Anda di halaman 1dari 54

Rana

BABAD PURBALINGGA

BABAD PURBALINGGA (1) : ADIPATI WIRASABA


Pertengahan abad XVI Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup
umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatttkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang
Toyareka. Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. Pihak Puteri tidak
bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka.
Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan
menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang
dalam batin Ki Gede Banyureka.

Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya,
secara bergilir meminta upetiseorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan
selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah
(Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam
keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.

Babad Purbalingga (2) : BERDIRINYA BANYUMAS


Peristiwa tebunuhnya Adipati Wirasaba ternyata menimbulkan rasa sesal dihati Sultan Pajang. Sultan
Pajang menyadari bahwa tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang masak, dapat
berakibat fatal.

Untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati, dipanggilah ahli warisnya. Tetapi tak
seorangpun yang berani menghadapnya. Hanya satu-satunya orang yang berani menhadapnya.
Hanya satu-satunya orang yang memberanikan diri yaitu Jaka Kaiman (menantunya). Diluar dugaan,
Jaka Kaiman malah dianugerahi kedudukan menggantikan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dan
diberi gelar Wargautama II.
Namun demikian Apipati Wrgautama II tidak serakah. Dibaginya Kadpaten Wirasaba menjadi empat
bersama ipar-iparnya. Karena itu ia disebut Adipati Mrapat dari arti kata mara papat (membagi
empat).

Adipati Wargautama II kemudian memilih daerah Kejawar dan mendirikan ibukota di tepi sungai
Serayu, yang sekarang dikenal kota Banyumas.

Pengetahuan kita tentang Banyumasan tentulah daerah geografis yang diciptakan oleh
Pemerintahan Kolonnial Belanda sebagai daerah Karesidenan. Nama Banyumas sebenarnya baru
muncul sekitar tahun 1582, menjelang kedatangan Belanda di Indonesia. Sebelum itu Banyumas
menjadi bagian dari Kesultanan Pajang dan lebih dikenal lagi sebagaibagian dari Kadipaten Wirasaba,
Kadpaten Pasir Luhur dan lain-lain yang berubah-ubah menurut kekuasaan kerajaan pada saat itu.

Peristiwa tebunuhnya Adipati Wirasaba ternyata menimbulkan rasa sesal dihati Sultan Pajang. Sultan
Pajang menyadari bahwa tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang masak, dapat
berakibat fatal.

Untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati, dipanggilah ahli warisnya. Tetapi tak
seorangpun yang berani menghadapnya. Hanya satu-satunya orang yang berani menhadapnya.
Hanya satu-satunya orang yang memberanikan diri yaitu Jaka Kaiman (menantunya). Diluar dugaan,
Jaka Kaiman malah dianugerahi kedudukan menggantikan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dan
diberi gelar Wargautama II.

Namun demikian Apipati Wrgautama II tidak serakah. Dibaginya Kadpaten Wirasaba menjadi empat
bersama ipar-iparnya. Karena itu ia disebut Adipati Mrapat dari arti kata mara papat (membagi
empat).

Adipati Wargautama II kemudian memilih daerah Kejawar dan mendirikan ibukota di tepi sungai
Serayu, yang sekarang dikenal kota Banyumas.

Pengetahuan kita tentang Banyumasan tentulah daerah geografis yang diciptakan oleh
Pemerintahan Kolonnial Belanda sebagai daerah Karesidenan. Nama Banyumas sebenarnya baru
muncul sekitar tahun 1582, menjelang kedatangan Belanda di Indonesia. Sebelum itu Banyumas
menjadi bagian dari Kesultanan Pajang dan lebih dikenal lagi sebagaibagian dari Kadipaten Wirasaba,
Kadpaten Pasir Luhur dan lain-lain yang berubah-ubah menurut kekuasaan kerajaan pada saat itu.

Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan.
Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus
Sukra.

Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan
dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa piker panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar
memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.
Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan.
Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus
Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.

Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-
gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati
yang akan oleh utusan pertama.

Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. Sedang
mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil
makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan
tombak di tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi
Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari kejauhanterdengar suara orang berteriak. Tatkala
prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua)
melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba,
sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu
Pahing.

Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi
sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan.

Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-
orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging
angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang.
Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar
orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan tersebut dijadikan
prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara
masyarakat Banyumas. Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat
kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya
pembangunan nasional.

Jenazah Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok Kabupaten


Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati Wirasaba.

BABAD PURBALINGGA (3) :ASAL-USUL ADIPATI WARGAUTAMA II


Adipati  Wargautama II yang semasa kecilnya bernama Jaka Kaiman adalah Putera Banyak Sasra dari
Pasir Luhur. Karena ayah sendiri meninggal dunia, sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Kia Mranggi.
Banyak Sasra dengan Kyai Mranggi (Rara Ngaisah) adalah bersaudara. Keduanya keturunan Raden
Baribin melarikan diri kearah barat hingga sampailah ke negeri Pakuan, Parahiyangan. Ia kemudian
kawin dengan puteri raja Pakuan Dewi Ratana Pamengkas. Dari perkawinan dengan Dewi Ratna
Pamekas, ia menurunkan:

1.      Jaka Katuhu,

2.      Raden Banyak Sasra,

3.      Raden Kumara,

4.      Rara Ngaisah yang kawin dengan Kiai Mranggi dan menetap di Desa Kejawar.
Jaka Kaiman ketika meningkat dewasa mengabdikan diri pada Adipati Wirasaba R. Wargautama I,
kemudian diambil sebagai menantu bahkan akhirnya menggantikan kedudukan.

BABAD PURBALINGGA (4) : KI TEPUS RUMPUT


Sementara ketika Takhta  Kesultanan Pajang diduduki oleh Raden Hadiwijaya, di Penggalasan kulon
(tenggara gunung Slamet) terdapat seorang laki-laki bernama Ki Tepus Rumput.

Tak seorang pun mengerti soal asal-usul orang ini. Tetapi sementara orang mengatakan bahwa ia
adalah seorang yang ditempatkan digerumbul itu oleh Syeh Bakir, agar beranak cucu dan bisa
merobah hutan itu menjadi sebuah pedusunan. Namun sebelum sempat mempunyai keturunan,
isteri Ki Tepus Rumput meninggal dunia.

Akibat kematian isterinya, batin Ki Tepus Rumput setiap harinya menjadi tertekan, tubuhnya
semakin hari semakin kurus kering, wajahnya pucat pasi, mata dan pipinya menjadi cekung, rambut
dan janggut yang tak terurus lagimenjadi lebat, kulit muka kisut-kisut, amat lesu dan tampak lebih
tua bila dibandingkan dengan  usia sebenarnya.

Malam itu ada ia berada di hutan, duduk dibawah pohon jati. Untuk menahan rasa sedih dihatinya,
ia menutup wajahnya dengan erat-erat. Sesaat melepaskan tangannya ia sangat terkejut. Terlihat di
depannya sebuah bayangan yang menyerupai seorang manusia, berjanggut panjang dan berjubah
putih. Lebih terkejut lagi ketika bayangan itu bersuara. Maksudnya agar Ki Tepus Rumput mencari
cincin emas bernama Soca Ludira yang terdapat di bawah pohon jati wangi itu. Bayangan yang
mengaku dirinya bernama Kiai Kantaraga itu mengaku pula eyang dari Ki Tepus Rumput sendiri.

Pesannya bila cincintelah ditemukan agar segera serahkan kepada Sultan Pajang. Ki Tepus Rumput
menjadi bingung dan heran. Semula suara bayangan tadi dianggap tidak masuk akal, terdesak oleh
perasaan bingung, ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu-batu yang terdapat di
sekitar pohon jati. Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi
denganmenggunakan kapur sirih. Tempat dimana batu-batu itu dikumpulkan, sampai sekarang
dikenal dengan desa Bata Putih. Setelah lama dicarinya, akhirnya cincin itu berhasil ditemukan juga.
Segera Ki Tepus Rumput meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Pajang.

BABAD PURBALINGGA (5) : TERIMA HADIAH SEORANG PUTRI


Sultan Pajang Raden Hadiwijaya sangat terkejut dan heran meneria cincintersebut. Memang sejak
hilangna cincinpusaka itu, Sultan Pajang pernah mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang
menemukan, bila seorang pria akan diberi selir cantik, sebaliknya bila yang menemukan seorang
wanita, ia akan dijadikan isterinya. Tetapi sejauh ini tak seorangpun dari rakyat Pajang yang berhasil
memenangkan sayembara itu.

Tidak diduga semula,, cincinini yang menemukan ternyata Ki Tepus Rumput salah seorang lelaki as
all gerumbul Pengalasan Kulon yang jauh letaknya dari Pajang. Dengan demikian ia berhak menerima
hadiah seorang selir tercantik dari Sultan Hadiwijaya. Kecuali itu Ki Tepus Rumput diberi pula jabatan
Adipati dipengalasan kulon yang masih termasuk wilayah Kesultanan Pajang. Ia kemudian berganti
nama menjadi Raden Ore-Ore.

Pemberian selir ini juga disertai janji-janjiagar Ki Tepus Rumput atau Raden Ore-Ore jangan dulu
menggaulinya, mengingat selir ini sedang keadaan mengandung empat bulan. Larangan “bergaul” ini
tidak berlaku lagi setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan.

Dengan penyerhan salah seorang selir tercantik sebagai hadiah, berarti menunjukan kebesaran jiwa
yang sungguh –sungguh dari seorang pemimpin yang ucapannya tidak bisa berubah. Atau perkatain
lain “ Sabda Pandita Ratu”.

BABAD PURBALINGGA (6) : ASAL –USUL DESA SURTI (KEC. MREBET)

Dalam perjalanan pulang ke Pengalasan Kulon ia mendapat pengawalan ketat dari prajurit-prajurit
Pajang dibawah pimpinan seorang bernama Puspajaya.

Ditengah hutan mereka ternyata mendapat penghadangan dari seorang bekas pengikut Harya
Penangsan, yang menamakan dirinya Jala Sutera atau Putera Jala. Setelah gagal membujuk
Puspajaya agar menyerahkan Puteri yang dibawanya Jala Sutera kemudian berusaha merampasnya
dengan jalan kekerasan, namun berkat kejujuran dan keberanian Puspajaya, akhirnya penghadang
itu berhasil disingkirkan. 

Begitulah setelah mengalami gangguan dan kesulitan, sampailah perjalanan mereka di Pengalasan
Kulon dangan selamat. Mereka lalu membuat pamukiman baru untuk tinggal dan selanjutnya
Pengalasan Kulon dirubah menjadi desa dengan nama ‘Surti”. Konon nama ini berasal dari perkataan
sur puteri yang berarti lungsuran puteri.

Mula-mula penduduk desa Surti sangat sedikit. Hanya terdiri dari beberapa orang saja. Belakangan
banyak penduduk lain desa berdatangan kesana. Mereka hidup bertani dan kemudian menetap di
desa yang baru dibuka itu. Dengan keadaan desa Surti semakin lama semakin ramai, berkat
pembangunan yang dilaksanakan oleh rakyatnya dengan bantuan prajurit-prajurit Pajang.

BABAD PURBALINGGA (7) : CALON ADIPATI ONJE LAHIR


Beberapa bulan kemudian nyai Ore-Ore (bekas selir Sultan Pajang) melahirkan seorang bayi pria.
Bayi ini lalu dibwa ke Pajang dan oleh Sultan Hadiwijaya diberi nama Nyakrapati atau nama
panggilan Jimbun Lingga. Karena belum cukup usia, jabatan Adipati sementara masih dipegang oleh
Raden Ore-Ore. Sedangkan rumah kadipatennya didirikan disebelah barat sungai Klawing yang
kemudian diberi nama “ONJE” ( sekarang termasuk kec. Mrebet).
Beberpa tahun setelah dewasa, dan dipandang mampu memegang tampuk pimpinan Raden
Nyakrapati menerima pelimpahan jabatan Adipati dari Raden Ore-Ore. Ia kemudian bergelar Raden
Hanyakrakusum

BABAD PURBALINGGA (8) :BANYAK KAUM NINGRAT KETURUNAN PAJANG


Raden Hanyakrkusuma kawin degan Puteri Keling dari Jawa Barat. Selain itu meminang juga seorang
Puteri dari Adipati Cipaku bernama Rara Pakuwati. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah
dirumah Kadpaten. Sehari-hari tampak akur. Tetapi dalam batin mereka masing-masing sebenarnya
tersimpan rasa perselisihan.

Dalam perkawinannya dengan Puteri Keling, Adipati Onje tidak menurunkan anak. Sedangkan
dengan Rara Pakuwati (Puteri Medang) ia menurunkan dua dua orang putera dan seorang puuteri
masing-masing : Raden Mangunjaya atau Raden Mangunegoro, Raden Citrakesuma dan yang paling
bungsu adalah Rara Banowati. Yang sulung meninggalkan nama bekas desa Mangunegara, sekarang
termasuk Kec. Mrebet, Purbalingga. Banowati kawin dengan seorang Arab bernama Sayid Abdullah
yang kemudian diserahi jabatan penghulu merangkap Imam Masjid Onje.

Putera-Puteri Adipati Onje ini selanjutnya menurunkan lagi anak cucu yang tak terhitung jumlahnya.
Mereka tergolong kaum ningrat keturunan Pajang yang hingga sekarang banyak tersebar di daerah
Purbalingga.

a.

BABAD PURBALINGGA (9) : PERKEMBANGAN ISLAM


Saat pemerintahan Kadipaten Onje mencapai puncak kejayaannya, ke pelosok-pelosok yang jauh
dari keramaian. Mereka tinggal berbulan-bulan, bahkan ada yang terus menetap dan kawin dengan
penduduk setempat. Selama itulah mereka akrab bergaul dengan penduduk sehingga mempunyai
kesempatanbaik untuk menyiarkan agama Islam.

Diatara mereka terdapat pula salah seorang putera Pejajaran bernama Raden Liman Sujana.
Kedatangan Raden Liman Sujana buka untuk menyiarkan agama Islam atau mencari keuntungan
melainkan ia bermaksud mencari nur (cahaya).

Raden Liman Sujana adalah adik kandung Banyak Sasra ayah dari Wargautama II (Bupati Banyumas
pertama). Ia sebenarnya berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Pejajaran. Namun
kedudukan itu ditolak, setelah diketahui Pejajaran sedang menghadapi keruntuhan akibat pengaruh
Islam yang dibawa oleh Yusuf Maulana dari Banten. Karenanyaia lalu meninggalkan Pejajaran dan
pergi ke Banten bertapa dibawah pohon jambu dilereng Gunung Karang. Dari tempat inilah Raden
Liman Sujana melihat ada nur (cahaya) disebelah timur.

Segera ia beranjak dari pertapaannya dan menuju ke timurdengan menyusuri pulau jawa sebelah
utara. Sesampainya di daerah Tegal, ia membelok ke Selatan dimana nur itu tampak dekat sekali.
Ditengah hutan gunung Munggul bukannya ia menemukan nur yang dicarinya, tetapi ketemu
seorang penderes bernama Ki Kelun yang sedang memanjat pohon enau sambil menggendong
anaknya yang masih kecil, Rubiah Bhekti namanya. Ki Kelun mengaku dari desa Wanakasimpar yang
kemudian berganti nama desa Pamidangan dan sekarang namanya Rajawana.

BABAD PURBALINGGA (10) : RADEN LIMAN SUJANA MENGANUT ISLAM


Menurut legenda, Ki Kelun adalah seorang yang ditempatkan di desa (Wanakasimpar) oleh seorang
alim ulama seperti halnya Ki Tepus Rumput di gerumbul Pengalasan Kulon. Tetapi setelah
melahirkan Rubiah Bhekti, istri Ki Kelun meninggal dunia. Karena kasihan, Raden Liman mengambil
Rubiah Bhekti, sebagai anak angkat. Bertahun-tahun Raden Liman Sujana tinggal di hutan. Suatu hari
ia ketemu dengan seorang Arab bernama Syeh Wali Rakhmat. Pendatang baru ini mengaku akan
mengislamkan tanah jawa.

Raden Liman Sujana dan Syeh Wali Rakhmat kemudian saling berbantahan, masing-masing
mengeluarkan kecakapannya. Tetapi Raden Liman Sujana akhirny amenyerah kalah. Atas
kemenangannya, Syeh Wali Rakhmat secara bijaksana meminta agar Raden Liman Sujana bersedia
menganut agama Islam. Dengan ketulusan hati permintaan itu dapat dipenuhi, bahkan Rubiah Bhekti
yang sudah dewasa agar diambil oleh Syeh Wali Rakhmat sebagai isteri.

Sebagai seorang yang telah menganut Islam, Raden Liman Sujana berganti nama menjadi Syeh
Jambukarang. Nama ini mungkin ada kaitannya, karena I pernah bertapa dibawah pohon jambu
dilereng Gunung Karang Banten. Hutan dimana ia selama bertahun-tahun tinggal, disebut desa
Cahyana. Mereka lalu hijrah dan menetap di desa Rajawana yang hingga sekarang merupakan basis
para santri di daerah Purbalingga. Syeh Jambukarang bermakam di desa Penusupan Purbalingga
yang sekarang dikenal sebagai makam Ardilawet.

Nya Rubiah Bhekti yang bermakam di desa Kramat Kecamatan Karangmoncol, dalam perkawinannya
dengan Syekh Wali Rakhmat menurunkan:

1. Pangeran Mahdum Kusen, bermakam di Rajawana;

2. Pangeran Mahdum Medem, bermakam di Cirebon;

3. Pangeran Mahdum Umar, bermakam di Pulau Karimun Jawa;

4. Nyai Rubiah Razak, bermakam di Ragasela Pekalongan;

5. Nyai Rubiah Sekar, bermakam di Jembangan Gunung Wuled.

Setelah usia mencapai 45 tahun, Syekh Wali Rakhmat kembali lagi ke Arag dan pimpinan daerah
Rajawana digantikan oleh putera sulungnya taitu Pangeran Mahdum Kusen.

BABAD PURBALINGGA (11) : KETURUNAN PANGERAN MAHDUM KUSEN


Pangeran Mahdum Kusen  yang dikenal pula bernama Pangeran Kayupuring, mempunyai putera
bernama Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil menurunkan dua oran putera masing-
masing Pangeran Mahdum Toret, bermakam di Bogares Tegal dan Pangeran Mahdum Wali Prakosa
bermakam di Pekiringan.
Sementara itu pangeran Mahdum Wali Prakosa menurunkan dua orang Puteri masing-masing Kiai
Singayuda, Adiati Arenan dan Pangeran Estri yang kawin dengan Putera Sunan Kudus atau lebih
dikenal dengan sebutan Santri Gudig.

Akhirnya kiai Singayuda menurunkan lagi Nyai Tegalpinang yang diperistri oleh Raden Tumenggung
Dipayuda III, Bupati Pertama Purbalingga.

BABAD PURBALINGGA (12) : LAHIRNYA KESENIAN BRAEN


Pernah Pangeran Mahdum Kusen pada suatu hari dipanggil oleh Adipati Onje. Tidak jelas apa
sebenarnya maksud panggilan itu. Tetapi Pangeran Mahdum Kusen menolaknya dengan alasan
meskipun desa Rajawana termasuk kekuasaan Kadipaten Onje, namun desa ini sebenarnya adalah
milik Alloh. Didesa ini dirinya tak akan berbuat jahat. Apabila sang Adipati menghendaki
bertemu,harap datang saja ke desa Rajawana. Ia bersedia menmuinya.

Penolakan itu ternyata dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Atas kemarahannya, Adipati Onje
lalu mengirimkan pasukan untuk menangkap Pangeran Mahdum Kusen. Tetapi sial, sebelum
memasuki desa Rajawana pasukan Onje keburu kemalaman.

Akhirnya kedatangan pasukan ini dapa diketahui oleh masyarakat Rajawana termasuk Pangeran
Mahdum Kusen sendiri. Oleh karena itu Pangeran Mahdum Kusenmengumpulkan beberapa orang
wanita agar membunyikan rebana diserambi muka. Sedangkan ia sendiri melakukan sholat hajat
didalam kamar.

Bersamaan dengan terdengarnya suara rebana, ribuan ekor tawon gung dengan secara tiba-tiba dan
serempak terbang melabrak prajurit-prajurit Onje yang tengah bersiap-siap bermalam di tepi salah
satu sungai. Karena tak tahan menghadapi binatang-binatang bersengat, terpaksa mereka lari
tungang langgang dan pulang kembali ke Onje.

Pemukulan rebana ini hingga sekarang disebut “BRAEN”, merupakan kesenian khas desa Rajawana
dan sekitarnya.

BABAD PURBALINGGA (13) : ONJE MEROSOT


Kejayaan Kadipaten Onje ternyata ada batasnya. Apalagi usia sang Adipati semakin lama semakin
tua, pelupa, pemarah serta sering melamun.

Pada suatu hari sang Adipati sedang nyenyak tidur. Tiba-tiba dibangunkan oleh suara jeritan seorang
wanita. Karena terkejut, segera ia meloncat menuju gandok belakan. Apa yang dilihatnya? Kedua
orang istrinya (Puteri Keling dan Dewi Medang) sedang berkelahi dengan sengitnya. Melihat
peristiwa itu hilanglah kesabaran sang Adipati. Diambilnya sebuah pedang dan dengan pedang
terhunus kedua istrinya dibabat silih berganti sehingga mereka mati terkapar dilantai.
Peristiwa ini kemudian terdengar juga oleh Adipati Cipaku (mertuanya). Karena kemarahannya,
Adipati Cipaku mengeluarkan pepali (pesan turun temurun). Biar sampai kiamat, orang Onje dilarang
kawin dengan orang Cipaku.

BABAD PURBALINGGA (14) : PERTIMASA DAN WATU WEDUS


Semasa pemerintahan Adipati Singayuda, daerah Kadipaten Arenan (Sekarang Kec.  Kaligondang)
pernah mengalami gangguan keamanan yang membuat ketakutan, kegelisahan, kemarahan dan
kebencian dikalangan masyarakat. Pelakunya adalah seorang gembong penjahat bernama pretimasa
asal desa Sindang/Salam, yang masih saudara kandung dari Nyai Adipati Arenan sendiri.

Pretimasa terkenal sebagai seorang penjahat yang sakti mandraguna, sehingga tak seorang pun
diantara penduduk Arenan berani melawannya. Kesaktiannya pernah dibuktikan, pada suatu hari ia
ditangkap secara beramai-ramai kemudian dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Tetapi apa yang
terjadi? Pretimasa ternyata hidup kembali, setelah potongan-potongan mayatnya dimasukan ke
dalam liang kubur. Sungguh sangat menakutkan. Malah secara membabi buta, Pretimasa terus
mengamuk yang menimbulkan lebih banyak korban baik dikalangan anak-anak maupun dewasa,
pokoknyatidak pandang bulu.

Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan yang memuncak dikalangan masyarakat desa Arenan.
Dikerahkan lagi semua penduduk untuk menangkap dan membinasakan penjahat itu. Melihat
keadaan kurang baik, penjahat ulung itu teraksa melarikan diri bersembunyi kedalam sebuah batu
yang dikenal dengan “Watu Wedus”. Barulah disini ia merasakan dirinya aman, karena tak
seorangpun berani memburunya.

Setelah lama para penduduk berjaga disekitar batu itu kemudian seorang diantara mereka ada yang
menemukan siasat. Untuk menangkap Pretimasa tak ada jalan lain kecuali minta bantuan kepada
Nyai Adipati (Isteri Adipati Arenan).

Karena dimintai pertolongan, segera Nai Adipati datang mendekati pintu wedus tersebut, membawa
nasi bersama lauknya yaitu pindang ikan tambara yang menjadi kegemaran Pretimasa.

Dengan tutur kata yan lemah lembut sebagai tipu muslihat, Nyai Adipati memanggil Saudara
kandungnya yang sedang bersembuni didalam watu wedus itu. Semula tidak mau memenuhi
panggilan itu, tetapi sesudah diberi tahu bahwa disekitar batu tersebut tak ada seorangpun, maka
Pretimasa segera keluar dari tempat persembunyiannya. Kedua orang bersaudara itu terus saling
berpelukan sebagai pelepas rasa rindu.

Terdorong oleh rasa letih dan lapar, segera Pretimasamemakan kiriman nasi bersama pindang ikan
tambara dengan lahapnya. Namun sama sekali ia tidak menduga, bahwa ratusan pasang mata
sedang mengintai dari balik gerumbulan disekitarnya. Begitulah tatkala Pretimasa tengah menikmati
nasi dengan pindang ikan tambaranya, tiba-tiba ratusan orang secara serempak menubruknya.
Melihat keadaan berbahaya ini, Pretimasa berusaha menyelamatkan diri masuk kedalam watu
wedus kembali. Tetapi ia gagal, karena lubang watu wedus tertutp diduduki oleh Nyai Adipati.
Akhirnya secara ramai-ramai gembong penjahat itu dihajar orang banyak yang sedang dibakar oleh
kemarahan.

Sesaat sebelum menemui ajalnya, Pretimasa sempat member pesan (pepali), bahwa karena tidak
tahu saudara, maka orang-orang Arenan dikelak kemudian dari keturunannya pada saanya
mempunyai cacad “rimang” (penglihatannya kuran jelas). Selain itu orang-orang Arenan yang
bertempat tinggal di sebelah barat dan timur kali, dilarang makan pindang ikan tambara. Kalau
pesan ini dilanggar menurut Pretimasa, pasti bisa mendatangkan malapetaka. Salah-salah bisa mati,
pesan tersebut memang hingga sekarang masih menjadi kepercayaan turun temurun di sementara
penduduk desa Arenan. Apakah selamanya pesa itu akan ditaati? Tentunya tidak, karena pesan
sorang penjahat.

Akhirnya mayat Pretimasa kembali dipotong-potong dan masing-masing potongan dikubur


diberbagai tempat secara terpisah. Diantaranya ada yang dikubur di Arcatapa, Pagedongan, Siwedus,
Setana Wangi dan dipekuburan Makam dawa.

Maka habislah riwayat seorang penjahat ulung bernama Pretimasa yang pernah membuat onar
penduduk Kadipaten Arenan waktu itu.

BABAD PURBALINGGA (15 ) ; BAMBU KRAMAT

Alkisah pada jaman Kadipaten Wirasaba masih berdiri, disebuah padukuhan di sebelah timur desa
Majatengah (sekaang kecamatan Kemangkon) tinggalah seorang lelaki bernama Kiai Gede Buara. Ia
tinggal dengan isterinya, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai
petani. Tegalan yang dikelolanya bertanah subur, sehingga hasil tanamaannya dapat melimpah ruah,
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kecuali isterinya, ikut pula tinggal serumah dengan
Kiai Gede Buara ialah seorang pemuda yang sebenarnya bernama Raden Jaka Ketuhu yang semula
menyamar sebagai seorang peminta-minta. Karena merasa iba, maka pemuda itu lalu disuruh tinggal
dirumah Kiai Gede Buara dipedukuhan itu.

Raden Jaka Ketuhu adalah Putera sulung Raden Beribin memerintahkan kepada Jaka Ketuhu agar
pergi mengembara pergi ke timur serta mengabdi kepada siapa saja yang mau menerimanya.
Sesampainya wilayah Kadipaten Wirasaba ia dapat diterima mengabdikan diri kepada Kiai Gede
Buara.

Setiap hari ia bekerja di tegalan membantu Kiai Gede Buara menanam berbagai macam tanaman
yang bisa menghasilkan termasuk karang kitri.

Tetapi aneh, tiap pulang kerumah, Jaka Ketuhu tidak mau berjalan bersama-sama Kiai Gede Buara. Ia
selalu pulang belakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaandibatin Kiai Gede Buara,
sehingga ia ingin mengetahui apa sebab musababnya.

Pada suatu sore Kiai Gede Buara terpaksa mencoba menyelidikinya. Sementara itu tampaklah
ditelaganya api yang berkobar. Dan apa yang dilihatnya? Raden Jaka Ketuhu tiba-tiba meloncat
masuk kedalam kobaran api tersebut. Tentu saja perbuatan itu membuat hati Kiai Gede Buara
menjadi cemas Namu kecemasan itu tiba-tiba keheranan, karena beberapa saat kemudian Raden
Jaka Ketuhu keluar dari kobaran api , dan tubuhnya tampak lebih bercahaya bagaikan emas dua pulu
karat.

Bekas tegalan yang digarap Kiai Gede Buara itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan “Cibuek”.
Luasnya kurang lebih satu setengah hektar. Diatasny atumbuh 25 dapuran bamboo dari berbagai
macam jenis. Sementara orang masih menganggap , dukuh Cibuek itu sangat keramat. Lokasinya
disebelah timur desa Majatengah kecamatan Kemangkon, dan merupakan tanah perdikan (tanah
yang tidak dipungut pajak).

BABAD PURBALINGGA (16) : DESA SIWARAK DAN CERITANYA


Waktu agama Islam mulai berkembang di pulai Jawa khususnya, maka di wilayah Banyumas ini ada
dua mubaligh kakak beradik bernama Akhmad dan Muhammad dengan dua orang pengikutnya
masing-masing bernama Bangas dan Bangis.

Dalam usaha mengembangkan agama Islam, mereka mendapat tantangan dan tekanan hebat dari
pemerintah kerajaan Majapahit, yang waktu itu kejayaannya sedang mencapai puncak. Seorang
senopati Majapahit bernama Ki Sutaraga ditugaskan membendung berkembangnya agama Islam
dikawasan lereng Gunung Slamet.

Akibat ancaman tersebut, Akhmad dan Muhammad merasa tidak tahan dan terpaksa melarikan diri
ke bersembunyi kedalam Gua Lawa. Disini kedua kakak beradik itu mendapatkan ilham dari Tuhan
Yang Maha Esa, agar ganti nama demi keselamatan dan meneruskan perjuangan. Ahmad kemudian
ganti nama Taruno, sedangkan Muhamad ganti Taruni. Kedua orang itu lalu keluar dari tempat
persembunyian setelah namanya diganti.

Sementara itu tindakan membendung berkembangnya agama Islam terus berlangsung. Setiap orang
pemeluk agama Islam ditindas. Dijaman transisi itu belum mengenal kebebasan beragama. Dan
dimulut rajalah undang-undang berlaku bagi rakyatnya.

Dalam suasana begini, kedua mubaligh itu terpaksa bergerak dibawah tanah, demi mencapai
perjuangannya. Dan penggantian nama itu adalah merupakan suatu keuntungan sebagai usaha
menghilangkan jejak.

Karena demikian, baik Ki Sutaraga maupun prajurit-prajurit Majapahit lainnya sama sekali tidak bisa
mengenal wajah kedua orang itu. Begitulah mubaligh dijaman peralihan itu mempunyai cara
tersendiri dalam mengatur taktik dan strategi perjuangan.

Suatu hari Ki Sutaraga bertemu dengan dua orang yan mengaku diri bernama Taruno dan Taruni.
Ditanyakanlah kepada kedua orang itu, dimana Akhmad dan Muhammad berada. Taruno dan Taruni
masing-masing mengatakan, bahwa Akhmad dan Muhammad telah mati diterkam harimau.
Mendengar jawaban inisenopati Majapahit itu sangat percaya dan merasa bangga. Sungguh
menggelikan, padahal kedua orang yang ditanyai itu tidak lain adalah Akhmad dan Muhammad
sendiri yang baru keluar dari tempat persembunyiannya.

Kabar tentang musibah ini disampaikan segera Ki Sutaraga kepada prajurit-prajurit Majapahit yang
disambut dengan sorak soari tanda gembira. Sebaliknya mendengar sorak sorai itu Bangas dan
Bangis merasa dirnya dicemooh. Makin keras suara sorak sorai prajurit-prajurit Majapahit terdengar,
semakin panaslah dada Bangas dan Bangis dibakar oleh kemarahan. Tanpa perhitungan untung
ruginya, ditantanglah Ki Sutaraga perang tanding. Tetapi yang ditantang sama sekali tidak
menanggapi. Karenanya hati Bangas dan Bangis menjadi semakin lebih penasaran. Dan dengan dada
penuh kemarahan, tiba-tiba kedua orang itu menyerangnya. Namun Senopati Majapahit itu tak
ambil pusing. Malah Ki Sutaraga tetap berdiri bertolak pinggang sambil berkata, bahwa ulah Bangas
dan Bangis layaknya seperti binatang saja.

Karena kesaktian Senopati Majapahit ini, ucapannya benar-benar menjadi kenyataan. Bangas dan
Bangis secar tiba-tiba berubah wujud menjadi Warak(Badak). Karena inilah, tempat dimana peristiwa
itu hingga sekarang disebut desa “Siwarak” termasuk kecamatan Karangreja.

Lenyapnya Bangas dan Bangis ini adalah merupakan suatu korban perjuangan mengembangkan
agama Islam. Memang logis, setiap perjuangan harus ada pengorbanan. Dan pengorbanan biasanya
tak sia-sia. Meskipun Bangas dan Bangis lenyap, tetapi agama Islam yang diperjuangkan telah
berkembang dengan pesatnya. Bahkan umat Islam yang diperjuangkan telah berkembang dengan
pesatnya. Bahkan Islam didaerah Purbalingga hingga sekarang dapat dikategorikan sebagai golongan
mayoritas. Walaupun demikian, umat Islam tetap bersikap toleran terhadap penganut-penganut
agama lain yang masih termasuk golongan minoritas.

Begitulah asal-usul nama desa Siwarak menurut cerita.

BABAD PURBALINGGA (17) : KIAI WILAH


Didukuh Wilangan termasuk Kec. Kalimanah Purbalingga terdapat makam Kiai Wilah. Kiai Wilah
semasa hayatnya adalah seorang Panglima perang dari Kadipaten Pasir Luhur. Bahkan ia juga
menantu dari Adipati Basir Luhur Raden Kendadaha.

Menitik bentuk tubuh yang gagah perkasa, dan keberanian luar biasa, Kiai Wilah sering unggul dalam
pertempuran. Banyak tanda jasa dan penghargaan yang ia terima.

Suatu hari Adpati Kendadaha menerima surat dari Adipati Bonjok (Banyumas). Maksudnya untuk
melamar Puteri Adipati Kendadaha yang telah menjadi isteri Kiai Wilah. Setelah mengerti isi surat
itu, segera Kiai Wilah menemui Adipati Bonjok yang dianggap menghinanya.

Dalam pertempuran, kuda Adipati Bonjok Roboh kena tombak Kiai Wilah sehingga menyulitkan
tuannya untuk menangkis serangan lawan. Namun demikian, Kiai Wilah sendiri menderita luka
berat, sehingga jalannya pincang.
Sedang merasakan betapa sakit pada sekujur tubuhnya, ia mendengar kabar, bahwa jabatannya
sebagai Panglima perang akan diganti orang lain. Karena merasa malu, secara diam-diam ia
melarikan diri ke Purbalingga bersama anaknya yang bernama Masajeng Lanjar dan menetap di
dukuh Wilangan Desa Klapasawit hingga akhir hayatnya.

Makam Kiai Wilah ini tidak jauh dari Makam Masajeng Lanjar. Berdekatan dengan makam Masajeng
Lanjar terdapat makam Kiai Yudantaka, kakak dari Kiai Arsantaka.

BABAD PURBALINGGA (18) : KIAI NARASOMA


Semasa hidupnya Kiai Narasoma adalah demang Timbang membawahi desa-desa Timbang (sekarang
dukuh Timbang termasuk desa Penambongan), Purbalingga Kidul, Kandanggampang dan Purbalingga
Lor.

Tak seorangpun diantara rakyat Timbang yang mengerti dari mana asal usul Kiai Narasoma ini.
menurut legenda, nama Narasoma berasal dari perkataan Nara = Orang, Soma atau Suma = Gemar
bertapa. Jadi artinya orang yang gemar bertapa.

Ketika mengadakan khajatan mengawinkan puterinya, dirumahnya Kiai Narasoma diadakan


pertunjukan wayang kulit. Banyak tamu termasuk Adipati Onje tampak hadir menyaksikan
pertujukan itu.

Sesaat hidangan dikeluarkan, suasan tiba-tiba menjadi kacau balau. Pertunjukan dihentikan, Adipati
Onje marah-marah, menuduh Kiai Narasoma berusaha membunuhnya dengan jalan membubuhkan
racun dalam hidangan yang disuguhkan kepadanya. Belakangan diketahui, dalam nasi yang
dihidangkan terdapat bintik-bintik hitam yang ternyata nasi beras hitam.

Namun dengan kerendahan hati Kiai Narasoma tidak mengakuinya, dan merasa tidak akan berbuat
jahat terhadap atasannya.

Paginya Kiai Narasoma memanggil semua sanak familinya, untuk diberi pesan. Pesannya, orang-
orang Timbang dilarang sampai turun temurun nanggap wayang kulit.

Larangan itu juga dahulu berlaku bagi masyarakat desa-desa tersebut, diatas yang menjadi
kekuasaannya. desa-desa yang kena larangan disebut "Bumi Keputihan".

Makam Kiai Narasoma terletak didukuh Pritgantil Purbalingga Wetan dan dikenal dengan nama
Makam Narasoma.
BABAD PURBALINGGA (19) :  PERANG JENAR ATAU PERANG MANGKUBUMEN
Pangeran Mangkubuni atau Pangeran Kabanaran adalah adik Sunan Pakubuwana II. Sunan
Pakubuwana II pernah berjanji akan menyerahkan sebidang tanah kepada Pangeran Mangkubumi,
apabila Pangeran Mangkubumi dapat mendudukan Mas Said. Tetapi janji itu tak pernah ditepati.
Akibatnya timbul perselisihan antara Pakubuwana II disatu pihak dengan Pangeran Mangkubumi dan
Mas Said dilain pihak. Belanda ikut campur tangan.

Ketika Pangeran Mangkubumen mulai berkobar, tahun 1749 Sunan Pakubuwono wafat. Sebelum
wafat, almarhum sempat menitipkan kerajaan Mataram kepada Kompeni. Kemudian kompeni
mengangkat Putera Sunan Pakubuwono II menjadi raja Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono
III, atau Kanjeng Sunan Pakubuwono Senapati Nglanga Ngabdoerahman Sajidin Panatagama Tata
Pandita Rasaning Boemi, pada hari Senen pagi bulan Sura, Alip 1675 tahun jawa.

Dalam perang Mangkubumen yang terjadi disebelah barat sungai Bogowonto, pasukan Banyumas
dipimpin oleh TumengungYudanegara III (Adipati Banyumas). Sedangkan Dipayuda I, yaitu Ngabehi
Karanglewas yang diangkat oleh Susuhunan Pakubuwana II pada hari Jumat Wage tanggal 10 Maulud
1674 Jimahir atau 28 Pebruari tahun 1749 M dan Kiai Arsantaka bertindak sebagai Komandan
Kesatuan bawahannya. Mereka berpihak pada Pakubuwana III yang mendapat bantuan bantuan dari
kompeni. Pasukan kompeni dibawah pimpinan Majoor dan Kapten Hoetje.

Sementara itu pasukan Mangkubumen dalam meghadapi lawan, telah menggunakan taktik perang
gerilya. Dengan demikian mereka berhasil menjebak serta membinasakan Pakubuwana III dan
kompeni yang berjumlah besar. Majoor de Clerx, Kapten Hoetje dan Dipayuda I pada tanggal 12
Desember 1751(Minggu legi 22 Sura Jumawal 1677 Jawa) tewas dalam pertempuran itu. Jenazah
Dipayuda I hilang. Sedangkan 40 orang serdadu Belanda (kompeni) yang bersembunyi di desa
Ganggang ditawan. Pangeran Kabanaran beristirahat (mesanggrah) di Cengkawak.

Melihat kenyataan ini pembesar-pembesar VOC cemas. Mereka segera membujuk Pangeran
Mangkubumi agar mau berdamai. Bujukan itu ternyata berhasil. Tahun 1755 ditandatangani
perjanjian Gianti yang isinya: Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua. Mataram Barat diserahkan
kepada Pangeran Mangkubumi dan Mataram timur tetap dikuasai Sunan Pakubuwana III.

Kemudian Pangeran Mangkubumi bertahta menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Sebagai patihnyadiangkat Raden Tumenggung Yudanegara III, yang bergelar Kanjeng Raden Adipati
Danureja I. Pengangkatan ini sebenarnya bersifat politis, karena meskipun Tumenggung Yudanegara
III semula dianggap sebagai lawan, namun ia mempunyai pengaruh sangat besar dikalangan
masyarakat, khususnya masyarakat Banyumas. Kerajaan Mataram barat disebut Ngayoyakarta
Hadiningrat yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jogjakarta.
Mas Said masih terus melanjutkan perlawanan. Tahun 1757 ia terpaksa mengadakan perdamaian.
Dlam perjanjian Salatiga ditetapkan, bahwa daerah Mataram Timur (Surakarta) dipecah menjadi dua.
Sebagian tetap menjadi kekuasaan Sunan Pakubuwana III, sebagian lagi diserahkan kepada Mas Said.

Mas Said kemudian bergelar Mangkunegara, dan daerahnya disebut Mangknegaraan.

Sejarah Purbalingga (20) : KIAI ARSANTAKA


Setelah lama hidup membujang, Adipati Onje Raden Hanyakrakusuma kemudian kawin lagi dengan
seorang puteri dari Arenan. Bila dilihat dari segi usia, perkawinan antara Adipati Onje dengan puteri
Arenan ini sebenarnya tidak seimbang.

Dari perkawinan ini ia menurunkan Kiai Yudantaka, dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka empunyai
kegemaran bertani, ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk
Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.

Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati
Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran
(Kecamatan Bawang, Banjarnegara) lalu diambil anak angkat oleh Kiai Rindik yang semula bernama
Kiai Wanakusuma.

Tahun 1740-1760 Kiai Asantaka mejabat demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa
Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II),
Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.

Dalam perkawinannya dengan Nyai Merden, ia menurunkan:

1.      Kiai Arsamenggala,

2.      Kiai Dipayuda Gabug,

3.      Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,

4.      Kiai Ranumenggala, Demang Pasiraman,

5.      Nyai Pancaprana

Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih
Purbalingga.

Pada akhir hayatnya Kiai Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran tersebut diatas.
Tetapi atas pertimbangan ahli warisnya batu nisan kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen
Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.
Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan
Pagendolan masih dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari,
Purbalingga). Ngabehi Karanglewas adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi
yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak
dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun
1710-1728.

Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung
Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka
merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya.

Dalam pertempuran yang terjasi disebelahbarat sungai Bogowonto, Raden Tumenggung Dipoyudo I
gugur, jenazahnya hilang. Berkat ketekunan dan keberanian Kiai Arsantaka jenazah tersebut berhasil
ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa
Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.

Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III
dengan gelar Tumenggung Dipayuda II sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III
mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsyuda diangkat
menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.

Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas
(tahun 1755-1758). Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Jabatannya dilimpahkan kepada Kiai
Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Maka sampai disinilah keturunan Banyumas dan dimulainya keturunan Kiai Arsantaka yang menjadi
cikal bakal berdirinya Kabupaten Purbalingga.

PUSAT PEMERINTAHAN PURBALINGGA BERDIRI : BUPATI PERTAMA, R.T.


DIPAYUDA III
Setelah Perang Mangkubumen berakhir, tahun 1755 berdiri Keraton Jogjakarta dan Raden
Tumenggung Yudanegara III diangkat menjadi patihnya.

Atas petunjuk dan bimbingan Kiai Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di  Karanglewas
dipindahkan di desa Purbalingga, suatu desa yang dianggap subur dan strategis.

Sejak saat itu Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung dibawah
Pemerintahan pusat di Surakarta.
Di Purbalingga tanggal 23 Juli 1759, dibangun alun-alun dan rumah kadipaten serta segala
sesuatunya yang berkaitan dengan pusat Pemerintahan. Menurut perhitungan Kantor Kesantanan
Sidikoro, Baluwerti, Keraton Surakarta,tanggal berdirinya rumah Kadipaten itu adalah jatuh pada hari
Senin Legi 26 Selo tahun Ehe 1684 (tahun jawa).

Bupati pertama Purbalingga adalah Raden Tumenggung Dipayuda III, memerintah tahun 1759-1787.
Dimuka telah diterngkan bahwa Raden Tumenggung Dipayuda III adalah Putera Kiai Arsantaka yang
bernama Kiai Arsayuda. Dari perkawinan dengan puteri  R.T Yudanegara III (Padmi) R.T. Dipayuda III
menurunkan:

1.  Nyai Citrawangsa,

2.  Masajeng Trunawijaya.

Sedangkan dengan Nyai Tegalpinang (Selir) Raden Tumenggung Dipayuda III menurunkan:

1. R.T. Dipakusuma I, Bupati Purbalingga Kedua, 

2. Raden Dipawikrama Ngabehi Dayeuhluhur, 

3. Raden Kertosono, Patih Purbalingga, 

4.  Raden Nganten Mertakusuma Kemranggon, dan

5. Kiai Kertadikrama, Demang Purbalingga.

Bupati Purbalingga 2 & 3


BUPATI KEDUA, R.T. DIPAKUSUMA I
Karena dari admi R.T. Dipayuda III tidak menurunkan putera laki-
laki, maka sebagai penggantiny diangkat putera dari Nyai Tegalpingen
(selir) lalu bergelar Raden Tumenggung Dipakusuma I sebagai Bupati
Purbalingga kedua tahun 1792-1811.

Sebelum R.T. Dipayuda III menyerahkan jabtab Bupati kepada


penggantinya R.T. Dipakusuma I, antara tahun 1787-1792 pemerintahan
sehari-hari diserahkan kepada Raden Nagabehi Yudakusuma I ana dari
R.T. Yudanegara IV, berpangkat Ngabehi (Bupati Anom).

BUPATI KETIGA, R.T. BRATASUDIRA


Setelah R.T. Dipakusuma I, jabatan Bupati Purbalingga kemudian
diserahkan kepada putera sulungnya bernama Mas Bratasudira
(Danakusuma) yang memerintah tahun 1811-1831.
PERANG BITING
Perang Biting terjadi didesa-desa Kaligondang, Selanegara, Selakambang, dan Cilapar, antara
Pasukan Diponegoro melawan kompeni Belanda, berkobar semasa Raden Tumenggung Bratasudira
menjabat sebagai Bupati Purbalingga ketiga.

Tetapi kenyataannya, kompeni telah memperalat orang-orang pribumi untuk menhadapi lawannya.

Selaku Bupati yang berpihak kepada Belanda, karena Kabupaten Purbalingga dibawah pemerintahan
Surakarta, Raden Tumenggung Bratasudira memerintahkan rakyatnya untuk membuat jagang
(lubang perlindungan berbentuk melingkar) di desa-desa yag menjadi ajang pertempuran itu. Semua
pemuda usia antara 18-30 tahun diwajibkan ikut ambil bagian dalam menghadapi pasukan
Dipopegoro itu.

Bertindak sebagai komandan pasukan Purbalingga ini adalah Raden TARUNAKUSUMA (adik kandung
R.T. Bratasudira). Kecuali bantuan dari kompeni, ia dibantu juga oleh:

1. Adipati Lanjar (Banyumas),

2. Adipati Cakranegara (Banyumas),

3. Adipati Panolih (Sokaraja),

4. Adipati Alang-Alang Bundel (Banjaran),

5. Adipati Karanglewas (Kutasari),

6. Orang Cina totok bernama Tho A Tjan dan Gan Tiong Sun yang masing-masing berasal dari
Bayeman dan

    Wiradesa.

Tho A Tjan terkenal dengan sebutan A Tjan, sedangkan Gan Tiong Sun dinamakan juga Gentong
Lontong.

Pasukan Diponegoro dipimpin oleh Tubagus Buang asal Banten. Ia pun mendapat bantuan dari :

1. Bupati Banjarnegara dengan Putera,

2. Adipati Ambal (Kebumen), dengan Putera,

3. Ki Sura Menggala (Binorong, Banjarnegara),

4. Ki Singa Yuda (dari Singamerto), dan

5. Ki Purwo Suci dari Jogjakarta.


Sungai Lebak dijadikan garis demarkasi. Pihak Belanda disebelah barat, dan lawannya diseberang
timur sungai.

Kedua belah pihak bertempur mati-matian dan semrawut. Pernah pada suatu malam terjadi
pertempuran dipertigaan jalan. Karena suasan gelap, maka kedua belah pihak berperang secara
membabi buta. Tidak kenal mana kawan dan mana lawan. Akibatnya banyak korban mati penasaran.
Adipati Lanjar melarikan diri. Sabuk (ikat pinggang) yang dipakainya jatuh disuatu tanjakan jalan.
Akhirnya ia ia sendiri jatuh tersungkar (kesumpet) disebuah sungai, hingga menemui ajalnya. Sungai
itu hingga sekarang dinamakan kali Sumpet.

Korban jiwa dikedua belah pihak tidak sedikit jumlahnya. Sebagian besar dikalangan mereka terdiri
dari orang-orang pribumi. Memang tragis, mereka telah menjadi korban akibat politik devide et
impera Belanda yang tak berperikemanusiaan.

Tempat dimana ertempuran semrawut itu terjadi, hingga sekarang dinamakan Gembrungan. Dan
tanjakan dimana sabuk Adipati Lanjar hilang disebut tanjakan Sabuk. Sebagian masyarakat masih
menganggap, bahwa tanjakan Sabuk tersebut merupakan tempat pengalapan (sering terjadi
kecelakaan).

Bersamaan prajurit-prajurit lainnya, Tubagus Buang dalam pertempuran itu pun gugur. Jenazahnya
dimakamkan didesa Kaligondang. Namanya makam BANTENAN. Mungkin nama ini ada kaitannya
karena ia berasal dari Banten. Sementara itu prajurit-prajurit Diponegoro lainnya yang gugur
dimakamkan dipekuburan Priyayi desa Kaligondang.

Selain Adipati Lanjar dipihak Belanda pun kehilangan Gan Tiong Sun yang merupakan prajurit inti.
Makam Gan Tiong Sn disebut pesarehan Gendung Kala Ganaceng. Lokasinya di Blok Biting desa
Kaligondang. Biting dari asal kata beteng, artinya tempat perlindungan dalam perang.

Pertempuran berkahirsetelah ada berita, bahwa Pangeran Biponegoro ditangkap dan diasingka
Belanda. Prajurit-prajurit kedua belah pihak telah terlanjur berantakan. Yan masih hidup mengungsi
atau pulang keasalnya masing-masing. Ki Purwa Suci  menetap di desa Selakambang hingga akhir
hayatnya. Makam Ki Purwa Suci di desa Selakambang itu oleh sebagian masyarakat masih diangap
keramat.

Sesuai perang Diponegoro semua prajurit Purbalingga yang selamat dikumpulkan. Mereka diberi
hadiah dan penghargaan sebagai tanda jasa dari Bupati. Tha A Tjan mendapat sebidang tanah
disebelah selatan Bojongsari yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Kutabaru.
PURBALINGGA SESUDAH PERANG BITING
Bulan Nopember 1831 aau Suro 1760, Jenderal De Kock berkoperensi di Sokaraja, dengan para
Adipati, Ngabehi dan Punggawa-Punggawa yang telah berjasa dalam perang. De Kock
mengumumkan, bahwa wilayah Banyumas mulai saat itu sudah sepenuhnya menjadi kekuasaan
Belanda, tidak lagi dibawah pemerintahan Surakarta. Banyumas ditetapkan menjadi suatu
karisidenan dan dibagi lima Wilayah Kabupaten. Para pegawai dan pemberian pangkat kepada
mereka ditetapkan oleh Belanda.

Sebagai Residen pertama Banyumas adalah tuan Stuurler. Kelima Kabupaten tersebut adalah:

1. Kabupaten Banyumas dengan Bupatinya: R.A. Cakrawerdana I, dipensiun diganti Putranda


R.A. Cakranegara I,

2. Kabupaten Purbalingga dengan Bupatinya: R.M.A Brotosudiro, dipensiun diganti adiknya


R.M.T Dipakusuma II, Asisten Residen Tuan Tak.

3. Kabupaten Purwokerto dengan Bupatinya R.T. Mintareja, putera dari R.A. Bratadiningrat.
Semula Kabupatennya di Ajibarang. Asisten Residennya tuan Varkevisser.

4. Kabupaten Banjarnegara dengan Bupatinya R.T. Dipayuda. Semula letak Kabupaten


di Banjarpetambakan, kemudian pindah disebelah selatan sungai Serayu desa Kutawaringin
(Banjarnegara). Asisten Residen tuan Van Geul Meester.

5. Kaupaten Majenang dengan Bupatinya R.T. Prawiranegara (Kota Cilacap belum lahir). Sisten
Residen dirangkap dengan Kabupaten Ajibarang yaitu tuan Varkevisser.

Pengangkatan Adipati oleh Pemerintah Belanda diambilkan hanya dari tedak turun Adipati naluri
system keturunan.

Seperti halnya didaerah lain, Belanda di Purbalinggapun membangun gedung tempat kediaman
Asisten Residen. Letaknya di desa Bancar, sekarang dipergunakan sebagai markas Kodim 0702
Purbalingga. Sedangkan untuk kediaman Bupati, tetap menggunakan rumah Kabupaten semula yan
dibangun oleh Ngabehi Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga tahun 1757-1787.

Sumber : Babad dan Sejarah Purbalingga, Tri Atmo; Pemerintah DATI II Purbalingga; 1984

PERDIKAN CAHYANA

Sugeng PriyadiÀ

À Doktorandus, Magister Humaniora, staf pengajar Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

1. Peng

ekas daerah Perdikan Cahyana bera-

da di Kecamatan Karangmoncol dan


Rembang, Purbalingga, Karesidenan

Banyumas. Status perdikan itu dihapus oleh

Pemerintah Republik Indonesia pada za-

man Orde Lama. Berakhirnya kekuasaan

21 orang demang diyakini oleh masyarakat

bahwa para demang telah melanggar pia-

gam dan wewaler perdikan, tidak adil, serta

memperkaya diri sehingga mereka harus

diturunkan. Tanah-tanah perdikan dikuasai

oleh para demang untuk kepentingannya

sendiri sehingga rakyat hidup terbengkalai,

padahal, rakyat yang mencetak sawah-sa-

wah dan kebun-kebun, sedangkan demang

hanya mengaku sebagai hak miliknya. Ke-

jatuhan para demang itu sesuai dengan be-

berapa ramalan, seperti besuk selehe de-

mang disondol bangkong, besuk ana bang-

ke mili ngalor, dan besuk ana beslit padha

dicanthelake gethek (Darmoredjo, 1986: 7).

antar

Terlepas dari masalah di atas, desa per-

dikan menyimpan potensi masalah perta-

nahan. Penghapusan desa-desa perdikan

telah mengubah status tanah dari keputihan

menjadi tanah pamajegan. Dengan kata

lain, tanah-tanah tersebut menjadi tanah-

tanah negara. Sebaliknya, para demang ke-

hilangan hak atas tanah adat yang telah di-

milikinya sejak lama. Tanah-tanah keputih-

an di daerah Perdikan Cahyana adalah

tanah-tanah bebas pajak yang diluluskan


oleh Sultan Demak dan dilestarikan oleh

para raja Jawa sesudahnya dan pemerintah

kolonial Belanda untuk pemeliharaan ma-

kam-makam orang-orang suci atau para

wali lokal yang berjasa dalam penyebaran

agama Islam.

Di Kecamatan Karangmoncol ada 13

desa perdikan (sekarang 4 desa) yang ber-

kewajiban memelihara makam Pangeran

Wali Prakosa (di Pekiringan), Pangeran

Mahdum Cahyana (di Grantung), Haji Datuk

(di Tajug), dan Pangeran Mahdum Kusen

(di Rajawana). Ketigabelas desa perdikan

tersebut adalah (1) Grantung Andhap, (2)

Grantung Kidul, (3) Grantung Gerang, (4)

Grantung Lemah Abang, (5) Grantung Kau-

man, (6) Pekiringan Kauman, (7) Pekiringan

Lama, (8) Pekiringan Anyar, (9) Pekiringan

Bedhahan, (10) Tajug Lor, (11) Tajug Kidul,

(12) Rajawana Lor, dan (13) Rajawana

Kidul.

Sementara itu, 8 desa perdikan lain

yang terdapat di Kecamatan Rembang ber-

kewajiban memelihara makam Panembah-

an Lawet, atau Pangeran Jambu Karang,

atau Panembahan Darmokusumo (Knebel,

1898: 118-127, bdk. Steenbrink, 1984:

170). Kedelapan desa tersebut adalah (1)

Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001


Sugeng Priyadi, Perdikan Cahyana

Makam Wadhas, (2) Makam Bantal, (3)

Makam Tengah, (4) Makam Dhuwur, (5)

Makam Kidul, (6) Makam Jurang, (7)

Makam Panjang, dan (8) Makam Kamal.

Daerah perdikan di wilayah Karesidenan

Banyumas sebagian besar berkaitan de-

ngan fungsi utama, yakni pemeliharaan ma-

kam para wali (Steenbrink, 1984: 168).

Fungsi utama yang lain adalah pemelihara-

an bangunan suci masjid dan pengembang-

an pendidikan pesantren sebagai sarana

syiar agama Islam.

Di samping fungsi utama itu, daerah

perdikan juga mempunyai fungsi sosial. Hal

itu tampak dengan adanya pantangan yang

menyatakan bahwa penduduk perdikan ti-

dak boleh menjual nasi (beras, padi, atau

ketupat) dan sirih. Nasi dan sirih hanya di-

sajikan untuk jamuan kepada para tamu

atau para pendatang. Ungkapan yen kowe

nerima mangan wedhi krikil, ora susah

lunga-lunga ing wengkonku merupakan na-

sihat agar penduduk sebagai petani tidak

boleh memperkaya diri. Jika ingin mencari

kekayaan, ia harus mencarinya di luar per-

dikan. Ungkapan itu barangkali telah me-

motivasi penduduk untuk berwiraswasta

atau berdagang ke luar daerahnya.

Oleh karena itu, status perdikan tidak

boleh berubah. Barangsiapa yang berani


mengubah status tersebut akan mendapat

gutukullah (kutuk Allah) dan bebenduning

para wali kang ana ing Nusa Jawa karena

Perdikan Cahyana sesungguhnya adalah

peperdikane Allah. Selain itu, orang yang

mengubah status perdikan juga ora sun

wehi suka halal dunya akherat. Ungkapan

gutukullah telah melestarikan Cahyana se-

bagai daerah perdikan selama lebih dari

lima abad. Kutukan Sultan Demak dalam

piagamnya itu dianggap sama saktinya de-

ngan kutukan para raja Hindu dalam pra-

sastinya yang berisi pengukuhan manusuk

sima sehingga semua orang sangat takut

untuk melanggar kutukan tersebut. Pada

zaman Hindu, daerah bebas pajak itu di-

manfaatkan untuk membiayai pemeliharaan

bangunan suci (candi, vihara, sthana, dhar-

mma, prasada, caitya, parhyangan, dll.) dan

biaya-biaya upacara keagamaan (Soek-

mono, 1977: 230-231; Boechari, 1977: 96-

107). Dengan demikian, pranata manusuk

sima dilestarikan pada masa Islam dengan

pranata perdikannya.

2. Piagam Perdikan Cahyana

Salah satu sumber sejarah perdikan

Cahyana adalah piagam-piagam dan beslit-

beslit. A.M. Kartosoedirdjo dalam naskah

Tjarijos Panembahan Lawet yang disusun

pada tahun 1941 (Behrend, 1990: 77-78)

memuat daftar piagam dan beslit yang di-


terima oleh para pengelola desa perdikan di

Cahyana. Naskah koleksi Museum Sana

Budaya dengan kode PB.A. 271 itu sangat

berguna untuk melacak keberadaan piagam

dan beslit tersebut.

Para penerima piagam adalah sebagai

berikut: (1) Pangeran Wali Prakosa dari

Sultan Demak (1403 AJ), (2) Pangeran Wali

Mahdoem Tjahjana dari Sultan Pajang

(1503 AJ), (3) Kiai Mas Pekeh, Kiai Mas

Barep, dan Nyai Saratiman dari Sultan

Pajang (1530 AJ); (4) Kiai Waringin dari

raja Mataram (1550 AJ); (5) Pangeran

Sarawetjana I dari raja Mataram (1565 AJ);

(6) Kiai Bagoes Kerti dari Susuhunan di

Kartasura (1605 AJ); (7) Kiai Wangsadjiwa

II dari Susuhunan Surakarta (1675 AJ); (8)

Kiai Sarawetjana II dan Kiai Saradjiwa dari

Susuhunan Surakarta (1715 AJ); (9) Kiai

Sarawetjana III (Pekiringan Anyar), Kiai

Noertaman I (Pekiringan Lama), Kiai Merta-

diwirja I (Pekiringan Bedhahan), dan Kiai

Redja Moehammad I (Pekiringan Kauman)

dari Susuhunan Surakarta 1730 AJ).

Sementara itu, pengelola 21 desa per-

dikan yang mendapat beslit dari Kangjeng

Gupermen adalah (1) Kiai Soeraredja, Pe-

kiringan Anyar, 26 Oktober 1854, No. 5; (2)

Kiai Kertadjiwa, Makam Kidul, 26 Oktober

1854, No. 5; (3) Kiai Ranoewidjaja, Raja-

wana Kidul, 26 Oktober 1854, No. 5, (4)


Kiai Mangoendikrama, Pekiringan Bedhah-

an, 13 Desember 1854, No. 113, (5) Kiai

Joedakrama, Makam Wadhas, 10 Novem-

ber 1855, No. 15, (6) Kiai Soetadiwirja,

Grantung Gerang, 15 Februari 1861, No.

42, (7) Kiai Warsadikrama, Grantung

Andhap, 2 Agustus 1862, No. 6, (8) Kiai

Bawadi Redja Moehammad, Pekiringan

Kauman, 2 Agustus 1862, No. 14, (9) Kiai

Kertadiwirja, Grantung Kidul, 3 Maret 1863,

No. 19, (10) Kiai Ranadiwirja, Grantung

Lemah Abang, 18 April 1863, No. 25, (11)

Kiai Redjadiwirja, Pekiringan Lama, 10

Agustus 1869, No. 22, (12) Kiai Tjakra-

menggala, Makam Bantal, 18 Agustus

1869, No. 37, (13) Kiai Patradiwirja,

Grantung Kauman, 22 Agustus 1869, No.

13, (14) Kiai Wangsadikrama, Makam

Dhuwur, 8 Januari 1870, No. 36, (15) Kiai

Patrajoeda, Makam Jurang, 8 Januari 1870,

No. 36, (16) Kiai Kramasemita, Makam

Panjang, 5 Mei 1872, No. 5, (17) Kiai

Mangoendipa, Makam Tengah, 11 Januari

1873, No. 6, (18) Kiai Kertamedja, Raja-

wana Lor, 18 Juli 1873, No. 4085, (19) Kiai

Somadiwirja, Tajug Kidul, 18 Juli 1873, No.

4085, (20) Kiai Saradjiwa, Tajug Lor, 29

Januari 1877, No. 38, dan (21) Kiai Krama-

djiwa, Makam Kamal, 31 Januari 1880, No.

20.

Daftar yang disusun pada tahun 1941 ini


menunjukkan bahwa pada saat itu, piagam

dan beslit masih dilestarikan. Kini, piagam

dan beslit ditemukan dalam bentuk salinan

otentik dari teks aslinya. Sebagai contoh

adalah piagam dari Sultan Demak. Teks

yang ditemukan sekarang ini telah menga-

lami korupsi teks apabila dibandingkan de-

ngan teks yang disajikan oleh Aspirant Kon-

troleur, C.J. Hasselman (1887) dalam Tijd-

schrift voor het Binnenland Bestuur (deel I).

Kiranya salinan Hasselman itu lebih men-

dekati teks aslinya, sedangkan dalam satu

abad terakhir ini sudah mengalami bebe-

rapa kali penyalinan oleh tangan yang ber-

beda sehingga korupsi teks merupakan fe-

nomena yang wajar. Secara diakronis, teks

memang senantiasa berubah. Oleh karena

itu, perlu dikutipkan tiga buah teks piagam

yang saling terkait, yaitu piagam Sultan

Demak (1403 AJ), Sultan Pajang (1503 AJ),

dan Ki Gede Mataram, sebagai berikut.

(1) Penget lajang kang idi Pangeran Sul-

tan ing Demak. Kagaduha dening …

Mahdum Wali Perkosa ing Tjahjana.

Mulane anggaduha lajang ingsun dene

angrowangi amelar tanah…sun tulusa-

ken Pamardikane pesti lemah Per-

dikaning Allah tantaha ana angowaha-

na ora sun wehi suka halal dunja

aherat. Anaa anak putu aba aniaja.

Mugaa kena gutuking Allah lan olia


bebenduning para Wali kang ana ing

Nusa Djawa. Estu jen peperdikane

Allah. Titi.

(2) Penget lajang kang idinira Sultan ing

Padjang. Kagaduha dening Paman

Mahdum Wali Perkosa ing Tjahjana.

Mulane anggaduha lajang ingsun sun

tulusaken ingkang idin Sultan ing

Demak, pinesti jen iku peperdikaning

Allah. Sing sapa angowahana ora sun-

wehi suka halal dunja aherat. Anak

putu aba aniaja muga kenaa gutu-

kullah lan kenaa bebenduning para

Wali kang pinetak ing Nusa Djawa, iku

ingkang wasiat saking Sultan Demak.

Estu peperdikane Allah Ta’ala.

(3) Penget lajang kang idinira Kandjeng

Kjai Gede ing Mataram. Kagaduha de-

ning Kaki Bujut ing Tjahjana ingsun

amalurekaken kang wasiat saking De-

mak, wasiat saking Padjang sun tulu-

saken pinesti atugu bumi peperdikane

Allah lan kenaa bebenduning para

Wali kang pinetak Nusa Djawa lan ora

olih berkahingsun. Poma-poma anak

putuningsun pada ngestokna rowang

ingsun ametaraben Mataram. Poma-

poma. Kang njerat Kjai Ketib Pengulu

Bau. Titi.

Ketiga piagam di atas menunjukkan

bahwa bumi Cahyana adalah bumi perdika-


ning Allah, bukan perdikaning ratu. Sultan

Demak, Pajang, dan Ki Gede Mataram ha-

nyalah meluluskan dan melestarikan perdi-

kaning Allah tersebut kepada Mahdum Wali

Prakosa. Dalam tradisi Cahyana, Pangeran

Mahdum Wali Prakosa berjasa dalam mem-

bangun Masjid Agung Demak. Tradisi Cah-

yana juga ditemukan dalam teks Babad

Pasir. Banyak Belanak diberi tanah 8000

dhomas dan gelar Pangeran Senapati

Mangkubumi karena berjasa dalam Islami-

sasi dan pembangunan Masjid Agung

Demak. Kedua tradisi tersebut tampaknya

sangat penting untuk melegitimasikan loka-

litas Cahyana dan Pasir dalam rangka hu-

bungannya dengan penguasa muslim di

Demak.

Begitu pula dalam kasus piagam raja-

raja Jawa muslim. Piagam-piagam itu me-

nguatkan eksistensi Perdikan Cahyana de-

ngan gutukullah, gutuking Allah, beben-

duning para wali, dan ora olih berkahing-

sun. Kutukan itu diumumkan oleh seorang

raja yang mengeluarkan piagam untuk se-

lalu diperhatikan oleh anak-cucu raja ter-

sebut agar mereka tidak berani mengubah

status perdikaning Allah di Cahyana. Legi-

timasi raja-raja Jawa muslim sangat diper-

lukan untuk mendukung pemerintahan sipil

di kademangan Cahyana.

Dengan demikian, status perdikan men-


jadi tradisi secara terus-menerus karena

perubahan pusat politik tidak akan mengu-

bahnya, bahkan piagam dari pusat yang

lama akan didukung oleh pusat yang baru

dan seterusnya. Piagam yang dikeluarkan

sebelumnya menjadi referensi bagi muncul-

nya piagam yang baru. Teks-teks piagam

yang baru itu pada dasarnya lahir karena

adanya hubungan intertekstual dengan pia-

gam yang ada sebelumnya. Seperti halnya

prasasti, piagam-piagam itu dapat dipakai

sebagai bukti untuk memulihkan status per-

dikan.

3. Cariyosipun Redi Munggul

Cariyosipun Redi Munggul adalah ma-

nuskrip yang dianggap oleh masyarakat

Perdikan Cahyana sebagai hasil karya his-

toriografi tradisional. Naskah Jawa setebal

40 halaman yang memakai kertas berukur-

an 19 X 16 cm itu memberikan keterangan

sebagai berikut Punika Cariyosipun Redi

Munggul Satengahing Nusa Jawi Waktu

Medal Cahya Pethak Umancur Sundhul ing

Ngawiyat Ngawontenaken Pupundhen ing

Cahyana. Agaknya, naskah ini disalin se-

cara terus-menerus sehingga tradisi teks

Cariyosipun Redi Munggul hidup di kawas-

an desa-desa perdikan Cahyana.

Teks kademangan di atas menceritakan

asal-usul Pangeran Jambu Karang. Tokoh

leluhur itu berasal dari Pajajaran, yakni pu-


tra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman.

Sungguh amat mengherankan apabila di-

cermati gelar dari raja Pajajaran tersebut

karena di situ terdapat nama Brawijaya,

padahal Brawijaya adalah raja legendaris

dari Majapahit yang sangat menonjol dalam

karya-karya babad yang ditulis di Jawa

Tengah (Slametmuljana, 1983: 303-312).

Dalam karya babad, Brawijaya bukanlah

tokoh historis karena sumber-sumber seja-

rah, baik prasasti zaman Majapahit maupun

Kakawin Negarakrtagama (Slametmuljana,

1979) dan teks Pararaton (Padmapuspita,

1966) tidak pernah menyinggung nama ter-

sebut.

Ada kemungkinan bahwa penulis seja-

rah Cahyana itu sudah tidak mengenal tra-

disi penulisan karya babad di Jawa Tengah

pada umumnya. Hal itu dimaklumi karena

wilayah perdikan Cahyana terletak cukup

terpencil sehingga pengaruh dari dunia luar

tidak begitu kuat. Karya sejarah Cahyana

itu dibangun dari produk tradisi lisan yang

hidup subur di tengah-tengah masyarakat.

Di sini, sudah berkembang tradisi lisan me-

nuju tradisi tulis.

Karya babad seringkali dianggap meng-

hasilkan anakronisme dalam penulisan se-

jarah Jawa, khususnya dalam merekon-

struksi peristiwa-peristiwa sejarah yang ti-

dak kronologis. Gelar raja Pajajaran yang


bercampur dengan raja Majapahit dalam

legenda Jawa jelas anakronisme. Jadi, ge-

jala tersebut merupakan anakronisme

pangkat dua. Kedua nama itu muncul da-

lam sejarah pangiwa, yaitu tradisi silsilah

kiri yang ditarik dari Nabi Adam. Silsilah kiri

tersebut berisi tokoh dewa-dewa, tokoh

wayang, raja-raja Jawa-Sunda, raja-raja

Majapahit. Mahesa Tandreman dalam sil-

silah kiri disebut sebagai raja Jenggala

(Panji Kuda Laleyan) yang berpindah ke

Pajajaran karena negerinya banyak dirun-

dung bencana.

Penulisan sejarah tradisional memang

tidak memperhatikan faktor anakronisme.

Yang lebih penting adalah proses pemak-

naan terhadap kehadiran tokoh Prabu Bra-

wijaya Mahesa Tandreman sebagai leluhur

para demang yang tinggal di Cahyana.

Adanya dua unsur raja, Jawa dan Sunda

menunjukkan bahwa masyarakat penghasil

teks Cariyosipun Redi Munggul menekan-

kan pemberian makna terhadap eksistensi

manusia melalui kisah atau peristiwa yang

tidak tepat secara faktual, tetapi logis se-

cara maknawi.

Sebagai produk kultural, Cariyosipun

Redi Munggul memberikan makna pada

hal-hal yang hakiki bagi anggota masyara-

kat, khususnya untuk menghormati eksis


tensi tokoh leluhur, Pangeran Jambu Ka-

rang. Maka dari itu, wajar saja apabila ma-

kam Pangeran Jambu Karang terletak lebih

tinggi, yakni di Ardi Lawet (bdk. Behrend &

Titik Pudjiastuti, 1997: 211 & 577). Pange-

ran Jambu Karang adalah leluhur primordial

yang menjadi asal-mula timbulnya daerah

baru dan para penyebar agama Islam di

Cahyana.

Pangeran Jambu Karang ditonjolkan

sebagai raja Sunda yang masih kafir. Tokoh

ini diislamkan oleh Pangeran Atas Angin

yang juga sedang memburu cahaya putih di

Pulau Jawa. Peristiwa perang kesaktian an-

tara Pangeran Jambu Karang dengan Pa-

ngeran Atas Angin yang diteruskan dengan

masuknya Jambu Karang ke agama Islam

telah melahirkan toponim baru, misalnya

Grantung. Pangeran Atas Angin menikah

dengan putri Pangeran Jambu Karang yang

bernama Rubiyah Bekti. Perkawinan mere-

ka melahirkan lima orang anak, yaitu (1)

Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring)

yang dimakamkan di Rajawana, (2) Pange-

ran Mahdum Madem (makamnya di Cire-

bon), (3) Pangeran Mahdum Omar (ma-

kamnya di Pulau Karimun, Jepara), (4) Nyai

Rubiyah Raja (makamnya di Ragasela,

Pekalongan), dan Nyai Rubiyah Sekar (ma-

kamnya di Jambangan, Banjarnegara). Se-

telah empat puluh tahun di Cahyana, Pa-


ngeran Atas Angin kembali ke Arab.

Selanjutnya, Pangeran Mahdum Kusen

tampil untuk menggantikan kedudukan

ayahnya. Pada masa itu, Cahyana masih

menjadi wilayah kerajaan Pajajaran (Sun-

da). Pangeran Mahdum Kusen hendak me-

lepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran atas

wilayah Cahyana. Raja Pajajaran kafir me-

ngirimkan ekspedisi yang sangat besar

untuk menggagalkan rencana separatisme

itu. Pangeran Mahdum Kusen melakukan

salat hajat. Tidak lama kemudian, muncul

banyak lebah yang menyerang prajurit Pa-

jajaran. Namun, pada pertempuran pagi

harinya, para sahabat Pangeran Mahdum

Kusen terdesak oleh prajurit Pajajaran.

Pangeran Mahdum Kusen meminta perto-

longan Allah untuk mengusir musuh. Lalu,

ada jin datang yang sanggup membubarkan

prajurit Pajajaran. Sejak saat itu, Cahyana

terlepas dari kekuasaan kerajaan Sunda.

Pangeran Mahdum Kusen berputra Pa-

ngeran Mahdum Jamil. Tokoh yang terakhir

ini mempunyai dua orang anak, yaitu (1)

Pangeran Mahdum Tores (makamnya di

Bogares, Tegal) dan (2) Pangeran Wali

Prakosa (makamnya di desa Pekiringan,

Karangmoncol, Purbalingga). Pangeran

Wali Prakosa inilah yang disebut dalam

Piagam Sultan Demak yang berasal dari

tahun Jawa 1503 sehingga ia merupakan


tokoh sejarah, sedangkan Pangeran Jambu

Karang, Pangeran Atas Angin, Pangeran

Mahdum Kusen, dan Pangeran Mahdum

Jamil adalah tokoh-tokoh legendaris dari

Perdikan Cahyana.

Pangeran Wali Prakosa mempunyai

lima orang anak, yakni (1) Nyai Saratiman,

(2) Kiai Pangulu (Panunggangan), (3) Pa-

ngeran Estri menjadi istri Pangeran Mah-

dum Cahyana, (4) Kiai Mas Pekiringan, dan

(5) Kiai Mas Akhir. Sementara itu, Pange-

ran Mahdum Tores berputra (1) Kiai Mas

Barep dan (2) Kiai Pekeh. Sepeninggal Pa-

ngeran Mahdum Cahyana, tanah Cahyana

dibagi menjadi tiga, yaitu (1) Grantung

untuk Kiai Pekeh, (2) Pekiringan untuk Kiai

Mas Barep, dan (3) Makam untuk Nyai

Saratiman.

Ketiga desa ini di kemudian hari menjadi

cikal-bakal 21 desa perdikan. Makam men-

jadi delapan desa, Grantung menjadi tujuh

desa (lima Grantung dan dua Rajawana),

dan Pekiringan menjadi enam desa (empat

Pekiringan dan dua Tajug). Dengan demi-

kian, teks Cariyosipun Redi Munggul benar-

benar menempati kedudukannya sebagai

buku sejarah bagi desa-desa perdikan di

dua kecamatan di kabupaten Purbalingga

itu.

4. Perdikan Cahyana dari Sumber Lain

Karya A.M. Kartosoedirdjo yang berjudul


Tjarijos Panembahan Lawet menjadi koleksi

Museum Sana Budaya, Yogyakarta. Pada

Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001

hakikatnya, naskah setebal 55 halaman itu

mencirikan teks tradisi Perdikan Cahyana,

yaitu Cariyosipun Redi Munggul. Namun,

teks tersebut tampak pada halaman 4-41,

sedangkan halaman 41-55 merupakan tam-

bahan teks yang sangat berarti bagi kajian

budaya. Tambahan teks itu meliputi (1)

Adat lan tata cara ing Siti Perdikan Cah-

yana, (2) Braen, (3) Tandhak Lesung, (4)

Katerangan dununging Pasareanipun Para

Leluhur ing Siti Cahyana, (5) Piagem-

piagem, dan (6) Tabel tebihipun (jarak an-

tara situs yang satu dengan situs yang lain).

Teks-teks tersebut juga dapat diman-

faatkan sebagai bahan pengkajian sejarah

kebudayaan, sejarah kesenian, dan sejarah

intelektual. Contohnya, A.M. Kartosoedirdjo

mencatat bahwa penduduk Cahyana memi-

liki banyak pantangan sehingga mereka

tidak berani melanggarnya, misalnya boten

wantun nyade sekul, sedhah lan wahan,

nyirik nanem kedele sarta sata, boten won-

ten ingkang purun damel griya ingkang

agedheg plupuh lan apayon duk. Pantang-

an-pantangan semacam itu sangat menarik

bagi penelitian sejarah intelektual di tingkat

lokal.

Naskah Sejarah Ragasela yang meru-


pakan manuskrip Museum Pusat Jakarta

(sekarang koleksi Perpustakaan Nasional)

tampaknya hanyalah versi lain saja dari

teks Cariyosipun Redi Munggul yang sudah

dibicarakan pada tulisan yang lalu. Perlu

diketahui bahwa Ragasela adalah tempat

dimakamkannya Nyai Rubiyah Raja (putri

Pangeran Atas Angin). Sejarah Ragasela

lebih menonjolkan kisah-kisah yang terfo-

kus kepada Pangeran Jambu Karang sam-

pai keturunan ketiga sehingga tidak mem-

bicarakan terbentuknya 21 desa Perdikan

Cahyana.

Kisah-kisah yang berkaitan dengan Pa-

ngeran Jambu Karang sudah ada yang di-

terbitkan oleh Penerbit Soemodidjojo, Yog-

yakarta, pada tahun 1953, yakni Babad

Jambukarang. Kemungkinan besar teks

terbitan ini berasal dari teks lokal Cahyana,

yaitu Cariyosipun Redi Munggul. Kiranya

struktur teks Babad Jambu Karang adalah

struktur teks Cariyosipun Redi Munggul.

Silsilah yang disusun pun jelas-jelas me-

ngacu kepada teks lokal karena di situ su-

dah diuraikan terjadinya 21 desa perdikan.

Selain itu, ada dua teks silsilah yang

berjudul (1) Sudjarah saking Kandjeng Nabi

SAW hamiwiti Kandjeng Nabi puputra

Dhewi Fatimah lan saterasipun dhumugi

Kijai Suwela ingkang sumare ing Dusun

Pakiringan Tjahjana dan (2) Sudjarahipun


Pangeran Djambu Karang Asal saking Pe-

djadjaran miwiti saking Sijung Wanara dhu-

mugi Pangeran Makdhum Tjahjana. Teks

itu terkandung dalam naskah yang disalin

oleh Ngisroen Mangoenwidjaja di Gunung

Batu, Bogor pada tanggal 2-8 Februari

1972. Penyalin mengaku berasal dari Desa

Makam, wilayah Gunung Lawet, Perdikan

Cahyana, Purbalingga.

Teks pertama mengacu kepada silsilah

kanan atau tradisi sejarah panengen yang

lazim dalam penulisan sejarah Jawa. Silsi-

lah tersebut hanya sampai pada tokoh Pa-

ngeran Mahdum Cahyana yang dikisahkan

tidak mempunyai keturunan. Pangeran

Mahdum Cahyana digantikan oleh dua

orang sahabatnya dari Demak yang ber-

nama Kiai Pekih di Desa Grantung dan Kiai

Suwela (bukan Kiai Mas Barep) di Desa

Pekiringan. Dalam teks Cariyosipun Redi

Munggul, kedua orang pengganti Pangeran

Mahdum Cahyana adalah putra Pangeran

Mahdum Tores yang tinggal di Bogares,

Tegal.

Teks kedua mencerminkan silsilah yang

unik dengan urutan sebagai berikut: Siyung

Wanara—Prabu Kancana—Lingga Wesi—

Lingga Yang—Lingga Wastu—Prabu Jam-

budipa (Pangeran Jambu Karang). Silsilah

itu tidak lazim sebagaimana diberitakan

oleh teks-teks babad di Jawa Barat, mi-


salnya Prabu Kancana (Sutaarga, 1984: 25-

27; bdk. Achmad, 1991: 19). Tokoh ini se-

benarnya bukan tokoh babad, tetapi tokoh

sejarah karena tercantum dalam prasasti

Batutulis, yakni Rahiyang Niskala Wastu

Kencana (Atja, 1970: 7). Babad Galuh dan

Sejarah Galuh menyajikan silsilah sebagai

berikut: Siyung Wanara—Lutung Kasa-

rung—Lingga Hiang—Lingga Wesi—Lingga

Wastu—Susuk Tunggal. Keterangan kedua

babad ini bisa dibandingkan dengan pe-

nuturan teks berikut.

Teks Tedhakan Serat Soedjarah Joeda-

nagaran yang terkandung dalam naskah

koleksi Museum Sana Budaya (SB 69) se-

pintas lalu menyebutkan kisah Pangeran

Jambu Karang, yakni teks Salasilah Padja

djaran tepangipoen kalijan hing Wirasaba

Tojadjene. Dalam silsilah itu, Prabu Lingga

Wesi mempunyai tiga orang putra, yakni (1)

Prabu Lingga Karang atau Pangeran Jam-

bu Karang (raja Pajajaran, makamnya di

Gunung Lawet), (2) Prabu Lingga Gang-

gang atau Prabu Susuk Tunggal (raja

Pajajaran), dan (3) Prabu Lingga Larang

(raja Bana Keling). Prabu Susuk Tunggal

menjadi leluhur adipati Pasirluhur melalui

Banyak Catra. Hal yang sama juga ditu-

turkan oleh teks Babadipun Dusun Perdikan

Gumelem. Teks tersebut diduga disusun

berdasarkan atas teks Tedhakan Serat


Soedjarah Joedanagaran di atas.

Di luar perdikan Cahyana, naskah yang

berisi kisah Pangeran Jambu Karang juga

ditemukan dalam teks Sadjarah Padjadjar-

an Baboning Tjarios saking Adipati Wira-

dhentaha Boepati Priangan (Jilid 1) dan Sa-

djarah Padjadjaran Baboning Tjarios saking

Adipati Wiradhentaha Boepati Priangan Ma-

nondjaja (Jilid 2). Ada dua naskah yang

berasal dari Jawa Barat mengandung teks

yang berjudul Tjarios Panembahan Djam-

boekarang Goenoeng Lawet. Hal itu sesuai

dengan kisah-kisah lama yang tersebar di

daerah perdikan yang menyatakan bahwa

Cahyana dahulu termasuk wilayah kerajaan

Pajajaran. Nuansa kesundaan sangat tam-

pak pada toponim-toponim, misalnya Cika-

rang (sekarang Kali Karang) atau Kali

Idheng (Cihideung).

Di desa Lebaksiu Kidul, Kecamatan Le-

baksiu, Kabupaten Tegal terdapat adat-

istiadat berupa upacara religi Rebo Pung-

kasan yang menghubungkannya dengan

tokoh leluhur Syekh Jambu Karang atau

Darmakusuma yang makamnya berada di

bukit Tanjung. Upacara tersebut dilaksana-

kan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sa-

par. Dengan demikian, secara sekilas dapat

diperoleh gambaran bahwasanya sumber-

sumber yang berbicara tentang Pangeran

Jambu Karang tidak hanya berasal dari


Cahyana, tetapi juga berasal dari luar. Di

sini, ada kontak antarbudaya lokal yang

merupakan cermin suara-suara milenium.

5. Jambu Karang: Tokoh atau Kerajaan?

Nama Jambu Karang bukanlah tokoh

yang asing bagi masyarakat Perdikan Cah-

yana. Pendek kata, Cahyana itu identik

dengan Jambu Karang. Tradisi Cariyosipun

Redi Munggul memberitakan bahwa Pa-

ngeran Jambu Karang atau Adipati Men-

dang (Mundingwangi) adalah putra Raja

Pajajaran Prabu Brawijaya Mahesa Tan-

dreman. Nama Jambu Karang berasal dari

nama Gunung Jambudipa atau Gunung

Karang (di Karesidenan Banten). Karena

bertapa di tempat itulah, Adipati Mendang

itu disebut dengan nama Jambu Karang.

Sepeninggal kakaknya, Mundingsari men-

jadi raja Pajajaran. Tradisi Sadjarah Padja-

djaran Baboning Tjarios saking Adipati

Wiradhentaha Boepati Prijangan Manon-

djaja menyebutkan bahwa Jambu Karang

merupakan raja Pajajaran yang bergelar

Prabu Lingga Karang atau Prabu Jambu-

dipa Lingga Karang (bdk. Soetjipto, 1986:

14-20). Jambudipa termasuk wilayah Paja-

jaran. Prabu Lingga Karang dalam tradisi

Salasilah Padjadjaran tepangipoen kalijan

Wirasaba Tojadjene memiliki dua orang

saudara, yaitu Sri Prabu Lingga Ganggang

atau Prabu Susuk Tunggal yang menggan-


tikan kakaknya di Pajajaran dan Sri Prabu

Lingga Larang yang menjadi raja di Keling.

Mereka bertiga adalah anak Prabu Lingga

Wesi. Ada kemungkinan bahwa nama Jam-

bu Karang berasal dari nama Lingga Ka-

rang. Apalagi, di Cahyana mengalir Sungai

Karang (Cikarang).

A.M. Kartosoedirdjo (1941) dalam karya-

nya yang berjudul Tjarijos Panembahan

Lawet menyatakan bahwa ada dua orang

anak raja Pajajaran Prabu Silihwangi yang

tidak muksa, yakni Raden Liman Sunjaya

dan Raden Pamuragil. Raden Liman Sun-

jaya yang bertapa di Gunung Jambudipa di

kemudian hari berganti nama Pangeran

Jambu Karang, sedangkan Raden Pamu-

ragil menggantikan kakaknya menjadi raja

Pajajaran. Dalam teks Sejarah Ragasela,

Siyung Wanara mempunyai dua orang

anak, yaitu Ajar Jambu Karang dan Mas

Pamuragil. Di sini, tidak dikenal nama Ra-

den Liman Sunjaya. Alur teks Sejarah Ra-

gasela sama dengan teks Cariyosipun Redi

Munggul, meskipun tokohnya berbeda.

Dalam karya yang lain, Diktat Riwajat

Purbalingga, A.M. Kartosoedirdjo (1967)

menyatakan bahwa Raden Liman Sujana

adalah adik Raden Banyak Catra dan Ba-

nyak Wide, serta kakak Raden Banyak Be-

labur. Ketika hendak bertapa, Liman Sujana

menyerahkan tahta Pajajaran kepada adik-


nya, yakni Raden Banyak Belabur. Kiranya

A.M. Kartosoedirdjo sangat mengenal

Babad Pasir sehingga menghubungkan Pa-

ngeran Jambu Karang (Liman Sunjaya atau

Liman Sujana) dengan raja Pajajaran,

Prabu Silihwangi. Anehnya, A.M. Kartosoe-

dirdjo menampilkan nama Banyak Wide.

Hal ini tidak lazim dalam teks Babad Pasir.

Banyak Wide dalam teks-teks babad di

Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah nama

lain Siyung Wanara.

Apa yang ditulis oleh Kartosoedirdjo di-

acu oleh para penulis berikutnya. Sebagai

contoh, Tri Atmo (1984) dalam karyanya

yang berjudul Babad dan Sejarah Purba-

lingga. Namun, Tri Atmo memberikan pen-

jelasan bahwa Raden Liman Sujana adalah

adik kandung Banyak Sasra (ayah Adipati

Warga Utama II, pendiri Banyumas). Rupa-

rupanya, Tri Atmo dan Sasono (1993)

mengubah penjelasannya mengenai Raden

Liman Sujana dalam karya Mengenal Pur-

balingga. Kedua penulis tidak lagi menye-

butkan bahwa Liman Sujana adalah adik

kandung Banyak Sasra. Mungkin, mereka

ragu atas karya Tri Atmo yang terdahulu.

Tri Atmo melakukan kesalahan dalam me-

ngacu karya Kartosoedirdjo, yaitu Banyak

Catra diubah menjadi Banyak Sasra. Mung-

kin, ia terpengaruh teks Babad Banyumas

yang dikenalnya.
Babad Banyumas versi Raden Oemar-

madi dan M. Koesnadi Poerbosewojo

(1964), tokoh Syekh Jambu Karang disa-

makan dengan tokoh mitologi wayang pas-

caperang Baratayuda, yakni Prabu Darma-

kusuma atau Yudhistira yang tidak dapat

muksa. Syekh Jambu Karang bertemu de-

ngan Sunan Kalijaga. Di situ, Syekh Jambu

Karang mendapat wejangan dari Sunan

Kalijaga sehingga ia wafat dengan sempur-

na.

Keterangan-keterangan yang dijabarkan

di atas menunjukkan bahwa tokoh Jambu

Karang menjadi tokoh legendaris di Cah-

yana, bahkan mitologis. Keterangan terse-

but juga menampilkan banyak versi, mi-

salnya ayah Pangeran Jambu Karang ber-

beda, yaitu Prabu Brawijaya Mahesa Tan-

dreman, Prabu Lingga Wesi, Prabu Silih-

wangi, atau Siyung Wanara. Perbedaan itu

disadari oleh penulis yang lain, Supanggih

(1997) dalam karyanya yang berjudul Ka-

rangmoncol dan Perkembangannya. Buku

yang terakhir ini mencoba menjelaskan

sejak sejarah Islam di Kecamatan Karang-

moncol sampai dengan berdirinya Masjid Al

Muttaqien (sumbangan Yayasan Amal

Bhakti Muslim Pancasila).

Dalam penelitian Ekadjati (1982: 348-

355) ditemukan adanya naskah Sunda,

Mangle Arum, berisi teks Ceritera Dipati


Ukur versi Bandung. Naskah itu ditulis oleh

Haji Harun Al Rasyid pada masa penduduk-

an militer Jepang. Teks versi Bandung itu

dapat dibagi menjadi dua, yakni kisah le-

luhur Dipati Ukur dan kisah Dipati Ukur

sendiri. Pada bagian awal teks dikatakan

bahwa dahulu kala di wilayah Karesidenan

Banyumas terdapat kerajaan Jambu Ka-

rang yang berkedudukan di Purbalingga.

Raja dan penduduknya masih beragama

Budha. Seorang bangsawan Arab yang ber-

nama Syarif Abdurahman al-Qadri datang

ke kerajaan Jambu Karang. Di situ, banyak

penduduk yang tertarik memeluk agama

Islam. Raja Sunan Jambu Karang tidak

suka kepada bangsawan Arab yang telah

mengislamkan rakyatnya sehingga mereka

beradu tanding kesaktian. Singkat cerita,

Sunan Jambu Karang kalah dan memeluk

Islam beserta rakyatnya. Syarif Abdurah-

man diambil sebagai menantu oleh Sunan

Jambu Karang. Sesudah menikah, Syarif

Abdurahman berganti nama Pangeran Atas

Angin. Nama tersebut diambil dari tanah

asalnya (Arab) yang letaknya di atas khatu-

listiwa. Setelah Sunan Jambu Karang

wafat, Pangeran Atas Angin menggantikan

kedudukan mertuanya sebagai raja.

Pangeran Atas Angin dengan istrinya

(putri Jambu Karang) berputra Pangeran

Cahya Luhur. Pangeran Cahya Luhur mem-


punyai anak, yaitu Pangeran Adipati Cahya-

na. Pada masa itu, Pangeran Adipati Cah-

yana tidak sampai menjadi raja karena dae

rah kekuasaannya direbut oleh raja Ma-

taram Panembahan Senapati. Putra Pange-

ran Adipati Cahyana yang masih kecil,

Wangsanata, disingkirkan dari Jambu Ka-

rang dan dititipkan kepada bupati Ukur

(Adipati Ukur Agung). Wangsanata diambil

sebagai menantu oleh Adipati Ukur Agung

dan dikawinkan dengan Nyi Gedeng Ukur.

Sepeninggal mertuanya, Wangsanata men-

jadi Adipati Ukur. Tokoh yang terakhir ini

sering disebut sebagai pemberontak. Na-

mun, masyarakat Sunda menganggapnya

sebagai pahlawan. Dengan demikian, teks

Mangle Arum yang merupakan teks Ceri-

tera Dipati Ukur versi Bandung mengenal

kerajaan Jambu Karang dengan rajanya

Sunan Jambu Karang.

6. Pangeran Wali Prakosa dan Masjid

Agung Demak

Pangeran Wali Prakosa merupakan to-

koh historis karena tercantum namanya da-

lam piagam Sultan Demak yang mengukuh-

kan Cahyana sebagai peperdikane Allah.

Tokoh-tokoh sebelumnya masih hidup da-

lam legenda rakyat atau karya historiografi

tradisional. Pangeran Wali Prakosa adalah

putra Pangeran Mahdum Jamil, cucu Pa-

ngeran Mahdum Kusen, buyut Pangeran


Atas Angin, dan canggah Pangeran Jambu

Karang. Pangeran Wali Prakosa tergolong

para pangeran yang dikeramatkan di Per-

dikan Cahyana yang makamnya berada di

desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol

yang terletak di belakang masjid Pekiringan

(Mugiono, 1999: 6-8). Pola hias saka guru

masjid tersebut mirip dengan pola hias

Masjid Nursuleman di kota lama Banyumas

dan masjid di desa Gumelem (Kecamatan

Susukan, Banjarnegara).

Pada suatu hari, Pangeran Wali Prako-

sa disarankan kakaknya, Pangeran Mah-

dum Tores, untuk pergi menghadap Sultan

Demak agar tanah Jiyana tidak diambil alih

oleh orang lain. Sesampainya di Demak,

Pangeran Wali Prakosa diterima oleh Kiai

Penghulu Khalipah Kusen. Pangeran Wali

Prakosa yang disebut juga Kaum Panga-

lasan Kilen meminta izin untuk menghadap

Sultan Demak. Ketika ditanya dari mana

asal-usulnya, Pangeran Wali Prakosa me-

ngaku berasal dari desa Jiyana. Sultan

Demak tidak mengenal Desa Jiyana. Yang

dikenalnya adalah Cahyana Karabal Minal

Mukminin. Lalu, Sultan memerintahkan ke-

pada Kaum Pangalasan Kilen agar meng-

islamkan penduduk di daerahnya.

Selanjutnya, Pangeran Wali Prakosa

mendapat piagam dari Sultan Demak yang

berbunyi “Ingsoen naloerekake wasijat


saking Mekah. Kagadhoeha marang Paman

Mahdum Wali Prakosa ing Tjahjana. Moela

soen gadhoehi noewalaningsoen, sabab

dheweke ngrewangi ngelar agama Islam

ing Noesa Djawa. Soen loeloesake ing pa-

mardikane. Adja owah kaja adat kang woes

kelakoe. Sing sapa ngowahana marang ka-

goenganingsoen boemi perdikan, ora soen

wenehi soeka chalal ing dunja toemeka

ngacherat. Kenaa goetoek-oe’llah lan be-

bendoening Allah.”

Teks piagam di atas adalah versi A.M.

Kartosoedirdjo. Dengan demikian, ada tiga

versi teks piagam yang berhubungan

dengan Pangeran Wali Prakosa, yakni (1)

versi Hasselman, (2) versi salinan kade-

mangan, dan (3) versi A.M. Kartosoedirdjo.

Versi yang terakhir ini kiranya merupakan

tradisi lisan yang hidup di dalam masya-

rakat Perdikan Cahyana. Karena ada dalam

bentuk lisan, terbuka kemungkinan adanya

korupsi teks. Namun, teks versi terakhir

pada intinya sama dengan versi pertama

dan kedua.

Setelah penyerahan piagam, Sultan De-

mak meminta kepada Pangeran Wali Pra-

kosa untuk membantu pembangunan Mas-

jid Agung Demak. Pangeran Wali Prakosa

dikisahkan dalam tradisi Cahyana sebagai

pihak yang menyanggupi permintaan Sultan

Demak untuk melengkapi kekurangan se-


buah saka guru. Di situ, Pangeran Wali

Prakosa dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam

membuat saka tatal. Jadi, saka tatal yang

dikenal sebagai karya Sunan Kalijaga me-

nurut tradisi Jawa selama ini mendapat

tandingan dari tradisi Cahyana. Saka tatal

adalah karya Pangeran Wali Prakosa. Su-

nan Kalijaga hanyalah membantu pekerjaan

Pangeran Wali Prakosa seperti tampak

pada teks berikut “… Kacariyos Pangeran

Kalijaga saweg tapa ing Giri Mlaka sidik

paningalipun, lajeng jengkar. Sadinten sa-

dalu saged dumugi ing Demak. Anjujug

lenggah ing pacrabakan, pinanggih kaliyan

Pangeran Wali Prakosa. Pangeran Kalijaga

ataken, ‘Lho Si Anak napa sing dadi

bubuhan andika ?’ Ki Mahdum Wali Pra-

kosa mangsuli, ‘Kula kabubuhan saka sa-

tunggal.’ Pangeran Kalijaga mangsuli malih,

‘Heh Anak kula kang bakal ambantu

anggrabahi sarta ngalus.’ Nunten Wali ka-

kalih wau enggal tumandang nyambut

damel, sami mendhet tatal. Lajeng dipun

gulingaken kaping sakawan insya Allah

ta’ala iman tokhid ma’ripat Islam, tatal

dados blabag, kaelus nunten dados balok.”

Pembangunan Masjid Agung Demak

dilakukan oleh para Wali pada malam hari,

tatkala lintang waluku menampakkan diri.

Namun, ketika fajar datang, bangunan

masjid itu kelihatan sirung atau dhoyong.


Para Wali kebingungan. Pangeran Wali

Prakosa mengusulkan, “…Sami nunuwun

ing Allah. Mangke kula dadosa palu, Para

Wali sanesipun dadosa gandhen.” Pange-

ran Wali Prakosa yang berdoa, sedangkan

Para Wali yang mengamini saja. Akan

tetapi, masjid tetap tidak berubah. Lalu,

Para Wali berdoa, Pangeran Wali Prakosa

yang mengamini. Doa Pangeran Wali Pra-

kosa diterima Allah dan masjid berdiri de-

ngan tegak.

Tri Atmo dan Sasono mencatat lain.

Para Wali yang berdoa terlebih dahulu dan

Pangeran Wali Prakosa yang mengamini.

Masjid tetap tidak bergerak. Kemudian, Pa-

ngeran Wali Prakosa yang berdoa dan Para

Wali yang mengamini. Doa Pangeran Wali

Prakosa dikabulkan Allah dan masjid pun

berdiri dengan tegak. Nama Wali Prakosa

diberikan oleh Sultan Trenggana (versi lain

hanya menyebut Sultan Demak, tanpa

nama) berkat keperkasaan doanya sehing-

ga pembangunan Masjid Agung Demak

dapat berjalan dengan lancar.

Agaknya versi yang kedua lebih diterima

daripada versi pertama. Pada versi yang

pertama pun sebenarnya sudah mengarah

kepada pengertian bahwa doa yang dika-

bulkan oleh Allah bukan doa dari para Wali,

melainkan doa dari Pangeran Wali Prakosa.

Di samping itu, nama desa Pekiringan (se-


harusnya Pakeringan) juga berasal dari

peristiwa pembangunan masjid di atas. Ter-

kabulnya doa Pangeran Wali Prakosa men-

jadikan Sultan saklangkung andadosaken

eringing penggalihipun, sarta sangsaya

wewah asih dhumateng Ki Wali Prakosa.

Kata ering tadi menjadi Pakeringan.

7. Penutup

Pangeran Wali Prakosa menjadi penye-

bar agama Islam di daerah Cahyana Purba-

lingga. Jadi, beliau termasuk Wali yang ber-

peran di tingkat lokal dan mendapatkan pe-

ngakuan dari Sultan Demak melalui piagam

yang diberikan. Pangeran Wali Prakosa

mempunyai lima orang putra, yaitu (1) Nyai

Saratiman, (2) Kiai Penghulu Panunggang-

an, (3) Pangeran Estri (istri Pangeran Mah-

dum Cahyana), (4) Kiai Mas Pakiringan,

dan (5) Kiai Mas Akhir. Di kemudian hari,

Pangeran Mahdum Cahyana menggantikan

kedudukan mertuanya karena anak lelaki

nomor dua karem ing maksiyatan dan anak

keempat karem ing batal kharam, se-

dangkan anak kelima menjadi sahabat ka-

kak iparnya. Makam Pangeran Wali Prako-

sa dipelihara dari penghasilan empat desa

perdikan, yakni Pakeringan Lama, Pake-

ringan Anyar, Pakeringan Kauman, dan Pa-

keringan Bedhahan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, 1991. Purbalingga ing Atiku. Pur-


balingga: Seksi Kebudayaan, Depar-

temen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kabupaten Purbalingga.

Atja, 1970. Carita Ratu Pakuan. Bandung:

Lembaga Bahasa dan Sedjarah Per-

pustakaan Sundanologi.

Atmo, Tri. 1984. Babad dan Sejarah Pur-

balingga. Purbalingga: Pemda Dati II

Purbalingga.

Atmo, Tri dan Sasono. 1993. Mengenal

Purbalingga Daerah Tempat Lahir

Jenderal Sudirman. Jakarta: Pagu-

yuban Arsakusuma.

Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-

naskah Nusantara Jilid 1 Museum

Sana Budaya Yogyakarta. Jakarta:

Djambatan & Ford Foundation.

Behrend, T.E. & Titik Pudjiastuti. 1997.

Katalog Induk Naskah-Naskah Nu-

santara Jilid 3-A Fakultas Sastra

Universitas Indonesia. Jakarta: Ya-

yasan Obor Indonesia-Ecole Fran-

çaise D’Extreme Orient.

Boechari, M. 1977. “Candi dan Lingkungan-

nya.” Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indo-

nesia, Jilid VII, edisi Juli, No. 2.

Darmoredjo, S. 1986. Riwayat Hidup Sing-

kat Bapak Supono Priyosupono. Ka-

rangmoncol: tp.

Ekadjati, Edi S., 1982. Ceritera Dipati Ukur,


Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakar-

ta: Pustaka Jaya.

Hasselman, C.J. 1887. “De Perdikan

Dessa’s in Het District Tjahijana

(Afdeeling Poerbolinggo, Residentie

Banjoemas).” Tijdschrift voor het

Binnenland Bestuur, deel I: 72-104.

Kartosoedirdjo, A.M. 1941. Tjarijos Panem-

bahan Lawet. Jogjakarta: Museum

Sana Budaya.

———. 1967. Diktat Riwajat Purbalingga.

Selanegara: stensil.

Knebel, J. 1898. “Darmokoesoemo of Seh

Djambukarang, Desa Legenda uit

het Javaansch Medegedeeld.” Tijd-

schrift voor Indische Taal-, Land-, en

Volkenkunde van het Bataviaasch

Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen, deel XXXIX, 1:118-

127.

Mugiono, 1999. Mengenal Perjuangan Pa-

ngeran Mahdum Wali Perkasa di

Tanah Perdikan Cahyana Pekiring-

an. Jakarta: tanpa penerbit.

Oemarmadi dan Koesnadi Poerbosewojo.

1964. Babad Banjumas. Djakarta:

Amin Sujitno Djojosudarmo.

Padmapuspita, Ki J. 1966. Pararaton Teks

Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa

Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.


Slametmuljana, 1979. Nagarakretagama

dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:

Bhratara.

———. 1983. Pemugaran Persada Sejarah

Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu

Press.

Soekmono, 1977. Candi Fungsi dan Pe-

ngertiannya. Semarang: IKIP Sema-

rang Press.

Humaniora Volume XIII, No. 1 Februari ■ 2001

Anda mungkin juga menyukai