BABAD PURBALINGGA
Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka.
Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan
menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang
dalam batin Ki Gede Banyureka.
Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya,
secara bergilir meminta upetiseorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan
selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah
(Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam
keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.
Untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati, dipanggilah ahli warisnya. Tetapi tak
seorangpun yang berani menghadapnya. Hanya satu-satunya orang yang berani menhadapnya.
Hanya satu-satunya orang yang memberanikan diri yaitu Jaka Kaiman (menantunya). Diluar dugaan,
Jaka Kaiman malah dianugerahi kedudukan menggantikan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dan
diberi gelar Wargautama II.
Namun demikian Apipati Wrgautama II tidak serakah. Dibaginya Kadpaten Wirasaba menjadi empat
bersama ipar-iparnya. Karena itu ia disebut Adipati Mrapat dari arti kata mara papat (membagi
empat).
Adipati Wargautama II kemudian memilih daerah Kejawar dan mendirikan ibukota di tepi sungai
Serayu, yang sekarang dikenal kota Banyumas.
Pengetahuan kita tentang Banyumasan tentulah daerah geografis yang diciptakan oleh
Pemerintahan Kolonnial Belanda sebagai daerah Karesidenan. Nama Banyumas sebenarnya baru
muncul sekitar tahun 1582, menjelang kedatangan Belanda di Indonesia. Sebelum itu Banyumas
menjadi bagian dari Kesultanan Pajang dan lebih dikenal lagi sebagaibagian dari Kadipaten Wirasaba,
Kadpaten Pasir Luhur dan lain-lain yang berubah-ubah menurut kekuasaan kerajaan pada saat itu.
Peristiwa tebunuhnya Adipati Wirasaba ternyata menimbulkan rasa sesal dihati Sultan Pajang. Sultan
Pajang menyadari bahwa tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang masak, dapat
berakibat fatal.
Untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati, dipanggilah ahli warisnya. Tetapi tak
seorangpun yang berani menghadapnya. Hanya satu-satunya orang yang berani menhadapnya.
Hanya satu-satunya orang yang memberanikan diri yaitu Jaka Kaiman (menantunya). Diluar dugaan,
Jaka Kaiman malah dianugerahi kedudukan menggantikan mertuanya menjadi Adipati Wirasaba dan
diberi gelar Wargautama II.
Namun demikian Apipati Wrgautama II tidak serakah. Dibaginya Kadpaten Wirasaba menjadi empat
bersama ipar-iparnya. Karena itu ia disebut Adipati Mrapat dari arti kata mara papat (membagi
empat).
Adipati Wargautama II kemudian memilih daerah Kejawar dan mendirikan ibukota di tepi sungai
Serayu, yang sekarang dikenal kota Banyumas.
Pengetahuan kita tentang Banyumasan tentulah daerah geografis yang diciptakan oleh
Pemerintahan Kolonnial Belanda sebagai daerah Karesidenan. Nama Banyumas sebenarnya baru
muncul sekitar tahun 1582, menjelang kedatangan Belanda di Indonesia. Sebelum itu Banyumas
menjadi bagian dari Kesultanan Pajang dan lebih dikenal lagi sebagaibagian dari Kadipaten Wirasaba,
Kadpaten Pasir Luhur dan lain-lain yang berubah-ubah menurut kekuasaan kerajaan pada saat itu.
Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan.
Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus
Sukra.
Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan
dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa piker panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar
memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.
Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan.
Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus
Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.
Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-
gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati
yang akan oleh utusan pertama.
Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. Sedang
mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil
makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan
tombak di tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi
Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari kejauhanterdengar suara orang berteriak. Tatkala
prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua)
melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba,
sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu
Pahing.
Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi
sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan.
Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-
orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging
angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang.
Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar
orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan tersebut dijadikan
prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara
masyarakat Banyumas. Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat
kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya
pembangunan nasional.
1. Jaka Katuhu,
3. Raden Kumara,
4. Rara Ngaisah yang kawin dengan Kiai Mranggi dan menetap di Desa Kejawar.
Jaka Kaiman ketika meningkat dewasa mengabdikan diri pada Adipati Wirasaba R. Wargautama I,
kemudian diambil sebagai menantu bahkan akhirnya menggantikan kedudukan.
Tak seorang pun mengerti soal asal-usul orang ini. Tetapi sementara orang mengatakan bahwa ia
adalah seorang yang ditempatkan digerumbul itu oleh Syeh Bakir, agar beranak cucu dan bisa
merobah hutan itu menjadi sebuah pedusunan. Namun sebelum sempat mempunyai keturunan,
isteri Ki Tepus Rumput meninggal dunia.
Akibat kematian isterinya, batin Ki Tepus Rumput setiap harinya menjadi tertekan, tubuhnya
semakin hari semakin kurus kering, wajahnya pucat pasi, mata dan pipinya menjadi cekung, rambut
dan janggut yang tak terurus lagimenjadi lebat, kulit muka kisut-kisut, amat lesu dan tampak lebih
tua bila dibandingkan dengan usia sebenarnya.
Malam itu ada ia berada di hutan, duduk dibawah pohon jati. Untuk menahan rasa sedih dihatinya,
ia menutup wajahnya dengan erat-erat. Sesaat melepaskan tangannya ia sangat terkejut. Terlihat di
depannya sebuah bayangan yang menyerupai seorang manusia, berjanggut panjang dan berjubah
putih. Lebih terkejut lagi ketika bayangan itu bersuara. Maksudnya agar Ki Tepus Rumput mencari
cincin emas bernama Soca Ludira yang terdapat di bawah pohon jati wangi itu. Bayangan yang
mengaku dirinya bernama Kiai Kantaraga itu mengaku pula eyang dari Ki Tepus Rumput sendiri.
Pesannya bila cincintelah ditemukan agar segera serahkan kepada Sultan Pajang. Ki Tepus Rumput
menjadi bingung dan heran. Semula suara bayangan tadi dianggap tidak masuk akal, terdesak oleh
perasaan bingung, ia berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu-batu yang terdapat di
sekitar pohon jati. Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi
denganmenggunakan kapur sirih. Tempat dimana batu-batu itu dikumpulkan, sampai sekarang
dikenal dengan desa Bata Putih. Setelah lama dicarinya, akhirnya cincin itu berhasil ditemukan juga.
Segera Ki Tepus Rumput meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Pajang.
Tidak diduga semula,, cincinini yang menemukan ternyata Ki Tepus Rumput salah seorang lelaki as
all gerumbul Pengalasan Kulon yang jauh letaknya dari Pajang. Dengan demikian ia berhak menerima
hadiah seorang selir tercantik dari Sultan Hadiwijaya. Kecuali itu Ki Tepus Rumput diberi pula jabatan
Adipati dipengalasan kulon yang masih termasuk wilayah Kesultanan Pajang. Ia kemudian berganti
nama menjadi Raden Ore-Ore.
Pemberian selir ini juga disertai janji-janjiagar Ki Tepus Rumput atau Raden Ore-Ore jangan dulu
menggaulinya, mengingat selir ini sedang keadaan mengandung empat bulan. Larangan “bergaul” ini
tidak berlaku lagi setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan.
Dengan penyerhan salah seorang selir tercantik sebagai hadiah, berarti menunjukan kebesaran jiwa
yang sungguh –sungguh dari seorang pemimpin yang ucapannya tidak bisa berubah. Atau perkatain
lain “ Sabda Pandita Ratu”.
Dalam perjalanan pulang ke Pengalasan Kulon ia mendapat pengawalan ketat dari prajurit-prajurit
Pajang dibawah pimpinan seorang bernama Puspajaya.
Ditengah hutan mereka ternyata mendapat penghadangan dari seorang bekas pengikut Harya
Penangsan, yang menamakan dirinya Jala Sutera atau Putera Jala. Setelah gagal membujuk
Puspajaya agar menyerahkan Puteri yang dibawanya Jala Sutera kemudian berusaha merampasnya
dengan jalan kekerasan, namun berkat kejujuran dan keberanian Puspajaya, akhirnya penghadang
itu berhasil disingkirkan.
Begitulah setelah mengalami gangguan dan kesulitan, sampailah perjalanan mereka di Pengalasan
Kulon dangan selamat. Mereka lalu membuat pamukiman baru untuk tinggal dan selanjutnya
Pengalasan Kulon dirubah menjadi desa dengan nama ‘Surti”. Konon nama ini berasal dari perkataan
sur puteri yang berarti lungsuran puteri.
Mula-mula penduduk desa Surti sangat sedikit. Hanya terdiri dari beberapa orang saja. Belakangan
banyak penduduk lain desa berdatangan kesana. Mereka hidup bertani dan kemudian menetap di
desa yang baru dibuka itu. Dengan keadaan desa Surti semakin lama semakin ramai, berkat
pembangunan yang dilaksanakan oleh rakyatnya dengan bantuan prajurit-prajurit Pajang.
Dalam perkawinannya dengan Puteri Keling, Adipati Onje tidak menurunkan anak. Sedangkan
dengan Rara Pakuwati (Puteri Medang) ia menurunkan dua dua orang putera dan seorang puuteri
masing-masing : Raden Mangunjaya atau Raden Mangunegoro, Raden Citrakesuma dan yang paling
bungsu adalah Rara Banowati. Yang sulung meninggalkan nama bekas desa Mangunegara, sekarang
termasuk Kec. Mrebet, Purbalingga. Banowati kawin dengan seorang Arab bernama Sayid Abdullah
yang kemudian diserahi jabatan penghulu merangkap Imam Masjid Onje.
Putera-Puteri Adipati Onje ini selanjutnya menurunkan lagi anak cucu yang tak terhitung jumlahnya.
Mereka tergolong kaum ningrat keturunan Pajang yang hingga sekarang banyak tersebar di daerah
Purbalingga.
a.
Diatara mereka terdapat pula salah seorang putera Pejajaran bernama Raden Liman Sujana.
Kedatangan Raden Liman Sujana buka untuk menyiarkan agama Islam atau mencari keuntungan
melainkan ia bermaksud mencari nur (cahaya).
Raden Liman Sujana adalah adik kandung Banyak Sasra ayah dari Wargautama II (Bupati Banyumas
pertama). Ia sebenarnya berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Pejajaran. Namun
kedudukan itu ditolak, setelah diketahui Pejajaran sedang menghadapi keruntuhan akibat pengaruh
Islam yang dibawa oleh Yusuf Maulana dari Banten. Karenanyaia lalu meninggalkan Pejajaran dan
pergi ke Banten bertapa dibawah pohon jambu dilereng Gunung Karang. Dari tempat inilah Raden
Liman Sujana melihat ada nur (cahaya) disebelah timur.
Segera ia beranjak dari pertapaannya dan menuju ke timurdengan menyusuri pulau jawa sebelah
utara. Sesampainya di daerah Tegal, ia membelok ke Selatan dimana nur itu tampak dekat sekali.
Ditengah hutan gunung Munggul bukannya ia menemukan nur yang dicarinya, tetapi ketemu
seorang penderes bernama Ki Kelun yang sedang memanjat pohon enau sambil menggendong
anaknya yang masih kecil, Rubiah Bhekti namanya. Ki Kelun mengaku dari desa Wanakasimpar yang
kemudian berganti nama desa Pamidangan dan sekarang namanya Rajawana.
Raden Liman Sujana dan Syeh Wali Rakhmat kemudian saling berbantahan, masing-masing
mengeluarkan kecakapannya. Tetapi Raden Liman Sujana akhirny amenyerah kalah. Atas
kemenangannya, Syeh Wali Rakhmat secara bijaksana meminta agar Raden Liman Sujana bersedia
menganut agama Islam. Dengan ketulusan hati permintaan itu dapat dipenuhi, bahkan Rubiah Bhekti
yang sudah dewasa agar diambil oleh Syeh Wali Rakhmat sebagai isteri.
Sebagai seorang yang telah menganut Islam, Raden Liman Sujana berganti nama menjadi Syeh
Jambukarang. Nama ini mungkin ada kaitannya, karena I pernah bertapa dibawah pohon jambu
dilereng Gunung Karang Banten. Hutan dimana ia selama bertahun-tahun tinggal, disebut desa
Cahyana. Mereka lalu hijrah dan menetap di desa Rajawana yang hingga sekarang merupakan basis
para santri di daerah Purbalingga. Syeh Jambukarang bermakam di desa Penusupan Purbalingga
yang sekarang dikenal sebagai makam Ardilawet.
Nya Rubiah Bhekti yang bermakam di desa Kramat Kecamatan Karangmoncol, dalam perkawinannya
dengan Syekh Wali Rakhmat menurunkan:
Setelah usia mencapai 45 tahun, Syekh Wali Rakhmat kembali lagi ke Arag dan pimpinan daerah
Rajawana digantikan oleh putera sulungnya taitu Pangeran Mahdum Kusen.
Akhirnya kiai Singayuda menurunkan lagi Nyai Tegalpinang yang diperistri oleh Raden Tumenggung
Dipayuda III, Bupati Pertama Purbalingga.
Penolakan itu ternyata dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Atas kemarahannya, Adipati Onje
lalu mengirimkan pasukan untuk menangkap Pangeran Mahdum Kusen. Tetapi sial, sebelum
memasuki desa Rajawana pasukan Onje keburu kemalaman.
Akhirnya kedatangan pasukan ini dapa diketahui oleh masyarakat Rajawana termasuk Pangeran
Mahdum Kusen sendiri. Oleh karena itu Pangeran Mahdum Kusenmengumpulkan beberapa orang
wanita agar membunyikan rebana diserambi muka. Sedangkan ia sendiri melakukan sholat hajat
didalam kamar.
Bersamaan dengan terdengarnya suara rebana, ribuan ekor tawon gung dengan secara tiba-tiba dan
serempak terbang melabrak prajurit-prajurit Onje yang tengah bersiap-siap bermalam di tepi salah
satu sungai. Karena tak tahan menghadapi binatang-binatang bersengat, terpaksa mereka lari
tungang langgang dan pulang kembali ke Onje.
Pemukulan rebana ini hingga sekarang disebut “BRAEN”, merupakan kesenian khas desa Rajawana
dan sekitarnya.
Pada suatu hari sang Adipati sedang nyenyak tidur. Tiba-tiba dibangunkan oleh suara jeritan seorang
wanita. Karena terkejut, segera ia meloncat menuju gandok belakan. Apa yang dilihatnya? Kedua
orang istrinya (Puteri Keling dan Dewi Medang) sedang berkelahi dengan sengitnya. Melihat
peristiwa itu hilanglah kesabaran sang Adipati. Diambilnya sebuah pedang dan dengan pedang
terhunus kedua istrinya dibabat silih berganti sehingga mereka mati terkapar dilantai.
Peristiwa ini kemudian terdengar juga oleh Adipati Cipaku (mertuanya). Karena kemarahannya,
Adipati Cipaku mengeluarkan pepali (pesan turun temurun). Biar sampai kiamat, orang Onje dilarang
kawin dengan orang Cipaku.
Pretimasa terkenal sebagai seorang penjahat yang sakti mandraguna, sehingga tak seorang pun
diantara penduduk Arenan berani melawannya. Kesaktiannya pernah dibuktikan, pada suatu hari ia
ditangkap secara beramai-ramai kemudian dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Tetapi apa yang
terjadi? Pretimasa ternyata hidup kembali, setelah potongan-potongan mayatnya dimasukan ke
dalam liang kubur. Sungguh sangat menakutkan. Malah secara membabi buta, Pretimasa terus
mengamuk yang menimbulkan lebih banyak korban baik dikalangan anak-anak maupun dewasa,
pokoknyatidak pandang bulu.
Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan yang memuncak dikalangan masyarakat desa Arenan.
Dikerahkan lagi semua penduduk untuk menangkap dan membinasakan penjahat itu. Melihat
keadaan kurang baik, penjahat ulung itu teraksa melarikan diri bersembunyi kedalam sebuah batu
yang dikenal dengan “Watu Wedus”. Barulah disini ia merasakan dirinya aman, karena tak
seorangpun berani memburunya.
Setelah lama para penduduk berjaga disekitar batu itu kemudian seorang diantara mereka ada yang
menemukan siasat. Untuk menangkap Pretimasa tak ada jalan lain kecuali minta bantuan kepada
Nyai Adipati (Isteri Adipati Arenan).
Karena dimintai pertolongan, segera Nai Adipati datang mendekati pintu wedus tersebut, membawa
nasi bersama lauknya yaitu pindang ikan tambara yang menjadi kegemaran Pretimasa.
Dengan tutur kata yan lemah lembut sebagai tipu muslihat, Nyai Adipati memanggil Saudara
kandungnya yang sedang bersembuni didalam watu wedus itu. Semula tidak mau memenuhi
panggilan itu, tetapi sesudah diberi tahu bahwa disekitar batu tersebut tak ada seorangpun, maka
Pretimasa segera keluar dari tempat persembunyiannya. Kedua orang bersaudara itu terus saling
berpelukan sebagai pelepas rasa rindu.
Terdorong oleh rasa letih dan lapar, segera Pretimasamemakan kiriman nasi bersama pindang ikan
tambara dengan lahapnya. Namun sama sekali ia tidak menduga, bahwa ratusan pasang mata
sedang mengintai dari balik gerumbulan disekitarnya. Begitulah tatkala Pretimasa tengah menikmati
nasi dengan pindang ikan tambaranya, tiba-tiba ratusan orang secara serempak menubruknya.
Melihat keadaan berbahaya ini, Pretimasa berusaha menyelamatkan diri masuk kedalam watu
wedus kembali. Tetapi ia gagal, karena lubang watu wedus tertutp diduduki oleh Nyai Adipati.
Akhirnya secara ramai-ramai gembong penjahat itu dihajar orang banyak yang sedang dibakar oleh
kemarahan.
Sesaat sebelum menemui ajalnya, Pretimasa sempat member pesan (pepali), bahwa karena tidak
tahu saudara, maka orang-orang Arenan dikelak kemudian dari keturunannya pada saanya
mempunyai cacad “rimang” (penglihatannya kuran jelas). Selain itu orang-orang Arenan yang
bertempat tinggal di sebelah barat dan timur kali, dilarang makan pindang ikan tambara. Kalau
pesan ini dilanggar menurut Pretimasa, pasti bisa mendatangkan malapetaka. Salah-salah bisa mati,
pesan tersebut memang hingga sekarang masih menjadi kepercayaan turun temurun di sementara
penduduk desa Arenan. Apakah selamanya pesa itu akan ditaati? Tentunya tidak, karena pesan
sorang penjahat.
Maka habislah riwayat seorang penjahat ulung bernama Pretimasa yang pernah membuat onar
penduduk Kadipaten Arenan waktu itu.
Alkisah pada jaman Kadipaten Wirasaba masih berdiri, disebuah padukuhan di sebelah timur desa
Majatengah (sekaang kecamatan Kemangkon) tinggalah seorang lelaki bernama Kiai Gede Buara. Ia
tinggal dengan isterinya, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai
petani. Tegalan yang dikelolanya bertanah subur, sehingga hasil tanamaannya dapat melimpah ruah,
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kecuali isterinya, ikut pula tinggal serumah dengan
Kiai Gede Buara ialah seorang pemuda yang sebenarnya bernama Raden Jaka Ketuhu yang semula
menyamar sebagai seorang peminta-minta. Karena merasa iba, maka pemuda itu lalu disuruh tinggal
dirumah Kiai Gede Buara dipedukuhan itu.
Raden Jaka Ketuhu adalah Putera sulung Raden Beribin memerintahkan kepada Jaka Ketuhu agar
pergi mengembara pergi ke timur serta mengabdi kepada siapa saja yang mau menerimanya.
Sesampainya wilayah Kadipaten Wirasaba ia dapat diterima mengabdikan diri kepada Kiai Gede
Buara.
Setiap hari ia bekerja di tegalan membantu Kiai Gede Buara menanam berbagai macam tanaman
yang bisa menghasilkan termasuk karang kitri.
Tetapi aneh, tiap pulang kerumah, Jaka Ketuhu tidak mau berjalan bersama-sama Kiai Gede Buara. Ia
selalu pulang belakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaandibatin Kiai Gede Buara,
sehingga ia ingin mengetahui apa sebab musababnya.
Pada suatu sore Kiai Gede Buara terpaksa mencoba menyelidikinya. Sementara itu tampaklah
ditelaganya api yang berkobar. Dan apa yang dilihatnya? Raden Jaka Ketuhu tiba-tiba meloncat
masuk kedalam kobaran api tersebut. Tentu saja perbuatan itu membuat hati Kiai Gede Buara
menjadi cemas Namu kecemasan itu tiba-tiba keheranan, karena beberapa saat kemudian Raden
Jaka Ketuhu keluar dari kobaran api , dan tubuhnya tampak lebih bercahaya bagaikan emas dua pulu
karat.
Bekas tegalan yang digarap Kiai Gede Buara itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan “Cibuek”.
Luasnya kurang lebih satu setengah hektar. Diatasny atumbuh 25 dapuran bamboo dari berbagai
macam jenis. Sementara orang masih menganggap , dukuh Cibuek itu sangat keramat. Lokasinya
disebelah timur desa Majatengah kecamatan Kemangkon, dan merupakan tanah perdikan (tanah
yang tidak dipungut pajak).
Dalam usaha mengembangkan agama Islam, mereka mendapat tantangan dan tekanan hebat dari
pemerintah kerajaan Majapahit, yang waktu itu kejayaannya sedang mencapai puncak. Seorang
senopati Majapahit bernama Ki Sutaraga ditugaskan membendung berkembangnya agama Islam
dikawasan lereng Gunung Slamet.
Akibat ancaman tersebut, Akhmad dan Muhammad merasa tidak tahan dan terpaksa melarikan diri
ke bersembunyi kedalam Gua Lawa. Disini kedua kakak beradik itu mendapatkan ilham dari Tuhan
Yang Maha Esa, agar ganti nama demi keselamatan dan meneruskan perjuangan. Ahmad kemudian
ganti nama Taruno, sedangkan Muhamad ganti Taruni. Kedua orang itu lalu keluar dari tempat
persembunyian setelah namanya diganti.
Sementara itu tindakan membendung berkembangnya agama Islam terus berlangsung. Setiap orang
pemeluk agama Islam ditindas. Dijaman transisi itu belum mengenal kebebasan beragama. Dan
dimulut rajalah undang-undang berlaku bagi rakyatnya.
Dalam suasana begini, kedua mubaligh itu terpaksa bergerak dibawah tanah, demi mencapai
perjuangannya. Dan penggantian nama itu adalah merupakan suatu keuntungan sebagai usaha
menghilangkan jejak.
Karena demikian, baik Ki Sutaraga maupun prajurit-prajurit Majapahit lainnya sama sekali tidak bisa
mengenal wajah kedua orang itu. Begitulah mubaligh dijaman peralihan itu mempunyai cara
tersendiri dalam mengatur taktik dan strategi perjuangan.
Suatu hari Ki Sutaraga bertemu dengan dua orang yan mengaku diri bernama Taruno dan Taruni.
Ditanyakanlah kepada kedua orang itu, dimana Akhmad dan Muhammad berada. Taruno dan Taruni
masing-masing mengatakan, bahwa Akhmad dan Muhammad telah mati diterkam harimau.
Mendengar jawaban inisenopati Majapahit itu sangat percaya dan merasa bangga. Sungguh
menggelikan, padahal kedua orang yang ditanyai itu tidak lain adalah Akhmad dan Muhammad
sendiri yang baru keluar dari tempat persembunyiannya.
Kabar tentang musibah ini disampaikan segera Ki Sutaraga kepada prajurit-prajurit Majapahit yang
disambut dengan sorak soari tanda gembira. Sebaliknya mendengar sorak sorai itu Bangas dan
Bangis merasa dirnya dicemooh. Makin keras suara sorak sorai prajurit-prajurit Majapahit terdengar,
semakin panaslah dada Bangas dan Bangis dibakar oleh kemarahan. Tanpa perhitungan untung
ruginya, ditantanglah Ki Sutaraga perang tanding. Tetapi yang ditantang sama sekali tidak
menanggapi. Karenanya hati Bangas dan Bangis menjadi semakin lebih penasaran. Dan dengan dada
penuh kemarahan, tiba-tiba kedua orang itu menyerangnya. Namun Senopati Majapahit itu tak
ambil pusing. Malah Ki Sutaraga tetap berdiri bertolak pinggang sambil berkata, bahwa ulah Bangas
dan Bangis layaknya seperti binatang saja.
Karena kesaktian Senopati Majapahit ini, ucapannya benar-benar menjadi kenyataan. Bangas dan
Bangis secar tiba-tiba berubah wujud menjadi Warak(Badak). Karena inilah, tempat dimana peristiwa
itu hingga sekarang disebut desa “Siwarak” termasuk kecamatan Karangreja.
Lenyapnya Bangas dan Bangis ini adalah merupakan suatu korban perjuangan mengembangkan
agama Islam. Memang logis, setiap perjuangan harus ada pengorbanan. Dan pengorbanan biasanya
tak sia-sia. Meskipun Bangas dan Bangis lenyap, tetapi agama Islam yang diperjuangkan telah
berkembang dengan pesatnya. Bahkan umat Islam yang diperjuangkan telah berkembang dengan
pesatnya. Bahkan Islam didaerah Purbalingga hingga sekarang dapat dikategorikan sebagai golongan
mayoritas. Walaupun demikian, umat Islam tetap bersikap toleran terhadap penganut-penganut
agama lain yang masih termasuk golongan minoritas.
Menitik bentuk tubuh yang gagah perkasa, dan keberanian luar biasa, Kiai Wilah sering unggul dalam
pertempuran. Banyak tanda jasa dan penghargaan yang ia terima.
Suatu hari Adpati Kendadaha menerima surat dari Adipati Bonjok (Banyumas). Maksudnya untuk
melamar Puteri Adipati Kendadaha yang telah menjadi isteri Kiai Wilah. Setelah mengerti isi surat
itu, segera Kiai Wilah menemui Adipati Bonjok yang dianggap menghinanya.
Dalam pertempuran, kuda Adipati Bonjok Roboh kena tombak Kiai Wilah sehingga menyulitkan
tuannya untuk menangkis serangan lawan. Namun demikian, Kiai Wilah sendiri menderita luka
berat, sehingga jalannya pincang.
Sedang merasakan betapa sakit pada sekujur tubuhnya, ia mendengar kabar, bahwa jabatannya
sebagai Panglima perang akan diganti orang lain. Karena merasa malu, secara diam-diam ia
melarikan diri ke Purbalingga bersama anaknya yang bernama Masajeng Lanjar dan menetap di
dukuh Wilangan Desa Klapasawit hingga akhir hayatnya.
Makam Kiai Wilah ini tidak jauh dari Makam Masajeng Lanjar. Berdekatan dengan makam Masajeng
Lanjar terdapat makam Kiai Yudantaka, kakak dari Kiai Arsantaka.
Tak seorangpun diantara rakyat Timbang yang mengerti dari mana asal usul Kiai Narasoma ini.
menurut legenda, nama Narasoma berasal dari perkataan Nara = Orang, Soma atau Suma = Gemar
bertapa. Jadi artinya orang yang gemar bertapa.
Sesaat hidangan dikeluarkan, suasan tiba-tiba menjadi kacau balau. Pertunjukan dihentikan, Adipati
Onje marah-marah, menuduh Kiai Narasoma berusaha membunuhnya dengan jalan membubuhkan
racun dalam hidangan yang disuguhkan kepadanya. Belakangan diketahui, dalam nasi yang
dihidangkan terdapat bintik-bintik hitam yang ternyata nasi beras hitam.
Namun dengan kerendahan hati Kiai Narasoma tidak mengakuinya, dan merasa tidak akan berbuat
jahat terhadap atasannya.
Paginya Kiai Narasoma memanggil semua sanak familinya, untuk diberi pesan. Pesannya, orang-
orang Timbang dilarang sampai turun temurun nanggap wayang kulit.
Larangan itu juga dahulu berlaku bagi masyarakat desa-desa tersebut, diatas yang menjadi
kekuasaannya. desa-desa yang kena larangan disebut "Bumi Keputihan".
Makam Kiai Narasoma terletak didukuh Pritgantil Purbalingga Wetan dan dikenal dengan nama
Makam Narasoma.
BABAD PURBALINGGA (19) : PERANG JENAR ATAU PERANG MANGKUBUMEN
Pangeran Mangkubuni atau Pangeran Kabanaran adalah adik Sunan Pakubuwana II. Sunan
Pakubuwana II pernah berjanji akan menyerahkan sebidang tanah kepada Pangeran Mangkubumi,
apabila Pangeran Mangkubumi dapat mendudukan Mas Said. Tetapi janji itu tak pernah ditepati.
Akibatnya timbul perselisihan antara Pakubuwana II disatu pihak dengan Pangeran Mangkubumi dan
Mas Said dilain pihak. Belanda ikut campur tangan.
Ketika Pangeran Mangkubumen mulai berkobar, tahun 1749 Sunan Pakubuwono wafat. Sebelum
wafat, almarhum sempat menitipkan kerajaan Mataram kepada Kompeni. Kemudian kompeni
mengangkat Putera Sunan Pakubuwono II menjadi raja Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwono
III, atau Kanjeng Sunan Pakubuwono Senapati Nglanga Ngabdoerahman Sajidin Panatagama Tata
Pandita Rasaning Boemi, pada hari Senen pagi bulan Sura, Alip 1675 tahun jawa.
Dalam perang Mangkubumen yang terjadi disebelah barat sungai Bogowonto, pasukan Banyumas
dipimpin oleh TumengungYudanegara III (Adipati Banyumas). Sedangkan Dipayuda I, yaitu Ngabehi
Karanglewas yang diangkat oleh Susuhunan Pakubuwana II pada hari Jumat Wage tanggal 10 Maulud
1674 Jimahir atau 28 Pebruari tahun 1749 M dan Kiai Arsantaka bertindak sebagai Komandan
Kesatuan bawahannya. Mereka berpihak pada Pakubuwana III yang mendapat bantuan bantuan dari
kompeni. Pasukan kompeni dibawah pimpinan Majoor dan Kapten Hoetje.
Sementara itu pasukan Mangkubumen dalam meghadapi lawan, telah menggunakan taktik perang
gerilya. Dengan demikian mereka berhasil menjebak serta membinasakan Pakubuwana III dan
kompeni yang berjumlah besar. Majoor de Clerx, Kapten Hoetje dan Dipayuda I pada tanggal 12
Desember 1751(Minggu legi 22 Sura Jumawal 1677 Jawa) tewas dalam pertempuran itu. Jenazah
Dipayuda I hilang. Sedangkan 40 orang serdadu Belanda (kompeni) yang bersembunyi di desa
Ganggang ditawan. Pangeran Kabanaran beristirahat (mesanggrah) di Cengkawak.
Melihat kenyataan ini pembesar-pembesar VOC cemas. Mereka segera membujuk Pangeran
Mangkubumi agar mau berdamai. Bujukan itu ternyata berhasil. Tahun 1755 ditandatangani
perjanjian Gianti yang isinya: Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua. Mataram Barat diserahkan
kepada Pangeran Mangkubumi dan Mataram timur tetap dikuasai Sunan Pakubuwana III.
Kemudian Pangeran Mangkubumi bertahta menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Sebagai patihnyadiangkat Raden Tumenggung Yudanegara III, yang bergelar Kanjeng Raden Adipati
Danureja I. Pengangkatan ini sebenarnya bersifat politis, karena meskipun Tumenggung Yudanegara
III semula dianggap sebagai lawan, namun ia mempunyai pengaruh sangat besar dikalangan
masyarakat, khususnya masyarakat Banyumas. Kerajaan Mataram barat disebut Ngayoyakarta
Hadiningrat yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jogjakarta.
Mas Said masih terus melanjutkan perlawanan. Tahun 1757 ia terpaksa mengadakan perdamaian.
Dlam perjanjian Salatiga ditetapkan, bahwa daerah Mataram Timur (Surakarta) dipecah menjadi dua.
Sebagian tetap menjadi kekuasaan Sunan Pakubuwana III, sebagian lagi diserahkan kepada Mas Said.
Dari perkawinan ini ia menurunkan Kiai Yudantaka, dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka empunyai
kegemaran bertani, ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk
Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.
Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati
Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran
(Kecamatan Bawang, Banjarnegara) lalu diambil anak angkat oleh Kiai Rindik yang semula bernama
Kiai Wanakusuma.
Tahun 1740-1760 Kiai Asantaka mejabat demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa
Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II),
Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.
1. Kiai Arsamenggala,
3. Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,
5. Nyai Pancaprana
Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih
Purbalingga.
Pada akhir hayatnya Kiai Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran tersebut diatas.
Tetapi atas pertimbangan ahli warisnya batu nisan kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen
Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.
Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan
Pagendolan masih dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari,
Purbalingga). Ngabehi Karanglewas adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi
yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak
dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun
1710-1728.
Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung
Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka
merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya.
Dalam pertempuran yang terjasi disebelahbarat sungai Bogowonto, Raden Tumenggung Dipoyudo I
gugur, jenazahnya hilang. Berkat ketekunan dan keberanian Kiai Arsantaka jenazah tersebut berhasil
ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa
Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.
Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III
dengan gelar Tumenggung Dipayuda II sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III
mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsyuda diangkat
menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.
Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas
(tahun 1755-1758). Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Jabatannya dilimpahkan kepada Kiai
Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Maka sampai disinilah keturunan Banyumas dan dimulainya keturunan Kiai Arsantaka yang menjadi
cikal bakal berdirinya Kabupaten Purbalingga.
Atas petunjuk dan bimbingan Kiai Arsantaka, pusat pemerintahan yang semula di Karanglewas
dipindahkan di desa Purbalingga, suatu desa yang dianggap subur dan strategis.
Sejak saat itu Purbalingga sudah lepas dari Banyumas dan berdiri sederajat langsung dibawah
Pemerintahan pusat di Surakarta.
Di Purbalingga tanggal 23 Juli 1759, dibangun alun-alun dan rumah kadipaten serta segala
sesuatunya yang berkaitan dengan pusat Pemerintahan. Menurut perhitungan Kantor Kesantanan
Sidikoro, Baluwerti, Keraton Surakarta,tanggal berdirinya rumah Kadipaten itu adalah jatuh pada hari
Senin Legi 26 Selo tahun Ehe 1684 (tahun jawa).
Bupati pertama Purbalingga adalah Raden Tumenggung Dipayuda III, memerintah tahun 1759-1787.
Dimuka telah diterngkan bahwa Raden Tumenggung Dipayuda III adalah Putera Kiai Arsantaka yang
bernama Kiai Arsayuda. Dari perkawinan dengan puteri R.T Yudanegara III (Padmi) R.T. Dipayuda III
menurunkan:
1. Nyai Citrawangsa,
2. Masajeng Trunawijaya.
Sedangkan dengan Nyai Tegalpinang (Selir) Raden Tumenggung Dipayuda III menurunkan:
Tetapi kenyataannya, kompeni telah memperalat orang-orang pribumi untuk menhadapi lawannya.
Selaku Bupati yang berpihak kepada Belanda, karena Kabupaten Purbalingga dibawah pemerintahan
Surakarta, Raden Tumenggung Bratasudira memerintahkan rakyatnya untuk membuat jagang
(lubang perlindungan berbentuk melingkar) di desa-desa yag menjadi ajang pertempuran itu. Semua
pemuda usia antara 18-30 tahun diwajibkan ikut ambil bagian dalam menghadapi pasukan
Dipopegoro itu.
Bertindak sebagai komandan pasukan Purbalingga ini adalah Raden TARUNAKUSUMA (adik kandung
R.T. Bratasudira). Kecuali bantuan dari kompeni, ia dibantu juga oleh:
6. Orang Cina totok bernama Tho A Tjan dan Gan Tiong Sun yang masing-masing berasal dari
Bayeman dan
Wiradesa.
Tho A Tjan terkenal dengan sebutan A Tjan, sedangkan Gan Tiong Sun dinamakan juga Gentong
Lontong.
Pasukan Diponegoro dipimpin oleh Tubagus Buang asal Banten. Ia pun mendapat bantuan dari :
Kedua belah pihak bertempur mati-matian dan semrawut. Pernah pada suatu malam terjadi
pertempuran dipertigaan jalan. Karena suasan gelap, maka kedua belah pihak berperang secara
membabi buta. Tidak kenal mana kawan dan mana lawan. Akibatnya banyak korban mati penasaran.
Adipati Lanjar melarikan diri. Sabuk (ikat pinggang) yang dipakainya jatuh disuatu tanjakan jalan.
Akhirnya ia ia sendiri jatuh tersungkar (kesumpet) disebuah sungai, hingga menemui ajalnya. Sungai
itu hingga sekarang dinamakan kali Sumpet.
Korban jiwa dikedua belah pihak tidak sedikit jumlahnya. Sebagian besar dikalangan mereka terdiri
dari orang-orang pribumi. Memang tragis, mereka telah menjadi korban akibat politik devide et
impera Belanda yang tak berperikemanusiaan.
Tempat dimana ertempuran semrawut itu terjadi, hingga sekarang dinamakan Gembrungan. Dan
tanjakan dimana sabuk Adipati Lanjar hilang disebut tanjakan Sabuk. Sebagian masyarakat masih
menganggap, bahwa tanjakan Sabuk tersebut merupakan tempat pengalapan (sering terjadi
kecelakaan).
Bersamaan prajurit-prajurit lainnya, Tubagus Buang dalam pertempuran itu pun gugur. Jenazahnya
dimakamkan didesa Kaligondang. Namanya makam BANTENAN. Mungkin nama ini ada kaitannya
karena ia berasal dari Banten. Sementara itu prajurit-prajurit Diponegoro lainnya yang gugur
dimakamkan dipekuburan Priyayi desa Kaligondang.
Selain Adipati Lanjar dipihak Belanda pun kehilangan Gan Tiong Sun yang merupakan prajurit inti.
Makam Gan Tiong Sn disebut pesarehan Gendung Kala Ganaceng. Lokasinya di Blok Biting desa
Kaligondang. Biting dari asal kata beteng, artinya tempat perlindungan dalam perang.
Pertempuran berkahirsetelah ada berita, bahwa Pangeran Biponegoro ditangkap dan diasingka
Belanda. Prajurit-prajurit kedua belah pihak telah terlanjur berantakan. Yan masih hidup mengungsi
atau pulang keasalnya masing-masing. Ki Purwa Suci menetap di desa Selakambang hingga akhir
hayatnya. Makam Ki Purwa Suci di desa Selakambang itu oleh sebagian masyarakat masih diangap
keramat.
Sesuai perang Diponegoro semua prajurit Purbalingga yang selamat dikumpulkan. Mereka diberi
hadiah dan penghargaan sebagai tanda jasa dari Bupati. Tha A Tjan mendapat sebidang tanah
disebelah selatan Bojongsari yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Kutabaru.
PURBALINGGA SESUDAH PERANG BITING
Bulan Nopember 1831 aau Suro 1760, Jenderal De Kock berkoperensi di Sokaraja, dengan para
Adipati, Ngabehi dan Punggawa-Punggawa yang telah berjasa dalam perang. De Kock
mengumumkan, bahwa wilayah Banyumas mulai saat itu sudah sepenuhnya menjadi kekuasaan
Belanda, tidak lagi dibawah pemerintahan Surakarta. Banyumas ditetapkan menjadi suatu
karisidenan dan dibagi lima Wilayah Kabupaten. Para pegawai dan pemberian pangkat kepada
mereka ditetapkan oleh Belanda.
Sebagai Residen pertama Banyumas adalah tuan Stuurler. Kelima Kabupaten tersebut adalah:
3. Kabupaten Purwokerto dengan Bupatinya R.T. Mintareja, putera dari R.A. Bratadiningrat.
Semula Kabupatennya di Ajibarang. Asisten Residennya tuan Varkevisser.
5. Kaupaten Majenang dengan Bupatinya R.T. Prawiranegara (Kota Cilacap belum lahir). Sisten
Residen dirangkap dengan Kabupaten Ajibarang yaitu tuan Varkevisser.
Pengangkatan Adipati oleh Pemerintah Belanda diambilkan hanya dari tedak turun Adipati naluri
system keturunan.
Seperti halnya didaerah lain, Belanda di Purbalinggapun membangun gedung tempat kediaman
Asisten Residen. Letaknya di desa Bancar, sekarang dipergunakan sebagai markas Kodim 0702
Purbalingga. Sedangkan untuk kediaman Bupati, tetap menggunakan rumah Kabupaten semula yan
dibangun oleh Ngabehi Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga tahun 1757-1787.
Sumber : Babad dan Sejarah Purbalingga, Tri Atmo; Pemerintah DATI II Purbalingga; 1984
PERDIKAN CAHYANA
Sugeng PriyadiÀ
1. Peng
antar
agama Islam.
Kidul.
pranata perdikannya.
20.
Allah. Titi.
Bau. Titi.
Demak.
di kademangan Cahyana.
dikan.
sebut.
dung bencana.
cara maknawi.
Cahyana.
Perdikan Cahyana.
Saratiman.
itu.
lokal.
Cahyana.
Cahyana, Purbalingga.
Tegal.
Idheng (Cihideung).
Karang (Cikarang).
yang dikenalnya.
Babad Banyumas versi Raden Oemar-
na.
Agung Demak
Susukan, Banjarnegara).
bendoening Allah.”
dan kedua.
ngan tegak.
7. Penutup
keringan Bedhahan.
DAFTAR PUSTAKA
Kabupaten Purbalingga.
pustakaan Sundanologi.
Purbalingga.
yuban Arsakusuma.
rangmoncol: tp.
Sana Budaya.
Selanegara: stensil.
127.
Bhratara.
Press.
rang Press.