Sri Baginda Raja Mentawan. Istana sunyi senyap, orang-orang
mulutnya bungkam, berdiri seperti patung-patung; seperti dikuasai tenung.

Tutur kata, gerak-gerik Sri Baginda Panji Semirang sangat menarik perhatian orang-orang
Mentawan.

Selesai bersantap sambil beramah-tamah, Panji Semirang mohon diri. Lalu menitahkan
bersiap-siap untuk meninggalkan negeri Mentawan. Kunjungan muhibah Sri Baginda Panji
Semirang sesungguhnyalah meninggalkan kesan baik yang takkan mudah dilupakan oleh
rakyat Mentawan.

Untuk menambah eratnya hubungan persaudaraan, Puspa Juita dan Puspa Sari diizinkan
ayahanda Raja untuk turut serta dengan Sri Baginda Panji Semirang ke negerinya. Untuk
melayani kedua putri itu, dua emban turut pula, yaitu Ken Pamonang dan Ken Pasirian.

Hari malam ketika Baginda Panji Semirang masuk istana. Mahadewi menyambut dengan
senang gembira kedatangan Panji Semirang. Setelah bercakap-cakap sejenak dengan
Mahadewi, Panji Semirang pergi bersiram dengan air kembang yang harum baunya. Pakaian
prianya ditanggalkan, rambutnya diurai, lalu bersiram dan berlangir. Baginda Panji Semirang
beralih rupa kembali menjadi Galuh Cendera Kirana.

Dalam bilik tertutup, di malam sunyi, Cendera Kirana menyepi seorang diri. Putri ayu hendak
melepaskan pikiran dari segala kesibukan kerja sebagai raja — ingin kembali menjadi
manusia biasa sepanjang malam — ingin menurutkan bisikan hati yang rindu kepada Raden
Inu Kartapati di Kuripan. Sambil berbaring di atas tilam empuk yang beralaskan kain sutera
indah, Cendera Kirana mencium boneka emasnya. Anak-anakan itu ditimang-timang,
didendangkan nyanyian-nyanyian merdu, dipeluk, didekap, diajak berbicara. Semua isi hati
dicurahkan Cendera Kirana kepada boneka kencana. Legalah hati Kirana. Kemudian hanya
napasnya jugalah yang sayup-sayup sampai kedengaran dalam bilik itu. Putri ayu
mengembara di alam mimpi.***

Anda mungkin juga menyukai