Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang Bubat atau dikenal juga peristiwa Bubat adalah sebuah peristiwa yang

melibatkan dua kerajaan terbesar di pulau Jawa yaitu kerajaan Majapahit dan kerajaan Sunda

sekitar tahun 1357. Sumber tertua yang menceritakan peristiwa ini adalah Kidung

Sundayana. Kidung Sundayana ditemukan sekitar awal tahun 1920 oleh seorang pakar

sejarah Belanda, C. C. Berg di Bali. Di dalam Kidung Sundayana diceritakan bahwa raja

Majapahit kala itu (Raja Hayam Wuruk) sedang mencari pendamping hidup. Mendengar

kabar akan kecantikan putri kerajaan Sunda Hayam Wuruk mengutus Arya Prabangkara,

seorang pelukis Majapahit untuk pergi melukis putri kerajaan Sunda. Setelah melihat lukisan

putri Sunda, Hayam Wuruk langsung jatuh hati dan mengirimkan lamaran. Lamaran diterima

baik oleh pihak Sunda, maka berangkatlah rombongan Sunda ke Majapahit. Setelah sampai

di wilayah Bubat terjadi pertengkaran antara mahapatih Majapahit (Gajah Mada) dengan

utusan Sunda. Pertengkaran ini berakhir dengan pecahnya peperangan antara dua kerajaan

tersebut dan menyebabkan tewasnya seluruh rombongan kerajaan Sunda. Selain Kidung

Sunda terdapat tiga novel fiksi yang menceritakan kisah Perang Bubat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan Pengertian Perang Bubat
2. Menjelaskan Sejarah Terjadinya Perang Bubat
3. Menjelaskan Dampak Perang Bubat

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERANG BUBAT

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M

pada abad ke-14, yaitu pada masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang

terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan

Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang

mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua

mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung

Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

B. SEJARAH TERJADINYA PERANG BUBAT

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin

memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam

Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya sebuah lukisan sang putri di Majapahit;

yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging

Prabangkara.

Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang

Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan

yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri

kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya

yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya

Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya

disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah

2
Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu

Taladalah nama laki-laki.

Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat

memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat

persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam

Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah

Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan

kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang

Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu tidak

lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada

dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang

melebarkan kekuasaannya, di antaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa

Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa

persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat

bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan

Bubat.

C. DAMPAK PERANG BUBAT

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa)

dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam

Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada

Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri

Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung

3
Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil

hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan

Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi

tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena

tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan

tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada,

karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura

(kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini tampak sebagai penganugerahan, tindakan ini

dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk

pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai

mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut

Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan

Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung

hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti

sediakala.[1] Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di

istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih

terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan

naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan

hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan

kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri

Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya di antaranya tidak boleh

menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh

4
menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai

larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk

melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda

dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa

Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya.

Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih

Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat

Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam

rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal

masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di

kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan

bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai

tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas

akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris

kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan

Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan

kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani

menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan

ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa

kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah

medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam

kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum

5
prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati

mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M

pada abad ke-14, yaitu pada masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang

terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan

Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang

mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua

mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung

Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan

Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi

tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena

tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan

tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada,

karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura

(kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini tampak sebagai penganugerahan, tindakan ini

dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk

pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai

mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut

Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan

Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).

7
B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar dapat pembuatan makalah

selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya, penulis ucapkan terima kasih.

8
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bubat

https://www.merdeka.com/peristiwa/gajah-mada-kisah-perang-bubat-dan-politik-majapahit.html

https://historia.id/kuno/articles/perang-bubat-dan-dampaknya-buat-majapahit-vgL7n

https://chirpstory.com/li/278568

Anda mungkin juga menyukai