Anda di halaman 1dari 412

ridak diperdagangkan
Untuk umum
J
Milik Departemen P dan K

em a •

Slamet Riyadi
Suwaji

'

.
-)epartemen
....
fTendidikan dan Kebu&clyaan
-
..

PS/Jw/9/SC Milik Dep. P danK


Tidak diperdagangkan

J Alih aksara
SLAMET RIYADI
Alih Bahasa Bebas
SUWAJI

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


PROYEK PENERBITAN BUKU SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
Jakarta 1981 ,



••

..
- •

Diterbitkan oleh
- Proyek Penerbitan Buku 'sastra
Indonesia dan Daerah
Hak pengarang dillndungi ~dang-undang

..


KATA PENGANTAR

Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap


daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-
karya sastra lama, yang pada hakikatnya adalah eagar budaya na-
sional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa
bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan
dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.
Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu
pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya
sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan
ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan
hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya.
Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra
daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra In-
donesia pada umumnya.
Pemeliharaan, pembinaan, dan penggalian sastra daerah jelas
akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina
kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan
pada khususnya.
Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi
pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat
tercipta pula, hila sastra-sastra daerah yang termuat dalam karya-
. karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam
bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini
manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan
rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah itu. Kita
yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya
tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja,
melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa In-
donesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi
sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia.
Sejalan dan seirama dengan pertimbangan terse but di atas, kami
sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Jawa, yang
berasal dari Balai Penelitian Bahasa, Yogyakarta, dengan harapan
semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha men-
ciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya
sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1981
Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah


DAFTARISI

1. Dandanggula, 9 & 117 33. Sinom, 56 & 248


2. Mijil, 11 & 122 34. Pangkur, 59 & 253
3. Pocung,

12 & 126 35. Dandanggula, 62 & 260
4. Kinanti, 13 & 129 36. Asmarandana, 64 & 265
5. Dudukwuluh, 14 & 133 37. Kinanti, 66 & 271
6. Sinom, 15 & 135 38. Dandanggula, 68 & 275
7. Asmaradana, 17 & 139 39. Durma, 70 & 279
8. Pangkur, 18 & 142 40. Asmaradana, 71 & 282
9. Dandanggula, 20 & 148 41. Megatruh, 72 & 285
10. Asmaradana, 21 & 151 42. Dandanggula, 73 & 288
11. Sinom, 23 & 157 43. Sinom, 76 & 294
12. Dandanggula, 25 & 161 44. Pangkur, 77 & 300
13. Megatruh, 27 & 165 45. Durma, 79 & 306
14. Sinom, 28 & 168 46. Asmaradana, 81 & 311
15. Kinanti, 29 & 171 47. Pangkur, 83 & 317
16. Mijil, 31 & 177 48. Dandanggula, 85 & 322
17. Dandanggula, 33 & 180 49. Sinom, 88 & 329
18. Durrna, 34 & 185 SO. Asmaradana, 90 & 334
19. Sinom, 35 & 187 51. Pangkur, 92 & 340
20. Asmaradana, 36 & 190 52. Dandanggula, 94 & 345
21. Pucung, 37 & 192 53. Asmaradana, 97 & 352
22. Asmaradana, 37 & 193 54. Pangkur, 100 & 359
23. Dandanggula, 38 & 196 55. Sinom, 101 & 363
24. Girisa, 39 & 201 56. Dandanggula, 103 & 368
25. Pangkur, 40 & 203 57. Kinanti, 104 & 373
' 26. Dandanggula, 42 & 208 58. Sinom, lOS & 378
27. Kinanti, 45 & 215 59. Asmaradana, 106 & 383
28. Asmaradana, 46 & 220 60. Pangkur, 107 & 388
29. Pangkur, 47 & 223 61. Dandanggula, 108 & 391
30. Sinom , SO & 230 62. Asmaradana, 110 & 397
31. Dandanggula, 52 & 234 63. Megatruh, 111 & 400
32. Asmaradana, 54 & 240 64. Dandanggula, 111 & 403

KATA PENGANTAR -

Urutan cerita Babad Demak I ini disesuaikan dengan urut-


an cerita naskah aslinya. Apabila di sana-sini ada atau terdapat
bagian-bagian cerita yang seolah~lah meloncat-loncat, kiranya
dapat dimaklumi karena naskah asli Babad Demak I ini berben-
tuk tembang. Judul-judul bab yang tertulis di dalam kurung
adalah judul atau nama ternbang, dan tidak mempunyai hubung-
an makna dengan isi cerita di bawahnya. Dituliskannya judul-
judul tembang yang bemomor angka Romawi ini dimaksud-
kan untuk inemudahkan pembandingan antara naskah alih aksa-
ra dan naskah alih bahasa bebas.
Nama tokoh, pelaku, atau tempat disesuaikan dengan na-
ma yang sudah sering terdengar di masyarakat. Misalnya, di da-
lam naskah tr~literasi tertulis nama Sunan Benang, sedangkan
yang tertulis di dalam naskah ini adalah Sunan Bonang sebab
nama ini lebih dikenal di masyarakat. Di samping itu, terdapat
pula di dalam naskah transliterasi beberapa nama yang memang
sengaja dibuat tidak sesuai dengan nama yang semestinya karena
untuk memenuhi aturan-aturan tembang. Nama-nama tersebut
di dalam naskah ini dikembalikan lagi kepada nama yang se-
mestinya itu. Namun demikian, kesalahan dalam pengembalian
nama ini mungkin saja terjadi sebab dasarnya adalah penafsir-
an belaka. Misahiya, Majalangu ditafsirkan sebagai Majapa-
hit, Majalengka berarti juga Majapahit, Tubin ditafsirkan seba-
gai Tuban, dan sebagainya.
Demikianlah beberapa catatan yang perlu diketahui sebe-
lum membaca seluruh isi ringkasan ini.

'

-
..1


I. (Dandanggula)
Babad Demak ini ditulis pada hari Kamis, tanggal 8 Zulkae-
dah, wuku Wugu, windu Adi, tahun Alip 1835 (sara bahning
slireng rat) a tau tahun 1323 Hijrah (guna dhesthi lir daharlil
sasra), dan bert epa tan pula dengan tanggal 5 J anuari 1906. ( ra- . .
sa nir trustheng rupa). Penulisan babad ini atas kehendak sul-
tan Yogyakarta yang ketujuh untuk melanjutkan babad perta-
ma yang telah ditulis sebelumnya. Yang diperintahkannya me-
mimpin pelaksanaan penulisan babad ini ialah Raden Tumeng-
gung. Suryadi,. yaitu putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mang-
kubumi. Kebetulan Raden Tumenggung Suryadi ini juga sebagai
menantu .raja Yogyakarta yang .keenam, sedangkan Pangeran .
Adipati Mangkubumi adalah adik raja Y ogyakarta yang ketujuh
dan juga sebagaj cucu raja yang kelima.
Cerita bq.bad ini dimulai sesudah Prabu Brawijaya meng-
hilang di hutan Panggerit. Sepeninggal Prabu Brawijaya itu, para
sentana dan para prajurit bersedih hati. Hanya putra Prabu Bra-
wijayalah yang mereka harapkan dapat menggantikan kedudu-
kan Prabu Brawijaya menjadi raja, yaitu Raden Angkawijaya.
Dialah yang mereka pandang pantas menjadi raja. Karena se-
• •
jak semula ia memang sudah dicalonkan menjadi raja, maka de-
ngan senang hati semua orang menerima penobatannya. Setelah
dinobatkan menjadi raja, Raden Angkawijaya tetap memakai
nama almarhum ayahnya, Prabu Brawijaya. Namanya sebagai
raj~ terkenal di se!lJ!uh dunia dan di J ~w~ tiada raja l~in . ya~g

menyamamya.
Menghilangnya Prabu Brawijaya di hutan tadi diikuti pula
oleh pCJ,tihnya, yaitu Patih Banteng. Patih Banteng ini mening-
galkan seorang anak laki-laki yang bernama Raden Gajah. Atas
\
kehendak Prabu Brawijaya, raja bam itu, · Raden Gajah diang-
kat ·=m
- -enjadi · patih, menggantikan ayahnya dengan nama Patih
Gajahmada. Ia mendapat tugas memimpin seluruh prajurit Ma-
japahit. Kerajaan Majapahit makin lama makin rarriai, murah
sand~ng pangan, dan aman serta tenteram. Semua rakyat meng-
abdi kepada Prabu Brawijaya dengan perasaan senang. - . -
Pada suatu malam hari Prabu Bra~ijaya be11nimpi kawin

9
dengan putri cantik dari Cempa. Di dalam mimpinya itu seolah-
olah Prabu Brawijaya tidur bersama-sama dengan putri Cempa

itu sebagai suami istri. Karena mimpinya itul~ kemudian Pra- ..
bu Brawijaya jatuh cinta kepada putri Cempa. Raden Arya Pa-
I nular diutusnya pergi menghadap raja Cempa untuk melamar
putrinya. Sesampainya di sana, maksud kedatangannya itu di-
sampaikannya kepada raja Cempa. Meskipun raja Cempa sen-
diri sangat setuju dengan lamaran itu, tetapi ia belum membe-
rikan jawaban dengan terns terang kecuali seolah~lah hanya
ingin m~rendahkan dirinya ~ Di samping itu, ia juga lebih dahulu
ingin menanyai putrinya.
Raja Cempa menemui putrinya di istana. Karena raja Cem-
pa mempunyai dua orang putri, maka putrinya yang tertualah
yang dipanggilnya. Dikatakanlah oleh raja Cempa itu kepada
putrinya bahwa ia dilamar oleh Prabu Brawijaya dari Majapa-
hit. Banyak sekali nasihat yang disampaikan raja Cempa kepa-
da putrinya itu dengan maksud supaya putrinya itu kelak men-
jadi istri raja yang baik. Dalam nasihatnya itu raja Cempa an-
tara lain menyarankan kepada putrinya itu supaya pandai-pan-
dai menempatkan diri, berhati-hati, dapat menyimpan rahasia
laki-laki, dapat membedakan perkataan yang baik dan yang bu-
ruk, melaksanakan dengan senang hati kehendak suaminya, ti-
dak berbuat sekehendak hatinya, berguru kepada suaminya, ti-
. .
dak beranggapan bahwa suami dan istri itu sama, tiqak berla-
gak pandai, dan yang penting pula adalah dapat mengimbangi
keinginan suami dengan keindahan perasaan cinta yang tulus.
Sebagai contoh, raja Cempa menunjukkan seorang putri yang
pada jaman dahulu. menjadi suri teladan bagi para istri, yaitu
Dewi Drupadi, putri Cempalaarja. Ia dikawinkan dengan Danna-
putra, raja Amarta. Ketika Drupadi datang di Amarta, Darma-
putra yang ketika itu berada di keraton tidak menjemputnya.
Drupadi sangat malu karenanya, .dan bahkan ia sampai pingsan.
Setelah siuman kembali, Drupadi oleh Ywang Narada diperin-
tahkan supaya terns saja menghadap dan menyembah Dattna-
putra. Sudah menjadi kelaziman, istri raja mesti datang mengha-
dap dan menyembah suaminya.

10
Atas perintah raja Cempa, ayahnya, sang putri berdandan
baik-baik dan kemudian menghadap ayahnya itu di balai peng-
hadapan. Raden Arya. Panular, utusan dari Majapahlt, oleh raja

Cempa dipanggil menghadap. Di saria raja Cempa menyerahkan
putrinya kepada Raden Arya Panular supaya dibawa ke Maja-
pahlt. Dalam perjalanannya pulang, Raden Arya Panular sing-
gab di Gresik. Untuk sementara, putri Cempa itu ditinggalkan-
nya di Gresik. Atas saran Raden Arya Panular, Prabu Brawija-
ya kemudian berkenan menjemput putri Cempa itu ke Gre-
sik. ,

n. (Mijil)
Sesampainya di Majapahit, sang putri langsung diajaknya
menuju istana. Sang putri telah resmi menjadi istri Prabu Bra-
wijaya dan kem}'dian mendapat gelar Ratu Darawati. .
Beberapa waktu kemudian setelah Ratu Darawati berada
di Majapahit, negara Cempa kedatangan tamu dari Arab, yaitu
Ibrahim, saudara muda Sultan Syarif. Tujuan kepergiannya dari
Arab itu sebenarnya akan mengislamkan seluruh Jawa. Nama-
nya kemudian digantinya dengan Syeh Wall Lanang. Setibanya
di negara Cempa, ia dapat bertemu sendiri dengan raja Cempa.
Atas kehadirannya itu, raja Cempa kemudian memeluk agama
, Islam pula. Syeh Wall Lanang lama tinggal di Cempa, dan bah-
kan ia telah diambil sebagai menantu raja Gempa, dikawinkan
dengan adik Ratu Darawati.
Yang terjadi di Majapahit lain lagi kisahnya. Di sebuah hu-
tan rimba hiduplah dua raksasa, laki-laki dan perempuan, kakak
beradik. Raksasa perempuan sedang gila asmara. Ia sangat ingin
diperistri Prabu Brawijaya. Meskipun dilarang oleh raksasa laki-
laki, kakaknya, ia tetap tidak mau mengurungkan niatnya itu.
Dengan pertolongan Betari Durga, berubahlah wujud raksasa
perempuan itu menjadi seorang wanita yang cantik sekali, hi-
lang sifat-sifat keraksasaannya. Wanita cantik ini kemu~ian meng-
hadap Prabu Brawijaya. Namanya adalah Rara Endang. Demi
melihat Rara Endang, tergiurlah hati Prabu Brawijaya. Akhir-
nya, Rara Endang diperistri oleh Prabu Brawijaya. Beberapa

11

'
..
..
waktu kemudian ia hamil pula. Ketika itu ia mengidam daging
mentah. Karena makan daging mentah itu, seketika kembalilah
perwujudan Rara Endang menjadi raksasa perempuan yang
menakutkan. Dengan perasaan puas, cepat<epat ia kembali la-
gi ke hutan ketika mengetahui Prabu Brawijaya akan membu-
nuhnya.
Berselang beberapa bulan kemudian, rnksasa perempuan
yang kembali ke hutan itu melahirkan seorang anak laki-laki
yang bagus rupanya. Anak laki-laki itu kemudian dikenal dengan
nama Raden Dilah. Setelah dewasa, Raden Dilah ingin menca-
ri ayahnya yang sebenarnya, yaitu Prabu Brawijaya. Walaupun
dihalang-halangi oleh ibu dan pak tuanya, ia tetap bersikeras
· akan mencari ayahnya itu.
Ill. (Pocung)
Ibu Raden Dilah berlinang air matanya karena tidak ber-
hasil menegahkan kehendak anaknya itu. Akhirnya, ia merela-
kan juga kepergian anaknya itu, demikian juga pak tua Raden
Dilah. Berangkatlah Raden Dilah menuju Majapahit. Di sepan-
jang jalan yang dilaluinya banyak sekali wanita yang memper-
hatikannya. Mereka jatuh cinta melihat keelokan rupa Raden
Dilah.
Ketika Raden Dilah tiba di Majapahit, kebetulan ketika
itu Prabu Brawijaya sedang dihadap oleh para hambanya. Atas
perintah Prabu Brawijaya, dengan senang hati Raden Dilah da-
tang menghadap di balai penghadapan seperti orang-<>rang lain-
nya yang sedang menghadap di sana. Sampai lama Prabu Bra-
wijaya memperhatikan Raden Dilah itu, dan hatinya pun mulai
tertarik kepadanya. Oleh karena itu, Raden Dilah yang datang
dengan maksud akan mengabdi itu oleh Prabu Brawijaya diteri-
ma dengan senang hati.
Beberapa waktu kemudian setelah Raden Dilah berada
di Majapahit, Prabu Brawijaya bettnaksud akan pergi berceng-
kerama ke hutan dengan tujuan mencari binatang-binatag hu-
tan. Pada saat itu Raden Dilah, disebut juga Jaka Dilah, mem-
beranikan diri menegahkan kehendak Prabu . Brawijaya itu. Ia

12
,

sendirilah yang menyanggupi akan menggiring binatang-bina-


tang hutan itu ke alun-alun Majapahit. Meskipun jiwanya akan
melayang jika kesanggupannya tidak menjadi kenyataan, Jaka
Dilah tidak takut menghadapi tugas yang tidak mudah itu. Se-
gera ia pergi ke hutan, tempat tinggalnya semula.
Sesampainya di sana, Jaka Dilah bertemu dengan ibu dan
pak tuanya. Dikatakannyalah kepada mereka itu bahwa ia di-
utus oleh Prabu Brawijaya supaya menggiring segala macam
binatang yang berada di hutan. Jika hal ini tidak dapat dilak-
sanakan, Jaka Dilah akan dibunuh oleh Prabu Brawijaya. Tanpa
disadari air mata ibu Jaka Dilah berlinang karena keterangan
J aka Dilah yang seperti itu. Demi anaknya itu, ibu J aka Dilah se-
gera berangkat mengerahkan binatang-binatang hutan yang di- -
maksudkan tadi. Malam hari itu juga binatang-binatang itu telah
.. . . ..
dapat digiring ) oleh Jaka Dilah. Keesokan harinya binatang-
binatang itu tioa di alun-alun Majapahit. Semua orang heran akan
kesanggupan Jaka Dilah menggiring binatang-binatang hutan yang
banyak jumlahnya itu. Prabu Brawijaya sendiri yang sejak tadi
juga memperhatikan kedatangan Jaka Dilah dalam hatinya me-
muji Jaka Dilah. Timbul pula keinginannya memanfaatkan ke-
saktian Jaka Dilah itu untuk memperkuat negara Majapahit.
Karena Jaka Dilah dapat membuktikan ucapannya, maka seka-
rang Prabu Brawijaya tidak marah lagi kepadanya.

IV. (Kinanti)
Binatang-binatang hutan yang sudah berada di alun-alWl
itu oleh Prabu Brawijaya akan dijadikan sasaran perburuan.
Para prajurit diperintahkan · mengepung binatang-binatang itu.
Prabu Brawijaya sendiri dengan pedatinya menerjang ke tengah
alun-alun dan melepaskan panahnya. Karena banyaknya tombak,
panah, ataupun lembing yang datang dari berbagai arah, maka
binatang-binatang hutan yang banyak itu banyak pula yang ma-
ti terbunuh. Yang masih hidup berlindung di bawah pohon be-
ringin kembar. Binatang-binatang yang terus didesak oleh para
prajurit ini segera lari menetjang barisan prajwit yang menge-
pungnya. Para prajwit geger dan cerai-berai karena amukan ha-

13

-

• •

-

rimau dan singa yang masih terhindar dari pembunuhan. Orang-
orang yang memanjat pohon beringin banyak yang jatuh karena
kuatnya goncangan pohon yang mereka panjat itu, dan banyak
pula yang tewas. Hanya dengan keroyokan para prajurit, bina-
tang-binatang buas yang mengamuk itu dapat diatasi, dan bah-
kan semua binatang yang berada di sana telah habis terbunuh.
Sesudah kejadian itu, dalam suatu pertemuan Prabu Bra-
wijaya memutuskan bahwa Jaka Dilah diangkat menjadi adipati
di negara Palembang dengan nama Adipati Arya Damar. Di sam-
ping itu, Jaka Dilah oleh Prabu Brawijaya diangkat sebagai anak-
nya pula. Karena kedudukan barunya itu, Jaka Dilah kemudi-
.~an pergi meninggalkan Majapahit. Dari Majapahit ia menuju
Gresik dan beristirahat pula di sana.
Kepergian Jaka Dilah atau Arya Damar ke Gresik itu kemu-
dian disusul oleh Patih Gajahmada. Kedatangan Patih Gajah-
mada di Gresik itu karena diutus Prabu Brawijaya supaya menye-
rahkan seorang putri Cina kepada Arya Damar. Putri Cina itu
sebenarnya adalah istri muda Prabu Brawijaya sendiri, tetapi
karena Ratu Darawati tidak mau dipettnadukan, maka putri
Cina itu oleh Prabu Brawijaya diberikan kepada Arya Damar
supaya diperistri. Meskipun putri itu sudah mengandung, Arya
Damar menyatakan mau menerimanya dengan senang hati ka-
rena pemberian itu memang atas kehendak Prabu Brawijaya •
sendiri. Setibanya kembali di Majapahit, Patih Gajahmada me-
laporkan hal itu kepada Prabu Brawijaya. Senang sekali _!lati
Prabu Brawijaya karenanya.
Sementara itu Maulana Ibrahim, yang dahulu kawin dengan
putri Cempa, telah mempunyai dua orang anak laki-laki yang
elok-elok rupanya. Masing-masing bernama Raden Rahmat dan
Raden Alip. Keduanya bertnaksud akan pergi ke Majapahit.
Di samping minta pamit kepada ayahnya, sebelum berangkat me-
reka berpamitan pula -kepada raja Cempa. Setelah menerima
nasihat-nasihat raja Cempa itu, mereka segera berangkat berla-
yar ke Majapahit.
V. (Dudukwuluh)
Selama menempuh perjalanan di laut mereka berdua selalu
14
• •
-
memohon syafaat agar petjalanan mereka selamat sampai di
tempat tujuan. Sesuai dengan tujuan petjalanan, di tiap desa
yang mereka singgahi selalu menyebarkan ajaran agama Islam.
Sesampainya di Majapahit, segera mereka mendapat kesempat-
an menghadap Prabu Brawijaya. Di dalam kesempatan itulah Pra-
bu Brawijaya mengerti bahwa Raden Rahmat dan Raden Alip
sebenarnya adalah kemenakan Ratu Darawati sendiri. Kehadiran
mereka berdua di Majapahit mendapat sambutan baik sebab
di samping mereka masih dekat hubungan kekeluargaannya
dengan Ratu Darawati, di sana mereka juga menyebarkan ajar-
an agama Islam.
Lama Raden Rahmat dan Raden Alip berada di Majapa-
hit. Raden Rahmat kemudian oleh Prabu Brawijaya dikawin-
kan dengan Dyah Manila, anak Arya Teja dari Tuban. Raden
Alip dikawink~ dengan sentana Prabu Brawijaya sendiri, dan
oleh Prabu Br4wijaya ia ditempatkan di Gresik. Raden Rahmat
mendapa tempat di Ampelgading dengan nama Sunan Ampel.
Semua orang oleh Prabu Brawijaya diizinkan memeluk aga-
ma Islam meskipun Prabu Brawijaya sendiri belum ingin meme-
luk agama Islam itu.
Makin

lama Ampelgading makin kelihatan maju dan be-
sar. Orang Majapahit banyak yang sudah memeluk agama Is-
. lam yang diajarkan Sunan Ampel di sana. Salah seorang putra
Sunan Ampel sendiri terkenal dan menjadi waliullah. Prabu
Satmata namanya. Karena tempat tinggalnya di Gunung Muria,
ia terkenal pula dengan sebutan Sunan Gunung Muria. Adik-
nya bernama Syeh Benton dan Maulana Iskak. Mereka menjadi
imam di sana pula. Putra Sunan Ampel yang sulung bernama
Sunan Bonang. Sejak semula ia tidak akan kawin selama lamanya.
Zakarnya bahkan telah dipotong dan diciptanya menjadi se-
buah keris, Kalamunyeng namanya. Keris ini menjadi pusaka
yang ampuh dan telah diberikan kepada adiknya, Sunan
Gunung Muria.

VI. (Sinom)
Setelah negaranya jatuh, dengan ketakutan Prabu Daya-

15
...

· ningrat melarikan diri di waktu malam. Ia meninggalkan nega-


ra Pengging hanya dengan seorang putrinya yang keadaannya
menyedihkan karena ibunya sudah meninggal. Mereka berdua
~· melarikan diri · ke sebuah gunung. Di sana Prabu Dayaningrat
kemudian terkenal sebagai seorang pertapa.
Ketika itu putrinya sudah dewasa dan bertambah cantik
pula rupanya. Karena keinginannya mandi di sungai, putri itu
pergi meninggalkan desanya menuju sebuah ujung sungai yang

bettnuara pada sebuah bengawan. Di tempat itulah ia mandi •
dengan senangnya. Secara kebetulan di tempat itu datang pula
seekor buaya putih yang sedang mengembara. Demi melihat
kecantikan putri yang sedang mandi berendam itu, buaya putih
tadi jatuh cinta. Lama buaya putih itu selalu memperhatikan
putri yang sedang mandi itu sehingga hatinya pun makin ter-
giur kepadanya. Ia bertnaksud akan memperistri putri itu.
- Sesaat kemudian buaya putih telah· mengubah dir}nya men-
jadi seorang pemuda yang elok pula rupanya. Di samping itu,
bengawan tempat putri tadi mandi diciptanya menjadi sebuah
pura yang indah. Putri yang sedang asyik mandi tadi terkejut
karena merasa tidak ·berada di dalam air lagi. Terlihat pula ke-
mudian olehnya di dalam pura baru itu terdapat seorang kesa-
tria muda yang elok rupanya. Kesatria muda ini adalah penjel-
maan buaya putih tadi. Tetjadilah kemudian percakapan anta-
ra kesatria muda itu dan Manyanasekar, nama putri tadi. Dalam
kesempatan itulah kesatria muda tadi berhasil membangkit-
• kan nafsu asmara yang luar biasa pada diri Manyanasekar. Tia-
da kuasa lagi Manyanasekar menahan nafsu asmaranya sehingga
ia hanya menyerahkan dirinya dalam pelukan kesatria muda itu
- di tern pat tidur yang indah.
Apa yang tetjadi itu ternyata hanyalah seperti sebuah mimpi
yang indah bagi Manyanasekar. Setelah merasa terpenuhi nafsu as-
maranya, kesatria m~da tadi menghilang dari pandangan Manyana-
sekar. Bersamaan dengan itu hilang pula pura yang indah tadi,
dan terlihatlah bengaw.an yang semula. Tercengang dan menye-
sal Manyanasekar. Ia baru sadar akan kejadian yang baru dialami-
nya itu. Segera ia pulang ke rumahnya.

16

- Waktu terns berjalan. Beberapa bulan kemudian ayah Ma-


• .. nyanasekar mengetahui bahwa Manyanasekar telah mengandung,
tetapi ia tidak mengerti, dengan laki-laki mana anaknya itu me-
ngandung. Atas pertanyaan ayahnya itu, Manyanasekar menga~
takan bahwa kejadian yang menimpa dirinya itu adalah kehen-
dak Tuhan. Kira-kira setelah sembilan bulan mengandung, Ma-
nyanasekar melahirkan seorang anak laki-laki yang bercahaya
menyilaukan. Keanehan lainnya, bayi yang lahir itu seolah-olah
tidak tampak apabila mata yang memandangnya berkedip.
Ayah Manyanasekar malu sekali karena kejadian itu. Ia kemudi-
an pergi meninggalkan anaknya. '
Keadaan Manyanasekar sangat menyedihkan karena ia te-
lah ditinggalkan oleh ibu serta ayahnya dan harus mengasuh anak-
nya pula seorang diri. Untunglah tetangganya banyak yang ber-
kunjung ke ryunahnya untuk ikut berjaga. Berkunjung pula ke
sana tiap mal{tm seseorang yang sudah tua beserta keempat orang
temannya. Hanya karena Manyanasekar telah melanggar pesan
orang tua itu, maka hilanglah kelima orang itu dari pemandangan-
nya. Yang terlihat kemudian hanyalah seekor buaya putih, sua-
minya, yang kemudian kembali lagi ke bengawan setelah mening-
galkan suatu pesan.
..
VII. (Asmaradana)
Sesuai dengan pesan b uaya putih, Manyanasekar membe-
ri nama anaknya itu Jaka Sengara. Selama mengasuh anaknya
Uri, Manyanasekar selalu hidup menderita. Maksudnya, Jaka Se-
ngara akan diabdikan kepada orang lain, tetapi temyata siapa
pun yang menerjmanya tentu jatuh sakit. Mereka tidak kuat
menerima kehadiran Jaka Sengara.
Ketika sudah berumur empat tahun , Jaka Sengara mena-
nyakan ayahnya kepada ibunya. Dari cerita ibunya ini, Jaka Se-
ngara akhirnya mengerti semua perihal ayahnya. Sejak saat itu
Jaka Sengara sengaja hidup dengan menyiksa diri _sehingga ia
tidak tabu ibunya meninggal dunia. Ia kemudian meneruskan
tapanya di Gunung Kendalisada. Rupanya dewa segera mena-
ruh betas kasihan kepadanya. Datanglah kemudian di pertapaan

17

• .. . .... .
-
Jaka Sengara itu seorang jelmaan dewa yang menguasai Gunung
Kendalisada. Namanya adalah Resi Mayangkara. Dari Resi Ma-
yangkara ini Jaka Sengara menerima wejangan yang berupa tiga
buah aji. Sehabis menyampaikan wejangan itu, Resi Mayang-
kara menyarankan supaya Jaka Sengara mengabdikan diri ke-
pada raja Majapahit.
Kebetulan negara Majapahit sedang menghadapi suatu ma-
salah yang belum terpecahkan. Sudah lama raja Bali tidak mau
menghadap Prabu Brawijaya. Rupanya ia bettnaksud akan mem-
bangkang sehingga Prabu Brawijaya sangat marah karenanya.
Namun demikian, Prabu Brawijaya menginginkan agar Bali da-
pat ditaklukkan tidak dengan peperangan meskipun Patih Ga-
jahmada mengusulkan supaya Bali diperangi saja. Dalam keada-
an yang demikian ·inilah Jaka Sengara yang belum lama berada
di Majapahit merasa mendapat kesempatan. Di hadapan Patih
Gajahmada ia mengatakan kesanggupannya menaklukkan Bali.
Oleh Patih Gajahmada pun hal ini segera dilaporkan kepada Pra-
bu Brawijaya.
Jaka Sengara kemudian dipanggil menghadap Prabu Bra-
wijaya. Demi mengetahui Jaka Sengara, Prabu Brawijaya ter-
ingat akan saudaranya di Pengging, yaitu Prabu Dayaningrat,
yang menurut penglihatannya mirip dengan Jaka Sengara itu.
Dihadapan Prabu Brawijaya, Jaka Sengara mengulangi pernyata-
an tentang kesanggupannya menaklukkan Bali. Oleh karena itu,
ia segera diperintahkan berangkat oleh Prabu Brawijaya dengan
diikuti oleh prajurit Pajang yang dipimpin oleh Pancakarya. -
Vlll. (Pangkur) I •

Jaka Sengara yang betjalan mendahului para prajurit Pa- .'


jang telah sampai di tepi samodra. Hatinya masih ragu-ragu akan
meneruskan perjalanannya. Dibacanyalah kemudian aji pem-
berian Resi Mayangkara, yaitu aji Tunggengmaya dan aji ~1un­
dri. Berkat kedua ajinya itu, ia dengan cepat dan dengan mu-
dah sampai di Bali. Tidak berbeda perjalanannya itu dengan per-
jalanan Raden Anoman dahulu ketika diutus gustinya supaya
menemui Dewi Sinta yang berada dalam tempat pemingitan.

18

Raden Anoman dapat mengatasi segala kesulitan yang dihadapi-


nya dan berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik Utusan
seperti itulah yang diinginkan oleh Jaka Sengara.
Kabar yang terdengar di Majapahit selama itu memang
benar bahwa Raja Bali, Dewamambang namanya , telah bersiap-
siap memberangkatkan prajuritnya untuk menyerang Majapa-
hit. Pada saat itulah Jaka Sengara tiba di Bali. Ia datang di sana
sebagai siluman; suaranya dapat terdengar dengan jelas, tetapi
perwujudannya tidak terlihat oleh mata biasa. Raja Dewamam-
bang diancamnya apabila akan meneruskan penyerangannya
ke Majapahit.
Atas permintaan Dewamambang, Jaka Sengara mau me-
nampakkan dirinya setelah Dewamambang betjanji akan me-
nurut kehendaknya, tetapi ternyata Dewamambang menging-
kari janjinya itu. Karena suatu kekhawatiran dalam hatinya, se-
gera Dewa ambang memerintahkan prajuritnya supaya me-
nangkap Jaka Sengara yang baru menampakkan diri itu. Me-
ngetahui keselamatannya terancam, segera pula Jaka Sengara
membaca aji Goramenggala. Terjadilah seketika itu gempa bu-
mi yang luar biasa. Dewamambang beserta prajuritnya jatuh,
menjaqi lumpuh, tidak mampu lagi bergerak. Karena itulah me-
reka semua bertobat dan kemudian menurut kehendak Jaka
Sengara.
Dewamambang beserta prajuritnya diajak Jaka Sengara
menghadap Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesampainya di Blam-
bangan, mereka ini bertemu dengan Tumenggung Pancakarya
yang memang menjemput kedatangan mereka di sana. Senang
hati Tumenggung Pancakarya karena keberhasilan perjalanan
Jaka Sengara. Dari Blambangan mereka bersama-sama mene-
ruskan perjalanan pulang ke Majapahit.
Dengan senang hati Prabu Brawijaya menerima kedatang-
an mereka di Majapahit. Di hadapan Prabu Brawijaya, Jaka Se-
ngara menceritakan perjalanannya sebagai utusan d~ri awal sam-
pai akhir. Pada kesempatan itu pula Dewamambang bercerita
kepada Prabu Brawijaya tentang tingkah laku dan kesaktian
. Jaka Sengara ketika di Bali. Prabu Brawijaya senang hatinya men-

19

I

dengarkan semuanya itu. Akhirnya, Dewarnambang oleh Pra-


bu Brawijaya diampuni semua dosanya. Jaka Sengara diangkat-
nya menjadi adipati Pengging dengan nama Dayaningrat. Di
samping itu, karena kepuasan hatinya, Prabu Brawijaya menye-
rahkan putrinya, Dyah Mandayaresmi, kepada Dayaningrat
supaya dijadikan istrinya. .

IX. (Dandanggula)
Upacara perkawinan antara Dayaningrat dan Dyah Manda-
yaresmi diselenggarakan dengan meriah. Prabu Brawijaya puas
atas perkawinan itu, apalagi kemudian sepasang pengantin barn
tampak hidup rukun dengan penuh kasih sayang. Sebulan se-
telah hari perkawinannya itu, dua sejoli itu dipanggil mengha-
dap Prabu Brawijaya. Di sana Prabu Brawijaya menyampaikan
pesan dan nasihat kepada Dayaningrat serta istrinya sebelurn
mereka ini diperintahkannya meninggalkan Majapahit untuk
kemudian menuju Pengging. Sebagai penguasa di Pengglng, Adi-
pati Dayaningrat menerima wasiat yang berupa keris, tombak,
dan canang Udanarum. Semuanya ini sebenarnya dulu ber-
asal dari Resi Dayaningrat yang menghilang meninggalkan nega-
ranya.
Di samping putrinya yang baru dinikahkan dengan Adi-
p~ti Dayaningrat tersebut, Prabu Brawijaya masih mempunyai
lagi beberapa putra. Putranya yang sulung dengan Ratu Dara-
wati bernama Lembupeteng, tempat tinggalnya di Madura. De-
ngan istrinya yang berasal dari Bagelen, Prabu Brawijaya mem-
punyai seorang putri yang telah menikah pula. Putra Brawija-
ya yang lain adalah Raden J aranpanolih yang telah diberinya
kekuasaan · di Pamekasan. Seorang putrinya lagi ada yang dika-
winkan pula dengan Gawong. Berikutnya adalah Raden Betara
Katong, yaitu Putra Prabu Brawijaya yang berada di Panaraga.
Putra Prabu Brawijaya yang berbeda dengan saudara-saudara-
nya yang lain adalah Raden Gugur. Ia adalah seorang pertapa
di Gunung Lawu, dan di sana ia memetintah bangsa siluman.
Prabu Brawijaya, yaitu Prabu Brawijaya yang telah me-

ninggal dengan cara menghilang dulu itu, mempunyai seorang

20
- ...

menantu di Tuban yakni Adipati Wilatikta. Dengan Adipati


Wilatikta ini Retna Dumilah mempunyai dua orang· anak, laki-
laki dan perempuan. Keduanya sama-sama elok rupanya, teta-
pi berbeda sifatnya. Yang laki-laki, Raden Sahid namanya, rnem-
punyai sifat tidak mau menurut nasihat orang tuanya. Rasa-
wulan, adik perempuannya, senang sekali bertapa. Baik Raden
Sahid maupun Rasawulan belum juga mau kawin meskipun
orang tuanya sudah berkali-kali menganjurkannya.
Pada suatu ketika, dengan tidak menghiraukan anjuran
orang tuanya yang seperti itu, perlahan-lahan Raden Sahid per-
gi ·ke tempat penyabungan ayam. Di sana ia menyabung ayam
dan bertaruh pula, tetapi selalu menderita kalah. Pakaiannya
pun sampai habis pula untuk bertaruh.

X. (Asmar,&.na) •

Untuk menebus kekalahannya, ia kemudian membegal


orang-orang yang lewat di jalan. Tiap menderita kalah dalam
menyabung ayam, ia kembali melakukan perbuatan yang seper-
ti itu dengan tidak takut lagi akan keroyokan orang banyak.
Ia pun sekarang telah meninggalkan pakaian kebesarannya se-
hingga cara berpakaiannya tampak seperti cara berpakaian orang
kebanyakan. Namun demikian, akhirnya karena kesialannya,
ketahuan juga oleh orang banyak, siapa sebenamya ia itu. Ter-
siarlah kemudian bahwa putra adipati Tuban yang sakti itu
menjadi penyamun di jalan-jalan.
Sunan Bonang yang diberi tahu hal itu hanya tersenyum
saja sebab ia sudah mengerti bahwa Raden Sahid itu sebenar-
nya adalah kekasih Tuhan. Hanya karena belum menemui ja-
lan yang benar, Raden Sahid berbuat seperti itu. Namun de-
mikian, Sunan Bonang beserta para pengikutnya akan menco-
ba menggoda Raden Sahid. Sengaja Sunan Bonang berpakaian
yang serba indah dan tnembawa tongkat yang berlapis emas.

Ketika melewati jalan tempat Raden Sahid menunggu mang-
sanya, Sunan Bonang dihentikan pula perjalanannya oleh Ra-
den Sahid. Tongkatnya akan diminta oleh Raden Sahid, tetapi
Sunan Bonang malahan memberi Raden Sahid ganjaran yang

• 21
berupa emas dan intan yang diciptanya dengan menuding ke
arah pohon enau. Sunan Bonang kemudian meneruskan perja-
lanannya. Raden Sahid keheran-heranan menyaksikan keaneh-
an yang baru teijadi itu, dan hatinya pun mulai menyadari akan
adanya kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, Raden Sahid kemu-
dian menyusul peijalanan Sunan Bonang tadi dengan maksud
akan berguru kepadanya.
Ternyata Sunan Bonang mau menerima maksud Raden
Sahid yang demikian itu, tetapi sebagai syaratnya, Raden Sa-
hid harus ikhlas hatinya, tidak mengingkari ucapannya, setia
kepada guru. dan takut kepada Tuhan. Untuk membuktikan
kesanggupannya sebagai orang yang benar-benar ingin berguru,
Raden Sahid harus berani dipendam hidup-hidup oleh Sunan
Bonang selama seratus hari di tengah hutan. Raden Sahid pun·
menerima tawaran ini. Setelah hal itu dilaksanakan, Su~an Bo-
nang meneruskan lagi petjalanannya ke Mekah dan kemudian
· pergi berkeliling dunia. •

Adik Raden Sahid, Rasawulan yang dulu juga mempu-


nyai kisah tersendiri sekarang sedang bertapa dengan cara hi-
dup bagaikan kijang di hutan Glagahwangi. Pada suatu saat sam-
pailah Rasawulan di sebuah kolam yang jernih sekali airnya.
Di atas kolam itu tumbuh sebuah pohon yang sangat besar. Ke-
betulan di atas salah satu dahannya ada seorang yang tepekur,

sedang bertapa. Namanya adalah Syeh Maulana Magribi. Tu-
juannya bertapa adalah ingin menjadi imam di hutan Bintara
dengan Demak yang nanti dijadikan tempat masjidnya. Pada
saat Rasawulan mandi di kolam itu, Syeh Maulana Magribi diam
diam memperhatikannya dari atas. Melihat kecantikan Rasa-
wulan, tergiur pula hatinya. Sebaliknya, Rasawulan pun me-
rasa jatuh cinta kepada bayang-bayang Syeh Maulana Magribi
yang dilihatnya dalam air kolam itu. Hanya dengan cara ber-
temu pandang antara keduanya, akhirnya Rasawulan mengan-
dung.
Menyadari akan kehamilannya itu, Rasawulan merasa malu
dan sakit hati pula. Yang dituduh menghamilinya tidak ada
lain kecuali Syeh Mau1ana Magribi tadi. Terkejut Syeh Maula-

22

na Magribi menerima tuduhan itu. Zakarnya kemudian dicabut


dan diciptanya menjadi sebuah senj ata untuk membuktikan
kepada Rasawulan bahwa dirinya tidak seperti orang laki-laki
yang lainnya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Rasawulan
mengandung karena kehendak Tuhan.
Mendengar keterangan Syeh Maulana Magribi itu, Rasa-
wulan dapat memahami bahwa Syeh Maulana Magribi sebenar-
nya tidak bersalah. Yang bersalah adalah dirinya sendiri kare- •
na telah menuduhnya. Oleh karena itu, ia kemudian minta maaf
kepada Syeh Maulana Magribi atas tuduhannya itu. Bayi yang
dikandungnya pun atas bantuan Syeh Maulana Magribi dapat
lahir tidak melalui jalan -semestinya. Bagaikan anak kijang, bayi -
itu meloncat ke luar dari lambung Rasawulan. Bayi laki-laki yang
elok rupanya itu jatuh di pangkuan Maulana Magribi. Sebagai
pertanda ba)tWa bayi itu adalah kekasih Tuhan, ia tidak ber-
tembuni se6ab tembuninya sudah tanggal di surga. Oleh Maula-
na Magribi bayi itu diberi nama Kidangtlangkas. Rasawulan ·
menyetujuinya, t etapi ia kemudian pergi dengan maksud tidak
mau mengasuh anaknya itu. Sementara Maulana Magribilah
yang terpaksa harus mengasuhnya , tetapi sebagai seorang per-
tapa, i_a tidak suka mengasuh bayi itu. Itulah sebabnya ia ke-
mudian pergi ke desa Tarub.

·· XI. (Sinom) ...

Di desa Tarub hiduplah seorang janda muda. Namanya


Nyai Randa Tarub atau disebut Nyai Randa saja. Suaminya ·
telah meninggal dunia, demikian juga semua anaknya. Pada
suatu malam hari Nyai Randa ketika mengadar bettnimpi di-
temui suaminya. Di dalam mimpinya itu Nyai Randa oleh sua-
minya diberi seekor anak gajah supaya dipeliharanya baik-baik.
Ketika ia terbangun terlihatlah olehnya benda bercahaya yang
jatuh tepat di atas kubur suaminya. Keesokan harinya Nyai
Randa datang di kubur suaminya itu dan bertemulah dengan
Syeh Maulana Magribi yang membawa seorang bayi tadi. Bayi
itu akhirnya oleh Maulana Magribi diserahkan kepada Nyai Ran-
da beserta tongkat bambu dan sangkur. Di dalam asuhan Nyai
23

Randa, bayi itu tidak pemah rewel dan menangis. Keistimewa-


annya lagi, ia tidak mau disusui kecuali hanya mengisap ibu
j ari tangannya sendiri. ·
Sementara itu, Raden Sahid yang beberapa waktu yang
lalu dikubur hidup-hidup oleh Sunan Bonang masih tetap her-
ada di tempat penguburannya, di tengah hutan. Beberapa kali
ia di sana bertemu dengan utusan Tuhan. Di samping itu, ayah
dan kakeknya pun pernah menjumpainya di sana. Semuanya
memberikan isyarat bahwa tujuan Raden Sahid akan tercapai.
Yang terakhir, Kanjeng Nabi sendiri yang datang menemui Ra-
den Sahid. Banyak keanehan yang dilihat Raden Sahid karena
kedatangan Kanjeng Nabi itu. Sebelum pergi meninggalkan Ra-
den Sahid, Kanjeng Nabi juga mengatakan bahwa tujuan Raden
Sahid telah tercapai. Anugerah sejati yang dikehendakinya be-
nar-benar telah diterimanya. Lemas badan Raden Sahit ketika
Kanjeng Nabi meninggalkannya, tetapi Raden Sahid tetap sa-
dar bahwa dirinya masih berada di liang lahat.
Pada saat itu perjalanan Sunan Bonang telah sampai di
tempat penguburan Raden Sahid. Sunan Bonang memerintah-
kan para pengikutnya supaya menggali kubur Raden Sahid.
Sangat hati-hati mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Raden
Sahid yang keadaannya seperti mayat itu kemudian mereka
bawa ke pertapaan Sunan Bonang. Di sana Sunan Bonang da-
pat membuat Raden Sahid siwnan. Baik Sunan Bonang maupun
Raden Sahid merasa senang hatinya karena semua peristiwa yang
- •
terjadi telah berakhir dengan baik. Oleh Suna·n Bonang, Ra-··
den Sahid tidak hanya dianggap sebagai saudara saja, tetapi ke-
mudian dinikahkannya pula dengan adiknya dan diberinya na-
ma Syeh Melaya.
Di Majapahit sudah agak lama Prabu Brawijaya menderi-
ta sakit raja singa. Ia sedih sekali karenanya. Untuk mengatasi
penderitaannya ini, Prabu Brawijaya bertnaksud mengadar, ti-
dur di luar rumah. Pada waktu tidur di luar inilah Prabu Brawi-
jaya mendengar suara orang berkata kepadanya. Menurut sua-
ra itu, sakit Prabu Brawijaya akan sembuh jika Prabu Brawijaya
mau sanggama dengan seorang putri Wandan _yang mempunyai

24
\

ciri khusus yaitu cahayanya kuning. Keesokan harinya, karena


mimpinya itu, Prabu Brawijaya teringat akan seorang wanita
boyongan dari Wandan yang mempunyai ciri seperti itu. Dengan
tidak ragu-ragu lagi Prabu Brawijaya melaksanakan pesan yang
telah diterimanya di dalam mimpinya itu. Sakit Prabu Brawij a-
ya ternyata dapat sembuh karenanya. Akhirnya, putri Wandan
yang sebenarnya juga sebagai penjelmaan Dewi Srinadi itu oleh
Prabu Brawijaya diangkat menjadi permaisurinya, sejajar dengan
Ratu Darawati dari negara Campa. Nama yang diberikan kepa-
danya adalah Ratu Kemayawati.
Secara kebetulan kedua orang istri Prabu Brawijaya itu
kemudian mengandung bersama-sama, dan saat melahirkannya
pun bersamaan pula. Ratu Darawati melahlrkan putra laki-laki
yang elok rupanya dan diberinya nama Raden Bondanserati.
Putra Ratu Kemayawati juga laki-laki dan elok pula rupanya,
tetapi Ratu Ken:myawati sendiri meninggal karena melahirkan
itu. Bayinya oleh Prabu Brawijaya kemudian diserahkan ke-
pada seorang petani, Juru Sawah namanya, supaya diaku se-
bagai anaknya sendiri dan sekali-kali tidak boleh diberit akan
bahwa bayi itu adalah putra Prabu Brawijaya.
XII. (Dandanggula)

Kesedihan Prabu Brawijaya karena meninggalnya Ratu


Kemayawati belum juga terobati, sampai-sampai ia bertnimpi
bertemu dengan Ratu Kemayawati itu. Karena Ratu Kemaya-
wati selalu terbayang-bayang di dalam ingatannya, Prabu Bra-
wijaya bettnaksud akan menggambar Ratu Kemayawati. Pe-
ketjaan itu diserahkannya kepada seorang juru sungging yang
sangat terkenal kepandaiannya, yaitu Prabakara. Tidak makan
waktu terlalu lama, gambar atau lukisan yang dikehendaki Prabu
Brawijaya dapat diselesaikan dengan baik oleh Prabakara. Se-
nang sekali Prabu Brawijaya melihat lukisan itu. Berkali-kali
ia memuji lukisan yang dilihatnya itu, tetapi kemudian terlihat
olehnya adanya tetesan tinta yang menodai lukisan ·itu. Oleh
karena itu, Prabu Brawijaya sangat marah kepada Prabakara.
Sebagai orang yang dianggap bersalah, Prabakara menerima tu-
gas yang berat sebagai hukumannya, yaitu harus dapat meng-
25
I

garnbar sernua yang terdapat di laut.


Bagaimanapun juga, Prabakara bertekad akan rnelaksana-
kan perintah rajanya itu sebab rninta rnaaf pun ia tidak men-
dapat pengarnpunan dari Prabu Brawijaya. Sebelum rnemulai
peketjaannya itu, Prabakara minta supaya disediakan bola kaca
yang besar, rantai yang panjang, dan kertas berkodi-kodi. Selama
kurang lebih tiga bulan Prabakara berada di dalam laut untuk me-
nyelesaikan tugasnya itu. Sesampainya kernbali di atas daratan,
Prabakara langsung rnenuju puri, tetapi temyata Prabu Brawija-
ya tidak berkenan rnenernuinya. Hingga garnbar yang telah dise-
lesaikan Prabakara yang dirnintanya. Meskipun sudah senang hati
nya rnelihat gambar ikan yang bertnacam-rnacam, Prabu Bra-
wijaya rnasih dikecewakan oleh adanya sekor ikan besar yang
hanya tarnpak rnukanya saja. Karena kekecewaannya itu, ma-
ka Prabu Brawijaya rnernerintahkan lagi supaya Prabakara meng-
garnbar sernua benda yang terlihat di langit. Kali ini, jika Pra-
bakara tidak sanggup rnelaksanakannya, akan dibunuh.
Prabakara semula menyatakan keberatannya ketika me-
nerima perintah baru itu, tetapi karena ancaman yang berat
pula dari Prabu Brawijaya, ia dengan perasaan berserah me-
nyanggupinya. Sebelumnya, pettnintaan yang diajukan oleh Pra ·
bakara ~dalah seorang ternan, layang-layang bewar, tali yang
panjang, dan lentera yang nanti dipasang pada layang-layang
itu. Dengan senang hati Prabu Brawijaya memenuhi pertnintaan
Prabakara itu. Seorang ternan yang akan bersama-sama melak-
sanakkan tugas itu dengan Prabakara adalah Purbengkaia. Ia
juga sebagai seorang juru sungging.
Setelah semuanya siap, layang-layang besar itu mulai di-
terbangkan. Sesarnpainya di tengah-tengah angkasa, kedua orang
juru sungging itu rnulai rnenggarnbar sernua benda angkasa yang
terlihat dari layang-layangnya. Tali layang-layang terus mene-
rus diulur dari bawah sehingga makin lama layang-layang raksa-
sa itu makin tinggi terbangnya. Bersamaan dengan datangnya
senja layang-layang itu tenggelam di dalam langit, tetapi tali-
.. nya terns mulur. Walaupun demikian, akhirnya pada malam
itu juga tali layang-layang telah terulur habis . .
'
26

Keesokan harinya Prabu Brawijaya memeriksa layang-la-


yang itu. Dari bawah layang-layang sudah tidak terlihat lagi.
Pada saat itu pula Prabu Brawijaya memerintahkan supaya ta-
li layang-layang itu diputus .

Xlll. (Megatruh)
Terkejutlah kedua orangjuru sungging yang masih di atas
demi merasakan layang-layangnya terbawa angin. Mereka sudah
merasa akan menemui ajalnya karena kehendak Prabu Brawi-
jaya. Layang-layang terus membubung mengikuti arab angin.
Prabakara dan Purbengkara menangis. Yang dipikirkannya ha-
nyalah anak dan istrinya. Mengetahui nasib malang yang me-
nimpa kedua orang juru sungging itu, Dewa Citragota segera
mengejar layang-layang raksasa itu. Setelah terkejar, layang-
layang itu segera__Jlltangkap dan kemudian dibawanya ke ka-
yangan. Sesampainya di kayangan, Dewa Citragota mene-
rangkan kepada Prabakara dan Purbengkara masalah perbuat-
an manusia di dunia, baik perbua~an yang betul maupun per-
buatan yang salah. Berdasarkan catatannya, Dewa Citragota
menilai bahwa kedua orang juru sungging yang malang itu te-
lah mengabdi dan melaksanakan perintah rajanya dengan sung-
guh-sungguh. Oleh Dewa Citargota, Pra}?akara dan Purbengkara
kemudian diajak melihat beberapa benda kayangan yang terti-
hat di sana.
Rupanya kedua orang juru sungging itu telah merasa se-
nang tinggal di kayangan atau di surga. Ketika Dewa Citrago-
ta memerintahkannya supaya kembali ke dunia, mereka ber-
dua menyampaikan keinginannya tetap tinggal di surga. Dengan
agak marah ·o ewa Citragota segera memegang dan kemudian
melemparkan kedua orang itu ke bawah. Bagaikan kilat me-
reka meluncur ke bawah dan jatuh sendiri-sendiri di tempat
yang terpisah. Prabakara jatuh lebih dulu di negara Sepanyol,
sedangkan Purbengkara yang lebih kemudian jatuh di· negara
Cina. Sifat kemanusiaan mereka sekarang telah hilang, dan ke-
kuasaannya pun melebihi jin. Tanah Jawa dan negara seberang
telah mereka kuasai.
27


..

Teringat akan kisah Prabakara dan Purbengkara itu, Pra-


bu Brawijaya mulai menyadari bahwa mereka berdua. tidak
bersalah tetapi telah dijerumuskannya supaya menemui ajal-
. nya. Prabu Brawijaya menyesali perbuatannya itu. Oleh ka-
rena itu, ia memerintahkan Patih Gajahmada supaya nasib ahli
waris kedua orang juru sungging yang dianggapnya telah tewas
itu diperhatikan.

XIV . . (Sinom)
Nyai Randa di Tarub senang sekali mengasuh anaknya yang
dahulu diperolehnya dari Syeh Maulana Magribi. Anaknya itu
sekarang telah besar dan terkenal dengan nama Jaka Tarub.
Kegemaran Jaka Tarub adalah berkelana di hutan. Karena ke-
gemarannya itu, ia sering meninggalkan dan bahkan melupakan
rumahnya. Ibunya inenjadi sedih karenanya. Maksud ibunya,
Jaka Tarub supaya tidak usah pergi ke hutan sebab dapat mem-
bahayakan keselamatan dirinya. Di samping itu, di rumah te-
\ lah tersedia barang-b~rang yang menyenangkan hati. Dan lagi,
apa pun yang diminta Jaka Tarub akan dipenuhi oleh Nyai
Randa asalkan Jaka Tarub juga mau menurut kehendak ibu-
nya itu. Lebih daripada itu, Nyai Randa juga sangat mengingin-
kan supaya Jaka Tarub mau segera kawin, tetapi rupanya Jaka
Tarub sama sekali belum berniat kawin.
Pagi-pagi Jaka Tarub pergi lagi ke hutan dengan memba-
wa sumpitan sangkur. Dengan berani ia masuk hutan seorang
diri. Sesampainya di sana, ia mendengar ada seekor burung per-
kutut sedang berbunyi. Karena tertarik akan keindahan bu-
-
nyi burung itu, Jaka Tarub kemudian mendekatinya. Ke ma-
na pun perginya burung itu, Jaka Tarub selalu mengikutinya.
Sampailah ia kemudian di sebuah telaga yang jernih sekali air-
nya. Kebetulan di sana ada lima orang bidadari yang sedang
mandi. Kelima orang bidadari dari kayangan itu adalah Ga-
gattnayang, Mayangsari, Surendra, Sukarsih, dan Nawangwu-
lan. Sebenarnya tujuan Jaka Tarub sampai di tempat itu hanya
ingin mengejar seekor burung perkutut yang selalu menggoda
hatinya, t etapi ternyata burung itu tidak terlihat lagi. Bunyi-
28

nya pun tidak terdengar pula. Yang terdengar hanyalah suara


wanita bersenda gurau di telaga. Oleh karena itu, J aka Tarub
mulai mengalihkan perhatiannya, akan mengintip mereka yang
sedang mandi di telaga itu. Dengan cara mengindik ia berha-
sil mendekati telaga itu dan bersembunyi di batik sebuah po-
hon. Dari tempat persembunyiannya ini ia dapat melihat de-
ngan jelas para bidadari yang sedang mandi di telaga.
Lama sekali Jaka Tarub berada di sana. Melihat kecan-
tikan para bidadari itu, hati J aka Tarub menjadi tidak ke-
ruan. Bagaikan tidak dapat hidup lagi rasanya jika ia tidak mem-
peristri salah seorang bidadari yang diintipny.a itu. Karena ti-
dal< dapat lagi rasanya menahan diri, Jaka Tarub membera-
nikan diri mengambil pakaian para bidadari yang tertumpuk
di tepi telaga. Kebetulan yang terambil adalah pakaian Nawang-
wulan. Pakaian gu:ian itu dibawanya pulang dan disembunyi-
kannya di lumbung. Seorang pun tidak ada yang mengetahui
perbuatan Jaka Tarub itu. Segera Jaka Tarub kembali lagi ke
telaga dengan membawa pakaian l~in yang diambilnya dari ru-
mahnya sendiri.

XV. (Kinanti)
Tidak lama kemudian Jaka Tarub telah tiba kembali di
tempat persembunyiannya semula. Pada saat itulah para bida-
dari yang masih asyik mandi di telaga merasa mencium bau
manusia. Cepat-cepat mereka, kecuali Nawangwulan, naik ke
darat dan segera terbang ke angkasa. Karena pakaiannya hilang,
Nawangwulan tidak . lagi dapat terbang seperti teman-teman- •

nya. Terpaksa ia tetap berendam di telaga. Hatinya sedib. Yang


diharapkan hanyalal). datangnya pertolongan. Dari mana pun
datangnya pertolongan akan diterimanya dengan senang ha-
ti.
Mengetahui kesedihan dan kebingungan Nawangwulan
itu, Jaka Tarub dengan mendeham akhirnya dapat membtika
percakapan dengan Nawangwulan. Tujuannya akan menolong
Nawangwulan, tetapi dengan maksud pula supaya dapat mem-
peristrinya. Dalam percakapannya itu, sebenarnya yang diha-

29
rapkan Nawangwulan dari Jaka Tarub adalah pertolongannya.
Setiap kali pembicaraan Jaka Tarub menyinggung rnasalah ikat-
an suami istri, Nawangwulan selalu menghindarinya. Jaka Ta-
rub merasa agak kecewa atas sikap Nawangwulan yang demi-
kian itu. Namun demikian, Jaka Tarub terns berusaha mende-
sak hati Nawangwulan supaya terbuka baginya. Setel~ lama
berpikir dan mempertirnbangkan masak-masak maksud Jaka
Tarub , Nawangwulan kemudian bersedia menerirna kehendak
Jaka Tarub . itu. Mendengar kesanggupan Nawangwulan, Jaka
Tarub· kemudian menyerahkan pakaian yang dibawanya dan
rumah kepada Nawangwulan. Dengan senang hati Jaka Tarub
membawa Nawangwulan ke desa Tarub. Di sepanjang perjalan-
an mereka berdua selalu bersenang-senang seperti halnya ke-
tika .Arjuna pulang bersama-sama dengan Dewi Supraba sete-
lah berhasil dalarn peperangannya melawan N ewata.
Nyai Randa, ibu Jaka Tarub, senang sekali hatinya mene-
rima kedatangan anaknya yang telah menikah dengan Nawahg-
wulan yang cantik itu. Di sana Nawangwulan selalu dihibur ha-
tinya oleh Jaka Tarub supaya senang, tetapi agaknya ia masih
tergoda hatinya atas nasib yang menimpa dirinya. Walaupun
demikian, pada hari-hari berikutnya pasangan baru itu berha-
sil membangun rumah tangga di dalam kerukunan dan keda-
maian. Beberapa waktu kemudian mereka dikaruniai seorang
anak perempuan yang elok pula rupanya. Namanya adalah Na-·
wangsih, mirip dengan nama ibunya. -
Jaka Tarub sayang sekali kepada anaknya itu. Anehnya,
ketika kira-kira baru berumur tiga bulan, bayi itu menangis
sejadi-jadinya. Oleh Jaka Tarub bayi itu kemudian disusul-
kan kepada ibunya yang kebetulan pada saat itu sedang me-
ngukus nasi di dapur. Karena tidak ada orang lain, Nawang-
wulan bertnaksud akan memanggil pembantunya ke telaga sam-
bil menggendong anaknya itu. Jaka Tarub dimintaQya supaya
menunggu~ nasi yang belurn masak di dapur, tetapi dengan pe-
san supaya tidak berbuat sesuatu yang tidak semestinya. Mung-
kin sudah menjadi kehendak Tuhan, Jaka Tarub lupa akan pe-
san istrinya. Dengan perlahan-lahan tutup kukusan dibukanya.

30
\

Heranlah Jaka Tarub melihat kukusan yang temyata hanya


berisi sebulir padi itu. Tutup kukusan segera dikembalikannya
seperti semula.
Nawangwulan yang ketika itu merasa berada di telaga me-
rasa ada sesuatu yang tidak mengenakkan hatinya. Cepat-ce- •

pat ia pulang ke rumah. Tahulah kemudian Nawangwulan bahwa


sebulir padi yang dikukusnya masih tetap utuh seperti keada-
annya semula. Ia merasa telah terbongkar rahasia kesaktian-
nya. Dengan marah ia menuduh Jaka Tarub telah berbuat se-
suatu yang tidak semestinya.
Karena tidak lagi dapat mengukus nasi seperti caranya
sendiri, maka terpaksa Nawangwulan harus mengukus nasi se-
perti yang dHakukan orang-orang pada umumnya. Dengan cara
seperti ini beras yang dibutuhkannya banyak sekali. Padi se-
lumbung benar-benar hampir habis, tetapi pada saat inilah Na-
wangwulari menemukan kembali baju antakesumanya di him-
bung itu. Dengan bajunya itulah ia dapat terbang. Ia kembali
ke kayangan dengan meninggalkan suami dan anaknya yang
masih kecil. Jaka Tarub tidak berhasil mencegah kepergian
Nawangwulan, tetapi atas pettnintaannya, Nawangwulan masih
bersedia menyusui Nawangsih dengan cara yang ditentukan
olehnya.
Sesampainya kembali di kayangan, Nawangwulan berjum-
pa dengan para bidadari lainnya, tetapi mereka segera meno-
lak kehadiran Nawangwulan. Nawangwulan tidak diperboleh-
kan lagi tiJ!ggal di sana sebab telah menikah dengan seorang
manusia dan telah beranak pula. Di samping itu, tidak mung-
kin pula ia kembali · ke dunia. Nawangwulan selau tetntangu-
mangu di angkasa karena kesedihannya.

XVI. (Mijil)
Kesedihan hati yang mendalam tidak hanya diderita oleh
Nawangwulan. Yang ditinggalkannya pun sama pula penderita-
an hatinya. Jaka Tarub sedih karena memikirkan anaknya yang
telah ditinggalkan pergi ibunya, tetapi ada juga hal yang masih
dapat melegakan hatinya. Sebelum meneruskan perjalanannya
31
'

menuju kayangan, Nawangwulan masih sempat menyatakan


sebuah pesan. Menurut pesannya itu, apabila anak yang diting-
galkannya menangis §Upaya dinaikkan ke atas panggung yang
tinggi. Jaka Tarub tidak melalaikan pesan Nawangwulan. Tiap
kali anaknya menangis, dinaikannyalah ke atas panggung. Ja-
ka Tarub kemudian membakar dupa di bawah panggung. sehing-
ga asapnya membubung ke angkasa. Setiap kali tercium bau
dupa yang harum itu, Nawangwulan segera turun menuju pang-
gung. Sesampai di sana, anaknya disusuinya sampai kenyang
sehlngga tidak menangis lagi. Dengan cara seperti itu Jaka Ta-
rub dapat mengasuh anaknya dengan baik.
Latna sesudah itu tidak terdengar bagaimana kehidupan
Jaka Tarub dan anaknya itu. Temyata sekarang Nawangsih,
anaknya itu, telah besar, sudah remaja putri. Rupanya sam a
sekali tidak berbeda dengan rupa ibunya. Keduanya sangat
cantik. Karena kecantikannya itu, Nawangsih sering menjadi
buah bibir orang banyak. Di samping cantik, Nawangsih me-
miliki pula sifat-sifat yang baik sebagai seorang wanita. Na-
mun demikian, Jaka Tarub sendiri yang kemudian disebut ju-
ga Ki Ageng Tarub justru makin sedih memikirkan Nawang-
sih yang sudah tidak beribu itu.
Kisah Jaka Tarub dan anaknya itu berbeda dengan yang
dialami oleh Ki Juru Sawah dan anak angkatnya. Seperti yang
telah diceritakan di mul<a, anak angkat Ki Juru Sawah itu se-
benamya adalah putra Prabu Brawijaya dengan putri Wandan,
yaitu Ratu Kemayawati. Kisahnya dimulai dengan sakitnya
Prabu Brawijaya. Dahulu Prabu Brawijaya pernah sakit raja si-
nga. Atas pesan yang diterima dalam mimpinya, Prabu Brawi-
jaya sanggama dan kemudian kawin dengan putri Wandan itu.
Dari perkawinannya ini lahirlah seorang anak laki-laki yang her-
nama Bondangejawan (baca: bondan gejawan). Oleh Prabu
Brawijaya anak taki-laki ini diserahkan kepada Ki Juru Sawah
supaya diakui sebagai anaknya sendiri.
Sekarang Bondangejawan sudah besar. Sesuai dengan
umurnya, ia mulai senang bersolek. Di samping elok rupanya,
Bondangejawan baik tingkah lakunya dan mempunyai kesakti-

32
J

an yang luar biasa. Tidak hanya para perawan saja yang jatuh
cinta kepadanya, tetapi orang laki-laki pun banyak yang men-
datangi Bondangejawan.

XVII. ( Dandanggula)
Senyampang pada waktu itu Bondangejawan tidak ada di
rwnah, Ki Juru Sawah bettnaksud akan pergi mengantarkan
beras ke keraton Majapahit . Istrinya dipesannya supaya tidak
memberitahukan hal itu kepada Bondangejawan sebab jika ta-
hu, ia pasti ikut. Sepeninggal Ki Jwu Sawah, Bondangejawan
pulang dari kepergiannya. Tahulah ia dari keterangan ibunya
bahwa ayahnya pergi. Segera Bondangejawan pergi menyusul
ayahnya itu meskipun Nyai Juru, ibunya, melarangnya. Hanya
seorang diri ia berangkat ke keraton Majapahit.
Setibanya -di--sana, ia langsung menuju balai penghadapan .
Ki Juru Sawah terkejut demi m engetahui Bondangejawan telah
berada di sampingnya. Atas pertanyaan Ki Juru Sawah, Bon-
dangejawan menyatakan keinginannya akan mengetahui k eada-
an dalam puri dan akan menabuh gong supaya bunyinya ter-
dengar m.enggema. Gamelan Sekardlima dan Keboganggang yang
terdapat di dalam puri dikatakannya sebagai miliknya sendiri. '
Ki Juru Sawah melarang maksud anaknya yang seperti it u, t e-
' tapi dengan lebih dahulu menyikut Ki Jwu Sawah kuat-kuat ,
Bondangejawan dapat masuk ke dalam puri. Segera gong Sekar-
dlima dan Keboganggang ditabuhnya bertubi-tubi. Prabu Bra-
wijaya terkejut mendengar bunyi gong itu dan marah pula ka-
renanya.
Dari keterangan utusannya, Prabu Brawijaya mengetahui

bahwa yang menabuh gong itu adalah Bondangejawan, anak


Ki Juru Sawah. Prabu Brawijaya merasa terketuk hati kecil-
nya sehingga tidak marah lagi karena keterangan utusannya
itu. Ki Juru Sawah yang masih berada di luar oleh Prabu Bra-
wijaya dipanggil menghadap. Demikian pula Bondangejawan
yang pada saat itu masih berada di tempat gamelan. Tersenyum
Prabu Brawijaya demi melihat rupa Bondangejawan. Di dalam
hatinya, ia mengatakan bahwa Bondangejawan tiada bedanya

33
dengan Bondanserati, putranya dengan Ratu Darawati.
Seperti ada sesuatu yang dirahasiakan, Prabu Brawijaya
kemudian berkata kepada Ki Juru Sawah dengan cara berbisik.
Dikatakan olehnya bahwa negara Majapahit sudah hampir ja-
tuh. Oleh karena itu, Ki Juru Sawah diperintahkannya supaya
mengabdikan Bondangejawan ke Tarub. Dikatakan pul~ selan-
jutnya oleh Prabu Brawijaya bahwa menurut pernujuman, yang
menjatuhkan Majapahit nanti adalah keturunannya sendiri ju-
ga. Nanti yang akan menjadi raja adalah Bondangejawan sam-
pai kepada keturunan-keturunannya. Tanah Jawa akan dikua-
sainya. Negara-negara seberang akan tw1duk juga. Demikian
kata Prabu Brawijaya kepada Ki Juru Sawah.
Sebelum berangkat ke Tarub , Bondangejawan oleh Pra-
bu Brawijaya diberi dua buah keris pusaka, yaitu Jangkung-
pacar yang sekarang namanya diganti dengan Kiai Culik dan
yang sebuah adalah Jaka Mendung. Di samping itu, Bondange-
jawan menerima pula pertnata sebagai tanda bahwa ia adalah
putra Prabu Brawijaya.
Dari Majapahit Bondangejawan dan Ki Juru Sawah ber-
maksud akan langsung menuju Tarub. Sesampainya di tengah
sebuah hutan, mereka berdua beristirahat. Kebetulan di tern-
pat itu kemudian datang pula kawanan penjahat yang terdiri
dari empat orang. Mengetahui pakaian Bondangejawan yang
serba bagus, mereka bertnaksud akan merampasnya.
-
XVIII. (Durtna)
Bondangejawan sama sekali tidak .takut menghadapi me-
reka itu. Terjadilah kemudian perkelahian yang sengit. Dengan
perjuangan yang berat akhirnya Bondangejawan berhasil mene-
waskan tiga orang lawannya. Tinggallah seorang di antara para
penjahat itu yang hidup, yaitu Soma, tetapi ia telah bertobat
dan bettnaksud akan ikut Bondangejawan. Bondangejawan pun
menerirnanya sebagai ternan baru.
Kedatangan Ki Juru Sawah dan Bondangejawan di Tarub
telah diketahui sebelumnya oleh Ki Ageng . Tarub. Oleh karena
itu, Ki Ageng Tarub sebelumnya telah menyuruh anaknya, Na-

34
\

wangsih, supaya mempersiapkan segala sesuatunya. Sesampai-


nya di Tarub, Ki Juru Sawah berkata kepada Ki Ageng Tarub
bahwa kedatangannya di sana diutus Prabu Brawijaya supaya
menyerahkan Bondangejawan kepada Ki Ageng Tarub. Tujuan-
nya adalah supaya Bondangejawan dapat berguru kepada Ki
Ageng Tarub.

XIX. (Sinom)
Bondangejawan di Tarub merasa telah menemukan sesua-
tu yang dicarinya. Siang dan malam hanya ajaran-ajaran Ki Ageng
Tarub yang diperhatikannya. Di samping elok rupanya, Bon-
dangejawan memang pandai menerima petunjuk-petunjuk gaib
dari Ki Ageng Tarub. Senang sekali Ki Ageng Tarub meneri-
ma kehadiran Bondangejawan di sana sebab yang diasuhnya itu
adalah putta raja:--I)i samping itu, Ki Ageng Tarub rupanya me-
rasa bahwa Nawangsih akan mendapat tunangan. Atas anjur-
an Ki Ageng Tarub, kemudian nama Bondangejawan diganti
dengan Lembupeteng.
Setelah menyerahkan Bondangejawan kepada Ki Ageng
Tarub, Ki Juru Sawah pergi. Bondangejawan ditinggalkannya
di Tarub. Sepeninggal Ki Juru Sawah, Ki Ageng Tarub mem-
berikan ajaran-ajarannya kepada Bondangejawan. Atas perta-
nyaan Ki Ageng Tarub, Bondangejawan mengatakan bahwa
kehadirannya berguru di Tarub itu karena melaksanakan pe-
rintah Prabu Brawijaya. Senang sekali Ki Ageng Tarub mende-
ngarkan jawaban itu. Sudah semestinya orang melaksanakan
perintah rajanya i~u sebab sebenarnya raja itu adalah utusan

Tuhan yang mesti disembah pula. Di samping menyembah ra-
janya, menurut ajaran Ki Ageng Tarub, orang juga harus me-
nyembah Tuhan, gurunya, dan orang tuanya. Apabila ingin
menjadi raja, berkenaan dengan yang pemah dikatakan Prabu
Brawijaya, Bondangejawan disarankan oleh Ki Ageng Tarub
supaya memohon kepada Tuhan. Petunjuk ini diindahkan dan
dilaksanakan oleh Bondangejawan sehingga ia mendapat ilham
tentang kebenaran kata-kata yang pernah diucapkan oleh Pra-
bu Brawijaya, tersebut, yaitu tentang akan jatuhnya Majapa-

35
...

hit.
Selesai menyampaikan ajaran-ajarannya kepada Bondang-
ejawan, Ki Ageng Tarub memanggil Nawangsih dengan maksud
akan diperkenalkan dengan Bondangejawan itu. Ketika itu Na-
wangsih kira-kira baru berumur sepuluh tahun. Bondangejawan
yang baru datang di Tarub itu oleh Ki Ageng Tarub ~ikata­ •

kan sebagai kakak Nawangsih sehingga Nawangsih pun meng-


anggapnya sebag~ saudaranya seayah seibu. Namun demikian,
Bondangejawan yang tabu siapa sebenamya Nawangsih itu ha-
tinya mulai jatuh cinta. Ki Ageng Tarub dapat membaca isi ha-
ti Bondangejawan itu, tetapi Nawangsih tetap belum tabu bah-
wa Bondangejawan itu sebenarnya adalah tunangannya. Oleh
karena itu, perlakuannya terhadap Bondangejawan seperti ter-
hadap kakaknya sendiri pula.
Bondangejawan tnerasa kerasan tinggal di Tarub. Sudah
lama sekarang ia berada di sana. Tiap-tiap hari ia pergi ke bu-
rna. Ia senang melihat tanaman padi gaganya di sana sehingga
ia sering lupa pulang ke rumah. Bercocok tanam itulah peker-
jaan Bondangejawan di Tarub.
Pada waktu itu Nawangsih mulai senang bersolek. Kecan-
tikannya tampak makin bertambah karenanya. Segala tingkah
lakunya pun serba patut dipandang sehingga Bondangejawan
jatuh cinta apabila memandangnya.

XX. (Asmaradana) -
Bondangejawan di dalam hatinya mengharapkan supaya
Ki Ageng Tarub segera mengawinkan dirinya dengan Nawang-
sih. Karena kesedihannya memikirkan Nawangsih itu, Bondang-
ejawan berhari-hari tidur di humanya, tidak pulang ke rumah.
Si Soma, temannya, tidak betah menemani Bondangejawan di
sana. Ia kemudian pulang. Nawangsih diberi tahu olehnya ten-
tang Bondangejawan yang tidur di burna itu. Ki Ageng Tarub
yang juga mendengar hal itu memerintahkan Nawangsih supa-
ya mengirimi makanan Bondangejawan.
Nawangsih beserta empat orang pe~empuan pengiring-
nya segera berangkat. Sesampainya di burna, Nawangsih lang-
36

sung menuju gubuk tempat Bondangejawan. Di sana Bondang-


ejawan sempat berbuat tidak semestinya sehingga Nawangsih
marah karehanya, tetapi atas penjelasan Bondangejawan, Na-
wangsih tidak jadi marah. Pada kesempatan berikutnya ternya-
ta Bondangejawan berbuat yang tidak semestinya lagi, yaitu
menyentuh pipi Nawangsih. Kali ini Nawangsih benar-benar
marah dan segera lari pulang. Bondangejawan menyesal dan
malu atas perbuatannya itu. Oleh karena itu, ia tidak bettnak-
sud pulang, tetapi tetap tinggal di gubuk dengan si Soma.

XXI. (Pucung)
Sambil bersenandung Bondangejawan melampiaskan as-
maranya di dalam bentuk puisi tembang. Ia mengharapkan kem-

balinya Nawangsih di hatinya sebab bagaimanapun juga ia ti-
dak dapat berpi&ah dengan Nawangsih. Sampai menemui ajal
pun Bondangej.awan akan menempuhnya asal Nawangsih dapat
diperisterinya. Sayang sekali Nawangsih cepat-cepat lari pu-
lang karena marah dan telah jauh pula larinya itu sehingga Bon-
dangejawan tidak berhasil mengejarnya.
Demikian getaran asmara Bondangejawan yang ditem-
bangkan. Mendengar hal itu, Soma mengajak Bondangejawan
pulang saj'a, tetapi yang diajak tetap tidak mau.

XXII. (Asmaradana)
Soma segera pulang dengan tujuan akan menyampaikan
perihal Bondangejawan kepada Ki Ageng Tarub. Nawangsih
yang ternyata datangnya dari huma lebih kemudian mengadu-
kan peristiwa yang baru saja dialaminya kepada Ki Ageng Ta-
rub pula. Pada saat itulah Ki Ageng Tarub berkata terus terang
kepada Nawangsih bahwa Bondangejawan atau Lembupeteng
itu sebenarnya memang bukan saudara Nawangsih, melainkan
putra raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Oleh karena itu, Ki Ageng
Tarub justru menyarankan supaya Nawangsih mau diperistri
Lembupeteng. Rupanya Nawangsih tidak keberatan pula, dan
tentu saja Lembupeteng menerimanya dengan senang hati.
Upacara perkawinan mereka berdua segera akan dilaksa-

37
nakan. Ki Ageng Tarub memerintahkan orang-orangnya supa-
ya mempersiapkan segala-galanya. Nawangwulan, ibu Nawang-
sih, tak lama kemudian datang di sana. Tujuan kedatangannya
di sana adalah akan merias Nawangsih dan ingin melihat me-
nantunya. Sesudah upacara perkawinan itu selesai, ia akan se-
gera pulang ke kay~ngan. Ki Ageng Tarub bertnaksud mena-
han dan bahkan ingin ikut Nawangwulan, tetapi Nawangwu-
lan tidak mau. Hanya saja, Nawangwulan berjanji akan meng-
ajaknya apabila nanti Ki Ageng Tarub sudah bercucu.
Sepeninggal ibunya itu, Nawangsih agak sedih hatinya de-
mi mengetahui kecintaan ayahnya terhadap ibunya. Perlahan-
lahan Nawangsih pergi meninggalkan tempatnya menuju tern-
pat tidur. Lembupeteng mendekatinya dengan maksud akan
menghiburnya.

XXIll. (Dandanggula)
· Di sana tiada habis-habisnya Lembupeteng memuji ke-
cantikan istrinya. Nawangsih tersenyum mendengarkan segala
pujian itu. Ia baru pertama kali itu mendengarkan kata-kata
Lembupeteng yang demikian sebab sebelumnya Lembupeteng
selalu mengaku sebagai saudara Nawangsih. Walaupun demi-
kian, mereka sekarang telah mulai membangun cinta sebagai
suami istri. .
Adipati Arya Damar yang dahulu menerima istri pem-
berian Prabu Brawijaya, sekarang telah hidup bahagia di Palem-
bang. Istri yang diterimanya dalam keadaan hamil itu telah -me-
lahirkan seorang putra, yaitu Raden Patah. Beberapa waktu
kemudian lahir pula putranya yang kedua, yaitu Raden Tim-
bal. Meskipun Raden Patah dan Raden Timbal ini berlainan
ayah, tetapi keduanya kelihatan seperti saudara seayah dan se-
ibu.
Pada saatnya, Adipati Arya Damar menjelaskan kepada
kedua orang putranya bahwa sebenarnya Raden Patah ada-
lab putra Prabu Braw~iaya di Majapahit. Diterangkannya pula
bahwa ibu Raden Patah diperistri Adipati Arya Damar sudah
dalam keadaan hamil. lbunya itu semula adalah istri Prabu Bra-
38
\

'
wijaya. Ketika itu Prabu Brawijaya khawatir, jangan-jangan pu-
tranya dengan istrinya itu nanti akan berkuasa di Majapahit
dengan menggeser kedudukan Bondanserati, yaitu putra Prabu
Brawijaya dengan pennaisurinya. Oleh karena itu, istri yang
dalam keadaan hamil itu diserahkan kepada Adipati Arya Da-
mar. Meskipun demikian, Adipati Arya Damar mengharapkan
agar kelak Raden Patah mau menggantikan kedudukannya di
Palembang.
Mendengar semua keterangan Adipati Arya Damar itu,
Raden Patah merasa telah dibuang oleh Prabu Brawijaya. Ia
merasa telah banyak berhutang budi kepada Adipati Arya Da-
mar yang telah mengasuhnya sejak bayi sampai dewasa. Atas
anjuran Adipati Arya Damar'· pula, Raden Patah akan pergi ke
Majapahit mengabdi kepada Prabu Brawijaya bersama-sama de-
ngan Raden Timbal.
Setelah mi~pamit kepada Adipati Arya Damar dan ibu-
nya, Raden Patah dan Raden Timbal berangkat berlayar me-
nuju Majapahit. Pengikutnya betjumlah dua puluh orang. Se-
sampainya di Pulau Jawa merek~ singgah di Cirebon, tempat
Pangeran Modang. Atas pertanyaan Pangeran Modang ini, Ra-
den Patah berkata terus terang bahwa akan mengabdi kepaqa
Prabu Brawijaya di Majapahit. Pangeran Modang menyarankan
agar Raden Patah dan Raden Timbal menyembunyikan mak-
sudnya dengan cara mengatakan bahwa tujuannya akan bergu-
ru tentang ajaran Islam. Setelah menginap semalam di Cire-
bon, keesokan harinya mereka berangkat ke Majapahit.
Petjalanan mereka melalui hutan belantara yang gawat
keadaannya. 'Agak takut mereka meneruskan petjalanannya,
dan ternyata di sana ada kawanan penyamun yang ·terdiri da-
ri empat orang. Salah seorang di antaranya, Wana namanya,
sudah terkenal kesaktiannya. Si Wana sendiri ini pula yang
bettnaksud akan membegal Raden Patah dan kawan-kawan-
nya.

XXIV. (Girisa)
Dengan alasan akan diberikan kepada orang yang mela-
rat, si Wana meminta barang bawaan Raden Patah. Ikat ping-
gang Raden Patah pun segera diberikannya kepada si Wana de-
ngan tulus ikhlas. Sesudah itu Raden Patah meneruskan per-
jalanannya. Melihat sikap Raden Patah yang demikian itu, si
Wana dan kawan-kawannya tercengang, tidak dapat berkata
apa-apa. Segera mereka menyusul Raden Patah yang sudah agak
jauh petjalanannya. Sesampainya di tempat Raden Patah, me-
reka menyatakan tobat atas segala perbuatannya dan menya-
takan keinginannya akan menjadi pengikut Raden Patah. Raden
Patah pun menerirna kehadiran mereka itu sebagai pengikutnya. Si
Wana oleh Raden Patah diganti namanya dengan Wanapala sebab
\

ia berasal dari desa Pala.


Kira-kira tigahari petjalanan lagi akan sampai di Majapa-
hit, Raden Patah menghentikan perjalanannya dengan maksud
akan beristirahat. Pada kesempatan itu Raden Patah menya-
rankan Raden Timbal supaya langsung meneruskan perjalan-
\
annya ke Majapahit, mengabdi kepada Prabu Brawijaya.. Ra-
den Patah mempunyai tujuan lain yaitu akan memperdalarn
ajaran agama Islam. Walaupun dengan perasaan berat, akhir-
nya Raden Timbal menurut saran kakaknya itu. Bersama-sa-
ma dengan keduapuluh orang temannya ia menuju Majapahit,
sedangkan Raden Patah dan Wanapala menuju desa Ampelga-
ding.
Sesampainya di desa Ampelgading, Raden Patah langsung
menghadap Sunan Ampel. Siapa sebenarnya Raden Patah itu,
· Sunan Ampel sudah tidak sangsi lagi. Oleh karena itu, Raden
Patah diambilnya sebagai menantunya. Atas petunjuk Sunan
Ampel ini, Raden Patah bersama-sama dengan ist~ya pergi
ke hutan Bintara dengan maksud akan membabat hutan itu.

XXV. (Pangkur)
Mendengar berita tentang pembabatan hutan yang dila-
kukan oleh Raden Patah itu, Prabu Brawijaya bukan main nia-
rahnya. Patih Gajahmada diperintahkannya supaya memerik-
. sa keadaan di hutan bintara itu. Para Prajurit mengusulkan agar
pembabat hutan itu diperangi saja, tetapi _P atih Gajahmada ti-

40

dak setuju karena menurut perintah Prahu Brawijaya supaya


diperiksa saja. Raden Timbal yang telah heherapa lamanya her-
ada di Majapahit rnerasa mendapat kesempatan. Namanya se-
karang adalah Raden Usen. Ia memheranikan diri akan meme-
riksa hutan Bintara yang sedang dihahat orang itu. Dengan se-
nang hati Patih Gajahmada meny~t:~;ain~'~ . Segera Raden Usen
dan para pengikutnya diperintahkannya herangkat.
Setihanya di hutan Bintara, tahulah Raden Usen hahwa
yang memimpin pemhahatan hutan itu. adalah Raden Patah,
kakaknya sendiri. Di hadapan Raden Patah itu Raden Usen
herkata terus terang hahwa kedatangannya di hutan itu atas
perintah Prahu Brawijaya supaya memeriksa harisan yang her-
ada di hutan Bintar~ itu. Selanjutnya Raden Usen menyaran-
kan supaya Raden Patah mau datang menghadap Prahu Bra-
wijaya sehah bagaimanapun juga ia adalah putranya. Raden
Patah dapat men~a saran adiknya. ini. Ia herangkat mengiku-
ti Raden Usen menuju Majapahit. Orang Bintara dan orang Ma-
japahit hersatu, dan perang pun tidak sampai terjadi.

Di hadapan Prahu Brawijaya, Raden Usen mengatakan de-
ngan terus terang hahwa yang herada di hutan Bintara itu hu-
kanlah orang lain, melainkan kakak Raden Usen sendiri. Dika- •

takannya pula hahwa ia dan kakaknya itu adalah saudara se-


ihil tetapi tidak seayah. Ketika menikah dengan Adipati Arya
Damar, ihunya telah mengandung, dan lahirlah kemudian Ra-
den Patah itu. Tujuan Raden Patah tidaklah akan memerangi
Majapahit, tetapi hanya akan menyeharkan ajaran Islam. Ber-
dasa,kan keterangan Raden Usen itu, Prahu Brawijaya selan-
jutnya mengizinkan ·Raden Patah meneruskan pembabatan hu-
tan Bintara dan mendirikan masjid. Seterusnya Bintara diserah-
kannya kepada Raden Patah, dan nama Raden Patah diganti
dengan Adipati Natapraja. Raden Usen mendapat kedudukan
di Terung dengan gelar Adipati Pecattanda.
Sementara itu Syeh Melaya yang sedang berkeliling du-
nia masih meneruskan petjalanannya. Di mana-mana ia selalu
bertapa dan tidak lagi memikirkan masalah-masalah keduniaan.
Ketika hetjalan di sepanjang pantai, ia mengetahui ada sese-

41
-

orang yang sedang bertapa di dalam sebuah gua. Orang ini se-
benarnya adalah Syeh Maulana Magribi. Sudah lama ia bertapa
di dalam gua itu sehingga kuku dan rambutnya telah panjang
- serta pakaiannya telah.. rusak sama sekali. Syeh Melaya heran
melihat orang yang telah bertapa lama sekali itu tidak mening-
gal. Ia mencoba mengganggunya, tetapi pertapa itu hanya ber-
kata di dalam hati supaya Syeh Melaya itu tidak mengganggu-
nya karena ketika -itu ia sedang berbicara dengan Tuhan. Wa-
laupun hanya diperingatkan dengan kata-kata di dalam hati,
Syeh Melaya telah memahami semuanya itu. Ia kemudian ke-
luar dari d~lam gua dengan perasaan menyesal atas perbuat-
annya itu. ,
Syeh Melaya berjalan menuju arab barat. Sampailah ia
. .. . kemudian di Cirebon. Di sana ia bertapa dengan cara tidur di
sebuah perempatan jalan besar. Perbuatannya itu segera dila-
porkan orang kepada Pangeran Modang. Demi mendengar la-
poran itu, Pangeran Modang kemudian memerintahkan istri-
nya supaya menggoda Syeh Melaya yang sedang bertapa itu.

XXVI. (Dandanggula)
Empat orang istri Pangeran Modang berangkat ke tern-
pat Syeh Melaya, tetapi di sana mereka tidak berhasil, dan bah-
kan mereka segera pulang karena melihat pemandangan yang
memalukan. Mendengar laporan para istrinya itu, Pangeran
Modang menduga bahwa yang tidur di jalan itu adalah seorang
wall. Oleh karenaitu, ia kemudian datang pula ke tempat per-
' tujuh hari ia menunggu di sana, barulah Syeh
tap·a itu. Setelah
Melaya mau bangun. Walaupun demikian, Syeh Melaya tidak
mau singgah di tempat Pangeran Modang sebab akan langsung
menyusul Sunan Bonang, gurunya, yang mau naik haji.
Setelah menyebrangi lautan, sampailah Syeh Melaya di
Pulau Upih. Di sana ia bertemu dengan Syeh Maulana Magri-
bi yang ketika itu belum dikenalnya. Atas pertanyaan Syeh
Maulana Magribi, Syeh Melaya berkata terus terang bahwa akan
naik haji ke Mekah, tetapi Syeh Maulana Magribi melarang-
nya. Mendengar ajaran-ajaran Syeh Maulana Magribi yang di-

42
.

'
·' •

sampaikan pada saat itu, Syeh Melaya sangat tertarik sehingga


ia bertnaksud akan berguru kepada Syeh Maulana Magribi.
Syeh Maulana Magribi tidak dapat menerima maksud Syeh
Melaya itu, tetapi ia menyarankan supaya Syeh Melaya her-
tapa di sungai, menantikan adanya sebuah jembatan. dari ka-
yu mati. Seratus hari kemudian j ~mbatan yang diharapkan itu -
menjadi kenyataan.
Kebetulan Sunang Bonang lewat di atas jembatan kayu
mati itu sehingga tahulah bahwa Syeh Melaya berada di ping-
gir sungai yang ada jembatannya itu. Syeh Melaya terkejut ke-
tika dibangunkan oleh Sunan Bonang, kakaknya itu. Sesuai
dengan yang sedang dilakukannya, Syeh Melaya oleh Sunan
Bonang diberi nama Sunan Kalijaga. Sesudah itu mereka ber-
dua menuju Giripura, tempat Sunan Girl. Di sana Sunan Bo-
nang mengatakan kepada , Sunan Giri bahwa dengan diangkat-
nya Sunan KalijagaSebagai wall, maka jumlah wall yang ada
menjadi delapan orang. Namun demikian, Sunan Kalijaga yang
masih merasa belum tinggi ilmunya itu minta kepada Sunan ·
Ampel supaya diberi wejangan. Sunan Bonanglah yang ditun-
juk Sunan Ampel supaya memberikan wejangan kepada Sunan
Kalijaga itu.
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga kemudian minta pa-
mit. Setelah tiba di masjidnya, mereka berdua menuju rawa.
Dengan berperahu di rawa itu Sunan Bonang menyampaikan
Wejangan-wejangannya kepada Sunan Kalijaga. Di dalam salah
satu wejangannya, Sunan Bonang menyampaikan sebuah la-
rangan yang tidak boleh diucapkan oleh Sunan Kalijaga sebab
jika larangan itu dilanggar, apa pun yang mengerti hal itu akan
menjadi manusia. Secara kebetulan di atas perahu yang mereka
tumpangi itu terdapat seekor cacing yang ikut terambil ketika
Sunan Kalijaga mengambil tanah untuk menambal bocoran pa-
da perahunya itu. Karena mengerti wejangan yang diucapkan
· oleh Sunan Bonang itu sendiri, maka cacing itu kemudian da-
pat berkata seperti manusia. Kehadiran cacing seoogai manu-
sia itu diterima oleh Sunan Bonang, dan ia diberi nama Sitije-
nar atau Syeh Lemahbang.

43

Kejadian yang aneh itu dikatakan oleh Sunan Bonang se-


bagai pertanda akan kemahakuasaan Tuhan. · Di sam ping itu,
Sunan Bonang mengakui bahwa sebenarnya sebelum meneri-
ma wejangan dari padanya, Sunan Kalijaga sudah menjadi ke-
kasih Tuhan. Jika bukan kekasih Tuhan, Sunan Kalijaga ten-
tu sudah meninggal ketika bertapa di pinggir sungai sampai ti-
ga bulan lamanya dahulu itu. Menyadari akan hal itu, Sunan
Bonang juga merasa bahwa Sunan Kaliiaga mempunyai suatu
kelebihan ilmu yang belum dirniliki oleh Sunan Bonang. Oleh
karena itu, Sunan Bonang berganti akan berguru kepada Sunan
Kalijaga.
Dengan kekuatan gaibnya, Sunan Bonang dan Sunan Ka-
lijaga sebentar saja telah sampai di Mekah. Demikian juga Si-
tij enar yang mengikutinya. Sembilan orang wall, tettnasuk Si-
tijenar, berkumpul di sana. Sehabis sembahyang Jumat di sa-
na, mereka kembali ke Jawa, langsung menuju Demak. Di sa-
na mereka disambut dengan hortnat oleh Adipati Natapraja.
Atas anjuran Sunan Girl kepada Adipati Natapraja yang juga
disepakati oleh para wall, maka dibangunlah di Demak sebuah
masjid besar seperti masjid Mekah. Baik Adipati Natapraja mau-
pun para wall ikut mengumpulkan bahan-bahan bangunannya.
Mereka pergi ke hutan akan mencari kayu.
Di tengah hutan Sunan Kalijaga bertamu dengan Darma-
putra, raja Amarta, beserta istrinya. Darmaputra ini disebut
juga Sri Danna atau Darmakusuma. Tujuan Darmaputra-di sana

ialah mencari seseorang yang sanggup menerangkan isi surat
Kilirnasada. Menurut keterangan Ywang Guru kepada Darma-
putra, Syeh Melayalah yang nanti dapat menerangkan isi su-
rat Kalimasada itu. Sunan Kalijaga yang dulu disebut juga Syeh
Melaya itu merasa terpanggil untuk menerangkan isi surat ter-
sebut. Dengan diajarkannya isi surat Kalimasada itu oleh Su-
nan Kalijaga, maka Dannaputra beserta istrinya, telah meme-
luk agama Islam. Di samping itu, Sunan Kalijaga kemudian me-
nyerahkan sebuah keris, Ki Kopek namanya, kepada Darma-
putra. Peristiwa yang terjadi di tengah hutan ini ditandai de-
ngan angka tahun 1399 (gapura trus ingkang jalmi). -

44


Sunan Kalijaga melanjutkan pekerjaanya semula, yaitu men-
carl kayu untuk • tiang masjid. Ketika itu ia mengetahui ada se-
ekor katak yang sedang dicaplok oleh seekor ular. Atas oer-
tolongan Sunan Kalijaga, katak itu terhindar dari kematian-
nya. Sebaliknya, katak yang merasa berhutang budi itu berjan-
ji akan mengerahkan teman-temannya untuk mengangk.ut kayu
Sunan Kalijaga.

XXVII. (Kinanti)
Pada kesempatan berikutnya Sunan Kalijaga menjumpai
Rasawulan, adiknya, yang hidup berkumpul dengan kijang dan
rusa. Ketika dipanggilnya, Rasawulan malah lari merijauhi ka-
rena mungkin sudah lupa kepada sunan Kalijaga, Jaka Supa
dan Iman Semantri oleh Sunan Kalijaga segera diperintahkan
mengejar Rasawulan. Hanya dengan kekerasan, Rasawulan da-
pat tertangkap. Segera Jaka Supa memberikan sehelai kain ke-
pada Rasawulan yang dalam keadaan telanjang itu. Sesuaah
itu Rasawulan dapat ingat kembai kepada Sunan Kalijaga yang
berada di depannya. Oleh Sunan Kalijaga, Rasawulan dianj ur-
kan pulang ke Tuban supaya nanti dapat menggantikan kedu-
dukan ayahnya. Di samping itu, Sunan Kalijaga juga menyaran-
kan supaya Rasawulan nanti kawin dengan Jaka Supa.
Setibanya keinbali di Tuban, Rasawulan beJ.jwnpa dengan
ayah dan ibunya. Sunan Kalijaga di sana menceritakan dirinya
yang telah menjadi wall, dan bercerita pula tentang diri Rasa-
wulan. Adipati Tuban sebenarnya mengharapkan supaya anak
laki-lak.inya mau menggantikan kedudukan di Tuban, te-
tapi ternyata Sunan Kalijaga telah menjadi wall. Hanya saja,
Rasawulan yang sejak dahulu belum mau kawin sekarang akan
menikah dengan Jaka Supa. sunan Kalijaga sendiri yang akan
menikahkannya.
Kira-kira setengah bulan berada di Tuban, Sunan Kalija-
ga berntaksud akan membuat sebuah keris. Supalah yang dipe-
rintahkannya mengerjakan. Besi yang dibuat keris diserahkan-
nya kepada Supa. Besi itu hanya sebesar biji asam sehingga Supa
menyatakan keraguannya, apakah besi sekecil itu dapat dij acli
'

..
,
I

kan sebuah keris. Namun demikian, Sunan Kalijaga dapat mem-


perlihatkan bahwa besi sekecil "itu dapat menjadi sebesar gu-
nung dan kemudian mengecil lagi seperti keadaannya semu-
la. Menyaksikan keajaiban itu, barulah Supa dengan rasa ta-
kut mulai membuat keris dari besi yang kecil tadi, dan akhir-
nya jadilah keris itu.
Sunan Kalijaga senang sekali melihat kepandaian Supa

membuat keris. Namun demikian, keris yang baik buatannya
itu dianggap tidak sesuai oleh Sunan Kalijaga apabila dipa-
kai oleh seorang santri. Oleh · karena itu, Sunan Kalijaga me-
mesan lagi kepada Supa supaya dibuatkan sebuah keris yang
berbeda. Sebutir besi sebesar biji kemiri diciptakan secara gaib
kemudian diserahkan kepada Supa. Tidak terlalu lama Supa
telah berhasil membuat besi ini menjadi sebuah keris yang di-
maksudkan oleh Sunan Kalijaga. Senang sekali Sunan Kalija-
ga menerima keris yang kedua ini. Diduga oleh Sunan Kalija-

ga bahwa keris ini si Crubuk, nanti akan menjadi milik raja se-
cara turun-temurun. Keris yang pertama, si Sengkelat, oleh Su-
nan Kalijaga diberikan kepada Supa dengan pesan supaya dira-
watnya baik-baik.
Dengan hadirnya Sunan Kalijaga di Tuban, seluruh rak-
yat Tuban sekarang telah memeluk agama Islam. Negara Tu-
ban telah membangun masjid pula. Atas pettnintaan Sunan Ka-
lijaga, ayah dan ibunya kemudian juga memeluk agama Islam.
S~nan Kalijaga sendiri yang sebenarnya diharapkan oleh ayah-

'
nya mau memerintah di Tuban ternyata tidak bersedia. Ia rna-
laban mengusulkan supaya Supalah yang nanti menduduki ja-
batan itu.

.. XXVID. (Asmarandana)
Sunan Kalijaga minta pamit kepada ayah dan ibunya. Ia
bettnaksud akan kembali ke Demak. Bersama-sama dengan mu-
ridnya ia akan· membangun masjid di sana. Sementara itu Supa
beberapa waktu kemudian akan pergi ke Majapahit dengan is-
trinya karena sudah lama ia tidak berjumpa dengan ayahnya,
Ki Tumenggung Supadriya.

46

'

,
Ketika Sunan Kalijaga tiba di Demak, Adipati Natapraja

sudah menyiapkan kayu-kayu bahan bangunan masjid. Sunan
Giri, Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Pangeran Sitijenar, dan
Sunan Bonang juga sudah tiba di sana. Mereka masing-masing
membawa empat tiang, tetapi Sunan Kalijaga hanya memba-
wa tiga tiang. Itu pun yang mengangkut adalah katak-katak
yang dikerahkan oleh seekor katak yang dahulu merasa terto-
long oleh Sunan Kalijaga. Syeh Maulana memerintahkan supa-
ya Sunan Kalijaga mencari sebuah tiang lagi. Karena waktunya
sudah mendesak , semalam suntuk Sunan Kalijaga mencari se-
buah tiang yang dimaksudkan tersebut. Tatal-tatal yang ada di-
aturnya membujur, danjadilah sebuah tiang.
Secara kebetulan pada saat Sunan Kalijaga meletakkan
beliungnya, muncullah seekor anjing tanah tepat di bawah be-
liung itu. Leber anjing . tanah terpotong karenanya sehingga an-
jing tanah itu merintih kesakitan. Ia merasa tidak berdosa. Oleh
karena itu, ia meminta supaya Sunan Kalijaga mau menyem-
buhkannya dengan menyambungkan kembali lehernya. Sunan
Kalijaga sendiri sebenarnya merasa tidak bersalah juga, tetapi
merasa kasihan melihat anjing tanah itu. Dipegangnya anjing
tanah itu kemudian disambungnya kembali lehernya dengan ,

diberi tatal di atas tengkuknya. Kembalilah anjing tanah itu


seperti keadaannya semula.
Keesokan harinya dimulailah pembangunan masjid De-
mak. Keempat saka gurunya segera dipasang; masing-masing
oleh Prabu Satmata di sebelah barat laut, Sunan Ampel di se-
belah barat daya, Syeh Maulana di sebelah tenggara, dan Sit-
nan Kalijaga di sebelah timur laut. Saka guru yang dibuat dari .
tatal berdiri paling dahulu. Pemasangan bagian-bagian lainnya,
tertnasuk puncak masjid, diketjakan kemudian. Berdirinya mas-
jid Demak ini ditandai dengan angka tahun 1399 (lawang trus
gunaning jalma). Sementara itu penentuan kiblatnya masih di-
pertengkarkan oleh para wall. .

XXIX. (Pangkur)
Sampai lama perdebatan tentang kiblat masjid belum ber-
47
akhir. Sunan Kalijaga mencoba mengakhiri perdebatan itu. De-
ngan berdiri menghadap ke selatan, puncak masjid Demak dipe-
gangnya kemudian dipertemukannya dengan masjid Mekah.
Para wall takut dan heran menyaksikan kejadian itu. Mereka
semua atas pertanyaan Sunan Kalijaga menyatakan bahwa kib-
lat masjid Demak telah betul. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga
segera melepaskan kedua masjid itu dari kedua belah tangannya.
Masjid Mekah kembali ke tempatnya semula, sedangkan yang
terlihat tinggalah masjid Demak.
Setelah pembangunannya rampung seluruhnya, masjid
Demak dicoba untuk sembahyang Jumat. Semua yang ikut sem-
bahyang dapat tertampung di dalamnya karena besarnya masjid
itu. Sehabis sembahyang para wall duduk-duduk sambil meli-
hat keadaan bangunan masjid bagian dalam. Lama-kelamaan di
atas terlihat oleh mereka sebuah bungkusan kulit domba yang
bergantung. Oleh Sunan Bonang bungkusan itu diambil dan
dibukanya. Di dalamnya terdapat sepucuk surat dan sebuah
baju yang sangat indah. Menurut surat dari Kanjeng Nabi itu,
baju yang indah itu supaya diberikan kepada Sunan Kalijaga.
· Nama baju yang indah itu adalah Kiai Antrakusuma. Sunan
Bonang pun segera_ menyerahkan baju itu kepada Sunan Kali-
jaga yang berhak menerimanya.
Karena tertarik akan baju itu, Sunan Bonang bettnaksud
akan membuat baju seperti itu dengan mencontoh Kiai Antra-
kusuma. Sunan Kalijaga menyerahkan Kiai Antrakusuma lkepada
Sunan Bonang supaya dipakai sebagai contoh. Tidak lama kemu-
dian baju yang dibuat Sunan Bonang ini telah jadi dan diberinya
nama Kiai Gondil, tetapi ketika dipakai, baju itu terlalu kecil
buat Sunan Bonang. Rupanya Sunan Bonang salah mengukur,
sehingga baju buatannya itu terlalu kecil baginya. Kiai Gondil
kemudian diminta dan dipakai oleh Sunan Girl, tetapi ternyata
juga kekecilan. Demikian juga para wall lainnya. Oleh karena
itu, Kiai Gondil oleh Sunan Bonang diberikan kepada Sunan
Kalijaga. Ternyata baju ini pas bagi Sunan Kalijaga. I tulah per-
tanda bahwa Sunan Kalijaga dikasihi oleh Kangjeng Nabi.
Perjalanan Supa dari Tuban beserta istrinya telah sampai

48

di Majapahit. Kebetulan pada waktu itu Prabu Brawijaya sedang


bersedih hati karena negara Majapahit terserang suatu wabah.
Banyak orang meninggal secara mendadak. Sore terserang penya-
kit, keesokan harinya mereka meninggal; pagi hari menderita
sakit, siang harinya mereka meninggal. • Orang-orang di dalam pura
pun banyak yang meninggal. Ratu Darawati sendiri dalam ke-
adaan sakit keras. Oleh karena itu, tiap malam mesti ada orang
yang ditugaskan menjaganya.
Sekarang yang mendapat giliran jaga malam adalah Tumeng-
gung Supadriya dan Supagati, kakaknya. Sebenarnya keduanya
juga dalam keadaan sakit sehingga mereka tidak dapat melaksana-
kan tugasnya. Mereka berdua bersepakat akan menyuruh anaknya
masing-masing supaya mewakilinya. Supagati diwakili oleh Jigja,
sedangkan Tumenggung Supadriya diwakili oleh Supa yang baru .
datang dari Tuban. Pada waktu yang telah ditentukan Supa dan
Jigja masuk ke dalam-pura untuk melaksanakan tugasnya.
Sebenarnya wabah di Majapahit itu disebabkan oleh Kiai
Condongcampur, sebuah keris pusaka di Majapahit. Tiap malam
keris itu keluar dari petinya dengan tujuan membuat orang Ma- .
japahit menderita sakit. Supa takut sekali ketika melihat Kiai
Condongcampur yang tampak membara itu keluar dari peti - •
emasnya. Ia tidak dapat berkata apa-apa, tetapi keris yang di-
bawanya, Kiai Sengkelat, terhunus dari sarungnya dan langsung
menyerang Kiai Condongcampur. Supa makin takut menyaksi- •

kan peperangan kedua keris itu. Keris Jigja pun kemudian ke-
luar dari sarungnya dan langsung ikut memerangi Kiai Condong-
campur, tetapi menderita kalah karena patah. Kiai Sengkelat
meneruskan perang tandingnya sehingga dapat mengalahkan
Kiai Condongcampur
Kiai Condong~pur segera lari dan cepat-cepat masuk ke
dalam peti emasnya. Prabu Brawijaya terbangun karena men-
dengar bunyi yang tidak keruan dari arab tempat Kiai Condong-
campur. Prabu Brawijaya kemudian mencari apa sebenarnya
yang berbunyi itu, tetapi tidak ada sesuatu yang terlihat. Orang-
orang di dalam pura masih tidur dengan nyenyak, kecuali Supa
yang memang tidak tidur.

49

,

Sesudah tetjadinya peristiwa itu Ratu Darawati merasa ber-


• kurang rasa sakitnya sehingga dapat bangun dengan perlahan-
lahan. Orang-orang yang masih tidur kemudian dibangunkannya
pula.
XXX. (Sinom)
Karena sembuhnya Ratu Darawati tetjadi ketika Supa dan
Jigja bertugas jaga, maka keduanya oleh Prabu Brawijaya diberi
hadiah. Sesudah itu mereka berdua kembali ke katumenggungan.
Di sana Supa menceritakan kepada Jigja bahwa tadi malam keris
J igja berperang melawan pusaka Prabu Brawijaya. Menyesal
Jigja karena tidak dapat menyaksikan peperangan itu, dan lagi
ternyata kerisnya menjadi rusak. Kerusakan ini dapat diperbaiki-
nya sehingga Sabukinten, nama keris itu, pulih seperti keadaan-
nya semula. Kiai Sengkelat, milik Supa, tidak mengalami ke-
rusakan. Jigja menyarankan supaya Supa menyembunyikan
kerisnya baik-baik agar tidak ketahuan oleh Prabu Brawijaya.
Jigja sendiri telah mengubah wajah kerisnya dengan maksud
yang sama.
Atas saran Jigja itu, Supa beranggapan bahwa sebaiknya
ia pulang•
ke Tut:-..~. Jigja sangat menyetujuinya. Supa segera
-minta pamit kepada Tumenggung Supadriya yang ketika itu
telah sembuh dari sakitnya. Rasawulan pun minta pamit kepada
mertuanya itu. Di sepanjang petjalanan banyak orang yang heran
• melihat keelokan rupa sepasang suami istri itu. Di samping elok
rupanya, di Tuban nama Supa makin terkenal. ..
Beberapa waktu kemudian Prabu Brawijaya mengambil
Kiai Condongcampur dari petinya. Prabu Brawijaya pada saat
itu demi melihat keris pusakanya itu rusak. Ia marah dan juga
malu karena kejadian ini. Diduganya bahwa puranya kemasukan
pencuri, tetapi masalah ini akhirnya tidak dihiraukannya lagi.
Prabu Brawijaya bettnaksud akan membuat sebuah keris pusaka
lagi dari Kiai Condongcampur yang telah rusak itu.
Sesudah dibakar dan kemudian akan ditempa oleh Supad-
I

.riya, Kiai Condongcampur menghilang ke angkasa dengan men-


datangkan bunyi yang gemelegar. Gunung Kelud memuntahkan
lahar karenanya sehingga banyak orang dan binatang yang mati.
50


Hujan turun dengan lebatnya dan angkasa kelihatan sangat ge-


lcip . .
Bersamaan dengan datangnya cuaca yang cerah! terlihat-
Iah Kiai Condongcampur sebagai sebuah bintang berasap di
langit. Banyak yang menyaksikannya pada malam hari yang te-
rang........ itu. Ketika Prabu Brawijaya menengadah menyaksikan-
nya, bintang berasap itu berkata supaya Prabu Brawijaya mem-
buat sebuah keris yang bercorak seribu. Jika Prabu Brawijaya
tidak dapat membuat sebuah keris yang dimaksudkan itu, kesela-
matan negara Majapahit akan terancam. Prabu Brawijaya kemudi-
an m.engerahkan para pandai besi supaya membuat keris itu baik-
baik.
Menghilangnya Kiai Condongcampur itu terdengar pula
di Blambangan. Adipati Blambangan mendengar hal itu dari
gurunya. Di samping itu, Adipati Siyunglaut diberi tahu pula
oleh gurunya itu~ahwa jatuhny~ Majapahit kurang setahun se-
bab pusaka kerajaan telah berpindah ~e Tuban, yaitu berupa •

sebuah keris yang bemama Kiai Sengkelat. Siapa yang memi-


liki keris buatan wall ini nanti akan menguasai Pulau Jawa. Men-
dengar keterangan gurunya itu, Adipati Siyunglaut bettnaksud
akan mencuri Kiai Sengkelat, supaya dapat menguasai Pulau
- Jawa.
Si Caluring yang mendapat perintah supaya mencuri Kiai
Sengkelat segera berangkat ke Tuban bersama dengan angin ber-
tiup. Sebentar saja ia telah sampai di sana. .Seorang pun tidak
.
ada yang mengetahui kedatangannya di dalam pura Tuban. De-
ngan kekuatan ajinya, Caluring dapat membuat Kiai Sengke-
lat keluar sendiri dari petinya dan langsung menuju tempat Ca-
luring. Kiai. Sengkelat segera diambil dan dibawanya pulang ·
ke Blambangan tanpa mengalami kesulitan.
Sesampainya di Blambangan, Kiai Sengkelat oleh Calu- ·
ring diserahkan kepada Adipati Siyunglaut. Senang sekali hati
Adipati Siyunglaut menerimanya. Karena jasanya itu, Caluring
diaku sebagai saudara Adipati Siyunglaut dan diberinya kedu-
dukan sebagai pafih.
Walaupun hilangnya Kiai Sengkelat dengan cara seperti

51
'

itu, Sunan Kalijaga yang sedang berkeliling dunia dapat me-


ngetahuinya. Sebentar saja ia telah tiba di Tuban dan menanya-
kan Kiai Sengkelat kepada Supa. Segera Supa mengambil ke-
risnya itu, tetapi sampai lama ia tidak menemukannya.

XXXI. (Dandanggula)
.
· Supa Sedih memikirkan kerisnya yang tidak ditemukan
di tempatnya, padahal petinya tidak berubah. Dewi Rasawulan
~ pun tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, Supa dan Rasawu-
lan menemui Sunan Kalijaga untuk melaporkan hal itu. Sebe-
lum menjelaskan masalah hilangnya Kiai Sengkelat, Sunan Ka-
lijaga meminta supaya Rasawulan menanak nasi. Segera Rasa-
wulan memenuhi perintah itu. Karena agak tergesa-gesa, ayam
anaknya ditangkapnya untuk disembelih. Ketika Rasawulan me-
nanak nasi itu, Sunan Kalijaga menjelaskan masalah hilangnya
Kiai Sengkelat kepada Supa. Dikatakannya bahwa Kiai Sengke-
lat dicuri oleh Caluring, utusan Adipati Siyunglaut dari Blam-
bangan. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga menyarankan supaya

Supa dapat mengembalikan Kiai Sengkelat ke Tuban. Supa pun

menyanggupmya.
Sementara it:.: a.nak Supa yang tadi sedang tidur

sekarang
telah bangun. Dari tempat tidurnya ia langsung menuju kolam
untuk memberi makan ikan di kolam itu. Karena kurang hati-
hati, ia tetjerumus ke dalam kolam sehingga menemui ajalnya.
Seorang pun tidak ada yang mengetahuinya, dan semua orang
mengira bahwa anak itu masih tidur. -
Sunan Kalijaga yang sudah agak lama duduk-duduk di sa-
na ingin mengetahui anak Supa. Karena dikira masih tidur, Su-
pa disuruhnya membangunkan anaknya itu. Karena itulah Supa
baru mengetahui bahwa anaknya telah tewas di dalam kolam,
tetapi berita kematian anaknya itu masih dirahasiakannya ka-
rena ia ingat bahwa Sunan Kalijaga baru akan makan. Rasawu-
lan pun tidak diberi tabu. Supa mengembalikan mayat anak-
nya ke tempat tidurnya semula, dan di sana mayat itu diatur
seperti anak yang masih hidup sedang tidur.
Dengan tetap merahasiakan kematian anaknya, Supa mem-

52
'

persilakan supaya Sunan Kalijaga makan. Ketika itu Sunan Ka-


lijaga ingat kembali akan anak Supa yang tadi ditanyakannya.
tetapi Supa tetap mengatakan bahwa anaknya masih tidur. Ka- ·
rena Supa beralasan tidak berani membangunkan anaknya, maka
Sunan Kalijaga sendiri memanggil anak itu dari tempat makan.
Anak yang sebenarnya telah meninggal itu terbangun ketika
dipanggil Sunan Kalijaga. Dengan menangis Supa menerangkan
kepada Sunan Kalijaga bahwa sebenarnya tadi anaknya telah
meninggal. Atas ucapan Sunan Kalijaga pula, ayam yang telah
disembelih dan dijadikan lauk dihadapannya hidup kembali. ..
Mengetahui ayamnya hidup kembali, anak Supa senang sekali
sehingga ia lupa akan makannya. Sunan Kalijaga tetap melan-
jutkan makannya sampai selesai. Sebelumnya, karena ucapan
Sunan Kalijaga pula, ikan tambera yang telah dimakan daging-
nya sebagai lauk hidup kembali. Ikan yang tinggal tampak kepa-
la, duri, dan siripnya ini dilepaskan dan hidup kembali di ko-
lam dengan keadaan seperti itu.
Sebelum meninggalkan Tuban, Sunan Kalijaga membe-
rikan sebuah nama bagi anak Supa, yaitu Ki Anom. Di samping
itu, ia menyarankan supaya Supa segera pergi ke Blambangan
untuk mencari kerisnya yang telah hilang. Supa pun segera be-
rangkat seorang diri. Dalam petjalanan, ia bertemu dengan se··
orang pedagang dari Madura, Kiai Singkir namanya. Supa ke-
mudian mengikuti petjalanan Kiai Singkir ini menuju Madura.
Kira-kira setengah bulan berada di Madura ini, Supa yang telah
mengganti namanya dengan Kiai Kasa meneruskan pelayaran-
nya menuju Sumenep. Di sana ia berpisah dengan Kiai Singkir
dan meneruskan perjalanannya ke Kahuripan. Dari sana ia me-
nuju Besuki dan akhirnya menuju Blambangan.
Sesampainya di Blambangan, Kiai Kasa menumpang di
rumah Empu Sarap. Kiai Kasa mengganti lagi namanya dengan
Pitrang. Setiap hari ia membantu Empu Sarap membuat keris.
Pada waktu itu Patih Caluring datang ke tempat mereka be-
ketja. Ia menyela supaya dibuatkan sebuah pisau, tetapi Empu
Sarap tidak mau mengetjakannya. Pitranglah yang ditunjuk oleh
Empu Sarap supaya membuat pisau itu. Tidak terlalu lama Pi-

53

trang telah dapat menyelesaikan pekerjaannya itu. Pisau yang


telah jadi itu diserahkannya kepada Patih Caluring. Temyata
• pisau buatan Pitrang ini ampuhnya bukan main. Oleh karena
itu, pada kesempatan berikutnya Patih Caluring menghenda-
ki supaya Pitrang membuat keris dan tombak yang ampuhnya
- seperti pisau yang telah dibuatnya. Jika Pitrang dapat menye-
lesaikan peketjaan itu dengan baik. Patih Caluring berjanji akan
menghadapkan Pitrang kepada Adipati Siyunglaut. Pitrang ber-
sedia menerima pekerjaan itu, dan Patih Caluring pun segera
menyerahkan besi kepada Pitrang supaya dibuat keris dan tom-
bak yang dimaksudkannya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Pitrang telah dapat ·
menyelesaikan pekerjaannya. Keris dan tombak yang telah
jadi itu kemudian diserahkannya kepada Patih Caluring. Ter-
cengang Patih Caluring melihat keris dan tombak buatan Pi-
trang. Keinginannya dapat dipenuhi oleh Pitrang. Sebagai tan-
da terima kasihnya, Pitrang diakunya sebagai saudaranya. Di
samping itu, sesuai dengan janjinya, Patih Caluring menghadap-
kan Pitrang kepada Adipati Siyunglaut. Di sana Patih Caluring
menceritakan segala tingkah laku Pitrang yang dapat mengam-
bil hatinya sehingga Adipati Siyunglaut pun ikut tertarik bati-
nya kepada Pitrang itu.


XXXII. (Asmaradana)
Melihat kepandaian Pitrang dalam hal membuat keris, tim-
-
bul keinginan Adipati Siyunglaut supaya Pitrang dapat pula mem-
buat sebuah keris lagi, yaitu sebuah keris yang sama dengan
Kiai Sengkelat. Atas pertanyaan Adipati Siyunglaut, Pitrang
menyatakan kesanggupannya. Sebagai contoh, Kiai Sengkelat
oleh Adipati Siyunglaut diperlihatkan kepada Pitrang. Tidak
lupa Pitrang terhadap keris pusakanya yang telah hilang itu.
Ia meminta kepada Adipati Siyunglaut supaya diperboleh.kan
membawa Kiai Sengkelat untuk dipakai sebagai contoh pem-
buatan keris yang dilakukannya. Syarat lainnya, Pitrang minta
dicarikan .tempat yang sepi dan gelap serta minta supaya disedia-
kan sajen yang diperlukannya. Adipati Siyunglaut kemudian

54

,
.\

memerintahkan Patih Caluring supaya mempersiapkan semua-


nya itu. ..
Setelah semua pettnintaannya dipenuhi, Pitrang mulai me-
laksanakan tugasnya. Di tempat yang gelap, malam hari itu Pi-
trang memanjatkan doa kepada Ywang Sukma supaya besi pem-
berian Adipati Siyunglaut yang dipakai sebagai bahan pembuat-
an keris itu dapat berubah menjadi keris. Pettnohonan Pitrang •

temyata dikabulkan-Nya, dan terciptalah dua buah keris yang


sama benar dengan Kiai Sengkelat. Dengan keampuhan mante-
ranya, Pitrang berhasil menyembunyikan Kiai Sengkelat yang
asli di -sebuah sungai tanpa diketahui oleh siapa pun. Dua buah
keris kembar yang masih dibawanya diserahk:annya kepada Pa-
tih Caluring untuk kemudian diperlihatkan kepada Adipati Si~ -
yunglaut. Baik Patih Caluring maupun Adipati Siyunglaut ti-
dak dapat membedakan mana Kiai Sengkelat yang asli dan mana
yang timan, yang··-dibuat oleh Pitrang. Atas pertanyaan mere-
ka berdua, Pitrang juga tidak dapat menunjukkan mana yang
asli dan mana yang bukan Kiai Sengkelat yang sebenarnya, te-
tapi ia sendiri tahu bahwa kedua buah keris itu masing-masing
bukan Kiai Sengkelat. Karena memang sama benar, maka ke-
dua keris itu oleh Adipati Siyunglaut dijadikan pusakanya dan
siapa pun sejak saat itu tidak diperbolehk:an membuat keris
yang menyamai Kiai Sengkelat lagi.
Sebagai tanda rasa terima kasih atas keberhasilan Pitrang
dalam membuat keris yang dikehendakinya, Adipati Siyunglaut
mengangkat Pitrang sebagai pangeran di Sendang Sedayu de-
ngan gelar Pangeran Sendang. Di samping itu Pangeran Sen-
dang juga dinikahkan . dengan putri Adipati Siyunglaut sendiri.
Upacara perkawinannya diselenggarakan dengan meriah.
Setelah upacara perkawinan itu selesai, tinggallah sepasang
temantin barn yang berbahagia itu. Pangeran Sendang bettnak-
sud akan mengajak bersuka-sukaan istrinya, tetapi istrinya meng-
hindarinya dengan alasan khawatir sanggulnya menjadi rusak.
Namun demikian, Pangeran Sendang berusaha merayu istri-
nya itu. Dengan cara menghinakan diri dan mengalunkan ka-
ta-kata sanjungan yang memikat hati, Pangeran Sendang berha-
-
55

;

-
sil menaklukkan istrinya dalam pelukannya.
Berselang tujuh hari kemudian dari hari perkawina'n nya.
Pangeran Sendang minta pamit kepada Adipati Siyunglaut. Ia
bersama istrinya akan berangkat ke Sendang Sedayu. Baik Adi-
pati Siyunglaut maupun Patih Caluring menyetujui keberang-
katan mereka. Semula Sendang Sedayu itu sebenamya adalah tern-
pat tinggal saudara laki-laki Adipati Siyunglaut. Karena s~udara
laki-lakinya itu meninggal dengan tidak meninggalkan seorang
anak pun , maka Adipati Siyunglaut dapat menguasai tempat
itu. Sekarang Sendang Sedayu oleh Adipati Siyunglaut diserah-
...
kan kepada putrinya yang telah menikah dengan Pangeran Sen-
dang atau Ki Supa dari Tuban itu.
Setelah agak lama tidak terdengar kisahnya, Ki Ageng Ta-
rub sekarang telah mempunyai seorang anak laki-laki, Getas
Pendawa namanya. Bondangejawan telah meninggal dan digan-
tikan oleh anaknya, tetapi tempat tinggalnya berpindah ke Se-
la. Ki Ageng Sela sendiri sekarang tertarik akan ilmu kebatin-
an. Ia dahulu sudah berguru kepada Sunan Kalijaga sehingga
kemudian dipersaudarakannya dengan Adipati Natapraja. Ki
Ageng Sela menyetujui maksud Adipati Natapraja mengislam-
. kan seluruh orang Majapahit, tettnasuk juga Prabu Brawijaya.
Oleh karena itu, segera Adipati Natapraja bettnaksud akan
menghadap Prabu Brawijaya di Majapahit.
Setibanya di sana, ia langsung dapat bertemu dengan Pra-
bu Brawijaya.
-
XXXIII. (Sinom)
Atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Adipati Natapraja me-
nyatakan tujuan kedatangannya di sana. Ia memohon supaya
Prabu Brawijaya dan seluruh orang Majapahit mau melaksana-
kan syariat agama Islam. Di samping itu, disarankannya pula
sebaiknya Prabu Brawijaya dapat membangun sebuah masjid
seperti masjid Bintara. Prabu Brawijaya atas maksud Adipati
Natapraja itu hanya menjawab bahwa ia tidak melarang siapa
pun yang akan memeluk agama Islam, tetapi ia sendiri tidak
akan berganti agama.

56
Mengetahui bagaimana perasaan hati Adipati Natapraja
mendengar jawabannya itu, Prabu Brawijaya kemudian meng-
alihkan pembicaraannya dengan Patih Gajahmada. Yang diper-
tanyakan Prabu Brawijaya adalah sebuah keris yang bercorak
seribu untuk keselamatan negara Majapahit, tetapi Patih Ga-
jahmada mengatakan bahwa sampai saat itu belum ada seorang
empu pun yang sanggup membuatnya. Karena marahnya, ma-
ka kepada Patih Gajahmada diperintahkannya supaya menca-
ri empu yang sanggup membuat keris yang dimaksudkannya
itu. Patih Gajahmada dilarang pulang sebelum mendapatkan
empu yang dicarinya.
Patih Gajahmada berangkat mencari empu dan Adipati
Natapraja juga keluar dari pura. Prabu Brawijaya pergi ke tern-
pat orang-orang yang sedang bekerja. Di sana para empu di-
perintahkannya supaya membuat keris, tetapi satu pun tidak
ada keris di antara buatan para empu itu yang mirip dengan
keris yang dikehendaki Prabu Brawijaya. Walaupun demikian
Prabu Brawijaya tidak tampak kecewa, tetapi malahan sambil
bergurau ia mengajak para peketja berbincang-bincang tentang
peketjaan mereka dan penghasilannya. Akhirnya, Prabu Bra-
wijaya kembali lagi ke masalah keris yang diinginkannya. Dika-
takannya, siapa pun yang dapat membuat keris yang diingin-
kannya itu akan diangkat menjadi adipati, tetapi para empu
menyatakan tidak sanggup. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya
kemudian menanyakan Supa, anak Supadriya, yang pada waktu
itu tidak tampak ikut bekerja. Atas pertanyaan ini, Supadriya
mengatakan bahwa anaknya berada di Tuban karena baru saja
menikah dengan putri .Tuban. Prabu Brawijaya kemudian me-
merintahkan supaya Supadriya pergi ke Tuban menyusul anak-
nya itu.
SekembaJinya dari Majapahit, Adipati Natapraja tidak lang-
sung ke Bintara, tetapi singgah dulu di Ampelgading. Ia mera-
sa malu karena tidak berhasil mengislamkan Prabu Brawijaya, ,
ayahnya. Ia malu karena ayahnya adalah pemeluk agama Bu-
dha yang dinilainya -sebagai seorang kafrr. Oleh karena itu, ia le-
bih senang apabila tidak diaku sebagai anak Prabu Brawijaya.

57
,
'

Malahan, timbullah keinginannya akan merebut Majapahit dan


mengganti Prabu Brawijaya dengan raja yang memeluk agama
Islam. Semua isi hatinya itu disampaikannya kepada Sunan
Ampel, tetapi Sunan Ampel malarangnya sebab belum sampai
pada saatnya. Setahun lagi raja Budha itu akan berakhir kekua-
saannya. Prabu Brawijaya sudah tahu akan hal itu. Oleh ka-
rena itu, ia tidak melarang orang memeluk agama Islam.
Berdasarkan semuanya itu, Sunan Ampel menyarankan
supaya Adipati Natapraja memohon kepada Tuhan agar dibe-
ri pusaka sebagai syarat untuk menjadi raja. Di samping itu,
Adipati Natapraja disarankannya pula agar minta pusaka kepa-
da Sunan Kalijaga. Meminta doa restu kepada para wall dan
Adipati Palembang merupakan hal yang tidak boleh dilupa-
kannya pula.
Dengan senang hati Adipati Natapraja mau mengindah-
kan semua nasihat Sunan Ampel. Keesokan harinya ia bersa-
ma-sama dengan Ki Ageng -Sela, Patih Wanasalam, dan . Iman
Semantri minta pamit kepada Sunan Ampel. Mereka herem-
pat tidak pulang ke Bintara, tetapi akan meminta doa restu kepa-
da para wall supaya usahanya menjatuhkan Majapahit berha-
sil. Para wall pun ternyata mendukungnya pula. -
Setelah agak lama tidak terdengar kisahnya , sekarang anak
Supa di Tuban, Raden Anom namanya, sudah besar. Selama
ini ia selalu ditinggal pergi oleh ayahnya, tetapi ia senang hidup
dengan berprihatin sehingga dapat memperoleh kesaktian yang
luar biasa. Namun demikian, karena ayahnya dirasal(annya te-.
lah lama pergi meninggalkannya, maka Raden Anom bettnak-
sud akan menyusulnya. Adipati Tuban, kakeknya, melarang
kepergian Raden Anom menyusul ayahnya itu sebab tidak
mungkin akan menemukannya. Menurut kakeknya itu, Supa
sedang mengikuti petjalanan Sunan Kalljaga berkeHling du-

nta.
Pada waktu itu datanglah TumenggUlllg Supadriya di Tu-
ban. Kehadirannya di sana, sebagai utusan Prabu Brawijaya,
bermaksud akan mengajak Supa supaya mau datang mengha-
dap ke Majapahit. Diharapkan oleh Prabu Brawijaya, Supa akan

58

dapat membuat keris yang diinginkannya. Sebenarnya adipa-


ti Tuban mengizinkannya tetapi kebetulan Supa sedang tidak
berada di Tuban. Dikatakan pula oleh adipati Tuban kepada
Tumenggung Supadriya bahwa Raden Anom baru saja mena-
ngis karena ingin menyusul ayahnya itu.
Dalam pertemuan di Tuban ~~~ t(L~~llah Tumenggung Su-
padriya bahwa Raden Anom adalah anak Supa, dan berarti pula
bahwa Raden Anom adalah cucunya sendiri. Senang sekali Ra-
den Anom bertemu dengan kakeknya itu. Rasanya seperti ber-
temu dengan ayahnya saja. Ketika Tumenggung Supadriya pu-
lang ke Majapahit, Raden Anom ikut ke sana meskipun sebe-
narnya ibunya dan adipati Tuban mencegahnya.

XXXIV. (Pangkur)
Sesampainya di Majapahit, Tumenggung Supradriya me-
laporkan kegagalannya memanggil Supa kepada Prabu Brawi-
jaya. Hanya saja, ia berhasil membawa anak Supa ke Majapahit
dengan harapan supaya nanti Supa menyusulnya. Prabu Bra-
wijaya membenarkan maksud Tumenggung Supradiya itu.
Walaupun anak Supa itu masih kecil, Prabu Brawijaya her-
tanya kepadanya, apakah anak itu dapat membuat sebuah · ke-
ris yang dimaksudkan itu, ia akan diberi hadiah tanah dan di-
angkat sebagai adipati oleh Prabu Brawijaya. Raden Anom me-
nyatakan belum dapat membuat keris, tetapi apabila Prabu Bra-
wijaya memang menghendakinya, ia akan mencobanya. Hanya
saja, ia minta supaya semua besi tua yang ada ditaruh di tepi laut ,
di utara pantai Tuban.
Mendengar pettnintaan Raden Anom itu, Prabu Brawija-
ya heran; tidak mengira ia bahwa anak sekecil itu mempunyai
pikiran seperti pikiran orang dewasa. Oleh karena itu, pettnin-
taan Raden Anom akan dipenuhinya. Orang Majapahit diperin-
tahkan oleh Prabu Brawijaya supaya mengantarkan besi tua
yang dimaksudkan ke Tuban. Setelah semuanya siap, berang-
katlah Tumenggung Supadriya mengantarkan cucunya ke pesi-
sir utara.
Pangeran Sendang yang sudah agak lama berada di Sen-

59

dang Sedayu bersama dengan istrinya teringat akan perintah


Sunan Kalijaga. Ia oleh Sunan Kalijaga diperintahkan supaya
mencari Kiai Sengkelat yang telah hilang dari Tuban. Di sam-
' ping ingat akan perintah itu, ia teringat pula akan anak dan istri-
nya yang ditinggalkannya di Tuban. Oleh karena itu, ia minta
pamit kepada istrinya akan pergi ke Tuban, tetapi istrinya yang
baru ini melarangnya karena sedang mengandung tujuh bulan.
Hanya dengan kata-kata manisnya yang bersifat memuji dan
menghibur hati, Pangeran Sendang akhirnya mendapat kesempat-
an pergi ke Tub an. Yang dipikirkan sebenamya hanyalah Kiai

Sengkelat. Sebelum meninggalkan istrinya itu, Pangeran Sen-
dang meninggalkan pesan supaya anaknya nanti jika lahir laki-
laki diberi nama Jakasura. Di samping litu, Pangeran Sendang
meninggalkan dua belas bakal keris kepada istrinya dengan pe-
san supaya dirawat baik-baik karena besar tuahnya.
Hanya seorang diri Pangeran Sendang pergi meninggalkan
istrinya. Ia singgah dulu di Blambangan dengan maksud akan
mengambil Kiai Sengkelat yang dahulu disembunyikannya di
sungai. Tanpa diketahui oleh seorang pun ia berhasil mengam-
bil Kiai Sengkelat dengan selamat. Dari Blamban_gan ia mene-
rusk~ perjalanannya menuju Tuban.
Raden Anom yang mendapat pekerjaan membuat keris
sampai saat ini belum memperoleh hasil. Ia membuat keris di
laut utara bersama-sama para empu Majapahit yang bekerja di
darat . Banyak besi yang telah dibakar, tetapi sebuah keris pun
belurn ada yang jadi. ·
Ketika itu Sunan Kalijaga berada di Pulau Upih. Mengeta-
hui kesulitan-kesulitan yang dihadapi Raden Anom dalam pem-
buatan keris itu, Sunan Kalijaga merasa kasihan kepadanya.
Oleh karena itu, ia segera datang di pantai Tuban. Raden Anom
dipanggilnya supaya naik ke darat. Di sana Sunan Kalijaga

menasihatinya supaya Raden Anom tidak bersedih hati atas ke-


sanggupannya membuat keris meskipun hal itu sulit dikerjakan-
nya. Sunan Kalijaga sendiri tidak mengira Raden Am>m dapat
menjadi pandai besi di dalam laut. Sunan Kalijaga kemudian

menyerahkan sebutir besi sebesar biji asam kepada Raden Anom

60
supaya dibuat keris di dalam laut. Besi itu diterimanya, tetapi
kemudian Raden Anom mengatakan kepada Sunan Kalijaga
bahwa tidak mungkinlah besi sekecil itu dapat dijadikan keris.
Sunan Kalijaga tersenyum. Sesaat kemudian, atas keampuhan
ucapan Sunan Kalijaga, besi itu dapat menjadi segunung besar-
nya. Raden Anom tercengang melihat itu.
Dalam perjalanannya pulang ke Tuban, Pangerail Sendang
mendengar kabar bahwa para empu Majapahit sedang membu-
at keris di pantai utara. Oleh karena itu, Pangeran_Sendang ber-
maksud akan menuju tempat mereka bekerja itu. Setibanya di
sana, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga. Atas pertanyaan Su-
nan Kalijaga, Pangeran Sendang yang dahulu bemama Supa itu
mengatakan bahwa ia telah berhasil menemukan kernbali Kiai
Sengkelat yang telah hilang dari Tuban.
Setelah sating melepaskan kerinduan dengan ayahnya,
Raden Anom oleh Srinan Kalijaga diperintahkan membuat besi
sebesar biji asam tadi menjadi sebuah keris seperti Kiai Sengke-
lat. Besi yang tadi menja~li sebesar gunung dan sekarang telah
kembali menjadi sebiji asam itu diterima oleh Raden Anom
dan kemudian dibawanya ke dalam laut. Tidak lama kemudian
keris yang dimaksudkan telah selesai dibuat oleh Raden
Anom • Sunan Kalijaga memerintahkan Raden Anom supaya
keris yang hampir sama ujudnya dengan Kiai Sengkelat ini di-
serahkan kepada Prabu Brawijaya.
Kiai Sengkelat oleh Sunan Kalijaga diberikan kembali ke-
pada Pangeran Sendang, tetapi Pangeran Sendang menolaknya
sebab khawatir, jangan-jangan Kiai Sengkelat nanti hilang lagi.
Kecuali itu, yang berhak memakai Kiai Sengkelat adalah seo-

rang raja. Oleh .karena itu, Pangeran Sendang menyerahkannya
kepada Sunan Kalijaga. Sunan ICalijaga sendiri membenarkan
dan dapat memahami maksud Pangeran Sendang itu. Sesudah
itu Sunan Kalijaga pergi lagi.
Pangeran Sendang dan Raden Anom segera menemui para
empu Majapahit yang sedang bekerja. Tumenggung Supadriya
senang sekali dapat beijumpa dengan anak dan cucunya di sana.
Dan lagi, cucunya telah berhasil membuat sebuah keris yang

'
61
dimaksudkan oleh Prabu Brawijaya. Para empu pun ikut ber-
gembira. Mereka semua yang berada di Tuban kembali ke Ma-
japahit.

XXXV. (Dandanggula)
Setibanya di Majapahit, Tumenggung Supadriya, Pangeran
Sendang, Raden Anom , dan para empu menghadap Prabu Bra-
wijaya. Di sana Tumenggung Supadriya melaporkan segala yang
dilakukan Raden Anom dari awal sampai akhir; tidak keting-
galan juga tentang diri Supa yang telah mendapat gelar Pange-
ran Sendang. Senang dan heran Prabu Brawijaya atas kepandai-
an Supa beserta anaknya. Keris buatan Raden Anom yang dibe-
ri nama Nagasasra atau Segarawedang diterima oleh Prabu Bra-
wijaya. Pangeran Sendang kemudian oleh Prabu Brawijaya di-
perintahkan supaya menatah keris itu dengan pettnata.
Atas keberhasilannya membuat sebuah keris yang berco-
rak seribu itu, Raden Anom oleh Prabu Brawijaya diangkat
menjadi tumenggung, menggantikan kedudukan kakeknya di
Tuban. Supa tetap berkedudukan di Sendang Sedayu dengan
gelar Pangeran Sendang. Patih Gajahmada diduga oleh Prabu
'
Brawijaya telah meninggal sebab sampai saat itu ia belum pu-
lang sejak diperintahkan mencari empu yang dapat membuat
sebuah keris seperti Nagasasra. Oleh karena itu, Prabu Brawija-
ya mengangkat Adipati Waban dari Daha sebagai pengganti Patih
Gajahmada. Penggantian patih ini diumumkan oleh Empl! Lorn-
bang kepada semua yang menghadap Prabu Brawijaya ·pada wak-
tu itu. Raden Anom sesudah itu diperintahkan oleh Prabu Bra-
wijaya supaya segera kembali ke Tuban. Pangeran Sendang te-
tap tinggal di dalam pura karena masih mempunyai pekerjaan
menatah Nagasasra.
Adipati Natapraja, Ki Ageng Sela, Ki Patih Wanasalam,
dan Iman Semantri yang dahulu mengadakan perjalanan ber-
sama-sama siang dan malam selalu tirakat di dalam gua atau
tempat-tempat yang sepi. Mereka sekarang menuju Pulau Upih.
Sesampainya di sana, mereka bertemu dengan Sunan Kalijaga. Wa-
laupun mereka tidak mengatakan maksud kedatangannya,

62
Sunan Kalijaga telah mengerti tujuan mereka itu, khususnya
keinginan Adipati Natapraja. Dikatakan oleh Sunan Kalija-
ga bahwa wahyu kejayaan Majapahit sudah hampir berpindah,
tetapi belum dapat jatuh ke tangan Adipati Natapraja. Oleh
karena itu, Kiai Sengkelat oleh Sunan Kalijaga diserahkan kepa-
da Adipati Natapraja. Jika Kiai Sengkelat kerasan tinggal di
tempat Adipati Natapraja selama setahun, berarti bahwa Adi-
pati Natapraja akan dapat menjadi raja, menguasai seluruh Pu-
lau Jawa. Setelah menyerahkan Kiai Sengkelat, Sunan Kalijaga
menyarankan supaya Adipati Natapraja minta dukungan atas
tujuannya kepada adipati Palembang dan Sunan Cirebon. Adi-
pati Natapraja mengindahkan anjuran Sunan Kalijaga. Ia
dan ketiga temannya kemudian minta pamit akan meneruskan
perjalanannya.
Sepeninggal mereka berempat, Sunan Kalijaga teringat
akan Cakrajaya yang iinggal di Bagelen.
_;;;;;;.-- . Cakrajaya adalah seo-
rang yang melarat. Ia hidup di dekat hutan dengan istri dan se-
orang anaknya laki-laki. Ia tertarik akan ilmu yang dimiliki Su-
nan Kalijaga sehingga ia bettnaksud akan berguru kepadanya.
Sunan Kalijaga menyetujuinya, tetapi sebagai tanda akan ke-
sungguhan hatinya, Cakrajaya oleh Sunan Kalijaga diminta me-
nelungkup di tanah. Hal ini telah dilakukan Cakrajaya selama
setahun. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga bettnaksud akan me-
nengoknya.
Setibanya di sana, ia melihat bahwa tempat bertapa Ca-
krajaya telah penuh dengan tetumbuhan sehingga para murid
Sunan Kalijaga tidak berhasil menemukan Cakrajaya. Sunan
Kalijaga kemudian memerintahkan mereka supaya tetumbuh-
an itu dibakar. Meskipun badannya hangus dan pakaiannya ha- ·
bis terbakar, Cakrajaya tetap diam saja. Ia tetap menelungkup
di tanah dalam keadaan telanjang, tetapi kemudian ia dibangun-
kan oleh Sunan Kalijaga. Sejak saat itu nama Cakrajaya oleh
Sunan Kalijaga diganti dengan Pangeran Geseng. Kesetiaan Ca-
krajaya sebagai orang yang berguru diterima dengan senang ha-
ti oleh Sunan Kalijaga. Sesudah itu ia menerima ajaran-ajaran
baru dari Sunan Kalijaga.

63
Atas perintah Sunan Kalijaga, Cakrajaya nanti akan ber-
tempat tinggal di desa Lowanu. Hal itu dikatakan oleh Cakra-
jaya ketika betjumpa kembali dengan anak dan istrinya. Di sam-
ping itu, ia juga mengatakan bahwa namanya sekarang adalah
Pangeran Geseng, sedangkan namanya sendiri yang lama akan
menjadi nama anaknya, si Jakagedug. Sesudah itu ia memerin-
tahkan istrinya supaya menanak nasi sebab ia lapar dan sudah
· setahun larnanya tidak makan. Sementara istrinya memasak,
Pangeran Geseng pergi mengail ikan di sungai. Sesampainya
di sungai, ia mengail ikan dengan bersernbunyi di ba1ik sebuah
pohon.
Beberapa saat kemudian Jakagedug datang menyusulnya.
Ia mengintip ayahnya dengan memanjat pohon. Mengetahui
hal itu, Pangeran Geseng mengatakan bahwa anaknya yang me-
ngintip dengan memanjat pohon itu seperti kera. Karena am-
puhnya ucapan itu, seketika Jakagedug berubah menjadi seekor
kera ·besar, tetapi masih memakai kain dan dapat berbicara se-
perti orang biasa. Pangeran Geseng menghibur anaknya supaya
tidak bersedih hati atas kejadian itu sebab memang sudah di-
takdirkan demikian. Supaya dapat kernbali seperti wujudnya
semula, Jakagedug diperintahkannya bertapa di Bagelen dengan
nama Nilasraba. Jakagedug pun menurut perintah ayahnya itu.
Pangeran Geseng dan istrinya kemudian menuju desa Lo-
wanu. Di sana ia membabat hutan sehingga tempat itu akhir-
nya menjadi de sa yang banyak penghuninya, subur, dan mak-
mur.

XXXVI. (Asmarandana)
Adipati Semarang, Ki Ageng Pandanaran, terkenal seba-
gai orang yang kaya. Narnun demikian, keinginannya menum-
puk kekayaan tiada habis-habisnya. Setiap ada barang yang mu-
rah dibelinya, dan nanti dijualnya apabila harganya telah ting-
gi. Tiap hari ia berkeliling pasar mencari barang dagangan yang
tidak habis terjual.
· Mengerti akan sifat Ki Ageng Pandanaran yang derniki-
an itu, Sunan Kalijaga bettnaksud ak~ mencobanya. Untuk

64

itu ia akan menyamar sebagai seorang penjual rumput alang-


alang. Di dalam ikatan rumput dagangannya dimasukkanlah
sebuah bungkusan berisi uang 25 peser. Ia kemudian memi-
kul rum put dagangannya ke pasar.
Di pasar ia bertemu dengan Ki Pandanaran. Sepikul rum-
put alang-alang yang oleh Sunan Kalijaga ditawarkan dengan
harga 25 peser itu dibeli oleh Ki Ageng Pandanaran. Sunan
Kalijaga kemudian mengantar rumput dagangannya itu ke ru-
mah Ki Ageng Pandanaran dan terus pulang. Sepeninggal Su-
nan Kalijaga, tahulah Ki Ageng Pandanaran bahwa di dalam
ikatan rumput itu terdapat uang 25 peser milik penjual rum-
put tadi. Ki Ageng Pandanaran merasa beruntung karena ber-
arti membeli rum put tanpa kehilangan uang.
Esok harinya penjual rumput datang lagi memikul rum-
put dagangan ke rumah Ki Ageng Pandanaran. Heran Ki Ageng •
Pandanaran menerima kedatangan p~njual rumput yang masih
pagi itu, padahal rumahnya di gunung yang jauh, di Jabalkat.
Uang 25 peser yang kemarin tertinggal di dalam ikatan rumput
oleh Ki Ageng Pandanaran dikembalikannya kepada penjual
rumput itu. Setelah menerima uangnya itu, penjual rumput
meminta sesuatu menurut kerelaan Ki Ageng Pandanaran. Di-
berinyalah ia uang sepeser oleh Ki Ageng Pandanaran, tetapi
penjual rumput itu menolaknya. Ia tidak meminta harta ben-
da, tetapi yang diminta adalah bunyi beduk Semarang:
Mendengar pettnintaan penjual rumput itu, Ki Ageng Pan-
danaran marah sebab beduk itu sendiri harganya mahal. Walau-
pun dimarahi, penjual rumput berusaha menyadarkan Ki Ageng
Pandanaran. Dikatakan oleh penjual rumput itu bahwa tidak
sepantasnyalah orang dapat ditunggangi oleh harta benda seperti
Ki Ageng Pandanaran itu. Harta benda akhirnya hanya akan
mempersulit petjalanan menuju surga. Dan lagi, orang hidup
di dunia ini dikatakannya hanya sebentar, sedangkan kehidup-
an di surga tidak terhingga lamanya. Harta benda tidak akan
terbawa pula pada waktu orang menuju surga. Di samping itu,
menurut penjual rumput tadi, satu kali mengayunkan cangkul
di surga, orang dapat memperoleh segumpal emas.

65 .
Karena belum percaya pula Ki Ageng Pandanaran akan se-
muanya itu, penjual rumput pun belum putus asa. Ia meng-
ambil cangkul yang berada di dekatnya kemudian dicangkul-
kannya ke tanah. Sekali mencangkul diperolehnyalah segum-
pal emas. Dikatakan oleh penjual rumput tadi bahwa emas
itu adalah emas surga yang diberikan kepadanya. Ki Ageng Pan-
danaran tertegun dan tidak dapat berkata apa-apa melihat ke-
jadian itu. Dengan perasaan takut ia kemudian menggandeng
penjual rumput itu ke dalam rumah. Setelah minta maaf atas
kesalahannya, Ki Ageng Pandanaran menyatakan keinginannya
berguru kepada penjual rumput. Penjual rumput itu pun meng-
izinkannya asal Ki Ageng Pandanaran memenuhi beberapa sya-
rat yang ditentukan oleh penjual rumput itu. Beberapa syarat
itu antara lain beriman, mengislamkan orang Semarang, mem.;
buat langgar beserta beduknya, berzakat dengan kerelaan hati,
dan jika benar-benar ingin berguru, ia supaya menyusul pen-
jual rumput ke Jabalkat. Pada waktu itulah penjual rumput ber-
kata terus terang bahwa ia sebenarnya adalah Syeh Melaya atau
Sunan Kalijaga. Tempat tinggalnya di Jabalkat atau di desa Ba-
yat.
Sepeninggal S~.; ~an Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran berpa-
mitan kepada kedelapan orang istrinya. Ia akan pergi berguru
kepada Sunan Kalijaga. Hanya istrinya yang tertualah yang ti-
dak mau ditinggalkan sehingga terpaksa diajaknya ikut.

XXXVII. (Kinanti)
Dengan pakaian serba putih, Ki Ageng Pandanaran beser-
ta seorang istrinya berangkat. Dalam perjalanan itu Ki Ageng
Pandanaran melarang istrinya membawa barang-barang berhar-
ga sebab hal itu merupakan larangan gurunya. Walaupun de-
mikian, istri Ki Ageng Pandanaran dengan tidak sepengetahuan
suaminya menyembunyikan petJnata di dalam tongkatnya. Ia
selalu berjalan di belakang suaminya karena takut · akan keta-
huan pettnata bawaannya oleh suaminya.
Sesampainya di tengah hutan, Ki Ageng Pandanaran di-
adang oleh tiga orang penjahat yang be11naksud akan meminta

66
barang bawaannya. Ki Ageng Pandanaran berkata kepada me-
reka itu bahwa tidak membawa apa-apa, tetapi ia kemudian
menunjukkan bahwa istrinya membawa pettnata di dalam
tongkatnya. Atas petunjuk ini, ketiga orang penjahat itu ke-
mudian merebut tongkat istri Ki Ageng Pandanaran.
Seorang penjahat yang lain, Sambangdalan namanya, da-
tang pula kemudian menyusul petjalanan Ki Ageng Pandana-
ran. Tongkat Ki Ageng Pandanaran direbutnya, tetapi karena
ternyata tidak ada isinya, tongkat itu dikembalikan lagi oleh
Sambangdalan kepada Ki Ageng Pandanaran. Karena belum
mendapat apa-apa, Sambangdalan mendesak kepada Ki Ageng
Pandanaran supaya memberinya barang berharga yang lain.
Yang diminta adalah pettnata, tetapi Ki Ageng Pandanaran
tidak memberinya karena memang tidak membawa. Karena
tidak percaya akan jawaban ini, Sambangdalan oleh Ki Ageng
Pandanaran dikatak--afi seperti domba sifatnya. Seketika itu juga
Sambangdalan berubah wujudnya menjadi seekor domba. Me-
ngetahui dirinya berubah menjadi seekor domba, Sambangda-
lan dengan menangis menyusul perjalanan Ki Ageng Panda-
naran.
Sesampainya di Bayat, Ki Ageng Pandanaran langsung
mendaki Gunung Jabalkat. Di sana dijumpainya sebuah padas- -
an yang tak berair dan sebuah masjid kecil. Sambangdalan men-
dapat tugas mengisi padasan itu siang dan malam sehingga ia
tidak pernah dapat tidur karena padasan tadi tidak pernah da-
pat dipenuhinya. Pekerjaan yang berat itu dilakukannya ka-
rena Sambangdalan ingin wujudnya pulih seperti keadaannya
semula. Di hadapan Sunan Kalijaga ia menyerahkan nasibnya.
Ia oleh Sunan Kalijaga dianjurkan supaya bertobat dan me-
mohon kepulihan dirinya kepada Tuhan. Lantaran ~mpuhnya
ucapan Sunan Kalijaga, pada saat itu pula Sambangdalan ber-
ubah kembali seperti wujudnya yang semula sebagai manusia.
Sunan Kalijaga kemudian mencabut tongkatnya yang menan-
cap di tanah. Timbullah di tempat itu sebuah mata air yang ke-
mudian dijadikan sebuah kolam.
Ki Ageng Pandanaran menurut Sunan Kalijaga memang

67
...

sudah ditakdirkan menjadi orang Islam. Namanya oleh Sunan


Kalijaga diganti dengan Pangeran Bayat. Tugasnya kemudian
hari adalah mengislamkan orang Budha dan orang kafir. Ia
diperbolehkan mendirikan perguruan dan diminta oleh Sunan
Kalijaga supaya menjaga sebuah masjid kecil yang telah dise-
butkan di atas. Masjid itu berasal dari Mekah, yaitu dari Jabal-
kat. Sambangdalan akhirnya menjadi sahabat Pangeran Bayat
dan oleh Sunan Kalijaga diberi nama Syeh Domba.
Pangeran Bayat bersedia melaksanakan pesan-pesan Sunan
Kalijaga, tetapi sebelumnya ia minta diwejang tentang asal
mula dan kesudahannya orang hidup di dunia ini. Sunan Ka-
lijaga bersedia memberikan wejangan itu, tetapi dengan per-
mintaan supaya tidak diajarkan kepada orang lain kecuali de-
ngan tarekat, syariat, dan makrifat. Dikatakannya, orang hi-
dup harus meninggalkan amal kebaikan. Orang jahat akan ce-
laka, dan orang baik-baik akan selamat di akhirat.

XXXVIII. (Dandanggula)
.. Orang hidup di dunia ini tidak lama, dapat diumpama-
kan sebagai orang yang pergi ke pasar. Di pasar ia tidak lama,
dan ia akan segera Kembali ke rumah tempat asalnya. Apabi-
la ia tidak tabu asalnya itu, maka ia telah tersesat. Orang
yang mati jangan sampai nanti tersesat seperti itu. Rohnya yang
tersesat itu akan mengembara ke mana-mana karena tidak
mempunyai tujuan. Untuk menghindari hal itu, apabila sese-
orang sampai pada ajalnya janganlah lupa berdikir terus-me-
nerus dan waspada akan dirinya sendiri. Pada saat itu banyak
pemandangan yang sengaja akan menghilangkan iman seseo-
rang. Orang yang tersesat akan menemui pemandangan-pe-
mandangan seperti itu, bahkan pemandangan yang indah dan
menggiurkan hati pula. Sebaliknya, orang yang tahu akan jalan-
nya tidak melihat hal-hal itu, kecuali sukma yang memang ter-
lihat dengan jelas. Pemandangan-pemandangan lain yang seka-
ligus sebagai pertanda bahwa seseorang tidak tersesat dapat
diliha t pula.
Di sam ping wejangan yang telah . disampaikan tersebut,

68 ' .,

,

I

Sunan Kalijaga masih memberikan lagi beberapa ajaran sehing-


ga Pangeran Bayat merasa terang hatinya. Sesudah itu Sunan
Kalijaga pergi. Mereka bertiga ditinggalkannya di sana, ma-
sing-masing Pangeran Bayat beserta istrinya dan Syeh Dom-
ba.
Beberapa waktu kemudian Pangeran Bayat pergi ke desa
Wedi akan mengajarkan agama Islam. Dengan menyamar seba-
gai seorang penuntun kuda ia langsung menuju rumah Ki Ta-
sik di desa Wedi. Di sana ia menjadi pembantu. Pekerjaan istri
Ki Tasik, Nyai Tasik, adalah berjualan serabi. Pada suatu hari ,
.yang ramai Nyai Tasik menjual serabinya di pasar Wedi. Ter-
nyata di sana pembelinya banyak sekali sehingga Nyai Tasik
kewalahan melayaninya, apalagi kayu bakarnya habis karena
Pangeran Bayat lupa membawanya dari rumah. Karena marah,
Nyai Tasik menyuruh Pangeran Bayat supaya tangannya dija-
dikan kayu bakar_ _.. . . Pangeran Bayat kemudian menggunakan
tangan kanannya sebagai kayu bakar. Sebentar saja api pun ber-
kobar-kobar.
Mengetahui kejadian yang aneh itu, Nyai Tasik gemetar
karena ketakutan, te.t api ia justru mempercepat pekerjaannya
membuat serabi sehingga sebentar saja dagangannya habis ter-
jual. Orang di pasar banyak yang melihat kejadian yang aneh
itu. Mereka berkerumun mengeJilingi tempat penjualan sera- •

hi Nyai Tasik. Pangeran Bayat menarik kembali tangan kanan-


nya dari perapian, dan matilah seketika itu juga api yang tadi
menyala-nyala.
Setibanya di rumah, Nyai Tasik menceritakan kejadian
di pasar itu kepada suaminya. Ki Tasik mengerti bahwa yang
0

menyamar sebagai penuntun kuda itu adalah seorang wall. Oleh


karena itu, Ki Tasik dap Nyai Tasik kemudian minta maaf atas
kesalahannya kepada Pangeran Bayat. Sebaliknya, Pangeran
Bayat meminta agar orang desa Wedi mau menganut agama
Islam.
Desa Bayat makin lama makin besar bagaikan sebuah ke-
rajaan semenjak Pangeran Bayat berada di sana. Orang Sema-
rang banyak yang datang ke sana sehingga Pangeran Bayat pun

69
akhirnya dapat bertemu kem.bali dengan anak cucunya. Me-
reka ini ikut tinggal di sana dan ikut mempelajari ilmu yang
diajarkan Pangeran Bayat.

XXXIX. (Durma)
Patih Gajahmada yang dahulu oleb Prabu Brawijaya di-
perintahkan mencari empu yang dapat membuat sebuab ke-
ris bercorak seribu, sampai sekarang belum memperoleh hasil. Oleb
karena itu, ia tidak bettnaksud akan pulang sebab memang be-
lum diizinkan pulang oleb Prabu Brawijaya sebelum menemu-
kan empu yang dicarinya itu. Akan tetapi, sekarang Patih Ga-
jahmada
.... mendengar kabar bahwa kedudukannya sebagai pa-
tih telab digantikan oleh Adipati Waban. Marab ia mendengar
kabar ini sehingga timbullab keinginannya akan mengamuk ke
Majapahit.
Bersama-sama dengan dua orang sentananya, Patib Ga-
jahmada secara sembunyi-sembunyi pulang ke Majapahit. Yang
mereka tuju adalab tempat Patih Waban. Sesampainya di sa-
na, tetjadilah peperangan antara mereka dan para penjaga ke-
diaman Patih Waban. Setelab prajuritnya banyak yang tewas,

Patih Waban keluar mengbadapi serangan lawan. Bertemulah
ia di sana dengan Patih Gajahmada dalam suatu perang tan-
ding yang seru. Akhirnya, Patih Gajahmada dan Patih Waban te-
was bersama dalam peperangan itu setelab masing-masing me-
nikamkan keris buatan Empu Keleng ke arab dada lawan-
nya. Mengetahui Patih Gajahmada telab tewas, kedua senta.::
nanya tidak memperhitungkan lagi keselamatan jiwanya ke-
cuali banya akan mengamuk. Banyak korban yang jatuh kare-
na amukan mereka ini, tetapi mereka berdua akhirnya tewas
pula karena dikeroyok oleb prajurit Majapahit.
Laporan tentang tewasnya Patih Waban oleb amukan Pa-
tih Gajahmada segera disampaikan kepada Prabu Brawijaya.
Prabu Brawijaya kemudian memerintahkan dua orang utus-
annya supaya mengambil mayat kedua orang patih yang
tewas itu. Ia ingin melihatnya. Kedua orang utusan itu sege-
ra berangkat. Setibanya kembali di badapan .Prabu Brawija-

70
ya mereka menyerahkan kedua mayat yang tidak dapat me-
reka pisahkan antata yang satu dengan yang lain itu. Mengeta-
hui keadaan kedua mayat itu, Prabu Brawijaya berkata dalam
hati bahwa negara Majapahit sudah ditakdirkan akan beran-
takan. Selanjutnya, Prabu Brawijaya memerintahkan supaya
mayat Patih Wahan dibakar dan dirawat baik-baik, sedangkan
mayat Patih Gajahmada dan kedua orang sentananya supaya
dikubur di hutan.
Sepeninggal kedua orang patih itu, tiada lagi orang lain
yang dapat dipilih menjadi patih. Sangat heran Prabu Brawi-
jaya menerima keadaan negara Majapahit pada saat itu. Keja-
dian-kejadian yang aneh tetjadi pula kemudian ; gempa bumi
terjadi sampai tujuh kali sehari, Gunung Merapi dan Gunung
Kelud meletus, serta kemudian menyusul pula terjadinya ger-
hana matahari dan bulan. Keadaan yang seperti ini ditandai
dengan angka tahun 14(JQ ( nir sony eng. gana, her sucenireng
jalmi). Orang Majapahit diliputi oleh rasa takut , dan mereka
mengira bahwa hari kiamat telah tiba saatnya.

XL. (Asmaradana)
Pada suatu malam hari Prabu Brawijaya masuk ke dalam
tempat semadinya. Di sana ia memanjatkan doa supaya nega-
ra dan rakyat Majapahit tetap selamat serta ia sendiri tetap da-
pat menguasai Pulau Jawa. Mengetahui pertnohonan Prabu
Brawijaya, datanglah pada waktu itu Ywang Mahadewa. Suara-
Nya terdengar oleh Prabu Brawijaya meskipun diri-Nya tidak
terlihat. Menurut Ywang Mahadewa, sebenarnya Prabu Bra-
wijaya adalah raja Budha yang terakhir. Yang menggantikan-
nya nanti adalah raja Islam, yang akan menguasai Pulau Jawa.
Hanya saja, siapa yang akan menjadi raja nanti belum terlihat
sekarang. Dikatakan-Nya pula bahwa yang ·akan menjadi raja
itu adalah putra Prabu Brawijaya sendiri. Itu adalah takdir
yang sudah tidak dapat diubah lagi. Oleh karena itu, Prabu Bra-
wijaya oleh Ywang Mahadewa diperintahkan supaya mencari
seorang empu yang masih kanak-kanak; namanya adalah Jaka-
sura.

71
Dalam suatu pertemuan keesokan harinya, Prabu Brawi- .
jaya bertanya kepada semua yang menghadap, apakah di an-
tara mereka ada yang mengetahui seorang empu yang masih
kanak-kanak itu. Tumenggung Supadriya mengatakan bahwa
belum tahu. Demikian pula Pangeran Sendang, para empu, dan
yang lain pun tidak tahu. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya me-
merintahkan supaya empu yang dimaksudkan itu mereka cari.
Para empu segera berangkat mencarinya. Pangeran Sendang
pun berangkat bersama anaknya, Raden Anom.
Pada waktu itu Pangeran Sendang sama sekali tidak ter-
ingat akan istrinya yang ditinggalkannya di Sendang. Dahulu
ketika ditinggal pergi oleh Pangeran Sendang, ia sedang mengan-
dung tiga bulan. Sebelum pergi, Pangeran Sendang berpesan
supaya anaknya kelak , jika laki-laki, diberi nama Jakasura. Se-
karang Jakasura ini telah lahir dan bahkan telah berumur tujuh
tahun.
Pada suatu hari Jakasura menemukan sebuah bungkusan
di dalam peti ketika ia mencari kain panjang. Menurut ke-
terangan ibunya, yang terdapat di dalam bungkusan itu ada-
lab bakal keris peninggalan ayah Jakasura. Diterangkan pula
selanjutnya oleh ibunya, bahwa ayah Jakasura dulu bernama
Supa. Ketika datang di Blambangan, ia bernama Pitrang dan
kemudian mendapat gelar Pangeran Sendang dari adipati Blam-
bangan. Mendengar keterangan-keterangan dari ibunya ten-
tang kepergian dan tentang diri ayahnya, timbul keinginan Ja-
- kasura untuk mencarinya. Ibunya melarangnya sebab ia ber- -
anggapan bahwa Jakasura akan dapat diterima atau diakui se-
bagai anak oleh ayahnya jika ia pandai membuat keris seperti
ayahnya dulu. Jakasura mau mengurungkan niatnya sehingga
ibunya pun senang hatinya. Sekarang Jakasura ingin belajar
membuat keris.

XLI. (Megatruh)
Setibanya di tempat seseorang empu tua, Jakasura me-
nyampaikan keinginannya akan berguru membuat keris ke-
padanya. Empu tua ·yang m ~ngaku hanya dap~t membuat

72

- cangkul itu menyatakan tidak sanggup mengajari Jakasura mem- . : :.


buat keris. Sebaliknya, empu tua itu sebenarnya malah ingin
belajar membuat keri$ kepada Jakasura sebab Jakasura adalah
anak seorang empu yang sudah terkenal. Dikatakan selanjut-
nya oleh empu tua itu, jika Jakasura tidak pandai membuat
keris seperti ayahnya dulu, pastilah ia bukan keturunan empu
yang terkenal itu.
Terkejut dan malu Jakasura mendengar ucapan empu tua
itu. Sampai lama ia terdiam sebelum pergi meninggalkan tern-
pat itu. Ia pergi mengasingkan diri di hutan karena perasaan
malunya. Di dalam hutan itu ia didatangi oleh seorang empu
siluman yang dapat membuat keris di dalam air, di dalam ta-
nah, atau di angkasa. Namanya adalah Empu Anjani. Ia telah
mengetahui keinginan Jakasura dan apa sebabnya Jakasura
sampai mengasingkan diri di dalam hutan itu. Oleh karena itu,
Empu Anjani m nganjurkan supaya Jakasura langsung menu- .-
ju Majapahit, menghadap Prabu Brawijaya. Di sana ia pasti da-
pat bertemu dengan ayahnya. Sebelum pergi ke Majapahlt, Ja-
kasura menerima wejangan secara gaib dari Empu Anjani se-
hingga ia mempunyai kesaktian yang melebihi kesaktian ayah-
nya.
Setelah Empu Anjani menghilang, Jakasura pulang ke
rurnahnya dengan maksud akan minta pamit kepada ibunya.
Setibanya di rumah, ia bercerita tentang perjumpaannya de-
ngan Empu Anjani. Atas dasar anjuran Empu Anjani itulah Jaka-
sura minta pamit kepada ibunya akan pergi ke Majapahit. Ibu-
nya pun akhirnya mengizinkannya. Besi bakal keris pening-
galan ayah Jakasura diserahkannya kepada Jakasura supaya
dibawa. Dengan dua orang pengikutnya hari itu pula Jakasu-
, ra berangkat ke Majapahit.

XLII. (Dandanggula)
Sesampainya di sebuah desa di Majapahit, karena tidak
tabu jalan yang harus ditempuhnya, Jakasura bertanya kepa-
da anak-anak yang menggembala di ladang. Mereka ini kemu- .
dian dimintanya mengantarkannya dengan upah besi bakal

73

keris, masing-masing anak memperoleh sebuah. Setiap kali ber-


tariya, Jakasura menyerahkan bakal keris yang dibawanya se-
bagai upah. Ia membawa dua belas buah bakal keris. Akhirnya,
tiitggallah sebuah besi yang dipakai sebagai pola membuat ke-
ris. Sambil berjalan Jakasura membuat keris berdasarkan pola
itu. Delapan buah keris yang warnanya bagaikan kapuk ber-
hasil dibuatnya. Keris-keris itu tidak dibuatnya dari besi, te-
tapi hanya diciptanya begitu saja dengan .k esaktiannya.
Sebelum Jakasura datang menghadap Prabu Brawijaya,
kebetulan di Majapahit ada pertemuan di istana. Prabu Brawi-
jaya pada waktu itu dihadap oleh para bawahanny.a. Yang men-
jadi baban pembicaraan di sana adalab kedudukan patih yang
sampai saat itu masih belurn ada yang menempatinya. Di sam-
ping masalah itu, Prabu Brawijaya mempertanyakan putranya
yang berada di Demak, Adipati Natapraja, mengapa sudab la-
ma sekali tidak mau datang menghadap kepadanya. Oleh ka-
rena itu, Prabu Brawijaya memerintahkan utusannya supaya
memanggilnya.
Masalab yang lain yang dibicarakan oleh Prabu Brawija-
ya adalah seorang empu muda yang bernama Jakasura, yang te-
lah lama dicarinya. Pada saat pembicaraan masalah ini berlang-
sung, datanglah Jakasura dengan dua orang temannya. ~ Atas
pertanyaan Prabu Brawijaya, Jakasura menyatakan berasal da-
ri Sendang. Kedua orang temannya masing-masing bernama
Lega dan Legi. Kedatangan Jakasura di sana bertujuan akan
mengabdi kepada Prabu Brawijaya dan mencari ayahnya, Pa-
ngeran Sendang namanya. Jakasura ditinggalkan ayahnya sejak'
masih tiga bulan di dalam kandungan ibunya.
Prabu Brawijaya terkejut dan senang hatinya mendengar
jawaban Jakasura seperti itu. Anak yang telab lama dicarinya
itu ternyata datang sendiri. Atas pertanyaan Prabu Brawija-
ya pula, Pangeran Sendang mengakui bahwa Jakasura adalah
anaknya, apalagi setelab Jakasura dapat memperlihatkan ba-
kal keris yang dulu ditinggalkan Pangeran Sendang sebelum
meninggalkan ibu Jakasura.
Setelah jelas bahwa Jakasura adalab anak Pangeran Sen-

74
dang, Prabu Brawijaya menyuruh Jakasura supaya membuat-
kannya sebuah keris yang dinamai Kiai Mangkurat. Jakasura
pun menyanggupinya. Belum sarnpai Prabu Brawijaya menye-
rahkan besi yang akan dibuat keris itu, dengan kekuatan ba-
tinnya Jakasura telah berhasil mencipta besi putih yang kemu-
dian dibuatnya menjadi sebuah keris. Tanpa beringsut dari tern-
pat duduknya, Jakasura telah dapat menyelesaikan pekerja-
annya. Sebuah keris yang telah jadi dengan nama Kiai Mang-
kurat itu diserahkannya kepada Prabu Brawijaya. Dengan de-
mikian, di samping telah memiliki keris Segarawedang buat-
an Raden Anom, Prabu Brawijaya mempunyai lagi sebuah
keris, Kiai Mangkurat buatan J akasura.
Prabu Brawijaya selanjutnya melarang Jakasura membu-
at keris lagi, sedangkan keris-keris yang terlanjur dibuatnya su-
paya diserahkannya kepada Prabu Brawijaya. Dalam kesempat-
an itu Jakasura berkata terus terang bahwa telah membuat de-
Japan keris selama perjalanannya menuju Majapahit. Kedela-
pan buah keris itu dipergunakannya untuk upah mereka yang
telah berjasa menunjukkan jalan menuju Majapahit. Keris-ke-
ris ini tettnasuk yang diminta Prabu Brawijaya pula.
Atas keberhasilannya membuat Kiai Mangkurat , Jakasura
oleh Prabu Brawijaya diserahi daerah Jenu. Di samping itu, ia
akan dikawinkan dengan Rasasekar, putri Prabu Brawijaya sen-
diri.
Sehabis menghadap Prabu Brawijaya, Pangeran Sendang
pulang bersama kedua orang anaknya, yaitu Raden Anom dan
Jakasura. Setibanya di rumah, Pangeran Sendang mencerita-
kan asal mula Jakasura kepada istrinya Rasawulan. Mendengar
semuanya itu, Rasawulan ikut bergembira dan mencintai Ja-
kasura pula. lbu Jakasura sendiri senang pula hatinya ketika
bertemu dengan madunya dan mengerti kisah Pangeran Sen-
dang pada masa yang lalu.
Di dalam pura Prabu Brawijaya bercerita tentang keha-
diran Jakasura di Majapahit kepada Ratu Darawati. Akhirnya,
dikatakan oleh Prabu Brawijaya bahwa Jakasura alcan dikawin-
kannya dengan Rasasekar. Ratu Darawati purt menyetujui mak-

75
sud suaminya itu. Jakasura jadi dinika~an dengan Rasasekar.
Setelah dirias dan diberi berpakaian temanten, keduanya di-
pertemukan.

XLlll. (Sinom)
Di hadapan Jakasura, Prabu Brawijaya menyerahkan pu-
trinya, dan sekaligus memerintahkan Jakasura supaya nanti
membawanya ke Jenu. Upacara perkawinan pengantin berdua
kemudian diselenggarakan secara meriah.
Rasasekar tampak cinta sekali kepada Jakasura, tetapi
Jakasura agaknya masih terlalu muda sebagai seorang pengan-
tin. Ia belum berahi dan bahkao masih takut menghadapi pe-
rempuan yang menjadi istrinya itu. Namun demikian, lama- . .
kelamaan ia dapat mengimbangi nafsu asmara istrinya. Kejadi- .
an seperti itu memang telah dibenarkan oleh ibarat yang me-
ngatakan bahwa apabila seorang laki-laki menghadapi seorang
• perempuan atau seorang perempuan menghadapi seorang laki-
laki, masing-masing dapat dikatakan sebagai kucing dan anak
tikus atau sebagai api dan jerami kering yang berdekatan. Sa-
lah satu di antaranya akan menjadi mangsa yang lain. Demiki-
anlah akhirnya kedua mempelai itu dapat membangun cinta-
nya dengan penuh kasih sayang. Beberapa waktu kemudian
mereka berangkat ke Jenu.
• Kedua orang utusan Prabu Brawijaya yang dulu menda-
pat tugas memanggil Adipati Natapraja di Bintara telah sampai
di sana. Sudah satu hari mereka tinggal di sana, tetapi Adipati
Natapraja yang mereka harapkan mau datang menghadap Pra-
bu Brawijaya belum menyatakan kesediaannnya. Ia malahan
mengatakan kepada kedua orang utusan itu bahwa keenggan-
annya datang menghadap ke Majapahit disebabkan oleh Prabu
Brawijaya sendiri yang belurn mau memeluk agama Islam. Adi-
pati Natapraja selanjutnya menyatakan bahwa tidak sepantas-
nya ia sebagai orang Islam mau menyembah orang Budha mes-
kipun orang Budha itu ayahnya sendiri. Oleh karena itu, ia ti-
dak akan datang ke Majapahit sebelum Prabu Brawijaya me-
meluk agama Islam.
76


Kedua orang utusan Prabu Brawijaya tertegun, dengan
penuh rasa ketakutan mendengar ucapan Adipati Natapraja.
Mereka kemudian minta pamit akan pulang. Sepeninggal me- •
reka, Patih Wanasalam mengusulkan agar Adipati Natapraja
mempersiapkan diri untuk berperang sabil melawan Prabu
Brawijaya. Alasannya, tidak urung Prabu Brawijaya akan ma-
rah kepada Adipati Natapraja apabila mendengar laporan ke-
dua orang utusannya tadi. Jika hal ini benar, maka peperang-
an pun akan segera terjadi. Oleh karena itu, lebih baik Adipa-
ti Natapraja bersiap-siap dan kemudian menyatakan perang ke-
, pada Prabu Brawijaya.
Senang Adipati Natapraja mendengar usul Patih Wana-
salam, dan kehendak Patih Wanasalam yang seperti itu di-
turutnya. Persiapan dan pengaturan prajurit diserahkannya
kepada Patih Wanasalam, sedangkan Adipati Natapraja sen-
diri akan pergi minta izin kepada ,p ara wall. Sesampainya di
hadapan Sunan Ampel, ia minta izin akan merebut negara Ma-
japahit. Dengan senang hati Sunan Ampel mengizinkannya ka-
rena memang sudah tiba saatnya. Dari sini Adipati Natapraja
meneruskan perjalanannya ke tempat Sunan Bonang dan Su-
nan Girl. Di sana ia juga menyatakan maksudnya akan me-
merangi Majapahit. Dengan senang hati pula mereka menye-
tujuinya dan kemudian pergi ke Bintara.
Kedua orang utusan Prabu Brawijaya yang pergi ke Bin-
tara telah tiba kembali di Majapahit. Di hadapan Prabu Bra-
wijaya mereka melaporkan basil perjalanannya itu. Menqengar
bahwa Adipati Natapraja tidak mau datang menghadap kepa-
danya, Prabu Brawijaya terkejut dan keheran-heranan. Dengan
suara yang keras ia memerintahkan supaya adipati Terung, Pe-
cattanda, dipanggil menghadap. Tidak lama kemudian yang di-
panggil pun telah datang menghadap.


XLIV. (Pangkur)
Adipati Pecattanda oleh Prabu Brawijaya diperintahkan
supaya pergi ke Bintara untuk memanggil Adipati Natapraja.
Jika Adipati Natapraja mau datang ke Majapahit bersmna-sa-

77
rna dengan Adipati Pecattanda, segala kesalahannya akan di-
maafkan oleh Prabu Brawijaya. Akan tetapi, jika ia tidak mau,
Adipati Pecattanda diperintahkan memaksanya. Ia dilarang
pulang oleh Prabu Brawijaya jika tidak dapat membawa Adi-
pati Natapraja. Untuk melaksanakan tugas itu, Adipati Pe-
cattanda oleh Prabu Brawijaya dipersenjatai dengan keris Se-
garawedang. Setelah segala sesuatunya selesai dipersiapkan,
prajurit Majapahit yang akan mengikuti peJ.jalanan Adipati Pe-
cattanda segera diberangkatkan.
Sepeninggal pasukan Majapahit. TeJ.jadilah hal-hal seba-
gai alamat peristiwa atau kejadian yang akan datang. Hujan ber-
campur angin turun dengan lebatnya. Binatang-binatang dari
hutan banyak yang datang. Bunyi guruh menggelegar di ang-
kasa bersahut-sahutan dengan bunyi gunung meletus. Langit ke-
lihatan berawan merah bagaikan lautan darah. -
Sesampainya di wilayah Demak, Adipati Pecattanda ma-
suk sebuah desa dan mendirikan pesanggrahan di sana beserta
para prajuritnya. Kehadiran mereka dengan tujuan akan me-
nyerang Bintara itu telah tersiar beritanya. Dua orang praju-
rit Bintara segera mela}1orkan hal itu kepada Adipati Natapra-

Ja.
Mendengar laporan itu, Adipati Natapraja bingung hati-
nya sebab Adipati Pecattanda yang akan menyerang itu ada-
lab adiknya sendiri, saudara seibu. Oleh karena itu, ia minta
pertimbangan kepada Patih Wanasalam. Dengan tidak ragu-
ragu Patih Wanasalam menganjurkan supaya Adipati Natapra-
ja tidak usah khawatir. Berperang melawan adiknya sendiri ti-
dak perlu dijadikan alasan untuk mengurungkan peperangan.
Sebagai contoh, Patih Wanasalam menunjukkan· peperangan
yang teJ.jadi antara AJjuna dan Karna dalam cerita wayang. Ke-
duanya juga saudara seibu, tetapi peperangan yang mesti teija-
di harus teijadi pula. Pendapat Patih Wanasalam ini didukung
oleh Iman Semantri dan Getas Pendawa sehingga Adipati Na-
tapraja pun akhirnya menyetujui maksud mereka itu. Ia kemu-
dian pergi menjumpai para wali.
Ketika Adipati Natapraja tiba di masjid Demak, para wa-

78
li sudah berada di sana. Mereka mulai mengetj~an serambi
masjid, Adipati Natapraja kemudian memberitahukan kepada
Sunan Ampel bahwa ia akan diserang oleh Adipati Pecattan-
da, utusan Prabu Brawijaya. Untuk menghadapi serangan itu,
Sunan Ampel melarang Adipati Natapraja maju perang, teta-
pi ia memerintahkan Sunan Girl supaya memimpin peperang-
an. Sunan Girl sendiri kemudian menunjuk Sunan Ngudung
sebagai senapati. Sunan Ngudung bersedia melaksanakan tu-
gas
. ini, tetapi ia sebelumnya minta supaya dipinjami baju An-
trakusuma milik Sunan Kalijaga.
Senang hati Sunan Ngudung setelah mendapat pinjam-
an baju Antrakusuma. Akan tetapi ia kemudian takabur karena
memakai baju Antrakusuma itu sehingga Sunan Kalijaga mem-
peringatkannya supaya tidak mengamuk membabi buta. Ki
Ageng Sela dan lman Semantri mengikuti Sunan Ngudung ma-
ju ke medan perang. Setelah semuanya siap, para prajurit se-
gera diberangkatkan. Sesampainya di dekat pesanggrahan mu-
suh, mereka berhenti untuk menyusun barisan.
Mengetahui kedatangan lawan, prajurit Majapahit sege-
ra melaporkan kepada Adipati Pecattanda. Kesepakatan se-
gera tercapai sehingga dengan segera pula prajurit Majapahit
menyusun barisannnya. Melihat besarnya barisan Majapahit,
prajurit Demak merasa perlu mendatangkan bantuan, tetapi Su-
nan Ngudung menolaknya. Ia tidak takut menghadapi mu-
suh yang berjumlah lebih besar.

XLV. (Durtna)
Sunan Ngudung memerintahkan supaya prajurit Binta-
ra menghadapi musuh yang datang menyerang. lman Semantri
dan Getas Pendawa mendapat tugas memimpin barisan. Pe-
perangan seru segera tetjadi, tetapi prajurit Demak menjadi
berantakan. Karenanya Sunan Ngudung terpaksa mengumpul-
kan dan menyusun lagi barisan prajuritnya. Ia sendiri kemudi-
an juga maju dengan mengendarai kudanya.
Bertemulah akhimya Sunan Ngudung dengan Adipati Pe-
cattanda. Perang tanding segera tetjadi antara keduanya. Masing-

79

masing sama saktinya sehingga peperangan nya menjadi seru.


Hanya Kiai Segarawedanglah, Keris Adipati Pecattanda, yang
akhirnya menewaskan Sunan Ngudung. Ia kena tikam keris tepat
pada dadanya sehingga jatuh tergeletak di tanah. Seketika itu
juga ia tewas. Prajurit Majapahit bersorak kegirangan karena-
nya.
Mengetahui Sunan Ngudung telah tewas, lman Seman-
tri mengggantikannya menjadi senapati. Dengan tidak takut
terhadap musuhnya, ia segera turun dari kudanya dan segera
mengamuk. Prajurit Majapahit banyak yang tewas oleh amuk-
annya itu. Pada saat itulah lman Semantri dapat berhadapan
dengan Adipati Pecattanda. Perang tanding pun segera terja-
di. lman Sementari menghunus kerisnya, Kiai Crubuk, kemu-
dian menikamkan ke dada Adipati Pecattanda. Meskipun ke-
ris itu tidak mempan, Adipati Pecattanda jatuh tersungkur. Se-
ketika itu ia pingsan, tetapi tidak lama kemudian ia sudah bang-
kit lagi. Dengan kekuatan ajinya, dibentaknya lman Semantri
sehingga terpelanting jauh sampai tidak kelihatan jatuhnya.
Prajurit yang lain banyak pula yang tersingkir oleh bentakan
Adipati Pecattanda itu.
Ki Ageng Sela mendapat giliran mengamuk. Dengan mem-
bawa panahnya, ia maju menetjang musuh, tetapi malam se-
gera tiba menghentikan peperangan. Kedua belah pihak yang
berperang mundur ke pesanggrahan mereka masing-masing. Jena-
zah Sunan Ngydung atas perintah Ki Ageng Sela dibawa pulang
oleh para prajurit. Di samping itu, Ki Ageng Sela juga berpe-
san kepada mereka supaya memberi tabu para wall bahwa kekuat-
an musuh dari Majapahit lebih besar. Oleh karena itu, Ki Ageng
Sela minta bantuan.
Sunan Kalijaga yang ketika itu kebetulan sedang berada
di masjid Demak terkejut melihat baju Antakesumanya datang
dengan keadaan berlumuran darah. Ia mengira bahwa Sunan
Ngudung tewas dalam peJ?erangan melawan prajurit Majapa-
hit. Tidak lama kemudian datang pula lman Semantri jatuh da-
ri an~asa. Setelah dimantrai oleh Sunan Kalijaga, lman Seman-
tri siuman kembali dan kemudian melaporkan jalannya pepe-

80

'

rangan sampai saat itu. Mendengar tewasnya Sunan Ngudung,


istri dan anak-anak Sunan Ngudung menangis karena sedih-
nya. Sunan Kalijaga selalu bernsaha menghibur mereka.
Beberapa saat kemudian para utusan Ki Ageng Sela da-
tang dengan membawa jenazah Sunan Ngudung. Di hadapan
Sunan Kalijaga mereka menyampaikan pettnintaan bantuan.
Segera sesudah itu Sunan Kalijaga menuju Bintara. Di sana
Adipati Natapraja bingung dan sedih hatinya setelah diberi tahu
bahwa Sunan Ngudung tewas dalam peperangan.

XLVI. (Asntarandana)
Di hadapan para wall, Adipati Natapraja minta pertim- "'
bangan, siapa selanjutnya yang akan diangkat menjadi sena-
pati setelah Sunan Ngudung tewas. Atas pettnintaan ini, Su-
nan Girl menunjuk si Jaka Ngudung sebagai senapati untuk
menggantikan ay~ya. Para wall dan para pendeta dimintanya
merestui pengangkatan senapati barn ini. Gelar yang diberikan
kepada senapati barn ini adalah Pangeran Kudus. Karena sena-
pati barn ini masih muda, maka Patih Wanasalam mendapat tu-
gas sebagai pendampingnya. Sunan Kalijaga oleh Sunan Ampel
diminta memanfaatkan kesaktiannya untuk memusuhi orang
Majapahit. Bagaimanapun juga, jika hanya mengandalkan ke-
kuatan, prajurit Demak akan keberatan menghadapi prajurit
Majapahit. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga diminta dapat men-
carl akal untuk mengatasi serangan prajurit Majapahit itu.
Sunan Kalijaga menyanggupinya. Para wall telah bersepa-
kat pula akan mengenakan tipu muslihatnya pada malam hari
itu, dan akan menye.r ang musuh pada esok harinya. Untuk itu,
Sunan Kalijaga minta kepada Adipati Natapraja peti dari Pa-
lembang dan baju kutang pemberian dari Cirebon. Peti dan baju ·
segera diambil oleh Adipati Natapraja dan kemudian diberikan
kepada senapati barn tadi. Cara menggunakan diterangkan pu-
la kepadanya oleh Adipati Natapraja. Pada malam hari sebelum
diadakan penyerangan pada esok harinya , baju kutang itu su-
paya dikebaskan tiga kall, dan esok harinya peti tersebut supa-
ya dibuka di medan perang.

81

Di samping itu, Sunan Ampel masih meminta lagi keris Ka-
lamunyeng milik Sunan Girl supaya diberikan pula kepada Se-
napati baru tersebut. Sambil menyerahkan kerisnya Sunan Gi-
rl berpesan supaya kerisnya itu dihunus apabila sudah berada
di medan perang bersarnaan dengan pernbukaan peti tadi. Se-
sudah itu, prajurit diberangkatkan menuju rnedan perang. Iman
Semantri yang semula telah terpukul mundur kembali ikut ma-
ju perang lagi.
Sesampainya di pesanggrahannya, para prajurit beristira-
hat. Di sana rnereka bertemu dengan Ki Ageng Sela yang sebe-
lurnnya memang mengharapkan kedatangan mereka itu. Atas
pettnintaan Ki Ageng Sela, peti dan baju kutang yang dibawa
oleh mereka yang baru datang itu dibuka. Ketika tutup peti
itu dibuka keluarlah lebah-lebah dari dalam peti itu. Keheran-
heranan
. mereka yang menyaksikannya. Cepat-cepat peti itu
ditutup kembali. Pada kesempatan berikutnya Patih Wanasa-
lam membuka baju kutang. Seketika itu juga keluarlah sepasang
tikus yang kernudian lari berputar-putar. Terkejutlah mereka
semua yang menyaksikannya. Sampai malam mereka tidak ti-
dur dan selalu berdna mudah-mudahan dapat menang dalam
perang.
Menjelang tengah malam Pangeran Kudus dan Patih Wana-
salam keluar dari pesanggrahannya menuju tempat musuh. Se-
sampainya di sana, Pangeran Kudus mengenakan mantranya
sehingga orang Majapahit tetap tidur nyenyak, dan tidak menge-
tahui bahwa musuh mendatanginya. Baju kutang segera dike-
baskan tiga kali oleh Pangeran Kudus sehingga datanglah berju-
ta-juta tikus yang langsung merusak barang-barang milik praju-
rit Majapahit.
Prajurit Majapahit ketakutan karena kedatangan berjuta-
juta tikus itu. Mereka berusaha membunuh tikus itu, tetapi ter-
nyata tikus yang datang justru makin banyak. Geger prajurit
Majapahit karenanya. Esok harinya mereka dapat melihat ke-
rusakan yang mereka derita.
Pangeran Kudus yang sudah tiba kembali di pesanggrahan
mengadakan pembicaraan dengan Ki Ageng Sela. Atas kesepa-

82

katannya, para prajurit segera dipersiapkan untuk berperang.
Setelah segala-galanya siap_, mereka diberangkatkan.
Pagi hari itu juga Adipati Pecattanda membicarakan ke-
rusakan-kerusakan yang diderita oleh prajurit Majapahit. Pada
malam hari banyak sekali tikus yang datang merusak, tetapi
pagi hari seekor pun tidak ada yang kelihatan . Heran Adipati
Pecattanda melihat kejadian ini. Belum sampai pembicaraan
mereka berakhir, datanglah seorang prajurit yang melaporkan
bahwa prajurit Bintara datang menyerang. Dikatakannya bah-
wa senapatinya adalah Sunan Ngudung yang sudah tewas, teta-
pi sekarang telah dihidupkan kembali. Mendengar laporan itu,
Adipati Pecattanda marah. Segera prajurit Majapahit dikerah-
kannya untuk menghadapi prajurit Demak. Mereka terpaksa
harus berjalan kaki karena perlengkapan kudanya telah dihan-
curkan oleh berjuta-juta tikus tadi malam. Setelah berjumpa
dengan musuh, mereka mengatw barisan untuk mengimbangi
susunan barisan lawan. Arya Tiron, Arya Bobos, dan Arya Pus-
pa ikut ambil bagian dalam barisan prajurit Majapahit ini.

XLVII. (Pangkur)
Peperangan antara prajurit Majapahit dan prajurit Demak
segera terjadi. Suara prajurit bersorak terdengar ramai sekali.
Demikian juga bunyi tembakan, tam bur, selompret, dan sen-
jata-senjata tajam yang berbenturan. Kedua belah pihak saling
menyerang sehingga sama-sama banyak melukai ataupun me-
newaskan prajurit lawannya. Barulah ketika prajurit kelihatan
agak terdesak, Pangeran Kudus turun dari kudanya kemudian

me~bawa petinya ke tengah medan perang. Ketika peti itu,
dibuka, keluarlah berjuta-juta lebah yang kemudian mengeroyok·
dan menyengat prajurit Majapahit. Bingung orang Majapahit
menghadapi keroyokan lebah-lebah itu sehingga mereka ter-
paksa mundur.
Melihat kejadian itu, bukan main marahnya Adipati Pe-
cattanda. Ia sendiri segera maju ke medan perang dengan meng-
andalkan bentakannya. Seketika lebah yang banyak sekali jum-
lahnya itu lenyap karena bentakan Adipati Pecattanda. Demi-

83
..
-
,

kian pula prajwit Demak. Mereka terpelanting jauh sampai di


luar medan pertempuran. Ketika itulah lman Semantri mun-
cul dan berhadapan lagi dengan Adipati Pecattanda dari Terung
itu. Akan tetapi, sebelum Iman Sumantri sempat memanfaat-
kan rajah Kalamisaninya, Adipati Pecattanda telah mendahu-
lui membentaknya. Iman Semantri terpelanting jauh karena-
nya. Prajwit Majapahit bersorak kegirangan.
.. Ki Ageng se'Ia merasa terpanggil untuk maju perang sete-
lah mengetahui prajuritnya terpukul mundur. Dengan sangat
marah ia membawa tombak Kiai Pleret menuju medan perang,
tetapi ketika itu malam telah tiba meleraikan kedua belah pihak
yang sedang berperang. Masing-masing mundur ke pesanggtah-
annya. Semalam suntuk Pangeran Kudus. Ki Ageng Sela, dan
Patih Wanasalam tidak dapat tidur karena memikirkan kesak-
. tian Adipati Pecattanda. Sebaliknya, Adipati Pecattanda pun
merasa takut karena Sunan Ngudung yang telah ditewaskan-
nya ternyata dapat hidup kembali meskipun sebenarnya yang
dimaksudkan hidup kembali itu adalah putra Sunan Ngudung.
Di samping rasa ketakutannya itu, Adipati Pecattanda juga me-
rasa bersalah karen~ telah terlanjur sanggup menangkap ,
Adi-
pati Natapraja. Ini berarti bahwa ia harus berperang melawan
saudaranya sendiri. Semalam suntuk ia diam saja karena me-
mikirkan semuanya itu.
Sementara kedua belah pihak berhenti perang, para wall
mengadakan pembicaraan. Sunan Girl meminta supaya Sunan
Kalijaga pergi ke Majapahit untuk mengetahui dan sekaligus
berusaha mencegah kehendak Prabu Brawijaya yang berkait-
an dengan tujuan peperangan yang sedang berlangsung. Sunan
Ampel juga berpesan supaya Sunan Kalijaga mengenakan jimat
· Ampelgading di puri Majapahit agar Prabu Brawijaya takut ke-
pada orang Bintara. ·
Dalam waktu sekejap mata saja Sunan Kalijaga telah tiba
di Majapahit. Langsung ia menuju rumah Pangeran Sendang.
Di sana ia bertemu dengan Rasawulan dan diperkenalkan pula
dengan Jakasura, putra Pangeran Sendang. Dari Pangeran Sen-
dang ini Sunan Kalijaga memperoleh keterangan bahwa Jakasura

84
-----~~~ ,.~~~---

sangat pandai membuat ke~, tetapi sekarang ia tidak diizin-


kan lagi membuat keris oleh Prabu Brawijaya. Walaupun demi-
kian, Sunan Kalijaga meminta pula supaya Jakasura mau mem-
buatkannya sebuah keris. Jakasura tidak menolak. Dari besi
yang diciptanya sendiri terbentuklah sebuah keris yang kemu-
dian diberinya nama Mesalajer. Oleh Sunan Kalijaga keris ini
juga dinamai Mesanular.
Setelah menerima keris Mesalajer itu, Sunan Kalijaga me-
nyarankan supaya Pangeran Sendang beserta keluarganya dengan
sembunyi-sembunyi pergi meninggalkan Majapahit menuju Ma-
taram. Sunan Kalijaga sendiri tidak lama kemudian telah meng-
hilang. Sepeninggal Sunan Kalijaga, pada malam hari itu juga
Pangeran Sendang bersama-sama dengan keluarganya pergi me-
ninggalkan Majapahit.

XLVIII. (Dandanggula)
Kepergian Pangeran Sendang beserta seluruh keluarganya
itu telah diberitahukan kepada putranya, Raden Anom , yang
bingung menerima kabar ini. Ia juga khawatir, jangan-jangan Pra-
bu Brawijaya nanti minta tanggung jawabnya atas kepergian
ayahnya itu. Oleh karena itu, ia telah bersepakat dengan istri-
nya akan menyusul Pangeran Sendang. Akhirnya, mereka ber-
,
temu dengan yang disusul. Ketika itu teringatlah Pangeran Sen-
dang kepada istrinya yang masih tertinggal di Sendang Sedayu.
Sementara yang lain meneruskan perjalanan ke Mataram, Pange-
ran Sendang kembali menemui istrinya yang berada di Sendang
itu.
Sunan Kalijaga setelah tiba di dalam pura Majapahit sege-
ra memasang jimatnya. Ia kemudian berkeliling di dalam pura
Majapahit dengan harapan supaya nanti Prabu Brawijaya tidak

maju perang.
Sudah agak lama Prabu Brawijaya menanti berita tentang
kepergian prajurit Majapahit yang menyerang ke Bintara. Atas
pertanyaan Prabu Brawijaya, Arya Simping yang juga telah ikut
ke Bintara melaporkan bahwa peperangan antara prajurit Bin-
tara dan prajurit Majapahit telah terjadi'. Semula prajurit Maja-

• 85
• • pahit unggul dalam peperangan itu, Prajurit Bintara banyak
yang tewas, dan senapatinya pun tewas dalam peperangan. Akan
tetapi, keadaannya sekarang berbalik, Adipati Pecattanda ter-
pukul mundur. Bala tentara Majapahit berantakan semuanya;
sebagian ada yang tidak berani maju perang lagi dan sebagian
telah melarikan diri dari barisan. Dengan sembunyi-sembunyi
Pangeran Sendang telah pergi pula meninggalkan Majapahit.
Istri dan kedua orang anaknya ikut semuanya.
Mendengar laporan itu, bukan main marahnya Prabu Bra-
wijaya. Siapa pun yang bertemu dengan Pangeran Sendang be-
serta anak istrinya diperintahkan membunuhnya. Bondansera-
ti segera diperintahkan bersiap-siap perang dan Prabu Brawija-
ya sendiri juga bettnaksud akan ikut menyerang ke Demak be-
serta seluruh prajuritnya.
Malam hari sebelum memberangkatkan prajuritnya, Prabu
Brawijaya tidak tidur. Ia semadi di tempat pemujaannya un-
tuk menghadap kepada Tuhannya. Dengan jelas pada saat itu
Prabu Brawijaya dapat melihat bahwa kerajaannya akan jatuh.
Wahyunya_ sebagai raja telah berpindah kepada putranya, yaitu
Raden Patah atau yang sekarang bernama Adipati Natapraja

di Bintara. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya mengurungkan
niatnya memerangi Demak. Keratonnya kemudan dipindah-
kannya ke gunung. Para istri dan putranya ikut berpindah ke
sana. Raden Gugurlah yang kemudian datang menjemput Pra-
bu Brawijaya dan mereka itu. Yang masih tetap tinggal di ke-
raton hanyalah Ratu Darawati yang telah memeluk agama Is-
lam.
Sementara itu peperangan antara prajurit Demak dan Ma-
japahit masih terhenti. Pangeran Kudus dan para prajuritnya ti-
dak mau maju menyerang karena mengetahui kesaktian musuh-
nya yang luar biasa. Banyak yang terpelanting jauh karena ben-
takan Adipati Pecattanda sehingga yang lain pun sulit menye-
rang. Oleh karena itu, Pangeran Kudus minta pertimbangan
Ki Ageng Sela, bagaimana sebaiknya. Atas perntintaan ini, Ki
Ageng Sela mengusulkan , sebaiknya Adipati Pecattanda dimin-
ta menyerah untuk kemudian dijadikan ternan memerangi Ma-

86

I
japahit. Jika hal ini tidak dapat diusahakan, sulitlah menjatuh-
kan Majapahit. Sebaliknya, kalau Adipati Pecattanda mau me-
nyerah, Majapahit pasti akan jatuh meskipun ada lagi lainnya
yang dapat diangkat menjadi senapati untuk menggantikannya.
Pangeran Kudus setuju akan usul yang diajukan oleh Ki Ageng
Sela ini. Ia kemudian menulis sepucuk surat untuk Adipati Pe-
cattanda yang segera diantarkan oleh kedua orang utusannya,
Raga dan Jiwa.
Di lain pihak, sebenarnya prajurit Majapahit juga tidak
mau berperang lagi karena takut menghadapi musuh yang di-
pimpin para wall itu. Adipati Pecattanda bingung karena ti-
dak ada lagi temannya maju perang. Akan mundur ia malu, te-
tapi jika meneruskan peperangannya, ia merasa berat
menghadapi musuhnya itu apalagi masih saudaranya sendiri. Me-
nyesal ia karena telah menyanggupi perintah Prabu Brawijaya
yang temyata menimbulkan peper~ngan itu. Para pengikutnya
menyarankan supaya ia menyerah saja kepada kakaknya di
Demak itu, tetapi Adipati Pecattanda sendiri merasa berdosa
karena telah membunuh Sunan Ngudung. Menurut pikirannya,
ia akan dibunuh pula.
Pada saat itu datanglah dua orang utusan dari Demak me-
nyampaikan sepucuk surat kepada Adipati Pecattanda. Surat
yang ditulis oleh Pangeran Kudus itu berisi suatu pettnintaan
supaya Adipati Pecattanda mau bersatu dengan Adipati Nata-
praja, kakaknya. Dikatakan pula di dalam surat itu bahwa Adi-
pati Natapraja bertnaksud akan mengangkat diri menjadi raja.
Untuk itu, lebih dulu akan menjatuhkan Majapahit. Jika Adi-
pati Pecattanda mau menyerah dan bersatu, Pangeran Kudus
menyatakan akan menjamin keselamatannya meskipun Adipa-
ti Pecattanda telah membunuh Sunan Ngudung dalam pepe-
rangan.
Meskipun masih sangsi akan jaminan keselamatan jiwa-
nya, Adipati Pecattanda mencoba memenuhi pennintaan Pa-
ngeran Kudus itu. Ia akan menyerah kepada kakaknya , Adi-
pati Natapraja. Surat balasan segera ditulisnya dan kemudian
diserahkan kepada kedua orang utusan dari Demak tadi. Se-

87

peninggal kedua orang itu, Adipati Pecattanda beserta para


prajuritnya bersiap-siap akan menemui Pangeran Kudus.
Sebelum menerima kedatangan Adipati Pecattanda be-
serta para prajuritnya itu, Pangeran Kudus telah menerima su-
rat balasan dari Adipati Pecattanda. Senang hati Pangeran Ku-
dus membaca surat itu karena di dalam surat itu Adipati Pecat-
tanda menyatakan menyerah. Apabila Adipati Pecattanda benar-
benar akan datang menyerah, dengan mudah Pangeran Kudus
dapat membalas dendam kepadanya atas terbunuhnya Sunan
Ngudung, tetapi ia tidak mau berbuat demikian sebab enggan
dikatakan menipu. Patih Wanasalam juga melarang perbuatan
. yang tidak baik itu. Ia lebih jauh mengharapkan agar prajurit
Majapahit akan meninggalkan Prabu Brawijaya dan kemudian
ikut Adipati Pecattanda yang ternyata masih hidup itu.

IL. (Sinom)
Seorang prajurit datang menghadap Pangeran Kudus. Ia
memberitahukan bahwa Adipati Pecattanda beserta bala tenta-
ranya telah tiba. Iman Semantri oleh Pangeran Kudus diperin-
tahkan menjemputnya. Segera ja melaksanakan perintah itu.
Setelah dapat beJjumpa dengan Adipati Pecattanda, ia kemu-
dian mengajaknya menuju tempat Pangeran Kudus. Dari sana
Pangeran Kudus mengajak Adipati Pecattanda pergi ke Bintara
untuk menemui Adipati Natapraja. "
Dengan senang hati Adipati. Natapraja memaafkan segala
kesalahan Adipati Pecattanda, tetapi ia meminta bantuan adik-
nya itu untuk ikut menjatuhkan negara Majapahit. Adipati Pe-
cattanda dimintanya mencegah kehadiran para adipati dari
daerah bagian timur yang akan membantu perang Prabu Bra- '
wijaya. Bagaimana caranya menaklukkan mereka itu diserah-
kan kepada Adipati Pecattanda, tetapi Adipati Natapraja ber-
harap mudah-mudahan tidak ada yang melawan. Setelah jelas
apa yang akan dilakukan, Adipati Pecattanda dan bala tentara-
n ya berangka t.
Sepeninggal mereka itu, Adipati N atapraja sendiri juga
bersiap-siap akan menyerang Majapahit. Para wall ikut men-

88

doakan supaya peperangannya akan memperoleh kemenang-


an. Sebelum ia berangkat, Sunan Kalijaga memberikan kepada-
nya baju yang bernama Kiai Gondil. Senang sekali Adipati
Natapraja karenanya. Setelah baju itu dipakainya, ia pun sege-
ra minta pamit. Pangeran Kudus, Patih Wanasalam, Ki Ageng
Pendawa, dan lman Semantri te!~!' ikut memimpin barisan.
Prajurit Majapahit yang sampai pada saat itu masih berada
di barisannya merasa susah hatinya karena berpisah dengan se-
napatinya, Adipati Pecattanda. Menurut kabar yang mereka de-
ngar, Adipati Pecattanda telah terpukul mundur oleh prajurit
Demak. Tanpa memberi tahu mereka itu, ia dan kawan-kawan-
nya menyingkir dan langsung pulang ke negaranya. Oleh ka-
rena itu, mereka semua telah bersepakat pula akan kembali ke
Majapahit. Beramai-ramai mereka pulang, tetapi ketahuan oleh
prajurit dari Bintara yang kemudian mengejar mereka pula.
Prajurit Majapahit cepat-cepat melarikan

diri karena ketakut-
annya. Sebagian kembali ke Majapahit, sebagian mengungsikan
diri ke gunung, dan ada pula yang menyerah, memihak praju-
rit Bintara.
Sesampainya di Majapahit, prajurit Bintara itu berbaris
mengelilingi pura Majapahit. Tidak

ada orang Majapahit yang
mengadakan perlawanan atas kehadiran mereka di sana. Ba-
nyak orang berkumpul di alun-alun, tetapi mereka sudah mera-
sa tidak akan hidup lagi.
Bondanserati, putra Prabu Brawijaya, yang sudah bersiap-
siap akan berangkat berperang tiba-tiba kedatangan para praju-
rit yang terpukul mundur dalam peperangan. Arya Tiron, Arya
Bobos, dan Blegedur datang menghadap ~epadanya. Mereka
"melaporkan bahwa musuh datang mengejarnya. Dilaporkannya
pula bahwa Adipati Pecattanda telah melarikan diri dari me-
dan perang. Prajurit Bintara telah datang mengepung Majapa-
hit, tetapi orang Majapahit tidak ada yang berani menyerang-
nya karena prajurit Bintara tampak sangat menakutkan. Ka-
rena marahnya mendengar laporan itu, Bo!l-danserati bettnaksud
akan maju perang. Sebelum berangkat, ia akan minta pamit dulu
kepada Prabu Brawijaya yang sebenarnya ketika itu sudah pergi

89
dari Majapahit. Itulah sebabnya maka ia tidak berhasil men-
jumpainya, apalagi pura Majapahit telah menghilang pula. Be-
kas tempat pura itu berubah menjadi sebuah rawa. Melihat ke-
nyataan ini, Bondanserati tidak dapat berkata apa-apa. Dengan
sembunyi-sembunyi ia beserta anak dan istrinya pergi mening-
galkan tempat itu.
Di luar pura prajurit masih menanti Bondanserati yang
semula bettnaksud akan menyerang Bintara. Arya Simping yang
juga berada di luar pura kemudian masuk dengan tujuan men-

jenlput Bondanserati, tetapi ternyata yang dicari tidak ada di
sana. Keraton tampak sepi karena telah berubah menjadi rawa.
Yang masih terlihat hanyalah tempat tinggal Ratu Darawati.
Arya Simping segera keluar lagi memberitahukan kepada me-
reka yang berada di luar pura bahwa baik Prabu Brawijaya mau-
pun Bondanserati telah pergi. Mereka terkejut dan sedih men-
dengar kabar itu. Hilangnya Prabu Brawijaya beserta puranya
dan Bondanserati itu oleh Arya Simping ditandai dengan ang-
ka tahun 1400 (nir ilang kartining jagad).
Akhirnya, Arya Simping dan para prajurit yang masih ada
itu menyerah kepada Adipati Natapraja dari Bintara. Dengan
demikian, keinginan Adipati Natapraja menjadi raja Islam te-
lah tercapai.

L. ( Asmarandana)
Mendengar kepergian Bondanserati dan Raden Jambale-
ka, Lembana dan Lembusa segera memberitahukan hal itu ke
kadipaten. Karena pemberitahuan itu, para istri yang ditinggal
pergi suaminya di sana menjerit seketika. Mereka dalam keada-
an gugup segera mencari suaminya yang telah pergi itu bersama-
sama dengan teman-temannya yang lain. Laki-laki dan perem-
puan lari tunggang-langgang melewati hutan, naik gunung, dan
. turun jurang. ·
Arya Simping, para bupati, dan para prajurit yang tetap
tinggal di Majapahit telah bersepakat akan menyerahkan diri
kepada Adipati Natapraja di Bintara. Senjata-senjata dan juga
harta benda telah mereka siapkan unt~ mereka angkut ke sa-
I

90
na. Ratu Darawati yang telah diberi tahu juga akan maksud
mereka itu menyatakan persetujuannya. Setelah semuanya
siap, mereka pun segera berangkat dengan barang-barang bawa-
annya.
Mendengar berita kedatangan orang Majapahit yang akan
menyerah itu, senang sekali hati Adipati Natapraja. Akan te-
tapi, ia sangat heran setelah diberi tahu bahwa Prabu Brawija-
ya telah menghilang dari Majapahit. Atas perintah Patih Wa-
nasalam, Arya Simping, Arya Puspa, dan Arya Tiron segera da-
tang menghadap Adipati Natapraja. Di hadapan Adipati Nata-
praja itu Arya Simping menyatakan bahwa sepeninggal Prabu
Brawijaya, tidak ada lagi orang Majapahit yang akan berani me-
merangi Adipati Natapraja. Mereka semua telah bersepakat akan
menyerahkan diri kepada Adipati Natapraja di bintara. Lebih
lanjut mereka telah bersepakat pula akan mengangkat Adipa-
ti Natapraja sebagai raja di Majapahit untuk menggantikan Pra-
bu Brawijaya. Dalam kesempatan itu Adipati Natapraja menje-
laskan bahwa sebenamya ia tidak bettnaksud mel\iatuhkan
Majapahit. Tujuannya semula hanyalah meminta supaya Pra-
bu Brawijaya mau memeluk agama Islam dan meninggalkan aga-
ma Budha. Atas pertanyaan Adipati Natapraja selanjutnya, Ar-
ya Simping pun menyatakan bahwa orang Majapahit yang da-
tang menyerah itu bersedia memeluk agama Islam seperti orang
Bintara. Oleh karena itu, mereka kemudian diajak ke Bintara
oleh Adipati Natapraja.
Pangeran Kudus oleh Adipati Natapraja diperintahkan
memboyong Ratu Darawati yang pada saat itu masih berada
di dalam pura Majapahit. Pangeran Kudus juga diperintahkan-
nya membawa barang-barang milik Prabu Brawijaya yang rna-
sib ada di sana sebab temyata barang-barang kesayangan Prabu
Brawijaya banyak yang hilang bersama-sama dengan menghi-
langnya Prabu Brawijaya. Misalnya, tempat duduknya, gamel-
an Sekardlima, tombak, keris, d-an panahnya. Di samping itu,
Prabu Brawijaya juga mengajak beberapa orang abdi kesayang-
annya. Menurut orang-orang yang mengerti, menghilangnya
Prabu Brawijaya itu sebenarnya hanyalah berpindah keraton

91
ke Gunung Lawu. Di sana ia berganti nama Sunan Lawu dengan
keraton yang masih tetap seperti semula.
Ratu Darawati . yang tidak ikut pergi dengan Prabu Bra-
wijaya telah mendengar kabar bahwa ia akan diboyong ke
Bintara. Senang sekali ia menerima kabar itu sebab yang mem-
boyong adalah putranya pula, yang kelak akan menjadi raja
Islam. Oleh karena itu, ia kemudian bersiap-siap dan mempei-
siapkan barang-barang bawaannya. Sesudah itu ia bertemu de-
ligan Pangeran Kudus yang telah datang di sana untuk menjem-
putnya. Rupanya Pangeran Kudus ketika itu mulai menaruh
hati kepada Ratu Darawati sebab sebelumnya ia sudah diberi
tahu oleh Adipati Natapraja bahwa akan dikawinkan dengan-
nya. Kepada Ratu Darawati itu ia selanjutnya menyatakan tu-
juan kedatangannya di sana, yaitu memboyong Ratu Dara-
wati dan mengangkut barang-barang yang masih tertinggal di
dalam pura. Ratu Darawati yang sudah bersiap-siap sejak tadi

segera dapat berangkat. Demikian pula barang-barang yang akan
dibawa ke Bintara dapat segera diangkut beramai-ramai oleh
orang Majapahit.

U. (Pangkur)
Arya Bobos yang berangkat kemudian mengerahkan orang
Majapahit lainnya untuk mengangkut dua buah bangsal pura
Majapahit ke Bintara. Kedua bangsal itu akan dipasang lagi di
masjid Demak. Orang Majapahit di sarnping mengangkut ba-
rang-barang ke Bintara, sekaligus juga diperintahkan berpin-
dah rumah ke sana. Mereka yang membangkang dipaksa oleh
teman-temannya yang lain supaya ikut berpindah ke sana. Ha-
nya para putra Prabu Brawijaya yang merasa malu tidak ikut
pergi ke Bintara. Bersama anak dan istrinya mereka mening-
galk:an Majapal}it 'pada malam hari. Mereka mengungsi ke hu-
tan atau ke gunung dengan tujuan bertapa untuk menyembu-
nyikan dirinya.
Pangeran Kudus setelah tiba di Demak segera menghadap
Adipati Natapraja. Ia melaporkan perjalanannya ke Majapahit
dan tentang keberhasilannya memboyong Ratu Darawati.
• 92

Barang-barang yang dibawanya dari Majapahit kemudian di-


serahkan kepada Adipati Natapraja, yang selanjutnya menyerah-

kan segala-galanya kepada Sunan Giri. Akhirnya, Adipati Na-
tapraja oleh Sunan Am pel dinobatkan menjadi raja dengan . ge-
lar Sultan Bintara. Barang-barang kerajaan dari Majapahit oleh
Sunan Ampel diserahkan pula kepada Sultan Bintara. Semua
. orang yang menyaksikan penobatan Sultan Bintara itu menya-
takan kegembiraannya. Waktu penobatan raja itu ditandai de- ·
ngn angka tahun 140 1 ( warna· sirna catur nabi).
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, Pangeran
Kudus jadi dinikahkan dengan Ratu Darawati. Sebenarnya
Ratu Darawati sendiri tidak ingin lagi kawin , apalagi kawin de-
ngan cucunya yang masih muda itu. Akan tetapi, Sultan Bin-
tara kemudian menasihatinya. Ia mengatakan bahwa sekarang
alamnya telah berubah. Di samping itu, ia juga memberikan
contoh ten tang perkawinan seorang .istri nabi , yaitu Dewi Wur-
yan. Dahulu Dewi Wuryan ini juga kawin sampai dua kali; per-
tama kali ia kawin dengan Iman Tabut, sedangkan yang kedua
kalinya ia kawin dengan Nabi Dawud. Perkawinannya yang
kedua ini ternyata mendatangkan kebahagiaan. Ia dikaruniai
seorang putra yang kemudian menjadi raja, yaitu Nabi Sulaiman
namanya. Ratu Darawati terdiam karena mengakui kebenaran
ucapan Sultan Bintara itu.
Beberapa waktu kemudian setelah perkawinan Pangeran
Kudus dan Ratu Darawati itu berlalu, Sultan Bintara kedatang-
an Sunan Kalijaga. Dikatakan oleh Sunan Kalijaga di sana bah-
wa Adipati Natapraja telah dapat terlaksana menjadi raja Is-
lam tetapi ia belum mempunyai pusaka sebagai seorang raja.
Sementara itu semua 'pusaka Majapahit telah tiada karena diba-
wa pergi Prabu Brawijaya. Namun demikian, Sunan Kalijaga
dapat menunjukkan sebuah keris yang pantas digunakan seba-
gai pusaka seorang raja. Yang dimaksudkannya ini adalah ke- •

ris Segarawedang milik Adipati Pecattanda di Terung. Pembuat-


nya adalah Raden Anom, Adipati Tuban, yang sekarang meng-
ungsi ke Mataram bersama-sama dengan Jakasura, adiknya. Su-
nan Kalijaga menganjurkan supaya Sultan Bintara memanggil

93

r

mereka berdua ini untuk diangkat menjadi aparat negara. Di sam-


ping itu, ayah mereka pun, Pangeran Sendang, perlu dibaiki.
Yang terakhir, Sunan Kalijaga memberitahukan kepada
Sultan Bintara bahwa Adipati Blambangan bettnaksud akan
melawannya. Walaupun demikian, jika Sultan Bintara dapat
mengambil dua buah keris Kiai Sengkelat milik Adipati Siyung-
laut itu, Blambangan dengan mudah dapat dikuasainya. Atas
pemberitahuan ini, Sultan Bintara mengutus Tumenggung Arta-
daya dan Tohjiwa supaya pergi meminta kedua buah keris itu
ke Blambangan. Di samping dua orang utusan itu, utusan Sul-
tan Bintara yang hiin juga berangkat menyampaikan surat pang-
gilannya kepada Adipati Pecattanda.

LII. (Dandanggula)
Adipati Pecattanda ketika itu masih melaksanakan tugas-
- nya. Negara-negara di bagian timur Pulau Jawa yang akan mem-
berikan bantuan perang ke Majapahit dicegahnya. Para adipati
yang tidak mau ditegahkan kehendaknya diperanginya. Dengan
cara ini Adipati Pecattanda telah dapat menaklukan banyak
.. negara. Sebagian takluk karena berperang, sedangkan yang
lain banyak pula yang takluk secara damai. Mereka yang sudah
takluk diberinya pelajaran agama Islam dan disuruh datang meng-
hadap Sultan Bintara.
Hanya negara Blambangan dan Bali yang sampai pada saat
itu b~lum mau takluk. Adipati Siyunglaut dari Blambangan
ingin menjadi raja yang berkuasa atas seluruh Pulau Jawa. Ia
telah bersekongkol dengan raja Bali akan menyerang Binta-
ra. Beberapa negara lain yang membantunya telah bersiap-siap
di Blambangan.
Mendengar kabar itu, Adipati Pecattanda sangat marah.
Para adipati negara-negara yang telah bersatu dengan Adipati
Pecattanda juga telah bersepakat akan menyerang Blambang-
an. Oleh karena itu, Adipati Pecattanda memerintahkan su-
paya para prajurit dipersiapkan, tetapi ketika itu datanglah utus-
an Sultan Bintara menyampaikan sepucuk surat. Dalam suratnya
itu Sultan Bintara memberitahukan kepada Adipati Pecattan-
94

da bahwa ·negara Majapahit telah ditaklukkannya. Prabu Bra-


wijaya menghilang beserta istananya. Pada bagian lain surat-
I

nya itu Sultan Bintara meminta supaya Adipati Pecattanda pu-


lang bersama-sama dengan utusan yang membawa surat itu.
Selanjutnya, Sultan Bintara memberitahukan pula bahwa ia ·
telah mengutus dua orang adipati pergi ke Blambangan, yaitu
Tohjiwa dan Artadaya.
Dengan senang hati Adipati Pecattanda memenuhi pang-
gilan kakaknya itu. Para Adipati atau para taklukan segera di-
ajaknya datang menghadap Sultan Bintara. Berbondong-bon-
dong mereka berangkat ke Bintara.
Sementara itu Tumenggung Tohjiwa dan Tumenggung Ar-
tadaya beserta prajuritnya yang menempuh perjalanan ke Blam-
bangan telah sampai di sana. Mereka beristirahat di luar dae-
rah keraton sebab sesampainya di sana hari telah malam. •
Kehadiran kedua orang adipati utusan Sultan Bintara itu
terdengar oleh Adipati Siyunglaut dah para pengikutnya. Me-
reka mengira bahwa yang datang dengan barisan yang besar
itu adalah orang Terung, prajurit Adipati Pecattanda. Pada rna-
lam hari itu juga Adipati Siyunglaut segera memberangkatkan
bala tentaranya untuk menyergap musuh yang baru datang
itu. Pagi-pagi mereka telah tiba di tempat tujuan.
Tumenggung Artadaya hari itu mengadakan pembicara-
an di pesanggrahan dengan teman-temannya. Ia bettnaksud me-
nyampaikan surat kepada Adipati Siyunglaut, tetapi di tengah
perjalanan utusannya bertemu dengan barisan bala tentara Blam-
bangan yang sudah dalam keadaan siap perang. Utusan itu ter-
kejut dan segera kembali. Bingung prajurit Bintara menghada-
pi serangan yang tidak terduga sebelumnya itu. Tumenggung
Artadaya dan ·Tumenggung Tohjiwa merasa malu kalau tidak
mengadakan perlawanan. Dengan terpaksa mereka memerin-
tahkan prajuritnya supaya melawan. Terjadilah kemudian pe-
perangan yang seru, tetapi karena banyaknya bala tentara Blam-
bangan, prajurit Bintara menderita kalah. Tumenggung Arta-
daya dan Tumenggung Tohjiwa sendiri tewas dalam peperangan
itu karena dikeroyok oleh Adipati Gendung, Bandung, Pejarakan,

95
dan Adipati Sidapeksa. Orang Bintara yang masih hidup kemu-
dian pulang, sedangkan bala tentara Blambangan yang menang
juga mundur. Meskipun menang, orang Blambangan sangat

kecewa hatinya karena ternyata musuhnya itu bukan orang
Terung. Tumenggung Artadaya yang tewas itu sebenarnya ada-
lah paman Adipati Siyunglaut sendiri, sedangkan Tumenggung
Tohjiwa adalah adiknya.
Adipati Pecattanda yang telah tiba di Bintara langsung
'
menghadap Sultan Bintara. Atas jasa-jasanya, Sultan Bintara
mengucapkan terima kasih kepadanya. Dalam kesempatan itu
Adipati Pecattanda melaporkan bahwa para adipati di Jawa

bagian timur telah ditaklukannya, kecuali adipati Gendung,
Sruwung, Pejarakan, dan Bandung yang memihak Blambang-

an. Mereka ini sebenarnya akan ditakluk.kannya sekaligus, te-
tapi ketika itu datang surat Sultan Bintara yang memerintah-
kannya supaya pulang.
Sultan Bintara selanjutnya memberitahukan kepada Adi-
pati Pecattanda, bahwa masalah Blambangan akan diselesai-
kan secara damai. Ia telah mengutus Tumenggung Artadaya
dan Tumenggung Tohjiwa untuk menyampaikan surat ke sana.
Adipati Siyunglaut diizinkannya tidak menghadap asal dua buah
kerisnya, Kiai Sengkelat, diserahkan kepada Sultan Bintara.
Apabila kedua buah keris ini sudah berada di tangan Sultan
Bintara, Blambangan akan mudah ditaklukan.
Mendengar penjelasan Sultan Bintara yang seperti itu, Adi-
pati Pecattanda sekali lagi memberitahukan bahwa Adipati Si-
yunglaut jelas tidak akan mau takluk karena ia sendiri ingin
menjadi raja. Namun demikian, apabila Sultan Bintara ingin me-
makai sebuah keris, Adipati Pecattanda dengan senang hati akan
menyerahkan kerisnya, Kiai Segarawedang, kepadanya. Senang
sekali Sultan Bintara menerima keris pusaka dari adiknya itu.
Sesaat kemudian datanglah para prajurit yang terpukul
mundur dalam peperangannya melawan bala tentara Blambangan.
Di hadapan Sultan Bintara mereka melaporkan terjadinya pe-
perangan dari awal sampai akhir, tennasuk juga tewasnya Tu-
menggung Artadaya.

96

Karena jelas bahwa Adipati Siyunglaut berani melawan


' Sultan Bintara, maka Sultan Bintara pun selanjutnya menyu-
ruh Adipati Pecattanda supaya menaklukkannya. Dengan senang
hati Adipati Pecattanda menerima tugas ini. Setelah minta pa-
mit, ia dan para adipati lainnya berangkat ke Blambangan.
Para Wall sehabis sembahyang Jumat berkumpul di mas-
jid Demak. Di sana mereka memperbincangkan perbuatan Syeh
Sitijenar yang mereka anggap menyimpang dari syariat rasul.
Atas kesepakatan mereka itu, Sunan Girl bettnaksud akan me-
manggil Syeh Sitijenar.

LII. (Asmarandana)
Dua orang utusan, Kodrat dan Malangsumirang, berang-
kat memanggil Syeh Sitijenar. Dalam waktu sekejap mata saja
mereka telah sampai di pertapaan Syeh Sitijenar. Ketika mere-
ka tiba di sana, Syeh Sitijenar masih tetap bertapa di dalam
sebuah gua. Mereka memanggil nama Syeh Sitijenar dari luar
gua, tetapi jawaban yang mereka dengan menyatakan bahwa
Syeh Sitijenar tidak berada di dalam gua; yang ada di dalam gua
hanyalah Allah. Kedua orang utusan itu terpaksa kembali lagi
ke Demak untuk melaporkan hal itu. Atas keterangan itu, Su-
nan Giri mengutus mereka lagi supaya memanggil Syeh Sitije-
nar dengan menyebutnya sebagai Allah. Akan tetapi, ketika me-
reka memanggil nama Allah dari luar gua tadi, jawaban yang di-
dengarnya juga berubah; Tuan Allah sudah tiada, Sitijenarlah
yang menggantikannya. Kedua orang utusan terpaksa kemball
lagi ke Demak. Akhirnya, Sunan Girl memerintahkan utusan-
nya tadi supaya memanggil Syeh Sitijenar dengan sebutan Tuan
Allah Sitijenar. Dengan panggilan inilah Syeh Sitijenar mau ke-
luar dari guanya dan kemudian mengikuti kedua orang utus-
an itu menjumpai Sunan Girl.
Di sana Sunan Girl menyatakan bahwa tujuannya me-
manggil Syeh Sitijenar adalah akan mengajaknya bettnusya-
warah dengan para wall lainnya tentang pengetahuan dan ilmu
yang mereka miliki. Dalam kesempatan itu para wall dapat me-
ngemukakan pendapat dan pandangannya masing-masing. Pa-

1
97
-

da umumnya mereka tidak berbeda pendapat tentang masalah


wujud, keesaan , keabadian , kekuasaan, dan kegaiban Allah.
Hanya pendapat dan pandangan Syeh Sitijenarlah yang banyak
mengundang timbulnya pertanyaan.
Syeh Sitijenar mengatakan bahwa kehadiran Allah it u se-
benarnya hanyalah karena sebutan Allah itu sendiri. Kehadiran
dan nama itu adalah satu. Tidak ada Allah yang sebenarnya ke-
cuali hanya dalam ucapan saja. Allah itu tidak ada wujudnya,
' sedangkan Nabi Muhammad adalah cahaya Allah. Sitijenar sen-
diri mengaku sebagai pengganti nabi dan Allah , karena ternyata
ia merasa sebagai kemanunggalan antara gusti dan hambanya.
Di sini tidak ada perasaan yang berbeda dan dua sebutan yang
berbeda kecuali hanya Sitijenar yang langgeng hidupnya di
dunia dan akhirat. Dengan sesama hidup pun ia merasa tidak
berbeda sebab sama keadaannya.
Sunan Giri hanya mengiakan saja semua yang diucapkan
Sitijenar, tetapi ia memperingatkannya supaya tidak mening-
galkan masjid Demak dan tidak mengingkari janjinya sebagai
orang yang menganut syarak. Sitijenar tertawa karena tidak se-
pendapat. Menurut Sitijenar, orang yang sembahyang akan se-
lalu khawatir akan Jtrinya sebab terikat oleh syariat. Pikiran-
nya akan tertuju kepada ilmu orang-orang jahat. Sebaliknya, ji-
ka orang mau menerima kodratnya sebagai kemanunggalan an-
• tara gusti dan hambanya , masalahnya akan lain sebab Allah ti-
dak sembahyang, tidak makan dan tidak tidur selama hidup-
nya , tetapi justru menghidupi yang ada di dunia ini.
Terkejut Sunan Giri mendengar ucapan Sitijenar itu. Syeh
Maulana pun seketika berkata dengan lantangnya. Ia mengata-
kan bahwa Sitijenar yang sudah percaya kepada nabi, syarak 1
dan syariat itu tidak ada gunanya lagi berada di dunia ini Jika
ia masih ada di dunia, masjid Demak pasti kosong. Oleh kare-
na itu, Syeh Maulana meminta supaya Sitijenar pulang ke ak-
hirat.
Sitijenar yang merasa memiliki dunia dan akhirat itu me-
menuhi pettnintaan Syeh Maulana. Ia segera terbang menuju sur-
ga. Sesampainya di pintu surga, ia masih sempat menjawab salam

98


I

Sunan Girl. Selanjutnya, Sunan Girl meminta tinggalan kepada-


nya. Sitijenar bettnaksud akan nieninggalkan bajunya sebagai
pengganti dirinya di dunia. Dari pintu .surga baju itu dilempar-
kannya, dan jadilah seorang manusia yang seperti Sitijenar rupa-
nya. Karena akan dikisas oleh Sunan Girl, tubuh Sitijenar yang
tidak dapat berbicara ini terbakar. Syeh Maulana kemudian me-
medangnya, tetapi sampai beberapa kali tidak mempan. Baru
setelah Syeh Maulana mengatakan Sitijenar sebagai setan, ia

berhasil memedangnya. Walaupun demikian , tubuh Sitijenar
masih tetap berdiri dan lukanya tidak mengeluarkan darah. Ha- •

nya k~rena ucapan-ucapan Syeh Maulana yang bersifat mencela


Sitijenar, maka keluarlah darah merah dari luka itu dan kemu-
dian berganti darah putih.
Akhirnya, perwujudan Sitijenar itu roboh. Syeh Maula-
na bermaksud akan mencari kepala anjing untuk mengganti-
kan kepala Sitij~nar yang telah ~erpenggal. Mayat berkepala
anjing itu diperlihatkannya kepada orang banyak dengan pen-
jelasan bahwa mayat Sitij~nar menjadi anjing karena dosanya
mengabaikan syarak rasul. Kabar yang tersiar menyatakan pu-
la bahwa Syeh Sitijenar dikisas dan mayatnya menjadi anjing.
Mendengar kabar ten tang hal itu, Ki Lontangasmara, salah
seorang sahabat Sitijenar yang sedang mengembala kambing
di hutan segera meninggalkan kambingnya. Sesampainya di de-
kat mayat Sitijenar, ia berseru minta disusulkan kepada Siti-
jenar yang telah meninggal itu. Mendengar ucapan Lontangas-
mara itu, Syeh Maulana marah. dipedangnya segera Lontang-
asmara. Seketika itu juga Lontangasmara menghilang dengan
mengendarai sebuah cambuk. Mereka yang menyaksikan kejadi-
an itu menjadi heran. ·
Sepeninggal Lontangasmara, mayat Sitijenar dibakar. Se-
telah apinya padam, terdengarlah suara yang mengatakan bah-
wa nanti akan ada tindakan balasan dari Sitijenar terhadap ke-
turunan keraton atas perbuatan para wall yang dianggap oleh
Sitijenar menyusahkan orang lain. Menurut suara itu, balasan
Sitijenar akan datang apabila nanti istana raja berpindah ke Ma-
taram. Apabila nanti ada seorang raja yang datang menyerang,

99
• •

pada saat itulah balasan Sitijenar akan datang pula. Sebenarnya


Sitijenar itu adalah putra Resi Busu yang pertapaannya berada
di Gunung Serandil.
Sementara itu, Adipati Siyunglaut yang baru saja mengang-
kat diri menjadi raja sedang membicarakan rencana peperang-
annya.

LIV. (Pangkur)
'
Yang sedang dibicarakan di sana adalah kedatangan Adipa-
ti Pecattanda yang akan menyerang Blambangan. Atas perta-
nyaan Siyunglaut, Ki Patih menyatakan lebih baik orang Blam-
bangan melawannya. Para adipati yang menjadi sekutu Siyung-
laut pun menyetujuinya, apalagi ternyata Adipati Pecattanda
dari Terung itu telah membantu Adipati Natapraja menakluk-
kan Majapahit.
Pada waktu itu datanglah seorang prajurit memberitahu-
kan bahwa Adipati Pecattanda beserta bala tentaranya telah tiba
di Blambangan. Derrii mendengar pemberitahuan itu, Siyung-
laut segera mempersiapkan prajuritnya untuk mengadakan per-
lawanan. Di lain .Ji: .ak, Adipati Pecattanda yang sudah ber-
baris di luar kota mulai menggerakkan maju bala tentaranya.
Peperangan seru segera teijadi setelah kedua belah pihak ber-
temu di medan perang. Akan tetapi, karena prajurit Blambang-
an bagaikan kebanjiran musuh , kedudukannya makin terde-
sak. Banyak prajuritnya yang tewas. Orang Bandung, Kedung-
sruwung, Pejarakan, dan Prabalingga lari ketakutan. Sidapeksa
pun telah melarikan diri. Setelah tiada seorang pun yang bera-
ni maju melawan, Adipati Pecattanda dan para adipati turun
dari kudanya dan kemudian masuk ke dalam pura Blambang-
an.
Raja Siyunglaut dan Patih Caluring masih tetap berada di
dalam pura. Mereka rupanya tidak berniat lagi maju perang ka-
rena melihat banyaknya orang Blambangan yang telah tewas.
Namun demikian, mereka selalu tetap waspada di dalam pura.
Akhirnya, timbul juga keinginan Patih Caluring untuk mem-
pertahankan negaranya. Ia meminta supaya Raja Siyunglaut
100
.
maju perang, tetapi rajanya itu. tetap tidak mau berperang ka-
rena ketakutannya. Tentu saja Patih Caluring tidak senang dan
bahkan ia menjadi jengkel karena sikap rajanya yang seperti
itu. Oleh karena itu, Raja Siyunglaut pun dihina, diumpat, dan
ditantangnya pula. Karena marahnya, Raja Siyunglaut segera
menghunus kerisnya dan ditikamkannya ke dada Patih Calu-
ring. Meskipun dadanya telah tertikam, Patih Caluring masih
dapat~ melakukan perlawanan. Keris Raja Siyunglaut direbut-
nya dan kemudian ditikamkannya kepada rajanya itu sehing-
ga mereka berdua mati bersama-sama. Melihat kejadian itu, is-
tri Siyunglaut menangis.
Ketika tiba di dalam pura, Adipati Pecattanda tidak
mendapat perlawanan. Ia mengetahui bahwa ternyata Raja Si-
yunglaut dan Patih Caluring telah tewas. Atas pertanyaan Adi-
pati Pecattanda, istri Siyunglaut menceritakan i tewasnya ke-
dua orang itu dari awal sampai akhir. Anak Patih Caluring oleh
Adipati Pecattanaa diangkat magang. Orang Blambangan dipe-
rintahkan oleh Adipati P.ecattanda supaya takluk kepada Sul-
tan Bintara, sedangkan istri Raja Siyunglaut diboyongnya ke
Bintara. Barang-barang berharga milik Raja Siyunglaut diangkut-
nya ke Bintara, tertnasuk pula dua buah keris kembar yang se- ~
rupa dengan Kiai Sengkelat yang sebenarnya.
Sesampainya di Bintara, Adipati Pecattanda melaporkan
-.., perjalanannya ke Blambangan yang telah memperoleh keme-
nangan. Barang-barang rampasan dan dua buah keris kembar
yang dibawanya kemudian diserahkannya kepada Sultan Bin-
tara. Atas keberhasilannya itu, Adipati Pecattanda menerima
ucapan terima kasih dan pujian dari Sultan Bintara.
{

LV. (Sinom) ·
Putri Adipati Pecattanda oleh Sultan Bintara dinikahkan
dengan Pangeran Kudus yang kemudian bergelar Sunan Kudus.
Sultan Bintara sendiri oleh para adipati di tanah J awa telah di-
sepakati untuk menjadi raja. Para wall memberinya gelar Sena-
pati Jimbun Panembahan Palembang. ·P utra Sultan Bintara
yang bernama Ki Wanapala diangkat menjadi patih dengan ge-

101

tar Patih Mangkurat Wanapala. lman Semantri oleh Sultan Bin-


tara diberi hak atas daerah Tarub dan Sela. Adipati Pecattan-
da setelah tugasnya selesai diizinkan pulang ke negaranya. Ca-
nangnya yang bemama Kiai Macan diberikannya kepada Sunan
Kudus, menantunya. Sebelum menjadi menantu Adipati Pecat-
tanda ini, Sunan Kudus telah memperistri Ratu Darawati, be-
kas pettnaisuri Prabu Brawijaya. Akan tetapi, karena sudah tua,
, Ratu Darawati kemudian meninggal di Bonang dan dimakam-
kan di Karangkumuning.
Raden Bondanserati, putra Prabu Brawijaya, yang mening-
galkan .Majapahit sekarang berada di Gunungkidul. Dengan pa-
ra pengikutnya ia menyusun barisan. di sana. Ia ingin menggan-
tikan ayahnya sebagai raja karena ia merasa berhak atas negara
Majapahit sebagai warisan ayahnya. Kehendaknya yang demi-
kian itu terdengar oleh para saudaranya, yaitu adipati Madura,
Betara Katong, dan Arya Jaranpanolih. Mereka bertiga datang
menyusulnya ke Gunungkidul dan menyatakan dukungannya
atas keinginan Raden Bondanserati tersebut. Akan tetapi, karena
Raden Bondanserati tetap tidak mau memeluk agama Islam, me-
reka bertiga tidak jadi membantunya dan kemudian pulang la-

gt.
Sepeninggal mereka bertiga, Raden Bondanserati merasa
menyesal. Yang dipikirkannya adalah jalan menuju ajalnya.
Orang-orang di sana diperintahkannya mengumpulkan kayu-
kayu yang kering dan kemudian disuruhnya membakar. Sete-
lah apinya berkobar-kobar, Raden Bondanserati masuk ke dal~m
api itu untuk membakar diri.
Setelah kejadian ini, orang-<>rang yang berada di sana per-
gi meninggalkan tempat itu. Raden Baribin pergi ke Wungking,
sedangkan para istri Raden Bondanserati mengungsi ke Paker.
Raden Wanatara dan Raden Wanabaya yang sementara rna-
sib tertinggal akhirnya turun pula dari Gunungkidul. Setiba-
nya di Giring, mereka berdua berhenti, tetapi Raden Wanabaya
kemudian memisahkan diri karena mempunyai tujuan perjalan-
an yang lain. Ia berjalan terns ke selatan. Sesampainya di Gua
Langse, ia kemudian masuk ke dalamnya dengan tujuan berta-

102

.
pa. Pada hari ketuj uh ia bertapa di sana, terdengarlah olehnya
suara ayahnya. Menurut suara itu, Raden Wanabaya diperintah-
kan pergi ke Mangir. Ia dianjurkan membuat desa di sana sebab
nanti dengan cara itu ia akan memperoleh kebahagiaan.
Raden Wanabaya mengikuti perintah suara ayahnya itu.
Ia segera keluar dari dalam gua itu dan kemudian betjalan ke
arah selatan sampai di pantai. Dari sana ia kemudian berjalan
ke barat melewati Sungai Gajahmungkur. Sungai berikutnya
yang dilewatinya adalah Sungai Opak. Sesampainya di muara
Sungai Praga, Raden Wanabaya berhenti. Di sana ia bertanya
kepada salah seorang yang sedang mencari ikan tentang arah tegal
Mangir dari tempat itu. Atas bantuan pencari ikan itu, Raden
Wanabaya akhirnya dapat menemukan tegal Mangir y·ang ke-
mudian berhasil dibuatnya menjadi desa.
Di tempat baru ini Raden Wanabaya kemudian menikah
dengan putri dari J,.uwana. Dari perkawinannya ini ia memper-
oleh seorang anak laki-laki yang set'elah dewasa dikawinkannya
dengan Bocor.

L~. (Dandan~a)

Raden Wanabaya yang telah lama tinggal di Mangir itu ke-


mudian lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Mangir. Ia teri-
ngat akan suara yang pernah didengarnya ketika bertapa dulu.
' Oleh karena itu, ia sekarang berniat akan bertapa lagi untuk
memperoleh warisan ayahnya sebagai raja. Desa Mangir diting-
galkannya. Ki Ageng Mangir jadi bertapa dan namanya diganti-
nya dengan Sang Begawan Gunturgeni.
Dahulu ketika berangkat ke Mekah, Sunan Kalijaga mening-
galkan putranya yang masih kecil. Sekarang putranya itu, Raden
Mas Adi namanya, sudah besar. Bersama-sama dengan dua orang
sahabatnya Raden Mas Adi bertuaksud akan menyusul ayah-
nya ke Mekah. Dari Pulau Upih mereka menuju Pulau Merak.
Di sana mereka bertemu dengan Sunan Bonang. Raden Mas
Adi oleh Sunan Bonang disarankan ke Demak sebab Sunan Ka-
lijaga sekarang sedang berada di sana. Menurut Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga sudah pulang dari Mekah. Raden Mas Adi dan

103
kedua orang sahabatnya kemudian mengikuti Sunan Bonang
men1:1ju D·em.ak ~
· Ses~painya di masjid Demak, mereka menerima ajaran-
ajarari dari Sunan Bonang. Di samping itu, mereka sempat me-
minta ajaran ilmu gaib kepadanya tentang asal mula dan akhir
kehidupan. Dalam hal ini Sunaa Bonang meminta agar mereka
nanti pada waktu dalam kadaan sekarat tetap hati-hati. Maksud-
nya, supaya mereka nant i tidak terlalu mudah tertarik oleh pe-
mandangan yang indah dan suara yang mengenakkan telinga
sebab semuanya itu adalah buatan para iblis yang disengaja un-
tuk menyesatkan m_anusia yang meninggal.

LVII. (Kinanti)
Sunan Kalijaga yang semula dikabarkan pergi berkeliJing
dunia sekarang bettnaksud akan pulang karena sudah rindu kepa-
da anak dan istrinya. Akan tetapi, ketika
.
ia tiba di rumah, putra-
nya tidak terlihat. Menurut keterangan istri Sunan Kalijaga,
Raden Mas Adi telah pergi menyusul Sunan Kalijaga beserta
dua orang sahabatnya. Demi mendengar itu , Sunan Kalijaga se-
gera kembali ke Mekah. Ternyata setibanya kembali di sana,
ia tidak juga menemukan putranya. Segera ia kembali ke Jawa
lagi. Di Bintara ia tidak dapat menemukan putrany~ang sudah
besar dan tidak dikenalnya lagi itu. Sunan Kalijaga akhirnya
bettnaksud menyamar sebagai penambul bertopeng. Ia menam-
bul di depan warung-warung yang dilaluinya dengan harapan
supaya ditonton oleh anak-anak kecil, tetapi ia tidak memin-
ta upah. Seorang pun tidak ada yang mengetahui bahwa penam-
bul itu adalah Sunan Kalijaga.
\ Namun demikian, Sunan Bonang dalam hatinya sudah ti-
dak sangsi lagi bahwa penambul itu ~dalah Sunan Kalijaga. Oleh
karena itu, penambul tadi dipanggilnya. Di situlah Sunan Bo-
nang mempertemukan Sunan Kalijaga dan putranya, yaitu Ra-
den Mas Adi. Oleh Sunan Bonang selanjutnya Raden Mas Adi
diberi nama Pangeran Hadikesuma.
Malam hari sesudah pertemuan itu Sunan Bonang bettnak-
sud mempergelarkan wayang kulit semalam suntuk. Cerita

104

atau lakon yang dipilihnya adalah "Mintaraga". Sambil menonton


pertunjukan wayang kulit itu Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga
banyak berbicara tentang makna serta persesuaian antara dunia
pertunjukan wayang dan keadaan dunia yang sebenarnya. Pada
akhir pertunjukan wayang itu Sunan Bonang menunjuk.kan kepada
Sunan Kalijaga bahwa meskipun lakon wayang sudah berakhir,
gambar pohon-pohonan yang tettnasuk perangkat wayang itu
masih berdiri. Pohon-pohonan di sini bersifat hidup . Kayunya
oleh manusia dapat dibuat boneka dan topeng dengan maksud
yang berbeda. Boneka dapat menjadi gambaran orang yang mau
menerima takdir, sedangkan orang yang bertopeng dapat diibarat-
kan sebagai-manusia yang bettnulut iblis. Lebih lanjut, Sunan Bo-
nang mengatakan bahwa nanti akhirnya akan banyak orang muk-
min dan pendeta yang berhati jahat, sedangkan orang-orang besar
akan mengumbar hawa nafsunya. Namun demikian Sunan Bonang
mengajak Sunan Kalijaga untuk tetap melakukan perbuatan-
perbuatan yang baik. /

LVID. (Sinom)
Menantu Prabu Brawijaya di Pengging, Adipati Dayaningrat ,
telah lama meninggal dunia. Ia meninggalkan dua orang anak
laki-laki, yaitu Kebokanigara dan Kebokenanga. Setelah Majapahlt
jatuh, Raden Kebokenanga berguru kepada Syeh Sitijenar tentang
agama Islam bersama-sama dengan Ki Ageng Tingkir. Orang
Pengging akhirnya juga memeluk agama Islam semuanya. Raden
Kebokenanga kemudian menikah dengan adik Ki Ageng Butuh,
sedangkan hubungannya dengan Ki Ageng Tingkir bagaikan dua
orang bersaudara.
Negara Pengging di bawah pemerintahan Raden Kebokena-
nga, a tau kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging,
makin lama makin berkembang, tetapi Sultan Bintara mulai tidak
senang terhadap sikap Ki Ageng Pengging. Ia menganggap Ki
Ageng Pengging sebagai penghalangnya menjadi raja . Oleh-karena
itu, Sultan Bintara mengirimkan dua orang utusan supaya me-
manggil Ki Ageng Pengging itu.
Sesampainya di Pengging, merek~ mengatakan maksud

105
kedatangannya kepada Ki Ageng Pengging. Akan tetapi, Ki Ageng
Pengging menyatakan tidak mau datang menghadap Sultan Bintara
sehingga kedua orang utusan itu terpaksa pulang tanpa hasil.
Sepeninggal mereka, Ki Ageng Tingkir menyadarkan supaya
Ki Ageng Pengging mau datang ke Bintara, tetapi usahanya itu pun
tidak berhasil. Ki Ageng Pengging tetap pada pendiriannya semula
sehingga Ki Ageng Tingkir akhirnya menyetujuinya pula, dan bah-
kan menyarankan supaya Ki Ageng Pengging bersiap-siap perang.
Kebetulan ketika Ki Ageng Tingkir b~rada di Pengging itu,
istri Ki Ageng Pengging melahirkan. Bayi laki-laki yang baru
lahir itu oleh Ki Ageng Tingkir diberi nama Mas Karebet.
Sementara itu dua orang utusan Sultan Bintara yang pergi
ke Pengging telah tiba kembali di Demak. Keengganan Ki Ageng
Pengging datang ke Demak mereka laporkan kepada Sultan
Bintara. Mendengar laporan itu, Sultan Bintara menjadi sangat
marah. Ki Ageng Wanapala diutusnya pergi ke Pengging untuk
menanyakan kehendak Ki Ageng Pengging yang sebenarnya.
Dengan empat orang sahabatnya Ki Ageng Wanapala segera berang-
kat ke Pengging.
Setibanya di Pengging, Ki Ageng Wanapala memperkenalkan
diri kepada Ki Ageng Pengging sebagai utusan Bintara. Tujuan
kedatangannya di Pengging adalah ingin mengetahui kehendak
Ki Ageng Pengging. Ki Ageng Wanapala mengemukakan dua hal
dari Sultan Bintara yang harus dipilih salah satu oleh Ki Ageng
Pengging.

LIX. (Asmaradana)
Kedua hal yang ditawarkan Ki Ageng Wanapala itu berupa
dua pilihan yang berbeda atau berlawanan, yaitu antara yang ada
secara berlebihan dan yang sama sekali tidak ada; antara yang
tidur hanya sekali tetapi selamanya berjaga dan yang tidur tiap
malam tetapi tiap hari betjaga; dan antara yang makannya hanya
sekali tetapi kenyang selama-lamanya dan yang makan tiap hari
tetapi laparnya juga tiap hari. Jika Ki Ageng Pengging memilih
yang ada dan dapat makan setiap hari, maka ia oleh Ki Ageng
Wanapala diperintahkan mengambil negara senyampang Sultan

106
,

Bintara masih ada. Temyata Ki Ageng Pengging tidak dapat


memilih salah satu di antaranya, tetapi ia mau menerima semua-
nya. Di samping itu, ia juga tetap tidak mau datang menghadap
ke Demak.
Ki Ageng Wanapala yang juga tidak berhasil mengajak Ki
Ageng Pengging pergi ke Demak itu segera pulang. Sesampainya
di hadapan Sultan Bintara, Ki Ageng Wanapala melaporkan pendi-
rian Ki Ageng Pengging, tetapi ia juga meminta supaya Sultan
Bintara tetap sabar. Maksudnya, Sultan Bintara diperbolehkan-
nya mengambil tindakan jika dalam batas waktu tiga tahun lagi
Ki Ageng Pengging tetap tidak mau datang ke Demak.
Sultan Bintara menyetujui permintaan Ki Ageng Wanapala
itu, tetapi ia sekarang mempunyai maksud yang lain. Sultan Bin-
tara ingin mencari orang yang akan dijadikan prajurit pilihan
Siapa pun yang dapat membunuh seekor kerbau atau banteng
tanpa senjata akan diterima menjadi prajwit pilihan Sultan Bin-
tara. -
Mendengar berita itu, timbul keinginan Ki Ageng Sela untuk
mencobanya. Ki Ageng Sela ini adalah putra almarhum Ki Ageng
Getas Pendawa dan telah diangkat menjadi putra Sultan Bintara.
Ia mempunyai kesaktian yang luar biasa sebab dulu ia berhasil
menangkap petir yang menyambamya ketika ia sedang mencang-
kul di ladang. Oleh karena itu, tidak mengherankanlah apabila
Ki Ageng Sela ingin mencoba pula kesaktiannya untuk melawan
kerbau atau banteng seperti yang dimaksudkan Sultan Bintara
tadi. Keinginannya itu dikabulkan oleh Sultan Bintara dan segera
dilaksanakan.

LX. (Pangkur)
Di gelanggang yang telah disiapkan Ki Ageng Sela dihadapkan
kepada seekor banteng yang menjadi lawannya. Meskipun sama
sekali tidak takut menghadapi banteng i itu, Ki Ageng Sela tidak
mau mendahului menyerang. Baru setelah banteng itu menyerang,
ia mengadakan perlawanan. Kedua tanduk banteng itu dipe-
gangnya untuk memilin kepala • Kepala banteng yang t elah
dipilinnya itu kemudian ditinjunya kuat-kuat sehingga pecah

107
~eketika itu juga. Otaknya keluar, dan Ki Ageng Sela menoleh
ke belakang.
M ng tahui Ki Ageng Sela n1enoleh ke belakang itu, Sultan
Bintara mengutus patihnya supaya menanyakan mengapa pada
:~a at itu Ki Ageng Sela menoleh ke belakang. A ta pertanyaan Ki
Patih ini Ki Ageng Sela tnengatakan bahwa tidak tahan akan bau
darah yang mengenai badannya. Keterangan Ki Ag ng Sela ini
kemudian dlsampaikan ol h Ki Patih kepada Sultan Bintara.
Karena keterangan Ki Ageng Sela yang ~~mik.ian itu, maka Sultan
Bintara menilai Ki Ageng Sela sebagai penakut. Sultan Bintara
mengutus Ki Patih lagi ~upaya menyuruh Ki Ageng Sela pulang
kar na Sultan Bintara tidak menyuk:ai perbuatannya tadi.
Dengan perasaan mendongkol Ki Ageng Sela egera pulang
k . rumahnya setelah menerima p rintah ultan Bin tara itu.
Se ampainya di rumah ia kemudian menyiapkan pr<ijuritnya
untuk meny rang Sultan Bintara. D ngan tnenunggang kuda dan
dengan senjata Kiai Pleret ""iap di tangannya Ki Ageng Sela berang-
kat menyerang Sultan Bintara.
Kedatangan Ki Ageng Sela dengan tujuan akan menyerang
itu dilaporkan ol h Ki Patih kepada Sultan Bintara. Walaupun
d mkian, Sultan Bintara tidak berma.ksud akan melawannya.
Para prajuritnya dip rintahkannya n1enyamar dan membiarkan
Ki Ageng Sela datang di hadapan Sultan Bintara. Dengan derniki-
an ketika Kl Ageng Sela masuk ke dalam pura tidak mendapat
perlawanan sama sekali. Akan tetapi, Sultan Bin tara yang juga nte-
nyarnar selalu waspada. S gala perbutan Ki Ag ng SeJa di sana
s lalu diawasinya. Dari kejauhan Sultan Bintara kemudian mele-
pa kan anak panaJmya. Anak panah itu tepat mengenai hldung
kuda Ki Ag ng Sela ~ehingga kuda itu rnelarikan cliri. Orang Sela
lari pula mengikutinya hingga Sultan Bintara tertawa karena-
nya.
Setibanya di rumah, Ki Ageng Sela yang menderita kaJah

itu diam aja tidak mau b rkata apa ..apa.

LXI. (Dandanggula)
Ke edihan hat i karcna kalah dalam peperangan itu tclah

108
menimbulkan keinginan Ki Agcng Sela untuk prihatin. Ia meJijadi
lupa akan makan dan minum, dan tiap malarn ia mengadar.
Pada suatu malam menjelang pagi hari ia mendengar suara yang
mcnyatakan bahwa ia nanti akan memperoleh sebuah canang
ebagai tengara perang dan scbagai pusaka r(ija. Ki Ageng Sela
tcrbangun dari tidurnya karena mendengar suara itu . Sesudah
kejadian ini ia lebih merungkatkan lagi prihatinnya.
Kejadian yang hampir sama dialami pula oleh seorang dalang
di desa Bicak. Kctika bertafakur di tepi telaga Madirda, ia ber-
mimpi dijumpai ayahnya. Dikatakan oleh ayahnya itu bahwa di
dalam telaga itu terdapat sebuah canang, dulu bemarria Panca-
janya. anang itu, menurut ayahnya tadi akan mendatangkan
kcbahagiaan. Oleh karena itu , dalang itu diswuhnya mengambil.
Tcmyata canang ini s telah diarnbilnya mendatangkan kebaha-
giaan pula. Dalang Bicak itu mcnjadi laris, banyak yang menang-
gap.
Kelarisan dalang Bicak dan kecantikan istrinya telah terdc-
ngar oleh Ki Agcng Sela. Timbul keinginan Ki Ageng Sela untuk
menyaksikan sendiri pertwijukan wayang kulit yang dimainkan
oleh dalang Bicak itu. Dengan cara menyarnar IG Ageng S la
bersama-sama dcngan Soma menuju tempat pertwijukan. Di sana
ia dapat meliha t sendiri be tapa cantiknya istri dalang Bicak tadi.
Karena jatuh cinta kepadanya, Ki Ageng Sela sampai lalai. Dalang
Bicak dipanahnya sehingga tewa seketika itu juga. Ki Ageng
· Sela menyesal atas perbuatannya terhadap dalang yang tidak
bersalah itu tetapi ia merasa scnang dapat memperoleh sebuah
canang milik dalang tadi.
Sunan Kalijaga yang ketika itu sedang berkeliling dunia
ingin sckali singgah eli Sela. Tujuan kedatangannya di sana adalah
akan melihat canang yang baru diperoleh Ki Ageng Sela itu.
D ngan ketakutan karena merasa bersalah Ki Ageng Sela mem-
perlihatkan canangnya kepada Sunan Kalijaga. Menurut Sunan
Kalijaga, canang itu kelak akan menjadi tengara perang bagi ana.k
cucu Ki Ageng Sela yang menjadi rcija tanah Jawa. Canang itu
semula adalah milik Dananjaya. NaJTlanya dulu adalah Panc{\ja-
nya, dan sckarang oleh Sunan Kalijaga diganti" dengan si Bicak.

109
Kecuali telah memperoleh canang itu, Ki Ageng Sela menerima
sebuah keris dari Sunan Kalijaga, Kiai Kopek namanya.
Sepeninggal Sunan Kalijaga, Ki Ageng Sela memanggil putra-
nya, Raden Jaka Enis. Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sela
menyampaikan nasihat-nasihat atau ajaran-ajarannya kepada
putranya itu. Kisah canang dan keris Kiai Kopek pemberian Sunan
Kalijaga diceritakannya pula kepada Raden Jaka Enis. Ki Ageng
Sela sendiri sekarang terbawa oleh kekeramatan Kiai Kopek
sehingga ia dapat menjadikan desa Sela bagaikan sebuah kerajaan
yang besar. Ajaran-ajarannya ditulisnya dalam dua buah buku,
Penali dan Suluk Luwanging Jalmi.
Ki Ageng Sela mempunyai tujuh orang anak. Semuanya
perempuan kecuali Raden Jaka Enis. Setelah Ki Ageng Sela me-
ninggal, Raden J aka En is a tau Ki Ageng Enis ini diangkat sebagai
penggan tiny a.

LXII. (Asmaradana)
Sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, Ki Ageng
Pengging tetap tidak mau datang ke Demak. Sultan Bintara men-
jadi marah karenanya. Sunan Kudus diperintahkannya supaya
pergi ke Pengging. Dengan tujuh orang sahabatnya ia segera
berangkat melaksanakan perintah. Canang Ki Ageng Macan diba-
wanya.
Ketika mereka itu memasuki wilayah Pengging, Ki Ageng
Tingkir telah meninggal dunia. Ia dimakamkan di Gunung Purwa.
Ki Ageng Pengging sedih hatinya atas meninggalnya Ki Ageng
Tingldr itu. Sementara itu Sunan Kudus beserta teman-temannya
telah tiba di Cemara. Mereka memilih tempat beristirahat di
tengah hutan. Pada malam hari itu mereka mencoba menabuh
canang Kiai Macan yang dibawanya. Bunyinya bagaikan bunyi
harimau sehingga orang-orang desa di sekitar tempat itu mengira
bahwa malam hari itu ada harimau. Keesokan harinya mereka
mencari harimau yang dimaksudkan itu, tetapi temyata tidak
ada kecuali Sunan Kudus dan para sahabatnya.
Dari tempat itu, yang oleh Sunan Kudus dinamakan desa
Sima, mereka meneruskan perjalanannya ke arah selatan melewati

110
Kalibutak. Sesampainya di desa Pengging mereka beristirahat lagi.

LXIll. (Megatruh)
Lama sekali Sunan Kudus beserta para sahabatnya beristira-
hat di sana. Dari seorang laki-laki tua yang dijumpai di tempat
itu Sunan Kudus memperoleh keterangan bahwa Ki Ageng Peng-
ging sedang prihatin karena Ki Ageng Tingkir baru saja mening-
gal.
Dari tempat peristirahatannya itu Sunan Kudus kemudian
mendekati tempat tinggal Ki Ageng Pengging. Dengan perantara-
an seorang nenek-nenek Sunan Kudus dapat bertemu dengan Ki
Ageng Pengging. Atas perintah Sultan Bintara, Sunan Kudus me-
nawarkan dua pilihan kepada Ki Ageng Pengging supaya dipilihnya
salah satu. Seperti halnya ketika menjawab pertanyaan yang
serupa pada waktu yang lalu, Ki Ageng Pengging sekali lagi me-
nyatakan tidak dapat memilih atau menqlak salah satu di antara-
nya.

LXIV. (Dandanggula)
Yang berada di luar atau di dalam dan yang berada di bawah
ataupun di atas diterima semuanya oleh Ki Ageng Pengging kare-
na ia merasa memilikinya. Atas keterangan itu, Sunan Kudus
menilai Ki Ageng Pengging bagai tidak memiliki keteguhan hati
terhadap sesuatu yang dianutnya. Namun demikian, Sunan
Kudus masih ingin mengetahui bagaimana Ki Ageng Pengging
pada hari itu dapat mati atas kehendaknya sendiri. Ki Ageng
Pengging mau berbuat demi.kian dengan pettnintaan supaya
sepeninggalnya nanti tidak ada orang lain yang berbuat seperti itu.
Setelah pertnintaannya dipenuhi, seketika itu juga Ki Ageng Peng-
ging meninggal dunia.
Mengetahui suaminya telah meninggal, Nyi Ageng Pengging
menjerit; demikian pula para abdi perempuan yang mengetahui-
nya. Kabar meninggalnya K.i Ageng Pengging segera tersiar. Ki
Ageng Pengging meninggal karena ditipu oleh musuh. Orang
Pengging segera pula dikerahkan untuk mengejar musuh yang telah
membunuh Ki Ageng Pengging itu. Canang Kiai Udanarum
111
,

ditabuhnya.
Di lain pihak, Sunan Kudus tersenyum demi mengetahui
orang Pengging datang menyerang. Canang Kiai Macan ditabuhnya,
tetapi orang Pengging terus mendesak. Mengetahui hal itu, Sunan
Kudus menghentikan perjalanannya. Tongkatnya diacungkannya
ke arah timur sehingga ke arab itu pula orang Pengging terus
mengejar sebab m~reka mengira Sunan Kudus dan bala tentaranya
lari ke sana. Akan tetapi, akhirnya orang Pengging hilang kema-
.. rahannya, dan mereka kembali ke Pengging. Sunan Kudus kemu-
dian dapat meneruskan perjalanannya ke Demak.
Jenazah Ki Ageng Pengging telah dimakamkan di sebelah
barat laut rumahnya. Berselang tujuh hari kemudian Nyi Ageng
Pengging meninggal pula dan dimakamkan di dekat suaminya. Mas
Karebet, putra Ki Ageng Pengging, yang pada waktu itu masih
kecil kelak diharapkan dapat menggantikan ayahnya.
Sekembalinya Sunan Kudus dari Pengging, nama Sultan
Bintara sebagai seorang raja makin terkenal. Sultan Bintara mem-
punyai enam orang putra. Pangeran Sabranglor, putranya yang
sulung, menggantikan kedudukannya sebagai raja setelah ia me-
ninggal. Akan tetapi, tidak lama kemudian Pangeran Sabranglor
ini meninggal pula. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, yaitu
· Raden Trenggana yang kemudian bergelar Sultan Demak. Yang
menjadi patihnya adalah Patih Wanasalam, putra Patih Mangku-
rat.
Mas Karebet setelah besar diajak ke Tingkir oleh Nyi Ageng
Tingkir. Di sana ia terkenal dengan nama Ki Jakatingkir. Ia senang
menyepi di dalam gua-gua yang sunyi karena keinginannya menja- .
di prajurit yang sakti.
Buku ini selesai ditulis pada hari Kamis Pon, tanggal 11 Zul-
k aedah, tahun Ehe 1836 (rasa atri mangesthi sri narapati), yang
bertepatan pula dengan tahun • 1324 Hijrah (warna dwi katon
jumbuh) atau tanggal 27 Desember 1906 (kang rasa akumbul terus
ing langit). Cerita se1anjutnya tetntuat di dalam buku berikutnya.

112
'

BABADDEMAK
1

'


I

PURWAKA *)

Babad Demak (I) ingkang dipuntransliterasi menika wujud


naskah isi cariyos sinawung ing tembang. Isinipun kawiwitan
saking jumenengipun Prabu Brawijaya pungkasan ing Majapait
ngantos dumugi Ieiampahanipun Jakatingkir, Ieiana tapa ·brata,
nasak wana miebed guwa, nyuwun kanugrahaning Pangeran.
Babad menika wiwit kaserat ing dinten Kemis Legi, tanggal 8,
wuian Dulkangidah, taun Alip 1835 (sara bahning slit-eng rat),
utawi taun Hijrah 1323 (guna dhesthi lir dahana sasra), sesareng-
an tanggal 5 Januari 1906 (rasa nir trustheng rupa), Ian rampung
ing din ten .Kemis Pon, tanggal 11 , wuian Dulkangidah, taun Ehe
1836 (rasa tri mangesthi Sri Narapati), utawi taun Hijrah 1324
(wama dwi katon jumbuh), sesarengan tanggal27 Desember 1906
(kang rasa akombul terus ing langit). Pangripta utawi panyerat
babad menika boten kasumerepan awit pancen boten sinerat
asmanipun. /
Naskah Babad Demak I menika isinipun 584 kaca kanthi
ukuran 34 em saha 21 em. Saben kaca (kajawi kaea 1 Ian 2)
wonten garis pinggiripun pesagi eap-capan. Ing perangan nginggil
wonten asma kaserat aksara Jawi cap-eapan (Raden Tumenggung
Suryadi, Bupati Wadana Ageng Punakawan Ngayugyakarta,
1833). Asma menika mujudaken asma timuripun B.P.H. Bumina-
ta, ingkang sakawit kagungan naskah babad menika. Dene ing kaea
1 Ian 2 wonten wedananipun, ugi eap-capan.
Kawontenanipun naskah Babad Demak I menika taksih sae
sinaosa wonten satunggal kalih kaea ingkang radi risak. Seratani-
pun ajeg ageng alitipun saba taksih cetha, Ian basanipun sekeea.
Pramila panggaraping transliterasi naskah menika ugi saged rancag.
Ewa samanten, ing babad menika wonten satunggal kalih
tembung ingkang klerttu, Kangge ngleresaken tembung-tembung
menika, pangripta transliterasi (pentransliterasi) darnel cathetan
kanthi nomer urut, kaserat ing sangandhaping transliterasi saben
kaeanipun.
Y ogyakarta, Agustus 1981
*) alihbahasakan >Indonesia Pangripta
• •

..



I

I. DHANDHANGGULA

(1) (k. 1) Kadya madu pinastikeng kawi, rikalanya duk kala si-
nerat, siyang jam sawelas rine, Respati Manis tengsu, kaping
astha candra lumaris, Dulkangidah kang warsa, Alip wuku
Wungu, Windu Adi Pitu mangsa, Lambang Langkir sangkala-
nira win ami, sara bahning slireng rat.
(2) (k. 2) Hijrah nabi apan dentengeri, guna dhesthi lir dahana
sasra, Welandi ping panca kang lek, Januari lumaku, sineng-
kalan angkaning warsi, rasa nir trustheng rupa, kang karsa
Sang Bagus, Sara Bendara Rahadyan, Tumenggung Suryadi
karsa dalem aji, kin en ngrehken sagungnya,
(3) (k. 3) punokawan Ian wong magang sami, denejuma mrih ja
walangdriya, yen ana karya ywa mengeng, de Radyan kang
sesunu, Kangjeng Gusti Pangran Dipati, Mangkubumi ri nar-
pa, Ngayugya pin~pitu, wayah dale!ll Jeng Sri Nata, kaping
panca Ian kaping nem Sri Bupati, Dyan mantuning narendra.
(4) Kangjeng Sultan ping sapta mandhiri, ing Ngayugya Sang
Dyah rum-arumnya, Ratu Bendara Sang Sinom, putri sing
sori ri Prabu, Kangjeng Ratu Kencana adi, dadya panggih
nak-sanak, kang karsa Sang Kusnun, nyambeti srat angka
juga, kang kawama samukswane Sri Bupati, Maha Sang Bra-
••
WIJaya.
5) Majapait neng wana Panggerit, gunging wadya myang para
sentana, prasamrlya· sungkaweng batos, tan lyan kacipteng
kalbu, ;;unung sira Sang Narpa Siwi, Radyan Angkawijaya,
pantes madeg prabu, sumulih swargi ramendra, pra pratiwa
anung sampun rempag sami, badhe ngangkat narendra.
(6) Enjingira wus sumewa sami, gunging wadya miwah manca
praja, pra sentana (k. 4) pepak andher, myang pratiwa nung-
anung, karsa ngangkat sang narpa siwi, Jeng Pangran Adi-
patya, paglaran supenuh, mangkana sang narpatmaja, wus
pinarak neng kering dhamparing swargi, ingay~p gung pa-
wongan.

117
(7) Ngampil upacaraning narpati, wusing tata narpatma ngatur-
an, Ienggah dhampar kancana ge , sampun jumeneng ratu ,
gung pratiwa mestu pra sami, sira Jeng Narpa Mudha, wus
tetep Sang Prabu, ngrenggani ing Majalengka, saniskara tan
ana kang malang kapti, nata dig by a taruna.
(8) Nguni sampun ginandhang darma ji, matnta sampun suka
gunging wadya, Brawijaya bisikane, kasu b ing rat pinunjul,
tanah J awa tan ana kalih , sadaya kumawula, pra dipati
- mangrug, marang nagri Majalengka, ratu agung sudigbya
saha mungkasi, jumeneng ratu Buda.
(9) Karsanira ri sang baru aji, atma patya bantheng kang nut
murca , kakung juga kang pengarseng, Dyan Gajah nameni-
pun, karsa narpa jinunjung singgih, gumantya ra- (k. 5)
manira, wus riyek sewadu, wus tetep nggentosi darma, angu-
yuni sagung wadya Maospait, ngran Patih Gajah mada.
( 10) Tan winarna ya ta wus alami, nagri Majalengka langkung arja,
mirah sandhang Ian bogane, tan ana laku sandu, saking adi-
lira nerpati , mbek darma palamarta, mring dasih sawegung,
kang wadya geng alit trisna, unggennya ngabdi mring Gusti
Sri Narpati, wus engga ngrengeng dewa.
( 11) Sri Narendra supena ing latri, krama antuk putri adi Cempa,
sewantah wus nunggil sare , mangun kasmatjeng lulut, dugya
pawor sajroning guling, kagyat wungu narendra, lenggah tyas
mangungun, kapeteg brantaning nendra, Jeng Sri Narpa tan
antuk sarea malih, natas wus dugi rina.
( 12) Nujwa Soma nata gya tinangkil, lenggah mungging em per
c.. bangsal rukma, penuh wadya kang sumiweng, pratiwa anung-
anung, ing pasisir myang manca nagri, ndher penuh penang-
kilan, Sang Nata gya dhawuh, ni (k. 6) mbali Rekyana Pa-
tya, Gajahmada Ian pratiwa tekap ngarsi, Sang Nata gya
ngandika.
( 13) "Patih sira apa amiyarsi, raj eng Cempa lamun darbe putra,
wanodya ayu wamane" , Gajahmada wotsantun, "lnggih
Gusti ulun miyatsi, kelamun rajeng Cempa, gadhah atma

118
' ..

ayu", sang nata malih ngandika, "Yen mangkono sun arsa


utusan nuli, anglamar marang Cempa.
( 14) Heh Panular kentara suntuding, asebaa marang rajeng Cempa,
tedhakna pangestoningong, yen dhangan galih pethuk, ya
putrane putri sawiji, sunpundhut dadi garwa", Panular wot··
san tun, sandika 1engser sing ngarsa, prapta J awi sanega bi-
d hal sira glis, marang negari Cempa.
( 15) Kekapalan kang kin on umiring, mring Dyan Arya cacah wa-
dya dhomas, agancang wau lampahe, ing Garesik prapta
wus, nulya mundhut keng palwa alit, mbabar layar kume-
thap, muara glis rawuh, laju rna- (k. 7) rang nagri Cempa,
wadyanira wus tata mondhokan sami, Dyan Arya manjing

praJa.
( 16) Njujug marang patihnya sang aji, kuneng dalu enjang gya
ngandikan, wus prapta ing ngarsa rajeng, sang nata nglingnya
arum, "Abagea cundhaka aji, punapa
/ . ingutusa, marang Anak
Prabu", Arya Panular wotsekar, "Amba ngutus putranta
Sri Narapati, Sang Prabu Brawijaya.
( 17) Lun ngaturken kang pangestu aji, putra dalem Kangjeng
Sri Narendra, katura panduka rajeng, malih amba ingutus,
yen marengi karsa dewaji, putranta Sri wanodya, inggih
dipunsuwun, putra dalem mesih jaka, dereng wonten tim-
banganipun amukti", sang nata sareng myarsa,
( 18) driya pethuk terang kang pamyarsi, nanging dereng kawe-
dhar ing seda, sinamun ngenorken nglinge, "Pan sun lang-
kung jumurung, yen karsendra sotah angambil, mupu ing
sudra papa, wamane tan luhung, tampia sesmiteng priya,
durung wignya ta- (k. 8) n langkung putrengsun aji, ingkang
mulang muruka.
( 19) Suntarine dhimin nini putri", nateng Cempa kondur ingedha-
tyam, pinethuk garwa putrdlle, dwi atma wanodya yu, juga
kakung kang wama pekik, garwa putra neng ngarsa, rum
nebda sang Prabu, "Nini sira ingkang tuwa, ya pinundhut
marang ratu Majapit, Sang Prabu Brawijaya.

119
-
'
(20) Pan kinarya timbangane mukti, Prabu Brawijaya mesih jaka,
durung ana timbangane, sunjarwani putrengsun, porn a sira ja
mindho krami, nec1.yaa angawuia, iku ratu agung, Nini sira
diabisa, watak priya yen kadhinginan kang karsi, ewa weka-
san ceia.
(2I) Basa cela iku anyelaki, sira bakal binirat ing priya, dene
sira wus kacenthet, soiahira kang dudu, manna Nini dipun-
awedi, wong wadon iku uga, wewadining kakung, ujar becik
Iawan ala, iya sira kang bisa kamot mengkoni, sebarang re-
hing priya.
(22) Basa wa- (k. 9) don Ian priya aiaki, nglakonana sakarsaning
priya, iair trusna ing driyangger, aja ari1 benceng kawruh,
Ian ja darbe karsa pribadi, pan ana walerira, estri Iawan ka-
kung, nadyan bodho wonge priya, pan wong estri katekem
ing priya yekti, slokane Nabi Adam,
(23) Ian Bu Kawa nguni benceng karsi, duk neng swarga myang
tumrun ing donya, meksa perdondi karsane, wajibe estri
iku, nggegurua marang ing laki, ja pegat prihatinnya, prayit-
naa kewuh, weruha careming karsa, Ieiungide ing nala aja
salisir, sira Iawan sang nata.
(24) Aja ambek padha sira Nini, lamun ingsun benjang tekeng
ajal, lakenira Ielirone, ibumu Iawan ingsun, dunung sembahi-
ra kang yekti, donya prapta delahan, tan pisah ing besuk,
muiane ana saioka, yen wong krama lamun panas apa geni,
yen adhem apa tir- (k. 10) ta.
(25) Aja watak pugung kumawani, sedyakena angguru mring
priya, apa saprentah linakon, yen wong sinihan kakung, ing-
kang nora sedya ngewani, atanggap tan gumisa, yen rengu
tyas wurung, ina cubluk tanpa karya, kaya reca temahane
njejem beri, dienget sajroning ty as.
(26) lku arang kang kanggo ing Iaki, poma Nini sira ngowahana,
patrap kang mengkono kuwe, aja ngungasken wuwus, ngucap-
aken kakung liyaning, priya salah graita, temahan tuk sen-
dhu, Ian aja ngreka carita; wadon iku apes mudha wuta tuli,

120

tumindak sangking priya.


(27) Diabisa sira nambang liring, careming netya iku wruhana,
aja ambalak manise, apa remening kakung, sira uga melua
asih, resmi binawur tresna, diasetyeng kalbu ", sang Retna
sareng miyarsa, kang timbalan danna ji waspanya mijil,
andres neng pengarasan.
(28) Nateng Cempa angandika malih, "Nini aja akeh kang rinasa,
ya (k. 11) elinga sira Angger, ing kuna purweng luhur, ing-
kang dadi panutan ngestri, putri Cempalaatja, Dyah Durpadi
sang rum, duk dhaupe Ian Sri Danna, kang carita sang Retna
ngunggah-unggahi, nora binayang karya. __
(29) Raden Sena kang dadi pengaring, Dyah duk prapta neng pra-
ja Ngamarta, kandheg ing antara suwe, Sri Danna neng ke-
dhatun, datan arsa methuk kang prapti, sang Retna dahat
merang, limut tyas sumaput, ngantya dadi gara-gara, pra
juwata widadari anuruni, angimur kang amular.
(30) Wusing lejar Ywang Nrada ndhawuhi, mring sang Retna ki-
nen alajua, marek ngabekti mring katong, wus lumrah gar-
weng ratu, estri ingkang marak ngabekti, Nini karyanen tepa,
panutan satuhu, geluga sinlusur sekar, Darmaputra kelawan
Wara Durpadi, panutan srengat Buda
(31) Turutane tan ana nyelani, Dannaputra tutug Majalengka, iya
Brawijaya rajeng, wus sasat dewa tuhu, namun titah neng
Majapait, ge Nini adandana, (k. 12) sakehing wadyengsun,
kang arsa ndherekken sira, wus sumekta dene ta sangumu
Nini, gampang katemu wuntat. ''
(32) Puma jarwa busana sang Dewi, atja nyamping parang kusu-
mendah, rasukan baludru blenggen, binludir ing retna byur,
cundhuk serat pindha wulan tri, sinian beg retna puspa, men-
tal goyang gumyur, asengkang selaga muncar, tempur lawan
soroting tingal nelahi, lir thathit rebut paran.
(33) Wusnya sang Dyah marek sudanna ji, Sri Narendra miyos
siniwaka, duta tinimbalan age, Ian patih datan kantun, kalih

121

--- -----------------------· ~. ------~~




tekap byantara aji, sang nata Ion ngandika, marang duta pra-
bu, "Panular ya karsaningwang, putraningsun pinundhut
marang sang aji, ya sun sumanggeng karsa.
(34) Binelaha sun rila nrus galih, putraningsun ora pindha garwa,
sedya nyethekken mring katong, sun wus percaya tuhu,
kurang apa putrengsun aji, kawogan katempuhan, ing lega-
I waningsun", wusnya amit sang dute- (k. 13) ndra, sang Dyah
budhal Arya Panular lumiring, ing lampah tan winama.
(35) Prapta nagri Garesik ndhimini, gegancangan prapta Majaleng-
ka, laju cundhuk matur rajeng, "Sampun amba ingutus, dha-
teng Cempa nglamar sang putri, putusing atur amba, raman-
ta jumurung, ing galih sampun percaya, mangke sang Dyah
sam pun kabekteng neng margi, kendel Garesik pura.
(36) Yen marengi ing karsa dewaji, prayogine tindak amethuka,
ing Rayi dalem sang Sinom, menawi dados rengu, tan nim-
bangi sib ramanta ji", tyas narpa langkung trustha, gya daud
sewadu, kinare-kare gung wadya, Sri Narendra wiyosnya glis
prapta Gresik, mijilken sih mring garwa.

II. MIJIL -
( 1) Nata sareng pagut ing pangliring, Iawan sang lir sin om, ka-
dya panjang putra duk tumibeng, pyuhing tresna persasat
- wus nunggil, ing rasa sejati, narpa Ian sang ing rum.
(2) Nata ngraket asteng Dyah kinanthi, linenggahken a- (k. 14)
Ion, Dyah wespadeng marang warna rajeng, wedana nglir
yayangireng tulis, trisna saljeng galih, sinamun jroning kung.

(3) Jrih lumawan de lenggah njajari, sang Dyah Ian sang Katong,
keng kaesthi mung danna wulange, lir kesambet tyasira sang
Dewi, nata Ion ngraketi, sang Dyah gya sinambut.
(4) Linenggahken jajar sang Iir suji, Iawan P~a Katong, Dyah
tumungkul kelangkung ajrihe, nata ngliring tansah ngartyeng
galih, "Nyata yen yu luwih, ing Cempa sang ing rum.

122
r


\



(5) Neng pangimpen wusanane panggih, tan wiwang pasemon,
paribawa anjiblesi kabeh, kaya dudu manungsa sayekti, uga
widadari, J ungringslaka tum run.
(6) Nora wiwang dadi prameswari, mengkoni kedhaton, iki si
wong ayu sewantahe, kaya paran nggonsun angraketi , dhuh
Dewa sun lalis, yen tanpa wor lulut."
(7) Tan ingucap brantanireng aji, mrih Iangen karoron, dugi
karsa (k. 15) gya kondur sang rajeng, lawan garwa singgah-
an semargi, ingkang anjajari, wadya ngurung-urung.
(8) Tan winarna ing nagri wus prapti, sang nata ngedhaton, gar-
wa tansah kinanthi astane, wus jejuluk Ratu Darawati, nar-
pa dugyerig karsi, nggen pawor salulut.
(9) Sang Dyah Ratu mangembahing manis, kang pra sinom-
sinom, nadyan kathah kang pra garwa rajeng, datan wonten
ingkang memper mirip , Ratu Darawati, sihira sang Prabu. _
(10) Sang Sri Cempa laminya wus asring, ngintuni sang Sinom,
raja brana adi busanane, gentya winarna ing ft.rab nagri,
Sang Sri Sultan Sarip, nguni trah J eng Rasul.
-
(11) Darbe kadang wangi Nyai Brahim, pan kapernah anom,
kinon kentar manata gamune, binetan wus pusaka mring
aji, wesi udarati, nguni gem J eng Rasul.
( 12) Gegamparan paringan sing swargi, geng perbaweng kaot,
kinon ngislamken Ja- (k. 16) wi sakehe, Sang Ibrahim wus
mesat sira glis, Arab wus kawuri, gya layar ing laut.
( 13) Kang sinedya pulo tanah Jawi, nulya san tun julok, Sang Seh
Wall Lanang bisikane, lampah prapta gisik tanah Jawi, njujug
Cempa nagri, manjing pura pangguh, .
( 14) Ian Sri Cempa pinanggihan sepi, nata ngandika Ion, "Sang-
king pundi Ki Seh pinangkane", kang tinanya Ion paweceng
aji, "Sangk.ing Arab nagri, amba trahing Rasul.
( 15) Kin en ngislamaken tanah J awi, yen sarju tyas katong, yogi
Islam kelawan wadyane, bekti sukma ing Sang Mahasuci",
nata pethuk karsi, gya nut gam a Rasul.

123

(16) Dugi lami Seh kemantu aji, dhaup Ian sang Sinom, rinya
Sang Dyah Ratu kang wus muktyeng, dugya lama Sri Cempa
ngemasi, kang putra gum anti, priya madeg prabu.
( 17) Kuneng gantya diyu neng wanadri, jalwestri dhedhepok,
kalih samya gentur sutapane, gya rase- (k. 17) ksa Ian rayi
raseksi, raseksi sang Dewi, dahad nandhang wuyung.
( 18) Tyas kesmaran kagarwa Ian aji, Brawijaya katong, paj ar raka
driya lukitane, "Kakang mangke am ba yun rlyenyethi, Ian
sang Maospait, Brawijaya Prabu."
( 19) Raseksa ngling amangsuli rayi, "Ng1engkara reningngong,
sira diktya tur amis gandane, warnanira de seQ.gga memedi,
mundhak apa Yayi, temah nggege lampus."
(20) Ni Raseksi gya minteng dewadi, ing tyas ngesthi layon, ama-
teni sanga plawangane, panca driya wus kaesthi tunggil,
tursinanya keksi, kang pinancer junun.
(21) Katarima apsari nuruni, Dyah Durga gya rawoh, laju ngusap
jaja wedanane, maHh warna wanodya yu luwih, nir sipat ra-
,
seksi, wus tan mantra diyu.
(22) Warnanira anglir widadari, raseksa myat gawok, Dyah mring
· raka alon ing wuwuse, "Nggih kantuna Kakang (k. 18) amba
am it, dhateng Maospait, ayun nyethi Prabu."
(23) Raka mestu karsanireng Rayi, gya busana kaot, melok-me-
lok sang Dyah wedanane, nglamat manda kadya Sinta Dewi,
gendreh-gendreh manis, cingak kang andulu.
(24) Tinon kadya datan ngambah siti, lir Supraba tumron, mung-
ging marcapada ing lampahe, prapta jroning nagri Maospait,
marengi sang Aji, siniweng gung wadu.
(25) Kagyat myafsa gederireng Jawi, gungjalma nenonton, Kyana
Patih kinen mriksa age, wadya matur, "Jawi wonten estri,
tedhakan sing ardi, sedya nyethi Prabu."
(26) Wusnya katur ngandika sang Aji, "Timbalana mring jro, ya
sun arsa uninga warnane", sang Dyah nulya aglis den tim bali,
seksanagya kerid, tekap ngarsa Prabu.

124
'
I
'

(27) Kagiwang tyas nata sareng uning, wanodya yu kaot, lir Su-
praba Kendran ing wamane, tandya kondur Dyah binekteng
purl, cinendha- (k. 19) k kang kawi, narpa wus wor lulu t.
(28) Datan kena pisah siyang 1atri, karenan sang Katong, ngantya
supe mring Dyah Ratu mangke, Rara Endhang pan wus ang-
garbini, antuk tigang sasi, nyidham-nyidham sang Rum ,
(29) gecok mentah renanireng karsi, cethi wus lumados, gecok
mentah dhinahar sira ge, nulya mengrik sang Dyah malih
wami, siyungjatha ngisis, rema gimbal mawut.
(30) Warna diyu sewantah ngajrihi, kagyat sang Akatong, ing jro
pura gumerah swarane, geger alok kalebon raseksi, kapita
sang Aji, glis mangasta lawung.
(31) Ngembat-em bat arsa deniarihi, sang Diktyestri anon, kendra
rena agancang playune, manjing wana wus tan dentututi,
Jeng Sri Narapati, legeg tyas mangungun.
(3 2) Enget garwanira pratneswari, ing Cempa katonton, gya salu-
lut wus pulih tresnane, gantya diyu kang mantuk wanadri,
tekeng sangang sasi, mba- (k. 20) bar priya bagus.
(33) Cahya gumilang apindha sasi, kang wa trusna among, sinung

tengran Dilah wewangine, wus diwasa tanya kang sudarmi,
kang wa Ion n.auri, "Ya sun sudarmamu."
(34) Radyan Dilah tan rena ing kapti, kedah tanya yektos, ing we-
cane darmanya tuhune, kewran ing tyas kang ibu raseksi,
rinaos ing galih, yen putra ngelangut.
(35) Nora wurung ·s un kelangan siwi, wusana nglingnya Ion, "Wis
kendeia ja udrasa Angger, sudarmamu iya kang sayekti, dudu
sameng jabni, ratu kang satuhu.
(36) Majalengka Sri Brawijaya Ji", Dyan trustha nglingoya Ion,
"Yen mengkono sun so wan sang Raj eng", ibu Ian wa sami
ngampah siwi, "Aja seba Kaki, yen ora diaku.
(37) Sira tilar sapa suntingali, tan ana sunemong", putra matur,
"Kedah dennya marseng, palangana nedya sunlumpati, na-
dyan sowan mami, tan pisah lir pocung.

125


lll. POCUNG

(1) (k. 21) Nggih kantuna lbu kula amit laju, yun ngawu1eng
nata", kang ibu waspanya mijil, "Jaka Dilah nuwuna mit
Ian kang Uwa."
(2) Kang wa ngrangkul ngling ngideni sarwi nimbul, anjurung
pamuja, "lya Kulup mugi-mugi, anemua rahayu salakonira.
(3) Amanggiha wibawa tekaning besuk", Radyan gya ngabektya,
ibu lan wa wus nglilani, wisata glis tumrun ngarga ngudayana.
( 4) Lampah gancang prapta nagri Majalangu, langkung marga

besar, keh jalmestri kang ningali, sami brangta katemben

urungeng wama.
(5) Anglir dewa tumurun ing bagusipun, nglembananing kenya,
"Baya sun darbea laki, pan sunkarya sekar bale aneng wisma.
(6) Nora etung ngentekena tapih pinjung, nging latri tutura, sun-
karya pacitan ngantih", ri wusira Radyan laju manjing pura.
(7) Nulya njujug sakidule ngringin kurung, ce1ak Pagelaran, sang
Nata nujwa tinangki- (k. 22) 1, neng manguntur lenggah
dhampar pinaremas.
(8) Ndher supenuh gung wadya neng ngarsa Prabu, Nata dangu
lenggah, wrin esmu kagyat ing galih, jalma baru keksi nyele
- nggennya sowan.
• •
(9) Tebih katon nglela wamanira bagus, nata ndangu patya,
"Patih ika bocah ngendi, bagus anom" patih matur, "Tan 1 )

wnn purwa. ~

(10) Dugi ulun jalma baran sing wana gung", "Ge priksanen pa-
tya, bocah seba dhewe mencil", gandhek nembah tumrun
sangking Sitibentar.
( 11) Prapta pangguh nggen sewaka sang Abagus, duta dhawuh
sebda, "Nggeh Sanak napi keng karsi, jengandika purun so-
wan neng pandengan.
1) asline : ta

126

( 12) Kin en mriksa Sanak pundi wijilipun, Ian sin ten sinam bat",
Dyan matur mring duta Aji, "Dlap mestani J aka Dilah nami
kula.
( 13) Lare baran wana tan wrin wijilipun, mila kula sowan, su-
medya ngabdi nerpati", gandhek wangsul wus tekap byantara
narpa.
(14) (k. 23) Saniskara lukita wus katur Prabu, Nata Ion ngandika,
"Timbalana ngarsa mami", kang sinung ling sandika wot-
sekar kentar.
( 15) Gandhek pangguh Ian J aka ndhawuhken wuwus, "Sanak pe- ;
kenira, ngandikan Kangjeng sang Aji", Dyan umatur sandika
kerid cundhaka.
(16) Tekap ngarsanira Kangjeng Sang Aprabu, Jaka Dilah nulya,
kinen nunggil putra lit, Jaka Dilah dangu liniring mring
nata.
( 17) Tang pamirsa kraos driya dalem prabu, marang Raden Dilah,
wus nganggab denira ngabdi, ri wusira nata kondur angedha-
tyan.
( 18) Raden Dilah kinarya bedhaya kakung, nunggil para putra,
sang Nata kelangkung asih, rinten dalu tan tebih mungging
ngarsendra.
( 19) Radyan I;>ilah abagus wicekseng tern bung, dados sekar pura,
keh kenya kesmaran ngeksi, ya ta mangkya wau Kangjeng
Sri Narendra,
(20) karsa miyos cengkrama dhateng wana gung, anggrit kidang -
sangsam, antaka Ian kenthus kanci- (k. 24) 1, sagung wadya
· wus ngundhangan segeng ngarsa.
(21) J aka Dilah sumengka matur ring prabu, "Am ba matur nata,
nuwun duka ingkang abdi, Gusti mangke sam pun miyos dha-
teng wana.
(22) Nagri dalem mangke sepen temahipun, kathah kang bebaya,
yen estu karsa dewaji, kelangenan arsa ngambil satu wana.
(23) Ulun sagah ngerig wonten ngalun-alun, mangke amba kesah,

• • 127
r

enjang temtu so wan Gusti, nyaosaken sawamine sato wana."


(24) Nata ing tyas kanggeg nebda winor bendu, "Kumaluwih sira,
gumendhung teka nyaguhi, yen tan yekti huron alas prapta-

nrra.
(25) Mesthi sira katrap dosa tekeng lampus, sunkarya •pangewan,
sabab sira dora kami", Dyan umatur, "Sandika sakarsa narpa.
(26) Yen tan tuhu pejah gesang dasih katur", njenger kang tumi-
ngal, Dyan nembah kentar sira glis, prapteng wana pangguh
ibu lan kang uwa.
(27) lbu ngrangkul alon dennya tanya (k. 25) sunu, "Dene prap-
ta" gantya, kang putra umatur aris, "lbu amba dinuta Jeng
Sri N arendra.
(28) Kinen ngerig sawarnine sato sagung, yen tan prapta enjang,
kula lbu dentelasi, mring sang Nata sangking sanget ingkang
duka."
(29) Sang Dyah Diyu duk miyarsa turing sunu, tyasnya lir sinen-
dhal, derwaya badra dres mijil, wusana ngling, "Kaya priye

s1ra nyawa.
(30) Ndadak teka wani-wani matur prabu, dunung cumanthaka,
katujune tan pinatin, yen aruntik Kulup sira dadi apa.
(31) Yen mengkono kang dadi atuunu Kulup, ja maras tyasira,
samengko sun ingkang ngerig, buron alas iriden manjing jro
praja."
(32) Dyah diktyestri glis kentar seksana cancut, ngerig sato wana,
pyarsa swareng nggegeteri, siluk singub guwa sigrong kagege-
ran.
(33) Dalu kinrig telas buron ing wana gung, kang pantes ngambila,
mring nata dalu nggen lari, byar raina sa- (k. 26) to prapta
catur dhendha.
(34) Kerid mring Dyan lampahira dulur selur, gumrah swara gora,
geger jalma kang kamargin, kang jrih ngili weneh remen
aneningal.

128

(35) Sakeh jalma ebat wrin tingkah sang Bagus, tuhu punjul sa-
. rna, kinare lampah semargi, huron wana dulur seiur lir tinata.

(36) Pan wus prapta neng lun-alun beg supenuh, gya miyos sang
Nata, ginarebeg sagung dasih, wus anengga gung wadya sa-
astreng yuda.
(37) Narpa lenggah siniweng wadya bala gung, nararya dipatya,
kang mungging ngarsa narpati, J aka Dilah kadulu ing prap-
tanira.
(38) Ingiringken sakeh buron ing wana gung, ngalun-alun aglar,
sato-sato amepaki, angajrihi kang swara sareng brung gumrah.
(39) Nata lumyat nglembana sedalem kalbu, "Tuhu yen kuwasa,
si Dilah ature yekti, solah bawa pantes amengkoni praja.
(40) Dadi rowang pikukuhe prajaning- (k. 27) sun", sedene pra
wadya, wrin gawok dig by a sang Pekik, njomblong weneh ge-
. dandap ajrih ing wari{a, ·
( 41) bantheng warak singa wraha Ian andanu, kancil kidang
sangsam, · sing tebihan glar ngajrihi, keh singunen jalma wrin
• •
warnanmg smga.
(42) Radyan Dilah merdapa sor wringin kurung, doh ngawe mring
nata, Ion majeng tekap ngarsa J i, Dyan wotsekar Ion umatur
ing narendra.
(43) "Sampun ulun kinen pados sato sagung, senipun wanarga,
punika warnine sami, sampun aglar wonten lering weringin
kern bar."
(44) Sang Nata ngling, "lya banget trimaningsun, ing sakaryanira,
nguni gawe kagol mami, lipur ingsun sira nganthi huron alas."

IV. KINANTHI
( 1) Sang Nata anulya dhawuh, mring arya Bupati Mantri, kinen
sanega nurangga, sang Nata nitih bedhati, karsa mbereg sato
wana, Ian gatwa Dyah Prameswari.
(2) (k. 28) Tenapi kang para arum , bedhati titihan sami, kinarekare

129

gung wadya, kang sato kinubeng baris, sang Nata nglanjak


manengah, namakken tiksara lungit.
(3) Egar wadya surak gumruh, pendah bentar ponang wukir,
barung swareng sato lir grab, kang kacundhuk sara lungit,

yen jalmaa sam bat pejah, langkung trustha tyasira Ji.
(4) Sangsam angrunjang keplayu, kidang katitis njempalik,
bantheng njenggirat tinrajang, paser tawok lawan lembing,
tan titis mangamuk wadya, ketadhahan watang titis.
· (5) Sinosog kinrocok ganjur, sru nglumba laju gumlinting, gi-
rang ing tyas mestu deya, sagung jalma kang ningali, penuh
tepi ngandhap gurda, myang j alma kang menek nguwit.
(6) Kubeng gurda ing lun-alun, sami penuh awoh jalmi, telas ban-
theng kidang sangsam , wraha singa ingkang meksih, nglin-
dhung madyeng wringin kembar, nata dhawuh nesek bari-·
(k. 29) s.
( 7) Wraha singa kinen mbunuh, tandang wireng kang pinilih,
astha sami mandhi watang, sareng dennya anglarihi, kang
tan titis nggro lumaywa, nrajang baris mbaballari.
- (8) Geger wadya maldug mawur, hoyag sagung witing wrlngin,

wonten jalma Cina ningal, tan wrin kusir cinancang wit,
singa m babal arsa nracag, lir rinontog jalma neng wit.
(9) Babah anut anjlog kadung, gedhandhul agondhal-gandhil,
pengkeretan tengah lena, sima ingkang nracag nguwit, naut
jalma keh palastra, kang baris tulung ngebyuki.
( 10) Sima krura pan wus lam pus, iganira ron tang-ranting, dasih
gladhag gya tumandang, bangke sato densereti, panjang la- -
mun winurcita, wus tlas huron ing wana dri.
( 11 ) Sang Nata maglaran sam pun, prameswari manjing purl, sang
Nata mesih sinewa, gya ngandika marang patih, "Si Dilah

sunju- (k. 30) njung lenggah, mengkua Palembang nagri.
( 12) Lawan sunparingi juluk, Arya Damar Adipati, ngreha wadya
wong saleksa, Ian maning sunpundhut siwi", patih sandika
gya undhang, mupakat wus marang dasih.

130
-
-------------------- · --------~~~~------~



( 13) Gya luwaran Jeng Sang Prabu, Arya Dilah ken tar nuli, sang-
king nagri Majalengka~ kendel nagri ing Garesik, anata kang
pamondhokan, nahantya winarna malih. •

( 14) Mangsuli carita ngayun, wonten putri Cina Juwih, ngatur- •

aken ing narendra, ingangkat garwa taruni, dyah saosan sang-


king Cina, sang Nata kelangkung asih.
( 15) Nginggahaken garwa ratu, kusuma di Darawati, yen winayuh ·

datan kena, dadya matur nuwun amit, kondur dhateng nagri
Cempa, nging Nata datan nglilani.
( 16) lngkang anem garwa Prabu, sangking Cina kang giningsir,
pinaringken marang patya, sarya pinaringan tulis, serat dalem
wus tinampan, lawan kusumaning adi
( 17) Kya Pa- (k. 31) tih gya kentar gupuh, mring Gresik mbekta
sang Putri, ingiringken wadya dhomas, gancang lampah prap..
ta Gresik, wus panggih Ian Arya Damar, serat narpa gya pi- •

nanng.
( 18) N uwala sinukmeng kalbu, penget serat, "Sung sang Aji, Sri
Narendra Brawijaya, kang ngrenggani Majapait, dhawuha
Ki Arya Damar, sira suntrimani putri.
( 19) Nanging ana water ingsun, Ni Putri lagi nggarbini, semang-
sane durung mbabar, aja sira pawor resmi, yen wus mbabar
sakarsanta, aj a ta akaron ing sih.
(20) Ingsun wis rila satuhu", titi puma srameng tulis, Dyan Arya
dangu tan nebda, mangkana usiking galih, "Paran nggon-
sun suminggaha, yen wus dadi karsa Aji."
(21) Wusana mring patih matur, "Panduka munjuka Aji, tur sem- .
-
bah nuwun kawu1a, paring garwa dhateng kami, awit karsa
dalem nata, miyos sangking galih suci."
(22) Puma wus Kya Patih wangsul, kondur dhateng Maospait,
prapta (k. 32) laju cundhuk narpa, patih nembah matur aris,
"Sampun patikbra din uta, maringken garwa nerpati.
(23) Pun Arya Dilah tur nuwun, tan saged mangsuli kang sih,
amung setya tuhonira, kang bekti katura Aji, serat dalem

131

wus sinukma, sakarsa inggih nglampahi."


(24) Trustha narpa luwar sampun, kuneng wangsul gancar nguni,
tedhakira Nabi Adam, tengen ngran Abdul Muntalib, ape-

putra sang Abdullah, panutuping para nabi.
(25) Muhammad Rasulullahu, panutuping para nabi, iya Rasul ya
Muhammad, kekasihira Ywang Widi, tur ingaken rasaning
Ywang, niyakaning rat sejati.
(26) Sarengat agamenipun, tan ewah tumekeng akir, kiyamat
· tur pinasrahan, dening Ywang kang Mahasuci, an dum nraka
Ian suwarga, marang sagung umat Widi.
(27) Apanjang lamun winuwus, kelokaning ing Ywang Widi, Jeng
Rasulullah peputra, Dewi (k. 33) Pretimah wewangi, Dyah
Pretimah apeputra, Kasan Kusen madeg Aji.
I
(28) Sri Kasan Kusen sesunu, juluk Risang Jenal Kabir, Jenal
Kabir apeputra, j alu waman.ira pekik, ngran Muhammadinil
Kobra, nuly a putranya wewangi,
(29) Seh Jumadil Kubra sunu, sekawan jalu Ian estri, pembajeng
sultan ing Mekah, panenggak estri wus krami, Sultan Nge-
rum kang mbil garwa, pemadya Mulana Brahim.
(30) Sri Rajeng Cempa kemantu, pan wus aneng nungsa Jawi,
wruju Maulana Iskak, Mulana Brahim winami, neng Cempa
sam pun peputra, kalih priya warna pekik.
(31) Raden Rahmat ingkang sepuh, Raden Alip kang taruni,
Dyan ka1ih amit ing danna, arsa dhateng Maospait, sang lb-
. rahim pasrangkara, "Amita ramanta Kaki,
(32) Yayi Prabu Cempa Kulup, kang kuwasa mengku nagri",
Dyan putra matur sandika, nulya marseng manjing purl, cun-
dhu- (k. 34) k Rama Rajeng Cempa, Dyan Rahmat matur
wotsari.
(33) "Yen marengi karsa Prabu, amba inggih nuwun amit, sow~n
dhateng Majalengka, yun uning dhateng sang Aji", nateng
Cempa Ion sebdanya, "Kulup iya sunatnini.
(34) Yen sira seba sang Prabu, Ian ·nyah Ratu Darawatt, ika uga

132
...

'
••

ya wakira, kadange ibumu Kaki, pantes lamun anyruwea, •

nging sira dingati-ati.


(35) Yen mulang agama Rasul, arahen sangkaning aris, Brawijaya
Majalengka, rat Jawa tan ana tandhing, sapakoleh sira pema,
ngislamke wong tanah J awi.

(36) Lamun teksa ing lakumu, temah kacupetan budi", Dyan ka-
lih nuwun sandika, langkung trustha antuk idi, puma mit
ngenjali agra, duduk layar manjing tasik.

V. DUDUKWULUH
(1) Raden Rahmat Ian Rayi ngambang neng laut, mbekta wesi
udaratih, nguni gamparan Jeng Rasul, paringan sangking swar-
ga di, sumenging jaja mencorong.
(2) (k. 35) Raden k;m neng laut tansah nenuwun, supangat
Ywang Mahasuci, nenekung neng· inadyeng prau, baita ka-
silir ngangin, antuk rahmat ing Ywang Manon.
(3) Panjang lamun winarna ingkang manekung, rerem ponang
j alanidi, lir kurmat kang gam a Rasul, glis prapta tepining
jladri, mentas sangking palwa karo.
(4) Yayang ing rat kadya dutaning Ywang Agung, lampahe sa-
triya kalih, kontha ragane kang semu, 1ir malekat tumrun
keksi, ndhawuhken sebda Ywang Manon.
(5) Saben dhukuh ingampiran mring Dyan Bagus, medharken
ngehnining Widi, apanjang lamun winuwus, prapta nagri
Maospait, nulya katur Jeng Sang Katong.
(6) Gya ngandikan kalih mungging ngarsa Prabu, lunggyeng ma-
bukuh wor siti, sang Nata ngandika arum, "Heh bagea Kaki
Santri, satekanta nagreningong."
(7) Kang liningan sang kaJih nembah: (k. 36) "Tur nuwun, pa-
sihan dalem kapundhi, dadosa raharja hayu", sang Nata •

ngandika ma1ih, "Prenah apa Ian Ri Katong."


(8) "lnggih amba leres kapenakanipun, dhateng Rama Cempa •

133
.. •

. ..

Aji, tunggil yayah Ian pun lbu", sang Nata lingira aris, "Yen
mengkono tan liyan wong.
(9) Sira meksih kaponakane Bok Ratu, Yayi Dewi Darawati",
Dyan kalih tur sembah nuwun, tan saged mangsuli kang sih,
ing sih wilasanya Katong.
( I 0) Nata ngartyeng, " De Bagus wicekseng sem u " , Dyan kalih
wus kinen panggih, Ian garwendra sang Dyah Ratu, Darawa-
ti wus pepanggih, dwi sinung busana kaot. -
( 11 ) Klangkung denny a sinuba-suba sang Bagus, dhasar kapenakan
j
yekti, ping kalih amawa ngelmu, wus lami Maospait, lang-
kung sihnya Jeng Sang Katong.
-. ( 12) Raden Rahmat pinaring garwa mring Prabu, putra Arya Teja
Tubin, Dyah Manila kang rum-arum , runtut dennya pala-
krami, wamanen Dyan ingkang (k. 37) anom.
( 13) Mapan sampun pinaring ganva mring Prabu, kaprenah senta-
na Aji, tinanem Garesik sampun, Dyan Rahmat pinrenah
· mungging, Ngampeldenta sengga katong.
(14) Nenggya Sunan ing Ampel .
jejulukipun, sang Nata wus angli-
lani, ngadekken Jumungah wektu, karseng narpa tan mange-
ni, marang sagung kang ponang wong.
( 15) Kang asarna Islam anut gam a Rasul, nging sang Nata dereng

arsi, tan winarna lamenipun, kang dhedhukuh Ngampelga-
dhing, tengkar-tumengkar wus agrong.
( 16) Sugih putra wus arja dhukuhanipun, anggenggeng kadya ne-
-
~
gari, wadya gung ing Majalangu, kathah remen nut agami,
putranya angkat sang kaot,
(17) tapa ngluwat antuk satus dina sampun, katarima ing Ywang
. Widi, kongas istijrat sang Bagus, jumeneng waliyollahi,
wenang mangreh wall Katong.
( 18) Pra uliya sedaya sami jumurung, Prabu Satmata wewangi,
gedhaton neng Wurya (k. 38) gunung, kathah ingkang sabat
murid, kang rayi nama Seh Ben thong. ,
( 19) Ari malih ~.fulana Isk ak jej uluk , ngirnani ing Wurya Girl,

134 •
.,

. ' .

kadang estri tan winuwus, putra Ngampel kang pengarsi,


juluk Sunan Benang kaot.
(20) Datan krama nedya wadat karsanipun, malah dakarnya
ingambil, cinipta wus dadya dhuwung, Kalamunyeng ngra-
, ning keris, kinarya pusaka kaot.
(21) Pinaringken dhateng Rayi Sun an Gunung, kelangkung anu-
wun kang sih, sigeg gantya kang winuwus, mangsuli kan-
. dhaning nguni, Sri Nata kang dadya lakon.

VI. SINOM
( 1) Sabedhahe Pengging pura, sang Dayaningrat nerpati, duk •

binedhah mring sang Nata, Sri Bra Tanjung Maospait, jrih


mangsah ngles ing latri, amung lawan putranipun, wanodya
kawlas arsa, tinilar mring ibu sori, milanipun sang Retna
bineteng rama. / .
(2) Neng arga duk sampun lama, Ki Juru nggennya mertapi,
myang kang dhukuh sampun ngerda, nanem jagung ca- (k.
39) nthel jali~ gudhe terong kecipir, gandum otek gagi •

pantun, kacang Ian karayana, duren manggis angemohi, asri


endah nedheng lagya tumaruna.
(3) Apa ingkang tinakokna, pertapan embah mepaki, mangkya
lama wus kuncara., Ki Juru nggennya mertapi, putranira wi-
narni, diwasa birai sang rum) wimbuh ayu kang warna, sang
Dyah brangta jroning galih, karsa siram dhateng lepen sang
· Kusuma.
(4) Kentar sangking dhekahira, sang Retna lampahnya prapti,
lepen tempuran berigawan, lukar busana sang Dewi, kacar-
yan siram warih, kuneng gantya kang winuwus, wonten ti-
tah Ywang Sukma, kang wonten sajroning warih, bajul seta
kadya kapuk winusonan.
(5) Baya seta nujwa lana, anjajah sajroning warih, dugi telenging
bengawan, sumedya ngaso keng karsi, kayanganira nguni,
ing sawangan samodra gung, wus lami nggennya lana, kli-

135
. - '
- . .

ling (k. 40) bengawan ngideri, keparengan uning Dyah kang


Iagya siram. ...
(6) Baya pan wus karseng Sukma, bajui brangta Ian jalmestri,
wau ta Dyah kang asir~ dangu dennya kungkum warih, tan
na tinaha galih, karenan neng jroning ranu, siram tanpa pa-
satan, sarira sedaya keksi, pan gumawang maya-maya kating-
alan.
(7 ) Bajui seta dangu ngekswa, mring mewantah kang dus warih,
kagiwang ing tyas kesmaran, nedya ngrasuk Ian sang Dewi,
sakedhap malih wami, sipat jalma anom bagus, lir dewa na-
mun titah, bengawan cinipta dadi, sanalika bengawan wus ka-
ton pura.
(8) Wau ta Dyah kang asirarn , kagyat datan ngambah warih,
sima tirta won ten pura, Dyah bingung tan uning margi, dene
keksi jro puri, kumendhung-kendhung dinulu, mubyar kang
pepajangan, sang Dyah nulya uning malih pura wonten sa-
triya bagus taruna.
(9) Sang Retna micoreng driya, "Iki bay a wong ing ne- (k. 41)
\
ndi, wamane bagus prasaja, tanpa rowang mung p·ribadi, baya
ingkang ndarbeni, kedhaton asrl dinulu, eseme mambu ma-
nah", sang Retna arsa ngendrani, kang amindha wama mre-
peki rum nebda.
( 10) Wuwusnya awor srenggara, swara arum anrang gendhis,

"Dhuh mirah pepujan ingwang, wong ayu arsa mring ngendi,
pun Kakang temben uning, dhateng mirah kang sung wuyung,
mangke pundi minangka, Ian sinten sang Dyah keng wangi,
awecaa Mas Mirah dhateng pun Kakang."
( 11) Sang Retna kewran ing driya, tumungkul pan esmu ajrih,
Dyah weca, "Lun tiyang arga, pretapan duk wisma mami,
darma nggen asung wangi, yen panduka sudi ngaruh, nggih
pun Manyanasekar, lun wau siram ing kali, sampunipun am ba

arsa mantuk ngarga.
( 12) Wusananipun kesasar, pan dumadya prapta ngriki, Iangkung
ribeng manah kula, nuwun ngapunten sang Pekik, nggih Ia-

136

\..
mun sareng karsi, nuwun tern a mantuk dhukuh", sarwi ngli-
ring sang Retna, ing driya katujweng karsi, ke- (k. 42) sareng-
an Ian kakung pangliringira.
( 13) Kalih duk campuh paningal, lir kilat barung Ian thathit, tyas
rempu tanpa jamuga, sang Kakung tan draneng galih, tandya
mrepeki ririh, sang Retna alon sinambut, pinondhong aka-
ngihan, pan sarwi dipunarasi, sang Dyah laju binekta manjing
papreman.
( 14) Kakung ndhatengaken karsa, kyat sura mangesthi lungit,
Dyah sumarah datan lawan, sru kagyat kepraneng lungit,
katemben sang lir suji, pinaresmen ing tilam rum, labet Dyah
wus diwasa, brangta mring kakung kayektin, ing asmara pe-
nuh limut tengah lena.
( 15) Dumugi nggen pulang raras, Kakung Putri sihnya sami, tan
winama ing resminya, sang Dyah kadya nendra ngimpi, sa-
solahireng resmi, ~punnya wudhar pulang yun, wau ta
sang Kusuma, tumrun sangking jinem wangi, pura sima ka-
tingal malih bengawan.
( 16) Legeg tyasira sang Retna, rinasa kerseng galih, nulya mantuk
lampah sigra, prapta dhukuh- (k. 43) ira wukir, lenggah da-
ngu tan angling, sarwi kegagas ing kalbu, leng-leng m buh ka-
wimbuhan, kerasa kalane nguni, driya trenyuh salira lesu
' marlupa.
( 17) Mangke win am a sang Retna, anggarbini tuk sesasi, andung-
kap ping kalih candra, tri tengsu katon manglentrih, sangsa-
ya ngetawisi, sudanna wrin tanya gupuh, marang putra sang
Retna, "Nyawa Anak ingsun Gusti, ya sun tanya diweca
sapa rowangnya.
( 18) Priya kang nggonjak mring sira", putra sang Dyah matur
ririh, "Rama datan ngraos amba, yen gadhah rowang sagu-
ling, sangking karseng dewaji, lampahane awak ulun", y a ta
antara lama, wus dugi ing sangang sasi, nggennya mbobot
sang Retna anulya mbabar,
( 19) jalu cahyanya gumilang, lir pendah pumameng sasi, kadya

137
murca kinedhepna, soroting cahya nelahi, sudanna sareng
uning, sanget merang jroning kalbu, manutuh kang sarira,
"Katuwone awak mami", awusana kang rama alon ngandika.
(20) (k. 44) "Wis Lara sira keria, ingsun datan bisa uning, di-
bisa momong nakira", kang putra asru manangis, tinilar ibu
danni, a pan sami momong sunu, sapa asih ngukupa, dadi ran-
dha kawJas asih, sakendranya Ki Juru malih winama.
(2J) Kiwa tengene sedaya, anjagong ngemiti bayi, kang wus mirsa
sami welas, dene rare kawlas asih, wau ta kang winami,
wonten jalma kamisepuh, mbekta rowang sekawan, datan to-
wong saben Jatri, sabibare kang njagong kantun priyangga.
(22) Jalma catur Jan bekelnya, saben dalu nggennya pmpti, apan
sarwi ambebekta, Dyah uning wus dugeng galih, mring tamu
kang ngatuni, kengetan duk siram ngranu, sang Kakung Jon
delingnya, "Adhuh Nimas ingsun Gusti, dipunenget sunwe-
waler marang sira.
(23) Sabatihmu jarwanana, gung abmge wong pawestri, ja ngung-
kuli mring wong priya, mesthi ngilangken kasektin, sing-
kima diagupit, aja katon mring wong (k. 45) kakung, Yayi-
ku ja tan ora, pituhunen jarwa mami", sarwi nyelak ngli-
ling putra ingarasan.
(24) Pumeng jarwa mangkya dugya, puput ingkang jabang bayi,
jalma panca pan karipan, supe nendranya kepati, dandanane
jalmestri, mbenthuki sing aneng Juhur, ngungkuli kang anen-
dra, sumladhang neng pangrat nginggil, gya ngelilir baya seta
kamanungsan.
(25) Sru nebda sang bajuJ seta, "Dhuh Yayi racuten aglis, bethot
kisi neng luhuran", sang Retna enget glis ngambil, kang sum-
Jadhang neng nginggil, wama kisi lawan bethut, pinranah
neng pungkuran, baya putih wignya nglilir, gya mrepeki
mring sang Dyah.alon.delingnya.
(26) "Dibecik pamomongira, marang putranira Yayi", sang Dyah
mingu ngemu waspa, sayenget ~roning galih, "Uga laid-
sun yekti•', kang mawarah nulya laju, bajul manjing benga-

138

wan, wus sima kang guna sekti, temah brangta pratignya dadi
sengsara.

VII. ASMARADANA
(I) (k. 46) Lestari sang Baya Putih, kamanunpan malih wama,
asma putra nut sebdane, sinung ran Jaka Sengara, ing ben-
jang turon karwa, antuk rahmat ing Ywang Agung, tinurun-
an dadi nata.
(2) Nging kang lbu kawlas asih, sedangunya m01nong putra,
Dyah kelangkung mesakate, anggung manutuh sarira, tan ibu
tan sudanna, denngengerken putranipun, tan akuwat keng
kanggenan.
(3) Singa kang kanggenan agring, wau nganm Dyan Sengara,
nanging bejanira akeh, beja kang kuwat kanggonan, mangke
Dyan wayahira, lagi yuswa kawan taun, amothah taken su-
danna.
(4) Siyang dalu tansah nangis, kang ibu welas miyarsa, Dyah be·
bisik mring putrane, "Pan wis mulih mring bengawan, Kulup
sudannanira, wus tan darbe kadang tuhu, mulanira kawlas
arsa."
(S) Jaka Sengara wus ngerti, duk jinarwan ibonira, gya tan arsa
dhahar sare, yen rina nutug sadina, sanget manting sarira,
dadi ja- (k. 47) lma kawlas ayun, tanpa kadang yayah rena.
· (6) ~u tapa pinggir kali, yen dalu ngideri wana, yen siyang
angon suryane, lami dennya akekadhar, yen jawuh manjing
guwa., samun mungging ereng gunung, mangeli yen banjir
band hang.
(7) Lami dennya manting dhiri, tan uning seda ibunya, saya ngla-
ngut Dyan karsane, laju tapa aneng arga, ngrannya Kendha-
lisada, tapa nendra sengga lampus, gya antuk pannaning
dewa.
(8) Prapta kang ngrenggani wukir, dewata mangeja wantah,
Ywang Mayangkara juluke, sinung wignya dwi kang wama,

139
-
duk pragosa Anoman, wonten malih julukipun, nenggya
Dyan ciri wenara.
(9) Baywatmaja andel westhi, Senggana duk timurira, Ian Sri
Rama wus pjnutreng, yekti putra Sang Ywang Siwah, mila
punjul ing jagad, semangke Anjani sunu, wantah wruna
manungsendah.
( 10) Tan siwah lir Ywang Basuki, madeg nguwuh l'n ring kang nen-
dra, "Heh tangia Pu- (k. 48) toni!lgngong", kagyat wungu
Radyan J aka, lenggah tata mangrepa, wotsekar alon umatur,
"Inggih sin ten kang pinuja.
(11) De ulun katemben uning", nebda Resi Mayangkara, "Kita
lamun tambuh mring ngong, ya wruhanta ingsun dewa, ngran
Sang Ywang Mayangkara, batik kita banget nglampus, neng
Arga Kendhalisada, ,
.
( 12) ya apa sinedya kapti") umatur J aka Sengara, "Kilap puna-
pa Ywang ingong, saderenge ulun weca, kados Ywang wus
waskitha", ngling Sang Ywang "Ya bener Putu , sun wis
uning sasedyanta.
( 13) Kita arsa punjul sami, ge majua ingsun wejang", wotsekar
Dyan majeng alon, magut winisik Dyan J aka, keng Aji tri
prakara, Dyan Ian tip ing tyas kecakup, tri pamejang wus tan
kewran.
(1 4) Sang Resi sawusnya misik, apan sarwi angandika, "Sunjar-
wani Putoningngong, kita null ngawulaa, mring nateng Ma-
~ jalengka, ing kono jalaran tuhu, kita antuk kanugrahan."
( 15) (k. 49) Nembah sandika sang Pekik, sang Resi nulya murcita,
Dyan seklangkung enggar tyase, seksana linggar sing arga,
laju mring Majalengka, kuneng lampah tan winuwus, war-
nanen garwa narendra.
( 16) Keng lagyarsa branteng ngelmi, J eng Ratu Andarawatya,
nujwa marek Raja Rajeng, umatur, "Eruning jalma, jimrah-
nya kang pawarta, yen gung dasih Majalangu, kathah kelu
lampah gama.

140
( 17) Srengat baru sangking habi, J eng Rasul niyakaning rat, tum-
run Jawa wali kaot, mrih mundhuta dhateng putra, Sunan
ing Ampeldenta", nging sang Nata datan ayun , sesenengan
kang sarengat. ,

( 18) "lngsun Yayi tan mangeni, wong satanah Nungsa J awa, kang
kesdu mangsuk gamane, anut Eslam Ian putranta, m buwang
sarengat Buda, Yayi sira lamun sarju, sakarsanta sun suma-
rah."
( 19) Wusana Dyah matur Aji, "Yen marengi ing karsendra, inggih
amba arsa ngaos, dhateng anak Ngarnpeldenta", sang Nata ·
Ion ngangika, "Ya se- (50) nengan Nimas Ratu , apan ingsun
ora nyegah."
(20) Wusnya lengser Dyah ngyekteni, ngaos Turutan myang Qur-
an, dhateng putra Sunan Ngampel, pendhak dinten sampun
tamat, Quran myang kitab-kitab, miwah suraosing ngehnu,
sang Retna lantip tan kewryn. .
(21) Langkung sihira sang Dewi, mring kang putra Ngarnpeldenta,
noya mili peparinge, busana tenapi arta, tan siwah garwa
sunan, tan pegat ngandikan malbu, mungsawarat.ngehni rasa.
(22) Kuneng gantya kang winarni, rajeng Bali pan wus lama,
nggennya datan cundhuk katong, sumedya m baleleng karsa,
sang Nata myarsa duka, Kya Patih ngandikan ayun, sang Nata
ngling, "Sapa bisa,
(23) mrih teluka raja Bali, aja kongsi marga perang", Kya Patih
riyek ature, Ian serowang pra dipatya, patih matur wotsekar,
"Yen marengi karsa Prabu, nggih yogi linanggar yuda."
(24) Nata emeng jengkar (k. 51) purl, Patih wangsul mring Pagla-
ran, laju nggusthi karsa rajeng, wuwusen kang lagya magang,
wau Jaka Sengara, ngraos tuk jalaran tuhu, rriargi dhawuh
sayumbara.
..
(25) Gya majeng ngarseng Kya Patih, saweca umatur sagah, lu-
- •
kita ing karsa rajeng, Kya Patih suka tyasira, gya manjing
cundhuk narpa, Dyan J aka neng J awi ngantun, tekap ngar-
sendra tur sem bah.
141

-
...

.
(26) "Amba matur Jeng Dew~i, perkawis keng sayumban,
juga magang dasih J"CQeng, sagah nglanggar Bali pura, linaan-
pahan pribadya, kanendra tan klilan pupuh", nata ngling,
"Sapa jenengnya."
(27) "Jaka Sengara keng nami, wijilipun tyang ngumbara", Nata
trustha ngandika Jon, "Timbalana mring ngarsengwang",
nembah mijil Kya Patya, sapraptane jawi pangguh, dhawuh
kerid mat\iing pura.
(28) Wus tekap byantara Aji, kalih ngrepa sileng ngarsa, wau
ta Kangjeng Sang Katong, sapraptanya rare Jaka, dangu tan
sinung sebda, wonten kraos driya (k. 52) Prabu, kadang peng-
aing Dayaningrat.
(29) Denemper keraseng galih, alon nebda marang Jaka, "Bagea
de anyar katon, ngendi wijil sapa yoga, Ian aranira sapa",
kang sinung ling nembah matur, "Ulun wijil tyang ngumba-
ra.
(30) Yatin tan wrin yayah danni, namilun Jaka Sengara", rum
ngandika J eng Sang Raj eng, "Heh J aka Sengara sira, pa te-
rnen saguhira, nglanggar Bali mrihe teluk, ~a marga bitu-
tama."
(31) Jaka matur awowri, "Lamun antuk sebda Narpa, danni lu-
mampah dasihe", langkung beja pandukendra, gya nata
dhawuh patya, "Patih ge mataha wadu, ing Pajang si Panca-
karya.
(32) Nuta Jaka selakuning, Pancakarya dombanana, ngb)g ja pe-
rak Jan· ja adoh, wis Jaka nuli mangkata", kalih sandika nem-
bah, lengser mijil jawi pangguh, Ian wadya kang n~ak yuda.

VOl. PANGKUR
(I) Pancakarya wus jinarwan, mring Kya Patih lukita karsa J\ji,
sandika ing aturipun, Pancakarya (k. 53) sanengga, kalih
sareng mit ing patih-linilan wus, budhalan sewadya gancang,
neng maJga wus andum kardi.

142

...
(2) Dyan Jaka lumakyeng ngarsa, mung pribadi tanpa rowang
lestari, Pancakarya Ian sewadu, lampahnya 1ir wong dagang,
tan kawama gancanging lampah prapta wus, tlatah nagri ing
Blambangan, kendel makuwon sedasih.
(3) Nengna kang wus amondhokan, gya warnanen kang kentar
ngrumiyini, prapta tepi samodra gung, mangu kendel Dyan
Jaka, nulya arsa matak ajinya sang Dagus, wangsit sing Ywang
Mayangkara, Tunggengmaya Ian ji Mundri.
( 4) Winatek wus datan kepyan, kalih J\ji katrima ing Dewadi,
J aka Sengara gya laju, manampak kang samodra, datan teles
lir bebalang anut Jesus, sakedhap ing Bali prapta, lampah san-
di sengga ejim.
(5) Tan siwah duk lampahira, Dyan Anoman nguni dinuteng Gu•
ti, kinen panggya garwa Prabu, Dyan Sinta neng (k. 54)
· pingitan, antuk karya nggen dinuta pangguh sang Rum, kew-
ran ing driya dinuta, ngupadya kunCareng wuri.
(6) Karya tilas tandha ing prang, neng Ngalengka rinoban ing
ajurit, unggul Ngalengka meh gempur, sing sekti Dyan
Wenara, mung sajuga ngentasi kirdhaning pupuh, mekaten ba-
rating duta, Jaka Sengara kang pinrih.
(7) Tangeh ngrengga sang Dutendra, kuneng gantya wamanen
rajeng Bali, Dewamambang juluk prabu, ri sedhengnya si-
newa, lenggah bangsal pepak pratiwa nung-anung, mungging
kursi glar matata, Kya Patih kang mungging ngarsi.
. (8) Lenggah siyang dugi latra, abujana minum ngentingken jang-
ji, riyek ngantya enjangipun, nggennya mbudhalken wadya,
nglanggar ing prang dhateng nagri M~alangu, kuneng nata
nggen sanega, gya J aka Sengara prapti.
(9) Solah sengga kang ngeluman, "Heh ta sira Dewamatnbang
sang Aji, sidakna manglanggar pupuh, mungsuh wong M~a­
lengka, durung klakon sira rampung dening (k. 55) ingsun,
nora susah Sri Narendra, dutane bae nguwisi."
( 10) Nata kagyat sareng myarsa, swareng jalma sru nglela tan

143
kaeksi, wusana mangsuli wuwus, "Sinten Panduka prapta,
de ngandika prana ~umling tan kadulu, napa dewa Suralaya, ,
kang namun sru dennya angling."
( 11 ) " Ya ingsun J aka Sengara, magang anyar din uta mring sang
Aji, mula prapta Bali ingsun, kin en nelukken sira, .ge wecaa
sang Nata kelawan ingsun, apa anut apa mrengkang", Nata
kanggog nggustheng galih.
( 12) Wusana ngling marang duta, "Nggeh caraka amba lumiring
karsi, nging kawula mangke nyuwun, panduka ngatingala",
kang sinung ling alon amangsuli wuwus, "Apa temen ujar-
ira, sira yun uning ing kami."
( 13) Ngling narpa "Nggeh ayun wikan", Dyan gya ngrucat kema-
yanira Aji, byar wus keksi ngarseng Prabu, dangu Nata nggen
mriksa, tyas sandeya Nata glis suwareng wadu, dutendra
kinen nye- (k. 56) penga, gregud tandang wadya Bali.
( 14) Dyan Jaka Sengara yitna, matak Aji Goramenggala ngesthi,
petak anggreng mawa lindhu, obah kang mahentala, nateng
Bali Ian sewadya dhawah lumpuh, cape sami tan wigya bah,
asrah to bat mring sang Pekik.
( 15) J aka Sengara kras nebda, "Ge sang Nata tangia sunanteni,
nora suntinggal pelayu, entekna budenira", Nata nebda,
" Angger amba sampun anut, wus tan nedya yen puruna,
mring panduka myang nerpati."
( 16) Radyan ngling, "Pa tern en Nata, lamun tuhu ya padha tangia
glis", gya sima lumpuhnya Prabu, Ian sewadya waluya, na-
teng Bali mring Dyan J aka gepah ngrangkul, linenggahken
kursi rukma, jajar Ian sang Nateng Bali.
( 17) Nata mangrepa wacana, "Angger amba mangke nggih ndhe-
rek karsi, menggah katuripun Prabu, pun Bapa tan lenggaha,
amung titip pejah gesang Ian sang Bagus, amba namung nyu-
wun ge- (k. 57) sang, tulusa dasih nerpati.
( 18) Dhateng Sang Sri Brawijaya, Majalengka sin em bah ing rat
· Jawi", J aka Sengara nglingnya rum , "Nggeh sampun sum-

144

lang driya, dugyeng katur dhateng Gusti Majalangu, yen won-


ten dedening karsa, nggih amba kang nrenggalangi.
(19) Nguni dhawuh dhateng amba, gampil rungsit sang nata tan
mriksani, sampun piyandel neng ulun, yen nata nut amba ,
yogi laju marseng dhateng Majalangu", ngling nata: "Nggih
sandika", gya dhawuh sanegeng dasih.
(20) Latri lerem ingkang karsa, narpa Bali lan Radyan langkung
asih, sinuba boja kelangkung, menuhi kang pangegar, wusen
enjang sumekta bongkakanipun, senjata waos lan brana,
dhedheg mungging Srimanganti.
(21) Patih sewadya wus sowan, wusen nata lan Radyan neng jro
puri, nulya mijil sing kedhatun , prapteng jawi parentah,
marang patih kinon mbudhalaken wadu , gya nembang
tengara mangkat, bodhol sagung wadya Bali.
,
(22) Bongkokan lumampah (k.58) ngarsa, nata laju tan pisah
lan dyan pekik, tan winarna neng marga gung, glis prapta
neng samodra, numpak palwa mbabar layar Ian sewadu, an-
tuk angin pan kumethap, gancang lampah prapteng tepi.
(23) Gya labuh jangkare.samya, tedhak palwa prapta Blambangan
nagri, Pancakarya Ki Tumenggung, methuk rawuhnya Ra-
dyan, wus jinarwan niskara purwanya unggul, Pancakarya su-
keng driya, dugi jarwa gya lumaris.
(24) Sinerang ing lampahira, aglis prapta negari Maospait, cun-
dhuk patih jarwa sampun, Kya Patih langkung trustha ,
katur nata praptaning duta yen unggul , datan aprang antuk
karya, nateng Bali wus sumiwi.
(25) Nata trustha gya sinewa, dhawuh cethi kinon nimbali pa-
tih, lawan ingkang lagya rawuh, kang kinon nembah mentar,
mijil pura prapta jawi nulya pangguh, ndhawuhaken pangan-
dika, patih sandika gya kerid.
(26) Dya Jaka Ian Bali nata , datan kantun Ian sa- (k.59) gung
pra dipati, kebut manjing jro kedhatun , tenapi para pu-
tra, prapta ngarsa manata silanya bukuh, muka kadya kon-
jem kisma,jrih lumiyat wedanaji.
145

-
(27) Nata ngling: "Padha bagea", nembah sareng kalih anuwun
kang sib, Jaka Sengara Ion matur, ngaturken reb dinuta,
purweng madya wusana ngaturken prabu, sang nata sareng
miyarsa, langkung trustha galih aji.
(28) Wusana sang nata nebda, purweng weca marang narendra Ba-
li, kang dinangu Ion umatur, ing tingkah sang dutendra,
dipunandhar lir wong ndhalang ingkang atur, wau narpa
Dewamambang, nggennya ngaturken sang pekik.
(29) Nyang ngaturken kedigbyannya, "Nggih Dewaji eram lun de-
reng uning, titahipun juwata gung, kang mirib sang duten-
dra, saaturlun tan ngirangi datan langkung", puma tur
mesem sang nata, kapraneng lejar ing galih.
(30) Driya nglembana mring Radyan, "Nyata luwih si Jaka sameng
jalmi", wusana ngandika prabu, marang Sri Dewamambang,
"Sunapura nata (k. 60) Bali sadosamu, nging ja owah idhep-
ira, se baa ing sam ben warsi."
(31) Sandika kang tam pi sebda, malih nata ngandika mring sang
pekik, "Heh Jaka tarima ingsun, bisa karya sukengwang",
Raden Jaka piya manembah umatur, "Pun dasih da11ni lu-
mampah, sangking pangestu Dewaji."
(32) Gya sang nata dhawuh patya, "Gajahmada ing mengko karsa
mami, Jaka Sengara sunjunjung, lungguhe adipatya, aneng
Pengging Dayaningrat kang jejuluk, dadi lengen prajaning-
wang, ngreh tampingan kulon nagri.
(33) Lan maneh sira dhawuha, mring wadyengsun tata aboja
krami, wangunen jroning kedhatun, tratag langse tuwuhan,
dina Soma penganten nggonira dhaup, nuli padha tuman-
danga'', patih sandika wotsari.
(34) Wus puma ~arsa narendra, tedhak dhampar gya maJ\iing da-
lem purl, Kyana Patih Ian sewadu, tan ana mantuk wisma,
laju sami nambut karya jro kedhatun, kuneng wu- (k. 61)
sen Dayaningrat, sinung pakuwon purl.
(35) Mungging wetaning plataran, pan warnanen jro pura Jeng
Sang Aji, lenggah ingayap pra arum, Jeng Ratu D~watya,
146
lenggah jajar lawan raka Jeng Sang Prabu, nata nebda paring
jarwa, mring garwa dyah prameswari.
(36) lng purwa karsa narendra, sang dyah mestu ing karsa sang
raka ji, nulya putra sang retna yu, kinen amaesana, Dyah
Mandaya resmi binusanan sampun, a bra muncar kang busana,
mimbuhi rarasing dewi.
(37) Dhasar putri yu kang warna, raga krana lir sang Dyah Ra-
gilkuning, kadya murca yen dinulu, dyah pu)\jul sameng
kenya, tur winasis kawignyan sesmita putus, kempyangira
tan kawentar, pambek tyasnya ngrahaJjani.
(38) Ri wusnya dyah pinaesan, para sang dyah tur uning Jeng
Sang J\ji, sang nata seksana dhawuh, marang niyaka kenya,
animbali Kya Patih lan pratiwa nung, angirida kang teman-
tyan, gya dute- (k. 62) stri nembah mijil.
(39) Prapta jawi pangguh patya, ndhawuhaken timbalan dalem
aji, ngandikan Ian pratiwa nung, kinon nggerbeg teman-
tayan, turnya patih sandika kerid sewadu, mal\iing prapta
kuwoning Dyan, wamanen wau sang pekik.
( 40) Mangkya sampun binusanan, kampuh pelung paningset renda
adi, dhuwung sinung oncen sawut, lancingan cindhe puspa,
tirahira rinenda dinasih murub, binge) kana tebah jaja,
kelat bau sarpa aji.
( 41) Arumbing kinala calera, mas ingonce pinatik ing retna di,
jamang tinundha tri sungsun, cundhuk srat grudha wuntat,
Radyan saya embah ingkang warna bagus, pendah kadya
Ywang Asmara, tumrun nukma Maospait.
(42) Ri wusira gya ngendikan, dyan temanten kerid Rekyana Pa-
tih, prapteng plataran mabukuh, wamanen Jeng Sri Narpa,
Jan pra garwa lenggah sami ngimur sunu, nata Jon ngandi-
keng putra, "Ya kramaa Nini Pu- (k. 63) tri.
(43) Tuka Jan Jaka Sengara, warna bagus bisa ngentasi kardi,
wus dadi ubayaningsun, ya lara lakonana", sang dyah esmu
merang lenggahnya tumungkul, minggu datan wigya weca,
mung kang asta nerat siti.

147

(44) Nata wus kadugeng driya, tandya kinon nimbali sang ape-
kik, parekan lengser sing ngayun, prapta ndhawuhken seb-
da, dyan temanten kerid tekap ngarsa prabu, lir konjem
kisma mukanya, Ion ngandika Jeng Sang Aji.
(45) "Heh ta sira Dayaningrat, tampanana putrengsun nini pu-
tri, timbang legane tyasingsun, karyanen jatukrama, da-
dya rowang mukti neng Pengging pikukuh", nembah nuwun
Dayaningrat, "Pasihan dalem kapundhi."
(46) Nata nl)lya dhawuh garwa, ingkang putra kinon nganthi
mring purl, kang liningan mestu dhawuh, pra garwa leng-
ser samya, tan ginustha temanten ing dhaubipun, latri nata
lenggah bangsai, nimbali sentana siwi.
(47) Lan gung wireng Majalengka, (k. 64) Kyana Patih tenapi
rajeng Bali, agiar mungging ngarsa prabu, sang nata Ion
ngandika, "Gajahmada apa pepak wadyaningsun", Kyana Pa-
tih matur nembah, "lnggih sampun sowan sami."
(48) Ngandika malih sang nata, "Patih ingsun pan arsa kembui
bukti, pan wis dadi nadar ingsun, marga si Dayaningrat,
bisa ngejum Ian v'ong Bali~ nora pupuh, tan karya rusaking
wadya, bisa tern bung adu manis."

(IX DHANDHANGGULA)
(1) Purneng karsa nata gya nimbali, marang putra risang pi-
nengantyan, kering prapta ngarsa rajeng, wus kinen nga-
yun, nunggil lawan pra putra aji, gya nata dhawuh tnrik-
sa, lengser kang ingutus, pinriksa sampun mirantya, sa-
gung dhahar glar penuh neng bangsal manis, padam awama
mubyar. .
(2) Nata tedhak kang jageng rumanti, gangsa Kya Sekar Dati-
rna, gumrenggeng bale sawone, wus lenggah Jeng Sang Prabu,
pan ingapit pra putra sami, patih Ian pra dipatya, sumam-
bung ate- (k. 65) pung, mungging kursi tan aseia, nata dha-
har sinendhon gangsa ngerangin, tandhak ngelik wor ra-
ras.

148
(3) Pathet sanga sareng munya ririh, gendhing ciunthang sami
kraosira, amung ngambang Ian rebabe, kang swara maweh ke-
nyut , marang sagung sami miyarsi, ngenting suka narendra ,
boja sinlan minum , wau ta Rekyana Patya, dhawuh weca
aminta harjaning nagri, tuiusa madeg nata.
(4) Pinanjangna yuswa daiem aji, Ian tuiusa putra pinangan-
tyan, dugya ngantya saiuhure, tenapi dasih prabu, atuiusa
ngabdi nerpati, puma wus weceng patya, kunnat huse ba-
rung, ambai swara mbata rebah , dugya karsa Iuwar ngedha-
ton sang aji, Ian putra pinengantyan.
(5) Patih mijil Ian sang nateng Bali, myang dipati mantuk
sowang-sowang, wusen pura dyan temanten , panggihnya Ian
sang ing rum , atut dennya apalakrami, tan pegat puiang
raras, aneng jro ke- (k. 66) dhatun, winetara wus sacan
dra, wus aruntut nata uning trustheng galih, wusen enjang
ngandikan. ,
( 6) Kakung putri wus tekap ngarsa ji, sri narendra alon angan-
dika, "Y a karo dipara ngarseng, Kaki Ian N ini Gaiuh , aja
adoh kelawan mami" , wus majeng nata nebda, "Ya nyata
putrengsun, karo suntimbali padha, ing samengko muliha
prajanta Pengging, arjakna nagrenira.
(7) Lan suntitip garwaninra Kaki, mesih blilu angladeni pri-
ya, mung diagung apurane , Ian diatut aruntut , aja ana kang
benceng karsi , supaya dadi tepa , netepi trah Iuhung, sun-
pintakken marang dewa , ya tulusa sira mukti aneng Pengging,
jejeg amengku praja.
(8) Lan maninge ingsun titip Kaki, nagri kuion pasisir urut-
nya, gunung kidui apa dene , aja wiguh angrengkuh, Iawan
sira sunwasiyati, wama kris Iawan tumbak, Bendhe Sida-
~ narum, kabeh (k. 67) iku beberkatan, Dayaningrat kang mur-
ca atilar nagri, dadya keprabonira.
(9) Iki arta kehe sewu ringgit, pan karyanen sangu aneng mar-
ga, myang peni raja branane, miwah jalmestri jaiu, de kang
arta karyanen Kaki, ngegama tyasing wadya, dimen praja
kukuh", Sang Dipati Dayaningrat, matur nuwun mit nembah


149

gya lengser mijil, daut sagarwa wadya.


( 10) Tan kawarna gancanging Iumaris, pan wus prapta Pengging
prajanira, sang Dipati manjing ing jro, Ian garwa sang Retna
Yu, tan ingucap rengganing mukti, wusen malih kinandha,
Sang Sri Majaiangu, wus kathah putra Narendnt, bajeng jalu
kang wama tuhu apekik, tinanem neng Madura.
( 11) Lembupeteng wanginya sang Siwi, patut sangking sang Dyah
Darawatya, sanesira winiraos, kathah garwanya Prabu, gung
ampeyan wus putra sami, putri Bagelen garwa, sajuga kang
sunu, putri mangkya pa- (k. 68) n wus krama, malih putra
kakung sampun sinung mukti, aneng nagri Mekasan.
(12) Ajejuiuk Dyan Jaranpanolih, nulya malih wau putra nata,
wanodya tinrirnakake, tuk Dipati Lowanu, putra putri su-
mundhul malih, dyah sampun pala krama, tuk Gawong sang
ing rum, nuiya malih putra narpa, nenggya jalu kang warna
tuhu apekik, tinanem Panaraga.
(13) Dyan Bethara Katong kang wewangi, malih wonten putra-
nya narendra, jalu bagus wama kaot, bintwa geng aluhur,
turut janjang pada sang Siwi, daunendra asung tengJan,
nenggya Radyan Gugur, nging aneh Ian sameng putra, alul
tapa tan arsa marang kamuktin, Radyan wus badan dewa.
(14) Nggen mertapeng wonten Nglawu ardi, pan alami mangke
wus murcita, ngmtoni jim sawarnane, sawengkon Nglawu
suyut, nengna kang wus murcita dhiri, wonten malih kinan-
dha, (k. 69) Tuban kang winuwus, Sang Dipati Wilatikta,
pan ing nguni mantunya Sri Maospait, Daningkung kang wus
muksa.
(15) Sang Dyah Retna Dumilah kang wangi, mangkya dugi mukti
awibawa, antuk wenang ratu dhewe, wus peputra sang ing
rum, patut Iawan sang Adipati, jalu pembcdengira, Dyan
Sahit kang juluk, kang wama bagus utama, sorot jiwa yen
tinon nembaga sari, sumringah kang wedana
( 16) J aja wijang janjang netnt andik, pan sairip lir putnt Jenggala,
jayeng Iaga digbya kaot, tatag sudireng kewuh, dyan tan wa-

ISO
- - - - - . . . . . . . -,-...---------

tak gingsir ing jangji, keringan sameng jalma, sanagri pinun-


jul, ing kadigbyan tan na lawan, ing satemah jalma Tubin
ajrih asih, kelu wrin sektening dyan.
( 17) Mung sajuga cacade dyan pekik, ambeladhak tan nut jar-
weng darma, gya ari wanodya kaot, rum-arumnya sang ing
rum, (k. 70) Rasawulan warna yu luwih, lir garwa Komajaya,
Ratih sang lir santun, sang Retna aremen tapa, saya wimbuh
warna yu sang liring suji, cahya mindha sesangka.
(18) lng pasemon sang Dyah marak ati, jetmika Ius tembung wi-
ceksana, tuhu ratuning dyah kaot, semangke sang Retna Yu,
tinimbalan ing ibu darmi, lenggah kering ibunya, miwah pu-
tm kakung, Dyan Sahit neng ngarseng danna, sang Dipati
Rum nebda njarwani siwi, "Dhuh Angger akramaa.
( 19) Amiliha putri ayu luwih, atma sagung dipati nararya, ing
ngendi senengirangger, wecaa Ian ibumu, sunlamare putreng-
sun nuli", Dyan Sahit datan nebda, Ion lengser gya laju,
mring kambengan ngaben sata, sang Dipati ngling malih
njarwani siwi, Sang Retna Rasawulan.
(20) "Adhuh nyawa Putraningsun Gusti, sira bae Gusti akramaa,
dadya lipure tyas ingong, de wus wanci sundulu", Ra- (k.
71) sawulan umatur aris, "benjang lun arsa krarna, yen
wus kadang sepuh, yen sampun krarna Kakangmas, Rama
amba inggih ndherek anglampahi, ing mangke dereng arsa.
(21) Meksih remen anyakiti dhiri, nepi won ten wan a guwa so-
nya", ibu sret esmu waspane, tan saged ngimur sunu, ku-
neng Tubin kang jarwa siwi, wamanen putra priya, kang·ken-
tar ngelurug, ngaben sata sor sawungnya, santun tajen sor
busana ngetop 8ami, kendra kingkining driya.

X. ASMARADANA
(I) Tyasnya muring Dyan Mas Sahit, pan laju angadhang marga,
mbegal jalma ing karsane, samben-samben pan mangkana,
yen kasor nggen botohan, ngadhang jalma bakul langkung,
tan ajrih rinampok kathah.

lSI

(2) Dyan mangkya wus nglugas dhiri, pindha kwula mengangge-


nya, sawit kresna sedayane, nyamping baju lawan dhesthar,
cemeng baju bentrengan, angasta gembe- (k. 72) 1 sinamun,
neng marga tukup wedana.
(3) Embah saya dyan ngajrihi, sangking jliguding pratingkah,
kang wrin jrih nggiwar lampahe, jalma tan apurun celak,
marang kang nawur lampah, dumada siyal dyan bagus, tan
tuk karya kamanungsan.
. (4) Kaloka putra ing Tubin, digdaya angadhang marga, dadya pe-
jah alelakyeng, kongas katur Sunan .Benang, yen putra Tu-
ban mbegal, mejahi kang marga agung, suka myarsa mesem
nebda,
(5) marang murid kang pengarsi, "Mayo· padha anggegodha, rna-
rang bakal wall kaot, Ki Sahit putra ing Tuban, ika kekasi-
hing Ywang, nanging durung antuk tuduh, muiane meksih
ruhara."
(6) Wusnya dhawuh mepak jurit, sunan nulya asiyaga, sarwi
endah busanane, ngatja sreban jejangkangan, sebe tinumpal
bara, lir Pragolamurti nglurug, marang nagri Darawatya.
(7) Alon tindak sang (k. 73) ayogi, dhinerekken pra sekabat,
teken sinlut mas mencorong, karsa sujud dhateng Mekah,
seksana prapteng prenah, marga panggenan sang Bagus, putra
Tuban kang mbek krura. ..
(8) Radyan Sahit awas ngeksi, yen wonten jalma lemampah,
teken slutan mas mencorot, myang menggangge sarwi endah,
nulya glis tinututan, prapta pangguh dyan sru muwus, "Pa-
man endi tekonira,
( 9) kang mencorong ingsun ambil, yen tan aweh sunparusa, yen
sirarsa nyuduk mring ngong, age mara anyuduka, nya dadha
pilihana", Sunan Benang lingnyaarum, "Jebeng aja salah kar-
ya.
( 10 Sira njaluk teken mami, mbutuhake wong lelampah, tur tan
akeh pangajine, yen sirarsa rem en donya, in ten Iawan .ken-

152
------- ·

cana, lah ika ambilen gupuh, kencana in ten ganjaran."


( 11) Ya ta ponang kolang-kaling, tinudingan marang suna- (k.
74) n, malih dadya mas mencorong, pentilira retna muncar,
campur Ian diwangkara, Raden Sahit gawok ndulu, miteng-
gengen datan nebda.
( 12) Sunan laju nggen lumaris, mung nedya njarag karsanya, tin-
dak mangu nolah-noleh, semu ngantya mring kang mbegal,
duk lagya saonjotan, Raden Sahit tyasnya emut, ngraos la-
mun kaluhuran.
(13) Mangkya dyan wus prapteng pasthi, mring Ywang Sukma
kang pamungkas, prapta dhawuh nugrahane, osik marang ka-
luhuran, pratandha trah kusuma, kapencut ngelmu linuhung,
keramate kang sarira.
(14) Radyan gancang anututi, mring tindaknya Sunan Benang,
tan matur anginthil bae, dupi prapta madyeng wana, kendel
tindaknya sunan, Ion ngandika mring kang nusul, " Heh ta
Jebeng paran karsa.
( 15) Sira nusul laku mami, anginthil wong arsa salat, apa arsa
makmum Jabeng", Radyan Sahit matur ngrepa, "Milamba (k.
7 5) atut wuntat, mring panduka sang Awiku, ulun arsa pu-
ruhita. 2 )
( 16) Kepengin kados sang yogi, mandi cipta keng kahanan , anu-
wun wejang wiyose, kedah amba tedahena, ngelmi keng ka-
dos Tuwan, nuwun wejangen kang tuhu, kawula atur pra-
seca."
( 17) Sang Wiku ngandika aris, "Apa tern en Jebeng sira, nora dora
mring Sukma No~, sira arsa puruhita, kepengin kaya ingwang,
mandi cipta kang satuhu, yen tern en ya 'tinemenan.
( 18) Tukone abot ngluwihi, wong dadi wali utama, dudu brana
patukone, mung lila legawa setya, tan mingser yen wis ngu-
cap, setyeng guru jrih Ywang Agung, sun tan ngandel basa
swara.
2) asline: puruwita

153
\

( 19) Yen ora kelawan yekti, yektine wong sanggup setya, apa
wani sira Jebeng, s.unpendhem neng tengah wana, lawase
satus dina, yen wani sira satuhu, jumeneng sah waliollah."
(20) Lo- (k. 76) n umatur Raden Sahit, "Kawula sumanggeng kar-
sa, tan nedya dora Ywang Manon, nadyan sakit tuwin pejah,
nggih a mba tan suminggah", sang Wiku driyanya pethuk,
dyan rinangkullon sebdanya.
(21) "Ya sun darma dadi margi, Jebeng r;tarang sesedyanta, sa-
tuhune sira dhewe, ing sakarsa-karsanira, narima mring kang
murba, heh sabat murid digupuh, Ki Jebeng gawekna klu-
wang."
(22) Wusnya wau Raden Sahit, pinetak madyaning wana, wit man-
dira tetangere, kang pinetak gya tinilar, sang Wiku laju tin-
dak, mring Mekah sakedhap rawuh, nulya salat aglis bakda,
(23) inijil Kakbah 3 ) panggih murid, laju ken tar mider ing rat,
kuneng gantya winiraos, Rasawulan putri Tuban, langkung
branta ing tapa, mareng ngengidang sang Ayu, awor lawan sa-
to wana.
(24) Aneng alas Glagahwangi, separane ponang kidang, sang Dyah
anut neng wurine, angga- (k. 77) yani ron taruna, sang Retna
tumut dhahar, laminya datan winuwus, dyah wanuh Ian ki-
dang sangsam.
(25) Gya sang Retna manggih beji, toyanya wening kalintang,
aresik kathah selane, kumriwik ilining tirta, ayom kauban
wreksa, wreksa geng ronira singub, nginggil pangnya amer-
kakah.
(26) Panging wreksa dipunnggeni, manungsa amangun tapa, pi-
tekur aneng epange, wijilira kang nretapa, mulana sangking
Arab, tedhakira Kangjeng Rasul, juluknya Seh Maulana.

(2 7) Seh Maulana Mahribi, milanipun angejawa, tinuduh marang


darmane, Jeng Pangran Ngatasmaruta, kinen angislamena,
ing Jawa kang meksih suwung, kang dereng angadeg iman.
3) asline : ka tbah

154

(28) Milanya Sang Seh Mahribi, manakung neng nginggil wreksa,


neges karsaning Ywang Manon, kalilana madeg iman , neng
alas ing Bintara, jangjinya nulya linuhung, (k. 78) yen rn a-
dog masjiding Demak.
(29) Nanging dereng denlilani, ngentosi kang darbe lampah, mek-
sih kineker Ywang Manon, puniKa ingkang dinuta, marma-
ne tan winenang, wuwusen malih sang Ayu , kacaryan
uningeng tirta.
(30) Seksana sirarn sang Dewi, lukar aneng madyeng tirta, tan
wrin nginggil wonten tyange, sang Tapa wespadeng ngikswa,
mring mattna dyah kang siram, ayu katon ayonipun, sang
Wiku tyasnya kagiwang.
(31) Kumepyur raosing galih, branta trenyuh kang werdaya, tan-
sah sabil jro driyane, ucapen wau kang sirarn, dangu angum
ing tirta, wusnya mentas ngilo ngranu, katonton sasolahira.
(32) Dangu sang Dyah aningali, wayangane jalma priya, ingkang
warna bagus anom, kagyat Retna Rasawulan , jroning tyas
pan kagiwang, lir kadya asmara lulut, Ian kang katon jroning
tirta.
(33) Sang (k. 79) kalih sareng mangeksi, Rasawulan Ian sang Tapa,
kadya saresmi karoron, pinarengan dening Sukrna, karya ti-
tah utama, kinarya wijining ratu, Rasawulan nulya wawrat.
(34) Nut kedhep amilang sasi, jabang bayi nulya obah, aneng sa-
jroning garbane, sang Dyah ngraos kawirangan, dereng krama
awawrat, langkung runtik sang Retna Yu, tumenggeng nging-
giling wreksa.
(35) Sarwi nebda awor tangis, "Sapa baya weh tri mala, bisa gawe
wirang ingong, ingsun kenya durung krama, dene pinanca wa-
ra, ge tumruna sang Pitekur, sirnakna ing wirang kula. "
(36) Esmu kagyat sang Mahribi, myarsa sebda dyah rudita, sang-
king wreksa tumrun alon, sarwi njabut dakarira, cinipta dadi
braja, alon tindak sang Awiku, sangkuhira sinengkelan.
(37) Prapteng tepi nggen sang Dewi, sarwi alon dennya nebda,

155
"Priye karane (k. 80) wak ingong, wong tapa ngalong dinu-
kan, apa dinalih ingwang, anginjen wanodya adus, de sun wus
tan darbe dakat.
(3 8) Pan uga sapengga estri, wus tan darbe nyineng priya, de
mung sangkuh gaman ingong, tinarka nyidra asmara, sayekti
lamun ora, sira nggarbini satuhu, seka karsaning Pangeran."
(39) Rasawulan sareng myarsi, mring wuwuse sang Pandhita,
- ngraos lepat sang Dyah ndhodhok, sarwi matur angrarepa,
"Jenang sela kawula, nuwun ngapunten sang Wiku, sangking
_ ribeng dahat wirang. .
(40) Kawula perawan yekti, kumini tan arsa krama, ing mangke
kawula mbobot, tan angraos darbe lawan, pan amung wewa-
yangan, kang katingal jroning ranu, keng warni ugi panduka.
(41) De amung ujungan liring, ampuhe kagila-gila, temah amba
laju mbobot, ulun nuwun ing sang Tapa, anunten sirnakena,
(k. 81) bebayi kang ulun kandhut, sam pun medal marga ina.
( 42) Yen sang tapa tan paring sih, angruwat wirang kawula, lu-
wung pejahana ingong, mupung tan wonten kang wikan",
sang Wiku Ion sebdanya, "Age mungkura wong ayu, sungen-
dame dimen medal."
( 43) Alon mungkur sang Retna Di, pan sarwi ngore remanya, sang
Wiku ngepel astane, jabang bayi kinethekan, pan kadya ngun-
dang sata, bayi aglis mijil nglambung, mencolot lir anak
kidang.
( 44) Dhawah mungging pangkon4 ) yugi, kakung bagus ingkang
wama, mencorong mancur jwalane, pan kadya wulan puma-
rna, tan wonten mbing-mbingira, wus dhaut aneng swarga
yu, pratandha kekasihing Ywang.
(45) Sang Wiku ngandika aris, "Nimas bayi sunweh aran, Kidang-
tlangkas prayogane, dene sira lawan ingwang, panuju tapa
ngidang", Rasawulan mestu matur, "Sumangga karsa sang
Tapa.
4) asline: pakon

156
(46) (k. 82) Nging kawula datan apti, amomong pun Kidangtlang-
kas", sang Tapa alon delinge, "Iku ta aja mengkana, sira apa
tan welas; mring pasihane Ywang Agung", Rasawulan nulya
kesah.
( 4 7) Sang Tapa rib eng kang galih, pinasrahan ingkang putra, tyang
Tapa dede karsane, tur priya neng madyeng wana, priyangga
tanpa rowang, nulya linggar sang Awiku, ing Tarub sinedyeng
karsa.
( 48) A pan sarwi nggembol bayi, wuluh gadhing tekenira, kinarya
deder sangkuhe, kuneng gantya kang lelampah, dhukuh Ta- •
rub winarna, nenggya Nyai Randha Tarub, meksih nom tini-
lar lal<ya.

XI. SINOM
(21) Ni Randha Tarub geng brangta, de nak laki sami lalis) tam-
bub ingkang tinoleha, bojo mati anak mati, yen rina datan
bukti, yen latri tan antuk turu, Bok Randha nendra kadhar,
duk ngliyep Ni Randha ngimpi, (k. 83) keksi nendra pinang-
gihan lakenira.
(2) Sung jarwa kinen narima, lawan anyukani esthi, alit kinen
nyratenana, ing tembe marakken mukti, Ni Randha nglilir
aglis, mirsa padhang anglir daru, tibeng prenah makaman,
neng kubure laki siwi, byarnya rina Ni Randha marang kubu-
.... ran.
(3) Sapraptane ing makaman, Bok Randha anulya panggih, Ian
Sang Eseh Maulana, Ni Randha dipunjarwani, laju sinungan
bayi, kinen ngakert anak tuhu, sekalir wus jinarwan, Ian bayi
dentetangeri, tulup sangkuh pinaringken Ni Bok Randha.
(4) Majeng tinampen seksana, sangkuh lawan jabang bayi, wus-
nya sang Wiku gya linggar, sumedyarsa nglaya bumi, Ni Ran-
dha mantuk aglis, sapraptaning wisma laju, mbrokohi ngun-
dang-undang, marang anak putu sami, ambrokohi anak mati
bisa ge- (k. 84) sang.

157
I

(5) J alma Tarub nggili prapta, tuwi bayi urip maning, dugi dalu
ajagongan, keh nak putu ingkang prapti, myang mrepat ka-
nan kering, praptanya nyumbang sedarum, bayi nekakken
beja, Bok Rondha temahan sugih, jabang bayi datan arsa si-
nesepan.
(6) Nesep jempoie pribadya, tutut tan ndarbeni tangis, bayi
saliranya akas, gaib takdiring Ywang Widi, cahya man cur ka-
eksi, wahyu nurunaken ratu, kuneng Tarub- Ni Randha, gen-
tya kang winama malih, Sunan Benang enget mring pe-
takanira.
(7) Sabat muridnya pinepak, kinen mbekta pacul bodhik,
wusnya sang Wiku gya tindak, neng marga datan winami, wu-
wusen Dyan Mas Sahit, kang branta marang pituduh, pine-
tak madyeng wana, antuk rahmating Ywang Widi, samben
candra kepanggya lawan utusan.
(8) Keksi malih panggih darma, sungjarwa yen badhe wall, panu-
tan pra waliollah, panutuping (k. 85) sagung wali, wonten
ngekseni maiih, eyangira prapta ngrangkul, sung jarwa wus
katrima, nggenira amanting dhiri, Ian malihe aparing ngelmi
paminta
(9) Dugi lama ingancara, anuiya dipunpanggihi, Ian Jeng Nabi
niyakeng rat, sapraptanya ngrangkul ririh, prenah kang jaja
kering, tinekem ing julukipun, Jeng Nabi mundhut priksa,
"Ya apa kang kapiyarsi", Dyan umatur, "Kawula mireng su-
wara."
( 10) Wus ngaturken kang suwara, Jeng Nabi ngandika aris, "Wus
bener unining swara", nulya kin en aningali, Dyan mestu man-
deng aglis, keksi padhang kadya daru, nrus bumi langit sap-
ta, tan wonten katingal malih, linglang-linglung neng jagad
datanpa rowang.

l
( 11) Dyan Sahit tan· ngraos lena, amung enget mring Jeng Nabi,
wus ngraos juga pribadya, semana alame satin, tan alam kadya
mangkin, nenggya alamnya Jeng Rasul, ingran Andarusalam,
tan padhang lir surya sa- (k. 86) si, pan puniku padhang pe-

158

\

dhak mring Pangeran.


( 12) J eng Nabi Ion ngandikannya, "Wis Bayi tangia aglis, a pan sira
wis tinekan, apa kang sinedya kapti, nugraha kang sejati,
wus dhawuh mring sira tuhu, benjang ing jam an mulya, kita
padha lawan mami, benjang akir sira wenang pedhak mring
wang."
( 13) Jeng Nabi wus tan katingal, awangsul a1ame lami, kondur
marang kerasulan, Dyan Sahit wus datan pangling, duk tini-
lar Jeng Nabi, neng kluwang angganya lesu, ngalintrek tan
wigya bah, salira asawang mayit , kawarnaa tindaknya Jeng
Sunan Benang.
(14) Prapta prenah wit mandira , kang dadya tetenger nguni, wus
krambatan trate bendha, suket ketel angrongkobi, gya kinon
ambabadi, pra murid tumandang gregud , wus resik bina-
badan, Sunan Benang wus tan pangling, tumandang wus an-
dhudhuk putra ing Tuban.
(15) Alon-alon tandangira, .dennya njunjung pa- (k. 87) ra murid ,
sing kluwat sunan Ion nabda, " Heh dialon-alon sami, menek
kesandhung mangkin, iya ingkang badan alus, bali mring ba-
dan wadhag , wit iku wus tuk ingkang sih, ing Pangeran"
gya pinernah neng ambenan.
(16) Wau Dyan Mas Sahit apan , saengga gana warnaning, seta wus
ngangkat pra sabat, lampah lon-lonan samargi, prajalma kang
... samya wrin , mituhua maring ngelmu , kawan prakawis ika,
lungguhing iman kang dhihin , tokid lawan makripat ping
panca Islam.
( 17) Iku ngelmu sajatinya, ing srengat J eng Nabi murti, pratan-
dha dyan kasihing Ywang, kekuwunge urut margi, manther
tejanireki, sasada lanang gengipun, pinayungan kang mega,
seta rineksa sagunging, malaekat wau Radyan Putra Tuban.
( 18) Mila sami ngawruhana, sembah ing lelima yekti, dhihin yayah
lawan rena, maratuwa miwah kaki, kadang tuwa tenapi,
guru (k. 88) prituwin mring ratu, iku wajibing sembah, wit
paliwareng Sukma di, tan kawama gancang lampahe Jeng Su-
nan.
159
'

( 19) Prapteng dhepok a pan nuiya, Rahadyan dipunkutugl, sekul


baru ngganda ngambar, muleg nampeg maring jisim, Radyan
enget tumuli, wajidaha wajidahu, sapa temen mring Sukma,
' tan mawi pilih sujahni, singa mantep ing sedya pan tinurutan,
(20) dhumateng Ywang Mahamulya, kamulyan neng donya nga-
kir, Allah ingkang sipat rahman, alon Ienggah Dyan Mas Sa-
hit, saksana Ion ngabekti, dangu neng pangkyan sang Wiku,
. prebeng-prebeng kang netra, Ion rinangkul mring sang Yogi,
Sunan Benang langkung dennya asih tresna.
(21) Nenggya wau Sun an Benang, Ian ri Radyan Putra Tubin,
pan sampun ingaken kadang, dhinaupken Ian kang rayi,
gya sinungan wewa-ngi, Seh Melaya wus misuwur, mring seka-
bat pra samya, panggihira tan winarni, Seh Melaya atut den-
nya pala- (k. 89) krama.
(22) Kuneng ingkang pinengantyan, wamanen ing Maospait, Sri
Narendra Brawijaya, alami datan tinangkil, nandhang gerah
sang Aji, rajasinga gerahipun, mila langkung sungkawa, supe
dhahar miwah guling, gara mulya nata arsa sare kadhar.
(23) Nujwa purnama kang candra, wandenira bangun enjing, won-
ten swara kapiyarsa, dumling jarwa mring sang Aji, "Heh
Yogyeng ulun Kaki, sunjarwani kita tuhu, yen kita arsa
mulya, kang dadya grahira Aii, nunggaiana resmi Iawan putri
Wandhan.
(24) Kang nyele so rote jenar, ge turuten jarwa mami", tandya
sima kang sung swara, nata kagyat wungu guling, wus kadriya
ing galih, ingkang asung swareng dalu, estu Iamun juwata,
sung ma11na pituduh yekti, wusnya rina enget nata darbe
kenya.
(2 5) Nguni boyongan sing Wandhan, estu lamun wama kuning,
sedhet pasang ing sarira, tuhu lamun ayu luwih, juga cacad
sang (k. 90) Dewi, buntit mrenthel remanipun, nging dadya
pepantesnya, mimbuhi dyah amrak ati, pasrangkara nata
myat wamanya sang Dyah.
(26) Sang Dyah nulya angendikan, marang gupit Mandragini,

160
prapta laju cinengkraman, sapisan lir grahira Ji, trustheng
tyas Sri Bupati, baya wus karseng Dewa Gung, Dyah Putri
Wandhan pura, tuhu titis Dyah Srikandi, karseng nata d yah
nginggahken garwa ngarsa.
(27) Kinembar Ian sang Dyah Cempa , Dyah Wandhan sinungan
wangi, Jeng Ratu Kemayawatya, dugi lami dyah nggarbini,
sareng Ian gaJWa ngarsi , Sang Dyah Cempa mbobotipun,
lama prapteng diwasa, sangang candra nggen nggarbini, sang
Dyah kalih ing mangke nggerahi samya.
(28) Ambabar kakung sedaya, kang mijil Dyah Darawati, Kakung
Bagus keng suwarna, ingran Dyan Bondhanserati, ginadhang5 )
gumantya Ji, mring sudarma Jeng Sang Prab u, kang mijil
Ratu Wandhan, Sang Dyah kemaya kang siwi, nenggya ka-
(k. 91) kung kang warna bagus kalintang.
(29) Keng ibu seda kunduran, nata langkung emeng galih, ke-
gagas keraseng driya, kesthi sihnya garwa siwi, wus pesthi
bethara Di, mung sepa\a yuswa sang Rum , narpa tyas brang-
ta, linipur meksa tan lilih, mulyeng gerah ingantya cuwa ngas-
mara.
(30) Dumadya nir sihing putra, atmendra mijilken Jawi, pinaring-
ken juru sawah, kinen ngaku anak yekti, pacuhan dasih sami,
yen warta putraning prabu, mestu kang sinung sebda, juru
nembah lengser mijil, nata meksih katonton manising garwa.

... Xll. DHANDHANGGULA

(1) Jeng Sri Narpa latri nujwa guling, asupena panggih Sang
Dyah Wandhan, sawantah anunggil sare, mangun kasmarjeng
lulut, dugi pawor sajroning guling, kagyat wungu narendra,
lenggah tyas mangungun, kapeteg brangtaning nendra, Jeng
Sri N arpa sedalu tan angsal guling, natas wus d ugi rina.
(2) Narpa lenggah Ian Dyah (k. 92) Darawati, pan ingayap mang-

5) asline: kinandhang

161

gung plara-lara, kang badhe garwa pangrembe, driya narpa


tan lipur, mung Dyah Wandhan kang kempi guling, mang-
kyarsa ginambara, usadaning wuyung, kaleleran ing wigena,
nadarbe panyungging langkung winasis, anama Prabakara.
(3) Tanpa lupyan barang kang kinardi, wruh sakedhap netra
saged nggambar, migora pasemonjibles, nulya ngandikan mal-
bu, Prabakara tekap ngarsa Ji, Dyah Wandhan kinon nggam-
bar, gandes solah tembung, pacaking jangga sarira, tanduk
manis nata purwa nggen njarwani, kang katon jro supenan.
- (4) Prabakara sandika mestuti, wus denngengreng kinen nyung-
ging medal, nata laju minggah sare, mujung kampuh wu-
langun, ngeja mantra resmining putri, Dyah Wandhan kang
pinindha, pawor sarenipun, wungu sare mundhut gambar,
ponang gambar wus dadya sarta njiblesi, migora maya-maya.
(5) Lir pusaka ing Ngalengka purl, ingkang wasta Manik Danur-
wenda, juwata kang ngaryakake, (k. 93) Dewi Sinta tinurun,
duk Rahwana minggah mring swargi, Sang Prabu Brawijaya,
langkung tyas mangungun , Prabakara gya ginanjar, ponang
gambar binekta minggah aguling, tansah sinawang-sawang.
(6) Nata langkung ngalem dhateng sungging, nanging gambar
katetesan serak, ing mangsi celak pawestren, narpa· kagyat
tyas bendu, suryanira lir wora-wari, nguntar-untar ing driya,
hardaning pamuwus, kadya mecahna prenaja, kangjron tam pi
si sungging amejanani, "Keparat Prabakara.
(7) Apa wis wruh sedaleming nyamping, direng putri ciri si-
nung tandha, siji ana ndheng-andhenge," dukanira tan surud,
Prabakara yen ora mati , sinandi sinung karya, sang Nata arsa
wruh, isen-isen jro samodra, gifi parang mina nung Ian mina
alit , kinen nggambar sakirna.
(8 ) Prabakarna wus ngrasa bilai, unglampus ing tyas kumandel-
ing nalar, nora jinarang lupute, nadyan tumekeng lampus,
mati sahit pako- (k. 94) n nerpati, nuwun ampun tan angsal,
driya srah dewa gung, gya nyuwun

pranti kong gedhah, ran-
te panjang kertas pirang-pirang kodhi, kekakas wus mirantya.

162
(9) Laju kinen ngirid mring pasisir, Prabakara wus masuk kong
gedhah, anulya cinemplungake, lirih denira ngulur, samben
mina pating seliri, wus ginambar ing kertas, curl parang gu-
nung, kang aneng teleng udaya, saya dhasar mina geng-ageng
sawukir, wus tumrap ing migora.
(10) Wonten mina pendah arga siwi, tutuk ndhe1ak lir clangap
muara, muka kadya parang rejeng, netranya brit mawelu,
golar-galir 1ir banas pati, trisula mindha kilat, ngatimang keng
siyung, gundhala atap kumambang, kelap-ke1ap ilate jingga
kumitir, mungup pyarsaning guwa.
(11) Awak nengong pan datan kaeksi, mung mukane wau kang gi-
nambar, kong ge1as nedya sinerod, wonten parmeng dewa
gung, sareng lawan dhawuh nerpati, yen wus jang- (k. 95)
kep tri candra, kong gelas dinudud, tinarik kras prapteng dha-
rat, laju kentar Prabakara prapteng purl, nata tan arsa pang-
gya,
(12) amung gambar kang pinundhut Aji, pinariksa sang Nata tyas
eram, jro tasik isen-isene, sato kewan myang manuk, saisine
ang1enta sami, katimbangan sedaya, amung sanesipun, sungut
sisik 1awan angsang, tandya mriksa gambar muka angajrihi,
· angganya datan ana.
(13) Tyas sandeya kinen mriksa sungging, aturira wau kang dinu-
ta, pun Prabakara ature, "Mina langkung gengipun, awak
nengong boten kaeksi", sang Nata angendikas "Cuwa nggon-
._ sun ndulu", kate1ah dalah semangkya, ponang gambar ing-
aran Parong Cuwiri, tyas narpa tan lipura. (

(14) Nata nulya dhawuh marang P.atih, "Prabakara kinen malih


nggambar, ing \Viyat isen-isene, surya wulan kekuwung, lin-
tang teja (k. 96) myang lidhah thathit, sekare jumantara,
ginambara putus, si sungging yen tan sanggupa, pan sunlunas
seka nagri Maospait, tan arsa sunngabdekna."
(15) Patih mestu nembah lengser mijil, prapta Jawi panggih Pra-
bakara, ndhawuhken timbalan rajeng, "Andika tam pi dha-
wuh, karsa narpa nggeh dinten niki, kinon malih nggambara,

163
sawemaning luhur, sam pun kantos kaliwatan", Prabakara
mandheku Ion matur patih, "Nggih datan saged amba.
( 16) Sabab ulun tan saged wiyati, pendah nguni lir Sri Pancanaba,
saged ngumbara wiyate, tan kewran warneng luhur, jer
punika wus de\tva yekti, pan sanes Ian kawula" , Kya Patih
amuwus, "Andika yen tan sanggupa, Jeng Sri Narpa tan arsa
angaken abdi, tan klilan an eng J awa."
( 17) Prabakara angles jroning ati, awusana Ion saweceng patya,
"Yen mekaten karsa rajeng, amba klilan anyuwun, (k. 97)
kanthi miwah prantosing kardi, kinaryakna layangan, kang
geng kwawi ulun, sinunganakeng lentera, lamun dalu supados

sageda keksi, Ian kenur sapanjangnya."
( 18) Kyana Patih wangsul manjing purl, prapta ngarsa matur pa-
nuwunnya, Prabakara saature, nyanggemi karsa Prabu, na-
mung gadhah panuwun Gusti , layangan keng santosa, kenging
darnel mum bul, sang Nata legaweng driya, dhawuh aglis kar-
ya layangan wus dadi, kenur saprantenira. 6 )
( 19) Pinaringken dhumateng Kya Sungging, kinen ngundha ma-
dyeng pangurakan, juga bupati kang kinon, pinatah ngulur
kenur, prapteng Jawi seksana panggih, Ian Sungging Praba-
kara , myang kang badhe ngulur, Kya Patih ndhawuhken seb-
da, Prabakara sandika sanega null, saprantinya binekta.
(20) Wonten kadang Prabakara Sungging, juga sami tunggil karya-
nira, nenggya kang kinanthekake, Purbengkara ngranipun,
(k. 98) kalih samya wuse kang kapti, nglampahi karyeng na-
ta, nadyan tekeng lampus, Prabakara Purbengkara, sarembag
wus kalihnya anunggal kapti, marcapada delahan.
(21) Ri wusira ka1ih manjing telih, keng layangan gung wadya
tumandang, mangulur ponang kenure, prapta ler wringin
kurung, nulya wonten angin ndhatengi, sru nempuh mring
layangan, mumbulnya nut Jesus, dugi madya ing dirganta,
pan kaeksi saisining wana ardi, ginambar pan wus d~dya.

6) asline : sapraptenira

164
\

(22) Kenurira meksih denuluri, dupi prapta ing Giri Gundhala,


tan kandheg ndedel umbale, mega malang kapungkur, kaya-
nganing gelap kaeksi, ginambar pan wus dadya, kenur meksih
mulur, wus silem neng jumantara, duk semana nujwa surup
Sang Ywang Rawi, wau sang Prabakara,
(23) kendel nggambar gya andimik kang ting, mbuka tromol mi-
jilken sangunya, makanan kuwih ikane, her eteh kopi (k. 99)
candu, Prabakara wus kinen nyukit, kalih ngambil watangan,
sarwi mangku gembuk , nggennya ses sinambi nggambar,
dhawah wilet nyripit teh cinampur manis, ganda rum nrus
ing ngandhap.
(24) Mulur malih nggayuh mring wiyati, prapta ing bremara wila-
sita, unggyaning kumbang lelaken, keh katon wameng lu-
hur, abra muncar pating parelik, latri puput kenurnya, ku-
neng enjing Prabu, mariksa ponang layangan, wadya matur
sam pun puput boten keksi, gya dhawuh kinen nigas.

Xlll. MEGATRUH
(1) Ingkang kinon tumandang manigas sam pun, kenur pedhot ka-
tyup angin, kagyat tyase kang neng luhur, kalih ngraos te-
keng pati, a wit sangking karsa katong.
(2) Kang layangan ndedel separan nut lesus, sang kalih asru ma-
nangis, kang ketang mung garwa sunu, kesthi sajronireng
kingkin, "Adhuh nyawa Anak ingong,
(3) (k. 100) akeria dip inter ngawula ratu, mring sang Brawijaya
Aji, ingsun kang nglabuhi lampus, heh Juwata kang linuwih,
nyuwun tulung raganingong.
(4) Dasih ulun yektine tan dosa tuhu, de kawula pinrih pati,
Ian Sri Narpa Majalangu, kawulane amung titip, ingkang kan-
tun ngabdi katong."
(5) Kuneng ingkang masambat kawelas ayun, Prabakara lawan
Sungging, warnanen dewa swarga gung, kang marna jagad
sekalir, Sang Ywang Penyarikan anom.

165
,

(6) Dasih narpa ing yekti tan dosa tuhu, gya linggar sing marcu
aglis, jumantara gancang niyup, Iayangan pinegang aglis, bi-
nekta ngayangan karo.
(7) Prabakara mardana manguswa suku, Ian Sungging nut anga-
bekti, dwi ngartika jroning kalbu, Iamun jwateng ing swarga
di, Prabakara matur aion.
(8) "Dhuh Ywang uiun sin ten tuiung kawias ayun", Ywang Pe-
nyarikan nglingnya ris, "lng-- (k. I 01) sun dewa ing swarga
gung, Citragotra sinran carik, mring Ywang Nutipati ingong.
(9) Titahi~g Ywang salumahe jagad sagung, ingkang bener Iawan
sisip, satingkah manungsa tuhu, ya sun ingkang anekseni,
kang sisip miwah kang dados.
(10) Bener Iuput wus tinulis nglokil makpu1, karseng Ywang tan
ken a gingsir, muiane ya kita iku, Iabet mantep anglakoni,
ing sapangrehireng katong."
(11) Prabakara manembah sokur Ywang Agung, Ywang Citra
ngandika malih, "Mayo sunasungi weruh, margeng kamulyan-
ta benjing", tandya Ywang linggar sing enggon.
( 12) Prapteng pintu Junggrings1eka wus kadulu, nggen pingitan
Ywang Pramesthi, rerenggan wama kadulu, ing sajroning
swargan adi, Prabakara wus wespaos.
(13) Awusana mring Ywang Citra Ion umatur, "Ywang punika
nggih punapi, wami kadya kentheng ngiangut", Ywang Citra
ngandika aris, "Ya ika gadhuhan i- (k. 102) ngong.
(14) lngran Sastra siring dewa metu iku, lamun ana karya gati,
wektuning Sastra kang dhawuh, mring sagung juwata sami",
kang sinung ling awotsinom.
(15) Prabakara uning malih nembah matur, "Ywang punika won-
ten ma1ih, warn eng ndah renggannya man cur", "Ika rasa kang
kaeksi, rinarengga ing rukma byor.
( 16) J aladara ing nguni kagunganipun, putra Singge1a kekasih,
Bisawarna sekti punjul, kang bisa mlayu pribadi, dharat wi-
yat datan kegoh.

166
\

(17) Pan ing nguni ing purwa cariteng pungkur, duk Bisawarna
ajurit, Ian kadang Rahwana Prabu, wit Jaladara ingambil,
tan suka rinebat ing rok.
(18) Rame aprang gya sinapih mring Ywang Guru, Bisawarna ki-
non mukti, manjing dewa te1ung puluh, silih Komajaya wa-
ngi, Cakrakembang kang winengkon.
( 19) Prabakara kita sunjarwani tuhu, sunlilani kita kardi, jro kas-
wargan kang kadulu, roro iku sunwaleri, rata Sastra warna
roro.
(20) (k. 103) Ngentenana benjang akir jamanipun, yen Jawa na
ratu kalih, kinembar puraning Prabu, Bremana ingkang nga-
dani, aneng Jawa among katong.
(21) Heh ta uwis Prabakara jar.waningsun, sira balia tumuli, rna-
rang marcapada tumrun", Prabakara matur ririh, "Yen ma-
rengi karseng manon.
(22) Sampun eca wonten swargan sang Ahulun, boten ngraos atis
perih", Ywang Citra ngandika sendhu, "Prabakara nora keni,
yen tan antuk sihing Manon."
(23) Seksana glis sang kaJih pinegang gupuh, binuncang dhawah
lir thathit, sowang~owang dhawahipun, Prabakara dhawah
rumyin, wonten nagri ing Sepanyol.
(24) Purbakara nagri Cina dhawahipun, kalih wus sinungan luwih,
... sima manungsanya tuhu, anglangkungi sangking ejim, J awa
sabrang wus winengkon.
(25) Pan cinendhak sang kalih caritanipun, mangsuli ing Maospait,
narpa Brawijaya (k. 104) Prabu, nir d uka enget mring Sung-
ging, de tan sisip pinrih layon.
(26) Tri pandurat tan ngandika Jeng Sang Prabu, tyas kaduwung
ingkang karsi, mring Sungging dhawahnya rengu, tan sisip
pinrih kang pati, ngraos cobaning Ywang Manon.
(27) Awusana nata marang patih dhawuh, "Warise panyungging
kalih, kin en netepi kang lungguh", sandika kang sinung ang-
ling, Sri Natajengkar ngedhaton.

167
XIV. SINOM

( 1) Kuneng narpa Majalengka, Ni Randha Tarub winarni, kang


trustha amomong putra , wus lami datan winarni, glis ageng
ingkang siwi, misuwur ngran Jaka Tarub, warnanya gus jet-
mika, belaba alus kang budi, linulutan mring gung lare man-
ca desa.
(2) J aka Tarub winurcita, kemutra wan cine mangkirt, karenane
ledhang wana, tinut sagung lare alit, neng wuri datan tebih,
Dyan Jaka sembari nulup, wuluh ingkang kinarya, peksi ing-
kang alit keni, (k. 105) sam ben dina nggennya nulup supe

WISma.

(3) lbunya kelangkung susah, de putrane tan na keksi, tan dangu


kang putra prapta, ibu ngrangkul ngling wor tangis, "Dhuh
Putraningsun Gusti, marang ngendi nggonmu nglangut,
sa dina tan katingal, gawe rudahing tyas mami", putra weca,
"lbu kula sangking wan a."
(4) Kang ibu nebda jejarwa, "Adhuh nyawa Anak mami, bok aja
sira mring wana, mengko Kulup sunjarwani, ya alas kulon
iki, banget angkere putrengsun, tan kena kambahjalma, sato
mara mara mati, wis ja mindho bokmenawa nemu baya.
(5) Marenana sira lunga, nora hana suntingali, angur Kulup me-
mintaa, sepatute sunturuti, barang penganggo apik, kertep
jlebrah bludir kamus, lawan kamus kaperlak , renda sayed
padha apik , tetilare ramanira kurang apa.
(6) Keris cilik ya wis darbya, pendhoke topeng pinatik, barang
mainan mawama, a- (k. 106) tuk lelang seka Gresik, kuda
sasput pranti, lapak cuken slebrak bludru, sabobote wong
wong dama, mung maria lungan Gusti", putra weca marang
ibu abebana.
(7) "Mangke lbu ~ula pedha, tulup sangkuh wonten panti, war-
ni kados aprayoga, inggih darnel nulup peksi", kang ibu tyas-
nya dugi, yen wus diwasa kang sunu, Ion rinangkul kang pu-
tra, pan sarwi jinarwan ririh, sawusira tulup pinaringken pu-
tra.

168

(8) lbunya malih ngandika, "Wis diwasa sira Gusti, dedheng


mengko akramaa, ngendi estri kang pinilih, kartg warna ayu
kuning, atmane pretinggi dhusun, kang luhur anak demang,
panggih Ian sun sedya nyethi, andi nguyang jatine nontoni

srra.
(9) Sing endi kang dadi karsa, kang terus senenging kapti, sunla-
mare putraningwang, mumpung ingsun meksih urip, banget
nggonsun kepengin, kaya ngapa momong mantu" , putra
mangsuli sebda, "lbu (k. 107) kula dereng arsi, teksih tebih .
nggen kula ningali kenya."
( 10) "Kulup sira yen tan arsa, apa krama widadari, Wilutama swar-
ga loka, dene manungsa tan arsi", putra saweca aris, "Kados
boten keng puniku, mangke lun dereng arsa, sawek remen
nulup peksi", bu sumarah tan saged ngimur ing putra.
(11) Pan ngantya surup Ywang Arka, Bok Randha nggen njarwa
siwi, tan keguh tyasireng putra, warnanen byarira enjing,
Dyan Jaka kentar aglis, sarwi ngangking tulup sangkuh,
wasiyat dattneng tapa, wami braja sangguh mandi, manjing
wana pribadi datanpa rowang.
(12) Sapraptanya wana pringga, Dyan Jaka nulya miyarsi, peksi
munya geng kang swara, tanduk ukung anglir gendhing, jang-
kep catur sastraning, ketekungnya kraseng kalbu, Radyan
' kesmaran myarsa, peksi nulya denprepeki, ingayatan peksi
.... kendran sangking prenah.
( 13) Kang peksi semu anggodh~, wau marang sang Apeki- (k. 108)
k, nggen alihan datan tebah, manggung pinran mangendra-
ni, ngalih-ngalih tat:t tebih, Dyan Jaka nut paranipun, kuneng
ingkang winam~1 tlaga madyeng ing wana dri, pan puruka
padusane widadarya.
(14) Yen nujwa ri Gara mulya, widadari nggennya prapti, tenga-
nge wancining surya, panca sang Dyah kang pengarsi, citra
sami yu luwih, jalmeng rat sor kang samya yu, mung ampase
kiwala, mumine neng widadari, sing wyat tumrun ganjret-
ganjret prapteng tlaga.

169
,

( 15) Njlog tedhak tepining tlaga, nglukari busana sami, pinemah


neng tepi tlaga, ngaJja pasatan cuweni, ngangrangan neka war-
ni, alusing wastra acampur, dyah ukel ingudharan, sareng
nggennya ambyur warih, tirta temah sarah 1ayon puspa wida.
· ( 16) Luntur wida dyah kosokan, Gagarmayang Mayangsari.. rakit
gentya kekosokan, Gagarmayang Mayangsari, Surendra Ian
Sukarsih, Nawangwulan datan ayun, pribadi nggen ko- (k.
109) sokan, dyah catur kasukan warih, aceciblon nut gen-
dhing pinindha gangsa.
(17) Catur nir wadining kenya, suka sesiratan warih, wonten dyah
kang ambek priya, duk uning wadining estri, greget tyas ang-
yekteni, aglis nyemol kang prembayun, kang darbe girap-
girap, girap prana nggen malesi, kenging wadi ciniwel sang
Retna njola.
(18) Wamanen Dyan Kidangtlangkas, kang brangta nututi peksi,
kelurung neng madyeng wana, peksi sima wus tan keksi,
dangu ical ing lari, Dyan Jaka anulya ngrungu, swaraningjal-
ma kenya, guywan main wonten beji, Radyan nulya ayun
nginjen dyah kang siram.
( 19) Tindak mindhik ling an wreksa, prapteng prenah mepet Ian
. wit, ing sasoiah wus waskitha, mring wantahe kang dus wa-
rih, pasatan kraket wentis, ugi kawon wantah sang Rum,
dyan tyas tanpa jamuga, lir pejah sajroning urip, uning
gebyar wadining dyah kang a- (k. 11 0) siram .

(20) Enget ngartikeng werdaya, mangundikaning ga1ih, "lki baya
estri apa, apa peri dhemit ejim, sunduga widadari, de wama-
ne padha ayu", Dya.p dangu lingan wreksa, kadya remeka
kang uwit, kang asiram dahat tan wonten uninga.
(21) Rena dangu lumban tirta, cuwani keraket wentis, apan ka-
dya tan pasatan, ngieia karya gyuh ing galih, nut Iembakireng
warih, dyah tan ana wekeng kalbu, Dyan wimbuh-kawim-
buhan, kadya saresmi Ian uwit, sangking tresnyuhing driya
dyan sambet pejah.
(22) Pangartikaning werdaya, "Kaya paran solah mami, nggon ing-

170
\

'

sun bisa pepanggya, Ia wan sang Dyah salah siji, laju sunkarya
rabi", dyan nempuh byat ngesthi edur, gya nguthik kang
rasukan, kenging kang tumumpang nginggil, kaleresan agem-
nya Dyah Nawangwulan. .
(23) Wusnya dyan lirih undumya, kang siram tan ana uning,
Dyan Jaka glis nggennya linggar, (k. Ill) pan sarwi nggem-
bol kelambi, gancang ing wisma prapti, ibu pawong tan na •

kang wruh, njujug nglumbung Dyan Jaka, nyilibaken ponang



klambi, pinrenah wus neng ngandhap pantun tumpukan .
(24) Dyan Jaka gya manjing wisma, mendhet sinjang kang samya
di, tan siwah Ian rasukannya, belah banten sutra lurik, kan-
cing rus pitu sisih, myang sumekan sampuripun, sedaya sa-
mi sutra, kinendhut datan ketawis, Radyan kentar sumedya
nganthi sang Retna.

XV. KINANTHI
(1) Glis prapta tlaga wana gung, alon tindak mindhik-mindhik,
dupi celak dyan rumangkang, nyarpa dumung awor siti, am-·
pingan wreksa waunya, nggennya nginjen kang dus warih.
(2) Warnanen kang samya adus, dyah catur ngartika sami, mam-
bet gandanireng jabna, sareng mentasnya wiragi, sangkep
gancang angumbara, ndedel nggayuh ing wiyati.
(3) Sakeclap wus tan kadulu, pra dyah kayangannya prapti,
mantuk prenah sowang-sowang, (k. 112) de sajuga meksih
karl, angum aneng toyeng tlaga, ica1 bajune sang Dewi.
(4) Mila dyah tan saged mabur, saenggane kadya peksi, lumpuh
ical penjawatnya, tambuh solahe sang Dewi, kusuma yu
Nawangwulan, minggah tumrun manjing warih.
(5) Amuwun sedalam kalbu, Nawangwulan sang Retna Di, ngun-
andika ing werdaya, "Dewa tulungana mami, nora wurung
sun palastra, an eng ~ad ya ing wana dri."
(6) Dadya pratignya sang ing rum, ngandika kawedhar nglathi,
"Sapa baya tu1ung mring wang, anutupi wirang mami, kela-
I

I 171
..

mun jalmane kenya, yen meksih nom iya mesthi,


(7) yekti sunaku sadulur, marcapada prapteng akir, yen tuwa
sunaku yayah, lamun priya kang sujalmi, yen nom dadi sau-
• dara, ja pisah ing donya ngakir,
(8) iya lawan jeneng ingsun, yen tuwa sunaku darmi, ngawal
akir datan siwah", Dyan Jaka duk amiyarsi, ing pratignya
sang Kusuma, kumenyut rao- (k. 113) sing galih.
(9) Nulya dhehem getir juruh, sang Dyah kagyat sareng uning,
tyas kumesar terataban, ngraos kamanungsan keksi, nging
esmu katujweng driya, arsa mungkur denaruhi.
(10) Dyan Jaka ngling tanya arum, "Nggih panduka tiyang napi,
dene won ten jroning tirta, madyeng wana langkung werit",
Ion ngandika sang Kusuma, "Nggih manira dede jalmi,
( 11) widadari swarga tuhu, pan tinilar rowang mami, sekawan
sampun ngumbara, mantuk kayangan swarga di", Dyan Jaka
ma1ih wecana, "De andika widadari,
( 12) tan saged ngumbareng luhur", dyah tumungkul Ion dennya
ngling, "Mila amba datan wignya, nggih ical rasukan mami,
kerangkut kabekteng rowang, tan wonten mangsulna mriki.
( 13) Widadari limrahipun, yen ical bajune mesthi, tan saged mi-
ber ngawiyat, balik panduka puniki, manungsa wonten ing
wana, sinten sinambating krami.
(14) Lan tedah minangkanipu- (k. 114) n", Dyan Jaka pasrangka-
ra ngling, "Yen panduka tanya amba, Kidangtlangkas wasta
mami, ing Tarub wisma manira, kang mbawahken tlaga
ngriki.
(15) BaJik amba tanya sang Rum, nggih ta sinten kang wewangi",
sang Retna alon saweca, "Nawangwulan nama mami", Ki-
dangtlangkas malih nebda, "Paran karsa dika mangkin.
( 16) Wonten madyaning wana gung, tanpa rowang mung pribadi",
kang sinebdan manempuh byat, ngenirken wadining estri,
Jon saweca nujeng prana, "Yen sembada Ia wan karsi,
(17) sampun tanggel sang Abagus, tulunga mring awak mami,

172
nasabi ing kawlas arsa", Dyan Jaka nglingira aris, "Gampil
I
Y ayi kang wicara, sagah dereng angyekteni.
(18) Lamun wonten jangjenipun", Nawangwulan weca manis,
"Yen panduka welas mring wang, manjinga sudara wedi, nga-
wal akir sam pun pisah", Dyan J aka mangsuli aris.
( 19) "De sepele jangjenipun", ngandika malih sang Dewi, "Mangke
ujar kang punapa", dyan weca prana piningi- (k. 115) t,
"lnggih yekti darbe amba, busanane tyang pawestri.
(20) Sun pantes gadhanganipun, benjang karya matut rabi", dyah
tanggap panglungit nebda, "Nggih ngemungna mitra yekti",
Dyan Jaka ngling esmu ewa, "Yen tan pethuk rembag Yayi,
(21) nggih amba pan arsa mantuk, panduka kantuna beji", dyan
kumepyur ing tyasira, yen arsa tinilar mulih, gyuh tyasnya
sosonggen nebda, "Bok mangke disabar karsi.
(22) Rinembag ing saenipun, dinedya amrih basuki, yen tan pa-
reng nggih binucal", d yan wangsul pan sarwi angling, "Ing-
gih ta kadi punapa", dyah tumungkul ngartyeng galih.
(23) "Yen ta tan nuruti ingsun, kaya paran wekasaning, tan wu-
rung sun matyeng wana, tan na kang ngulati kami, baya wus
pesthi ragengwang, marang dewa kang linuwih.
(24) Kramantuk manungsa tuhu, nom pekik tembunge manis,
lawan kang ndarbeni bawah, tlaga lebak wana wukir" , dangu
minggu dyah kawentar, sanetya co- (k. 116) ndhong ing
.... kapti.
(25) Merang esomya sinamun, saweca "Nggih ndherek karsi",
Kidangtlangkas nulya mbuka, wastra di kinendhut rempit,
sarwi mesem Ion sebdanya, "Punika wastrane Y ayi,
(26) nyamping baju lawan sampur, mrecapada wus pinilih, Yayi
nunten busanaa", kang wastra sampun tinampin, sang Dyah
sarwi angujiwat, sedhere 1ir Pasopati.
(27) Kumeclap prana mring kakung, sareng pagut ing panglir-
ing, dwi sub rempu driyanira, ri wusnya ngarja sang Dewi,
lir Supraba kendra prenah, Ian sang Parta apepanggih.

173

• •

• ,

(28) D~k prang Ian Newata unggul, Aijuna kondur saiimbit, Ian
Sang Ayu Dyah Supraba, samarga mangenggar galih, wau
Sang Dyah Nawangwulan, lampah marga tan winarni.
(29) Prapta wismanira sampun, Bok Randha bingah tan sipi, de
kang putra wus akrama, antuk widadari luwih, laju Randha
- boja krama, mreteni kadange sami.
(30) J alma Tarub keh kang rawuh, (k. 117) tur-atur pasumbang
gili, dupi surup Sang Ywang Arka, kagentyan padhanging
sasi, kakung raket ngimur garwa, neng tilam tansah sinan-
dhing.
(31) N awangwulan sang lir san tun, minggu m bombrong neng ji-
nem mrik, kegagas keraseng driya, pisah rowang yayah danni,
raka ngraket ngimur sebda, "Dhuh mirah pepujan mami,
(32) sesotyane swarga luhung, kang memba retna ingukir, tetung-
gule waragana, sunpraja dadi Mas Gusti, dinadhuhken Kidang-
tlangkas, mung Gusti mantuna kingkin.
(33) Sampun ketang darma lbu, mung ketanga ingkang abdi,
Kidangtlangkas nahen brongta, datan liyan kang paring sib,
kejawi panduka Mirah", sang Dyah mesem nedha tiring.
(34) Kumeciap mranani kakung, raka tan deraneng galih, dyah
sinambut ingarasan, sam bat ngeses tangkis weni, kakung ngra-
suk ngungkih prana, dyah kacundhuk tikswa lungit.
(35) Kalenggak sambatnya lampus, katemben tinujweng resmi,
wudhar resmi tan kinandha, pasihane kakung pu- (k. 118)
tri, wine tara dugi lama, Sang Jaka Tarub ngge.n krami.
(36) Sang kalih atut aruntut, sang Dyah nulya anggarbini, anut
kedhep sepuhira, wetawisnya sangang sasi, ing semaya sam-
pun dugya, mbabar putra miyos putri.
(37) Gumilang keng cahya mancur, mencorong lir pendah sasi,
rama ibu langkung sihnya, keng putra sinung wewangi, Dyah
- Nawangsih kang wamendah, Ian ibu sorote sami.
(38) Tan winama lamenipun, Kidangtlangkas gyannya siwi, putra
tansah neng embanan, yuswanira Dyah Nawangsih, apan la-

174
\

- • '

gya tigang candra, ingemong dening sudarmi.


(39) Marengi kang putra muwun, sinusulken ingkang siwi, mring
ibunya Sang Dyah Retna, anujwa bethak sang Dewi, lagya
sonya kang pawongan, nanggel putra muwun seni,
(40) Sang Retna wecana arum , marang raka sang Apekik , " Nggen-
lun adang dika tengga, anging sampun salah kardi, amba
ngundangken pawongan, dhateng beji dereng mulih."
(41) Wusnya (k. 119) gya kentar sang ing rum , marang tlaga ngem-
ban siwi, karsa nusul cethenira, sarwi nyangking popok siwi,
warnanen raka neng wuntat, dumadya nrak waler Rayi.
(42) Baya wus karseng Ywang Agung, raka nggennya anenggani, ..
nggenira adang keng garwa, seksanarsa dentuweni, kang
kekep alon siningkap, jro kukusan tanpa isi.
(43) Estu tan wonten brasipun, mung isi pantun sawuli, R adyan
esmu kagawokan, kekep winangsulken aglis, nengna ingkang
nengga adang, warnanen kang marang beji.
(44) Nawangwulan sang Retna Yu , asiram mbersihi siwi, seda-
ngune sang Dyah siram , wonten kang keraos galih, osiking
driya sang Retna, "Pa ki omah salah kardi."
( 45) Wusnya gya kentar sang Ayu , esmu gancang nggen lumaris,
prapta dalem pangguh raka, pan sarwi nggentyakken siwi,
wus kendel datan karuna, gya ingemban ram a ma1ih.
(46) Binekta mring dalem ngayun, wuwuse- (k. 120) n wau sang
Dewi, adangu nggenira bethak, kelan sarwi nggegorengi,
nggennya adang Ion binuka, kagyat sang Dyah sareng uning.
( 4 7) Kamanungsan sektenipun, kang pari wetah sawuli, sang Dyah
njenger datan nebda, seksana tanya mring laki, "Napa dika
salah karya", kang raka mangsuli angling.
(48) "Nimas ingsun ora ngganggu", nging sang Dyah tyasira run-
tik, "Baya wus karsaning dewa, datan nggugu ujar estri, diage
dika karyaa, lesung darnel nutu pari.
( 49) Karsa dika nggih puniku, tan mituhu mring jar mami", se-
mangke lesung wus dadya, nglampahi nggentang sang Dewi,

175


-
pari salumbung meh brastha, sang Dyah langkung kawlas
asih.
(50) Mung raka ingkang tinutuh, tan kawedhar mung jro galih,
tan winama saya lama, nggennya bethak cara jalmi, langkung
boros tlasing beras, labetnya mbelah kang galih.
(51 ) Sabatihnya apan tum us, tan kena sa bar kang bukti, pan tun
salumbung meh telas, kang rasukan nulya panggih, glis i-
(k. 121 ) ngagem marang sang Dyah, antrakusuma sing swargi.
(52) Sang Dyah ing tyas kanggeg ngungun, lir ginugah ingkang run-
tik, nir dyah trisneng garwa putra, mung ketang cidraning
laki, sang Dyah ngunadikeng driya, "De tan slisir cipta mami.
(53) Katitik ing dhusthanipun, kumbi nyeler klambi mami" ,
langkung runtik sang Kusuma, gya kang raka denprepeki,
mit sing laki ngaras putra, "Ki omah kantuna arji.
(54) Disaged momong kang sunu, amba ayun mantuk swargi, pan-
duka kelawan amba, wus pinesthi Bethara Di, dika pisah
lawan kula, pandukantuk widadari,
(55) dursila cara marang sun, remen karya wirang mami, kumbi
suntiti tan weca, mangke sami dum basuki", raka angling ang-
rerepa, "Apuranen ingsun Yayi.
(56) Tolehen Gusti putramu, yen katilar priye mami, tan bisa
· amomong putra'', kang garwa tinubruk aglis, dyah kendra
laju nggegana, raka kantun sru manangis.
(57) Lamun tinon amla- (k. 122) s ayun, sesambate lir pawestri,
" Ad huh Mirah Gusteningwang, kay a paran polah mami,
wong priya amomong putra, nora bisa ditangisi.

(58) Mirah welasa putramu, sapa baya kang nesepi, baya lagya ti-
gang candra, becike gawanen Yayi, dimen ageng putranira,
• •
supaya panJanga unp.
(59) Yen wis ageng putraningsun, Y ayi paringena malih, ya sun
ingkang amomonga", mojar Retna Nawangsasi, "Lamun mu-
wun pantra dika, karyakna panggung kang inggil, ·
(60) pun rara inggahna panggung, Ian mbesmia menyan amrik,
176
\

..

1awan merang ketan kresna, kinutugna neng ngandhaping,


estu kula nunten prapta, pun rara amba sesopi.
(61) Sampun sumlang yen amuwun", wusnya ngling sima sang
Dewi, dangu kec1apireng kilat, kang tinilar aprihatin, tyas
mangu gyuh among putra, wawasen kang minggah swCU"gi.
(62) Lan pra widadari pangguh, Nawangwulan gya tinampik, tan
kenging wor widadarya, (k. 123) de mangke sampun sesiwi,
Ian titahing abethara, dyah merang wangsula malih.
(63). Nanggung arsa karseng sang Rum, kelangkung lingsem ing ga-
lih, tansah mangu neng dirganta, tumrun tasik tyasnya king-
kin, muwun netah kang sarira, derwaya badra dres mijil.

XVI. MIJIL
(1) Tan winarna ingkang anilar sih, nenggya sang lir sinom,
Nawangwulan kang nilar putrane, pan ingemong mring rama
pribadi, langkung kawlas asih, Ki Ageng ing Tarub,
(2) Embah sengkal ing driya wiyati, dene putra wadon, meksih
timur tinilar ibune, mring kayangan ing kawidadarin, mila
gung rudatin, tan kenging sinusul.
(3) Nanging wonten ecane kang galih, narimeng Sukma Non,
duk muksane kang garwa welinge, lamun putra anuwun ke-
pati, kinen nginggahna mring, panggungan keng luhur.
(4) Kyageng Tarub semangke akardi, panggungan wus dados,
samben-samben amuwun putrane, (k. 124) nginggahaken
mring panggungan inggil, mrang kutug dupa mrik, kume-
lun mring luhur.
(5) Nrus ngawiyat kang ganda dupa mrik, mangkana sang Sinom,
samben mambet kang ganda dupane, gya tumurun mring
panggungan prapti, nesepi kang siwi, yen wus tuwuk wang-
sui.
(6) Kyageng dugi putra wus tan nangis, gya nginggahan gupoh,
putra nulya ingemban sira ge, binekta wus tumurun kang
siwi, 1angkung sukeng galih, Ki Ageng ing Tarub.
177
..
(7) Samben-samben mangkana kang siwi, lami tan winuwos,
enggal ageng ing Tarub putrane, dugya wanci dyah rumaja
putri, danna saya kingin, dyah tinilar ibu.

. - (8) Warneng putra lir ibu tan kalih, sami yu kinaot, liyep nglin-
dri sang Retna semune, citra nawang purnamaning sasi,
tuhu yen yu luwih, dadi panjang kidung.
(9) Yen cinandra warnanya sang Dewi, wedana mencorong,. ka-
dya emas sinangling sorote, melok-melok lir candra ndha-
dhari, pada meded tri- (k. 125) ncing, pengadegnya runtut.
( 10) Driji nglayung nglungit amucuk ri, srenteg sedhet sengoh,
mung samadya sang Retna pambeke, esmu ruruh gandhang
sebda manis, mrak ati ngembahi, solah bawa sang Rum.
( 11) Tinon kadya kang cithakan rukmi, siningi mencorot, nawon
kemit sang Retna madyane, kang alagya gumana respati,
wiraganya manis, luwes solahnya Ius.
, •

( 12) Lathi damar lir rengating manggis, menger-menger tinon,


micis watah sang Dyah sesinome, pengarasan anduren saju-
ring, grananira ngrungih, pindha mas binubut.
( 13) J angga ngluP-gil-:g gadhung ngrespateni, tuhu yen kinaot,
pamidhangan nraju mas isthane, asta lurus anggandhewa
gadhing, tindaknya sang Dewi, nyima 1uwe mungguh.
( 14) Netra kocak ngembar1ean nglindri, sinian bayu ijo, ting
karencang mungging pangrasane, renyep-renyep liring maso-
pati, cahya sorot dum1ing, sumotya (k. 126) ngenguwung.
(15) Kang larapan anye1a cendhani, imbanya dyah karo, nanggal
ping tri idepnya tumegeng, rema memak ngandhart-andhan
wilis, muyek ngrespateni, tan kena winuwus.
( 16) Dugi pangrengganya

sang Retna Di, Kasihan sang Sin om,
dinugekna sang Retna citrane, nelasena daluwang sakodhi,
nadyan wewah· malih, sakendhang tan putus.
- ( 17) Kirang candra a pan langkung warni, wau sang lir sin om,
pan pinunggel cinendhak kandhane, kuneng gantya wau kang
winarni, Kyai Juru Sabin, kang mong putra Prabu.

178


\


( 18) Bondhan.gejawan wangi sang Pekik, mangsuli cariyos, dri


narendra kala duk waune, nandhang gerah sanget Sri Bupati,
rajasinga nguni, supe miyos Prabu.
( 19) Pan ing dalu won ten swara dumling, sung jarwa mring katong,
"Yongyeng u1un kita Kaki Rajeng, lamun arsa kita mulya
sakit, nunggala saresmi, kenya Wandhan ayu.
(20) Kang anye1e warna (k. 127) sorot kuning, turuten jar
ingong", tandya sima kang sung swara raj eng, nata kagyat
wungu nggennya guling, wus kadugeng galih, kang sung swa-
ra dalu.
(21) Estu lamun juwateng swarga di, sung marmeng pitudoh, na-
ta enget darbe pawongane, beboyongan putri Wandhan Ku-
ning, wamanya yu luwih, sapengadeg runtut.
(22) Mung sajuga cacatnya sang Dewi, rema bontit nyrodok, na-
nging sang Dyah dadya pepantese, slira srentek ngawak dara
trincing, ngembahi mrak ati, dyah sasolah jumbuh.
(23) Cinengkraman sang Dyah mring sang Aji, sapisan dumados,
mulyeng gerah trustha galih raj eng, m ulyeng nata tan anta-
reng lami, Sang Dyah Wandhan Kuning, nggarbini kadulu.
(24) Prapta sangang candra anglenggahi, gya mbabar sang Sinom,
miyos jalu apekik warnane, putra bersih ibunya ngemasi,
konduran kang margi, duk katur ing Prabu.
(25) Nata kapita gepah miyosi, (k. 128) marang dyah kang layon,
para cethi tambuh ing solahe, narpa lumyat langkung emeng
galih, kegagas kaesthi, langkung wlas ing sunu.
(26) Wus pinesthi ing bethara luwih, karsaning Ywang Manon,
yusweng garwa pan namung sepele, putra lola tan uningeng
bibi, karya wlas kang uning, kegagas sang Prabu.
(27) Saya brangta kesthi mring kang lalis, linipur katonton, gya
kang putra kinen nebihake, pinaringken dhateng Juru Sabin,
driya aywa wigih, dikadyanak tuhu.
(28) Lan pacuwan yen ana kang warti, yen dyan putra katong,
Juru Sawah sandika ature, lama pan wus dugya ing semang-

179
kin, diwasa sang Pekik, langkung sih Ki Juru.
(29) Gengnya wanci kumela sang Pekik, cahya mbah mencorong,
nedheng lagya brai busanane, solah bawa teka ngrespateni,
• tuhu njungkar angin, karya brangteng ndulu,
(30) Dadya tebih kondhanging gung jalmi, kasosreng pa- (k. 129)
wartos, prawan lanjar prapta brangta ngenger, n~dyan sami
priya keh kang prapti, warok Pranaragi, ngluruh mring
· dyan sunu,
(31) prapta atur busana agili, mrih rena sang Anom, wastra rukma
miwah klangenane, sata peksi keng swara geng dumling,
wonten prapta ngabdi, ngran wus Warok Bukung.
(32) Sangking papa mung kedah kinasih, mring dyan wigya
among, atur srameng mung kateguhane, wus tan pasah tila-
sireng kikir, templek sara mimis, penthung tibeng putung.
· (33) Karya sendhon kidunging pangrepi, kakung miwah wadon,
barang sebda tan supe mung Raden, ing Gejuron sang Naren-
dra Siwi, saya em bah manis, srengkaraning kidung.

XVD. DHANDHft~'!t;GULA
....
( 1) Pan warn an en wau J uru Sabin, mulat mring dyan mangke
wus diwasa, sib tresnanya nrus driyane, marang dyan narpa
sunu, garwanira Nyai tumut sih, rinojong sakarsanya, tyas
ajrih wor lulut, tri- (k. 130) snanya lir putra yoga, Kyai Juru
· amisik marang ing rabi, alon ing sebdanira.
(2) "Nyi sun arsa ngaturke bras nuli, kawruhana nakira Ki
Bondhan, sira wis wruh ing adate, yen uning mesthi klayu,
kudu arsa wruh jroniug nagri, pan ora kena pisah, Ki Jaka Ian
ingsun, mumpung lagi lunga dolan, tungkulena" seksana Ki
Juru Sabin, sanega sabektanya.
(3) Sedayanya nak putu kinerig, kang ambekta rembatan uwos-
nya, gung jalma kang sami tanen, gya kentar Kyai Juru,

sarowange tan kena keri, wamanen Radyan Bondhan, ge-
jawen keng kantun, prapta kliling tanya bapa, anauri Nyai ·

180

--
\

Juru pan esmu jrih, "Ya Ngger sudannanira,


(4) ngaturke bras marang ing negari, nora suwe mengko nuli
prapta", Dyan Jaka sru ing wuwuse, "Biyung sun arsa nusul,
mring si Bapa marang negari" angling Nyi Juru Sawah,
"Angger aja nusul, tan ana rowangmu (k. 131) nyawa, a pan
adoh negara ing Majapait, samar aneng ing marga,"
(5) Radyan nulya lumayu pribadi, karsa nusul ramanya mring
nagra, datanpa rowang lampahe, neng marga tan winuwus,
-
lampahnya dyan nagri wus prapti, njujug ing Pagelaran, Ki
Juru datan wruh; Dyan Bonqhan lendhetan pundhak, ya ta
kaget Ki Juru serowang sami, yen ingkang putra prapta .
.
(6) Lon tinanya marang Juru Sabin, "Adhuh nyawa sapa rowang-
ira", Radyan alon ing wuwuse, "Mung dhewe nggonsun nu-
sul, sun arsa wruh sajroning purl, Ian arsa nabuh gangsa, kang
kongsi jumenggung, Sekardlima Keboganggang, Bapa iku ka-
beh gangsa sun pribadi", mlengak Ki Juru Sawah.
(7) Tebah jaja gumragap denny a ngling, "Adhuh Angger dadi
apa ingwang, mesthi sira sun pinaten, marang Kangjeng Sang
Prabu, myang baturmu tan ana urip", dyan sarwi ginendhol-
an, kyat bapa sinikut, (k. 132) Ki Juru tiba kalumah, sam pun
laju Dyan J aka lumebeng puri, tan ana kang uninga.
(8) Nayaka mantri sagung prajurit, kang akemit sami datan wi-
kan, mring Dyan Bondhan ing lebete, sareng prapta gya lung-
guh, Radyan Bondhan neng bangsal alit, unggyannya ponang
-- gangsa, seksana tinabuh, gangsa pun Sekardalima, sisihira
Keboganggang sru tinitir, kagyat wong dalem pura.
(9) Nata myarsa dukanya tan sipi, wedana brit pan kadya sine-
cang, kumedut padon lathine, kras nebda Jeng Sang Prabu,
dhawuh marang niyaga estri, "Ge bocah pariksaa, sapa wonge
nabuh, gong sungsun Sekardalima", tur sandika glis kentar
niyaga estri, lampahnya gegancangan.
( 10) Gangsa meksih tinabuh tinitir, niyagestri wau sareng prap- -
ta, tiningalan lamun lare, kang nabuh gangsa umyung, sarwi
lungguh neng kanthil gadhing, tangan amalang kadhak, du-

181

(k. 133) ta sareng muwus, "Sira iku bocah apa, nabuh gang-
sa sarta lungguh kanthil gadhing, pan ngendi omahira.
( 11) Dene sira ndadak wani-wani, nabuh gangsa kagungan naren-
dra, baya sira wis untu~ge , kinisas marang prabu, dene
bocah bosena urip, sira anake sapa, Ian sapa aranmu", nauri
Rahadyan Bondhan, "Pan ya ingsun anake Ki Jwu Sabin,
si Bapa aneng jaba.
(12) Jar sun nabuh gangsa sun pribadi, ya aturna marang Sri Na-
rendra, yen kang nabuh gangsa ingong", dutestri tandya
wangsul, samya ngungun sajroning ati, sapraptanireng ngarsa,
dutestri umatur, "Sampun Gusti lun mariksa, ingkang nabuh
kagungan gangsa dewaji, lun tanya aturira, •

(13) anakipun Kyai Juru Sabin, meksih lare sepangen ageng ya,
keng warni Iangkung baguse, ing mangke bapakipun, Juru
Sabin wonten ing jawi", sang Nata sareng myarsa, kraos da-
(k. 134) 1em kaibu, wusana nir dukeng nata, esmu mesem
Brawijaya Sri Bupati, Ion nebda mring pawongan.
(14) "Age sira metua pribadi, bapakane sira timbalana, iya marang
ngarsaningong", pawongan wisata wus, jawi panggya Ian
Juru• Sabin, duta ndhawuhken sebda, nggeh nedha IG Juru,
"Pekenira angendikan, mring narendra" geter tyase Juru Sa-
bin, tan ngraos darbe gesang.
( 15) Gugup kerit lawan duta estri, Juru tekap ing byantara narpa,
1ir konjem kisma mukane, rum nebda Jeng Sang Prabu,
"Anakira lumebeng purl, apa ta mengko sira, kang akon
malebu", umatur Ki Juru Sawah, sarwi nembah, "Kawula
boten udani", sang Nata malih nebda.
(16) "Yen mengkono Juru nakmu nuli, timbalana kaya pa kang
warna, iriden mring ngarsaningong", sandika nembah mun-
dur, prapteng jawi ngungun ningali_,kang putra pinarpekan,
Radyan panggih 1ungguh, mungging kanthi- (k. 135) 1 nabuh
gangsa, pinelayon rinangkul sebdanya ririh, "Ngger sira
angandikan,
( 17) iya marang Kangjeng Sri Bupati, payo enggal aja kelalayat-

182

-

\

an, antuk siku yen kasuwen'', Dyan .J aka nulya tum run, ke- _

rit marang Ki Juru Sabin, satekap ing byantara, narpa sareng
ndulu, mesem ngunadikeng driya, "Bocah iki tan geseh Ian
Bondhansrati, bagus cahyane timbang."
( I8) Wusnya nuiya ngandika sang Aji, "Sapa rane Juru anakira",
kang sinung ling nembah weceng, "Tan ngantos ulun asung,
sampun mundhut nama pribadi, nami Bondhan-gejawan",
mesem Jeng Sang Prabu, wusana rum angandika, esmu wadi
nggen ndhawuhi Juru Sabin, "Peraka ngarsaningwang."
(19) Nembah majeng wus celak Ian Aji, Juru Sawah nuiya bini-
sikan, wewadose karsa rajeng, "Majalengka wis sepuh, mula
sira ingsun jarwani, samengko karsaningwang, sira ingsun
utus, pu- (k. 136) traningsun Kaki Bondhan, singkirena seka
nagri Majapait, ya Juru wruhanira,
(20) pan meh bedhah nagri Majapait, jer wus tetep anglungguhi
jaman, satus taun gumantine, swargan dewa kang tinut, sang
Gumarang sirnaning sikil, Ian kasor unggul ing prang, Wisnu
rambut cuiung, tinerusan lambang jangka, Eyang Prabu ing
Galuh Banjaransari, nguni merwaseng ajar.
(21) J ayabaya wus tan ken a gingsir, putraningsun iya ngenger-
ena, Ki Bondhan-gejawan mengko, nguni sun darbe karuh,
pawong mintra amangun teki, dhedhukuh madyeng wana, Ki
Bayi ing Tarub, iya pasrahna ing kana, putraningsun jebeng
Tarub wis udani, terns pangidhepira.
(22) Ngreh ta mangsa bodhoa Ki Bayi, Tarub uga wijiling atapa,
wis wruh gaib sadurunge, dienggal ing Iakumu, kaya sira nora
menangi, rusaking Majalengka, wirayating nujum, pamung-
ka- (k. 137) s sun mengku ing rat, dudu liya kang mbedhah
ing Majapait, meksih talersun uga."
(23) Nembah matur Kyai Juru Sabin, "Sinten ingkang purun pan-
dukendra, de narpa digby a kinaot, ngrat J awi wradin nung-
kul, tuwin sabrang sami tur bekti, mangrengeng Jeng Sri ·
Narpa, sungkemnya sumuyut, tan wonten purun malanga",
malih nebda sang Nata mring Juru Sabin, "Karseng Ywang

183

nora kena. •

(24) lya besuk ingkang nggenti waris, anakira si Bondhan-Geja-


wan, benjang saturun-turune, ngrat Jawa kang amengku,
miwah sabrang kabeh sumiwi, putrengsun Kaki Bondhan,
kang ndarbeni turun, mengko null lumakua, enya iki si
Bondhan ingsun paringi, kris pusaka sakembar.
(25) Kang sawiji nguni seka patih, Jangkungpacar sunlih ngrane
lama, Kyai Culik ya jenenge) sijine Jaka Mendhung, iya
nggonsun yasa pribadi, mlela pengawak waja, nggonen co-
then pa- (k. 138) tut, lawan iki maneh sotya, rong kembaran
dadi tandha putra mami, nguni seka ibunta."
(26) Wus pinaring seksana tinampin, dhuwung sotya mring putra
Dyan Bondhan, majeng ngaras pada rajeng, ingemak ingkang
embun, "Wis mangkata Putrengsun null", Radyan sandika
nembah, gya lengser sing ngayun, gancang prapta jawi pra-
ja, Radyan Putra kelawan Ki Juru Sabin, kadwi darung lam-
pahnya.

(27) Pan alaju sangking Maospait, raja ·putra lawan Juru Sawah,
tan mawi mantuk wismane, Tarub sinedyeng kayun, pan wus
tebih sangking negari, prapta madyaning wana, gya kendel
sang sunu, aneng sore wit mandira, ron ngrembuyung katyup
ing maruta midid, maweh sumrahing angga.
(28) Gya wamanen jahna neng wanadri, duk ing dalu ngampak
tan tuk karya, laju manjing ing wana grong, yen siyang kar-
yanipun, mbegal jalma kang langkung mencil, santri warok
ngelo- (k. 139) mpra, Amatana pethut, kalih ngran Sura-
menggala, jalma bumi Sumadinala katrineng, catumya Ian
Pak Soma,
(29) neng sor putat nglindhung sami ninis, weneh petan sinam-
bi rerasan, siyale tan antuk gawe, duk dalu tujonipun, padha
slamet tan tekeng pati, dugi nggennya rerasan, Soma awas
ndulu, yen wonten jalma araywan, sor mandira juga anom
menganggya di, nebda mring Amatana. --
(30) "Lurah nika kados won ten jahni, sami kendel juga mengang-

184
\

'

ge ndah", katri kagyat sareng anon, madeg kasuranipun,


datan wawang arsa mrih pati, kras nebda marang rowang,
"Ditanggen ing pupuh, aja na ngucireng karya" , sareng mang-
sah catur mrepeki dyan pekik, tan nedya mundur yuga.

XVIll. DURMA

( 1) Radyan Bondhan mirsa yen arsa binegal, curiganira pinipit,


- njawil bapakira, Ki Juru gedandapan , Dyan Bondhan maneb-
da aris, (k. 140) "lngsun neng ngarsa" , catur glis prapta ngar-
I o

Sl.

(2) Anggegila muwus sugal marang Radyan, "Heh sira ta wong


ngendi, liwat aneng alas, tinggalen dodotira, sabuke wekmu
Ian keris, cothaa clana, sun weh sira lumaris."
(3) Kyai Juru mitenggengen datan ngucap, dyan kurdha netra
andik, mangsah ngarseng bapa, keksi semu sudira, dhasar
putra narpa yekti, dedeg pideksa, dinulu angajrihi.
..
(4) Nebda sendhu Radyan niarang jalma begal, "Mara jajalen
aglis, sira arsa ngroda, njaluk sabuk curiga, jaba yen wis te-
keng pati, kena karebat", dyan aglis andhingini. ··
(5) Amatana tinebak jajanya niba, ing kisma datan eling, gino- •

song mring Soma, ngantya dangu kantaka, enget braman-


tya mawen'gis, nebda mring rowang, "Dene ta ngapirani."
(6) Katri sigra sareng mangsah nubruk mring Dyan, glis Radyan
mangendrani, tinubruk sing kanan, Radyan lumumpat ngi-
(k. 141) wa, wuri nubruk angeneni, udreg mangroda, kya- ..
ting sang Narpa Siwi.
- -·· .
(7) Dyan sarosa kang rusuk sinikut kokal, tibeng wisma kuwalik,
tandang katri . mangsah, majangkah sangking prenah, dyan
kurdha arsa mungkasi, glis narik katga, juga ginoco titis.
(8) Kawatgata Amatana laju lena, wespadeng sang Apekik, yen
agem curiga, punggel saluk pucuknya, dhawah sengara sang
Siwi, "Sawureningwang, aja na nganggo keris.
(9) Awak waja ngapirani ana karya" , wau ta jalma kalih, uning


185
rowang pejah, sru kurdha sareng mangsah, Radyan sudira
tan gigrig, rinasuk kendra, rikat tandang sang Pekik.
(10) Lir Bimanyu kinembulan dening diktya, aneng madya wana-
dri, asikareng marga, mangincih amrih lena, tetindhih ban
diktya estri, kyat ing ayuda, Dyan repot nger ing jurit.
( 11) Kerasuk wus mring dwi begal kinalihan, mangglu- (k. 142)
d udreg tan kontit , dangu maputeran, dwi samya ngetog kro-
san, mamrih mbanting mring sang Pekik, wrat tan kuwagang,
Dyan krura kyat ing jurit.
( 12) J alma kalih pinegang ing kering kanan, ngukel tan bisa budi,
dyan ambek sarosa, dwi sareng ngadu kumba, sirah crah laju
ngemasi, kantun sajuga, tobat nedya umiring.
( 13) N ami Soma tanpa tam bang mung ngelampra , cubluk blilu
kepati, dene tumut mbegal, mung nyingkek pakaryanya,
yen latri tuk robah maJing, Soma pinatah, ambekta ngrumi-
• •
y1n1.
(14) Pan wus nganggep kang tobat gya laju Radyan, Juru Soma
neng wuri, marga tan winarna, jajahan Tarub prapta, Kya-
geng Tarub kang winarni, sampun waskitha, yen tamonira
ka1ih.
( 15) Ngling ing putra "Ge Kasihan tetebaha, cawisa jam be wangi,
sun bakal dhayohan, gandhek ing Majalengka, sesajia kang
abecik", datan antara, praptane Juru Sabin.
( 16) (k. 143) Kyageng Tarub ngancari wus tata lenggah, Dyan
Bondhan mungging wuri, Kyageng Tarub nebda, "Sami ba-
suki Sanak", Juru Sa wah mangsuli ngling, "Nuwun katedha,
ing pasihan sang Yogi."
(17) Ri wusira Juru Sawah Ion saweca, marang sang Mahayogi,
"Amba dinuteng ndra, maringken pangestunya, sang Narpa
karsanya malih, inggih kang putra, kihen maringken Yogi."
( 18) Lon mangsuli Kyageng marang sang Dutendra, "Nggih sanget
nuwun mami, putranya sang Nata, sok ugi narimaha, ing wu-
lange tiyang miskin, tan saged amba, Sri Nata kedah asih."

186

.
\

XIX. SINOM •

(1) Dyan Jaka dinuk pangikswa, mring Ki Ageng esmu ajrih,


nanging driya pethuk karsa, dyan pratandha trahing Aj i,
trus ingkang wama sigit, wicekseng lungid ing semu, m ring
tuduh sang Dannendra, Radyan tan lengganeng kapti, wus
tan nggayuh kamuktening praja alja.
(2) Mung dhawuhnya sang Darendra, kang kapusthi siyang latri,
dya- (k. 144) n tyas nggergud kasutapan, Kyageng lungit wus
udani, sakrenteg narpa siwi, wusana trustha ing kalbu, nir
brangtanireng garwa, rena badhe mong putra Ji, karseng de-
wa putra dyah antuk pacangan.
(3) Ki Juru nebda jejarwa, mring putra Dyan Jaka ririh, " Angger
iya ngabektia, mring Ki Ageng Taru b aglis, iku gurunta yekti,
gentine ramanta Prabu, prapta ngakir tan siwah", mestu dyan
mangsah ngabekti, mungging pada Kyageng ngrangkul ami-
dhangan.
( 4) Wisira Dyan kin en lenggah, mungging ing ngarsa tan tebih,
Kyageng alon ngandikanya, "Kaki Raden prayoganing, bu-
wangen ngranmu mangkin, pan ingsun kang angsung juluk,
Lembupeteng prayoga, ngemper trahing Majapait", dyan
mangrepa turnya, "Nuwun nggih sandika."
(5) Ki Juru nambungi sebda, "Amba sampun pasrah yekti, pan-
' duka kang darbe putra, ngreh pawulang sampun wigih" ,
Ki Ageng mangsuli ngling, "Nggih prayogi Kyai Juru, peke-
nira tilara, sang Narpadma wonte- (k. 145) n ngriki", paring
semon karsendra sam pun kadriya.
(6) "Nggeh sam pun won ten manira, sakarsa-karsaning Aji" , ka-
lih dugi kang panggustha, nulya kang pundhutan mijil, nyung-
gatu Juru Sabin, Kyageng eca dhahar kembul, wus dugi
nggennya dhahar, Ki Juru gya nuwun amit, kalilan wus Ki
Juru anulya kentar. •

(7) Salengsemya Juru Sawah, Ki Ageng wau pan meksih, lenggah


tansah ngungun driya, dennya tampil lungit Aji, kang kan-

187
--
'

tun Radyan Pekik, neng ngarsa lenggah tumungkul, Ki Ageng


Ion ngandika, mring baru putra sang Pekik, "Apa krasan
Angger dhukuh madyeng wana."
(8) "Inggih kraos wus lunsedya, wrat nglampahi dhawuh Aji",
Kyageng trustha wewah sihnya, tur putra katujweng galih,
wusana nebda aris, "Iku bener Putraningsun, pan ratu iku
uga, paliwaraning Ywang Widi, Ian maninge satuhune dar-

manrra,
(9) ya iku wajibing sembah, kang terus ing lair batin, (k. 146)
ngawal akir datan siwah, telu uga padha wajib, kang dhingin
# • •
iya Gusti, kapindhone marang guru, katrine marang darma,
iya kabeh padha mandi, yen nampika kang tuduh antuk
sang sara.
( 10) Mengko null lekasana, brangtaa marang Y wang Widi, trus-
ana karsaning nata, wruha dirgamaning kapti, Sastracetha
kang yekti, bedakena ing pandulu, purwa penangsupira, aja

ta ketlanjur Kaki, sesmitane kang ginaib ing Pangeran.
( 11) Yen nganti ketlanjur basa, kawruhira tanpa dadi, dununge
tan wruh ing baya, bayanira wus sumandhing, siyang 1atri
.. denkesthi, aja samar ing pandulu, patitis ing pamuja, dibrang-
. .... ta marang Ywa:ng Widi, anging aja kaleru sipatanira .
( 12) Yen ket1angso pemanthengnya, marang janing dewata di,
yektine kalingan sipat, sipatira kang nglimputi, mring janing
titah Widi, samobahe titah klimput, ya marang asmanira,
·asmanira kang ngalingi, awit dene (k. 147) seka ringkah
polahira.
#

..... ( 13) N ayaning Medhang tan wignya, bebara pungkasing Aji, me-
nawa murwani nata, mintaa mring Sukmana di, tuwuha ben-
jang wuri , wecane ramanta Prabu, yen salin jamanira, inge-
• ring rat wus pinesthi, doh cedhake iya sira ingkang darbya."
(14) Radyan nggergut ing pitedah, ingering rat wus kaesthi, myang
pandulu datan samar, mobah mosik praja ngarsi, mangke wus
I


antuk wangsit, lam bang jangka ingeripun, Gumarang J aya-
• baya, dadya jaman satus warsi, datan siwah sampurnan pung-

188 ••


\

kasing tunggal.

( 15) Dugi dennya paring wulang, Kyageng marang sang Apekik,
agal lembut pan wus brastha, wutah mring dyan wus kapus- ..
thi, Ki Ageng saya asih, dyan ajrih sungkemnya klangkung,
Ki Ageng malih nebda, "Kaki Raden sunweh uning, mau ta-
re estri iya kadangira.
( 16) Banget dennya kawlas arsa, sunarani Ni Nawangsih, sira ka-
dangira priya", gya sang Retna dentimbali, "Rara mare-
(k. 148) nea glis, iki kadangmu kang rawuh, kang seka ange-
lana", amituhu sang Retna Di, sadhawuhnya sudanna datan
nglenggana.
(17) Wantu meksih timur sang Dyah, yuswanira apan lagi, seda-
sa warsa lumakya, lir kang ibu datan kalih , suba sita dereng .. •
wrin, wau kusumaning ayu , ngajengken brai sekar, mbangun .
turut dyah mring danni, sapangrehnya tan lenggana ing sa-
karsa.
( 18) Sang Dyah langkung raket tresna, mring Raka Dyan baru
prapti, mapan kakang basanira, ciptaning driya sang Dewi,
lir tunggiJ ibu danni, tyas tan taha kusuma yu, nging dereng
sapocapan, sudarma ngling jatwa ririh, "Heh ta Nini saruwe-
nen kakangira."
( 19) Sang Retna alon wecana, "Kakang bagea d uk prapti", Ra-
' dyan ewed wangsulannya , tan nebda amung nganthuki,
ing driya lir jinait, dyan putra brangta ing kalbu, duk ngaruh
mring sang Retna, Ki Ageng uningeng wadi, Ion ngandika
mring putra ri sang A- (k. 149) tmendra.
(20) "Kaki aja sira taha, angrengkuh mring kadang estri", nulya
Sang Rara Kasihan, Ion winulang mring sudarmi, sungkem-
nya mring dyan pekik, sang Retna am bangun turut, lulut
sih mring Dyan Jaka, tan darbe nyana sang Dewi, yen kang
raka punika pacanganira.
(21) Dennyana kadang pribadya, mila nir sitaning galih, yen dha-
har tunggil ambengan , yen kirang dyah kang nanduki , nging
Radyan nahen brangti , ketang wulangnya sang Wiku , nir

189
••

enget sang darmendra, semangke wus dugi lami, Radyan
Putra neng Tarub sampun kerasan.
(22) Dyan nenanem pakaryannya, kang taneman warni-warni,
sam ben dint en neng begagan, keng gaga dinulu asri, supe
kondur sang pekik, yen luwe mung mundhut kintun, lagya
rena neng wana, pangreh guru denlampahi, dyan tan nggran-
tes saciptanya ing werdaya.
(23) Warnanira wau sang retna, brai busana dumugi, saya (k.ISO)
embah ayonira, dyah sasolahe mantesi, Ian ibu datan ka-
lih, lir satu limbagan jumbuh, wamanira sang retna, lagya
sapisan nedhaki, Dyah Kasihan ingkang ibu widadarya.
(24) Dattnanira pan manungsa, mangkya dyah ngangkat birai,
anglir gambar wewangunan, ayunya datanpa tandhing, yen
cinandra kang warni , kirang kawi warna langkung, tan na
kang winaonan, ratuning ayu sayekti, mila Radyan wrin
rayi anggung kasmaran.

(XX ASMARADANA)
(1) Neng dalem tan saged ngeksi, marang rayi Dyah Kasihan,
ciptaning dyan jro driyane, dhateng rama sang pandhita,
nunten dhlnaupena, Ian kang rayi sang retna yu, dera ngantya
pan wus lama,
(2) Sangking sangete kang kingkin, ngantya sare neng begagan,
mungging gubug Ian prepate, sedalu natas raina, aminggu
tanpa nebda, langkung ribeng tyas sang bagus, mung Na-
wangsih kang kacipta.
(3) (k.ISI) Warnanen pFepat sang pekik, pun Soma tan betah
nglapa , nuwun mentuk sanget luwe, klilan laju mantuk
wisma, manggihj sang kusuma, Soma Ian dyah Ion umatur,
" Raden sedalu t2.n dhahar,
( 4) Lan rnalih tan saged guling, tengga won ten ing begagan,
kelangkung kathah lemute", Kyageng Tarub amiyarsa, atur-
nya prepat Soma, Ion ngandika marang sunu, "Nini sira

190
\

'

angirima."
(5) Mestu dyah gya ngeratengi, ginelak nggenira bethak, wus
sumekta kentar age, ngirim raka mriang begagan, ingiring
kang pawongan, catur estri kang tut pungkur, mbekta sumbul
lawan dhulang.
(6) Kang sajuga ngemban kendhl , kalih dhulang dhedhaharan ,
tan winarna ing lampahe , sang dyah prapta ing begagan,
unggyane kuwu raka, laju sang dyah lenggah gubug, raka
nulya ingaturan.
(7) "Kakang alinggiha dhimin, yen luwe age dhahara 7 ), (k. 152)
mengko tumandanga maneh" , Dyan J aka anulya lenggah,
sinandhlng. ri Kasihan , sarwi nyandhak astanipun, kinipat-
ken mring sang retna.
(8) Sang dyah angling semu runtik , dene nganggo nyekel tangan,
tan persaja sasolahe, Radyan alon ngandikanya, "Pan k leru
Areningwang , ingsun arsa nyandhak kelut , tan uning yen as-
tanira.
(9) Yayi aja sira runtik, nadyan ingsun anyekela, mring as-
tane kadang anom , kadang tuwa pan winenang, ingsun gan-
tining danna, wenang nulung ngemban ingsun, menawa yen
sira mular.
( 10) Wis aja dinawa Yayi, tulusa asih mring kadang, milane
,_ belero ingong, sangking perihe teningwang, sawengi sun
karipan, aneng gubug tan tuk turu, awit wingi sun tan dha-
har."
( 11) Sang retna lilih kang runtik, glis mijilken kang kiriman,
sekul kelawan ulame , wus tinata mungging ngarsa, anulya
wijik Radyan, sarwi .nebda mring renipu- (k.l53) n, "Yayi
mayo sareng dhahar." · •

(12) Sang retna yu anuruti, nulya wijik tumut dhahar, nglegani


raka karsane, nging dyah sandi nggennya dhahar, nuruti
brangtanira, nggennya dhahar dendedangu , ngepel sekul
I

7) asline : dhohar

191

pengkeredan.

(13) Api kaseretan bukti, sekul tinutulken sang dyah, kenging
kiwa pangrasane, dyah kagyat wus nggennya dhahar, Radyan
dhahar kepelan, sarwi gumujeng sang bagus, "Mari sun se-
reten dhahar.
(14) Sang retna kelangkung runtik, merang lumyat mring Dyan
Jaka, saya sanes graitane, "Basakena ta si Kakang, _jarene
kadang tuwa, dene nutul pipeningsun, kaya wong mendem
weragang.
( 15) Pantes dudu kadang yekti, dene nutul pipeningwang,
lir nutul pipi bojone, ujare angaku kadang, patrape ce1u-
thangan, sunaturken ramaningsun, mesthi njabut nyawa-
,
nira. ''
(16) Sang dyah sirung dennya ng1iring, Dyan Jaka wespadeng
tinga1, yen kang rayi runti- (k.154) k tyase, arsa rinang-
kul sang retna, dy_ah glis ngendrani medal, sangking gubug
gya lumayu, laju kondur tilar rowang.
.
( 17) Pawongan kalih nututi, tum ut mantuk mring sang retna,
dyan gegetun ing solahe, kuwanguran ingkang karsa, dera
mrih mring sang retna, tan wande kelamun wadul, dyah
• mring rama sang pandhita .
. (18) Tan arsa kondur sang pekik, merang mring rayi sang ret-
na, cethi kinen mantuk age, kang dhaharan pan tinilar,
Radyan kantun anggana, aneng gubug soring pucung, ngre-
repa wedharing brangta.

(XXI PUCUNG) .

(1) Rengeng-rengeng Radyan lenggah apitakur, "Adhuh pecruk


seta, bisikan wenara aji, bok ya bali tolehen pun kakang
brangta.
(2) Kang pring aking munging ing kisma pinanggung, . nadyan
wus kawentar, nggonku seneng mring kang Yayi, cengkir
wulung delahan mangsa uwala.
. .
192
-
(3) Ciri angga dhuh wong ayu panu biru, terong lit dhampilan,
mung kida su (k.l55) nteni pati, kuntul langking sundhan-
dhang dadia garwa.
(4) Kethek langking punuk jaja dhuh mas ingsun, mutung sunge-
gonjak, kesusu nggonira lari, deruk cilik suntututi pan wus
tebah."
(5) Soma matur: "Dhuh Raden suwawi kondur, nadyan manggih
duka, kados boten angyektosi" , "Ya muliha wecakna yen
ingsun brangta."

(XXII ASMARADANA)
. . -. . ,

( 1) Prepat Soma mantuk aglis, anungkak marang sang retna ,


wrin
. mariang-. dyah saature,
... ....- prapta wisma asingidan, kuneng •

malih winarna, sang dyah ingkang kondur ngintun , prapta •

ngarsanireng dattna.
(2) Matur wewadul wor tangis, saweca apegat-pegat, mrih gina-
liha ature, purwanya tekeng wusana, puma atur sang ret-
na, kang rama ngandika arum , "Nini aja ngrudah driya.
(3) Mengko turuten jar mami, pan ya ika wruhanira, sunjar-
wani sayektine, bener dudu kadangira, ika putrane nata,
raja putra Majalangu, ange- (k.156) ngeri marang sira.
(4) Pantes bae lamun wani, anggegonjak marang sira, jer wus
-.. lawas aneng kene , ngenteni biraenira, mengko sira diwasa,
wus wancine putraningsun, ing samengko lakonana.
(5) Akramaa sira Nini, antuka Ian kakangira, Lembupeteng
putra rajeng, pira-pira Nini sira, anaking dhudha papa,
kinarsan putraning ratu, sasat srra krama dew a."
( 6) Sang dyah kendel datan angling, ngartika sajroning dri-
ya, "Katujune cangkem ingong, nora clathu nyanyah-nyu-
nyah, ujar wus antuk prentah, ndluya ndadrane kebacut,
wong sembrana ngarah prana."
(7) Kang rama waskitheng galing, anggennya ngliring mring kang
putra, ginalih pareng semute, kendele semu nggraita, tumung-

193

kul nerat kisma, sarwi nguthik kempol suku, pratandha yen


purun krama .
(8) Kuneng kang tinantun krami, wuwusen wau Dyan Jaka , ti-
nimbalan mring datrna ge , prapta tumameng ing ngarsa,
Ki A- (k.l57) geng Ion ngandika , "Lembupeteng Putra-
ningsun , ya suntitip arenira.
(9) Aja keparang doh Ka.ki, arenira Ni Kasihan, ya karyanen
jodho dhewe, nging disabar Kaki sira, renira meksih bo-
cah, sapratingkah banget blilu", Dyan Jaka nuwun atur-
nya. ·
( 10) "Kapundhi sih J eng Kiyai, kawula pinaring jimat, retna
mustika di kaot , dadosa jimating gesang, marcapada de-
lahan" , Kyageng trustha jroning kalbu, miyarsa a turing
putra.
( 11) Ki Ageng nulya nimbali , marang kawula wangsanira, sami
kinen dandos-dandos, pasang tratag tetuwuhan, jalmestri
kinen majang, tumandang wus dadya tarub , sumekta kang

pepajangan.
\ ( 12) Pan laju midadareni, kumendhung kang pepajangan, lir
kaswargan adi kaot, kumutug kukusing dupa, winor Ian
kukus merang, ketan kresna mrik kumelun, kinarya nyi-

ngeru garwa.
(13) Wau Sang Dyah (k.l58) Nawangsasi, tan dangu anu1ya
prapta, manggihi putra sang sinom , kusuma Rara Kasihan,
seksana pinaesan, kang penganggya abra murub , busana
sangking kayangan.
( 14) Ginandanan amrik minging, sang dyah ayonira wewah, kadi
murca sapandulon, gawok sakeh kang tumingal, mring war-
na Dyah Kasihan, de sedaya tan na kang wruh, nggenira
santun busana.
(15) Sawusira denpaesi, kusuma Rara Kasihan, pinasrahken .
mring ramane , mojar Retna Nawangwulan , "Ramakne nggih
punika, sumbang kula mring si ayu, kang wus kagem se-
dayanya.

194
( 16) Nggih nun ten panggihna nuli, yun mirsa mring mantoning-
wang, atmajane sang akatong, yen wus uning warnanira ,
amba mantuk kayangalf, inggih kula amung njangkung , sa-
solahe pu tra dika. .
( 17) Lan mintakken mring dewadi, tulusa nggen palakrama, tim-
hula wahyuning raj eng", Ki Ageng alon de ling- (k.159)
nya, "Sunandheg sira mirah, padha momong putra mantu,
sun lama nganti sihira."
( 18) Mojar Retna Nawangsasi, "Ramakne wus datan kena, yen
unggila malih ingong, angur ta ingkang manungsa, kenging
tungg~ Ian amba" , raka alon wuwusipun , "Yayi sun milu
mring sira."
( 19) Kang rayi nauri aris, "Nggih ta benjang kula bekta, yen
sampun momong wayahe, tambuh ingkang winicara , nggih
pundi mantoningwang" , warnanen wau sang bagus, a pan sam-
pun binusanan.
(20) Busanane adi luwih, angagem raja kaputran, rukma pinatik
retna byor, murub campur Ian ujwala, tuhu bagus kang
warna, karengga bus~na murub, sima kamanungsanira.
(21) Lir Ywang Komajaya nitis, sing amulat ngengleng brangta,
Radyan sangkep busanane, tinimbalan mring ngajengan , sa-
praptanireng tratag, sang dyah pinethukken ngayun , ki-
nanthi marang i- (k.160) bunya.
(22) Kalih ngasta masak rawis, Radyan dhinawuhan danna, "Ba-
langen arimu Angger" , dyan mistu gantal binuncang, dha-
wah tuk jaja sang dyah, sang retna malesi antuk, lathi raka
kang kepranan.
(23) Sami trustha kang ningali, wrin solahe dyah temantyan,
tan mawi merang sang sinom , Soma langkung dennya suka,
sesirig awor kenya, kedhesuk anyondhol bukung, gina-
blagan ngestri kathah.
(24) Gya Ki Ageng ngandika ris, marang putra dyan temantyan,
"Kulup pondhongen diage, gawanen lenggah mring tilam",

195
. ..

..
mestu kang sinung sebda, Ion pinondhong sang retna yu ,
binekta lenggah mring tilam
(25) Kadang mitra tata linggih, atembak kang kwula wangsa ,
sami manggihken temanten, nulya boja krama modal, njawi
lebet kuwratan, kang boja penuh pinanggung, kwula wang-
sa sami suka.
(26) Kang tamanten jajar linggih, lir Ratih Ian Komajaya, akarya
brangtaning tumon, (k.l60) mbangun twut Dyah kasihan ,
pan kinen sareng dhahar, Ian kakung atunggil kembul, sang
retna datan lenggana. •

(27) Dhasare wus wanuh dhimin, mila datan mawi merang, mung
ngentosi ing saate, wus dugi kang boja krama, mundur
mbrekat sedaya, . Nawangwulan amit wangsul, sapandulon
nul ya sima.
(28) Kang tinilar tansah brangti, Kyageng ngiwa mring caba-
kan, amemuja mring Ywang Manon, tulusa kang putra kenya,
nggenira palakrama, enggala pep·utra kakung, kinaotna

mg sesama.
(29) Dyan Kasihan esmu kingkin, mirsa lejeme kang rama, yen
kesmaran mring ibune , alon kendra sangking prenah, mring
tilam tanpa nebda, sang kakung mrepeki ngimur, nggunturi
• •
marus mg garwa.

(XXIll DHANDHANGGULA)
(I) "Yayang tilam dewataning sari, kang turunan sangking
swarga loka, uwitira mas guligen, patra mulya sumunu,
kongas puspa nrus ing pratiwi, berdapa mirah sela, (k.l62)
pentil inten jumrut, pinuja mantra ing dewa, gya pinatut
ingukir gum ana dadi, neng Tarub Uyah Kasihan.
(2) Lembupeteng mangke kang ndarbeni , pan sunkarya jimating
agesang, wong ayu nggon ingsun ngenger, kang sih tresna .
marang sun, darbe kadang wus dadi rabi, sampun cuwa mas
mirah, mupu kawlas ayun , pun kakang mangestu pada, mar-

196

capada delahan tan nedya gingsir, malawija kusuma. •

(3) Kukus gantung pulasing wong nyungging, yen sunsawang mi-


rah warna dika, widheng galeng ayu dhewe , pandhe gong
kothak jepun, tinandhinga estri sakethik, dhayung sumur
panduka, tan memba wong ayu, suku jungkung solahira , pa-
ger rnayang toy a mijil sangking langit , sekalir aweh edan."
(4) Sang dyah mesem ngliring sarya angling, "Mung gandese
lamun amicara, sajeg ingsun lagi tumon , jer ngaku kadang
-
tuhu, warta luwe temah sunkirim , dene anyekel tangan,
(k.l63) wruha yen nggadebus, supaya gelem ngirima" , Ra-
dyan mesem kang rayi ingaras wanti, dyah tangkis-
nyeng-
.
ah jaja:.
(5) Raka ngungkih mrih wedharing sari, Ion sinambut dyah
nyengkah · kangihan, sru tangkis-t angkis tanpa leh, kyat
raka dyah kerasuk, ukel sosrah mawut kang sari , layon-
ing puspa ngambar, anjrah neng tilam rum , sang kalih ndha-
tangkep karsa, dyah kalenggak kacundhuk . tiksara lungit,
· limut asambat lena. •
• Jl,

(6) Tangeh lamun rinengga kang resmi, pan wus bedhah Tarub '
Jaronira, sub rempu nungging kelangon ,~ dwi langku.ng .asih !

lulut, lama dugi datan winarni , nyidham-nyidham kamoran ,


wau kusuma yu , nedhengnya lagya pasihan , sigeg gantya
Palembang winarna kawi, Dipati Arya Damar,
7) Sakelangkung dennya mukti sari, sugih garwa atenapi pu-
tra, garwanira kang pengaseng, triman sing Majalangu , Bra-
wijaya kang sih mring siwi , garwa Cina kang wawrat , antu-
(k\ 164) k catur tengsu, katingal amangku c~dra, s.u mlang , .
:
driya ginalih ange.rubedi , mring garwa kang pengarsa.
(8) Pinaringkan marang sang dipati, nging winaler kinen sa-
bar karsa, yen dereng mbabar putrane , tan kalilan wor
lulut, mangke sampun mbabar sang dewi, miyos jalu putra-
nya , keng cahya sumunu, sinung tengran Radyan Patah,
pambeknya Ius palamarta marang dasih, wigya ngreh renteng
~ driya.

197

(9) Sabar kamot suselaning krami, wus tan darbe rangatireng


driya, amlas asih sasolahe, sepangreh m bangun turut, sa-
wulangnya danna dipati, kang ibu langkung sihnya, malih
putra sang rum, patut lawan sang dipatya, miyos jalu war-
nanira langkung pekik, dedeg janjang prakosa.
( 10) Sinung tengran mring rama dipati, Radyan Tim bal putra
julukira, Ian kang raka sami genge, raka langkung sihlpun,
wus tan mantra yen sanes datrni, anglir tunggiJ seyayah,
. rayi mbangun turut, rehing raka tan lenggana, Radyan
ka- (k.l65) Jih sami ngaos remen ngelmi, myang lungi-
direng sastra.
( 11) Driya samya lantip sang akalih, marang sastra Jawi Arab
brastha, rama ibu trustha anon, de putra kalihipun, sam-

ya ambek susantya budi, gya putra tinimbalan, kalih prap-
ta ngayun, lenggah bukuh ngarseng dartna, sang dipati .Ion
ngandika marang siwi, "Dhuh nyawa putraningwang.
( 12) Patah Timbal karo sunjarwani, ja katungkul sira ngolah
sastra, nggayuha wibawa Angger, singa beja putrengsun,
nagri Plembang adhepen Kakj, ya padha amaganga, marang
Majalangu, kang misiksa rat buwana, mangreh sagung tam-
pingan raja rupati, ing sabrang nungsa Jawa.
( 13) Sira Patah sunjarwani yekti, sira uga dudu putraningwang,
ya atmane sang akatong, Brawijaya kang tuhu, manna dadi
_ ya putra mami, nguni katut ibunta, purwanira ngayun, duk
durung dadi garwewang, ibonrra pan wus mbobot pi tung sasi,
ibumu purwanira.
(14) (k.166) duk meksihe dadi garwa aji, sasuwene bumu ngan-
dhut sira, nata nendra kempi katon, ibumu kang kadulu,
mangku candra purnamasidi, nujwa ri Gara mulya, wungu
nendra ngungun, sumlang ing driya sang nata, lamun sira
tulus dadi putra aji, tern be yen ngendhih pura.
(15) Nga1ahaken marang putra ngarsi, ingkang bakal anggentya-
ni nata, mengku Majalengka tembe, Bondhansrati kang su-
nu, mijil garwa kang prameswari, mengko Kaki sunnrima,

198

karsaning dewa gung, sun darbe putra ing sira, pan sun
gadhang nggenteni kaprabon mami, ing P1embang wengkon-
ana.
( 16) Sabab sira putraningsun ngarsi, mung suntitip benjang are-
nira, yen bisantuk sihing katong, nging poma wekasing-
sun, mung arimu lurana benjing, utawa sira Timbal, didhep
kadang sepuh", putra kalih sareng pyama, Radyan Patah
nggatjita sajroning galih, ngraos wiji binucal,
( 17) Marang dattua sri Brawijaya ji, mangke pinu- (k.167) pu
mring raka Plembang, driya dahat penlangsane, tokit Ywang
Sukmana Gung, jiwa datan ngraos ndarbeni, mung ketang
sihing raka, Plembang nggennya mengku, paran dennya
umalesa, de kang raka awong duk meksih ginaib , mbabar
prapteng diwasa.
( 18) Pan ing mangke sung pituduh yekti , pangreh raka Radyan
tan lenggana, nuwun amit Ian arine, mring raka ibu sam-
pun, kalilan wus sinangon sami, dyan kalih ngaras pada,
ingemak kang embun, tinimbul ngreh hayu lampah, mring
bu raka dwi wus lengser sangking ngarsi, ingiringaken em-
ban.
(19) Nulya linggar wau Radyan kalih, sangking Plembang glis
manitih palwa, dwi dasa dasih kang ndherek, samya atmeng
tumenggung, ndherek magang mring Maospait , ing lampah
tan kinandha, nggennya ngambang laut, Pulo Plembang wus
kawuntat, gancang· prapta ing muara Pulo Jawi , Ion men-
tas gisik tand ya.
(20) Kampir Crobon wau Radyan kalih , rna- (k.l68) njing pura
panggih Pangran Modang, Dyan dinangu ing karsane, piya-
ma Radyan matur, arsa ngabdi mring Maospait, danyu an-
tareng Pangran, lenggah nggusthi ndulu, nrus driya sam-
pun waskitha, Radyan Patah katonton kuwunging aji, wu-
sana Pangran nebda.
(21) "Nging pinliring Radyan ing pamingit, akanthia lampah
puruita, sarengat gama Islame, jejeging ratu luhung" , dyan

199
• ..

kelangkung anuwun ing sih, pasemon wus kadriya, puma


saput dalu, Radyan kendel neng jro pura, Pangran Mo- .
dang mring Radyan kelangkung asih, kathah piwulang-

rra.
(22) Wusnya Pangran nggennya paring wisik, Raden kalih pan
ingaken kadang, latri dugi ing enjange, nulya amit dyan
bagus, mring Pangeran mangsah ngabekti, klilan mijil sing
pura, Radyan kentar laju, ingiring tyang kalih da.sa , Radyan
lampah ing Crebon sampun kawingking, nulya mangambah
'
wana.
(23) Tlatahireng wana Ngroban mawrit, sang akalih esmu wawang
driya, mulat wana geng wiyare, tepenireng wana gung, pa-
(k.l69) mbegalan tyang langkung mencil, myang sato wana
kathah, sima ngadhang dlanggung, wana weritnya kagila
keh lelembut bekasakan angekseni, kathah dirgameng wana.
(24) Nenggya wonten jalma neng wana dri, labet dadya bujung-

. aning praja, mbegal nyuleng pakaryane, yen siyang sami
-.
' nglindhung, aneng wana ngadhang ing margi , mung catur
. .
kehing jalma, juga ingkang pingul, pun Wana tengraning
jalma, .aprakosa teguh timbul braja lungit,- keringan sameng
~
. .. jalma . . -

(25) Wana lamun mrik maruseng jalmi , datan ajrih rinampog ing
kathah, lir pendah grebyag kulite, jumenggleng yen si-

nuduk, sara mimis templek tan titis, kongas mring manca
desa, ·girls myarsa teguh , nadyan Wana bengseng nglompra ,-
pambenya Ius asih marang jalma meskin, mila mulya ke-

nngan.
. .
(26) Jalma catur semangke nujoni, royom kubeng madad minum
medang, lher ginodhog kendhi pothol, kagol kang pretu
kantu, dereng wuru pa- (k.l70) n arsa nyukit, rowangnya
kinen padya , ron tayungan kang lun, rowang mestu ken-
. , tar paya, dereng antuk kesaru uningeng jalmi, langkung
arantap-rantap.
·-
(27) Gya cengkelak wangsul suka uning, mring pun Wana "Nggeh

200
- - - - - - - -., .- - -

punika lurah, wonten tiyang langkung margeng, sami meng-


angge luhung, awetawis dwi likur jalmi", Ki Wana sareng
myarsa, jarneng rowanipun, tan wawang wrin jalma kathah,
nglingnya asru "Aja ana ngaton sami, sun-girise praba-
dya."

(XXIV GIRISA)
( 1) Wana kentarira sigra, nututi ingkang lelampah, prapta
laju nyugat marga, sru nebda "Sira mandhega", Dyan ken-
kel sarowang samya, sarwi alon dennya nebda, "Heh ta
sira arep apa , ngandheg-andheg wong lelampah."
(2) Ki Wana sugal wuwusnya, "lngsun jaluk sangonira, sameng-
ko ing karsaningwang, sunwehake wong kang mlarat, kang
tan bisa nyandhang mangan, telungane mengko sira, bisa
sugih bra- (k.l71) na rowang" , Radyan Patah Ion maneb-
da,
(3) "Bener seka ucapira, ya sun ingkang sugih brana", seksa-
-
na Rahadyan Patah, ngambil usu-ususira, sangu paringan
ibunya, ing jro isi nawa retna , gya sinampiraken Wana,
ngelawer mungging ingjangga.
(4) Radyan Patah laju kentar, Ki Wana minggu tan obah, mi-
tenggengen datan ngucap, myang serowang jalma tiga, war-
nanen dyan kang lelampah, lawan rayi pan wus tebah, wi-
netawis saonjotan, tebihira nggennya tindak. ,
(5) Warnanen wuri Ki Wana, driya eling titahing Ywarig, ang-
les telas manahira, ngucap tobat marang rowang, yen pu- ,
runa malih mbegal, caturnya wus rembag kentar, nusul
mring tindaknya Radyan, tut wingking neng wurenira.
(6) Dupi celak matur mring dyan, mangrepa ngaturken tobat,
Ian ngesrahken jiwa raga, nedyan ndherek ing sakarsa, Ra-
dyan Patah ris sebdanya, "Suntrima setyamu Wa- (k .172)
na, iya marang jeneng ingwang, Ian sira sunwehi aran,
(7) Wanapala aprayoga, de ngranmu mau si Wana, wijilira de-
sa Pala", mestuti kang sinung sebda, wusnya laju lumak-

201
-

sana, Wana mring dyan angawula, ing separan atut wuntat,


dyan kalih tindak wus lepas.
(8) Tan winarna nggen lelampah, Radyan ingkang ngambah
wana, wus ndungkap ponang jajahan, ing negari Majalengka,
kantun lampahan tri dina, tebih celaknya kapg praja, mangke
.. ·- arsa kendel Radyan , Ian rayi serowang samya .
..
(9) Dyan Patah alon ngendika, rayi ingkang sinung jarwa, "Heh
Y ayi prayoganingwang, mayo padha and urn ~lapnah, sira laju
ngawulaa, marang Prabu Majalengka, yen tuk karya nggonmu
- . . rnagang, mring ingsun aja sumelang.
. -
( 10) lng Palembang magangana, kang darbe waris ya sira, dene
Yayi ·karsaningwang ~ nutugake laku gama", kang rayi nung-
kemi pada, karuna amelas arsa, raka ngrangkul Ion sebda-
nya, "Heh Y ayi aja karuna.
( fl) Truten mengko jar. (k.173) wengwang, jer sun amrih ar-
jeng lampah, yen ingsun bateng amagang, iya Yayi lawan
sira, yekti pakewuh ing patrap, dene rowang kalih dasa,
ya m~ngsi bodho sira, pan laju aturna magang, ·
(12) Marang nagri Majalengka", rampung ingkang paring jat"Wa,
rayi kinen alajua, Radyan gaya amit ing raka, rumiyin ke-
lawan rowang, kalih dasa atut wuntat, tindak mangu emeng
driya, sapandulon wetawisnya.
• (13) Wuri -raka lumeksana, Wanapala kang tut wuntat, Ian Dyan
Patah datan pisah, mring pesantren kang sinedya, lestari
lampahnya Radyan, njujug dhukuh Ngampeldenta, kuneng
ingkartg lampah sastra, Sunan Ngampel kang winarna.
(14) .Nggen dhukuh neng Jawi lama, ing mangke sampun tumeng-
• kar, dhukuh Ngampel saya atja, agemah wus dadi praja,
· kathah sabet muridira, mangsuli gancarnya ngarsa, putra
mantu nggennya tapa, ngluwat aneng ing pratala.
(15) Angracut kang (kl74) panca driya, antuk catur dasa di-
na, jiwa nglintreg tan bisa bah; katarima ing Ywang Suk-
. rna, - wus kongas ·keramatira, sinung punjul ing pamirsa,
dadi ratu ratu waliollah, wenang mangreh pra uliya.
202
'

( 16) Jejuluk Prabu Satmata, anggedhaton Giripura, pra mukmin


ing Nungsa Jawa, keh prapta angguru nadya, lawan malih
arenira, Seh Benthong wau keng tengran, madeg aneng
Kudus praja, sumundhul malih arinya.
(I-7) Juluk Maulana Iskak , putra Ngampel kang wanodya, apan ta
datan kinandha, wonten malih winurcita , anenggya Sesunan
- Benang, tan rena adarbe garwa , wadat nedya tan peputra, •


nyataning karsa wus dadya.
(18) Braja di awarna katga , Kaiamunyeng tengranira , kang wus
kagem Ian ri narpa , sesunan ing Giripura, nahan tya kang
winurcita, nenggya wau Raden Patah, sapraptaning Ngampei-
denta, laju cundhuk Ian sang tapa.
(19) Sunan Ngampel wus waskitha, salir ba- (k.175) wa mring
kang prapta, pan laju ingambil putra, dhaup lawan atma
sang dyah, duk dhaupnya tan kinandha , atut dennya paia-
krama, Sunan Ngampel l~ngkung sihnya, mring baru man-
tu pyan Patah. __
(20) Dhasar wikan gaiping Ywang, yen Dyan Patah badhe nata, -
wuwusen ing mangke Radyan, tinimbalan dartnanira, Ian
kang garwa sang kusuma, tekap ngarsa darma nebda, "Heh
ta Patah Putraningwang, sunjarwani sira nyawa,
(21) Marganira tuk nugraha, ken tara ngalas Bin tara, upayanen ·
glagah ngganda, yen kepangguh wismanana , babaden karya-
... nen dhekah, dimantep olah agama, bokmenawa temu ben-
jang, jangjine alas Bin tara.
(22) amiwiti ana nata, sima Buda gama Islam, Ian diasih pra
uliya, ngadegna masjid yen atja" , putra mestu dhawuh
darma, nembah saildika turira, gaya amit mangaras pada,
garwa kinen atut wuntat.

(XXV PANGKUR)
(1) Sang Dyah mestu tan 1eng- (k.176) gana, nembah sareng
sinangon kang brana di, miwah dasih estri jalu, wusnya

203

.

-
lengser sing ngarsa, sang pandhita mestuti muji Ywang
Agung, lestari alampah dharat , ngaler ngilen nggen luma-

ns.
(2) Tan sowan mring Majalengka, prapteng enggen ngirupi sa-
gung jalmi, kuneng kawarna Sang Prabu, Sri Narpa Brawi-
jaya, trang miyarsa lamun wonten baris agung, babad dhu-
kuh las Bintara, langkung duka sri Bupati.
(3) Nata dhawuh marang patya, kinen mriksa mring Bintara
kang baris, patih wusnya tampi dhawuh, gya undhang marang
wadya, ing karsendra kinen nelik tiyang dhukuh, gung wa-
dya ngaturken rem bag, yogine ginecak jurit.
(4) Kya. Patih tan reneng rembag, karseng narpa pan namung
kinen nelik, putra Plembang kang winuwus, sedangonira
sowan , mangke ngraos yen antuk jalaran tuhu, Ion umatur
mring Kya Patya, sagah mriksa tiyang baris.
(5) Kya Patih kelangkung trustha , Raden Usen wus ngaturake-
(k .177) n aji , katrimah pemegangipun , kinarya Iurah rna-
gang, de nyagahi mriksa tiyang ingkang dhukuh, wonten
wana ing Bintara, gya kinen mangkat sedasih. ,..
(6) Dyan Usen seksana kentar, Ian serowang gung magang kinon
. rtgiring, winetara astha puluh, kang sami trah prawira, kum-
pul lawan gung prajurit Majalangu, sumekta astraning
yuda, wus lepas nggennya lumaris.
(7) Neng marga datan winama, gancang lampah Bintara pan wus
prapti, Dyan Usen manjing sewadu, marang sajroning dhe-
kah, Ian serowang astha dasa kang tut pungkur, katur la-
wan Radyan Patah, yen putra
.
Plembang kang prapti.
(8) Dyan Patah nulya parentah,
.
marang wadya pacuwan magut
jurit, kin en singidan neng pungkur, Dyan Patah mijil si-
gra, sapraptanya pangguh rayi datan ·pandung, Dyap Usen
lumajar sigra , ngrangkul padeng raka nangis.
(9) Sesambatnya lir wanodya , "Dhuh Kakangmas tan nyana
saged panggih, lir supena (k . l78) amba tuhu, tujonipun tan

204
I
' •

'

aprang,', Radyan Patah kang rayi tansah pinengkul, dugi


oneng kalihira, seksana atata linggih.
(10) Rayi Ion maturing raka, "Kangmas amba ingutus Jeng Sang
Aji, kinen mriksa baris agung, keng wonten las Bintara, •
gunging wadya tinantun tan wonten purun, nggih mung ulun
ingkang sagah, nelik tiyang baris ngriki. •

(11) Tan nyana lamun Kakangmas, keng abatis .wonten Bintara



ngriki", kang raka mangsuli wuwus, "Tan nedya baris ing-
wang, mung rumeksa babad wana ingkang suwung, atjane ka-
gungan nata, kang suwung sunpurih isi."
(12) Kang ray~ maturing raka, "Dhuh Kakangmas luwung sowan
sang aji, Bintara yogi densuwun, dhateng ramanta narpa,
mangke amba kang umatur ing sang prabu, yen sampun mirsa
f
panduka, estu enget darbe siwi.
(13) Kang raka ngartikeng driya, dipunraos aleres turing rayi,
seksana Dyan Patah anut, (k.179) sowan mring Majalengka,
santri mukmin kinon ndherek sedaya wus, Dyan Timbalan
raka budhal, sangking alas Glagahwangi. ·
(14) Tan tebih lawan kang raka, Raden Usen semarga nggusthi
pikir, wus tan wonten slayeng kayun, kalih laju lampah-
nya, wong Bintara Majalengka pan wus kumpul, sukeng
tyas tan estu yuda, de mengsah nungkul surniwi.
(15) Semarga datan winarna, lampahira glis prapta Maospait,
laju katur Jeng Sang Prabu, Dyan Usen tinimbalan, sri na-
rendra gya miyos siniweng wadu, penuh putra Ian nararya,
gung manca tampingan nangkil.
(16) Myang wadya pratjwasmara, pra bupati Bumijalan Panum-
ping, Numbakanyar lawan empu, Patih Gajahpremada, gya
ngandikan kelawan kang lagya rawuh, wus tumameng ing
byantara, katri sareng awotsari.
(17) Dyan Usen ngaturken weca, "Dhuh pukulun patikbra matur
yekti, kang ginalih baris agung, pan de- (k.180) de tiyang
liyan, nggih pun Kakang Raden Patah namenipun, sanes
,

205
rama Ian kawuia, inggih namung tunggil bibi.
( 18) Sami patut putri Cina, duk pinanggih Ian rama Ki Dipati,
sampun wawrat kawan tengsu, mbabar pun Kakang Patah,
boten lami tumunten amba sumundhul, mila pisah Ian ka-
wula, pun kakang aremen ngaji.
~

( 19) Saged ngimanaken jalma, baoad wana ngisenan tiyang san-


tri, wana-wana ingkang suwung, sami ngisenan jalma, mangke
aJja sumangga ing karsa Prabu, pun kakang mung darmi
tengga, yen kalilan yasa masjid. .
(2. 0) Nyuwun tetep gami Islam, angayumi di da1em tiyang san-
tri", ya ta wau Jeng Sang Prabu, tedhak mriksa tingalan,
dupi uning neng jro cat·tnin warneng prabu, Ian warnanya
Raden Patah, tuhu kern bar ingkang warni.
(21) Sang nata nulya ngandika, "Heh bagea putrengsun Kaki
Santri", Dyan Patah nembah tur nuwun, "Kapundhi ing mes-
taka, palamarta Dewaji ingkang dhuma- (k.181) wuh", sang
nata malih ngandika, "Iya Patah sunideni, -
(22) nggenira ababad alas, yen wis aJja kabeh wong gama san-
tri, padha ngidhepa marang sun, ya sira kang momonga,
Ian sun-ganjar jenenga dipati mungguh, Natapraja neng
Bin tara, ya karyanen praja Kaki.
(23) Lan ditetep gama Islam, sesenengan pan ingsun tan ngla-
rangi" , kang sinung ling matur nuwun, sandika awotsekar,
angandika malih Kangjeng Sang Aprabu, "Ki Usen sunjun-
j ung 1enggah, neng Terung Neneng dipati.
(24) Ajejuluk Pecattandha, bocah magang patahen kang lelinggih,
samurwate diapatut, null padha luwara", tur sandika kang
liningan awotsantun, sang nata anulya jengkar, kondur
manjing kenya purl.
(25) Sarawuhnya Prabayeksa, sri narendra pineluk prameswari-,
nulya lenggah Jeng Sang Prabu, sung wikan marang garwa,
niskaranya ing purwa wusananipun, Jeng Ratu sukeng wer-
daya, naha- (k.l82) n tya kang mantuk nagri.

206

\
(26) Sang Dipati Natapraja, sampun amit kelawan Kyana Patih,
tenapi Dipati Terung, sewadya santri bingah, kur-ungkur-
an kang mring Demak lawan Terung, wadya lit sami kasu-
kan, slawatan emprak semargi.
(27) Mulyeng donya milih marga, dhuh Gustiku nenggih sang Adi-
pati, mahalena temah mangguh, suwarga luwih mulya, tuk
supangat ing Jeng Gusti Nabi Rasul, kelawan-' para sekabat,
mila sami denkawruhi,
(28) mring ngelmu kawan prakara, ingkang dhihin iman tokit
ping ka1ih, tri makripat Islam catur, iku ngehnu kang nyata,
awit antuk sebdaning rama sang wiku, sesunan ing Ngam-
peldenta, ibu raka Plembang sami.
(29) Njurung ingkang puji arsa, myang sebdaning sagung kang
para wall, marang sang dipati wau, mila sagunging jalma,
mituhua prabote ngelmu satuhu, dhihin srengat Ian kake-
kat, tarekat ingkang kaping tri.
(30) (k.l83) Ping catur ingkang makripat, mila gunging umat _
mukarap sami, sapa kang nglakoni tuhu, mantep nyuwun
mring Sukma, mulyeng donya nadyan Buda kapir kawuk, sa-
yekti pan tinurutan, mrih mulyane donya ngakir.
(31) Senadyan jalma Islama, yen tan mantep cipta dadi sawiji,
nggenira minta Ywang Agung, yekti datanpa dadya, mila
sami dipunmantep sedyanipun, ywa nganti mangro karsanya,
poma sami dipuneling."
(32) Nengna dwi kang sukeng marga, pan wus dugi ing prajanira
sami, ya ta gantya kang winuwus, warnanen putra Tuban,
Seh Melaya kang mardika mring Ywang Agung, langkung
dennya bekti Sukma, tan nggalih kamukten dhiri.
(33) Saenggen-enggen mertapa, mider ing rat mangambah wana
ardi, nenepi neng guwa samun, samben guwa jinajah, gung
pesantren sedaya ingambah sampun, wus katrima mring
Ywang Sukma, tan samar ing tingal gaib.
(34) Mangke nu (k.l84) jwa ngider jagad, Seh Melaya tindak
urut pesisir, prapta ing samodra kidul, uninga jalma tapa,

207
...

aneng ingjro guwa Langse apitekur, tengrannya kang mangun


tapa, sang Seh Maulana Mahrib.
'
(35) Wus lami nggenira tapa, aneng guwa pitekur datan musik,
ngantya gimbal remanipun, kuku panjang nyarongat, wus
tan nyandhang busanane ajur mumur, Seh Melaya gawok mu-
lat, mring kelokaning Ywang Widi.
(36) Mangkana usiking driya, "Luwih temen kelokan Sukmana di,
kang tapa sandhange mumur, kuku remane panjang, tanpa
bukt i soprandene nora lampus, luwih temen kinasihan , rna-
rang Ywang Kang Mahasuci.
(37) Bay a ngendi pinangkanya" , kang a tapa ragane densakiti,
kang tapa ngling jroning kalbu, "Dene ta tambuh asma, Seh
Melaya aja ngregoni marang sun, tan kober nyapa mring sira,
lagya ngandika Ywang Widi."
(38) Seh Me- (k.l 85) laya datan samar, mring usike kang tapa
wus udani, ngraos kasor ing pandulu, kaluhuran ing cipta,
Seh Melaya mijil guwa tyas gegetun, lestari ngilen tindak-
nya, nurut gisik tepi jladri.
(39) Lampahira sampun lepas, Seh Melaya ing nagri Crebon
prapti, nulya nendra neng delanggung, nujwa marga prapa-
tan, nggennya nendra nedya tapa neng marga gung, dakare
ngadeg lir gana,jalma langkung mlengos sami.
(40) Nulya katur Pangran Modang, lamun wonten tiyang nendra
neng margi, anglir gana dakaripun, Pangran nulya paren-
tah, marang garwa kinen nggodha mring kang tidhur, sang
dyah catur gya sumbaga, nracak ayu kaduk manis.

(XX\'1 DHANDHANGGULA)
( 1) Garwa catur seksana umijil, prapteng lurung prenahnya
kang nendra, kang winungu eca sare, sedalu neng nglelu-
rung, sang dyah catur anggodha ganti, marang kang tapa
nendra, winungu tan keguh, tan pady a lamun musika, (k.18.6)

208


malah dakar kang wungu awangsul alit , pra garwa mundur


merang.
(2) Prapteng pura matur marang laki, tur uninga solahe mang-
godha, tan pepayon panggodhane , malah dakar kang wungu,
wangsul alit sacabe aking, Pangran Modang ngartika, yen
wall kang tidhur, seksana Pangran tumedhak, mring lelu-
rung ingiring k eng sabat murid, prapta nggen Seh Mela-
ya.
(3) Uluk salam Pangeran duk prapti, Seh Melaya nauri k ang
salam, nanging meksih eca sare, Pangran anulya t unggu,
neng nglelurung dugi sapta ri, gya wungu kang anendra ,
sesalaman· sampun, Seh Melaya Ion ngandika, "Lagi ngan-
tuk saliyepan aneng margi, tan uning Yayi prapta."
(4) Lon umatur Pangran Wukirjati, "Dhuh Kakangmas suwawi
katuran, kampir dhateng jro kedhaton " , Seh Mlaya ngandika
rum, "Suntarima sihira Yayi, pun kakang mbujung lampah,
ya sun arsa (k.l87) laju, nusul marang guroningwang, Su-
nan Benang arsa lana munggah kaji, Yayi kantuna wir-
ya."
(5) Seh Melaya gya Iaju lumaris, Pangran Modang kondur ange-
dhatyan, tansah ngungun jro driyane , ya ta malih winu-
wus, Seh Melaya kang arsa kaji, wus nyabrang ing samo-
dra, Puio Upih rawuh, Seh Melaya gya kepapag, Ian tin-
' daknya sang Seh Maulana Mahrib , Seh Mlaya Ion tinanya.
(6) "Kita Jebeng arsa marang ngendi, dene kita anyabrang sa-
modra", Seh Meiaya Ion delinge, "Manira arsa nglangut,
marang Mekah amunggah kaji", angling Seh Maulana , "De
bebakal tuhu, kit.a wus antuk nugraha, tingal padhang
saciptanira wus dadi, arsa kaji mring Mekah,
(7) Basa Mekah dudu Kambah yekti, Mekah tiron tengerane se-
la, kang gumantung tanpa canthel, pan ika tilasipun , Jeng
Ismangil kalane lair, Nabi Brahim kang kar- (k.188) ya,
serengat kang tinut, dene kang ahli makripat, nut ing Keblat
Mekah Kakbah sarak nabi, asline jati puba.

209
J

(8) Ya wis aneng ing sira pribadi, kang linuwih amurba misesa,
aneng sira ·paesane, pama yen ngilo iku, neng caremin katon
keka1ih, jatine iku tunggal, wayangan kadulu, datan ndulu
kang layangan, sangking tan wruh marang kang ngilo jro car-
min, wis Jebeng awangsu1a."
(9) Seh Me1aya kacaryan sebdaning, mendhak arsa mangaras
kang pada, sang Wiku alon delinge, "Dhuh Jebeng sampun-
sampun, kita Jebeng pan boya keni, kita ~rus pinangeran,
wall kang panutup, sakeh wall kang atapa, tan madhani
brangtanira mring Y wang Widi, sakarsa wus suntrim a."
(10) Seh Me1aya matur tanya niti, ''Tuwan pundi sinten kang pi-
nuja, amba ayun andhedherek", ngandika sang Awiku, "Ya
sun Eseh Mu1ana Mahrib, ngasrama Perna- (k. 189) ncingan,
Ngarab angsal ingsun, aja susah mintraningwang, sira arsa
anggeguru marang mami, ya J ebeng nora ken a.
( 11) Lamun kita nora dililani, marang guronira kang kawitan,
wenangsun mlambangi bae, pecak wong setyeng guru, mrih
katrima marang Ywang Widi, kita luwung tapaa, neng kali
atunggu, wot ga1inggang kang neng marga, dhedhukuha pin-
tanen gurunta yekti, kang prapta panggepokan.
( 12-) lngkang tebih tan wangenan mesthi, dinyatakna kang kadi •
Satmata, dikerasa ing rasane, ya uwis jarwaningsun", jawab
asta laju lumaris, warranen Seh Melaya, kang kantun de-
1anggung, anenggani wot galinggang, aneng wana tanpa dha-
har tanpa guling, sesendhen wit ga1inggang.
( 13) Satus dina kramatira dadi, ponang glinggang ngrembuyung
godhongnya, ngaubi nggenira sendhen, sangking parmeng
Ywang Agung, kayu aking sinendhen urip, wuwusen Suna-
(k. 190) n Benang, kang andon manglangut, tindak nguwot
neng galinggang, nulya uning kang rayi neng pinggir kali,
winungu uluk salam.
(14) Seh Melaya kagyat wungu ngeksi, mring kang raka gupuh
nyandhak asta, Sunan Benang Ion sebdane, "Paran karsa
Reningsun, aneng alas anjaga kali, yen mengkono ta sira, ya

210

. - . ..

~unwehi juluk, Sesunan ing Kalijaga", para sabat kang ndhe-


rek sami ngestreni, Seh Mlaya nami Sunan.
( 15) Wusnya raka nggen ngasmani rayi, Nglepenjaga kinen karya
dhekah, kang garwa sinusulake, semangke pan wus rawuh,
oneng laki laju ngabekti_, sang kalih pan wus karya, kang dhe-
pok apatut, semangke dugi kang karsa, raka nebda dhateng
.- rayi Sunan Kall; "Mayo mring Giripura .
(16) Yayi kana lelurahing wali, Sunan Girl Sang Prabu Satmata,
kang ngreh wall Jawa sakeh, mayo nuwun pangestu",
tur sandika kang sinung angling, sang kalih nu- (k. 191)
lya kentar, pra murid tut pungkur, ing marga datan winarna,
sampun lepas dwi sunan nggennya lumaris, glis prapta Girl-
pura.
(17) Laju cundhuk Ian ri Sunan Girl, majeng samya jawab sesa-
1aman, nuju pepak gung waline, Sunan Benang lingnya rum ,
marang rayi Sesunan Girl, "Amba Yayi tur wikan , jangkep
wali wolu, nggeh pun adhi Lepenjaga, kang jumeneng wali
panutuping wall, sinihan mring Ywang Sukma."
( 18) Sunan Girl ngling mestu ngideni, jumenengnya Sunan Kali-
jaga, mupakat wali sakehe, Sunan Kali Ion matur, marang
raka Benang sang Yogi, "Kawula nami sunan, dereng angsal
tuduh, amba nyuwun pangawikan", Sunan Ngampei dhawuh
sebda marang siwi, Jebeng sira wejanga."
( 19) Sunan Benang nulya matur pamit, dhateng Rayi Sang Prabu
Satmata, Ian sudarma Sunan Ngampei~ linilan kalih mundur,
sapraptanya pakuwon masjid, Su- (k. 192) nan Benang mring
rawa, gya nitih perahu, Ian ri Sunan Kalijaga, nunggil palwa
kang tinitih palwa alit, palwa rembes tinambal.
(20) Sunan Benang angandikeng rayi, "Iku Jebeng rembes baita-
nya, ge popoken ngendhut bae", kang rayi aglis nyawuk,
kisma endhut kinarya dalit, mantun rembes kang palwa,
wineiahan sam pun, baita laju manengah, sirep jalma marengi
purnamasidi, Sunan Kali winejang.
(21) Pamejange sinemon pamingit, "Damar murub yen mati urub-

211

\

,

nya, 11rube nyang ndi parane", kang rayi glis umatur, kale-
resan dennya nampeni, lepas kang panggraita, tanduk sarta
wahyu,_sineksen marang Ywang Sukma, kang pratandha se-
sangka Ian Sang Ywang'Rawi, pecoblong tanpa cahya.
(22) Sunan Kili1angkung nuwun kang sih, majeng nembah manga-
ra~ kang pada, Sunan Benang lingnya alon, "Yayi diawas
emut, aja kongsi kawedhar nglathi, (k. 193) iku sebda larang-
an, yel! kawedhar wuwus, sagunge ingkang tumitah, yen ma-
ngerti dadi manungsa linuwih, kupur kapir sampurna."
(23) Nulya wonten cacing lur mangarti, ingkang wangsit sesmita
k amuksan, cacing katut nglempung pop~k, duk Sunan Kali
nyawuk, ngambil endhut katutan cacing, wor popok ing bai-
ta, mangarti ing semu, nulya ngucap kadi jalma, aglis matur,
"Kawula mangarti wangsit, amba yun puruhita."
(24) Sunarr Benang kagyat amiyarsi, angandika, "Heh sapa kang
ngucap, dene tan katon warnane", ponang cacing Ion matur,
'" "Kawula lur mangarti wangsit, duk Tuwan asesmita, lun
natnpeni semu, semune jati manungsa, pan kawula tumut ka-
dya.sesmita di, ngraos dados manungsa."
(25) Sunan Benang angandika aris, "Wus pinesthi kodrating
Ywang Sukma, cacing ngrungu dadi uwong", mandi sebda-
, ning wiku, cacing nulya awar- (k. 194) ni jalmi, pan sarwi
c ngaras pada, ngandika sang Wiku, "lya uwis suntarima, se-
tyanira kang tuhu marang ing kami, arana Sitijenar.
(26) Maneh ngmna Seh Lemahbang becik, dene angsal seka ngle- --
mah abang", kang sinebdan nuwun ture, ngling malih sang
. Awiku, marang Rayi Sesunan Kali, "Iku Yayi pratandha,
kluwihan Ywang Agung, tan kena kinaya ngapa, Yayi sira

duk durung sunwejang uwis, sinelir mring Ywang Sukma. -
(27) Rikalane sira arsa kaji, kinon wangsul mring Seh Maulana,
sira neng kali sesendhen, kongsi antuk tri tengsu, krasanira
sakedhap guling, yen aja sinelira, mesthi ajur murnur, Yayi .
jiwa raganira, perbawane sira brangta mring Ywang Widi,
tanpa guru lakunya.

212
'


'

(28) Luhung sira Yayi wis sinelir, mring Ywang Sukma langgeng
ananira, badan langgeng ing anail.e, urip tan kena nglampus,
urip datan ana nguripi, nadyan prapteng akerat, langgeng
ananipun, sakeh- (k. 195) e uliya, durung ana kang nyabrang
segara pati, patitis kaya sira. -
(29) Ya sun iki upamane Yayi, ngadhep madu mungging jroning
gelas, mung weruh mayane bae, rasane durung weruh, sun
kepengin kaya si Yayi, nyabrang segara rahmat, yen kena
Reningsun, Y ayi ingsun pirsakena, basan lem·b u anusu mring
anak genti, guru meguru sabat."
(30) Lon umatur Rayi Sunan Kali, "Nggih swnangga mung ngater
kewala, margenipun gampil angel, tan kenging was ing kalbu,
langkung rungsit ndhemit kang margi", sigra madeg kalihnya,
sunan gya manekung, asta sami ngmngkul madya, suku jajar
-mremanakken tingal ening, sakedhap prapta Mekah.
(31) Sitijenar wrin arsa nututi, nut ing guru madeg suku tunggal,
mateni8 ) panca driyane, sakedhap netra rawuh, Katbah Me-
kah anulya panggih, 1an sagung waliollah, Jawa wali wolu,
sami asalat Jumungah, minggah Katbah wall wolu sinung
wang- (k. 196) sit, sanganya Sitijenar.
(32) Wali wolu wus wenang nimbangi, mesjid Mekah ginambar
neng Dem.ak, pinaring surat kutbahe, bakda Jumungah man-
tuk, para wali gancang wus prapti, ing Jawa njujug Demak,
• seksana pinangguh, Ian dipati ing Bintara, Natapraja gupuh
angancari linggih, gya lenggah pra uliya.
(33) Sang Dipati mider angabekti, gung pra wall pan asih sakirna,
asung pandonga luhure, sang Dipati jrih suhud, gung prn wall
denkawulani, rinojong sakarsanya, pemangsutira rum , wall
sakima memuja, mring Ywang Sukma kadugena sang Dipati,
nggen minta mengku ing rat.
(34) Sunan Girl angandika aris, marang Rayi Dipati Bintara,
"Yayi cawisa kayu k eh, kinarya masjid agung, para wall

8) asline: matena ....


\

213

-

ingkang ngadani, anepa Katbah Mekah, sira kang katempuh,


angkat junjunge Ian wreksa, usuk sirap eieng biandar Iawan
tali, pangret Ian wuwungira,
(35) suntempuhken marang sira Yayi, de- (k. I97) ne kanca sa-
gung pra uliya, ngong bebahi sesakane, wamining saka guru,
. mangsi borong mring kanca mami, dene keng saka rawa,
- pra mukmin sedarum, kang kesdu njenengi iman, ngong be-
bahi saka rawa kajengjati, nunten sami padosa."
(36) Kang J.in:ingan sandika mestuti, para wali wus riyek sarem-
- bag, Iuwaran mring wana agrong, sedyarsa ngambil kayu,
kang pra wali Ian sagung mukmin, mrin~ ~I~ ting salel?ar, na
ngalor mangidul, ana ngulon weneh ngetan, gya wamanen
Sunah Kali kartg lumaris, wus prapta madyeng wana.
(37) Gantya winarna kang nglaya bwni, Sang Sri Darma lawan gar-
wanira, dera nganti ubayane, srengat baru winangun, karsa-
ning Ywang mangkya kayektin, kendrannya sampun lama,
ing mangkya pinangguh, _kang dadya margeng sampurna,
~· wangsiting_ Ywang wall lcang ngran Sunan Kali, Seh Mlaya
aris tanya.

- (38) "Nggeh ta Sanak amba nilakrami, ~n~ar (k. 198)_katon sin- .- . .
ten kang pinuja", Sri Darma alon wuwuse, "Yen kita tanya
mring sun, Dannaputra jejuluk mami, nguni nateng Ngamar-
ta, panca kadang ingsun, baHk kita sapa tengran, Sunan weca,
"Nggih lun keng ngran Sunan Kali, panutup pra uliya."
(39) Sunan ngrepa tanya niti-niti, "Kadi paran panduka tan meng-
krat", Sri Dattna alon delinge, uMulane ulun kantun, sabab
marga pundhensun iki, srat ingran Klimasada, sing dhawuh
Ywang Guru, tan kalilan yen mengkrata, lamun durung ana
kang wigya njarwani, suraseng Klimasada.
(40) Sang Y wang Guru kang misiking kami, besuk ana· ingkang
wigya medhar, Seh Melaya ing arane, ya kita apa sanggup,
asih jarwa layangsun iki, kita lamun kaduga, anjarwani tuhu,
yekti sira Seh Melaya, lamun kita tan wigya
. njarwani yekti,
.
dora pengakonira."

214
(

(41) Sunan Kali tanggap turira ris, ''Yen mekaten amba yu- (k.
199) n uninga, Kalimasada ungele", srat gya sinungken sam-
pun, sunan mbuka winaos ririh, wusnya maos saweca, "Pan-
duka napa yun, nut suraseng Klimasada, nggeh punika ngel-
mi}ling Y wang kang linuwih, kang tinut pra uliya." =

(42) Sang Sri Dannakusuma nyagahi, wus ~inulang nebut asma


Allah, miwah prapteng
.
kamuksane, Sri Danna Islam. sam pun,
lan kang garwa sampun winisik, sang Nata nulya nebda,
"Kaki manira sung, beberkatan marang kita, warna keris
agung saw abe ing nguni, Ki Kopek aranira." .
(43) Wus tinampan dugi kang panggusthi, "Sri Narendra amaosa
-
adan, klimah roro kang suraos, wusnya kesthi gya surud, Ian
kang garwa sareng ngemasi, kalih gya sinucenan, sinalatken
sampun, sinare neng madyeng wana, sinengkalan gapura trus
ingkang }almi,-sunan ngungun ing driya. :
(44) Laju madik wreksa (k. 20Q) kang prayogi,- tinengeran kang -
badhe sesaka, girru dadya betahane, Sunan Kali gya ndulu,
kang canthoka minangsa muni, sunan gati manebda, mijil
sebdanya .hu, sarpa nglepeh nggennya mangsa, kang canthoka
wus uwal mencolot tebih, sarpa mrak matur sunan.
(45) "Punapaa Tuwan amarduli, ngandika hu ucul mangsa amba,
Tuwan ngandika wiyose", Sun an Kali nglingnya rum, "Ya
hulunen mangsanmu aglis", sarpa narima kendra, canthoka
~ya rawuh, lon umatur "Punapaa, sebda Tuwan ngluwarken r
nggen amba sakit, punapa tulus luwar."
(46) Sunan Kali mangsuli nglingnya ris, "Ya huculna aja sira mang-
sa", canthoka legaweng tyase, wusana alon matur, marang
sunan. anuwiln kang sib, "De Tuwan paring gesang, mring
dasih meh lampus, benjang Tuwan ngusung wreksa, medal
tirta sampuri susah mawi jalmi, lunbekta nganthi rowa:ng."

xxvn. KINANTm
( 1) (k. 201) Sang Wiku ngling "lya besuk, sakarsanta nggenira
sih", 1uwar wus sang Wiku linggar, ingiring pra sabat murid,

215


...

sunan nulya a was mriksa, mring Rayi Tapa wus Iami.


(2) Tan nendra tan dhahar minum, wus supe wiranging wadi,
awor kidang lawan sangsam, tinimbalan mlajat nggendring,
estu supe marang kadang, sunan langkung ngungun galih.
(3) Sang Wiku anulya dhawuh, mring sabat lurah kekalih, tedhak
empu tengran Supa, anom digbya guna sekti, antuk sih guru
sang Tapa, mila Supa punjul sami.
(4) Kathah muridnya sang Wiku, mung kalih tinuduh kardi,
Iman Semantri Ian Supa, kinasihan sami sekti, kinen mbujung
kang mor kidang, Ian kinen mbekta rejeki.
(5) Kinepelan ingkang sekul, kinarya mbalang kang topi, nulya
laju katri linggar, gancang prapta unggyan Rayi, Rasawulan
k ang neng wana, uningjalma mlaywa nggendring.
,
(6) (k. 202) Cinegat-cegat binujung, doh binalang kang rejeki,
sakepelan kaping tiga, atutut cinandhak keni, Jaka Supa kang
amegang, dyah budi-budi akontit.
(7) De wus nir enget sang ing rum, tan nganggya wastra sacuwil,
budi cinepeng astanya, Sunan tulung nubruk rayi, sarwi neb-
da tinimbalan, sang Retna anulya eling.
(8) Supa aglis ngudhar sabuk, pininjungken mring sang Dewi,
wus brukut dyah wadosira, si Supa sinebdan eling, mangsah
. ngrangkul padeng raka, sang Wiku Ion dennya angling.
(9) " Wus luwara ya Reningsun, Ian muliha marang Tubin,
mengko sua akramaa, Ian Supa warnane pekik, sabab iku
k ang weh sandhang, Y ayi marang sira yekti.
( 10) Benjang rama yen wus surud, sira mengkonana Tubin, ya
Supa timbanganira", sang Dyah tan Iengganeng karsi, wus-
nya nggusthi nulya linggar, sunan marga tan winarni.
'
( 11) (k. 203) Ing nagrinya Tub an rawuh, pangguh darma Ian bu
sori, Sang Retna Yu Rasawulan, udrasa neng pangkyan sori,
ibu ngrangkul wor karuna, an em brama putra kalih.
( 12) " De lama sunsengguh lam pus, tan nyana meksih basuki, Ian·
tan ana wartanira, satemahe padha prapti", -putra weca Ion

216
turira, "lnggih antuk silting Widi."
( 13) Sang Dipati ngandika rum, mring putra kang lagya prapti,
"Sunjarwani Putraningwang, ingsun pan wis sepuh Kaki, aja
sira lunga-lunga, adhepan nagrimu Tubin.
(14) Yen ingsun wus prapteng lam pus, sira yogya ·k ang nggenteni",
sunan alon weceng danna, ing purwa ngaturken sami, nggen
jumeneng waliollah, myang solahnya ri sang Dewi.
( 15) Sang Dipati d uk myarsa tur, ing driya katujweng galih, sa-
karseng putra sumarah, de putra wus digbya sekti, seksana
gya dhawuh patya, sumektarsa boja krami.
(16) Wadya Tubm sao- (k. 204) s tugur, ing latri wuwusen enjing,
sang Dipati nulya lenggah, manggihken putra sang Dewi, kang
mangku Sang Jaka Supa, patihira sang Dipati.
(17) Patih Supa wus neng ngayun, nulya wau Sunan Kali, ngija-
baken kang temantyan, wusnya ijab laju panggih, luwaran
patih sewadya, wusen temantyan neng purl.
( 18) Kakung Pu tri keksi run tu t, sunan wrin trustha kang galih,
dugi ing samadya candra, sang Wiku aneng ing Tubin, mang-
kyarsa a darbe karsa, yasa braj a warn a keris.
(19) Nuduh muridira sampun, Rayi Supa dentimbali, kering dha-
teng Kepatihan, lampahira aglis prapti, mungging ngarsa Raka
' Sunan, sa11g Wiku ngandika aris.
(20) "Jebeng karyakena ingsun, keris cothen kang prayogi, arsa
sunagem pribadya, iki Jebeng ingkang wesi, wijil seka akha-
diyat, mung saklungsu J ebeng iki."
(21) Kang wesi tinampen sam pun, mring Supa awrat (k. 205)
nglangkungi, wusana Ion aturira, "Tosan Tuwan langkung
alit, mung saklungsu ing agengnya, boten kenging dipun-
supit.
(22) Won ten nglebet brama murub, pinalua boten kenging" ,
sang Wiku Ion ngandikanya, "Ngarah apa wesi cilik, nora su-
sah winuwuhan, wus engga arga kang wesi."
(23) Gya wesi wewah gengipun, keksi njenggeleg sawukir, kagyat

217
Supa dennya mulat, yen wesi wewah saardi, Supa ajrih kew-
ran driya, wigyuh dennya arsa nyupit.
(24) Yen wesi malih sagunung, wiku uning wlas nulya ngling,
"Wesi sagunung kang ilang, saklungsu mung ingkang meksih",
gya sima wesi saarga, mung kantun saklungsu malih.
(25) Sangking mandi sebdeng wiku, Supa ngungun ing tyas ajrih,
penang \vesi gya cinandhak, dennyet-enyet dadya keris, soret
abang lir Sengkelat, sukan langkung trustheng galih.
(26) Wrin digbyane (k. 206) arenipun, de nyubaki ingkang karsi,
kang dhuwung pinundhut nulya, katur ingasta kang keris,
sang Wiku ngandika tanya, "Dhapur apa keris iki."
(27) Supa sumangga kang atur, sunan nebda amestani, "Iki ngran
dhapur Sengkelat, de a bang soroting wesi, anging iki tan pra-
yoga, dianggo wong laku santri.
(28) Ya kang pantes ngagem besuk, pertinggine nungsa Jawi",
dhuwung pinaringken Supa, nembah tinampan pinundhi,
gya sang Wiku malih nebda, "Sunggawekna keris maning.
(29) Dinggo cothen ingkang patut, ~embelehan ingkang pranti,
pantesen dinggo wong gam a, mengko ingsun gresek wesi",
sang Wiku gya nyipta tosan, sing mertabat wahdad wijil.
(30) Mung sadherekan gengipun, gya sinungken Supa aglis, tinam-
pin nulya kinarya, pinijet-pijet kaping tri, braja katga aglis
dadya, ingaturken mring sang Yogi.
(31) Kaleresan karsanipun, crubuk dha- (k. 207) pure kang keris,
Sunan langkung trustheng driya, wusana ngandika aris,
"Jebeng banget trimaningwang, ingsun darbe keris kalih.
(32) Anging ta panduganingsun, ya si Crubuk benjang wuri, dadi
ageming narendra, ing turun-tumurun benjing", sang Jumu-
rung karsa, purneng karsa kondur yogi.
(33) Manjing dalemnya karuhun, laju lenggah lawan murid, sang
Wiku medharken wulang, "Sunjarwani sira sami, ing apa pa-
murung lampah, kang ginelar ing dumadi.

218
(34) J a darbe kareman kalbu, sapratingkah dipuneling~ dipadha
ngrasa kawula, yen wus sinung ja ngengkoki, ya 1ku gegah-
ing Sukma", tumya nuwun sang Semantri.
(35) Sang Wiku puma kang wuwus, ing semangke nagri Tubin,
sagung dasih sampun wrata, anut Islam kang agami, ing sa-
rengat nabi duta, ngelmining Ywang Mahasuci.
(36) Wus madeg Jumuwahipun, sinungan bedbug Ian mesjid, na-
gri Tubin wus kuncara, wau sunan manjiPg puri, prapta ngar-
(k. 208) saning sud anna, ngawe kin on jajar lingglh.
(37) Rayi Supa mungging ngayun, Ian garwa Sang Retna Dewi,
sang Dipati driya trustha, sapraptanya putra kalih, samangke
wus sami krama, mula trusthanira ngenting. ,
(38) Sang Dipati ngandika rum , dhateng putra Sunan Kali, "Kaki
paran karsanira, sunsrah nagrenira Tubin, sedheng ingsun pan
wis tuwa, yoga sira kang gumanti.
(39) J er sira putrasun sepuh, mayo sunsebakken Aji, Brawijaya ,

kang misesa, sawengkone nungsa Jawi, sunsuwunken idi sira",


sang Wiku Ion atur darmi.
(40) "Rama ing sadhawuh nuwun, mangke sampun nggalih mami,
yogi pasrah Ywang keng murba, nagri boten andarbeni, bo-
rong punapa sang Nata, Brawijaya Maospait.
(41) Lamun pareng karsa Prabu, Supa Yogi dados wakil, amakili
, putra Tuwan", sang Dipati pethuk karsi , malih sunan matur
darma, "Rama lamun pareng karsi,
'
(42) (k. 209) santuna agamenipun , anut dhateng srengat wali,
anebuta klimah sadat, sampun karsaning Ywang Widi, wina-
ngun ingkang sarengat, sirnaning Bud a semangkin.
(43) Brawijaya sang Aprabu, keng mungkasi Maospait, nggen ju-
meneng ratu Buda", gya dipati nut ing siwi, wus nebut kali-
mah sadat, Ian kang garwa nut agami.
(44) Nagri Tubin wradin sampun, mangkya baru mangun gami, · ,
anggegulang ngelmi rasa, sang Supa ingkang pinundhi, miwah
sekti kanuragan, kadigbyaning jayeng jurit.

219
(45) Kang tinenga sang Awiku, wau ta Sesunan Kali, dugi karsa
enget driya, ubaya ngadegken masjid, Ion nebda mring Rayi
Supa, "Ya J ebeng keria nagri.
(46) Sakreh renteng ing praja gung, sawengkone nagri Tubin,
mongsa bodhoa ing sira, Iawan sira sunjarwani, kerisira si
Sengkeiat, ya pundhinen diabecik.
(4 7) Lamu- (k. 21 0) n weya kang pangrengkuh, si Sengkelat me-
nek mutik, kongsi murca seka sira, mesthi ngrengkakaken
nagri, yen Sengkelat bisa krasan, ana tandhanira mesthi.
(48) Kudu keh kramate tuhu, kinedhepan sam eng jalmi, sasat
ndulu mring sang Nata, trusing driya lulut asih, Jebeng iya
marang sira, Iabet Sengkelat karya brangti."

XXVIll. ASMARADANA
( 1) Mestu ingkang sinung angling, Sun an gya amit ing danna,
wangsu1 mring Demak karsane, rama ibunya sumarah, gya
Sunan mijil pura, Ian muridnya pan wus pangguh, laju kentar
gegancangan.
(2) Tan winarna kang lumaris, warnanen malih sang Supa, kang
pasihan Ian garwane, mangkyarsa mring Majalengka, de wus
lama tan panggya, arsa tuwi rama ibu, Ki Tumenggung Su-
padriya.
(3) Sang Retna tan kena keri, kedah tumut mring kang raka,
amit rama Ian ibune, arsa uning maratuwa, mangkya dyah
wus kalilan, gi- (k. 211) nrebeg pawonganipun, jalu estri
wolung dasa.
(4) Wus bud hal sang Retna Tub in, nitih joli jinejaran, asang-
kep upacarane, sang Supa nitih turangga, respati songsong
abang, kang ningali kathah wuyung, sang Supa bagus taruna.
(5) Kuneng wau kang Iumaris, ya ta gentya kang winarna, nagri
Demak miniraos, Sang Dipati Natapraja, sanega sagung wrek-
sa, ingkang badhe masjid agung, pra wali pepak sakirna.
(6) Sunan Girl pan wus prapti, ambekta saka sekawan, pan sami

220
jati sungune, Pangeran Palembang prapta, Ian Sunan Ngam-
peldenta, saka catur bektanipun, Ngudung Sunan Wuryapada.
(7) Sunan Wukitjati prapti, ambekta saka sekawan, rampak ageng
myang panjange, prapta Pangran Sitijenar, catur bektanya
saka, Sunan Kalijaga rawuh, mbekta saka pan mung tiga.
(8) Seh Mu1ana Benang prapti, wus pepak wali (k. 212) sakirna,
mukmin uliya sedene, ladosane pan nyekawan, mung Sunan
Kalijaga, pan tiga Iadosanipun, canthoka kang sami mbekta.
(9) Juga canthoka kang ngirig, kebut anak putonira, munya
barung kodhok ngorek, piniarsa anglir gangsa, kagungannya
narendra, Keboganggang munya umyung, karya ngaben danu

s1nga.
(I 0) Canthoka kang tebih myarsi, ing rong dharat miwah tirta,
Iir ngundhangan myarsa swareng, mijil men co lot sing prenah,
sukeng tyas manjing tirta, kebut precil cebongipun, mbekta
balok mungging tirta.
( I1) Kirang juga nggen ngladosi, dereng angsal angu pay a, pra
mukmin wus sami prapteng, sumekta bektanya saka, bine-
bahan nyekawan, sedaya sami pinatut, pinasahan rinempelas.
( I2) Kumrubut kang para wali, ngundhageni kang sesaka, pine-
tang gung sesakane, a (k. 213) geng alit wolung dasa, anging
' kirang sajuga, Seh Mulana Ion amuwus, marang Sunan Kali-

aga.
( 13) "Heh Ki J ebeng Sunan Kali, aja paran ngeca-eca, sesuk-
esuk ing adege, saka guru meksih kurang, kang ngether
Kaki sira", Sunan Kali Ion turipun, "Nggih mangke dalu
ngu pad ya." ·
(14) Wau ta Sesunan Kali, kasesa nggen pados saka, ngadhepi
tyang madung mothel, dugi latri nglembur saka, nglempakken
sagung tatal, tinumpuk tinata mujur, kinarya panjanging
saka.
( 15) Seksana dipuntatahi, ingawang law an deduga, gya pin ethel
pangerete, pamethele kendel mangkya, nyelehken kang


221
'

bedhama, nufya orong-orong metu, sareng Ian selehing


gainan.
( 16) Antuk gulu pedhot sisih, nguwir-uwir asesambat, "Adhuh-
adhuh Gusteningong, amba pejah boten dosa", kagyat sang
Wiku myarsa, (k . 2 14) keksi andhepepel muwus, "Dhuh Gus-
ti tan do sa atn ba."
(I 7) Kang pethel ingelih aglis, orong-orong kalintingan, gulu pe-
dhot sru tangise, sesambate melas arsa, mungging ngarsanya
Sunan, pra sekabat samya ndulu, gawok ngeres sambatira.
( 18) Orong-orong matur nangis, "Dhuh Gusti nyuwun usada,
tepangena jangganingong, yekti amba boten dosa, yen ulun
tekeng :tna", ' sang Wiku ngandika arum , "Tan nedya mateni

1ngvyang.
(1 9) Mung nyelehken gaman mami, sira metu sun tan wikan, bong-
gan sira orong-orong, kita nangis takon dosa, dosanira kainan,
de tan idhep ing cilikmu, marani wong lagi merang."
(20) Orong-oro ng matur aris, "Tan nedya paben kawula, nggih
m ~ng nyuwun tulung ingong, jer panduka kang sinihan,
d ~ateng kaJ~g murbeng jagad, yen panduka kasih tulung,
lu wung ulun u- (k. 215) ntapena."
(2 1) Sa1_1g Wikt wlas luntur kang sih, orong-orong Ion cinandhak,
nulya sinambung griwane, tatal jati kang kinarya,
~. er·g git .. ot-: .t'renahira, apan ta wus muly a sampun, orong-
orong g_thok tatal.
22) Was p1.:.lih 1ir kadya nguni, gya ngeculken sangking asta,
tan ewah mangke solahe, warnanen wus dugi enjang, sagung
para uliya, t andang gregut angkat junjung, kumerut kang
nrunbut karya.
(23 / I..ir serr ut soiahing jalmi, anggili datanpa wilang, angusung
kisma wedhlne, tuwin gowong myang mergangsa, solahe lir
rewanda, Pancawati sedheng nglurug, mring Ngalengka n·a m-
bak sagra.
(24) Bintara sang Adipati, lir Sang Prabu Ramadewa, njenengi
karya tambake, para wali myang ngulama, ndedonga minta
mring Ywang, pendah dewa swarga tumrun, mestuti
waluyeng karya.
(25) Saka guru gya rin~it, ler kilen Prabu Satma- (k. 216) ta,
kidul kilen Sunan Ngampel, kidul wetan Seh Mulana, ler we- •

tan Seh Melaya, saka tatal kang rumuwun, madegnya tanpa


ceblokan.
(26) Kang tiga glis animbangi, medalken prawiranira, madeg sa- I

reng sesakane, madeg tan mawi lantaran, amung tinuntun


ngarsa, nulya pamidhangan magut, ingoyog manjing sesaka.
(27) Jagaruna anusuli, anurut saka sekawan, gya nginggahken
pangerete, glis manjing purusing saka, dhadha pesi tinum-
pang, wus ngadeg kang dudur magut, sekawan sareng pina-
sang.
(28) Takir lumingsir pritgantil, wus pinasang kinancingan, nulya
rumakit usuke, kang reng cukit pinakonan, mestaka gya pi-
nasang, wus ngadeg sangkalanipun, lawang trus gunaning
jalma.
(29) Tandya sagung para wall, amawang leresing keblat, anging
pradondi karsane, wonten kang ngoyog mangetan, satung-
(k. 217) gal datan rembag, keng mesjid ngoyog mangidul,
, mukmin wuri datan rem bag.

XXIX. PANGKUR

(1) Mesjid Demak sampun dadya, tundha tiga dinulu langkung
asri, tengah pangimananipun, kanan ~ering ginatra, aprayoga
sagung pra wall andulu, nging meksih pradondi keblat, tan-
dya samya minteng Widi.
(2) Kende~ ingkang nambut karya, de pra wali karsanya apra-
dondi, kang mawas ing keblatipun, kang jejeg leres Mekah,
geseh-geseh sagung wall kang pandulu, tan wonten wusana- .
nira, ngantya nengah Sang Ywang Rawi.
(3) Tandya Sunan Kalijaga, madeg nyandhak mestakanireng mas-

223
jid, mbergagah majeng mangidul, asta kang tengen megang,
mestakane mesjid Demak nulya gathuk, kelawan mestaka
Katbah, keblatipun wus sinami.
(4) Nebda Sunan Kalijaga, nebda kanca winawas kang prayogi,
Keblat mesjid sampun gathuk, nggeh lawan Ka- (k. 218)
tbah Mekah", kang pra wali ajrih gawok ing pandulu, nauri
sam pun sedaya, leres keblatipun masjid.
(5) Dwi ngeculken sangking asta, mesjid Mekah wus wangsul
tan kaeksi, mung mesjid Demak kadulu, glis nulya ing-inggali-
an, ingetrapan usuk lawan erengipun, wuwung Ian penangga-
pira, saka rawa wus ngideri.
(6) Wus dadi sami sandika, kang penanggap pinayu wus weradin,
tumpang tiga pangretipun, suka kang nambut karya, lawan
ingkang pangimbaran wus pinatut, pra wall suka tumingal,
respatine jroning masjid.
(7) Dinadak karya Jumungah, Sunan Benang mangkya kang angi-
mani, Sunan Girl Khutbahipun, Sunan Kali musiral, ingkang
adan Sunan Wurya lawan Ngudung, Pangran Crebon lawan
Plembang , sekawan ingkang ngadani.
(8) Pra wall mukmin ngulama , nggennya salat mungging sajro-
ning masjid , pra sabat Ian murid sagung, neng wuri nggen-
nya (k. 2 19) salat, pirang-pirang kang salat sami kalebu, sang-
king geng masjid ajembar, Ian sebdaning para wali.
(9) Wus bakda salat Jumungah, kang pra mukmin wus samya
bubar rumyin , gung pra wali roeksih kantun, sami maos pu-
jian, dhikir saman nggennya dhikir kongsi wuru, tan wing-
wang ing jiwa raga, mremanakken ninging dhikir.
( 10) Sedaya wus datan samar, pan ajumbuh tingaling kwula Gusti,
sangking wuru dhikiripun, paesan pan katingal, warna rupa
sarupa Ian jiwanipun, pendah kalak Ian kenanga, lir Kresna
Ian Wisnumurti.
( 11) Nenggya sagung pra nguliya , para wall yen tinon nggennya
dhikir, rampak ing solah aruntut, anglir bedhaya Semang,

224
gegemakan sarwi mijil sebdanya hu, ya hu nebut asma Allah,
kang sih gumlar ing dumadi.
( 12) Wau ta para ullya, wali sanga glis samya lintu dhiri, pam a
samodra Ian alun, tan tebih panikelnya, tinarima sami kra-
(k. 220) os raosipun, tan wonten rasa rumangsa, rasane ka-
wula Gusti.
(13) Luwar sangking jati purba, para wall Sunan &nang nu1ya
ngllng, u1uk salam wuwusipun, laju maos kudangan, kudanga-
ne Jeng Nabi andika rasu1, apan sarwi sesalaman, wau sagung
para wall.
(14) Sawusira· sesalaman, sagung wali lenggah tumengeng nginggil,
wangun jro masjid dinulu , dangu-dangu katingal, kaimanan
kaeksi wonten gumandhul, buntelan cennating domba, nya-
pa sagung para wall.
( 15) Ngandika Sesunan Benang, "Kang gumandhul yogine denti-
ngali", pra wall sedaya pethuk, Sunan Benang seksana, ngam-
bil jungkat manguthik ingkang gumandhul, wus kenging
nulya ingasta, cennating domba respati.
( 16) Ingasta laju binuka, ponang certnat ing jro pan isi tulis, ke-
kalih warna kadulu, rasukan langkung endah, gya binuka
kang se- (k. 221) rat ijemanipun, "Penget saha nabiollah,
mustapa ingkang sinelir.
( 1Z) Panutan panata gam a, ngalam donya ngakerat tur sinelir, I

mring Gusti kang mahaluhur, dhawuha Seh Melaya, sahing


salam kita ya sun ganjar baju, kang aran Antrakusuma, ang-
gonen neng donya ngakir .
.
( 18) Rasukan lorodan ingwang, ron kastuba paringan seka swargi,
mengko kita genten ingsun, gadhuhen kang rasukan, Ian ulese
cettnat domba ing swarga gung, ingsun apan wis pracaya,
agung sawabe ing wuri.
(19) Dadi jimating negara, yen inganggo bawa leksana sekti,
ing turun-tumurun besuk", puma titining sastra, Sunan Be-
nang wusnya maos Ion amuwus, "Ki Jebeng Kaliya sira, kang
ginanjar ing Jeng Nabi.
,
225

(20) J ebeng age sira gem a, warnanira ingsun ya arsa uning", seda-
ya tinampen sampun, mring Sunan Kalijaga, gya ingagem
kang rasukan se- (k. 222) daya wus, kek uwunge wor kumi-
lat, sakedhap-kedhap amalih.
(21) Sunan Benang maJih nebda, ate tanya mring sagung para wali,
"Nggeh punapa warnenipun, Kyai Antrakusuma", para wali
sedaya mangsuli wuwus, sanes-sanes pandulunya, tan kenging
dipunwestani.
(22) Lon ngandika Sunan Benang, dhateng rayi "Dhuh Jebeng
Sunan Kali, ya sun bae Yayi mujur, ules cennating domba,
sunkaryane rasukan k otang anurun 8 ), mring Kyai Antraku-
suma, dene ingsun kang ngimani."
(23) Kang rayi matur sumangga, ingaturken cettnat sampun ti-
nampin, Antrakusuma tinurun, tan dangu nulya dadya, si-
nung tengran Kyai Gondhil nameng baju, mupakat wall sa-
kirna, kang sami nut angimani.
(24) Rasukan cinobi tandya, marang Sunan Benang ingkang akar-
di, nanging sanget sesakipun, ngampret aneng sarira, Sunan
Be- (k. 223) nang kalepatan nggennya ngukur, tan ingukur
kang sarira, dennya mola baju Kyai.
(25) Nulya rayi narpa jawab, Kyai Gondhil pinundhut Sunan Girl,
ngaturken ingagem sampun, tan cekap kang rasukan, Sunan
Ngudung nyuwun nglorod ingagem wus, mungging angga
datan cekap sedaya kang para wall,
(26) ageng alit anem tuwa, sami nyobi angagem Kyai Gondhil,
sedaya sami tan cukup, singa ngagem pan sesak, pinaringken
marang Sunan Kali sampun, ngagem nyamleng neng sarira,
lir denukur Kyai Gondhil.
(2 7) Sun an Benang malih nebda, "Wis pinesthi ingkang sinihan
nabi, Ki Jebeng Kall pinunjul, mring samaning uliya, pertan-
dhane de wuwuh ganjaranipun, wus pinasthi nungsa Jawa,
J ebeng Kali kang ngimani."

8) asline : amurun


226
(28) Wus mangkana aluwaran, para wali kuneng gantya winarni,
wau nagri Majalangu, Sang Prabu Brawija- (k. 224) ya, neng
jro pura langkung punteg driya Prabu, dera nagri Majalengka,
mangke tinut ing gegering.
(29) Akeh wong mati gedadak, gering sore enjang laju ngemasi,
gring enjang bedhug gya lampus, marga luntak ludira, weneh
ngeser berak umbellaju lampus, marga sambang neluhjalma,
pura kedhik ingkang kemit.
(30) Tumus marang praja desa, neka warna kang dadi margeng
sakit, kang wentala datan lampus, dhengkelen tan bisa bah,
yen ginrayang malah nular datan mantun, mila surem mano-
ning rat, keh ndieya dasih nerpati.
(31) J ro pura kathah pepejah, garwa narpa J eng Ratu Darawati,
grah sanget sariranipun, wus lami dennya gerah, sangking sa-
nget dennya gerah supe wektu, tan wonten dhukun mulyak-
na, lumintu usaha prapti.
(32) Langkung kingkin Sri Narendra, lamun dalu nata tyas lang-
kung ajrih, sagung kang kemit kedhatun, kine- (k. 225) n
majeng ngayunan, amungoni mungging dagannya Jeng Ratu,
keng patuh kemit ing pura, Iurah empu lawan ngampil.
(33) Majeng kalih pagiliran, lurah empu kelawan lurah ngampil,
, semangke giliranipun, Tumenggung Supadriya9 ), Ian kang
Raka Supagati rowang tungguk, anuju sakit sedaya, kekalih
tan saged kemit.
(34) Sami kewran ing driyanya, sangking sanget serenge dhawuh
Aji, nujwa sakit darbe laku, majeng kemit jro pura, empu
kalih sami sulih sunonipun, Supagati Supadriya, rembag sa-
mi sulih siwi.
(35) Supagati sulihira, sutanipun Jigja ingkang wewangi, Supa-
driya Ki Tumenggung, wus sulih sutanira, tengran Supa
amarengi Iagya rawuh, Ian kang garwa putri Tuban, abaru
temantyan panggih.

9) asline: Supatriya

227
\

( 36) l 'uwi nu1rnt g sudannanyn, d' nuuvn i rnnta wa stun i snkit .


tnangkt' san l upa wus pan 1 \l h~ lan Raku an a J igja,
{k .......... ) knd,ut" lagyu nakin 'ana.k 11 ~nnhi pu n~ k;llih an1i
baru kranu1, nn1 'tnpcng suraning jurit.
(37) Wu nyn dwi ntanjing ing t nra, Jigja u ·1 k \tn it ug~U "n n 'r-
p~lti , kckalih wu ' ntungging n 1ayu n ~ n~n , dag:.Hl '1\ar ' an,
nata nulya dhawuh --cbda nHlf'l ll 1 t'tn pu ,, tn t u "ulih aptl
hi ~a~ ·ttur tatnbn pratnt'swari."
(38) Jigjn upa atur St'nthah, "Ohuh I 'W~\ji tnn nah.' knrya janlJ i"',
n nndika tnnlih sang Prabu, ''Oib 'tah tu~ ll- k sira, pan wi " la·
wa sun sayah tan antuk turu . nl n k ing un at --a n tldro,
nu utg sira aJa na guliu •."
(39) K 'ka.lih ntntur s·utdika, ingkan1 lntri wus ga rab ban un
cnjing, sirt:.p s!ij ·onin' k 'dhatun, san Nnta an1pun ncn-
dru, lll u Ji ju sarni lin ,.,ih ting kalcnguk, ntunggin :l da..
ganing sang Nata, tnuug ni dynh pn1n1 , wari.
(40) urah juru p "arc an, pan wu . guling k 'lawan lu ra h ngarn pil
upa Jigja sayah tun uh anulyn t(\til tnan, (k . __ 7) an-
dhekukul san kalih an'n., bebatur, k'lt\i'n ., ntndra k;llih-
nya, wradin cstri "atuya gulin .
(41) Wa..rnanl'll d ln wu ng pusaka, pundht'n dal ' Ill ntung .,. ittg ulo n
nerpati~ ncnggya Kyai Condhongcntn pur, k an r n 'luh M~3-
len~ka s~unbl1n dalu sangkin t'nd huga n :r 'n 1nctu, n luh
jahua M~ak'ngk·l ~ d~lajad retu k., . 1g na ri.
(41) Tan bnkal karsnning Suknta, pundhen dalt:!nl n1hara neluh
jaltni, prntandha bttdhc linarud, k rato n in " Majalcngka
C'ondhongcantpur nutn J'kya u nin ntaronipun, kang kri . t ' ng...
ran Ki en rk lat kan badh' pu ak3 Aj i.
43) Kan ingan' ya dhatcng upa, ondh n cnn1pur tya "ira
langkun 1 ngingkit ar a lun1awan tnij il wu ', ""Hl king n-
dhagn ruknta nglir tluh l raja utu~j ' :tntawa antu, upa
h11nyat jrih tuntingal~ de w nt ~n tlub br~a rn ijil.
(44 Supa jrih tau bi a ngu 'al, akancilt~n tneksih ndh 'kukul ju-

22

I
bin ~ nulyn · nggnnipun dhuwun ~, kt n » (k. 2 8) wa "ta Ki
l, tgkl'lat, s d h '' konus san king wran lk:t laju '3tH puh, ran1c
yuda prang... p itll~rang, Ul a wikan s3ya ajrih.
(45) Sapandurat dnt, n ol a.h, San a Ji ja dhuwun l' Sl"dh "t tnijil ~
san kin.. wrangka an ~an~ tulun kalih n• t'll s;an1 i yasa
dhuwut Ji 'ia warnn h= )u. dl'(h:g turut gr~'Ud nglantbun
"31\ kin' k n~tn, "ondhong ~arnpur (h.'nk·•lihi.
(4<>) iringan ant n ing tnwnng, d huwun .J i "ia n larihi san ki _
k~ring, ya winak's p nang hunhung ~ tan litit nging krag -
ngan~ ingkan t' lul and 'ngkc.ng "H 'n ~ a 1utun \ ~unung K i
'ngk 'lat pan" rnh, ran1u rok-ronorok n 1ngkih.
( 4 7) KaliJnpu t d 'nira yucta ondhong \ tn pur t 'tlHth kasor k~tn'
jurit, "ru k pnnras grl:n '11 ).1 un ~ 1 anton~ ka thah tint pal, k -
_.. ar-karir dndi t ' luh l raja tnuwut, ujarin won k.ang \VU~ wi-
kan dadi can •k rang gabn y pt..:.nthin .
( 48) ondh ngcnn1p ar gyu lu nt~ ar, n- (k . .... ~ Q) . lis ntanjing ''O...
dha Ta 10 ) rukn1a tnalih, k ' "'and hun , wara kunlrupyuk,
tuundur Kyni l' ngk tat, narpa n 'ndrJ tnyarsa "Wara sru ktun ..
rupyuk prcnah ngul n n~ 'nny n 'ndra n )' 'll gup ·t
n ungak tank k~ i.
(4 ) Dangu nata n ulat --ulat, kanan k 'rin in ngarsa n1iwah wuri,
tan ana ingkang kadulu , tyan pura eca lll)tl ra, sir 'P ja ln1a
datan wont n in 'kang watuk nnan Ki up·t k· n ~ tan tll1ll..
d a nging ndh 'k uk.ul u i ulin ~.
(50) Waman n wau kang gl1tlth ~arwn nata Jt)U Ratu Oarc1wati,
ngrn " ..)nth '11 g rahit un, I '11 wungu n lt,nnyn nendra, snr-
wi ' k h sung Nata upuh n~bda nun, ·~ocn' wun u sira
Nin1a \ apa t.:·k ca kang su it."
(51) Kang Jarwa al n a turnya~ " In ih asrcp rao l' ingkang ukit ",
gya san T R tna ngandika run1, , Won turu a tan ia ':. k tmg
n ng jnunbah ginn uhan s(dayn wus, gupuh nglilir prn pawo-
ngan bl'dhaya n tn ntar 'k "anti.

I 0) aslinc: g ·ndha

I
XXX. SINOM
( 1) (k. 230) Ya ta sam pun byar raina, Supa Jigja sami mijil, sang-
king pura Prabayeksa, dwi katrima mring sang Aji, dene
nujwa marengi, nulya gerahnya Jeng Ratu, sangking Iek Supa
Jigja, kekalih ginanjar sami, arta sinjang sabuk baju Iawan
dhesthar.
(2) Wus mijil sangking jro pura, tumenggungan sampun prapti,
sang Supa Ian Raka Jigja, kalih sami lenggah sepi, Supa sa-
weca ririh, mring raka duk kala dalu, yen agemnya curiga,
purun Ian pusaka Aji, nulya Jigja aglis narik curiganya.
(3) Sedhet wrin tyasira kagyat, de ndengkeng luke kang keris,
gowang wuri landhepira, tempak pucuke sakedhik, gawok
Jigja ningali, gegetunira kelangkung, dene dalu tan wikan,
duk dhuwunge sami jurit, lawan dhuwung pusakanira sang
Nata.
(4) Supa narik curiganya, kang aran Sangkelat aglis, meksih we-
tah datan ewah, mung mba- (k. 231) lur kadi kinikir, glis
sinarungken malih, wau Jigja dhuwungipun, Sabukinten dha-
purnya, kang gowang ii1gurut malih, sampun pulih nging alit
tangguhing J igj a.
(5) J igja nebda mring arinya, "Dhuwungira luwih becik, Yayi
mengko umpetena, bok kapirsa mring sang Aji, temahan an-
tuk sisip, Ian ja warta areningsun, marang ing jalma liyan,
nadyan ingsun nora bribin, dhuwung ingsun wus sunpang-
ling warnanira."
(6) Supa Ion mangsuli sebda, "Yogi kula mantuk Tubin, bok
menawi wonten wikan", Jigja langkung anjurungi, luwaran
sang Akalih, Supa amit ramanipun, Tumenggung Supadriya,
mangke wus mulya kang sakit, putra amit kalilan binektan
bran a.
(7) Rasawulan amit nembah, marang maratuwa kalih, pinaring-
an brana arta, langkung nuwun sang lir suji, mijil budhal
sarimbit, dasih Tubin tan na kantun, nitih jo- (k. 232) li sang

230
I

Retna, jajarannya amerapit, busana bra lir pendah Iangen


udyana.
(8 ) Sang Supa bagus taruna, mungging kuda asesirig, gawok sa-
gung kang tumingal, de wamanya langkung pekik, garwa pu-
tri Yu luwih, neng joli wingit dinulu, tangeh rengganing
lampah, wus lepas nggennya lumaris, gancang lampah ing
Tuban pan sampun prapta.
(9) Laju manjing ing jro pura, sang Supa rinengga mukti, kelang-
kung rinaja putra, mring rama Dipati Tubin, Ki Supa dhasar
alim, amandhita pambekipun, wus kathah kang purhit a,
anggeguru ~gelmu supi, myang pangwikan kanuragan ing sa-

nra.
( 10) Lawan perbaweng curiga, andulu Sengkelat asih, sang Supa
kalokeng praja, empu prawira sinekti, manjirig mukmin kas
luwih, Sunan Kali kang sung pangwruh, keringan sameng
jalma, guna srananira ngenting, gampang rungsit sang Supa
wus datan kewran.
(~ 1) Kuneng gantya kawuwusa, sang (k. 233) Aprabu Maospait,
anujwa dina utama, gung pepundhen denkutugi, mbuka gen-
dhaga rukmi, ngambil Kyai Condhongcampur, tinarik sing
sarungan, n_ata kagyat sareng uning, Condhongcampur pugut
sekar kacangira.
( 12) Punggel·sakluk ing pucuknya, pam or kadi dencukili, sang Na-
i a ing tyas ben nantya, tambah paran ingkang runtik, dahat
lingsem ing galih, ngartika ing driya Prabu, "Apa kale bon
dhustha, amrih wirang sun neng purl, ing suprihe sun kinon
mijil sing pura.
( 13) Lamun ingsun turutana, semune si Maling sekti, yen sun mi-
jila sing pura, ya ngendi nggon ingsun panggih, nora sema-
yan mami, Ian mungsuh ingsun si Pandung", dadya wau sang
Nata, mupus karsaning dewadi, tiwasira pepundhen pusaka-
ning rat.
(14) Semangke sang Nata arsa, mangun kang pepundhen malih,
nimbali Rekyana Patya, Supadriya Supagati, Mpu Lombang

231
d(ttan kari, Japan Jigja Ta- (k. 234) pan cundhuk, patih wus
tekap ngarsa, kinen majeng a'Yotsari, Sri Narendra dhawuh
sebda marang patya.
( 15) "Patih me~gko karsaningwang, ingsun arsa mangun keris,
pan sunkarya. kris pusaka, Condhongcampur ingsun besmi,

k inarya keris maning, Supadriya riden malbu", patih matur
sandika, tandya tedhak Jeng. Sang Aji, mring pungkuran Ian
Kya Patih Gajahmada
(16) Empu catur kinen karya, gunging sajen amiranti, pungkur-
an b esalenira, empu caos pranti kardi, Condhongcampur
ingambil, gya tinarik mring sang Prabu, patih kinen amoia,
geng panjange nuiya dadi, Condhongcampur pinaringken
Supadriya.
(1 7) Condhongcampur wus tinampan, aglis nuiya dipunbesmi,
Iangkung ageng kang dahana, aglis bang nulya sinupit, ingam-
bil sangking geni, tinumpangken paron sampun, Supadriya
angangkat, , kang palu arsa manggitik, Condhongcampur bias
sima mu- (k. 235) mbul ngawiyat.
( 18) Sarwi anggreng swara gora, gumludhug aneng wiyati, nimba-
ngi kang samodyarga, ing Kelu t lahare mijil, Iir pendah tirta
api, nampak jalma kewan Iampus, ngakasa alimengan, udan
padhas ndadak wradin, gora sato peksi bingung keh pralaya.
( i 9) Sima jawah jagad giglag, Condhongcampur pan kaeksi, kum-
pui lawan teluh braja, duk sima kalaning latri, wus nunggal
dadya siji, neng lintang amijil kukus, langkung geng kuku-
sira, kumutug wor mega putih, ingkang latri nuju padhang lir

ram a.
(20) K athah jalma kang tumingal, duk umbule geni, neng ngawi-
yat awor lintang, kumelun geng anglangkungi, wus katur
Jeng Sang Aji, narpa tedhak karsa ndulu, tumengeng ing nga-
wiyat, wespadeng keng lintang agring, tan adangu kang lin-
tang wigy a nyuwara.
(21) "Heh Sang Prabu Brawijaya, apoma dingati-ati, sira pitenah
mring ingwang, (k. 236) ingsun darma anglakoni, dadi pratan-

232

dha agring, tiwase kang madeg ratu, ing mengko tutugena,


karyaa keris kang becik, diabisa keris siji dhapur sasra.
(22) Karyanen tumbal negara, yen tan karya sira Aji, keris siji
dhapur sasra, mesthi tan aija kang nagri, mung iku wekas ma-
mi", lintang puma nggennya muwus, sang Nata nulya leng-
gah, patih empu mungging ng~si, Sri Narendra ngandika

mnng empu samya.
(23) "Empu sira pa wis wikan, keris sewu dhapur siji, yen wis we-
rub karyakena", pra empu matur wotsari, "Dereng mirsa
kang warni, mireng sawek sebda Prabu", sang Nata malih neb-
da, kerigen wong pandhe wesi, konen karya keris siji dhapur
sasra."
(24) Patih empu tur sandika, wotsekar pra sami mijil, Supadriya
Supagatya, Plembang Japan nambut kardi, aneng sajroning
purl, pepungkuran unggyanipun, lawan lurah kemasan,
anerasah tumbak keri- (k. 237) s, lawan mranggi akarya
wrangkeng curiga.
(25) Kuneng gantya kang winarna, ing Blambangan Sang Dipati,
Siyunglaut nuju lenggah, Ian gurunya nujum Terki, gya
nujum matur aris, "Sang. Dipati amba sung wruh, gingsire
kraton Jawa, ing jangji kirang sawarsi, risakipun keratone
Majalengka.
(26) Mangke pulung sampun murca, margi pusaka nerpati, dhu-
wung pundhen manungsa Jawa,Ki Condhongcampur semang-
kin, dalu sirneng wiyati, nunggellintang medal kukus, pusaka
ngalih Tuban, dhuwung pujanipun wali, warni endah sinung •
tengran Ki Sengkelat. ·
(27) Sinten tyang agung kagungan, kang dhuwung ciptaning wall,
inggih kang dhapur Sengkelat, mesthi angreh nungsa Jawi,
dados ratu linuwih, kinajrihan sameng ratu, mangke sampun
kenyina, Tubin pulungipun keksi, kanan kering kathah ngwu-
la dhateng Tuban."
(28) Sang Dipati katujweng tyas, nggraita mengku ngrat Jawi,
seksana laju utusan, (k. 238) ndhustha dhateng nagri Tubin,

233
tengranya pun Caluring, lurah jineman pinunjul, julig amen-
dra guna, kentar lampahnya wor angin, gancang prapta nagri
Tubin manjing pura.
(29) Tan wonten jalma uninga, dhustha neng jro kewran ngesthi,
matak ajinya begandan, perbawa ingkang dipunprih, kela-
wan saged mijil, kang pinrih saenggenipun, ajenira katrima,
Ki Sengkelat nulya mijil, sangking pethi mrepeki pandung
kang prapta.
(30) Ki Sengkelat gya cinandhak, marang sang Dhustha Caluring,
sukeng tyas dhustha gya mesat, gancang Belambangan prap-
ti, laju marseng dipati, Kiyai Sengkelat katur, ingasta pan si-
nawang, sang Dipati trustheng galih, pandhung Cluring ginan-
jar ingaken kadang.
(31 ) Pan laju jinunjung lenggah, kinarya patih nguyuni, mring
sedasih Belambangan, geng alit rug sami asih, marang Patih
Caluring, sami jrih wrin sektenipun, kuneng kang wus sinung
wirya, ga- (k. 239) ntya wau kang winarni, Pulo Upih neng-
gya Sunan Kalijaga,
(32) kang lagya nganglang buwana, tan kilap ing agal alit, uning ..
marang arenira, yen pundhene kenging maling, kang rayi tan
udani, duk lebete ponang pandung, Sunan tedhak mring
Tuban, sakedhap netra wus prapti, tanpa sangkan panggih-
nya lawan ri Supa.
(33) Kagyat Supa atur sembah, sarwi ngaras pada Yogi, sang
Wiku gya lenggah langgar, Supa lunggyengnya neng ngarsi,
sang Wiku ngandika ris, "lngsun Jebeng arsa weruh, dadine
si Sangkelat", Supa nembah lengser aglis, ngambil dhuwung
srengkara dangu tan panggya.

XXJa. DHANDHANGGULA
(1) Supa langkung kumepyur ing galih, rumatane ing pethi tan
ana, dene tan ewah kuncine, nulya tetanya gupuh, marang
garwa Sang Retna Dewi, dewi weca tan wikan, nggennya

. 234
rumat dhuwung, nulya sami marseng raka, asarimbit Rasa-
wulan angabekti, mring Raka Sang Pandhita.
(2) (k. 240) Wus tinrima bektine sang Dewi, lenggah jajar mung-
ging ngarseng Raka, Wiku ndangu Ion delinge, "Endi Jebeng
kerismu", Supa ndheku matur wotsari, "Kawula nuwun
duka, dhuwung dereng pangguh, ing pethi suweng kiwala,
Rayi Dalem luntakeni boten ngelih, nggenipun Ki Sengkelat."
(3) Malih nebda wau sang Ayogi, marang Rayi Sang Dyah Rasa-
wulan, "Yayi bethaka diage, lembaran sekul wuduk", Rasa-
wulan nembah sira glis, lengser pan arsa bethak , ing semu ka-
susu, nyepeng kuthuke kang putra, tan pepoyan dene putra
meksih alit, cumucut lagi nendra.
(4) Sunan nulya nebda bisik-bisik, "Heh ta Jebeng ingsun awe-
warta, ya mring sira sayektine, sira pan ora weruh, si Sengke-
lat ginawa mating, Celurin~ rane dhustha, sekti guna punjul,
dinuta marang dipatya, ing Blambangan kang nedya mengku
rat J awi, ngupaya sarating rat."
(5) Y a wis weruh jangjine kang nagri, (k. 241 ) pan wis ming-
sor pulunging narendra, neng Tuban panglerenane, jatine
Jebeng tuhu, kerisira lamun tan panggih, mesthi kabeh ngrat
Jawa, Blambangan kang mengku, yen sira bisa miguna, ulata-
na margane Sengkelat mulih, amrih tilassun wuntat."
(6) Tnr sendika Supa awotsari, " lnggih darmi kawula lumam-
pah, ngupadosi kang pepundhen, amung nyuwun pangestu,
ingkang mugi sageda panggih", sang Wiku Ion ngandika,
"Ya pangestoningsun, selameta lakonira, aja lawas ya null
bisaa panggih, dibisa laku samar."
(7) Nengna mangkya kang manglilir guling, Supa putra laju rna-
rang blumbang, makani mina sedyane, bawane lare tanggung,
dereng wikan dugi prayogi, kajegur neng balumbang, tan na
jahna kang wruh, dangu kablebeg irtg tirta, laju lena layon
kwnambang neng warih, lestari tan konangan.
(8) Sunan ndangu lenggah tanya siwi, "Heh ta Jebeng suwe
(k. 242) nggonsun lenggah, de atmamu tan na katon, unda-

235

ngen ya putrengsun, sun arsa wrin genge semangkin", Supa


manembah weca, "Tilem dangonipun", sang Awiku dhawuh
sebda, "Ya gugahen wus suwe tan ana mijil", Supa lengser
manembah.
(9) Manjing dalem arsa mungu siwi, nging tan ana nulya ingula-

tan, mangungak marang pawone, kang putra tan kadulu, laju
marang balumbang panggih, wus lena putranira, kemam bang
neng ranu, pinegang Supa tan warta, ati gapar enget lamun
Raka Yogi, lagyarsa mundhut dhahar.
( 10) Sam pun kantos kadung kang penggalih, mila datan wewar-
ta mring garwa, cinegatan ing tangise, wus ngentas layon
sunu, sinarekken nggenipun ma1ih, pinindha lare gesang,
siningeban kampuh, gya manggihi marang garwa, ngenggal-
aken nggennya bethak ingkang rayi, marengi sampun ngen-
tas.
( 11) N ulya wangsul marang ngarseng yogi, datan matur sinam un
kewa- (k. 243) la, sang Wiku pinrih supene, nulya kang rayi
rawuh, atur dhahar sampun sumaji, sekul wuduk lembaran,
pepak abenipun, Ian ulam balebet tambra, wewetahan tan
mawi kalong sacuwil, mung pinethet ~epetnya.
( 12) Alon wijik gya dhahar sang Yogi, kang lem baran ulam wus
dhinahar, amung pinunggel brutune, sunan enget gya ndangu,
marang rayi nim bali siwi, "Denea putranira, tan tangi nggon
turu", Supa matur sarwi nembah, "Sampun adat tan kenging
winungu guling, sakit lamun ginugah."
( 13) Sang Wiku ngling animbali siwi, "Heh ta Kulup ge sira tangia,
mayo dhahar law an ingong", kang pejah nulya wungu, mijil
sangking dalem sumandhing, mring kang Wa Sang Pandhita,
sang Wiku gya ngrangkul, marang putra Ion sebdanya, "Kene
Kulup bareng dhahar lawan mami, lembaran kuthukira."
(14) Supa putra nulya tumut bukti, mring Wa Sunan mepes lir
wong tuwa, Sang Supa mi- (k. 244) jil waspane, lamun leng-
gah tumungkul, sunan wau sam pun udani, waspa mijil ngusa-
pan, sang Wiku Ion ndangu, "Heh Jebeng apa karanya, nge-
mu waspa apa ana kraseng galih", Supa nembah tur weca.
236
(15) "Milanipun kawula manangis, putra Tuwan wau sampun pe-
jah, kiebet blumbang ing lenane, sareng panduka nguwuh,
putra dalem nggih saged mijil, ngresahi Tuwan dhahar, kraos
manah ulun", mesem sunan Ion ngandika, "Sira iku dene teka
dora dasih, ngaturken kuthuk gesang."
( 16) Gya Iembaran kang won ten ing piring, gesang maJih Supa
putra tandya, menyandhak marang ayame, pan dadi jepun
tukung, Supa sunu supe nggen bukti, mung mbombong ku-
thukira, renane keiangkung, pinangku pan pinakanan, Sunan
Kali ndugekken nggenipun bukti, abene uiam tam bra.
I
(17) Langkung nikmat sang Wiku nggen bukti, u1am tambra dhi-
nahar dagingnya, (k. 245) tan ewah sirah kepete, ri tuwin
jronipun, datan ewah dagingnya enting, sang Wiku Ion ngan-
dika, "De pepak kang bumbu, iwak tambra 1uwih eca",
Rayi matur, "lnggih bumbu urip-urip", sang Wiku malih
nebda.
( 18) "lku bener sira angarani, urip-urip prih urip kabehnya, kang
dhahar miwah u1ame, dipadha kayunipun", nulya tam bra
kang aneng piring, anggronjal malih gesang, ngandika sang
Wiku, "Sunarani reges sira, dene uwis enting dagingira urip,
dadia tilas ingwang."
(19) Ponang tambra turira nuwun sih, "Dhuh Jeng Sunan mugi
anu1usna, asih mina ing gesange, jer saklir kang tumuwuh, '
kang gume1ar jagad sekalir, kasrahan ing kamuiyan, mring
manungsa Iuhung", J eng Sunan nebda tarim a, ponang tam-
bra kinen ngecuiaken warih, kang kinon Iengser sigra.
(20) Wus pinrenah kang tambra neng beji, toya (k. 246) wening
kang tam bra ketingal, gumawang sirah erine, kapet jeroani-
pun, kang katingal daging tan pulih, wus dadi patilasan, kala
dhaharipun, Sunan Kali wonten Tuban, ponang tambra
aneng toya tumut sekti, wigya katon ngeluman.
(21) Wus Iinorod sang Wiku nggen bukti, marang rayi tuwin kru g
sekabat, werata murid santrine, ngandika sang Awiku, "Put r
nira sunrehi kasih, Ki Anom aprayoga, turut warna bagu.),

237

ya wis padha akaria, lamun arsa ngetutake laku mami,


anganglang kang buwana."
(22) Rasawulan aglis angabekti, wau Supa ndherekken mring su-
nan, wus mijil sangking prajane, gya nebda sang Awiku, "Age
Jebeng mangkata nuli, mring nagri Belambangan, aja sira
tutur, marang anak rabenira, lamun sira kongsi jarwa anak
rabi, mesthi tan sida lung a."
(23) Supa mestu (k. 247) tur sembah nulya mit, nuwun lajeng •

dhateng Belambangan, kalilan laju lampahe, andum $lamet


ing laku, gya sewangan nggennya lumaris, semarga tanpa
rowang, mengaler mangidul, lampahnya Supa winarna, ga-
gancangan ngulati marga kang aglis, nusul empu merdagang.
(24) Wonten empu Mandura kang anami, Kyai Singkir dagang kar-
yanira, Ki Supa nunut karsane, angalih namanipun, Kyai
Kasa mangke kang nami, sami pandhe nglautan, Singkir Kasa
tepung, ingaken kadang seyayah, Kyai Kasa semana binekta
kampir, dhateng nagri Mandura.
(25) Selamine lumakyeng jeladri, Kyai Kasa pandhe neng lautan,
ngrencangi calon karyane, kawan dasa kehipun, nggennya
karya Ian Kyai Singkir, sami ~uwasanira, anyingkirken men-
dhung, nyingkirken barang rubeda, anyingkirken sato galak
wisa mandi, tawa dening Ki Kasa.
- (k . 248) wetara antuk madya sasi, Kyai Kasa neng nagri
Mandura, nulya layar baitane, Sumenep kang jinujug, nulya
pisah Ian Kyai Singkir, Supa laju lampahnya, Koripan prapta
wus, Mpu Basuki pinondhokan, tumut pandhe awetara ma-
dya sasi, gya laju mring Blambangan.
I
(27) Tan winarna laminya neng margi, Kyai Kasa prapta neng
Blambang~, ngalih Pitrangjejuluke, njujug wismaning empu,
Empu Sarap kang denpondhoki, sami tunggil pakaryan, da-
dya panjakipun, Ki Sarap kelangkung bingah, darbe panjak
anom wasis salir kardi, mangkya wus ngaken kadang.
Amarengi Sarap nambut kardi, sam ben dinten nggenira aso-
\lan, nyambut karya mring besalen, Pitrang pan datan kan-
,

238

-
tun, prapta laju anambut kardi, karya dhuwung dipatya,

mawama keng dhapur, Patih Caluring jenengnya, neng besa-
len nyelani akarya lading, dhateng Ki Empu (k. 249) Sarap .

(29) Kyai Sarap tan pelaur kardi, panjak Pitrang kinen mring
Ki Sarap, akarya lading tunggule, aglis kinarya sam pun, inga-
turken marang Kya Patih, semangke wanci dugya, patih Sa-
rap mantuk, praptanira neng dalemnya, laju lenggah pan sar-
wi angasta lading, baru arsa ingasah,
(30) kaweningan mring putranirestri, Ni Bok Rara rumusuh wan-
cinya, ingugung barang karsane, angrebat lading tunggul,
lelandhepe cinandhak keni, asta beser sarema, niba laju lam-
pus, Ki Patih kagyat karuna, datan nyana yen putra laju nge-
masi, keksi tatu sarema.
(31) lngkang lena sam pun densuceni, pinetak wus d·h ateng ing
makaman, wusnya patih ing karsane, lading tunggul pinun-
dhut, wus ingasah laju kinardi, pinrangken wong dedosan,
tan jro tatonipun, rah tan medal laju pejah, (k.250) pinerang-
ken uwiting kayu kumuning, tan dangu rone gagrag.
(32) Angartika Ki Patih Caluring, "Lading tunggul ampuhe kagila,
dudu Ki Sarap kang gawe, kang karya panjakipun, mendah
gawe tumbak Ian keris, patut gawe betuwah, dene luwih
ampuh, bok yaa sunkone karya, panjak Sarap menawa bisaa
kardi, kris tumbak kang prayoga."
(33) Ya ta enjang Kya Patih Caluring, mring besalen panggih Ian
Mpu Sarap, sami sowan neng besalen, Ki Pitrang datan kan-
tun, nunggil panjak nggenira linggih, Ki Patih Ion manebda,
Pitrang kang tinembung, kinen karya kris Ian tumbak, Empu
Sarap umatur marang Kya Patih, sumangga aturira.
(34) Alon nebda Ki Patih Caluring, mring Ki Pitrang "Adhi
abebana, manira nebda gawene, dika karyakna dhuwung,
kang bisampuh sami Ian lading, ing wingi dika karya, lading
alit tung- (k. 251) gul, ampuhe kagila-gila, aniwasi anak kula
mati siji, estri kabeser pejah.
.. (35) Lamun becik antuk dika kardi, mesthi dika katur mring di-

239
J

patya, manira kang ngaturake", Ki Pitrang Ion umatur,


"Nggih sandika dattni nglampahi, awon sae sumangga, sang-
king bodho ulun", Pitrang gya pinaring tosan, kinen karya
keris waos kang prayogi, tosan tinampin sigra.
(36) Ponang wesi seksana kinardi, warna kalih nulya aglis dadya)
tilam upih kris dhapure, waos biting kang dhapur, gya ngatur-
ken marang Kya Patih, Ki Patih njenger mulat, dene bagus
terus, "lki uga wong utama, bisa pandhe budine nglegakke
ati, tan suwe dadi braja."
, (37) Ajrih asih Ki Patih Caluring, mring Ki Pitrang langkung men-
dhet manah, Pitrang pinrih ing krasane, sinarah kajengipun,
sangking datan saged mangsuli, pineleng karyanira, de- (k.
252) nnya karya dhuwung, kaleresan sinembadan, sakelang-
kung trimane Patih Caluring, Pitrang ingaken kadang.
(38) Nulya katur marang Sang Dipati, Siyunglaut Blambangan
misesa, Pitrang katur sasolahe, dipati tyasnya kelu, ing
ature Patih Caluring, anulya tinimbalan, Pitrang kering sam-
pun, prapta ngarsaning dipatya, nunggil Patih Ki Pitrang de-
nira linggih, ing semu karya brangta.

xxxn·. ASMARADANA
(1) Ngandika sang Adipati, marang ingkang lagya prapta,
"Abagea sira pandhe, iya aneng ngarsaningwang", nembah
nuwun Ki Pitrang, sang Dipati malih muwus, "Pitrang sira
pa kaduga,
(2) agawe keris kang becik, dikembar Ian agem ingwang, pusaka-
ne praja kene, yen kaduga karyakena, sunkarya kekembar-
an", Ki Pitrang nembah umatur, "Angsal wonten kang tine-
pa,
(3) kawula darmi nglampahi, a won sae pan sumangga", gya ing-
asta cwi- (k. 253) gane, agemira Ki Sengkelat, tinarik mung

sakedhap, Ki Pitrang tan samar ndulu, mring pundhene Ki
Sengkelat.

240


(4) Sang Dipati ma1ih angling, "Kaya priye sira Pitrang, apa wis
awas warnane, yen pana ya karyakena, sunkarya kekembar-
an", Pitrang alon aturipun, "Kawula pan·dereng pana.
(5) Lamun amba kinen kardi, kembaran agem panduka, kaparing-
na pepolane, Ian panggenan keng prayoga, kenginga darnel
muja, keng peteng panggenanipun, mrih ketawis ingkang
cahya.
(6) Lawan sajen ikeng suci, kajenengana Ki Patya", Pitrang kang-
geb ing ature, sang Dipati gya ngandika, marang Rekyana
Patya, "Heh Yayi Patih suntuduh, njenengana mring si Pi-
trang.
(7) Karyakena nggon kang sepi, kang peteng suci sajennya, sa-
rat. muja mring dewane" , nulya dhuwung Ki Sengkelat, wi-
nadhah neng gendhaga, sarunganira ingantun, pinaringa-
(k. 254) ken leligan.
(8) Gya tinampin Ian Ki Patih, Ki Sengkelat neng gendhaga, Ian
wesi kawuk badhene, waja pam or dadya juga, wus munggeng
jro gendhaga, kalih mijil sing gedhatun, Ki Patih lawan Ki
Pitrang.
(9) Prapen Srimanganti prapti, penuh mranti sajenira, para empu
panjak andhe!, unggyan mawi sesegogan, apeteng ginubahan,
Ki Patih precayeng kalbu, wau dhateng Empu Pitrang.
(10) Dhuwung pusaka dipati, pinasrahken mring Kya Pitrang,
n~ng prenah senthong besalen, Ki Patih njawi nggenira, Ian
Kyai Empu Sarap, amranteni sajenipun, kutug menyan da-
tan pegat.
(11) Wuwusen wus dugi latri, Ki Pitrang manjing senthongan ,
amemuja sih Ywang Manon, kang badhe dhuwung pinuja, ka-
trima mring Ywang Sukma, wus dadya kalih kang dhuwung,
tiganira Ki Sengkelat.
(12) Dhuwung tri wamane sami, tan ana geseh sarema, (k. 255)
sami Sengkelat dhapure, Ki Pitrang bakda memuja, gya ma-
tak sirepira, katarima sirepipun, kang jagi tilem sedaya,

241
( 13) Ki Sarap Ian Kyana Patih, kepati nggenira nendra, ngorok
- medal singidan, angempit Ki
senggur waja kerot, Ki Pitrang
Sengkelat, kentar mring kali jinujug, nyingidaken Ki Seng-
ke1at.
(14) Sinilem sajroning warih, tinindhihan watu abang, amrih ki-
wa ja uning wong, Pitrang wangsul gegancangan, ing prape-
nira prapta, laju manjing senthong gupuh, dhuwung kekalih
tinata,
( 15) mungging gendhaga Mas Adi, ucapen sam pun raina, Pitrang
mijil sangking senthong, mungu mring .kang sami nendra,
patih kagyat gedandap, ndulu padhang sru gumuyu, angu-
cap taken pawarta.
( 16) Ki Pitrang Ion matur aris, "Punika ingkang gendhaga, su-
mangga mangke kature, yekti amba dereng wikan, senipun
keng gendhaga", (k. 256) Ki Patih nampeni gupuh, gendha-
ga nulya binuka.
(17) Pan wus isi dhuwung ka1ih, pan sami dhapur Sengkelat,
kembar tan ana bedane, Ki Patih ebat tumingal, mring
warnaning curi~a, wusira patih gya cundhuk, tekap ngarsa-
ning dipatya.
( 18) Ngaturken solahing kardi, sang Dipati nulya mbuka, dhu-
wung kalih sampun dados, sang Dipati tyas kacaryan, nulya
nebda tetanya, "Pitrang endi kang rumuhun, apa kering apa
kanan"
( 19) Pitrang matur awotsari, "Kawula boten uninga, lun sumang-
ga ikeng karseng", sang Dipati kewran driya, gya ngasta kang
I
sarungan, sinarungken ponang dhuwung, sarema tan mawi
renggang.
(20) Sinarungken ganti-ganti, kekalih tan ana renggang, wrangka
siji dhuwung roro, apan sami panjingira, dhuwung kembar
kang warna, sang Dipati malih muwus, "Kang endi pepun-
dhen ingwang."
(21) Ki Pitrang matur tan uning, " Sumang- (k. 257) ga karsa pan-
duka, dhuwung dalem kang pepundhen, yekti .a mba dereng
242
pana", Ieieng tyas sang Dipatya, tansah sinawang kang dhu-
wung, ginanti manjing werangka.
(22) Sarema tan mawi milir, dhuwung kembar kemanigan, wall-
wall pendangune, sang Dipati mring Mpu Pitrang, tan sanes
aturira, nyumanggaken aturipun, langkung gawok sang Di-
patya.
(23) Wusana ngling sang Dipati, "Y a karo pepundhen ingwang,
sunlarangi karya maneh, keris kang dhapur Sengkelat, kongsia
kembar warna, yen wis ana kang kebanjur, mengko null di-
lebura."
(24) Ki Pitrang Ian Kyana Patih, manembah sandika tumya,
sang Dipati maHh nglinge, "Luwih banget trimaningwang,
tan ana sunwaiesna, mring si Pitrang setya tuhu, nganti di-
• •
rewang1 muja,
(25) ing dadine krissun iki, dudu si Pitrang kang karya, antuke
muja dewane, tersandhane nora wikan, kang dhingin Ian keng
anyar", Ki Patih matur wotsantu- (k. 258) n, "Leres ingkang
pangandika."
(26) Sang Dipati dhawuh patih, "Si Pitrang sunjunjung lenggah,
neng Sendhang Sedayu prajeng, Ian arana Pangran Sendhang,
kramaa putraningwang, Ni Sugihan warna ayu", Patih Pitrang
mestu karsa.
(2 7) Gya Dipati dhawuh dasih, nggen manggihken ingkang putra,
K;;la Patih dados besanem, kinen mangku mring Kya Pitrang,
patih tyas langkung trustha, dhasar wus ngaken sadulur,
nggenira sih tan kepalang.
(28) Busekan wong nambut kardi, jro pura Ian Kepatihan, gangsa
tinata ngenggene, tuguran amain sukan, po dhadhu pei
kowah, .,njawi keplek posing penuh, gimer pekya Ian segotan.
(29) beiambangan penuh jalmi, dugi dennya main suka, keh da-
sih sima wirange, labet kasor ngebotohan, saengga lir wano-
dya, akeh ngodhe miwah geiung, sangking dangune kasukan.
(30) Miwah rengganireng Iatri, penuh pada- (k. 259) m neng ga-


243
pura ·sinelan embak tirtane, awetara sapta dina, ungele kang
bredangga, enjang pengantyan pinundhut, ngendikan man-
jing ing pura.
(31) Kyana Patih kang mangirid, myang serowang pra bupatya,
angiringken kang temanten, sapraptanya neng jro pura, pe-
nganten binusanan, miwah putra Sang Retna Yu, mangkya

sampun pmaesan.
(32) Binusanan adi luwih, tangeh rengganing busana, tuhu putri
yu kinaot, karengga dening busana, lir murca kinedhepna,
musthikane wanodya Yu, respati neng ngarseng darma.
(33) Pangran Sendhang dentimbali, prapta ngarsa amredapa,
sang Dipati Ion delinge, "Iki Sendhang tampanana, pretan-
dhane sib ingwang, putrengsun wanodya ayu, adadia krama-
nira."
(34) Matur nuwun kang sinung ling, "Kelangkung nuwun patik
bra, pinaring jimat dasihe", nulya pinondhong sang Retna,
nginggahken mring jempana, pawongan ngiring se- (k. 260)
darum, sami mbekta upacara.
(35) Wus mijil san£::r' ,:g jro purl, Pangran anjajari ngarsa, srimpi
neng wuri temanten, budhal prapta pangurakan, Pangeran
nitih kuda, sinongsongan kertas biru, tinelacap ing perada.
(36) Ing wingking Sang Retna Dewi, respati nitih jempana, am era-
. pit jajarane, tangeh rengganing lumampah, wus prapta kepa-
tihan, gya tumedhak Kusuma Yu, pinethukken Ian Pangeran.
(37) Gya pinondhong Sang Retna Di, prapta dalem tata lenggah,
njawi lebet penuh andher, tan dangu sunggata medal, ngle-
bet njawi adhahar, dugi nggen bujana kembul, wusnya sami
ta ta lenggah.
(38) Patih dhawuh ngajengna glis, dhalang pasindhen niyaga, Ian
dyah srimpi kinen miyos, mestu dhalang myang niyaga, gya
munya ponang gangsa, tedhak sangking gendhingipun, nge-
raiJgi akarya brangta.
(39) Nulya dyah sarimpi mijil, tindak: pindha sima lupa, wiraga

244
a- (k. 261) nut gendhinge, mangreh brangtaning tumingal,
dyah Ienggah suwuk gangsa, suiuk ngrengga kang pra arum,
laras barang barung rebab.
(40) Wau karsa methik tulis, kang carita nagri Ngarab, garwa
Sang J ayengpaiugon, Dyah Prangakik Keiaswara, Ian Cina
Dyah Daninggar, druwala prang mamrih Iampus, kalih musthi
sara dibya.
(41) Rampung panggusthining kawi, munya gangsa gendhing Mun-
car, ngrangin dhawah ladrang Grompol, runtut rebab Ian
gambangnya, kapyarsa lir karuna, mengeti kang arsa pupuh,
putri Cina mbek karuna.
(42) Gya campuh rame kang jirit, putri Cina kaprewasa, ambruk
nggiadrah neng kismane, besa kentha gelangsaran, karya Ies
kang amulat, purna campuh gangsa suwuk, ngerangu gen-
. dhing pamungkas.
(43) Munya bendrong bibar tami, amung kantun kang tumantyan,
Pangran lawan Sang Dyah Sinom, mbangun turut tan beba-
kal, sang Dyah (k. 262) Ion pinrepekan, kang asta cinandhak
gupuh, mring Kakung Pangeran Sendhang.
(44) Sang Retna ingaras wanti, mengo tangkis ukel rema, suma-
wur mawut sarine, sang Dyah nebda angujiwat, "Iki ta arsa
apa, dene teka arumengkuh, durung mangsa sun ingaras.
(45) Temah rusak ukel mami, mangsi bisa matrapena", raka me-
sem Ion delinge, "Dhuh Mas Mirah pujaningwang, abdine tan
suminggah, katempah wudhar kang gelung, muiyane rujitan
puspa.
(46) Mung kedah sun adedasih, ngestu pada neng papreman, tan ,
ngraos krama abdine, mung minta sih dika mirah, abdine
kawlas arsa, panjak pandhe sin-yan ngratu, kang misesa Be-
lambangan.
(47) Nguni amba nglaya bumi, sejagad tan ·padya memba, keng
kadya abdika angger, kang Iir retna ngreka jalma, kadya
apsari swarga, mugi tulusa sihipun, mupu pandhe kawias arsa.
(48) (k. 263) Dhuh Mirah sunatur pati, tinuweka ing kenaka, sa-

245
.,

betan kincang imbane, perangen lungiding tingal, yen wus


lena kawula, kuburen aneng jinem rum, lurubana pinjung-

rra.
(49) Urugana layon sari, maejanen yu dentanya, kirimen esemira
Ngger, sun tan mati tengah lena, labet ngasmara brangta,
brangta ndlu sira masku, musthikane Belambangan."
(50) Sang Dyah mesem nendhal tiring, keguh ginunturan sebda,
mring kakung wus luntur sihe, keksi pamedharing sebda,
gandese yen wicara, "Pan wus lumrah samben kakung, labet
arsa ngarah prana."
(51) Pangran duk mirsa dyah angling, lir winungu sureng priya,
gya sang Dyah sinambut age, binekta minggah papreman,
sang Dyah wus datan lawan, sang Kakung ndhatengken ka-
yun, wus bedhah kutha Blambangan.
(52) Myang taman binosah-basih, ting jalempah puspa anjrah,
neng tilam tambuh eng- (k. 264) gone, banjiring riwe kalih-
nya, nglunturken ganda wida, gung jalma wus nyaneng kal-

bu, risaking pura Blambangan .
(53) Puma ingkang karon resmi, tandya mijil kalihira, wus siram
tata lenggahe, cinendhak rengganing kandha, tangeh lamun
rinengga, kang temanten keksi runtut, wusnya dugi sapta
dina,
(54) nuwun amit mring dipati, arsa bidhal dhateng Sendhang, wus
kalilan ing ature, tenapi marang Kya Patya, jumurung asung
tundhan, gya daud marang Sedayu, jalma Sendhang methuk
samya.
(55) Lampahnya sampun lestari, neng marga datan winarna, wus
ndungkap tepis prajane, laju manjing jroning pura, ing nguni
tilasannya, nenggya kadangira jalu, arenira sang Dipatya.
(56) Duk lena tan tilar siwi, kawengku dhateng Blambangan,
mila pinaring putrane, eca tyase tiyang Sendhang, kang meng-
ku datan liyan, Ki Supa mukti kelangkung, mardika Pange-
ran Se- (k. 265) ndhang.

246
\
..

(57) Sigeg Pangran kang wus mukti, gentya amangsuli kandha,


Ki Geng Tarub winiraos, apan sampun apeputra, juga jalu
warnendah, widigbya kirdhaning pupuh, ngran Risang Getas-
pendhawa.
'
(58) Bondhangejawan wus lalis, kang putra sampun gumantya,
anging ngalih dhedhukuhe, mangun dhukuh wonten Sela, da-
dya asma nut dhekah, Kyageng Sela kang kasebut, ing Tarub
kinarya tilas.
(59) Kyageng Sela kang winarni, pan wus krama Dyah Sume-
dhang, tedhak Cempa ing ramane, turunan seh sangking Arab,
sang Putri ing Sumedhang, prenah wayah garwa prabu, lan
Dyah .Ratu Darawatya.
(60) Kyageng Sela ing semangkin, kasengsem ing ngelmi rasa,
mangolah gama sucine, nguni sampun amrewita, mring Sunan
Kalijaga, pinanjingken kadang tuhu, Ian Dipati Natapraja.
( 61) Supeket sih sang Akalih, denira angaken kadang, sang Di-
pati dadya anom, Kyageng Sela ingkang (k. 266) tuwa, ki-
narya tuweng praja 11 ), saliring rembag tinantun, ing idhep
saaturira.
(62) Bintara sang Dipati, rena wonten dhukuh Sela, musawarat
ngelmi raos, myang galih eruning jalma, sawengkon tanah
Jawa, pinrih Islam meksih kukuh, labetnya jrih mring naren-
dra.
(63) Kyageng Sela angrembagi, mring karsa sang Adipatya, nggen
nelukken danna rajeng, Brawijaya Majalengka, pinrih nut
mring agama, myang sawadya Majalangu, yen lenggana pina-
rusa.
(64) Katujweng tyas sang Dipati, karsa sowan mring dannendra,
kentar sangking Sela age, ingiringken pra sekabat, semarga
tan winarna, prapta nagri Majalangu, laju njujug Kyana
Patya.

11) aslin~: prana

247
(65) Gya ingirid manjing purl, sapraptanya ing plataran, sang Nata
anulya miyos, lenggah mungging bangsal rukma, Kya Patih
Ian dipatya, ingawe gya mangsah ngayun, Sri Nata andangu
putra.

XXXlll. SINOM
( 1) (k. 267) "Heh bageya Ki Dipatya, dene nglangke seba mami,
apa ana karyanira", nembah nuwun kang sinung ling, "Mila
sowan ngarsa Ji, yen marengi karsa Prabu, inggih panuwun
amba, di dalem ing Maospait, sedayanya sami nglampahana
gam a.
(2) Panduka karsaa Islam, prayogi yasaa masjid, keng kados mas-
jid Bintara, kaidena para wali", sang Nata ngandika ris,
"Sesenengan ujar iku, ingsun pan ora nyegah, kang padha ge-
Iem nglakoni, nging ta ingsun tan arsa salin agama. '~
(3)" Sang Dipati tyasnya merang, de atumya tan ginalih, konjem
datan muiat ing lyan, mung mandeng jiwa pribadi, sang Nata
uning wadi, sinamun ngandika arum, "Heh Patih kaya paran,
sakehe wong pandhe wesi, pa wis ana kang sanggup karya

cunga.
( 4) Keris siji dhapur sasra", Kya Patih matur wotsari, "Abdi da-
Iem empu samya, sepuh (k. 268) anem ageng alit, tan wonten
kang kadugi, dereng uning warnenipun", sang Nata esmu
duka, dhawahing renga Ki Patih, kras ngandika "Sira dhewe
lumakua.
(5) Ngupayaa empu guna, aja sira pati mulih, yen tan ana kang
sanggupa, anutugi karya mami, ya wis mundura Patih", ka-
lih sareng awotsantun, lengser mijil sing pura, pan laju sami
lumaris, asewangan Ian Dipati Natapraja.
(6) Kumeng wau kang Ieiampah, warnanen malih sang Aji, te- •

dhak dhateng pepungkuran, mriksani kang nambut kardi,


kemasan lawan mranggi, pengukir Ian para empu, Mpu Lorn-
bang Supadriya, Japan lawan Supagati, Jigja Tapan tenapi
empu kerigan.

248
(7) Peneti Ian Salaita, Bekel Jati lawan mQdin, Surateman Wana-
baya, Kuwungkeleng lawan Singkir, sagung empu kirerig,
sami kinen karya dhuwung, keng dhapur wama-wama, nging
tan wonten kang nyubaki, (k. 269) kris sajuga ingkang mem-
per dhapur sasra.
(8) Sang Nata nebda paguywan, mring kang sami nambut kardi,
"Heh ta mranggi ingsun tanya, apa dayanira kardi, nglakoni
karya mami, apa antuk brekah ngratu" , mranggi nembah
tur weca, "Tan angsal berkahing Gusti, boten nedha yen bo-
ten won ten ganjaran."
(9) Sang Nata mesem ngandika, "lngsun pan darma maringi, wus
pinesthi karepi.ra, mung nrima ganjaran mami, tan antu~
berkah ngabdi, lawan sira bocah empu, sira matura weca,
antukira nambut kardi, apa antuk sira berkah wong ngawu-
la."
(10) Ki Empu matur manembah, "Inggih terkadhangan Gusti,
bilih wonten lelangkungan, nggih punika berkah ngabdi, yen
tan wonten karya Ji, mung cekap peparing Prabu", malih
Nata ngandika, "Kemasan matura yekti, sira apa antuk ber-
kah wong ngawula."
( 11) Kriya kencana tur sembah, "Terkadhangan nggih pun dasih,
lamun amba nglebur rukma, yekto- (k. 270) s angsal berkah
Gusti, sampun mesthi sakodhi, saged angsal kalih tangsul,
mendhet silip kawula, sepalih tangsul setail, tan ketawis war-
ni ~·awrat boten suda.
{ 12) N adyan dipuntengganana, dipunprayitna nggen ngeksi, ma-
lah dados rena amba, tan ewed amendhet silip, sangking
prapen keng mawi, punika ing silip ulun, areng ingkang am-
bekta, tur sangking berkah nerpati, lamun leres ageng ganjar-
an narendra.''
( 13) Sang Nata gumujeng suka, pan sarwi ngandika aris, "lku be-
ner aturira, sekalir karyaning dasih, apan kinarya ngam bil,
yekti berkah seka ngratu, nadyan sira culika, seka suka nggen-
mu ngambil, alantaran seka berkah wong ngawula.

249

'
..
(14) Sayekti ratu winenang, ngingoni dasih keng kardi, ngupaya
dasih utama, ngutamani saklir kardi, ya ratu kang ngajeni,
karyaning dasih kang luhung, tan ketang culikanya, kali-
ngan kar- (k. 271) ya kang luwih, ganjarane ngluwihi ajining
karya.
( 15) Yen dasih mundhak gawenya, yekti ratu ngganjar maning,
sira Empu Supadriya, kabeh padha tan ngarani, yen ana bisa
kardi, keris siji dhapur sewu, gedhe ganjaran ingwang, mesthi
sunjunjung dipati", kang pra empu angaturken pejah gesang.
(16) Nata ndangu Supadriya, "Anald.ra ana ngendi, kang sira ara-
ni Supa, dene nora nana keksi, tan melu nyambut kardi",
Supadriya nembah matur, "Di dalem imah-imah, tinriman
putri ing Tub in, ngetutaken dereng klilan yen mantuka."
(17) Sang Nata mesem ngandika, "Dene beja ditrimani, marang
lbu Ratu Tuban, mesthi mukti tan weh mulih, mengko sira
suntuding, mentara mring Tuban gupuh, nakira timbalana,
tembungen mring Ki Dipati", Supadriya nembah amit leng-
ser ngarsa. \

( 18) Wus mijil sangking jro pura, prapta wisma jarwa rabi, gya
pepak kwu- (k. 272) la wangsanya, saupacara miranti, nulya
daus sedasih, catur dasll kang tut pungkur, kuneng kang rna-
rang Tuban, ya ta gentya kang winarni, Sang Dipati Natapra-
j a ing Bintara.
(19) Lawan raka ing Sesela, Wanasalam lari Semantri, sangking
nagri Majalengka, sowan marang sudanna Ji, ngaturi santun
gami, nging dannendra dataJ1 ayun, dipati ing tyas merang,
tan arsa kondur ing nagri, laju arsa sowan darma Ngampel-
denta.
(20) Tekap ngarsanireng Sunan, tandya ingancaran aglis, putra
majeng ngaras pada, rinangkul wus kinen linggih, Kya Pen-
dhawa nut bekti, salengesernya lenggah kumpul, sang Wiku
namudana, marang putra sang Dipati, matur weca sang Dipati
mring sang Tapa.
(21) "Amba inggih sampun sowan, dhumateng Rama Sang Aji,

250
..

Brawijaya Majalengka, ulun turi santun gami, Islam nut ing


Jeng Nabi, sawadya ing Majalangu, amba ngaturi karya, mes-
jid ageng nglebet nagri, kaidena pra wall kados Bi- (k. 273)
ntara.
(22) Timbalanipun Jeng Rama, sesenengan kang wadya lit, kang
sami nut ing agama, sang Nata boten ngawisi, sampun yektos
Rama Ji, tan arsa nut gama Rasul, mangke lun sanget wirang,
gadhah danna Buda kapir, luwung sampun ingaken putra
mring nata.
(23) Lun nuwun pangestu Tuwan, mangke nagri Maospait, sume-
dya lunrebat ing prang, bebuka sangking agami, yen tan anut
Rama Ji, linorod nggen madeg ratu, prayogi sinantunan,
ratu ingkang gama suci, keng nut ing reh dhateng sagung wa-
ll samya."
.
(24) Sunan Ngampel lon ngandika, "Nggege mangsa sira Kaki,
durung gingsir ratu Bud a, jangjine kurang sawarsi, yen wis ne-
tepi jangji, sakarsanira anggempur, ya nagri Majalengka, yen
ratu Islam wus tampi, kanugrahan kang ginaib Ywang Sukma.
(25) Yen jangjine wis tumiba, gilire mring ratu gami, sima dhewe
ramanira, saba- (k. 274) b ratu wis udani, trus tingalira sidik,
netepi pandhita ratu, mulane datan nyegah, mung nata dhe-
we tan arsi, jer wus uning sang Nata mungkasi Buda.
(26) Ba1ik Kaki prayoganya, ngupayaa pusaka Ji, sarat murba ami-
sesa, ·sangka sih sekaron ing sih, kang dhingin mring Ywang
Widi, pintanen Kaki kang tuhu, negesa mring kang karya,
nugrahan kang gawe urip, dinyatakna tingalireng panca driya.
(27) Siyang latri aja pegat, pamintanira diyekti, marang kang mur-
ba ing sira, dene ingkang kaping kalih, sagung kanca pra wall,
pintanen pandonganipun, diasih mring gurunta, turuten tu-

duhe Kaki, guru uga gegentine darmanira.
(28) Lan maninge amintaa, betuwah pusaka Aji, mring rakamta
Kalijaga, kang wus antuk sihing Widi, lawan mintaa maning,
raka para kang pangestu, sang Dipati ing Plembang, marang
sira banget asih, ya anggepe- (k. 275) n lantaran ing uripira."
~

251

(29)· Nembah nuwun sang Dipatya, keiangkung katujweng galih,


ngge·nira nampeni wuiang, kathah kang keraos galih, sekiang-
kung anuwun sih, sihing danna sang Awiku, sedalu nggennya
nggustha., wamanen byarira enjing, sang Dipati nuwun amit
ngaras pada.
(30) Kalih samya ingidenan, gya Iengser seka ring ngarsi, datan
kondur mring Bintara, Iaju sami manting dhiri, ameres ing-
kang budi, Ian Kyageng Seia tan kantun, myang Pa-
tih Wanasaiam, tenapi Iman Semantri, kadang tunggil Sunan
Kali kang tinonga.
(31) Catur riyeg tunggil karsa, separannya datan karl, Sang Dipati
Natapraja, Iampah Iaju njajah nagri, sagunge kang pra wali,
pininta pandonganipun, wus sami tinepangan, nggen nger-
baseng Maospait, para wali sedaya njurung pandonga.
(32) Kuneng Dipati Bintara, Tubin gantya kang winarni, tena-
yanya ri Sang Supa, Dyan Anom ingkang we- (k. 276) wangi,
enggal ageng sang Pekik, sepangen dyan agengipun, seiami-
nya tinilar, mring rama Iangkung prihatin, rinten dalu cegah
dhahar Iawan nendra.
(33) Yen sare lemek ron pisang, yen dhahar pindho sesasi, manjing
dadi tapanira, Iamenira tan winarni, katrima mring Ywang
Widi, ginanjar sekti pinunjul, wigya mor Ian Ieiembat, saged
pandhe neng wiyati, pandhe ngranu lan Anjani pinet wayah.
(34) Semangke Sang Supa atma, munggeng ngarseng sang Dipati,
matur tanya marang eyang, myang mring ibu Sang Retna Di,
"Eyang nggih dhateng pundi, pun Rama Iami tan mantuk,
nggih arsa nusul amba", kang eyang Ion anjarwani, "Putu aja
nusui mangsi katemua.
(35) Ramanira Iagi miana, ndherek wakmu Sunan Kali, angeia-
ngut ngider jagad, wus ngratu wall sinekti, separan ora mesthi,
rina wengi doh manglangut, duk Iunga tan pepoyan, yen teka
tan nganggo warti", Sang Supa Nom (k. 277) m kendel ji-

narwan mnng eyang.
(36) Gya kesaru praptanira, dutanya Sri Narapati, Ki Tumenggung

252
Supadriya, kendel neng plataran keksi, nulya ngancaran aglis,
majeng lenggah Ki Tumenggung, sang Dipati rum nebda,
"Kakang samia basuki", Ki Tumenggung turnya nuwun
gya saweca.
(37) "Sang Dipati lampah amba, ingutus putranta Aji, kinen nim-
bali pun Supa, dhawuh kinrig nambut kardi, sagung empu rat
Jawi, sing karsa putranta Prabu, nggih sami kinen karya,
keng dhuwung satunggil-tunggil, dhapur sasra namung dereng
wonten wikan."
(38) Dipati mangsuli sebda, " Sumangga ing asta kalih, nanging
anak dika Supa, sawek kesah atut wuri, nggih dhateng Sunan
Kali, wus lami tan wonten mantuk, punika wayah dika, pun
Anom nggih mentas nangis, taken rama arsa nusul kula am-
pah."
(39) Gya tumrun Kya Supadriya, ingkang wayah denprepeki, Ion
binopong Supa putra, ingimur binekta linggih, (k. 278) neb-
da sang Supa siwi, "Iki sapa mangku mring sun", nauri Su-
padriya, "Y a sun eyangira Gusti, map an uga sudarmane ra- •

manira."
(40) Supa putra lejar tyasnya, mring eyangira wus uning, sasat
panggih ramanira, bingahe sang Supa siwi, ya ta kendel sela-
tri, Supadriya Ki Tumenggung, enjangnya gya pamit-
an, marang ri sang Adipati, Supa putra klayu Eyang Supadri-
ya.
(41) Tumut dhateng Majalengka, ingampah ibu tan kenging, yang
dipati nut mangampah, malah kentar ngrumiyini, nebda Ion
sang Dipati, marang putra Sang Retna Yu, "Nini ya turuta-
na, putranira malah dhimin", Ki Tumenggung neng wuri nu-
tuti w~yah.

XXXIV. PANGKUR •

(1) Supadriya nitih kuda, ingkang wayah binoncengaken ngarsi,


1angkung bingah Ki Tumenggung, adarbe wayah priya, ibu ·

253

putri dhasar wamanira bagus, semarga-marga cengkrarna, sa-


karsane denturuti.
(2) Neng marga datan winama, Ki Turnenggung wus Ie- (k. 279)
pas nggen Iumaris, glis prapta ing Majalangu, gya Iaju manjing
pura, Ki Tumenggung wus tekap byantara Prabu, Ion nembah
ngaturken weca, "Dewaji lun atur pesi.
(3) Lepat ing salampah amba, animbali pun Supa tan pinanggih,
kesah tumut guronipun, Sunan ing Lepenjaga, tan kantenan
purugipun kang jinujug, punika sununing Supa, pun Anem
Gusti keng nami.
(4) Mila Iare ulun bekta, kang supados Supa nuntena prapti",
ngandika Ion Jeng Sang Prabu, "Ya bener aturira", nata nulya
nebda dhawuh Supa sunu, "Heh ta Bayi mengko sira, apa bisa
pandhe wesi.
(5) Yen wis bisa pandhe sira, ingsun Bayi gawekna keris siji,
ingkang aran dhapur sewu yen bener katyanira, mesthi sira
ingsun ganjar bumi agung, sunjunjung jeneng dipatya, ngreha
bocah juru tamping."
(6) Nembah matur Sang Supadma, "Dereng saged kawula pandhe
Gusti, nging yen wonten karsa Prabu, sagah dereng kantenan,
boten se- (k. 280) lak danni nglampahi keng dhawuh, nging
wonten panuwun amba, sagungipun grangan wesi.
(7) k eng sampun dados rujadan, kaparingna magut tepining jla-
dri, samodra Ier enggenipun, sampun tebih Ian sagra, dipun-
celak inggih lan besalen uiun, sampun wonten teleng tirta,
pilih j alma kang udani."
(8) Sang Nata gawok miyarsa, ing ature wau Sang Supa siwi,
tan mantra lare turipun , wus kadya wong atuwa, nata arsa
ndugeni Anom kang atur, wusana nata ngandika, "Supadriya
sun nuruti,
(9) penjaluke putonira, sarupane ya sakeh grangan wesi, lav;an
kabeh

bocah empu, padha amertenana, mring si Anom
angambila wesi sagung, saisine jroning praja, kang gerang
pundhuten sami.

254
( 10) Ya atema marang Tuban, pagutena ya aneng tepi jladri, Ian
wong sikep Majalangu, ya padha konen nggavla., ngater-
ena kang wesi gerangan sagung, saisine jroning praja kang
gerang pundhu- (k. 281 ) ten sami.
( 11) Ya atern a marang Tub an, pagutena an eng pinggiring jiadri,
Ian wong sikep Majalangu , ya padha konen nggawa, ngeter-
ena gerangane wesi sagung", kang kin on sareng wotsekar,
nulya mijil sing jro puri.
(12) Sapraptanya Pagelaran, Supadriya wus panggih rowang sami,
Ian gung sikep Majalangu, kang kinen · mbekta tosan, wus
sumekta nulya bidhal Ki Tumenggung, ngiring wayah Supa
putra, ngaler dhateng ing pasisir.
(13) Kuneng wau kang Ielampah, pan wamanen kang sampun ken-
tar Iami, Pangran Sendhang kang winuwus, keng lagya sih
mring garwa, aneng dalem Pangran enget yen ingutus, mring
Sesunan Kalijaga, ngupaya pusakeng nagri.
(14) Lawan enget garwa putra, kang tinilar aneng negari Tubin,
Pangeran alon amuwus, mring garwa mit mangaras, "Dhuh
Mas Mirah 1ilanana raganingsun, arsa tuwi marang Tuban, ing-
sun nilar putra alit.
(15) Yun uning geng warna- (k. 282) nira , putraningsun kang
keri aneng Tubin", kang garwa minggu tan matur, kumem-
beng netranira, de kang garwa lagya pasihan 12 ) Ian kakung,
nggen nggarbini pan wis tuwa, pitung candra anglenggahi.
(16) Awrat lamun tinilara, esmu waspa kang raka denbondheti,
Pangeran waskitheng semu, yen garwa pepasihan, anging
Pangran tan liya kacipteng kalbu, mung pusaka Ki Sengke-
lat, kang siningidaken kad.i.
( 17) Pangeran gya ngimur garwa, neng papreman mrih lejar tyas-
ing Rayi, ngasih-asih kang pangungrum, "Dhuh Gusti Mirah
ingwang, kang sih tresna wong ayu marang kang kakung, ing
donya prapteng delahan, tan nedya pisah Ian mami.

12) asline: wasihan

255
( 18) Tan beda lawan pun Kakang, amung sira garwengsun donya
ngakir", kathah manising pangungrum, bettnara ngisep
patma, kagunturan sang Dyah lejar ing tyasipun, karseng raka
tan lenggana, cinendhak rengganing resmi.
( 19) Sinamun sami kerasa, sam pun weleh kalih neng tilam sari,
Pangran ne- (k. 283) bda manis arum, "Dhuh Mirah sunwe-
wekas, ingsun tilar kelamun mbabar putramu, yen kakung
wehana aran, Jakasura iya benjing.
(20) Yen lair estri putrengwang, ya sakarsa Yayi sira mestani, Ian
iki tetilar ingsun, calon kris kalih welas, gung sawabe rawa-
tana diberukut, wus sunbuntel ngupih samya, rumatana
an eng pethi."
(21) Wus puma nggen paring jarwa, Pangran Sendhang mit ngaras
necep lathi, pan kadya gemak atarung, luwatnya dyah
ngabektya, Pangran nimbul wusnya mijil tindak mangu, sang
Retna kantun anggana, kemengan ingkang lumaris.
(22) Wus lepas ing lampahira, Pangran Sendhang tan mawi rowang
siji, anamun lampahnya ndarung, mangidul mring Blam-
bangan, angampiri nggennya rumat ingkang dhuwung, pepun-
dhene Ki Sengkelat, kang siningid madyeng kali.
(23) Neng marga datan winarna, Pangran Sendhang ing Blambang-
an wus prapti, njujug lepen tan na kang wruh, ngambil ru-
matanira, Ki Sangkelat neng tir- (k. 284) ta tinindhih watu,
pitung candra neng jro toy a, tan teles silem ing warih.
(24) Wus ingambil Ki Sengkelat, sangking tirta aglis binuntel ngu-
pih, cinangk.long sinamar brukut, Pangran anulya kentar,
murang marga tumrun jurang minggah gunung, katiwang-
tiwang lampahnya, pringga baya tan katolih.
(25) Siyang dalu alelampah, ngaler ngilen Tuban sinedyeng karsi,
nengna wau kang lelaku, kocapa Supa putra, neng samodra
nggennya pandhe madyeng ranu, myang pra empu Majaleng-
ka, sami pandhe neng gegisik.
(26) De kang pandhe jro samodra, Supa putra gung wesi denbes-

256

meni, gerangan wesi sagunung, mungging tepi mandaya, kang


binesmi jroning ranu ngundhung-undhung, lebur awu neng
samodra, juga tan na dadi keris.
(2 7) Kang brastha wesi saarga, wuri meksih gill sing Maospait, ,
prapta binesmi neng ranu, lebur awu suh sima, datan ana
kang wus wami dadya dhuwung, miwah empu kang neng
dharat, (k. 285) karya dhuwung tanpa dadi.
(28) Warnanen wau Sesunan, Kalijaga kang srameng Pulo Upih,
mirsa lamun prunanipun, kabutuh sanggupira, karya dhu-
wung dhapur sewu mring sang Prabu, keh wesi binesmi
brastha, tan na dadya keris siji.
(29) Sunan Kali wlas ing driya, mring kang putra pinerdi dening
Aji, kerigan kabutuh nglaku, nulya glis pinrepekan, kadya
kilat sang Wiku ing tindakipun, sakedhap prapta ing Tuban,
gya njujug tepining tasik.
(30) Mungging prenah Supa putra, wau Sunan kendelnya napak
warih, langkung benter ponang ranu, kuladan Supa putra,
nggennya pandhe gerana ububanipun, aparon dhedhengkul-
ira, karya supit driji kering.
(31) Pakulnya keng asta kanan, kehing wesi pinukul sima enting,
Sunan wus wrin solah sunu, nulya glis tinimbalan, "Heh Ki
, Anom mentasa seka ing ranu, sedhela sun arsa panggya",
Supa putra kagyat mijil,
(32) (k. 286) sangking sagra gurawalan, ngaras pada rinangkul
mring sang Yogi, wusira gya kinen lungguh, sang Wiku lon
ngandika, "Pa muiane dene sira pandhe ngranu", Supa putra
matur nembah, "Mangsi borong sang Yogi.
(33) Saderenge matur amba, sang Pukulun pan sampun ngunda-
neni", ngandika malih sang Wiku, "Y a bener Kaki sira, sayek-
tine ya sira kabutuh sanggup, anyaguhi dhawuh nata, dudu
·t rape wong kinerig.
(34) Nambungi karyaning bapa, sawetara aja kepareng ngarsi,
ya sun Kaki nora nutuh, wong sanggup aja uwas, ya menawa

257
antuk pitulung Ywang Agung, nrimaa yen titahing Ywang,
aja suka ja rudatin.
(35) Dene ingsun ora nyana, lamun sira bisa pandhe jro jladri,
mara sun gawekna dhuwung, babaran jro samodra, iki wesi
kodrat gedhene saklungsu", Supa putra mengsah nembah,
• • •
pan sarwt namperu west.
(36) Wusana Su- (k. 287) patma weca, "Dene kedhik punapa da-
dos keris, de punika saarga gung, tosan sing Majalengka, bo-
ten wonten keng dados kinarya dhuwung", sang Wiku mesem
ngandika, "Iku padha lawan wukir."
(37) Wesi saklungsu nut sebda, gengnya mindhak njenggeleg seng-
ga ardi, Supa Nom kagyat sru njumbul, asta kawratan tosan,
sinelehken saya wewah agengipun, pan kadya perbata suta,
mitenggengen Supa siwi.
(38) Warnanen ingkang lelampah, Pangran Sendhang kang mantuk
• dhateng Tubin, neng marga miyarsa tutur, yen empu Maja-
lengka, nyambut karya pasisir ler sami kebut, nulya laju Pang-
ran Sendhang, anut marga kang mring tasik.
(39) Gancang prapta prenahira, nggennya pandhe pra empu Maos-
pait, Pangran Sendhang awas ndulu, marang kang Raka Su-
nan, gya pinlayon tekap ing ngarsa mabukuh, mangsah nem-
bah ngaras pada, lengsemya lenggah neng ngarsi.
(40) (k. 288) Jeng Sunan alon ngandika, "Dene lawas apa ta
antuk kardi", kang dinangu nembah matur, ngaturken we-
ceng lampah, sangking purwa madya wusananing ngutus, wus-
nya Sunan mesem nebda, "Jebeng sira antuk bathi."
(41) Pangran nembah nuwun tumya, "Inggih danni kawula ang-
lampahi, sangking berkah sang Pukulun", malih nebda Jeng
Sunan, mring Supa Nom pan sarwi angasta dhuwung, "Ya
iki karyanen tepa, gedhe cilike kang keris."
(42) Supatma dangu tan weca, langkung kewran dene ageng kang
wesi, jrih matur lenggah tumungkul, sang Wiku paring pirsa,
mring ri Supa "Jebeng sira apa pandung, iya marang putra-
nira, si Anom diwasa mangkin.

258
(43) Heh Nom iku ramanira, Iagi prapta kepareng sira panggih",
sami supe kalihipun, gya sareng pengrangkulnya, ingkang
putra ngabekti tansah pinengkui, ingaras Iungayanira, bingah
lir rnanggih Retna Di.
(44) Dugi oneng (k. 289) kalihira, Pangran Sendhang panggihnya
Ian kang siwi, gya ngandika sang Awiku, "Ge Kaki Supa mu-
dha, null wesi saklungsu karyanen dhuwung", Supa Nom ma-
tur sandika, ponang wesi aglis malih,
(45) anut sebdanireng Sunan, ponang wesi gengnya sakiungsu
malih, seksana ingambil gupuh, marang Sang Supa atma, nu-
wun amit mring wa darmanira sam~un, ngiden wangsul man-

jing sagra, tan dangu wesi dados kris.
(46) Nuiya mentas Supa putra, dhuwung katur mring Uwa Sunan
Kali, ingasta nulya ingukur, sinami Ian Ki Sengkiat, sami
genge miwah cacah ingkang eluk, amung kaot mawi naga, pre-
nab mungging ing gegandhik.
(4 7) Wusnya sang Wiku ngandika, "Keris iki dhapure sunarani,
Nagasasra kris kang dhapur, rana Segarawedang, ya muiane
Nagasasra dhapur tuhu, dene seka sanggupira, dhapur sewu
keris siji.
(48) Iki sawiji naganya, Wisnu tapa dhapure keris maning, Sega-
rawedang ngran patut, witi- (k. 290) ra nggonmu karya, jro
sarnodra apanas rasaning banyu, pantes dadi agem nata,
ya atuma mring sang Aji."
(49) Dhuwung pinaringken putra, malih wiku ngandika dhateng

Rayi, "Enya Jebeng ingkang dhuwung, pundhenira si Seng-
keiat", Pangran Sendhang anuwun ing aturipun, "Amba ajrih
yen nganggea, menawi ical ping kalih.
(50) Kapok sarnpun kelarnpahan, lawan malih sebda Tuwan ing
nguni, Sengkeiat ageming ratu, kang mengku rat buwana,
pan ing mangke arnba sumangga Pukulun, jer panduka kang
winenang, mengku ing rat Nungsa Jawi."
(51) Ngling sang Wiku, "Bener sira, wis nrimaa sira tan andarbeni,

259
,
kang wajib warising ratu, iya kang pancer lanang, wis ta nuli
sebaa marang sang Prabu", wusnya sang Wiku gya linggar,
kinedhepken tan kaeksi..
(52) Pangran Ian putra seksana, amanggihi pra empu Maospait .
kang nambut karya sedarum, Tumenggung Supadriya, lang-
kung bingah nggennya panggih wayah (k. 291) sunu, dene
wayah kang pinatah, mring nata anambut kardi,
(53) aneng madyaning samodra, sampun dadya kris sewu dhapur
siji, wus jinarwan kang pra empu, sedaya suka ing tyas,
nulya daud mantuk dhateng Majalangu, Supadriya tyasnya
dugya, embah pendhandhang nerpati.

XXXV. DHANDHANGGULA
(1) Prapta laju tumameng jro purl, gung pra empu wus katur
narendra, nulya tinimbalan age, marang jroning kedhatun,
I
nata nulya miyos tinangkil, pepak wadya sumewa, Paglaran •
supenuh, sagunging manca dipatya, myang sentana tumeng-
gung prameya mantri, mlandang Ian juru sawah.
(2) Sri Narendra lenggah bangsal rukmi, animbali pra empu
sakima, wus tekap ing ngarsa rajeng, Mpu Lembang Ki
Tumenggung, Supadriya Ian Supa siwi, sekawan Pangran Sen-
dhang, kang maharseng ngayun, Supadriya matur nembah,
ngaturaken sasolahe Supa siwi, purwa prapteng wusana.
(3) Lan ngaturken praptanireng siwi, (k. 292) wau Supa antuk
nami Pangran, sam pun katur sedayane, trustha ngungun sang
Prabu, marang Supa tenapi siwi, dene sami prawira, darma
lawan sunu, nulya dhuwung Nagasasra, sampun katur gya
ingasta mring sang .Aj i, tansah sinawang-sawang.
(4) Sri N arendra angandika aris, "Y a sun melu ngideni turira,
nom juluki keris ingong, nging prayogane patut, Nagasasra
ginanjar becik, tinatrap ing Mas Retna, sapa kang asanggup",
Supadriya matur nembah, " Nggih di dalem pun Supa kados
kadugi, yen wonten karsa narpa."

260
...

(5) Nata dhawuh pangandika aris, dhateng Supa "Heh ta sira


Sendhang, sunpatah natrap nagane, garapen neng kedhatun,
tampanana pusaka mami", manembah Pangran Sendhang,
lon nampeni dhuwung, kang wasta Segarawedang, lawan
retna sesotya kumala adi, myang warna dinar dirham .
(6) Nata nulya dhawuh ngandika ris, " Heh Mpu Lombang sira
mupakatna, si Nom sunjunjung (k. 293) lenggahe, nggentya-
ni eyangipun, mengkonana ing Tuban nagri, Tumenggung
aranira, de si Supa sepuh, t etepa ngran Pangran Sendhang, ya
sunkarya merdikane di Dipati, Siyunglaut Blambangan.
(7) Maneh kang sunkarya patih mami, si Dipati Wahan nagri
Daha, jumenenga patih ingong, wus tita patih ingsun, si Pre-
marla mbuh mati urip, ing nguni pan sunduta, ngupaya wong
empu, kang bisa gawe curiga, dhapur sewu keris ujud mung
sawiji, sunduga wis palastra."
(8) Empu Lombang tur sandika mijil, prapta Jawi ndhawuhken
timbalan, mupakatken patih rajeng, ing Daha Ki Tumeng-
gung, karsa dalem kinarya patih, lawan Sang Supa putra,
sinung ran tumenggung, marneni dipati Tuban, Ian si Supa
tetep lunggyeng Pangran miji, aneng negari Sendhang.
(9) Wus misuwur mring wadya keng nangkil, yen patihe mangke
sinalinan, Patih Wahan sesulihe, wusnya Mpu Lombang (k.
294) wangsul, manjing pura tekap ngarsa Ji, wus katur re-
hing karsa, gya ngandika Prabu, mring sang baru madeg Tu-
b~, "Heh Nom nuli sira balia mring Tubin", sandika kang
liningan.
(10) Nembah sareng luwaran kang nangkil, prapteng Jawi mantuk
sowang-sowang, Kya Patih lintu daleme, Tumenggung Nom
winuwus, pan wus pangguh Ian wadya Tubin, budhal laju
lampahnya, sing kuwon kapungkur, wus tebih ing lampahira,
ingkang rama meksih kantun neng jro puri, nglampahi
karyeng nata.
( 11) Kuneng wau kang kantun neng puri, kawuwusa Dipati Bin-
tara, kang lagya banter lampahe , Kyageng Sela tan kantun ,

261
kalih mitra tan kena keri, Ki Patih Wanasalam, separan
tut pungkur, Iman Semantri tan pisah, pyagung catur rabin-
ten dalu lumaris, nenepi guwa sonya.
(12) Saos bekti m·ring sagung pra wali, gung pandhita anjurung
pandonga, kadugena sakarsane, semana tindakipun , laju ·ngi-
le- (k.295) n mring Pulo Upih, prapta gya cundhuk Sunan,
katrinya tan kantun, wiku ngawe mring kang prapta, sang
Dipati mestu· mangsah angabekti, tri gantya mangras pada.
( 13) Wusnya bekti tata lenggah ngarsi, J eng Susunan alon angan-
dika; " Abageya Areningngong", kang rayi matur nuwun,
malih nebda wau sang Yogi, "J ebeng apa karanya, nglangke
panggih Ian sun", umatur sang Adipatya, "Saderenge ulun
maturing sang Yogi, pan sampun kaweningan."
(14) Sang Pandhita mesem ngandika ris, "Ya wis weruh Jebeng
karsanira, arsa anggenti warise, iki meh mangsa dhawuh,
laelatul kadar meh nga1ih, nging durung tiba sira, pan meksih
ginantung, iya aneng kodrattolah, rnengko Yayi sun darbe
pusaka Aji, gadhuhen lamun krasan .

( 15) Y a suntandha lamine sawarsi, lamun krasan J ebeng an eng
ira, sida kita madeg katong, ing rat Jawa kawengku, marang
sira anggenti (k. 296) waris, nya Jebeng tampanana, iki dhu-
wung ingsun, ya arane si Sengkelat", nembah majeng tinam-
penan asta kalih, pusaka Ki Sengkelat.
( 16) Sang Dipati langkung srep ing ga1ih, lir tin timan lara ayu
endah, dahat nuwun ing ature, ngling malih sang Awiku,
"Jebeng uwis padha ndum kardi, mengko lajua sira, mring
Palembang gupuh, kita mintaa serana, mring rakamta ing
Palembang sang Dipati, katrima istijratnya.
( 17) Lan kampira mring Carebon Yayi, ya mintaa sarating ayuda,

Sunan Cerbon keh gunane", mestu kang tampi dhawuh, sang
Dipati amit ngabekti, sekawan gantya nembah, lumengser
sing ngayun, gya laju catur lampahnya, kawusa Jeng Sunan
enget ing gaJih, yen darbe pepetakan.
( 18) Tanah Baglen wijile kang jalmi, Cakrajaya nderes karyanira,

262

desa Bedhug ing d hukuhe, tan wonten rowangipun, amung


garwa myang anak siji, jalu wanci (k . 297) jejaka, meskine
kelangkung, wisma celak lawan wana, pakaryane nderes klapa
mung sauwit, matenge pendhak pasar.
( 19) Datan darbe karya malih-ma1ih, pan mung nderes setangkep
sepasar, tan mangan-mangan liyane, mung nrima lawan tutu,
yen wis nderes nembang sawengi, kongsi prapteng raina,
lagon ning nong ning nung., lamun kendel srah kang murba,
seprandene jiwane mentas kelimis , labete anarima.
(20) Pan cinoba mring J eng Sunan Kali, nujwa nembang winu-
lang parikan, klimah loro parikane ~ Cakrajaya miturut, apa-
rikan kalimah kalih, enjang nggen nitis gula, pan dadi mas
sepuh, mung setangkep kathahira, Cakrajaya anjumbul kes-

maran ngehni, lajwarsa puruhita .
(21) Sunan Kali kang pininta ing sih, Cakrajaya tinendha temen-
nya, kinen mengkurep kismane, laminya wus setaun, Sunan
mangke karsa nuweni, marang madyaning wana, kentar-
nya wus rawuh, (k. 298) nggening tapa Cakrajaya, kathukul-
an ri bandhil kelawan sisir, nulya glis binabadan.
(22) Sagung murid sami ngupadosi, katur Sunan kang tapa tan
ana, kinen mbesmi babandane, nulya ingubar sampun, po-
nang glagah wus sima enting, telas pinangan brama, kang tapa
, tari keguh, sandhange kobar sedaya, Cakrajaya kawudan
'
mangkurep njengking, Jeng Sunan Ion ngandika.
(23) "Cakrajaya tangia sun prapti, apa lali marang swaraning-
wang, nganti geseng ya awake", Cakrajaya gya wungu, nga-
ras pada pan esmu tangis, J eng Sun an rum ngandika, "Sun-
trima setyamu, ngaliha aran ya sira, Pangran Geseng dene
geseng kena ge·ni, tan owah idhepira.
(24) Maneh panas geni jroning kapti, geseng kayu seka kukusing
dal, genira ajajenenge , geni kelawan kukus, seka kayun wi-
jine sami, lingen wruha dukala, mula-mulanipun, kabeh iki
kang gumelar, pan sakeh- (k. 299) e manungsa tinitah luwih,
0

smung rasa-pengrasa.
-
263

(25) Mulya dhewe sangking kang dumadi, aja mengeng ing sacip-
ta tunggal, tunggal rasa sasolahe, isining buwana gung, anggep
siji manungsa jati, mengku sagung kahanan, ya manungsa
tuhu, Ian diwruhi sikseng tunggal, nut ing sukma saliring ja-
gad dumadi, ku tekat wus sam puma."
(26) Pangran Geseng kelangkung nuwun sih, wus kadriya sawu-
lang Jeng Sunan, wus tan pangling jro driyane, pamuksaning
sawujud, nanging lair sasat piningit, sangrehing kapandhitan,
ing tyas wus kawengku, pamurbaning jagad raya, kelairan
jatine pan ora silip, Jeng Sunan malih nebda.
(27) "Ya wismaa neng Lowanu becik, dene anakira ya si Jaka,
nunggak semi ya arane, ngran Cakrajaya patut, wis ta Jebeng
muliha aglis, dimantep mring agama, yen Jumungah wetu,
salata mring mesjid Demak, sasat sira rna- (k. 300) rang
Mekah munggah kaji", Pangran nuwun tur sembah.
(28) Wusnya jarwa gya linggar sang Yogi, Pangran Geseng mantuk
dhateng wisma, prapta panggih Ian garwane, miwah kang
putra jalu, Jakagedhug laju ngabekti, kang garwa sru karuna,
de tan nyana mantuk, Pangran saweca mring garwa, "Aja
nangis mengko sira sunjarwani, sun mentas amertapa,
(29) angiakoni parentahing Gusti, waliollah Sunan Kalijaga, Pulo
Upih dhedhukuhe, mau panggih Ian ingsun, dhawuh kinen
luwar mertapi, Ian kinen ngalih wisma, mring desa Nglowa-
nu, Ian ingsun ginanjar nama, Pangran Geseng dene namaning-
sun lami, sumulih ya putran ta.
(30) J akagedhug sira sunjarwani, sumuliha aran Cakrajaya", kang
putra nuwun ature , Pangeran malih muwus, "Guia emas pen-
dhemen nuli, ya sasabana sela, sabrahala iku, heh Nyai
age bethaka, ingsun luwe sawarsa pan durung bukti, mengko
arsa riaya. "
(3 1) Wusnya jarwa Pangran dhateng kali, mbekta pancing arsa
ngambi- (k. 301) 1 mina, mangilen dhumateng lepen, prapta
kali nggen kedhung, sesingidan nggenira mancing, sarwi ali-
ngan wreksa, wuwusen kang kantun, Ki Jaka nusul ramanya,

264
prapta kali manginjen semune ajrih, gya menek lingan wreksa.
(32) lngkang rama wespadeng pangeksi, alon mojar, " Kaya kethek
sira, nginjen wong sarta memenek" , mandi sebdaning wiku,
J akagedhug gya malih warni, rewanda geng bangkokan,
bedhes aranipun, tur meksih mengangge sinjang, lawan tek-
sih saged ngucap tata jalmi, karuna sam b&~ ram a.
(33) Pangran Geseng kendel nggennya mancing, mantuk aglis
kang putra tut wuntat, prapteng wisma ngandika Ion, " Wis
menenga Nak ingsun, narima yen wis pinesthi, sira anak pan-
dhita, tuk salah warnamu , jer sira tan melu tapa, karsaning
Ywang sira kinen mangun teki, tunggunen gula em as.
(34) Lan nderesa kang klapa sauwit, aja mangan yen tan dadi
emas, (k. 302) mrih wluya sira warnane, lawan sunwehi ju-
luk, Nilasraba bedhes Bagelin, turuten ujar ingwang", putra
mestu matur, ing rama ndherekken karsa, "Lun nglampahi
sugi sala sebdeng Kyai, nun ten sageda luwar."
(35) lngkang garwa lara-lara nangis, wlas ing putra Pangran angan-
dika, "wis Nyai aja rinaos, ya mayo mangkat gupuh, mring
Lowanu tuduhing Gusti, wis ta Kaki keria , tapaa dijunun,
sarta alas babadana, tandurana kang enak pinangan jalmi",
putra matur sandika.
(36) Pangran kentar gancang nggen lumaris, mring Lowanu sema-
na wus prapta, laju babad wana agrong, lami wus dadya dhu-
kuh, ing Lowanu papane radin, laminya tan kinandha, gemah
atjeng dhukuh, kathah jalma tumut wisma, temah aija ing
Lowanu sengga nagri, keh brangta kelu dhekah.

XXXVI. ASMARADANA
(1) Kuneng gantya kang winarni, Kyai Ageng Pandhanaran, rasa
barang gaotane, kathah ana- (k. 303) k putonira, sugih ban-
dha ber donya, nderbala tan kena ngetung, wong dagang pan
utang samya.
(2) Gemi mlekine nglangkungi, lumuh kurang nyandhang

265
mangan, tur rosa nggota karyane, nggen nglampahken sam ben
dina, pados indhaking donya, sebarang murah tinuku, yen
larang karya dagangan.
(3) Tan mantra yen sampun mukti, samben dinten kUling pasar,
mborongi yen wonten wudhon, kuneng warnanen Jeng
Sunan, Kalijaga wus wikan, Kyageng badhe mukmin tuhu,
ngelmine dereng binuka.
(4) Ki Gedhe nulya cinobi, Jeng Sunan mindha kawula, karsa
wade kambengane, nging sajroning alang-alang, sinung arta
buntelan, selawe ketheng kehipun, Jeng Sunan wus prapta
pasar.
(5) Kyageng kang winarna malih, prapta pasar amemriksa, ngu-
pados yen wonten wudhon, prapta nggyaning dollang-alang,
Ion tanya mring kang mindha, "Pira regane sapikul, Paman
alang-alang rika. ''
(6) (k. 304) Kang tinanya Ion mangsuli, "Regine kambengan
kula, inggih mung selawe ketheng, boten kenging dipun-
anyang, yen boten pepajengan, yekti kula bekta mantuk",
Ki Ageng gumujeng suka.
(7) Pan sarwi nglingira aris, "Pathok bangkrung Paman rika, ya
ngongtempuh saregane, mayo Pam an aterena, marang ing wis-
maningwang", wusnya Ki Ageng gya mantuk, Jeng Sunan
ngrembat tut wuntat.
(8) Prapta manjing dalem wingking, Ki Ageng gya mbayar uwang,
selawe ketheng kathahe, pan sarwi ngling awewekas, "Man
adol alang-alang, lamun akeh tunggilipun, suntuku ya atere-
na"
(9) Kang mindha nauri aris, "Nggeh ta Kyai benjang enjang,
kula ater kambengane", Jeng Sunan anulya ken tar, Ki Ageng
gya parentah, ngudhal alang-alangipun, kinarya mayu gedho-
gan.
( 10) Ingudhal gya wonten keksi, buntelan jron alang-alang, binuka
arta isine, selawe ke- (k. 305) theng kehira, gya ngaturken

266
dipatya, sang Dipati aris muwus, "Iki artane si Paman.
( 11) binunte1 dene akeri, an eng jroning alang-alang, bay a klep-
yan pamanane, pan wis pesthi bejaningwang, tetuku tan ke-
langan", arta sinung ngepok sam pun, Kyageng manjing dalem
tandya.
(12) Bihar dasih nambut kardi, kang mangguh arta buntelan,
nggarundellawan rowange , "Mau aja ingatuma, ku wajib rna-
rang ingwang", wusen dalu enjangipun, sang Dipati karsa
lenggah,
(13) neng plataran mungging kursi, goyang kenap kering kanan,
nglenggahi rengganing mukten, wedang pinanggung patehan,
teh epun rum gandanya, sarwi nggantang peksi kutut, geng
suwara tanduk laras.
(14) Putra wayah sami nyambi, nguwet puyuh myang dherekan,
sinelan nggetak darane, miber neng tawang kalangan, yen ti-
non sangking ngandhap, lir usar ngajar nglun-alun, dugi su-
kaning dipatya.
( 15) Gya (k. 306) linggar pan karsa bukti, lenggah bale ing pringgi-
tan, ingayap sagung garwane, Kyageng dhawuh mundhut dha-
har, tumandang kang pra garwa, kang dhahar tinata ngayun,
sapit kalak ginarangan.
(16) Kang namur kawula prapti, wau Sunan Kalijaga, sarwi ngrem-
bat kambengane, laju manjing neng plataran, keksi sangking
pringgitan, Ki Dipati alon muwus, "Heh Paman kono lunggu-
ha."
( 17) Sunan nulya lenggah ririh, mungging tritis dalem ngarsa, sarwi
ngadhep rembatane, ngentosi nggenira dhahar, Dipati ing Se-
marang, nggennya dhahar wau sam pun, tan winaris kang loro-
dan.
(18) Ki Dipati nulya angling, marang ingkang mindha kwula,
"Dene esuk teka kene, apa perak wismanira", mangsuli kang
tinanya, "Wisma kula tebih klangkung, ngardi nami ing Jabal-
kat."
( 19) Ki Dipati nebda malih, "Dene a doh wismanira, mondhok
ngendi ya neng kene", Jeng Sunan nauri sebda, "Tan mawi
mondhok kula, sangking Jabalkat nggih bangun, (k. 307)
enjang dugi ing Semarang."
(20) Langkung gawok Ki Dipati, myarsa sebdane kang mindha,
nulya glis ngambil artane, selawe ketheng kehira, gya sinung-
ken kang mindha, arta tinampenan sampun, Sunan angling
ameminta.
(21) "Kula niki Ki Dipati, nedha priman mring panduka, inggih
sarila-rilane, lamun pareng lawan karsa", anulya Ki Dipatya,
aglis ngambil artanipun, seketheng nguncalken sigra,
(22) marang ingkang namur karsi, tiba jubin sru kumencrang,
kang mindha alon wuwuse, "Kula boten ngemis arta, tan re-
men donya brana, yen pareng kang kula suwun, ungele be-
dbug Semarang."
(23) Ki Dipati ngucap wengis, "Langguk temen Paman sira, tan
dhemen donya seketheng, iku gempalane reyal, reyal gem pal- I

an dirham, anjaluk unining bedbug, mangsi bedbug antuk


dirham."
(24) Sang Wiku aris nauri, "Dhuh Kyai sampun mangkana, tan sae
(k. 308) dinten ngakire, bok sampun mangeran donya, donya
dados brahala, tan manggih swarga rahayu, yen sanget mange-
ran donya.
(25) Metengi margining swargi, kalingan dening brahala, tan uning
marga mulyane, kita jenenging manungsa, tan langgeng aneng
donya, ing tembe tan wande mantuk, dhateng ajal rahmating
Ywang.
(26) Kula ,yekti tan kepengin, sugih donya kadi dika, ngapirani
benjang tembe, donya tan tumut mring swarga, lamine aneng
donya, yen saged mantuk -swarga yu, lamine tan kena nge-
tang.
(27) Mulyane wong aneng swargi, barang kang cinipta dadya,
bedane neng donya kene, anggaota pitung warsa, pan mek-
sih ngangge etang, yen tyang macul neng _swarga yu, saga-

268
clokan mas sasingkal."
(28) Ki Dipati mesem angling; "Anggadebus Pam an sira, kay a wis
wruh suwargane, yen weruha kang senyata, mangsi dol alang-
alang, Ian mangsa ngemisa bedhug, (k. 309) mesthi krasan
aneng swarga."
(29) Kang mindha aris nauri, "Yen manira remen emas, tan su-
sah rumat emase, angedhuk mangsi suwea, sunngambil mas
sasingkal", sang Wiku wrin wonten pacul, ingambil gya macul
kisma.
(30) Sagaclokan nulya dadi, mas puthon genge sasingkal, ingung-
kil katut pacule, kang mindha ngling mring dipatya, "Andika
punaparsa, niki emas swarga ayu, kang pinaringken manira."
(31) Nulya turun Ki Dipati, ngungak keksi mas sasingkal, menco-
rong kathah tunggile, Kyageng njenger datan nebda, jroning
tyas ajrih tresna, rukma winangsulken gupuh, mring kisma
wus tan katingal.
(32) Sang Dipati driya ajrih, marang ingkang namur kwula, nulya
cin~dhak astane, kinanthi ngaturan lenggah, neng bale leng-
gah jajar, Kyageng ngrepa wuwusipun, niti warti nata krama.
(33) "Nggih nedha ngapunten Kyai, sangking kalepatan kula,
langguk angina samine, (k. 31 0) mangke Kyai nggih kawula,
ngasrahken jiwa raga, estu kula nuwun ngguru, inggih amba
anut karsa.
(34) Nadyah prapteng lara pati, kawula boten suminggah, punapa
. Kyai karsane, amba ndherek ing pitedah, nging nunten ka-
wejanga, ewede a mba tumuwuh, menawi kalangan lena.'?
(35) Sang Wiku ngandika aris, "Lamun ternan jenengira, ya arsa
nggeguru mring ngong, pan manira nedha tandha, tandhaning
puruhita, mesthi anut pakon guru, supaya yen kawejanga.
(36) Manira anedha yekti, tri prakara kang sunpinta, ngibadaha
selamine, ngadegena iman Islam, ngeslamna wong Semarang,
angingua santri kaum, Ian karyaa bedhug langgar.
(37) Dene ta kang kaping kalih, dika jakat krana lila, wajibe tc . g

269
donya akeh, jinakatha wong kasihan, sapangkat dimurwata,
lawan kaping tiganipun, wajibe wong puruhita.
(38) Angendrani seka panti, nu- (k. 311) ntumena kang bedhiyan,
mring dhepoke ing gurune, yen temen nggen puruhita, dha-
teng jeneng manira, andika nusula mring sun, dhateng ardi
ing Jabalkat."
(39) Ki Ageng atanya niti, "Jabalkat pundi prenahnya, Ian Tuwan
sinten kasihe", Jeng Sunan mangsuli weca, "Nggeh dhukuh
tanah Bay at, Seh Melaya juluk ingsun", wusnya weca sarwi
linggar. .
( 40) Tan kenging dipuntututi, sakedhap anulya sima, Kyageng
brangta ing driyane, tan nyana yen kedhatengan, wall panu-
tuping rat, Ki Ageng pan arsa nusul, dhateng ardi ing Jabal-
kat.
(41) Kyageng amit marang rabi, wewolu kathahing garwa, tur pe-
putra sedayane, ayu-ayu wamanira, werata sugih donya, tur
sami atmeng tumenggung, prandene tan ana ketang.
(42) Sagung brana wus winaris, dhateng putra myang sentana,
tenapi jakat santrine, wus dumugi ingkang karsa, nggennira
amematah, rumeksane praja kukuh, geng alit dinu- (k. 312)
man wrata.
(43) Miwah lakuning negari, linintu sangking berana, tan kena
ewah lakune, sinrahken kang kamituwa, tertibe lampah praja,
miwah lakune gung etung 13 ) , wusnya ratnpung nggen merna-
tab.
(44) Garwa kang sepuh pribadi, sanget lumuh tinilara, kedah
tumut selakune, ngasih-asih aturira, "Dhuh Kyai nggih kawu-
la, ajur luluh kula tumut, ing donya prapta delahan.
(45 ) Tan ketang brana myang siwi, mung nedya nunggil panuk-
ma, lawan Kyai ing akire, swarga nraka sam pun pisah, kawula
ngestu pada", raka alon wuwusipun, "Ya dadia kanthening-
wang.
13) asline : o tung

270
XXXVD. KINANTHI
( 1) Y ayi lamun tern en melu, arsa amateni dhiri, nanging aja
nggawa brana, wewalere guru mami, brana iku pan brahala,
ametengi margeng swargi.
(2) Lan aja menganggo luhung, salina busana putih", kang garwa
amestu sebda, nulya wau Ki Dipati, amengang- (k. 313)
ge sarwi seta, kalung kestul teken ecis.
(3) Amit marang garwa pitu, ingkang kantun miwah siwi, tinim-
bulan wus werata, apan sarwi paring weling, kinen runtut
akekadang, nembah mestu kang sinung ling.
(4) Ki Ageng seksarria laju, datan mawi rowang siji, sumedyarsa
mati raga, lestari nggennya lumaris, Nyai Ageng kang neng
wuntat, penganggenya sarwi putih.
(5) Wuluh gadhing tekenipun, jro ngisenan Retna Adi, dinar la-
wan lelantakan, kebak jroning wuluh gadhing, ngati-ati peng-
rasanya, kathah lire tyang lumaris.
(6) Tan weca mring kakungipun, angontel lumampah wuri, ajrih
lamun kaweningan, nggennya mbekta brana adi, mring laki
sang Adipatya, neng wuri kepareng tebih.
(7) Kyageng gancang lampahipun, kapungkur tanah Semawis,
langkung wana terataban, tebih desa kanan kering, Kyageng
nggennya ngambah wana, bayeng marga andhatengi.
(8) Jahna katri (k. 314) neng delanggung, nedya ngadhang tyang
lumaris, sru angling ngandheg dipatya, "Heh Paman man-
dhega dhimin, ingsun njaluk angsal-angsal", kandheg Kya-
geng Ion nauri.
(9) "Tan nggegawa lakoningsun, yen sira kurangan bukti, wuri
ika garwaningwang, nggawa rukma Retna Adi, neng teken
wuluh wadhahnya, mengko rebutan dikeni .

( 10) Nging ja nggepok awakipun, yen wis ken a wuluh gadhing,
mesthi tuwuk sira pangan, jrone wuluh ingkang isi" , nulya •
laju sesewangan, tiga wangsul ngadhang margi.
-
271
( 11) N yi Dip.ati nu1ya langkung, glis teken rinebat keni, N yai
Ageng gya lumajar, sru nangis nututi laki, "Kyai nedha tulung
kula, tyang· tiga nyalahi kami."
(12) Mangke katlah raning dhusun, Salahtiga dugi mangkin, kang
tuk wuluh gya pinecah, amencorong ting parelik, mas dinar
in ten sosotya, j.alma tri bungah tan sipi.
( 13) Wus ngedum pinara telu, nulya won ten prapta malih, jalma
tengran Sambangdalan, kasep ·tan me- (k. 315) lu tuk kardi,
winartan marang kang angsal, "Ika tututana nuli.
( 14) Tekene kang lanang durung, kena rinebut wong katri 2 lagi
kang wadon kang kena, kang lanang lumaku dhirnin", gugup
tyase Sambangdalan, gya nututi kang lumaris.
( 15) Warnanen ingkang lelaku, kang nututi marang laki, atebih
nggennya kecandhak, Nyai Ageng sru manangis, sesambate
melas a.F&a, "Baya lali laki mami.
( 16) Darbe rabi marang ingsun, dene sun tan dentulungi, tega
temen tilar mring wang", Ki Dipati muwus aris, "Sira dhe-
we kang anjarag, lali nggawa Retna Adi.
( 17) Majade tan ana kang wruh, ing jerone wuluh gadhing, sepran-
dene nora kilap, mung tekenmu kang pinilih, wis Yayi sira
nrimaa, jar pinundhut kang ndarbeni.
( 18) Ge mayo anggera ngayun, ingsun kang lumaku wuri", nulya
laju kalihira, ucapen ingkang nututi, Sambangdalan aglis prap-
ta, laju ngre- (k. 316) bat teken ecis.
( 19) Wus sinungken tekenipun, kayu sadhang tanpa isi, tinampik
wus tinampanan, teken marang Ki Dipati, Sambangdalan asru
ngucap, "Paman njaluk olih-olih."
(20) Ki Ageng nauri wuwus, "Sun tan nggawa olih-olih", Sam-
bangdalan pan ameksa, nggennya minta mring dipati, "Pa-
man endi njaluk ingwang, dinar dirham Ian Retna Di."
(2 1) Ki Ageng nauri sendhu, " Ndlurung temen ya wong iki~ kaya
wedhus pambekira, nora idhep ujar becik", Sambangdalan
malih warna, sipat do mba ageng inggil.

272
\

(22) Ki Dipati awas ndulu, yen kang mbegal malih warni, esmu
ajrih glis lumampah, ponang domba anututi, tan wruh yen
amalih warna, nanging teksih tata jalmi.
(23) Nulya prapta nglepen mangu, tan wigya manapak warih14 ~·
nulya uning layangannya, ngraos tiwas malih warni, asru na-
ngis ngaru-aru, sarah tobat anututi.
(24) ing salampah atut pungkur, semar- (k .217) ga-marga ana-
ngis, Kyageng wau nggen lelampah, seklangkung brangta
ing ga1ih, datan lyan ingkang •kacipta, pan ·a mung Jeng Sunan

Kali.
.
(25) Gancanging lampah winuwus, tlatah Bayat pan wus prapti,
minggah ing Ardi Jabalkat, manggih padasan sawiji, datan
won ten toyanira, lawan manggih mesjid alit.
(26) Wau laju adhedhukuh, neng wukir tan ana warih, Sambang-
dalan angawula, aminta luwaring warni, kinen ngiseni pa-
dasan, datan mawi dentutupi.
(27) Lawan tan kalilan tum, yen dereng kebak kang warih, pa-
dasan enceh ngengnya, saperangkulireng jalmi, inggile sa-
penggayuhan, rinten dalu deniseni.
(28) Yen ngambil tirta tumurun, saonjotan prapta kalih, sang-
king wrate arsa luwar, Sambangdalan anglampahi, ing tyas
langkung ajrihira, nedya laju ngguru nadi.
(29) Pendhak dinten lamenipun, nggennya prapta aneng wukir,
Sambangdalan tan tuk ne- (k.318) ndra, karipan nggen
ngambil warih, padasan tan saged kebak, umancur toyanya

wenmg.

(30) Seksana Jeng Sunan rawuh, alenggah sela cendhani, K.i Di-
pati mangsah nembah, tumundha Nyai Dipati, ngaras pa-
danireng_Sunan, Sambangdalan nut ngabekti.
(31) Sang wjku Ion dennya ndangu, "Dene domba atur bekti,
bisa ngucap tata jalma, ya apa purwaning nguni", ponang
domba nembah weca, "Mangsi borong sang ayogi.
14
) as1ine: marlh.
273
(32) Saderenge amba matur, Jeng Tuwan sampun udani", sang
wiku alon ngandika, "Ya wis ingsun kang paring sih, sira
tobata maring I wang, mintas waluyeng dhiri.
(33) Jatine manungsa tuhu, ya muliha anglir jalmi", mandi seb-
danireng Sunan, Sambangdalan ingkang warni, sima nggen-
nya warna domba, wluya kadyajalmi ma1ih.
(34) Nguni kagol nggennya ngangsu, mangke enceh kebak warih,
gya sang wiku awas mriksa, wau dhateng Nyi Dipati, dene
estri pisan tirta, Sunan sa- (k.319) nget minneng galih.
(35) Kang cis tumancep dinudut, tapaking cis mijil warih, mun-
car sateken umbulnya, tirta tapakireng ecis, tinambak kiwa
tengenny~, dugi mangke dadya belik.

(36) Tinambakan kubeng patut, kang toya muncar awening,


kadya tirta aneng dandang, anyarong kuminclong wening,
sinembadan tan kena sat) ketiga rendheng pan sami.
(37) Mangkana was sang wiku, gya nebda marang dipati, "Heh
ta Jebeng wruhanira, wus pinesthi sira dadi, tetep man-

jing mukmin sira, ya sira sunwehi kasih.
(38) Pangeran ing Bayat mungguh, ngislamna wong Buda kapir,
ngadega paguron sira, Ian tunggunen mesjid iki, iku mesjid
seka Mekah, Jabalkat asale nguni.
(39) Lan masinge Jebeng iku, Sambangdalan milu sakit, setya
tuhu marang sira, apuranen ingkang sisip, manjing dadi
sabatira, wejangen ngelmu sejati.
(40) Lan ingsun maringi juluk~ Seh Domba ya wali (k.320) miji",
tur sembah kang sinung sebda, "Sandika ulun nglampahi,
, nanging ta panuwun amba, nuwun wejangen semangkin.
(41) Jatine manungsa tuhu, sangking sanget kedah uning, yek-
tosaning sangkan paran, pungkasing ulun dumadi, pirsa-
kena mupung gesang, margine kasidan ening." ·
(42) Sang wiku nglingira arum, "Ya Jebeng ja sumlang ati, di-
ke~areng ngarsaningwang, sunbabari ngelmu supi, digemi
aja kawedhar, neng sastra kelawan lathi.

274
(43) Larangane wall ratu, yen kawedhar aneng lathi, binesmi
dening sarengat, kakekande tanpa dadi, gurokna lawan ta-
rekat, sarengat makripat sidik.
(44) Wruhanira urip lampus, tan tinggal penggawe becik, wong ala
ya nemu ala, wong becik nemu basuki, yen wong gesang
gung sangsara, kentar donya tanpa dadi.

XXXVIllDHANDHANGGULA
(1) Uripira neng donya tan lami, upamane Jebeng wong nyang
pasar, tan su- (k.321) we aneng pasare, nora wurung yen
mantuk, mring wismane sangkane nguni, ing mengko aja
samar, mring sangkane mau, yen mengko nora weruha,
iyat marang sangkan 15 ) parane ing nguni, kesasar ambe-
lasar.
(2) Yen ing pati ja kesasar benjing, dadi tiwas uripe neng donya,
tanpa pencokan sukmane, separan-paran nglangut, kadi
mega katyup ing angin, wekasan dadi udan, mullh sating
ranu, dadi bali nut ing wadhag, ing yektine sukma datan
kena pati, langgeng donya ngakherat.
(3) Lamun sira Jebeng tekeng jangji, aja pegat Jebeng dhikir-
ira, diawas ing rupa dhewe , poma-poma ya iku, ngelmu supi
dipunudani, abot dalem sekarat, akeh kang kadulu, ana
rupa pawong sanak, ana rupa pindha guru gusti darmi, pan
{U"Sa njarah iman.
( 4) Sarya weca tawa swarga luwih, ana ingkang ngaku mala-
(k.322) ekat, angater widadarine, tur warna luwih ayu,
null sira ta ndulu mesjid, gumantung ngawang-awang, tanpa
canthel iku, sinung langse sarwi endah, keksi gumyur gung-
ing warna angembahi, jingga seta turutan.
(5) Ponang mesjid kencana kinardi, lawang kembar inep sinung
gedhah, bisa menga minep dhewe, yen minep katon mancur,
kadi wulan purnama sidi, kesisan dening ima, trenggana
1
S) asline : sakan.

275
sumunu, iku katon marang sasar, kang sampurna tan ana
warna nemoni, mung sukma kang ngalela.
(6) Lamun ana kadulu ing pati, warna rupa ikut calera bawa,
pandulonira jatine, dene ingkang kadulu, ireng abang ku-
ning Ian putih, kang ireng lawan abang, pan kanepson iku,
kuning nuntun mring penginan, ingkang putih mung suci
sejati ening, iku kang badan sukma.
(7) Lamun ana kang murub sawiji, warna wolu katon jron se-
karat, iku peitnana a- (k.323) rane, ya cahyanira tuhu,
ingkang kadi peputran gadhing, cahya mancur kumilat,
tumeja ngenguwung, iku paesaning Sukma, pan ya ingkang
amurba misesa luwih, tuhu tunggal pinangka.
(8) Lan Ywang Sukma murba sira yekti, telu uga pan teluning
tunggal, tunggal rasa Ian uripe, pan bareng ananipun, kang
paesan jagad linuwih, lamun iku tan ana, kabeh jagad suwung,
ginulung ing ananira, lamun iku pinanggih neng donya
ngakir, barang cinipta ana.
(9) Perna-perna J ebeng aja lali, lamun sira Jebeng narik nap as,
diawas ing rupa dhewe, ja pegat dhikir kalbu, tan na rupa
ingkang kae~~-=.1, isenira wisesa, purbanen satuhu, lamun sira
tan percaya, nyatakena mupung sira meksih urip, ja kan-
dheg basa swara.
(10) Upamane yen manungsa luwih, jeneng urip anglakoni pejah,
dipangguh rupa rasane, niskara ngilo iku, (k.324) wewa-
yangan sajroning catntin, sengga rupa rasanya, tan kang
ngilo iku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenge manungsa
jati, kang ngilo Sukma purba.
( 11) Lamun sima wayangan kang keksi, marang endi sirnaning
wayangan, wespadakna16) ing sirnane, warnanen aja pandung,
Ian rasane dikrasa kapti, yen wis kerasa sira, samben-samben
wetu, dicaremna ing satmata, yen tan bisa samben wetu

sira panggih, panggiha samben candra. •

16
) asline ;pespadakna

276
. \

( 12) Lamun datan panggih sam ben asi, ing sawarsa panggiha
sapisan, yen tan panggih sawarsane, ya sepisan saumur,
ja tan ora dibisa panggih, kelawan dhewekira, iku pan wrana
gung, datan ana kang memadha, kembar rupa kelawan
sira pribadi, rasane aneng sira.
(13) De margane adhemit tur rungsit, patukune luwih dening
larang, gampang angel patukone, abot lamun tinuku, gam-
pang lamun dipunlakoni, dudu (k.325) mas setya mulya,
Jebeng tukonipun, mung legawa lila suka, setya tuhu ke-
lawan legaweng pati, pilih prapta sinedya.
(14) Poma Jebeng iku diagemi, ja rerasan mring jalma kang liyan,
yen ora Ian pugrahane, lamun sira memuruk, Ian nak putu
kadang myang dasih, tengonen werdayanya, ana tengeripun,
ketara ing solah muna, ulat liring iku gebayaning kapti, mi-
nangka pangeran.
(15) Pan ya ngelmu kang minangka wiji, kang winuruk upamane
papan, myang saengga kacang dhele, sinebar aneng watu,
yen watune datanpa siti, wiji mangsa thukula, jer ta sonya
suwung, mundhak binendon mring Sukma, wong amuruk
lamun tan nugraha yekti, 1ir pendah mangan wisa."
(16) Ki Dipati nuwun atur bekti, wus kacathet tyas padhang
sumilak, tan ana walang sangkere, ang wiku ngandika rum,
"Lab ta uwis Jebeng dibeci- (k.326) k, patrape ing sarengat,
......
iku werana gung, ya wis padha akaria", puma sima Jeng
S11nan datan kaeksi, tiga kantun anggana17).
( 17) Pangran Bayat tyasira wus ening, praptaning wahyu nga-
man ninnala, sumilak ilang regede, kang garwa wus winuruk,
Ian seh Domba sampun winisik, manjing kadang taruna,
wenang dadi guru, warnanen Pangeran Bayat, karsa tedhak
mring desa Wedhi ngimani, amulang gama Islam.
(18) Sampun kentar amindha pekathik, marang desa ing Wedhi
wus prapta, njujug Ki Tasik wismane, angenger dados batur,

1
1) asline :agana

277
karyanira garwa Ki Tasik, awande srabi cara, pendhak pasar
metu, semana nuju pasaran, Nyai Tasik medali pasarnya
Wedhi, Pangeran pekathiknya.
( 19) Medalaken barange wong nyrabi, keren tebok jladren wus
rinembat, miwah toya kalenthinge, kasesa kayu kantun,
pangkatira Pangran tan kanti, kang tumbas srabi kathah,
(k.327) kantu dening kayu, Nyi Tasik gusar sru nebda,
"Heh pekathik apa gawe kayu iki, dene kayu katilar,"
(20) Apa tanganira kang kinardi, angeneni srabi lawan cara,
kesusu kang tuku akeh", Pangeran nulya anut, astanira
tengen kinardi, nggeneni jeladrennya, munggeng keren mu-
rub, mrengangah amulat-mulat, Pangran angling: "Ge Nyai
andika nyrabi, geni sampun mrengangah."
(21) Nyai Tasik gumeter duk uning, driya ajrih dhateng peka-
thiknya, nggen nyrabi ginelak bae, glis telas jladrenipun,
tyang sepasar kathah ningali, dupi wrin gawok ing tyas,
jalestri mangrubung, gya enget kang namur lampah, lino-
rod wus astanya pejah kang agni, puma rum yin kang mindha.
(22) Nyai Tasik ngepeng mbeborongi, gung wowohan kang manis
rasanya, wusnya mantuk age-age, praptaning wisma laju,
panggih laki anjarwa titi, solahe pekathiknya, (k.328) neng
pasar tinutur, Ki Tasik nggraiteng driya, datan nyana yen
wali kang mindha abdi, nembah nuwun ngapura.
(23) Nyai Tasik nulya atur bekti, sarwi nyaosaken kang dha-
haran, nembah mangrepa ature, Pangran ngandika arum,
"Suntarima sira Ni Tasik, muga ta alarisa, barang dol tinuku,
keh Ki Tasik sun aminta, sawarnane ya nak putonira We-
dhi, ngi.mana marang Bay at."
(24) Tan winarna !amine sang yogi, nggennya dhukuh an eng Arga
Bay at, gemah kadya praja genge, wong Semarang keh rawuh, ••
putra wayah wus sami panggih, laju andherek wisma, anut
branteng ngelrnu, kuneng gantya kang winarna, nenggya
Patih Gajahmada Maospait, kang ngundur pepatihnya.

278
XXXIXDURMA
(1) Duk Semana Kyana Patih Gajahmada, nggennya kendra wus
lami, dinuta mring nata, ngupaya empu guna, kang awigya
karya keris, keng dhapur sasra, nguning denpe- (k.329)
pacuhi,
(2) mring narendra tan kalilan yen mantuka, lamun tan ang-
sal kardi, manna Kyana Patya, tan sae mantuk praja, nggen
ngupaya tan tuk kardi, wah mangke myarsa, klungsur leng-
gahnya patih.
(3) Ginentyanan marang Kya Dipati Wahan, trang myarsa kur-
dheng galih, sedya ngamuk patya, sentana dwi tan pisah,
singidan mantuk mring nagri, wuse kacipta, katri tyasira
gent.•
(4) Tiga samya amusthi wos pusaka, sami tangguh anjani, en-
jang nggen lumampah, mring dalem kepatihan, prapta waos-
nya tinarik, mungging gapura, ingandheg mring kang jagi.
(5) Tan pingarsa pengandhege wong kepatyan, tri laju angla-
rihi, antuk jaja pejah, mragalba Kyana Patya, gung kemit
tandang nututi) dwi dasa gancang, sikep watang nggethini.
(6) Rame campuh jalma tri rinoban yuda, mabenthak silih ung-
kik, tiga sura panggah, uleng madyeng gapura, wireng ke-
patyan keh lalis, mundur kang cur- (k.330) na, ngglirih
singidan gupit.
(7) Apuyengan gegere wadya kepatyan, keh prapta tandang
jurit, neng Mangu campuh prang, sruh awor leng-ulengan,
Patih Wahan tandang· mijil, sangking dalemnya, amusthi
waos biting.
(8) Prapta pintu wus panggih samya pepatya, gya laju campuh
jurit, atandhing sudira, dwi ramya gentya numbak, ngen-
ting kaprawiran sami, luwesing aprang, karya ebat kang

urung.
(9) Kalih s~i nempeng kyati ing ayuda, olah larasing jurit, kang
prang sami patya, tinon lir Resi Seta, Ian Satama campuh

279
jurit, tan pasah braj a, clang waos 1iru titih.
(10) Panumbaknya magantya tumibengjaja, gumandul tan nedhas-
si, abenthak-binenthak, ka1ih crah watangira, buteng ruket
prangnya kalih, macangklet asta, sareng dwi narik keris.
(11) Ki Premada Empu Kuwung kris tangguhnya, Kya Wahan
ingkang keris, Keleng Empu karya, seka- (k.331) dang tung-
gil praja, empu dwi lepat ing sekti, sareng mrejaya, tuk jaja
pyuh ngemasi.
( 12) Nibeng kisma mekasih nyepeng iket pegang, sarwi ngawet
kang 1athi, sing dalem kuwawang, udrasa para sang dyah,
cethi nangis ting jalerit, njawi kang yuda, wus sami wuru
getih.
( 13) Sang akalih neng j awi kinalang-kalang, singa sinerang ngisis,
dwi manjing plataran, uninga patih lena, kalih wus tan nedya
urip, saengga cipta, gya sareng mangsah ngungkih.
(14) Keh kang pejah mantri miji kepatihan, kang mangsah-mang-
sah lalis, gegere puyengan, kang tandang kathah prapta,
sagung mantri Maospait, saastranira, glis manjing tulung
jurit.
( 15) Pra niyaka nararya ing Majalengka, tumandang angawaki,
ngirid saba wadya, sikep watang mirantya, pelataran penuh
jalmi, kang sara rna tap, 1ir pendah parang curi.
(16) lngkang ngamuk ngiwa nengen ketadhahan, kaJih wus wuru
getih, liwung pengamuknya, (k.332) singa perak tinumbak,
keh mati curna gung mantri, wong Maja1engka, tyasira
• • •
sam1 mms.
(17) Pan dumadya ing pesthi kang ngamuk lena, dwi waosira
mandi, singa kang tinumbak, keh mati kapisanan, mangke
blero ngete kalih, de waos celak, sumlang menawa mati.
(18) Sang dwi dadya nggregud ngrebat waos panjang, mbuncang
gancang bina1ik, neng asta magoyang, kalih gambira sura,
jumangkah nerajang malih, wus ketadhahan, mring mantri
Maospait.

280
'

(19) Kang ngamuk dwi numbak klangkahan tuk kisma, kinrubut


mri.ng gung mantri, rinampog wus pejah, cumane arang
kranjang, gumilang nggeladrah siti, layon kalihnya, angga-
ne rontang-ranting.
(20) Para mantri neng Mangu atata lenggah, manggusthi mring
kang lalis, Waban lenanira, kruu~k C~jahpremada, rembag
sagung pra bupati, atur uninga, marang Jeng Sri Bupati.
(21) Pan warnanen Sri Narendra Brawijaya, sampun ngaturan
uning, pejah Patih (k.333) Wahan, kamuk Gajahpremada, •

tandya miyos Sri Bupati, mring Pagelaran, ginrebeg gung •


pra mantri.
(22) Putra narpa tan tebih mungging ngarsengra, myang sentana
nerpati, gung nayaka arya, prajurit kubeng bangsal, miwah
dasih juru tamping, aglar sumewa, mungging ngarsa nerpati.
(23) Nata menggeb lenggah dhampar mawa retna, mungging
bangsal pengrawit, sang nata ngandika, mring lurah gandhek
karwa, "Heh bocak pundhuten aglis, bangkening patya, •

ingsun pan arsa uning."


(24) Gandhek kalih tampi dhawuh nembah mesat, kentar seka
ring ngarsi, lampahnya glis prapta, kepatyan bangke pang-
gya, wigyuh tyase duta ka1ih, dene keng lena, dwi sami
patih aji.
(25) Dera sanget serenge dhawuhnya narpa, kang pinundhut de-
reng ning, tanbuh piniliha, de kaHh sami patya, pejah ke-
ket nyepeng keris, asta gandhengan, winengkang datan f

keni.
(26) Satemahan kalih lena gya binekta, rinembat kang satung-
gil, Kya- (k.334) na Patih Wahan, mungging amben-amben-
nan, Gajahmada pan kinempit, jaja sirahnya, suku sineret
siti.
(27) Dadya miring graitane duta narpa, mattnane bangke patih,
sineret sukunya, de ngamuk neng jro praja, manna sirah
k.ang kinempit, mring imba sara, dene sentana aji.

281

(28) Gandhek prapta byantaranya Jeng Sri Narpa, katur kang
bangke kalih, nata sareng lumyat, ngartika dalem driya,
"Wus pinesthi Majapait, pedhot talinya, wudhar ingkang
mengkoni.''
(29) Awusana sang nata nulya ngandika, mring imba sara ka1ih,
"Kabeh preuahena, jisime Patih Wahan, obongen candhinen
becik, de si Premada, setrakna neng wan a dri.
(30) Lail rowange wong roro ya ilokena, larungen aja keri", cun-
dhamani netnbah, bangke sampur. !Jinekta, mangu emeng
tyasira ji, ya ta narendra, jlog jengkar nggen tinangkil.
(31) Rawuh pura nata (k.335) ing tyas kagurawa, langkung
ngungun ing ga1ih, sapejahe patya, tan wonten piniliha,
ingkang gumatya pepatih, minggu tan nebda, tengareng
rat ndhatengi.
(32) Lindhu goyang ambal ping sapta sadina, bentar kang Arga
Mrapi, ~auran Klut arga, lir gograg kang buntala, kalih la-
harira mijil, mawa dahana, manrajang karya pati.
(33) Ing akasa peteng dhedhet alimengan, dres udan awu krikil,
dumugi sadina, grahana surya candra, ing mangke denseng-
kalani, nir sonyeng gana, her sucenireng jalmi.
(34) Purneng retu jroning praja Majalengka, kekes tyase gung
dasih, wus nyaneng kiyamat, sangking sanget ru·ara, miwah
Kangjeng Sri Bupati, kang aneng pura, latri sangsaya king-
kin.

XL ASMARADANA
(1) Brawijaya Jeng Sang Aji, ing dalu lumebeng sanggar, muja
brangta ing dewane, aminta arjaning praja, mulyane sa-
(k.336) gung wadya, Ian minta sageda tulus, nggennya meng-
ku ing rat Jawa.
(2) Sri narpa lenggah semedi, sedhakep asila tumpang, nutupi ·
nawa sangane, ngeningaken tingalira , mandeng pucuk.ing
grana, dadya panembahe ngalangut, sumuk marang Suralaya.

282

(3) Gita juwateng swarga di, tumurun kang marneng jagad,


juga-juga sadinane, wus uning pamuja nata, prapta Ywang
Mahadewa, agung swara mring sang prabu, dumeling neng
ngarseng narpa.
(4) Lir sawantahira keksi, "Kaki Prabu sun mawarah, marang
kita sayektine, nggon kita jlL""' ~nen~ nata, mungkasi ratu
Buda, ratu Islam kang sumambung, kangjejeg mangku ngrat
Jawa.
(5) Beja in~ang mbebakali, kang pedya dadi narendra, jer pu-
lung ratu wus ngaleh, nging meksih kineker ing Ywang, pi-
lib jalma kang wikan, kang bakal sumabung ratu, kang
ngrenggani jaman Islam.
(6) N an_ging datan liya benjing, kang ngrebut keratonira, iya
putranira dhewe, pan wus karseng Ywang kang murba, dha-
wuh wis nora kena, yen kita (k.337) aminta wurung, wu-
runge sing karseng dewa.
(7) Ngupayaa sira Kaki, empu lare pan wus digbya, ya ingunen
lamun panggoh, lagi ngumur pitung warsa, pan uwis dadi
jaka, Jakasura aranipun, yen pandhe tan nganggo brama.
(8) Lawan kang kinarya keris, dudu wesi mrecapada, dudu wesi
suwargane, wesi amung seka cipta, gedhe ingkang perbawa,
kang kanggonan keris iku, kinajrihan parangmuka.
(9) Ya uwis keria Kaki, ingsun bali mring Kayangan", wus
sima h~ana
. sang katong, kelengkung wagugen driya, duk
myarsa jaring swara, ya ta enjingira prabu, miyos lenggah
bangsal rukrna.
(10) Nata gepah animbali, mring gung empu Majalengka, tan
dangu wus prapta ngarseng, Ki Tumenggung Supadriya, ke-
lawan Ki ~pu Lombang, Japan Supagati sunu, Jigja Ku-
wungke1eng tapan.
(11) Pangran Sendhang anambungi, myang putra sang adipatya,
Tuban ri Sang Supa Anom, panesti Ian salaita, Bekel Jati
(k.338) 1an Ajad, mei mukdin datan kantun, pepak sagung
kang mpu kirna.
283
,

( 12) Lon ngandika Jeng Sang Aji, mring Tumenggung Supadriya,


"Sira Empu apa tumon, empu bocah ran si Sura, jejaka
pitung warsa, bisa pandhe sekti punjul, sunpundhut putra
angkatan."
(13) Supadriya matur bekti, "Kawu1a dereng uningan, kang kados
timbalan rajeng", sang nata malih ngandika, andangu Pang-
ran Sendhang, tumundha kang para empu, riyek atumya tan
wikan.
(14) Sang nata gya dhawuh gati, "Padha sira upayaa, empu ing-
kang meksih rare", empu samya tur sandika, nuwun amit
wotsekar, lengser sangking ngarsa prabu, mijil pura nggusthi
ken tar.
( 15) Pangran Sendhang laju 1ari, Ian kang putra sang dipatya,
Tuban ri Sang Supa Anom, lalu nlasah padedesan, niti su-
taning karya, Pangran Sendhang datan emut, yen nilar
garwanya wawrat.
(16) Kang wonten Sendhang nggarbini, duk a- (k.339) mbobot
tingang candra, nguni Pangran wewelinge-, yen kang putra
mbabar priya, kinen maringi aran, Jakasura ngraning sunu,
ing mangke sampun ambabar.
( 17) Kakung Warnanira pekik, welagang enggal diwasa, pitung
warsa ing yuswane, ing mangke wus dadi jaka, pangon tang-
gung wancinya, Jakasura tengranipun, abagus dinamadama.
(18) Ingugung sebarang karsi, sekalire kang pininta, tinurutan
ing ibune, semana Ki Jakasura, nujoni lagi ledhang, na ternan-
ten arsa ndulu, mantuk atsa santun sinjang.
( 19) Prapteng wisma mbuka pethi, pados sinjang kang prayoga,
sinjang sapethi bineber, dhasare pethi ginagap, gya manggih
bebuntelan, warna upih buntelipun, calon kris tilaring rama.
(20) lngambil dipunuculi, jron upih calon isinya, sinundukan
pepesine, Sura tanya ibonira, "Bu iki jeneng apa, buntute
padha si- (k.340) nunduk", kang ibu kagyat tumingal,
(21) dupi wau aningali, mring calon tilaring raka, dyah kumem-

284

beng ing netrane, kengeten mring kakungira, pinegeng ing-


kang tresna, mangke marem momong sunu, wus lipur sang
retna nebda.
(22) "Pan ya iku putra mami, calon keris aranira, ya ramanta -
tetilare, pakaryane ramanira, dadi empu utama, pinilala
mring wong agung, tilase kinarya jimat."
(23) Jakasura tanya malih, "lbu nyang ndi ya si Rama, dene
nganggo tinggal calon, capa ngrane ramaningwang, apa nom
pa wis tuwa", kang ibu ngandika arum, "Ya meksih nom
. ''·
ramanrra.
(24) Dene ta ingkang wewangi, Ki Supa arane lama, Ki Pitrang
duk aneng kene, ginanjar ngran Pangran Sendhang, mring
rama Belambangan, lagi gilir garwa sepuh, sang ayu atma-
jing Tuban."
(25) Sura gepah dennya angling, "lbu ingsun lilanana, ayun
nusul ramaningngong", kang ibu ngrangkul karuna, (k.341)
seret wijiling sebda, "Adhuh nyawa putraningsun, aja sira
nusul nyawa.
(26) Jer ramanta lagi gilir, marang garwanira tuwa, bok agawe
corah angger, yen ngaku putraning Supa, bisaa pandhe si-
ra, yen tan bisa pandhi kulup, mangsa sira diakua."
(2 7) J akasura nglingira ris, "Leres lbu ujarira, yen mengkono
lbu ingong, sun minta wuruk wong kriya, Mpu Sendhang
kang wis tuwa", kang ibu lejar tyasipun, de kang putra
· nut pitedah.
(28) Sura kentar angyekteni, mring jarwane ibonira, yen kinen
sinau pandhe, ing ciptane J akasura, dereng lega tyasira, yen
tan panggih ramanipun, kadya wus pegat trisnanya.

XLIMEGATRUN
(1) Jakasura kang sedyarsa panggih empu, semana lampahnya
prapti, ing wismane pandhe empu, aneng prapen panggih
linggih, J akasura nglingira Ion.

285
'

(2) "Heh Ki Empu ingsun iki minta wuru- ( k.342) k, ya wu-


langen gawe keris, keng prayoga ingkang dhapur", empu tuwa
anauri, ''Bagus boya saged ingong.
(3) De saged lun pan amung akarya pacul, tan saged a darnel
keris, malah ta saleresipun, andika mulanga kami, de tedha-
ke empu kaot.
( 4) Ram a dika wonten ngriki empu punjul, tilase kagem dipa-
ti, yen dika tan saged Bagus, darnel keris lir sudarmi, yekti
dede trah mpu kaot."
(5) J akasura kanggeg sakit driyanipun, seklangkung me rang ing
galih, dangu minggu nulya wangsul, laju manjing mring wana
dri, sanget mereng mulat ing wong.
(6) Pan sadinten nasak wana dugi dalu, tanbuh raose kang ati,
sedalu neng jro wana gung, tan ketang dhahar myang guling,
lungkrah ing jiwa kaleson.
(7) Nulya wonten pandhe nyeluman kadulu, jejuluke Mpu An-
jani, saged pandhe jroning (k.343) ranu, pandhe ing jro
kisma bangkit, Ian neng wiyati tan kegok.
(8) Sang Anjani uning usik titah sagung, wana wonten kang
prihatin, tan samar yen wayahipun, Jakasura denprepeki,
prapta sarwi ngandika Ion.
(9) "Jakasura babo nyawa putoningsun, paran karsa neng
wana dri, latri tan na rowangipun, tan jrih bayaning wanar-
di, ya wecaa putoningngong."
(10) Jakasura tanya sarwi awotsantun, "Punapa dewa keng keksi,
tuwin sinten kang jejuluk", Sang Anjani Ion nauri, "Yen
sira tanbuh marang ngong.
( 11) Empu dewa Anjani jejuluk ingsun, seluman kayangan mami,
ingsun welas temen ndulu, dene sira bocah cilik, pan wis

wengi neng wana gong.
( 12) Putu apa kang dadi daruneng kalbu'', Sura nembah tumya
ririh, "Borong punapa sang ulun, saderengi matur mami,
Eyang driya wus wespaos."

286
( 13) (k. 344) Sang Anjani nebda malih manis arum, "Bener atur-
ira Kaki, sakrentek tyasmu wis weruh, kang sira sedya ing
kapti, pan kita minta kinaot,
(14) ing sesama-samane wong dadi empu, lan arsa uningeng darmi,
mengko sun kang asung tuduh, kang sira sedya ing kapti,
minta digbya samaning wong.
( 15) Ramanira Ki Supa sekti pinunjul, sayekti sun kang mayu-
ngi, aneng Tuban kambil mantu , ngawula neng· Majapait,
ingandel marang sang Katong.
( 16) Putu sira lamun arsa bisa pangguh, law an ramanira mesthi,
njujuga mring Majalangu, ya laju sebaa Aji, ing kono marga-
ne panggoh."
(17) Jakasura kelangkung lega tyasipun, gya nyuwun punjul ing
sami, Sang Anjani mangsit sampun, marang wayah sang
Apekik, sawangsit kecathet kamot.
( 18) Nggennya mangsit luwih sangking ramanipun, winruhken
angsale wesi, kang mijil sing ciptanipun, minangka ratuning
wesi, ageng preba- (k. 345) wa kinaot.
(19) Sampun telas Anjani piwulangipun, Ki Jaka padhang nam-
peni, landhep panggraiteng kalbu, Anjani trustha kang ga1ih,
malih nebda sang Kinaot.
(20) "Pan ya uwis Jakasura jarwaningsun, ge pamita bumu dhi-
min, maneh nyawa weling ingsun, aja sira anggung kingkin,
null sebaa ~ang Katong."
(21) Puma weca nir Anjani tan kadulu, Ki Jaka gambireng galih,
glis mantuk praptanya pangguh, lan ibu tinanya titi, "Marang
ngendi putraningngong.
(22) Dene sira ya sawengi nora mantuk, gawe rudahe tyas mami,
3un sawengi. tan tuk turu, mung sira katon kumantil", kang
putra umatur alon.
(23) "Wau dalu kula panggih empu sepuh, namenipun Mpu An-
jani, sung jarwa mring kula lbu, digbyanipun empu sekti,
kang winulangken dhateng ngong.

287
(24) Mangke lbu inggih kula estu nusul, yun uninga rama mami,
lun ulati Majalangu, (k. 346) ing welinge Yang Anjani, kin en
laju ngabdi katong."
(25) Sang Dyah kanggeng wusana micoreng kalbu, "Lamun ora
sunlilani, mesthi adreng putraningsun, kudu arsa wruh su-
darmi, Ian arsa ngawula katong.
(26) Angur baya sunleganane putrengsun, sangking kudu wrin
kang kardi, yen Pangran emut sesunu, mesthi enget marang
mami, bisa gilir mring wak ingong."
(27) Awusana sang Retna lejar tyasipun, karseng putrn denlilani,
dyah driya srah mring Ywang Agung, kadugena karseng
siwi, nulya sang Dyah ngandika Ion.
(28) "lnggih lbu sok dhasara saged pangguh, kelawan pun Rama
benjing, llianana kula lbu, estu pangkat din ten niki", kang
ibu nglingira alon.
(29) "Ya mangkata putraningsun mumpung esuk, ingsun nyawa
tan nyangoni, mung cegah sun mangan turu , dadya sangonira
Kaki, Ian wesi kang rupa calon.
(30) Tetilare ramanira duk karuwun, ya gawa- (k. 347) nen iku
Kaki, gawenen tetenger besuk, pratandha sira nak mami,
Ian prepatira wong roro.
(31) Ya gawanen meiu dadi tandha tuhu", Jakasura nembah lari,
prepat kalih atut pungkur, noncol calon buntei ngupih,
semarga ageyang-geyong.
(32) Lepas lampah nasak wana njujur gunung, telatah Sendhang
kawingking, semarga datan winuwus, prapta kikis Maos-
pait, kesthi dhandhang cunduk katong.

XLIT. DHANDHANGGULA
( 1) Jakasura lampahnya lestari, ingiringken kalih kang parepat, ..
Lega Legi sami genge, mangam bah ing wan a gung, sami bi-
ngung tan uning margi, kang anjog marang praja, nenggya
Majalangu, semana prapta padesan, Iare angen neng tegal

288

denparepeki, pan sarwi tinakenan.


(2) Margi ingkang dhateng Maospait, lare angen kang sanggup
wus wikan, sami kinen ngaterake, ngepahan calon dhuwung,
siji-siji lare nyatunggil, sam ben-sambe- (k. 348) n a tanya,
calon epahipun, mbekta calon kalih welas, pan meh telas
calon pan kantun satunggil, kang teksih darnel pola.
(3) Kirangira K.i Sura akardi, dhuwung calon kang kantun pola-
nya, tinurut ageng kandele, karya sami lumaku, dadya dhu-
wung tan mawi wesi, amung cipta kiwala, warnane lir kapuk,
gawok kang sami tumingal, nggennya karya Jakasura lang-
kung sek ti, saged anyipta to san.
(4) Kacarita nggennya nyipta keris, antuk astha !amine neng
marga, kendei wus dugi karsane, Majalengka prapta wus,
J akasura lega kang ati, gya arsa laju so wan , marang Jeng Sang
Prabu, kuneng gantya kawuwusa, Sri Narendra pan arsa mi-
yos tinangkil, mungging ing sitibentar.
(5) Pasewakan pepak sagung dasih, pra pratiwa nararya sipatya,
rangga demang tampingane, Pagiaran bek supenuh, sangking
jejei wadya kang nangkil, pe- (k. 349) nganggya wama-
warna, gung retna bra murub , asri jajaran narendra, gung pra-
jurit maneka penganggya asri, kadya udana puspa.
(6) lngkang mungging ngarsa dalem Aji, Arya Simping miwah
Arya Puspa, Blegedhur Ian Arya Bobos, Arya Tiron Mentaun,
pra tumenggung tampingan nangkil, tan kantun sabawahnya,
juru ~-awah empu, Ian klangenan palawija, Pangran Sendhang
Ian putra sampun sumiwi, nunggil pratiwa ngarsa.
(7) Adipati ing Terung wus nangkil, Ian Dipati Panaraga miwah,
Puger Nglumajang sisihe, Maespati sumambung, andhar
mungging ngarsa nerpati, muka 1ir konjem kisma, jrih ndulua
Prabu, dangu narpa lenggah dhampar, mawang dasih kang
yogya kinarya patih, tan wonten kang kinarsan.
(8) Sapejahe Patih Maospait, dereng wonten ingkang marentaha,
meksih giura dhawuh rajeng, amung Dipati Terung, ingkang
tansah tinari-tari, sang Nata angandika, "Heh Dipati Terung,

289

sapa- (k. 350) tine Patih Wahan, apa ingkang prayoga guman-
tya patih, warise ora ana."
(9) Kang sinung ling nembah turira ris, "Dhuh Dewaji kawula
sumangga, mangsi borong karsa rajeng, di dalem Majalangu,
sepuh anem yogi mengkoni, among wadya sakirna, tan kilap
Pukulun", sang Nata malih ngandika, "de PU:trengsun ing
Demak si Adipati, lawas tan ana seba.
( 10) Apa dadi sabab tan sumiwi", Arya Simping manembah tur
weca, "Putra dalem ing wiyose, tan wonten wecanipun, na-
mung sawek anambut kardi, iyasa mesjid Demak, langkung
agengipun, para wali mestu deya, nggen ngyasani mesjid
ageng.lawan srambi, ribeng putra panduka."
(11) Sri Narendra dhawuh sebda gati, "Bocah gandhek sira timba-
lana, si Dipati Bintara ge", kang liningan wotsantun, ken tar
aglis seka ring ngarsi, sang Nata malih nebda, marang dasih
empu, "Heh bocah empu kang lunga, angulati (k. 351) empu
ngumur pitung warsi, kang aran Jakasura.
(12) Kaya priye apa wis apanggih", Supadriya umatur manembah,
"Amba nuwun ~uka rajeng, di dalem para empu, sedayanya
sami ngulati, niti sutaning karya, weradin tan pangguh,
tan won ten keng angsal karya, lare nami J akasura pitung war-
si, di dalem atur pejah."
( 13) Gya kesaru J akasura prapti, lare tiga njujug wringin kern bar,
tebih kapriksa mring rajeng, ngandika· Jeng Sang Prabu,
"Bocah gandhek priksanen aglis, de ana bocah prapta, njujug
wringin kurung, iriden mring ngarsaningwang", ingkang
kinon mestu nembah kengser ngarsi, glis prapta pangguh
Sura.
(14) Lon tinanya tri weca kang nami, wusnya weca Sura kerid
duta, prapta ngabyantara rajeng, tiga lare mandheku, ngandi-
ka Ion Kangjeng Sang Aji, "Heh bocah ngendi sira, njujug
wringin kurung, lawan sapa aranira", matur nembah, "Amba
lare Sendhang Gusti, namilun Jakasura.
(15) Rencang ulun nami Lega Le- (k. 352) gi, mila amba njujug

290

,
\

wringin kembar, lun sumedya ngabdi rajeng, Ian ngluruh su-


darmenglun, Pangran Sendhang Gusti kang nami, kawula
dereng wikan, warneng darma ulun, amba tinilar duk wa-
wrat, nggih pun lbu kang marteni amba Gusti, pun Rama
ngabdi nata."
(16) Sri Narendra sareng amiyarsi, sunduk lawan ing panekung-
ira, kagyat trustha galih rajeng, duk sawiji ing dalu, sinung
wangsit keng swara dumling, daleming driya narpa, "Jagad
dewaningsun, bocah iki pan wis terang, karseng dewa dhawuh
kin en angulati, dene prapta pribadya."
(17) Awusana nata ngandika ris, "Heh ta Sendhang iku apa nya-
ta, anakira sayektine", Pangran Sendhang umatur, "lnggih
amba Gusti duk panggih, Ian putri Belambangan, ing saenget
ulun, amba tilar sawek wawrat, tigang candra yen laira teksih
alit, kados dereng jejaka."
(18) Pangran Sendhang tanya mring kang (k. 353) prapti, "Apa
nyata sira anak ingwang, iya apa tetengere" , Jakasura uma-
tur, "Nggih punika keng calon keris, pun lbu kang sung war-
ta", Pangran Sendhang ndulu, mring calon boiong pesinya,
datan samar enget tilarane nguni, gya nembah matur nata.
( 19) "lnggih yektos anak amba Gusti, lare prapta Iuntilar suk
wawrat, lair dugi ing agenge, pitung warsa kaduiu, nami Sura"
trustha sang Aji, sunduk Ian karseng dewa, gya ngandika
Prabu, "Sura sira ya suntandha, lamun sira ngaku anak Supa
yekti, ya ingsun karyakena,
(20) keris dhapur mangkurat kang becik", Jakasura tur sembah
sandika, tan ngantya pinaring badhe, nyipta wesi sing kalbu,
mijil seta nulya kinardi, dhuwung dhapur mangkurat , tan
mingser nggen lungguh, gawok sagung kang tumingal, myang
Sri Narpa anjenger nggenira ngeksi, mring sektenireng Sura.
(21) Kang kris dadya gya ngaturken Aji, Ion pinu- (k. 354) ndhut
ingasta winawang, langkung trustha galih rajeng, terus kala-
ning dalu, pemangsite kang swara dumling, dhawuh kinen
ngupaya, empu lare punjul, wusana nata ngandika, "Ya

291

suntrima Sura nggonmu atur keris, sun gawe pusakengwang.


(22) Sunarani Ki Mangkurat becik, Jpan sunkembar Ian Segara-
wedang, saosane si Supa nom, nging sira ingsun pacuh, aja
sira karya kris maning, ngamungna si Mangkurat, dene kang
kebanjur, sira karya njarwakena, sapa wonge kang kanggon-
an Sura kang kris, nuli disaosena.
(23) Lamun ora ngaturke tumuli, kang kanggonan mesthi ingsun
rusak, padha undahangana kabeh", Sura umatur Prabu,
"Won ten margi nggih amba kardi, dhuwung pan angsal astha,
darnel epah sung wruh, margi dhateng Majalengka", Sri Na-
rendra dhawuh pangandika gati, "Ge padha pundhutana,
(24) keris tangguh Sura kang akardi" , kang sinebda sandika gya
kentar, ngandika malih sang Ka- (k. 355) tong, "Si Sura kar-
saningsun,

pan sunganjar Iungguh negari, ing Jenu wengkona-
na, mardika marang sun, Ian kramaa putraningwang, Rasa-
sekar warnane ayu linuwih", Sura nuwun turira.
(25) Nata dhawuh pangandika malih, "Heh ta Sendhang nakira
si Sura, sira pangkunen bojane", Pangran tur sembah mestu,
Sri Narendra jengkar siniwi, kondur mring dhatulaya, gin-
rebeg pra an.u.;.;., kang sewaka aluwaran, Pangran Sendhang
mantuk Ian putranya ka1ih, Supa nom lawan Sura.
(29) Pangran Sendhang kelangkung dennya sih, marang putra
baru Jakasura, Supa nom sih Ian arine, dene sekti kelangkung,
saged nyipta wesi sangking sir, semana Pangran Sendhang,
prapta dalemipun, sung wikan marang kang garwa, Rasawulan
kusuma di putri Tubin, purwa niskareng putra.
(27) lngkang garwa mestuti tumut sih, marang putra Sang Supa
kang prapta, tansah sinung jarwa ing reh, kuneng kang ngi-
mur sunu, Sang Dyah Sendhang mangke wus prapti, panggih

(k. 356) maru jinarwan, dyah trustha jumurung, gya samega
darbe karya, Pangran Sendhang Ian putra Dipati Tubin, pa-
sang tratag tuwuhan.
(28) Myang jro dalem rinengga pan asri, tirah linangse myang gung
sesaka, kang pajangan keksi abyor, lir pendah swarga tumrun,

292
-
kawuwusa narpa neng purl, ingayap para garwa, tarap mung-
ging ngayun, sang Nata Ion paring pirsa, marang garwa Jeng
Ratu Andarawati, ing purwa karseng narpa.
(29) Sang Dyah mestu ing karsa Raka Ji, gya kang putra kinen
maesana, Dyah Rasasekar sang Sinom, kang kinon awotsan-
tun, garwa kalih ingkang tinuding, njenengi ingkang putra,
semangke sang ing rum, Rasasekar pinaesan, pinenganggyan
raja kaputren sang Dewi, mimbuhi ayu raras.
(30) Tuhu ayu pasemon mrak ati; raga krana lir Dyah Dresanala,
tumrun sangking kaswargane, kadya murca dinuiu, tuhu
punjui samaning putri, Dyah wasis barang karya, ing sesmita •
putu- (k. 357) s, mupugi sesamaning dyah, ayu tuius kem-
pyange datan kawijil, pambek tyasnya rahatja.
(31) Kathah lamun rinengga sang Dewi, ri sampunnya sang Dyah
pinaesan, nuiya ngaturken sang Rajeng, kuneng gantya wi-
nuwus, Jakasura kinandha ma1ih, mangke wus binusanan,
atja kampuh pelung, paningset renda suratya, dhuwung on-
cen alancingan cindhe wills , tirahnya rinenda mas.
(32) Gelang kana badhong anting-anting, kelat bau naga endras-
mara, rumbing cakra mas ingonce, jamang sinotya murub,
cundhuk serat garudha wuri, saya embah keng warna, tuhu
yen binagus, lir juwata Ywang Asmara, ngeja wantah tumrun
aneng Maospait, kang mulat keh kesmaran.
(33) Wau sampun ngandikan mring purl, Pangran Sendhang nga-
turken kang putra, Jakasura kang temanten, ingiring para
empu, Ian pratiwa ing Maospait, kang saos ngarsa narpa, gung
prajurit penuh, neng a- (k. 358) lun-aiun sumahap, Sri Naren-
dra Ian garwa Dyah Prameswari, kang lagya ngimur putra.
(34) Sang Kusuma mungging ngarseng darmi, nata nebda miyos-
ken pamuiang, "Y a kramaa putraningngong, Ian Sura bagus
terns, jar wus dadi ubaya mami, de bisa gawe criga, dadi agem
ingsun", sang Retna minggu tan weca, merang konjem tu-
mungkui anerat siti, nata kadugeng driya.
(35) Tandya dhawu}]. mring niyaka estri, "Bocah wadon age tim-

293
balana, ya si Sendhang Ian anake, iriden ngarsaningsun",
sigra kentar cundhaka estri, ing Jawi panggih Pangran, dhi-
nawuhken sampun, sandik.a gya kerid duta, sampun tekap
mungging ngabyantara Aji, sumungkem konjem kisma.
(36) Agupita sagung para putri, anglembana mring Sang Jakasura,
wong bagus tan na cacade, keh solahe pra arum, Ion ngandika
Kangjeng Sang Aji, " Heh Lara tingalana, iku Sura bagus, pra-
wira wasis ing karya, ya kang dadi brang- (k. 359) tane ing
ga1ih mami, taruna wis aguha.

XLIII. SINOM
(1) Nata dhawuh marang Sura, "Iki Sura putra mami, kang dadi
ganjaran ingwang, tampanana Nini Putri, null gawanen mijil,
ya laju mengkua Jenu" , nembah nuwun Sang Sura, "Pasih-
an dalem kapundhi" , sang Kusuma gya binekta marang tra-
tag.
(2) Tinitihaken wilisan , upacaranira asri, dan-edanan mung-
ging ngarsa, ngaJih rakit jalu estri, ing paglaran wus prapti,
tengara kuttnat gumuruh, tambur slompret Ian gangsa, urut
marga gantya muni, renggeng marga lir sang Nata miyos para.
(3) Tandya klangenan narendra, besan mijil sangking purl, gang-
sal rambahan kathahnya, ngalih rakit warna sami, pan samya
trah pinilih, atmane pratiwa anung, pinethuk neng Paglar-
an , ladosan tundhan sanagri, kuda songsong neng bakung
apenuh tata.
(4) Nulya sami nitih kuda, sinongsongan alumaris, gongsa munya
(k. 360) mungging wuntat , semarga kepyarsa ngrangin, gen-
tya winama malih, dyan temanten kang winuwus, aremben
lampahira, labet marga penuh jalmi, kang mangeksi "Ebat
Sura laju mulya." •

(5) Sura menggeb nitih kuda, sinongsongan kertas abrif, gin-


rebeg sentana Tuban, pra bupati mungging ngarsi, wingking-
ira sang Putri, anitih wilisan agung, asongsong kertas seta,

294
upacaranira asri, garwa nata kekalih nitih jempana.
(6) Mangater putra temantyan , ginarebeg para mantri , alon
denira 1umampah_, ngurung-ngurung gung prajurit, wurinya
tandhu joli, garwane para tumenggung, de jalma kang ne-
ningal, sungsun timbul ting kalesik, "De sih lare pengantyan
apindha dewa."
(7) Tangeh yen rinenggeng lampah, wamanen pan sampun prap-
ti, ing dalemnya Pangran Sendhang, jejel mantri myang bu-
pati, lenggah kubeng pendhapi, dalem penuh kang pra arum ,
manggihken kang temantyan , ing da- (k . 361) lem miwah
pendhapi, Pangran Sendhang wutah pasunggatanira.
(8) Suka dhahar minum samya, njawi nglebet 18 ) pan weradin ,
rampung nggennya abujana, gya besan sumaos ngarsi, tan ki-
nandha sanesing, mung sajuga kang kinidung , mangke methik
kang kandha, duk nguni narendra Bali, ajejuluk nerpati Ja-
yanglengkara.
(9) Lan prajurit Bauwama, kang kinarya wamengjurit, Tumeng-
gung Jayakusuma, kalih sami digbyeng jurit, ngering jebeng •

narik kris, nglarak kunca ngukel dhuwung, besa grudha cum-


bana, karya ebat kang ningali, pra wanodya mulat kathah
nandhang brangta.
(10) Heh solahe kang pra sang Dyah, tanbuh ingkang dipuneksi,
mulat besa myang temantyan, ngantya supe sene sami, ka-
belet tan tinolih, temah ngenggen dyah kepoyuh, tangeh
renggeng neningal, dugi ingkang besa ngrangin, sang Akalih
mangeja pungkasing yuda.
(11) Gangsa arepek patut barang, gya mangsah ri sang Kekalih,
sareng (k. 362) jumangkah wiraga, mangancap sareng mrana-
ni, lir dhali nampar warih, gapyuk jebeng sareng nuduk, tan
ana kang tumama, gya sinarung dhuwung kaJih, narpa Bali
mangsah musthi sara digbya.
( 12) Ponang hru sigra lumepas, tumrucuk makethi-kethi, juga tan

18) asline : jawi lebet

295
..
..

na kang tumama, mring Jayakusuma sekti, nata kinon malesi,


• Dyan Tumenggung musthi kang hru, sara digbya minantran,
kang pinrih wirangira Ji, glis lumepas kampuh clana katera-
tas.
( 13) Kengis wentisnya sang Nata, keksi gumebyar 1ir thathit, me-
rang kendra sangking rana, tansah udrasa jro galih, ngrimong
kunca pamingit, gya tindak 1estari kondur, dyan tumenggung
winama, meksih madeg madyeng jurit, uning wadi kanggeg
ing tyas sru kantaka.
'
(14) Ginosongan mring pra kadang, puma kadhaning palupi,
'
mundur dhalang myang niyaga, dyah bu sori ngandika ris,
mring putra Sang Retna Di, "Akeria putraningsun, diatut
palakrama, ingsun kondur mring jro (k. 363) purl, heh ta
Sura ingsun titip putraningwang."
( 15) Sura nuwun aturira, nulya kondur dyah bu sori, jro dalem
bibar pra samya, kang untiring garwa Aji, myang sagung para
mantri, bupati Ian para empu, budhai sareng Ian sang Dyah,
kuneng wuwusen sang Putri, esmu brangta mring kakung
Sang Jakasura.
(16) Dhasare dyah wus diwasa, sang Putri ing Maospait, nanging
dereng kasembadan, Sang Sura dereng birai, dhasar kapuwung
ajrih, nglawan lulut Ian sang ing rum, nempuh byat sang
Kusuma, kakunge winawuh dhimin, ngling ngrerepa Ki
ternan ten dawek nendra.
(17) Kakunge nurut kewaia, winulang srenggara resmi, suka sa-
gung kang miyarsa, lir dongeng wau sang Dewi, so1ahe Ka-
kung Putri, lir pretinggi pulang Iulut, Ian sang Dyah ing Ura-
wan, kakunge ajrih pawestri, dangu-dangu sang Kalih ndha-
tengken karsa.
(18) Pan wus k1ebeng ing sa1oka, yen kakung ngadhep pawestri,
pawestri mangadhep priya, (k. 364) lir kucing nyandhing ce-
cindhil, lir kawul sandhing agni, yen dangu pengadhepipun,
kawul tan wande pasah, minangsa dening kang geni, nadyan
jereh tan wande pinangan pisan.

296


( 19) Kuneng lam bang pinengantyan, wamanen malih sang Putri,
wusnya kadugen keng karsa, langkung sih-sinihan ka1ih, ka-
kung wus nembadani, amrih trismane sang ing rum , laminya
tan winama, nggennya atut palakrami, sigra budhal mring
Jenu mboyong sang Retna.
(20) Ing nguni klangenan nata, pacengkraman langkung asri, da-
lemira endah pelak, gung pethetan Sri ngemohi, kacaryan
tyas sang Putri, rena dalem wonten Jenu, kuneng gantya wi-
nama, ing Bintara sang Dipati, pan sinewa sagung wadya
myang sentana.
(21) Mangke nuju ketamuan, d utanira Sri Bupati, Brawijaya Ma-
jalengka, ingutus nimbali siwi, pan sampun pendhak ari,
dennya ngarti karseng sunu, tansah sinanggi krama, wau rna-
rang sang Dipati, ponang duta ke- (k. 365) lamen kaku tya-

stra.
(22) Arsa amit mring dipatya, mantuk dhateng Maospait, gan-
dhek ka1ih marseng ngarsa, eca lenggah sang Dipati, tan arsa
anaklimi, mring dutanya danna Prabu, gandhek matur dipa-
tya, "Dhuh Angger sang Adipati, bok suwawi nunten sowana
ramendra.
(25) Pan kawula sampun lama, pendhak dinten amba nganti, de
wadya Bintara pekak, sakeprabon sampun mranti, punapa
denantosi, boten tindak marseng Prabu" , Ion nebda sang
Dipa ¥a, "Muiane tan seba mami, iya marang negara ing Ma-
jalengka.
(24) Ngenteni islame nata, myang sewadya Majapait, nguni wus
matur manira, iya marang Sri Bupati, sun uwis angaturi,
gama Islam kaya ingsun, emenge ing tyas ingwang, nata du-
rung bekti wall, pan manira wong Islam manut agama,
(25) tan wenang nembah wong Buda, tan ketang Rama Nerpati,
yen Buda tan arsa nembah, dene tan iman sang Aji, tan pati
seba mami, yen durung I- (k. 366) slam sang Prabu", an-
jenger duta nata, myarsa sebdaning dipati, jrih lumiyat tu-
mungkul ulate biyas.

297
(26) Nulya amit duta narpa, matur soso tan pinyarsi, nuwun man-
tuk mring prajanya, nembah lengser sang Duta Ji, semu me-
sem dipati, uning solah d uta prabu, eca denira lenggah, kang
sumewa sami ajrih, Kyana Patih Wanasalam matur nembah.
(27) "Dhuh Gusti sampun kaecan, luwung nunten madeg baris,
tan wande sang Nata duka, lamun duta matur Aji, sasolah
bawa Gusti, sampun kengis duta prabu, panduka sampun
nemah, nedya purun Ian danna Ji, sampun tanggel luwung
rakit sabilollah.
(28) Yogi nunten matah wadya, kang sura pretameng jurit, Ian·
.. ngaturana uninga, inggih dhateng para wall, nuwuna ingkang
idi, rahayuning aprang pupuh, basukenipun wadya, mrih
unggule ing ajurit, jer panduka wus nedya nyantuni alam.
(29) Yen ngantos san de ing karsa, nanggung aras ajrih sabi- (k.
367) 1, tur mangsi wandea yuda, jer sampun anemah sisip,
luwung ngadhepna pati, bokmenawi manggih hayu, sae ingu-
cap wuntat, yen pejah ngrebat negari, lamun unggul wibawa (
tedhak-tumedhak:' ·
(30) Sang Dipati legaweng tyas, myarsa tumya Kyana Patih, sang
Dipati angandika, "lya Kakang sun nuruti, mangsa bodho
kang pikir, pematahira mring wadu, kang bisa sur~ weka,
kang mrih aijanireng wuri", mestu ing reh Kyana Patih ma-
tah wadya.
(31) Sang Dipati gya luwaran, kang sumewa bibar sami, laju sa-
mya berdandanan, sakeprabon ing ajurit, wusnya matah Kya
Patih, kang dadya pecabeng kewuh, catur dasa lumampah,
sikep kuda amiranti, anom-anom mempeng suraning alaga.
(32) Warnanen sang Adipatya, mijil sangking dalem purl, tan won-
ten dasih kcptg wikan, anamun nggennya lumaris, pan arsa
nyuwun idi, marang sagung para wiku, dhateng Ngampel.
sinedya, ti- (k. 368) ndakira sang Dipati, prapta Ngampel
cundhuk laju ingancaran.
(33) Gepah majeng ngaras pada, sang Wiku mangrangkul ririh,
wusnya putra kin en lenggah, Ion ngandika sang Ayogi, "Ana

298

karya kang gati, dene sira panggih Ian sud", kang putra nem-
bah weca, "Kawula anuwun idi, estu arsa ngrebat kraton Ma-
jalengka.
(34) Amengsah narendra Buda, lun sumedya anglawani, tandhing
prang Ian Kangjeng Rama", mesem ngandika sang Yogi,
'"Y a Kaki sunlilani, pan wis stdheng mangsanipun, balik
suntanya sira, apa wis kalilan Kaki, mring kang karya jagad
kabeh kang misesa.
(35) Lawan pangestune kanca, gung pra wall nungsa Jawi, kang
wis dadi nata klipah, lawan pra pandhita mukmin", putra
matur wotsari, "Sedaya pra wali sampun, rumojong dhateng
amba, sami sung jimat ing jurit", sunan myarsa ing atur
putra tyas trustha.
(36) Wusana sang Wiku nebda, "Wis muliha sira Kaki, ya nuli
da- (k. 369) ndana yuda, ingsun jaga aneng masjid, ngi-
ras ngadani srambi, Ian kancasun para wiku, nguni sun wis
semayan, ngajak angadani srambi", ingk~g putra nembah
amit wus linilan. .
(37) Nulya lengser sang Dipatya, sangking ngarseng darma yogi,
gya laju ing tindakira, dhateng Benang miwah Girl, karsa
ngaturi uning, prapta dhepokira pangguh, sedaya pta pandhi-
ta, suka rumojong ing jurit, wusnya sami tindak dhateng ing
' Bin tara.
(38) Kuneng gantya kawuwusa, dutanira Sri Bupati, kang mantuk
mring Majalengka, gancang lampah prapta nagri, laju lume-
beng purl, nulya katur Jeng Sang Prabu, gya kinen nimbal-
ana, anggandhek seksana kerid, tekap ngarsa wotsekar nga-
turken weca.
(39) Wus katur sakreh dinuta, saatumya sang Dipati, lukitanira
sakirna, yen putra tan arsa nangkil, kanggeg ngungun sang
J\ji, myarsa duta ingkang atur, nebda kras winor duka,
"Bo- (k. 370) cab timbalana aglis, wayah ingsun ing Terung
si Pecattandha."
(40) Kang kinon nembah gya mesat, wus mijil sangking jro purl,

299
sapraptane Pagelaran, pangguh lawan sang Dipati, ing Terung
nulya kerid, manjing pura prapta bukuh, manata sileng ngar-
sa, muka lir konjem ing siti, ngraos nyipta yen kinon yuda
ken aka.

XLIV. PANGKUR
( 1) Ngandika kras Sri Narendra, "Heh Dipati ing mengko ya sun-
tuding, marang Bintara digupuh, nimbali si Dipatya, kakang-
ira si Patah wani marang sun, mengko suntempuhk.en sira,
jer sira kang nanggung nguni.
(2) Yen kering salakonira, sunapura solahe ingkang sisip, yen tan
kering salakumu, ja pati mulih sira, lamun ora anggawa ban-
dan kakangmu, si Dipati Natapraja, ya mangkata dini iki.
(3) Nggawaa mantri bupatya, pilihana kabeh wong Maospait,
prajuritsun Majalangu, adunen ing ayuda", sang Dipati nem-
bah (k. 371) sandika turipun, "lnggih darmi lun lumampah,
angsala pangestu Aji.''
(4) Sang Nata maHh ngandika, "Heh Dipati iki pusaka mami,
Segarawedang ngran dhuwung, gawenen amrejaya, mring si
Patah jer sira sesulih ingsun", sang Dipati majeng nembah,
nampeni pusaka Aji.
(5 ) Mit nembah lengser sing ngarsa, sang Dipati mijil sangking
jro purl, praptanya Paglaran laju, dha\vuh amepak wadya,
agupita sagung dasih Majalangu, kadya gabah inginteran, gu-
mer swareng kuda jalmi.
(6) Pepak agung wadya koswa, kang untiring lampahnya sang
Dipati, gung wadya kuswala penuh, lir trunaning udyana,
busana bra maneka warna dinulu, pan kadya sekar setaman,
busana retna nrawungi.

(7) Sresegireng kang warastra, angenguwung lir pendah kilat
thathit, myang wahana kuda penuh, lawan rata sekatha, kuda
jalma wor tengareng hoter gumruh, barung tengara tinem-
bang, anglir udan sinemeni.

300

(8) Asumbaga sang Dipatya, amakutha kenca- (k. 372) na bra


Retna Di, ngarja baju bludru gempung, binludir balenggi
mas, pan sinawit lancingan dinasih murub , sarwi kresna
sakudanya, lir Dyan Seta mangsah jurit,
(9) duk ing Aprang Bratayuda, senapati Pendhawa digbyeng
jurit, anging driya langkung wigyuh, de kalih sami darah,
pan semangke sang Dipati baratipun, mila langkung tyas san-
deya, ing Terung sang Adipati.

(10) Seksana pra samya budhal, wadya Terung kang dadya ngar-
seng baris, mungging kuda wadya sewu, dharat lumakyeng
wuntat, pan sumahab pendah girl rug gumuntur, cacah wa-
dya Majalengka, wolung ewu gung prajurit.
(11) Penuh marga kang kamargan, bumi obah prakempa gonjang-
ganjing, be1eg mu1eg awor lesus, lebu mangampak-ampak,
tan antara budhalnya Dipati Terung, duk prapta jawining
praja, kuneng wuwusen ing wuri.
( 12) Kedhatengan gara-gara, udan barat wor lesus anampeki,
sato wana (k. 373) keh kang rawuh, negara katon alas, dhan-
dhang akeh prapta munya ngalup-alup, pan kadya ngalup ku-
narpa, Ian gedhedhetira muni.
(13) Werata ngubengi praja, udan uwoh wor clarat taun keksi ,
ing tawang munya jumegur, timbang arga keh munya, ting
galeger pendah gora wrayang pupuh, lelamate ingkang praja,
tangareng rat andhatengi.

(14) Keh kluruk kang sata wana, kidang kan~il neng alun-alun
belik, manuk ason-ason ngalup, grendan dares wurahan , dalu
munya kokokbeluk bleketupuk, mendhung tawang bang
asinang, lir pendah segara getih.
( 15) Kathah tengaraning jagad, lindhu ambal ping sa pta pan saari,
lintang kumukus ing dalu, sampun prapta ngubaya, surya can-
dra ted huh dhedhed udan awu , bekasakan prapta kathah, laju
neluh manungsa gring.
( 16) Kuneng malih kawuwusa, adipati ing Terung kang lumaris,

301

wus Iepas ing (k. 374) Iampahipun, prapta jajahan Demak,


manjing dhusun makuwon Dipati Terung, kinubeng prajuri-
tira, my.ang Bupati Maospait.
( I7) Sedaya wus mesanggrahan, penuh nggenggeng pakuwon gung
prajurit, ya ta pan sampun misuwur, sangking nagri Bintara,
yen dipati ing Terung tungguling wadu, kang arsa nglanggar
Bintara, kang baris pecambeng uning.
( I8) Kumpui Ian Iunggyeng manggustha, sarembag wus tur uning
marang Gusti, dwi wadya pinatah mantuk, kentar wus Iam-
pah gancang, tan winama pecambeng ing lampahipun, kuneng
gantya kawuwusa, Bintara sang Adipati,
( I9) sam pun ngaturan uninga, mring pecambeng yen mangke den-
Iurugi, Rayi Terung ingkang rawuh, myarsa tur emeng driya,
dene qtengsah kadang priya tunggil ibu, ewet Iamun Iumawa-
na, amengsah kadang sayekti.
(20) Wusana sang Adipatya, gya nimbali marang Rekyana Patih,
Wanasalam aglis cundhuk, mungging ngarsa dipatya, Iawan
magang kekalih pa- (k. 375) n datan kantun, sang Semantri
Ian Pendhawa, ka1ih kadang tunggii kapti.
(21) Sang Dipati Ion ngandika, "Heh ta Kakang paran ing rembug
mangkin , wong Majalengka wus ngiurug, ya arsa nyekei mring
wang, kang ingutus si Yayi Dipati Terung, kaya priye yen
panggaha, mungguh kadang ing ajurit."
(22) Matur Patih Wanasalam, ''Yen panduka wangwang mengsah
Ian Rayi, wande nggen ngrebat kedhatun, Ian mengsah Jeng
Ramendra, awrat pundi mengsah darma Ian sadulur, pan
sam pun kacriyos kina, mengsah kadang tunggil bibi.
'

(23) Nguni ing Prang Bratayuda, Sang .Arjuna tandhing Ian Surya
siwi, pan punika tunggil ibu, sanes ingkang sudanna, nggih
punika wratirarsa madeg ratu, lamun boten mekatena, taa
jejeg Iampahing adil.
(24) Mila ratu boten ketang, ngeman yayah kadang sentana ka-
lih, sangking adil angsalipun, awrat sarating nata, boten etang

302

' -

kadang danna Iawan guru", tansah le- (k. 376) geg sang Di-
patya, myarsa tur Patih mranani.
(25) Semantri matur dipatya, "Adhuh Gusti sampun susah kang
galih, mengsah Ian arinta Terung, amba karyanen balang,
uncalena inggih wonten madyeng p'u puh, dadosa bantening
yuda, yen pejah beja tuk sabil."
(26) Samambung ri sang Pendhawa, "lnggih Ieres turipun nak
Seniantri, pun Kakang rumojong pupuh, SaJllpun susah pan-
duka, tindak aprang arnba abener rumuhun, mengsah tiyang
Majalengka, Ian anak Iman Semantri.
(27) Lebura awor Ian kistna, inggih amb~ karyeng prang tan
gumingsir", sang Dipati nglingnya arum, "Nggeh sami amba
trima, yen mekaten nedha sami so wan wiku", seksana sang
Adipatya, marseng panaguh para wall.
(28) Wau ta ingkang winarna, para wall wus sami mungging mas-
jid, yasa srambi karsanipun, pan lagya wiwit nggarap, gunging
saka lagya rinimbas winadung, Sunan Ngampei pan wus prap-
ta, Ian kang putra Swnan Girl.
(29) Prapta malih Suna- (k. 377) n Benang, Ian kang Rayi Sunan
Ngudung lan Kali, Sunan Ngatasangin rawuh, Ian Sunan Wur- '
yapada, Pangran Crebon Ian Seh Maulana rawuh, tenapi Pa-
ngeran Bayat, Ian Seh Domba Geseng prapti.
(30) Pepak sagung wall Jawa, mungging mesjid njenengi nambut
karai, sang Dipati mangsah ngayun, Iaju ajawab asta, apre-
nata sang Dipati salaman wus, nulya Ienggah ngarsajajar, gya
matur.mring darma yogi.
(31) "Pukulun amba tur Wikan, din ten mangke sang Nata Maos-
pait, utusan pun Y. ayi Terung, nggih kin en nyepeng am·ba, .
gung pra wall uiun arnit mangsah pupuh, metl;luk tiyang Ma-
jaiengka, angaben wadya prajurit."
(32) Sunan Ngampel Ion ngandika, "Kaki Nata Girl uruna becik,
prajurit kang tameng kewuh, kang wigya giar ing yuda, kang
minangka senopatenireng pupuh, dene Kaki Natapraja, aja

-
303
kongsi magut jurit."
(33) Mestu nata Ngarga nebda, marang Rayi Sunan Ngudung ti-
nuding, "Heh ta sira Yayi (k. 378) Ngudung, sunduta magut
yuda, wong Bintara kabeh adunen prang pupuh, ya madega
senapatya, dadia wakil dipati.
(34) Sapangrehira ngayuda, sira Yayi kang bisa glar ingjurit" , Su-
nan Ngudung Ion umatur, "Ki Lurah nggih sandika, lun
nglampahi ayahaning aprang pupuh, nanging amba lilanana,
anyambut baju Kiyai,
(35) Sikepan Antrakusuma, agernipun Yayi Sesunan Kali" , Sunan
Girl ngandika rum, "Yayi sakarsanira", Sunan Ngudung
nebda jawab arenipun, "Yayi Sunan Kalijaga, sun nyambut
agemmu klambi,
(36) iya Ki Antrakusuma, ingsun karya jimatan ing ajurit" , Sunan
Kalijaga matur, "Ki Raka nggih sumangga, sok cekapa dipu-
nagem ponang baju", kang raka mangsuli nebda, "Mangsa tan
sedhenga kami.
(37) Ya cekap nora cekapa, mung sunkarya pepundhen ingsunju-
rit", Sunan Kali gya tumurun , ambuka kang rasukan , Kyai
A- (k. 379) ntrakusuma anulya katur, marang Raka
Ngudung Sunan, seksana aglis tinampin.
(38) Kelangkung lega tyasira, Sunan Ngudung nebda asemu kibir,
" Lamun rila areningsun , sunagem magut yuda, mapag
mungsuh becike wong Majalangu, yen kanthi Antrakusuma,
sapa tandhing lawan mami.
(39) Aja si mungsuh dipatya, lawan Terung nadyan wuwuha ma-
ning , sepuluh Dipati Terung, mangsa sunkedhepena'', Su-
nan Kalijaga myarsa raka muwus, semu kibir kang kawedhar,
cinegah ngangkati pati.
(40) Sunan Ngudung malih nebda, mring Dipati, "Ya sapa melu
mami" , kang rayi Ion aturipun , "lnggih pun Kakang Sela,
kalih Iman Semantri menggaleng wadu, nindhihi wadya
Bin tara, sumangga ngreh ing ajurit."

304
I

(41) Sunan Ngudung gya sinebdan, mring pra wall madege senapa-
ti, misuwur sagunging wadu, sami gambira irtg tyas, dene wall
kang dadya tungguling pupuh, suka nggregut sagung wadya,
mangajab tempuh ing juri- (k. 380) t.
• .
(42) Sunan Ngudung uluk salam, jawab asta sarya mit pangkat
jurit, gya budhal kang wadya ngayun, tengara barung urn-
yang, wor pangriking kuda jahna hoter gumruh, gonjing kang
bumi prakempa, wor sresege astra wresni.
(43) Prajurit santri kumerap, ingkang sami sumedya perang sa
bil, tengara ciri peputhut, ana kang ciri jimat, rajah iman ana
sastra telung pupuh, dulur selur lampah wadya, Sunan Ngu-
dung nitih wajik.
(44) Dhawuk tutul geming kuda, pinenganggyan bibisan bra ret-
na Di, Sesunan agemnya baju, Kyai Antrakusuma, ngagem
sreban jangkangan rinenda murub, sebe klengkam tumpal
bara, sinongsongan kertas putih.
(45) Lir Sang ·Resi Dewabrata, bratayuda Kurawa senapati, gawok
kang sami andulu, de santri mangsah yuda, tan winarna lam-
pahira neng marga gung, ginelak lampahing wadya, nrajang
wan a jurang sungil.
(46) Siluk rawe-rawe ra- (k. 381) ntas, dadya gancang prapta
, nggen mengsah keksi, kendel makuwon sewadu, wus antuk
papan banar, p~nuh mblabar'wong Bintara baris kumpul, tan
ngant~ra ngaso kang wadya, kaselak mengsahnya uning.

(47) Wus ngaturken sang Dipatya, lamun wadya Bintara methuk


jurit, tindhih baris Sunan Ngudung, wetawis tigang nembang,
gung tyang santri keng dados prajurit ngayun, sang Dipati
sareng myarsa, kumeret kang waja gathik.
(48) Nggregut sagung pra bupatya, wus sarembag methuk prang
Ian sedasih, gung wadya ngundhangan sam pun, kin on manata
gelar, grudha nglayang wus rinakit glaring wadu, aglis
tengara tin em bang, sarwi surak nan tang jurit.
(49) Kanan kering asauran, swara gumruh pendah karengeng Ia-

• 305 ;
ngit, wong Bintara kagyat ndulu, yen mengsahnya wus tata,
rakit gelar tata trap sajuru-juru, wong Demak karoban lawan,
sasat karubuhan langit. ·
(50) Se- (k. 382) sunan Ngudung sinewa, mring gung wadya
miwah kang santri murid, Patih Ngudung Ion umatur, "Gusti
Yogi mudhuta, bantu malih de mengsah geng barisipun", Su-
nan Ngudung Ion ngandika, "Sun tan nedya mundur jurit."

XLV. DURMA
(1) Sunan Ngudung parentah nimbangi gelar, grudha nglayang
- keng baris, wong Ngudung minangka, dhadhanira kang gelar,
wong Demak penjawat kering, kang mungging kanan, prajurit
Seta mranti.
(2) Tigang ewu cacah wadya koswa Demak, tindhih Iman Seman-
tri, sewu wong Sesela, tindhih Getas Pendhawa, wong Kudus
sewu prajurit, kumpul sajuga, panca ewu rumakit.
(3) Campuh sunap mungsuh rowang long-linongan, gebyare
gutuk api, anglir barung kilat, jeguring kala taka, kadya
bentar ponCL~; ardi, dreling sunapan, punglu apendah wresni.
(4) Kandha tunggul ketarnpak pedhot manglayang, 1ir kluwung
nibeng rawi, guging kala taka, 1ir gelap sewu ngampar, (k.
383) hoter gora manengkeri, 1ir .alun sagra, manempuh pa-

rang cun.

(5) Lebu murla mawor kukusing kucika, peteng 1ir tengah wengi,
keng yuda gagapan, tan ana kang tinaha, rug-ingarug sura
mamrih, babrak manguwak, swareng astra ting crengkling .

(6) Mungsuh rowang senjata wus tanpa guna, ngrok watang li-
ru titih, murub kang bedhama, katiban mimis sawat, tuk bau
pedhot kebanting, ketampak sawat, sambate jalma kanin.
(7) Mung ting brekuh labete tan ngeman lena, keh nggladrah ni-
beng siti, ana laju pejah, bangke pating galimpang, temah
papa sagra getih, lumut bandera, peparang astreng jurit.

306

(8) Pan wus bibrah tatane wadya Bintara, tan ana mangga pulih,
ngungsi senapatya, Sunan Ngud ung minangka, pramugari-
ning ajurit, Sunan parentah, kinen ngumpul kang baris.
(9) Wus tinata arakit gelar candrasa, nggregut surat mawanti,
barung Ian tengara, kendhang gong masaur- (k. 384) an, te-
ngara Kudus tan muni, tinabuh bengkak, lamat sor ing-
kangjurit.
(10) Patih Kudus tur wikan yen bendhe bengkak, Sunan sebdanya
wengis, "Nora dadi baya, bendhe kunarya tandha, jirnat ing-
sun wis premati, Antrakusuma, ageme Kangjeng Nabi.
(11) Sapa ingkang prajurit ya kaya ingwang, ngagem jimat linu-
wih", ya ta Ngudung Sunan, nylirani mangsah yuda, respati
anitih wajik, angagem watang, mungging asta kurnitir.
(12) Sareng nempuh baris mungsuh lawan rowang, 1ir ombak ja-
lanidi, surak lir ampuhan, wor krapyak watang ing prang,
sami suraknya mrih pati, gruduging astra, 1ir gelap awor riris.
( 13) Ramening prang angungkih-mangungkih Iawan, binendrong
ganti bedhil, punglu anglir wresa, rangap watang payudan,
panah lembing ting saliring, gebanging sara, lumarap ngilat
thathit.
(14) Long-linongan kang mungsuh ke1awan rowang, sami Ionge
kang mati, wireng Demak panggah, (k. 385) tan ana noleh
wuntat, wong Majapait mangungkih, sang Adipatya, ing Te-
rung angawaki.
(15) Wadya Kudus kang tinrajang mring dipatya, tinracak ing tu-
ranggi, marnuk numbak mengsah, wong Ngudung keh kang
singsa1, lumayu aniba tangi, ngungsi mring wuntat, weneh
wor mungsuh ndhelik.
( 16) Kang kecandhak akeh pejah ting selayah, wong Demak tyase

miris, Sunan Ngudung krura, mangsah ngrejahken kuda, aglis
pangguh Ian dipati, ing Terung mojar, "Sapa ranmu praju-
\ ·t "
n.
( 17) Kang tinanya mangsuli sugal wuwusnya, "Sunan Ngudung ran

307



'

mami, ya sun senapatya, tunggule wong Bintara, endi ratu


Majapait, kon metu ing prang, ingsun kang angembari."
(18) Adipati ing Terung mangsuli sebda, "Tan susah Sri Bupati,
nora nedya aprang, mung amrih cujaning rat, batik sira ratu
santri, remen ayuda, bosen ngepung kendhuri.
(19) Ngur mundura suneman yen tekeng pejah, e.nake aneng mas-
jid, sembari dhikira, mujia dia- (k. 386) dawa, beja mengko
nemu murid , aminta tedah, sung ruba sekul gurih." '
(20) Sunan Ngudung miyarsa Iangkung bremantya, sigra numbak
manitir, waos tinadhahan, dipati tan tumama, Sunan asru den-
nya angling, "Mara Dipatya, malesa suntadhahi."
(21) Sang Dipati mangayat sigra, anumbak, antuk jaja tan titis,
Sunan Ngudung numbak, ginebang crah kang watang, sang-
king kuda tumrun kalih, ngeja pamungkas, narik cengkrong
Ian keris.
(22) Sang Dipati musthi Kyai Sagrawedang, tinon murub neiahi,
campur Ian ujwala, 1ir ri Sang Resi Seta, Sunan Ngudung apan
kadi, Sang Dewabrata, krura mangsah sang Kalih.
(23) Linarihan san~ uipati tan tumama, pupug tikswaning kang
kris, sigra sang Dipatya, malesi marang sunan, ginoco jajanya
titis, anrus walikat , dhawah laju ngemasi.
(24) Gilang-gilang sesunan ingkang kuwanda, wadya Terung nyu-
raki, barung Ian tengara, umres lir graning arga, (k. 38 7)
kuwawang sing mengsah keksi, layon temahan, wong
Ngudung mangsah nangis.
(25) Mamrem gulung ambeiani Gusti lena, angamuk golong pipit,
Dipati Trung panggah, sewadyanya tan obah, sang Dipati si-
gra ngesthi, matak Ji petak, katrima ing Ywang Widi.
(26) Wong ing Ngudung ginetak mamprung malesat, siji tan ana

keri, wadya Demak wikan, yen senapati lena, kurdha Sang
Iman Semantri, atiiar wadya, angrebat senapati.
(27) blingah-blinguh mangsah miyak rowang mengsah, tan wawang
braja lungit, tinon lir Suwanda, duk aprang Ian Rahwana,

308
tindhih ratu sasra nagri, sura nglaga, gya. tedhak sangking
wajik.
(i8) Mangsah dharat kang tinempuh pyak binabrak, wong Terung
keh kang lalis, myang prajurit Sela, mamuk mangrempak
mengsak, ngrebat layon senapati, sampun krebat, wong De-
mak ngamuk ngungkih.
(29) Tindhih wadya Sang Semantri nglanjak nengah, wus pangguh
la- (k. 388) n dipati, asru dennya mojar, "Sun iki belakena,
marang senapati mami", sang Adipatya, a tanya mring kang
prapti.
(30) "Heh prajurit prapta sapa aranira, de arsa bela pati, wong
santri taruna, pantese anyar krama, suneman menawa mati,
mendah garwanta, tangise ngrendeng ati."
(31) Kang tinanya mangsuli sugal wuwusnya, "lngsun Iman Se-
mantri, tetindhihing wadya, becike wong Bin tara, sabate Jeng
Sunan Kali, wus putus sastra, kepengin wruh ing pati.
(32) Age mara ingsuniki belakena, mring senapati mami, endi ga-
manira, tamakna angganingwang", sang Dipati mesem
angling, ''lngsun tan watak, ndhingini ing ajurit.
(33) Balik sira iya Santri ndhinginana, sun arsa angicipi, mring pa-
numbakira", Semantri tyas bremantya, numbak asru datan ti-
tis, watang binuncang, mangsah gya narik keris,
(34) Kyai Crubuk minantran sigra nerajang, tibeng jaja (k. 389)
1ir agn1, sang Dipati hiba, limut purwa duksina, tan pasah
ndhepani siti, Semantri sumbar, "Tan padha lawan mami."
(35) Nulya enget jenggirat ngadeg suranya, sarwi kras dennya ang-
ling, "Heh Santri diyitna, sunwales mengko sira", ngesthl
petak sang Dipati, nulya ginetak, mamprung lman Semantri.
(36) Kadya balang tibanira pan atebah, dhawahnya tan kaeksi,
wadya santrenira, keh kang tut direng petak, kang kepe-
ring datan eling, weneh malesat, dumadya tyase wingwrin.
(37) Kiping kanan Kyageng Sela mangsah krusa, lir Jaladara
sekti, musthi sara digbya, kang tinrajang sub sima,

309
tan ana kang lawan jurit, surup Ywang Arka, gagap sapih
kangjurit.
(38) Mungsuh rowang mundur sarni mesanggrahan, de layon sena-
pati, sampun sinaenan, sinucen tinabela, Kyageng Sela dha-
wuh angling, marcmg keng wadya, ngatema layon mulih.
(39) "Bocah Kudus yen prapta si- (k. 390) ra matura, marang sa-
gung pra wall, yen mungsuhsun awrat, suwunna bantu wa-
dya, sakeh wong kang nambut kardi, ya pinantesa, ngamung-
najalma ndhagi."
( 40) Kang liningan sandika anulya kentar, lay on mangkat ing la-
tri, wadya astha dasa, kang ngiring layonira, gancangan lam-
pah semargi, sarni manggustha, mring sunan kang wus lalis.
(41) Nguni sunan kengis sebdanyajubriya, temahe manggih pati,
kasiku Ywang Sukma, dadyakasor yudanya, sungkawa semar-
gi-margi, sigeg ing lampah, gentya ingkang winami.
(42) Sunan Kali kang tugur neng masjid Demak, bakda wetu ma-
rengi, sunan kagyat mriksa, baju Antrakusuma, prapta dha-
wah kuthah getih, wus nyana tiwas, kang raka nggennya ju-
rit.
(43) Sunan tandya ingkang embok pinanggihan, nglingjarwa asung
warti, "Kangbok baju kula, prapta akuthah erah, pun Kakang
. kula antawis, kasor ing yuda, estu yen tekeng lalis.
( 44) Mengsah aprang la- (k. 391) wan prajurit Majalengka", ke-
saru Sang Semantri, dhawah sangking wiyat, glis cinandhak
mring sunan, tinimbul Iman Semantri, wus paripuma, mang-
sah nembah tur uning.
(45) Prapta purwa niskara solahing yuda, dugi tiwas ingjurit, ya ta
garwa sunan, Dyah Ngudung sareng myma, ing wecanira
Semantri, estu kang raka, seda madyaningjurit.
( 46) Sang Retna yusru anjrit atebah jaja, sambat kakunge lalis, ..
tuwin ingkang putra, jalu estri karuna, sesambate melas asih,
Jeng Sunan nulya, mangimur kang rudatin.
( 4 7) "Kangbok Yogi mupusa karsaning Sukma, beja kang sahit

310

sabil, antuk swarga mulya, panutanjaman kina, tedhake nabi
linuwih, sahit ngayuda, jalaran rnantuk swargi.
(48) Raka dika ngandelken Antrakusuma, yen sejawining pesthi,
kenging ngandelena, yen sarnpun pesthi Sukrna, tan kenging
dipuntulaki, riadyan k3llg gesang, benjang tan wande lalis.
(49) (k. 392) Kuneng gantya dutane Ki Ageng Sela, kang ngutus
atur uning, dhateng pra pandhjta, saba rnring sang Dipatya,
ngiringken layon kang lalis, Ian kinen rninta, bantu awrating
jurit.
(5"0) Samp~n katur dutane Ki Ageng Sela, rnarang Jeng Sunan
Kali, sang Wiku Ion nebda, "Kangbok age kondura, anyae-
nana keng lalis, de sira J aka, ya mayo se ba Yogi."
(51) Wusnya jarwa Jeng Sunan anulya linggar, putra Ngudung
urniring, laju· rnring Bintara, ing wuri dyah urnangkat, nyare
ngi layoning laki, gancanging kandha, wus kinubur kang lalis.
(52) Kuneng gantya winama sang Adipatya, sarnpun ngaturan
uning, yen kang raka seda, wonten rnadyaning rana, langkung
puntek tyas dipati, denilar kadang, ing driya langkung king-
kin.

XLVI. ASMARADANA
(1) Nulya cundhuk sang Dipati, rnring pra wali sedayanya, ngar-
seng Sunan Girl Ngarnpel, rniwah Sunan Kalij~ga, putra
Ngudung wurinya, pepak sagung para wiku, nggusthi sena-
pati yuda.
(2) (k. 393) Urnatur sang Adipati, "Arnba nuwun nerang karsa,
sinten kang narnbung lampahe, sasedanipun pun Kakang, su- .
rnangga karsa Tuwan, narnbungana watang putung, rnenge-
jurn kumbala wedhar."
(3) Sunan Girl ngandika ris, "Si Jaka Ngudung dadia, anggen-
teni sudarrnane, Ian rnadega senapatya, ngejurn wudharing
bala, Ian rnengkua nagri Kudus, rnupakata pra pandhita.
(4) Sagunge pandhita wali, sedaya angestrenana, putra Ngudung

311
ing adege, gumantosa juluk Pangran, Ian madeg'senapatya,
turut aneni warni bagus, memba Dewa Ywang Asmara."
(5) Sunan Ngampel nambung angling, ''Jebeng priye ngrehing
yuda, dene st1.napati Iare", narpa Girl lon turira, saweca mring
sudanna, "Mila wayah kang sumambung, angsala kang pena-
,
gihan.
(6) Sudanna jumurung karsi, "Luiah iya bener sira, antuka ngu-
di tuwuhe, nanging becik kinanthenan, mituwa dadi emban",
Sunan Girl Ion turipun, "Nggih pun Patih Wanasalam,
(7) dado- (k. 394) sa emban serati, kados boten. kekirangan, yen
wonten rungsiding kewoh, mring keng dados senapatya,
Ian malih ing alembat, Seh Melaya yogenipun, rnitegaha ing
asa.mar.''
(8) Sunan Ngampel ngandika ris, "Heh Ki Jebeng Kalijaga, uruna
sekti gunane, yen ngandelna bau lamba, pira kuwate yuda,
pira tose otot balung, pan meksih kuwat paekan.
(9) Lan pira kehe wong santri, nadyan silih kineriga, wong Bin-
tara pira kehe, mungsuh Ian wong Majalengka, kaci gung wis-
ma bala, ing pmng mesthi tan jrih nglampus, wong Demak
karoban lawan.
(10) Kumpule wong Demak kedhik, nadyan kulita tembaga,
myang sungsurna gegalane, balung wesi otot kawat, prang
mesthi kroban lawan, mangsa nggandraa sabedhug, yen ora
kanthi paekan."
(II) Sunan Kali matur aris, "Amba inggih pan sumangga, de sam-
pun pepak abe- (k. 395) ne, sagung kanca pra uliya, pan
sarnpun urun sarat, keng sarat ngetrapna dalu, enjangipun pi-
naguta."
( 12) Sunan Kali nulya angling, marang Rayi Sang Dipatya, "Ya
Jebeng paringna age, pethi jepun seka Plembang, lawan si- .
kepan kotang, Sunan Crebon ingkang asung, maonahe pari-
ngena."
(13) Mestu lengser sang Dipati, ngambil pethi sangking Plembang,

312
lawan keng baju kotange, tan dangu anulya prapta, pethi
pinaring putra, pan sarwi ngandika arum, kang putra winu-
lang wantya.
(14) "Yen benjang sira ajurit, ing dalu sira trapena, myang kotang
kebutna age, ping telu megenga napas, minggua aja nebda,
enjange kang pethijepun, wengakena aneng rana."
( 15) Matur Pangran awotsari, "Jeng Rama inggih sandika, darmi
lumampah sakarseng, angsala pangestu Tuwan", Pangeran gya
pemata, mring sagunge para wiku, pra wali ngestuti jaya.
(16) Sunan Ngampel ngandika ris, mring putra Jeng Su- (k. 396)
nan Ngarga, "Ki Lurah uruna age, sesarate ing ayuda, kris
seka raka para, Kalamunyeng raning dhuwung", kang putra
methuki karsa.
(17) Kepareng dhuwung winangking, Kalamunyeng gem pusaka,
gya sinungken putra age, apan sarwi angandika, "Nya Kulup
tampanana, yen wis prapta madyeng pupuh, tariken bareng
Ian kothak."
(18) Mestu Pangran Patih amit, mring sagunge wali samya, linil-
an sung pandongane, krig budhal wadya Bintara, kang mentas
karsa yuda, surane kadya binangun, tumut wangsul mangsah
ngrana.
(19) Wau ta lman Semantri, tan kendhak asor yudanya, amit nem-
bah mring gustine, tumut wangsul ~angsah ngrana, sewadya
muridira, +:uwin kang pra santri Kudus, taruna mantep sura-
nya.
(20) Kebut kang sami umiring, mring Gusti arsa puliha, marang se-
dane gustine, labet sangking penuh dana, mring sunan kang
wus seda, sumahab w~dya ing Kudus, anglir wredu angga sas-
ra.
(21) Sagunge (k. 397) pandhita wall, jurnurung sami urunan, sa-
wadya guna sektine, aselur Iampahing wadya, dinulu neka
wama, lir kuntul manebeng ranu, gung santri kang nganggya
seta.
,

313
(22) Nenggya sang lman Semantri, kang dadya menggaleng wadya,
tigangewu prajurite, magang naking karti yasa, nom-anom
mempeng suta, wuri patih tindhih wadu, wolung ewu tyang
Bintara.
(23) Pangran nambung wuri patih, kang minangka senapatya,
tigang ewu pmjurite, menggep Pangran nitih kuda, sinong-
song kertas seta, kaot anem lawan sepuh, 1~ kang rama da-
tan siwah,
(24) Sumrek kang bala lumaris, sangking gung wadya Bintara,
lir pendah samodra erop, tengaranya wama-warna, kadya
udyana puspa, myang megaring payung agung, lir peksi kren-
dha reratyan.
(25) Semarga datan winami, wus lepas lampahing wadya, glis prap-
ta pembarisane, laju sami mesangphan, ian Ki Ageng wus
panggya, tenapi gung bantu rawuh, Pangran Kudu- (k. 398)
- s pan wus lenggah.
(26) Tenapi Ian Kyana Patih, Wanasalam jajar lenggah, kang mi-
nangka mban sratine, myang sagung wadya Bintara, pra wira
mantri dhomas, aglar samya mungging ngayun, myang pra-
jurit astha sasra.
(27) Lan wadyanya Sang Semantri, sami andher munggeng ngarsa,
Pangran nggusthi ngreh ing kewoh, Ian Semantri Kyageng
Sela, mengsah mrih kisruh ing prang, Ki Ageng ngling minta
weruh, "Pethijepun sarat ing prang.
(28) Lawan baju kotang putih, kalih sami sraneng yuda, kados pu-
napa wamine, ingkang sangking pra uliya, senipun nggih
punapa", Ki Patih mangsuli wuwus, "Manira nggeh boya wi-
kan."
(29) Kyageng Sela kedah uning, "Bok suwawi dipunb~a, kados
punapa wamine", Pangran Kudus Ion delingnya, marang Rek-
yana Patya, "Born sinorog pethi jepun, wami ing jro pan
punapa." ·

(30) Mestu patih nyorog pethi, tutuping pethi winengkang, won-


'

..
314

ten mijil warni tawon, winengkang wangsul mring (k. 399)


wadhah, gawok kang sami mulat, kang pethi aglis tinutup,
jro gumrenggeng sw~anira.
(3 1) Kya Patih gya nyobi malih, ambuka ponang rasukan , gya mi-
jil tikus sejodho, jumranthal kiter neng ngarsa, kagyat sa-
gung tumingal, dugi latri tan ationur, C1Jnuji unggul ing yuda.
(32) Wus ndungkap ing madya latri, Pangran Kudus gya tume-
dhak, rnijil sangking pakuwone, Ian Kya Patih Wanasalam, I

Pangran mundhi rasukan, wus prapta panggenan mungsuh,


sarwi matak sirepira.
(33) Katrima marang Ywang Widi, sesirepira tumama, wrata sa-
gung kang ponang wong, tan ana subawanira, nendra angeca-
eca, tan wrin mungsuhira rawuh, de nguni wus karseng yuda.
(34) Pangran Kudus sareng prapti, amawas unggyaning mengsah,
baju kinebutken age, ping tri datan mawi napas, tan ndulu
tan miyarsa, perbawa kotang kinebut, mijil tikus tanpa wi-
lang.
(3 5) Kebut pisan sewu miji- (k. 400) 1, kebut ping dwi prapta
lesan, ping tri kebut wendran kethen, ngebut catur yutan
baran, laju manjing nggen mengsah, nacahi praboting mung-
sub, epek amben abah-abah.
(36) Abrag kuda sima enting, krekas slebrak Ian sarungan, myang
sepatu setiwele, sangu-sangu kang neng wadhah, gung ulam
miwah k~ag, beras klapa lawan bumbu, neng brokoh minang-
sa brastha.
(37) Gung prabot denosak-asik, rontang-ranting cinacahan, gumer
kurnresek swarane, girls jahna Majalengka, wrin tikus yutan
wendran, sru ginebug-gebug luput, malah prapta saya kathah.
(38) Geger wadya Majapait, katekan tikus jinada, pepanthan
ewon makethen, galak sura nyakot jahna, girls wong Maja-
lengka, ngungun telas sangonipun, prajurit tan cinacahan.
(39) Busekan praptaning enjing, sami opyak katiwasan, cinacah
tikus sangune, we rata sagunging wadya, (k. 401) keprabon ·

315
sami risak, ya ta wau Pangran Kudus, kondur prapta kuwoni-
ra. •

(40) Lan Kyageng Seia wus panggih, nggusthi kinen undhang wa-
dya, anata geiar barise, k.inen rakit giar madigbya, gya
sengga geiar tata, kantha gedhong inepipun, kering kanan
ngapit tata.
(41) Sajuru-juru miranti, patih kantha inebira, Pangran kang mi-
nangka gedhong, sewadya Kudus rumeksa, ri Sang Pendhawa
Seia, mranti neng kering sewadu, Iman Semantri sisihnya.
(42) Tigang ewu kang prajurit, nom-anom sami ginala, sabat mu-
rid Sunan Lepen, Ian Ki Ageng ing Seseia, tunggal sabat Jeng
Sunan, kalih kaprawiran punjui, sami tindhih jalma darah.
(43) Wus tata gelar miranti, magut mring tegal paprangan, duiur
seiur gung barise, anggenggeng ngebaki papan, mangajab tern-
pub ing prang, tengara tinembang (k. 402) umyung, gurnang
ing tawang sawenang.
(44) Kuneng ingkang sampun baris, gantya malih kawuwusa, di-
pati Trung neng pakuwon, Ian pratiwa Majaiengka, nararya
rangga demang, Ian gung manca nagra kumpui, mangku dadya
nigang Ieksa.
(45) Enjang kumpui Ian manggusthi, dene risak penganggenya,
prabot kuda Ian sangune, minangka dening jinada, ing dalu
prapta kathah, sareng enjang tan kadulu, kewran tyase pra
dipatya.
(46) Dereng dugi nggennya nggusthi, kesaru pecambeng prapta,
neng ngarsa matur wotsinom, "Gusti amba tur uninga, won-
ten mengsah geng prapta, sangking Bintara kang mbantu,
Iangkung ageng dedamelnya. ,
(47) Senapatenipun jurit, Sunan Ngudung kang wus pejah, ing
mangke minulyakake, wangsul arsa ngudi lena, nggih dhateng
ing panduka", sang Dipati myarsa bendu, dhawuh kras kinen
nengara.
(48) Kebut wadya Maospait, sangking kuwon mijil samya, prapta

316

prenah baris a- (k. 403) ndher, kang ra-ara kaebekan, menga-


ler penuh wadya, kapang-kupang rowang mungsuh, anglir
wukir kawelagar.
(49) Wus pethuk baris pengarsi, wong Demak Ian Majalengka,
wawasan prayitneng kewoh, sagung wadya Majalengka, se-
daya sami dharat, prabot kuctanira lebur, gung kuda wus tan-
pa karya.
(50) Glaring wadya Maospait, nimbangi gelar madigbya, Dipati
Trung wadya gedhong, Arya Tiron kiping kanan, sisih Ian
Arya Puspa, Arya Bobos Ian Blegedhur, makipingi kering
kanan.
(51) De kendele ponang baris, sap-sapan tan keneng ngetang, gya
munya tengara bende, tambur rumpul sareng munya, swara
nglir robing sagra, sigra Sang Dipati Terung, neng wuri nga-
bani wadya.

XLVll. P ANGKUR

(1) Sareng campuh ing ayuda, mungsuh rowang suraknya ngge-


geteri, wor tengara munya barung, kadya karengeng wiyat,
barung sunap swaraning drel sru gumrudug, lir guntur (k.
404) agraning arga, solah kadya mbakingjladri.
(2) Gruduging astra sunapan, kadya gelap punglu tibeng lir wre-
si, cloroting kang panah busur, wor gebyaring senjata, aliwe-
ran kady2 kilat thathit barung, mimis tibeng mungsuh
rowang, ana laju amranani.
(3) Gebyaring senjata lanang, kadya kilat tempuran lawan tha-
thit, mriyem munya ting jalegur, kadya Merapi bentar, ba-
rung sunap lir bena grojogan sewu, tengareng tambur brang-
brangan, slompret suling ting jalerit.
(4) Kekandha pedhot manglayang, tunggul-tunggul lir kluwung
nibeng siti, mriyem munya tingjareglug, lir gelap sewu ngam-
par, gumeradag gumentar hoter jumegur, kadi alun nempu 1
parang, horeg bumi gonjang-ganjing.

317
-

(5) Murub muncar kang bedhama, keng ketiban ing mimis gutuk
api, bebau tugel sumiyud, kebuncang mimis sawat, wong
kebranan sambate pating barukuh, anggeladrah aneng kisma,
ting gelimpang kang ngema- (k. 405) si.
(6) Limut kukusing kucika, kang prang gagap peteng 1ir tengah
wengi, sudira arug-ingarug, swara brak rekatak, ting careng-
kling gumropak pating kalepruk, kang senjata wus kawuntat,
caruk watang kris mawa kris.
(7) Rebut rok mangkrak magalak, lenggak ginak manggoco genti
ngeris, kris crah cinandhak manggulung, sangking wuruning
yuda, mbek sudira tan ana kang eman lampus, sangking dera
wareg dana, dadar Ieier sing ing Gusti.
(8) Buleg lebu myang kucika, kang ayuda anggagah dera mamrih,
kathah prajurit kang lampus, weneh anandhang brana, sami
Ionge pepejah kelawan mungsuh, payudan banjir ludira, kang
yuda awuru getih.
(9) Lir nabrang tasik ludira, astra lumpur wus engga parang suci,
gya prapta kang angin sindhung, larud padhang paprangan,
sunap pejah tempuh watang lawan ganjur, caruk pedhang Ian
kulewang, lir nabrang samodra getih.
( 10) Mige- (k. 406) g-migeg caruk watang, weneh teken waos ke-
lawan lembing, ana welah panah busur, kasanter ing ludira,
kadya endhut waled bandera lelayu, sangking sami sureng yu-
da, tan ketang ngurugan pati.
( 11) Sewu kang pejah ing ngarsa, kalih ewu sing wuri ange byuki,
sangking ramene kang pupuh, pangguh sami sudira, genti nge-
ris weneh bithen gur-jinagur, udreg mangglut kalihnya kyat,
kang kebanting denkakahi.
( 12) Pangeran Kudus tumingal, yen wadyane esmu kasor ing jurit,
Pangeran nulya tumurun, sangking turangganira, sigra nyan-
dhak sesoroge pethijepun, binuka madyaning rasa, tan anta-
ra ta won mijil.
( 13) Tawon bani lawan sirah, andaledeg lir pendah toy a mill, prap-
,
318
ta ngebyuk ngantup mungsuh, bingung wong Majalengka,
ginarumung ingantup mukanya abuh, anunap mundur pra
samya, tan ketang rowang kang lalis.
(14) Kekes kawus tanpa ngucap, mundur mi- (k. 407) ris sakeh
wong Majapait, kurdha sang Dipati Terung, nylirani mang-
sah dharat, matak petak kang tawon ginetak mamprung, ta-
won sima tan katingal, myang jalma wus sima gusis.
(15) Keh tiba jawining rana, sigra mangsah Radyan lman Seman-
tri, nebda Sang Dipati Terung, "De iki santri kuna, bali ma-
ning apa wani marang ingsun, ya apa gegamanira, tamakena
mring wak mami."
(16) lman Semantri srunebda, "Nora susah sira ingsun wedeni 19),
tadhahana tangan ingsun, wus rinajah astengwang, mring
Jeng Sunan Kalijaga kang animbul, iki rajah pangleburan,
ran rajah Kalamisani.
(17) Suntabokken gunung gempal, segara sat manungsa mesthi
mati, diprayitna sira Terung", dipati ingayatan, kadhinginan
apetak Dipati Terung, Iman Semantri ginetak, sumemprung
dhawahnya tebih.
(18) Dhawah jawining payudan, sru sinurak mring wadya (k. 408)
Majapait, Kyageng Sela awas ndulu, yen mitrane sor yuda,
langkung kurdha gya nyandhak kang tulup sangkuh, Kyai Pie-

ret ngraning braja, pamonahing satru sekti.
( 19) Tuhu Tarub kang wasiyat, Kidangtlangkas paringan sing
Ywang Luwih, tumedhak 20 ) mring wayahipun, Ki Pleret
kang prebawa, wus tan ana kadigdayan teguh timbul, nadyan
lyane kang manungsa, kadigdayan tanpa kardi.
(20) Krura mangsah sing anebda, musthi sara lir Jaladara runtik,
duk mapulih putra lampus, direng Sang Pancatnyana, datan
wawang nggen mamrih kirdhaning pupuh, miyak rowang
ngrunjang mengsah, wus prapta ayunan jurit.

19) asline: meseni


20) asline; tumedha

319
I

(21) Dereng pinesthi kalihnya, pan dumadya sinapih mring Ywang


Widi, pareng Ian Ywang Arka surup, prapta udan prahara,
peteng dhedhet wor lesus mendhung ngendhan·u, geter pater
alimengan, cleret-taun prapta keksi.
(22) Gludhug glap mangampar wreksa, sru jumegur kang swara
nggegeter- (k. 409) i, nyapih ingkang arsa pupuh, sami mun-
dur kalihnya, amakuwon sewadya dipati Terung, myang Ki
Ageng ing Sesela, mundur makuwon sedasih.
(23) Pangeran Kudus kelawan, Kyana Patih Wanasalam tan tebih,
makuwon sewadyanipun, sakantune kang pejah, sami Ionge
pepati kelawan mungsuh, mila sarni lega tyasnya, mungsuh
rowang tan na baris.
(24) Pangran Kudus sawadyanya, Kyageng Sela kelawan Kyana Pa-
tih, tan nendrn sedayanipun, sedalu natas rina, ribeng ing
tyas nggen mengsah Dipati Terung, dene langkung prawira-
nya, wigya nulak srana sekti.
(25) Tan siwah Terung driyanya, mengsah aprang Ian Kudus lang-
kung miris, dene ta mentas alampus, dinalih malih gesang,
tan uninga yen putrane Sunan Ngudung, keng nambungi
senapatya, tinarka kang pejah urip.
(26) "Lan kawus ajeng-ajengan, Ian tyang Sela kelangkung dening
(k. 410) sekti, waos geng prebawanipun, tinerak mijil gelap,
wor prahara kang brnja dinulu murub, mendah ta kongsia
tiba, mring ingsun pungkas ing urip.
(27) Panumbake yen sunduga, sanak Sela baya ta miyatani, yen
weyaa nggonsun • pupuh, kelawan wong ing Sela, ya tibane
panumbake marang ingsun", mangkana usik dipatya, mila
wagugen ing galih.
(28) Lawan ngraos kasisipan, dene sagah anyepeng satru Aji, tan
enget yen kadang sepuh, Sang Dipati Bintara, pan ing mangke
tyas enget Dipati Terung, ingaben Ian kadang tuwa, langkung
jrih merang ing galih.
(29) lng dalu prapteng raina, sang Dipati legeg tan kena angling,

320
miwah kang para tumenggung, sewadya prajuritnya, lang-
kung kekes sarni ajrih magut pupuh, datan kenging ingabe-
na, kathah mbolos kang prajurit.
(30) Nengna ingkang neng barisan, kawuwusa sagunge para wall,
pan sampun ngaturan weruh, (k. 411) yen medheng kang
ayuda, mungsuh rowang tan ana kang magut pupuh, Sunan
Girl Ion wecana, mring kang Raka Sunan Kali.
(31) "Nggeh Ki Raka Nglepenjaga, pan Panduka katempah njang-
kung jurit, punapi keng dados ewuh, de m~dgeng boten yu-
da, mangsi borong panduka migunanipun, mrih purunipun
ayuda, Ian wiuyane sagung dasih.
(32) Lan nukrnaa dhateng pura, Majalengka diwikan karseng Aji,
sekalir migunanipun, panduka kang nulaka", Sunan Kali mes-
tu ing reh Rayi dhawuh, Sunan Ngampei nambung sebda,
"Heh ta iki Jebeng Kali,
(33) jimat waris Ngampeidenta, patrapena maju pat aneng purl,
mrih mirise tyase prabu, andulu wong Bintara", Sunan Kali
sandika nampeni gupuh, sastra srana wus tinampan, Sunan
Kali nulya amit.
(34) Linilan gya Iengser ngarsa, tanpa rowang sunan tindak priba-
di, lir bebalang anut Iesus, gli- (k. 4I2) s prapta Majalengka,
langkung samar tan ana jalrna kang weruh, njujug wisma
Rayi Supa, Pangran Sendhang gupuh mijil.
(35) Gurawalan methuk ngarsa, sarwi nyembah Jeng Sunan den-
aturi, gya Iaju lenggah sang Wiku, mungging jeladri wuntat,
ingkang Rayi Dyah Rasawuian wotsantun, Ion mangaras pa-
deng raka, wusnya sang Dyah jajar linggih.
(36) Pangran Sendhang angandika, marang putra Sura kinen nga-
bekti, tinedahken mring sang Wiku, Jeng Sunan nebda tanya,
"Heh ta Jebeng sapa rane bocah iku, kang sira kon nembah
mring wang, dene warnanira pekik."
(37) Pangran Sendhang matur weca, "Anak amba pun Sura ing-
kang nami, sangking Sendhang patut ulun, kapundhut mantu
nata", sang Wiku ngling andangu kawignyanipun, "Apa ta
321


wis bisa guna, pandhe keris ingkang becik.
(38) Dene ngambil. mantu nata, misih rare aglis tinriman putri" ,
Pangran Sendhang Ion umatur, -"Nglangkungi saged nyi-
(k. 413) pta, tosan sangking paningal ing wijilipun, ageng pre-
baweng buwana., kinajrihan gunging jalmi.
(39) Asih lulut atur bnma, nggih pun Sura tan kenging darnel ma-
lih; ingawisan dhateng Prabu", J eng Sunan dhawuh ~bda,
"Ya sun bae nyalingkuh karyakna dhuwung, yun weruh
kang keris pujan, wamane wesi ginaib."
( 40) Kang liningan tur sandika, Sura nyipta sangking tingal kang
wesi, pinijet kinarya dhuwung, mesalajer dhapumya, ingatur-
ken gya ingasta mring sang Wiku, Jeng Sunan ing galih trus-
tha, "Heh Bayi tarima mami.
( 41) Iki Sura yasanira, amnana dhapure ingkang keris", Sang Sura
nembah umatur, "Mesalajer punika", Jeng Sunan rum nebda
mestani kang dhuwung, "Sunarani Mesanular, ya nurut dha-
pure keris."
(42) Pangran mestu awotsekar, "lnggih leres panduka nggen mes-
tani", Sunan :n:Jih ngandika rum, mring Rayi paring pirsa,
"Sira Jebeng lungaa sing Majalangu, didhemit aja (k. 414)
na wikan, njujuga tanah Mentawis.
(43) Lan anakira si Sura, lanang wadon gawanen mring Mentawis,
kerana ing Majalangu, pungkasan gempur ing rat" , Pang-
ran Sendhang mestu dhawuh awotsantun, sang Wiku amit gya
tedhak, Pangran ndherekaken kori.
(44) Jeng Sunan wus tan katingal, Pangran Sendhang wangsul
pangguh Ian rayi, miwah lawan putranipun, jarwa wus gya sa-
nega, sedasihe sengadi andon mring gunung, wus binekta sa-
bati.hnya, latri nggen kentar saabdi. •

XLVlll. DHANDHANGGULA
-
(1) Tengah dalu nggenira lumaris, Pangran Sendhang Ian sagar-
wa putra, myang dasih binekta kabeh, ngidul manjing wana

322

gung, mring Mentaram sinedya karsi, lestari lampahira, ku-
neng kang lelaku, ucapen Sang Supa putra, kang jumeneng
nggentosi eyang neng Tubin, sampun ngaturan wikan,
(2) yen kang rama mangke angendrani, angles sangking nagri
Majalengka, sang (k. 415) Anom puntek driyane, tan wande
yen katempuh, mring sang Nata temah tuk sisip, manggusthi
lawan garwa, gilig arsa .nusul, wau dhateng ramanira, nulya
dandan sang Anom mangkat ing latri, sakwula warganira.
(3) Tan winama lampahireng margi, Adipati ing Tuban kang la-
gya, nusul marang ing ramane; Pangran Sendhang winuwus,
lawan putra sam pun pinanggih, Pangran gya enget garwa, ing-
kang anem kantun, teksih wonten nagri Sendhang, garwa put-

ra pan sami kinon rumiyin, Pangran mangsuli garwa,
(4) marang Sendhang Sedayu lestari, paning lampah sampun kur-
ungkunm, kang mangetan lawan ngulon, kuneng datan winu-
wus, gentya maJih ingkang winarni, tindaknya Jeng Sesun-
an, kang manamun laku, prapta nagri Majalengka, laju nukma
kang dadya karsanira Ji, wus datan kekilapan. ·
(5) Gya pininta marang ingkang kardi, ri wusira kang sarat pina-
sang, (k. 416) ngubengi ing jro kedhaton, kang pinrih sang
Awiku, nata aywa miyosi "jurit, gung sarat wus pinasang,
ngubengan kedhatun, nengna ingkang namur 1ampah, kawu-
wusa Sang Aprabu Maospait, enjang miyos sinewa.
(6) Mungging tJangsal pepak sagung nangkil, pra nayaka Dipati
Nararya, punggawa mantri myang pandhe, manca nagra tu-
menggung, rangga demang lawan ngabei, buyut wasi melan-
dang, tandha mantri sewu, wadu .Aji pengalasan, tuwa buru
nganglang laut juru sabin, sayang gendhing kemasan.
(7) lng Paglaran ndher penuh kang nangkil, pra Dipati Nararya
sumewa, sewadya bala mantrine, manca nagra sawegung,
rangga demang ngabei tamping, prajurit warna-warna, ebeg
wra supenuh, sangkep saastraning yuda, greguding wong tan
ana nedya gumingsir, riyek labuh narendra.
(8) Wus pininta cucukireng jurit, neng lun-alun prajurit mbe-

323
Iabar, kang arsa mbantu (k. 417) yudane, Ienggah dhampar
sang Prabu, animbali sentana Aji, Ian sagung para putra, wus
tekap neng ngayun, putra kang ginadhang nata, akekasih Ara-
dyan Bondhanserati, tan tebih ngarseng darma.
(9) Kang tinantun-tantun mring sang Aji, Arya Simping Ian Me-
nakprasanta., kang clak mungging ngarsa rajeng, ngandika
Jeng Sang Prabu, "Kaya paran heh sira Simping, kang
nglurug mring Bintara, si Dipati Terung, dene lawas nora
prapta", Arya Simping umatur saba wotsari, "Nggih won ten
dasih pmpta,
(10) tur uninga dhateng amba Gusti, yen ing mangke Dipati. Bin-
tara, nggih sampun methuk jurite, dhateng Dipati Terung,
kang ngembani sagung pra wall, sampun rame nggen yuda,
keng rurniyin unggul, wadya Demak kathah pejah, ingkang
dados senapatenipun jurit, pejah madyaning rana.
( 11) Sampunnyantuk pepejah Dewaji, pan ing mangke dipati ~a­
soran, risak sewadya balane, di dalem Majalangu, pra tu-
menggung mantri prajurit, ka- (k. 418) thah kang pejah ngra-
na, pun Dipati Terung, Iumajeng kesisan wadya, tyang
Bintara mangu~ .llgrampit negari, sami sudireng yuda.
(12) Abdi dalem mantri Maospait, sakantune kang pejah payudan,
tan purun ngaben jurite, kathah kang angles dalu, myang
keng dereng ingaben jurit, sami girls miyarsa, ing wartos
mituhu, yektos kathah ingkang minggat, pun Pangeran Sen-
dhang sampun ngies ing Iatri, sakwula warganira.
(I3) Anakipun kekalih Iumiring, putra dalem sang Putri binekta,
tan kantenan ing puruge", Iangkung duka sang Prabu, ami-
yarsa aturing Simping, 1ir nuwek tanpa dosa, sengara sang
Prabu, "Ya sawuri-wureningwang, aja ana nrirnani wong pan-
dhe weSi, tuna tan wruh ing dana.
..
(14) Ngendi nggone yen katemu sami, patenana saanak rabinya,
jer iku wong cidra kabeh, heh nyawa putraningsun, sira Kaki
Botldhansemti, dandana ing ayuda, ingsun arsa mbantu, (k.
419) anglurugi mangsah yuda, marang Demak Ian sakehe wa-

324
dya mami, sun gawa mapag yuda.
( 15) Ya dan dana ingsun bud hal enjing", kang liningan riyek tur
sandika, gya lengser sing ngarsa rajeng, samijilnya sing nga-
yun, laju bibar sagung kang nangkil, prapta wisma sanega,
gung wadya gumuruh, njawi lebet abusekan, pan sadinten
nggennya mepak prabot jurit, ya ta surup Ywang Arka.
(16) Wusen malih wau Sri Bupati, ingkang arsa miyosi ngayuda,
ing dalu tan angsal sare, munggi.ng sanggar sang Prabu,
amemuja mring dewa luwih, aneges karsaning sang, amur-
weng pandulu, sedhakep asila tumpang, anutupi babahan na-
wa sangadi, mateni panca driya.
(17) Sasat lena ing sadalem usik, Sri Narendra nglangut panem-
bahnya, wus jumbuh cipta karsane, ing tingal ening sam-
pun, mring kang murwa pati Ian urip, sacipta datan samar,
ening ing pandulu, yen puput kerato- (k. 420) nira, pulung
ratu ing mangke sampun mangalih, marang putra Dyan Patah.
(18) Wus tan samar marang kang ngrenggani, aneng nagri Binta-
ra misiksa, ngrat Jawa kawengku ing reh, abirat alamipun,
amiwiti islaming Aji, lumrah wong tata srengat, mupus gaHh
Prabu, yen wus pesthi ing bethara, ingkang kraton binirat
ngaHh mring siwi, srah rila marang dewa.
(19) Nyipta wande miyosi ngajurit, punteking tyas sinungan
sasmita, prapta gara-gara gedhe, tawang munya jumegur,
bumi genjot dres udan angi.n, gumuntur graning arga, tasik
lir kinebur, kadresan ing panca wara, surya candra tedhuh
limengan tan keksi, keh nyana yen kiyamat.
(20) Sri Narendra katrimeng dewadi, kratonira ingelih mring arga,
mengk.rat sagarwa putrane, nulya putra Dyan Gugur, prapta
methuk mring darma Aji, jro pura Prabayeksa, sima tan ka-
dulu, de garwanya Sri Narendra, ingkang kantun amung Ratu
(k. 421) Darawati, Islam tan ndherek mingkrat.
(21) An eng kraton pagenthan sang Dewi, pra pawongan sirep tan
angucap, jroh swara nggreng Ian petenge, myang wadya Ma-
jalangu, juga tan na keng saos baris, jrih nyana yen kiyamat,

325
peteng siyang dalu, sapta ri tan uning surya, ageng alit tan ana
keng darbe kapti, kadya keneng paekan.
(22) Enengena kang kenging piranti, kawuwusa kang baris neng
rana, - Pangran Kudus sewadyane, dhedhep tan arsa magud,
dene wau lawannya jurit, se~ti kagila-gila, kang ginetak mam-
prung, Dipati Terung prawira, sing amangsah tan saged celak
ngajurit, samben-samben mangkana.
(23) Pangran Kudus mangkya karsa nggusthi, Ian Ki Ageng Pen-
dhawa ing Sela, Ian Kya Patih Puger kewoh, Semantri datan
kantun, kalih sami andeling westhi, kumpulan Ienggah tata,
· angling Pangran Kudus, "Paman paran ingkang rem bag, meng-
sah awrat tur kadange sang Dipati, (k. 422) tan wonten purun
lawan."
(24) Kyageng Seia Ion mangsuli angling, "Lamun pareng Ian kar-
sanya Pangran, Dipati Trung ing saene, Iuwung pinriha teluk,
adadosa rowang ing jurit, yen nungkui sang Dipatya, Yogine
tinanggung, kelamun boten nungkula, Adipati ing Terung aw-
rat sirtanggi, tan bedhah Majalengka.
(25) Lamun teluk ing Terung Dipati, mesthi bedhah nagri Maja-
lengka, nadyan wontena sanese, kang dados tunggui pupuh,
mangsi wonten ingkang nyameni, kados Terung dipatya, en-
theng wawratipun, nggih sawek .·pandugi kula, lamun purun
nungkula sang Dipati, mingkuh sagunging wadya."
(26) Pangran Kudus ing rembag methuki, gya karya srat dadya
wus tinandhan, dasih gandhek ngawe marseng, Raga duta
ngranipun, Jiwatruna ingkang nisihi, kalihnya dhinawuhan,
sareng wisata wus, penganggene sarwi seta, numpak kuda tun-
dhan tur sami pawestri, (k. 423) semarga pasrah mring
Ywang.
(27) Gegancangan lampahnya semargi, pan Iestari tan na jalma .
wikan, kuneng gantya winiraos, nenggya Dipati Terung, neng
pakuwon gegreg sedasih, tan arsa mangsah yuda, ing tyas
sanget wigyuh, miwah wadya Majalengka, pra +1Jmenggung
demang rangga Ian ngabdi, kawus tan pU11.Jn yuda ..
-
326

(28) Wawang mingkuh kathah kang nglolosi, sami ajrih yen


ngaben ayuda, mengsah dewa pengrasane, kewran dipati
Terung, de tan ana kanthine jurit, merang lamun mundura,
mangsah wrat ing pupuh, amengsah lan kadang tuwa, pan
kaduwung purun ingutus nerpati, ginalih datan aprang.
(29) Nujwa lenggah wau sang dipati, neng pesanggran siniweng
gung wadya, pra wira ing Terung andher, myang manca
nagra sagung, penuh mungging ngarsa dipati, manggusthi
ngreh ing yuda, sedaya tinantun, dasih riyek rembag samya,
angaturi teluk mring raka dipati, ing Demak kadang tuwa.
(30) Sandeyeng tyas wau sang dipati, arsa telu- (k. 424) k dhateng
raka Demak, enget ngraos ing dosane, mejahi Sunan Ngu-
dung, datan wande tinagih pati, dadya minggu tan nebda,
enget tyas kaduwung, sigeg ingkang emeng driya, gya ke-
saru pecambeng atur udani, yen won ten duta prapta.
(31) Pan kekalih sarwi mundhi tulis, sangking Demak katur
ing panduka, sang dipati lon delinge, "Y a tim balana mal-
bu, gandhek prapta kang nggawa tulis", kang kinon nembah
kentar, prapta jawi pangguh, laju duta karwa, tekap ngarsa
manata sila ngenjali, weca ngaturken sastra.
(32) Wus tinampen wau ponang tulis, kang caraka kinon wang-
sui lenggah, kang serat nylya winaos, mangkana ingkang
tembung, "Penget ingkang serat wewadi, manira Jeng Pa-
ngeran, Kudus kang ingutus, mring sang dipati Bintara,
kinen methuk dhatenge sang adipati, mannane nggeh rna-

nrra,
(33) suka serat dhateng sang dipati, dhapur manira suka uni-
nga, yen dipati Demak mangke, arsa jumeneng ratu, mengku
ing rat angreba- (k. 425) t waris, ambedhah Majalengka, •

ngestrenan pra wiku, ing mangke nemahi yuda, pan mani-


ra kang kinarya senapati, wakile sang Dipatya.
(34) Anging mangke mengsah ngong ajurit, pekenira kadange
dipatya, ngalangi nggen madeg katong, mangke yen ngrem-
bag pangguh, anunggila karsa dipati, lan rakamta Bintara,

327
tumrap kadang sepuh, akanthi kadang taruna, tur prayo-
gi dadosa rowang yen mukti, ingjurit sumingkira.
(35) Nggeh manira kang manggung sayekti, lamun kita tuk siku
dipatya, sampun sumlang driya mangke, dumeh wus aprang
pupuh, amateni keng senapati, nggeh mangsi tinagiha, ngu-
ni Sunan Ngudung, kang sampun tekeng palastra, madya-
ning prang manira ingkang nglampahi, wus pesthi karsa-
ning Ywang.
(36) Yen wus rembag ing galih dipati, mangsulana kawrata ing
serat, lamun tan rena rembage, gandhek inggala wangsul,
aywa susan mangsuli tulis", menggah tyas sang dipatya,
my at suraosipun, ngartika sedale- (k. 426) m driya, "Apa
nyata tan dora watak wong santri, bok iya ingsun nyoba,
(37) anuruti rembuge wong santri, ingsun teluk mring kang-
mas dipatya, dene nguni sib marang ngong", ya ta dipa-
ti Terung, karya serat wangsulan aglis, tan dangu sastra
dadya, pan tiningkem sampun, pinaringken ponang duta,
sinangonan arta kelawan pisalin, duta dwi amit nembah.
(38) Linilan wus gya lengser sing ngarsi, mijil jawi inguntap-
ken wadya, nengna duta ing lampahe, ya ta dipati Terung,
nulya dandan sewadya sami, mbongkoki ponang gaman,
tumbak bedhilipun, tawok Iembing Iameng pedhang, wus
- sumekta sigra budhal sang dipati, ing dalu sesingidan.
(39) Tan kawarna neng marga kang balik, kawuwusa pakuwon
Bintara, Pangran Kudus Ian sewadyeng, duta gya prapta
cundhuk, mungging ngarsa ngaturken tulis, ponang srat
gya tinampan marang Pangran Kudus, winaos sinukmeng
driya, Pangran Kudus duk Iumyat udayeng tulis, srep ing
tyas Ion ngandika.
( 40) (k. 427) "Apa terus basane kang tulis, adipati ing Terung
kang karsa, yen nyata gelem teiuke, lamun yekti kang sang-
gup , pan againpang ing Majapait, sunsengguh alenggana,
sang dipati Terung, idhepa kelamun gam pang, a wit ing prang
sunwehana Iayang dhimin, ta kongsi bela pejah. ·

328

(41) Dhasar nguni sun kamoran kibir, nora elia1g sedane Jeng
Rama, tan nganggo serat bukane, sunpupus pesthenipun,
Kangjeng Rama seda prang sabil, tan antuk pepulihan, lan
dipati Terung, lamun sunwalesa pejah, tuduh ingsun nga-
pusi prajurit luwih, nistha nemu duraka."
(42) Kyana Patih Wanasalam angling, "Dhuh Pangeran sampun
saiah karya, tuiusna sebda waline, sirik ujaring apus, dipun-
amrih aijaning wuri, sang nata Majalengka kathah wad-
yanipun, drapon sami angungaka, mring dipati ing Terung
yen manggih urip, mesthi nilar sri nata."

(IL. SINOM)
(1) Kesaru pecambeng prapta, cundhuk ngarsa atur uning,
ye- (k. 428) n dipati Terung prapta, Ian sewadya nedya
mbalik, gung braja denbongkoki, dasih grundhul tanpa
dhuwung, wus katur sasolahnya, dipati Terung keng karsi,
Pangran Kudus seklangkung trustha tyasira. •

(2) Iman Semantri dinuta, kinen ngaturi dipati, Radyan Ken-


tar prapta panggya, Ian dipati weca kerid , Pangran Kudus
nedhaki, de wakilnya sang aprabu , ingawe sang dipatya,
gya majeng saiaman sami, Ian Kya Patih tenapi sagung pra-
tiwa.
(3) Sawusnya gya tata lenggah, dipati Trung datan tebih, la-
wan Pangran nggenya lenggah, neng ngarsa pinrak ing kur-
si, wuri dhiren!:, pinilih, sang dipati jrih tumungkul, Pange-
t:an manudana, matur nuwun sang dipati, ngling Pangeran,
"Panduka nunggila raka."
(4) Mestu sebda sang dipatya, "Sandika darmi nglampahi, sang-
king manna sihnya Pangran, amba atur pati urip , tan nyana
nemah jurih, pun papa nggih ngutus prabu, nimbali Kakang
Emas, tan nyana pinethuk jurit, da- (k. 429) tan nedya yen
puruna kadang tuwa."
(5) Kalihwus sami praseca, tan ana suwaleng kapti, budhal
kondur mring Bintara, Pangeran sewadya ngiring, ing Te-

329

rung sang dipati, ginerebeg tindakipun, tan tebih Ian Pa-


ngeran, sewadya balanya wuri, lampahira neng marga datan
kawarna. ·
( 6) Glis prapta praja Bintara, katur marang sang dipati, yen
ing Iampah antuk karya, ngaturken rayi dipati, ing Trung
sampun sumiwi, nulya tinimbalan gupuh, prapta ngarseng
dipatya, dipati Terung ngabekti, gya rinangkul kang rayi
asru karuna.
(7) Kathah-kathah sambatira, myang ngaturken pati urip, rna-
rang raka ing Bintara, sang dipati ngandika ris, "Yayi wis
aja nangis, wus suntrima prasetyamu, ing sisip sunapura,
nging sunrewangana Y ayi, nggonsun arsa m bedhah nagri
Majalengka.
(8) Sakeh dipati bang wetan, andhegen ja magut jurit, aja na
kang kongsi prapta, tetulung mring Majapait, reh mangsa
bodho Y·ayi, (k.430) wong wetan bisane teluk", rayi ma-
tur sandika, "lnggih danni anglampahi, mugi-mugi angsala
pangestu Kangmas.
(9) Yen sam pun nut tiyang we tan, Iun tuiusa mangreh sami,
yen sampun terang keng karsa, kawu1a anuwun amit",
kang raka ngandika ris, "Y a Yayi pangestoningsun, muga
lananga yuda, aja na kang nglawan jurit", sang dipati tur
sem bah mangaras pada.
(I 0) Wus lengser sangking ngayunan, sang ·dipati prapteng jawi,
panggih lawan wadyanira, wusnya jarwa budhal aglis, eng-
gar tyasireng dasih, wus pulih kasuranipun, wadya Terung ·
tri nembang, rampak samsi sureng jurit, tuwuk dadar Ieier
sihe sang dipaty a.
(11) Kuneng maJih kang winarna, ing wuri sang adipati, Bintara
pan wus sanega, arsa nglanggar Maospait, pepak sagung pra-
jurit, tenapi Pangeran Kudus, Ian Kya Pendhawa Sela, wus
samya siyagengjurit, sang dipati nuwun amit pra pa- (k.431 )
ndika.
( 12) Sagung wali myang nguiama, ngestuti jayaning jurit, wau

330

Sunan Kalijaga, mestuti baju pinaring, pepundhen Kyai


Gondhil, sang dipati langkung nuwun, baju cremat tinampan,
seksana rinasuk aglis, sang dipati wusnya amit sigra budhal.
( 13) Gumruh swareng lampah wadya, sumahap kang mungging
ngarsi, obah kang bumi prakempa, kaambah ing kuda jalmi, -
kadya om baking jladri, tengara umyang gumuruh, wor pang-
rikireng kuda, pan kadya karengeng wyati, renggeng sikep
pan kadya udyana puspa.
(14) Pangran Kudus kang neng ngarsa, amangku prajurit santri,
anglir Ngusman angejawa, dadya penganjuring jurit, wurinya
kang nambungi, Ki Ageng Pendhawa mungguh, tindhih
wadya sentana, putra wayah arnerapit, wurenira su roam-
bung wadya Bin tara.
(15) Kyana Patih Wanasalam , angirid punggawa mantri, sumahap
wadya tri nembang, ing wuri Iman Semantri, mungkasi
tindhih (k.432) baris, gung prajurit tigang ewu, wuri sang
adipatya, Natapraja nitih wajik, songsong gilap kadya daru
alelampah.
(16) Mangku wadya seseliran, samya atmeng sabat murid , asma
dana ngaken darah, sami nedya sahit sabil, mungging ngar-
sa dipati, ngungasken kasuranipun, dene kang nggrebeg
wuntat, pangrembe Ian juru sabin, myang penjurung gung
sentana sangking Plembang.
( 17) Miwah sangking ora pandhita, lebe ketib lawan modin ,
kumpul wasi Ian jejanggan, nujum terki iladuni, neng wuri
tanpa wilis, gumredeg tembak kumebul, asri ingkang pe-
nganggya, maneka warna mepeki, sang dipati lir Jeng Nabi
mangsah yuda.
(18) Sangking gungira kang wadya, sreseging astra pan gathik ,
mblabar penuh kang kamargan, manrajang ing wana wukir, •
siluk myang iring-iring, rata kambah ing jalma gung, dadya
lepas lampahnya, kang arsa ngrebaseng puri, aglis prapta
pem barisan Majalengka.
( 19) Kuneng gantya ( 433) kang winarna, wau ingkang sami ba-

331
ris, gung prajurit Majalengka, tenapi kang para mantri,
Arya Tiron tetindhih, Arya Bobos Ian Blegetlhur, miwah
Sang Acya P!Jspa, kalang gowong amiranti, demang rangga
wadu aji pandelegan.
(20) Gung wadya susah tyasira, dene pisah senapati, malah sam.
pun myarsa warta, yen Terung sang adipati, mundur ka-
soran jurit, lolos tilar barisipun, tan mawi awewarta, sera-
wang nggennya sumingkir, ·apan laju mantuk dhateng pra-
• •
Janrra.
(21) Wau ta sagunging wadya, sami kumpullan manggusthi, nedya
mantuk marang praja, dene pisah senapati, yen tinempuh ing
jurit, tan ana tindhihing pupuh, tinilar senapatya, sasat tini·
lar sang aji, wusnya rem bag gya daud sewadya samya,
(22) mundur dhateng Majalengka, gumer lampahireng jalmi,
gya katungkak mengsah prapta, wong Bintara wrin nututi,
wong Majalengka lari, sajuga tan ana methuk, (k.434) giris
mulat prebawa, mungsuh prapta nggegirisi, swareng wiyat
gumludhug awor Ian gelap.
(23) Kilat thathit aliweran, adres udan awor angin, swara kumrut
lir kiyamat, gumita melingi wyati, prakempa bumi gonjing,
samodra munya jumegur, gumuntur graning arga, gumer
swareng bajra prapti, ciptaning wong wus nyana lamun
kiyamat.
(24) Gugup wadya Majalengka, lumayu aniba tangi, ngungsi rna·
rang jroning praja, ana weneh ngungsi wukir, playunya mbe·
bentusi; tawon kambu ngrubung ngantup, bingung solahing
jalma, tanbuh nggenira mangungsi; dadya mba1ik nunggil
wadya ing Bin tara.
(25) Ya ta prajurit ing Demak, lampahira pan wus prapti, ngram·
pit pura Majalengka, baris kubeng ing cepuri, tan na kang
mapag jurit, tintrim wadya Majalangu, tan wonten darbe
krekat, ngalun-alun penuh jalmi, ageng alit wus tas ngraos
d arbe gesang.
(26) Warnanen sang narpa putra, nenggya Dyan Bondhanse- (k.

332

435) rati, kang ginadhang madeg nata, enjang siyageng


ajurit, rawuh baris Sitinggil, siniweng sentana wadu, Arya
Simping neng ngarsa, wuri sagung pra bupati, myang pra-
jurit kang dereng ngangsahken yuda.
(27) Sumekta saastranira, nggusthi ngajab tempuh jurit, gya
kesaru praptanira, wadya ingkang kasor jurit, Arya Tiron
kang prapti, Arya Bobos Ian Blegedhur, cumundhuk ngar-
saning dyan, matur sarwi awotsari, tur uninga yen kabujung
mengsah prapta.
(28) "Lun kapisah senapatya, dipati Terung semangkin, angles
sangking ing payudan, tyang Bintara laju ngrampit, ing praja
tepang kikis, de gung tiyang Majalangu , tan purun methuk
yuda, sami girls nggennya uning, tyang Bintara nggen dha-
teng kanthi prebawa."
(29) Wus katur sasolahira, mring Radyan Bondhanserati, ing
purwa prapteng wusana, langkung duka narpa siwi, karsa
amit danna ji, methuk mengsah ingkang rawuh, Radyan
dereng uninga, (k.436) yen kang rama sri bupati, sampun
mingkrat sagarwa putra kedhatyan.
(30) Laju sowan manjing pura, wau Dyan Bondhanserati, sa-
praptanya jro kedhatyan, kang pura sima tan keksi, tilasnya
dadya rawi, tan wonten jahna kadulu, dyan minggu datan
nebda, gyuh werdaya badra mijil, mundur mereng mulat
marang sagung wadya.
(3 1) Dadya lolos sesingidan, saputra kadang myang dasih, tan
arsa magut ayuda, dene sagung pusaka ji, sedaya wus samya
nir, tandha tan kalilan pupuh, dyan angles ing driyanya,
dene danna sri bupati, muksanira tan paring uningeng putra.
(32) Lestari ing tindakira, wau Dyan Bondhanserati, nggennya
lolos sangking pura, tan ana jalma kang uning, kuneng winar-
·na jawi, sagung wadya Majalangu, keng baris Pagelaran,
ngentosi sang narpa siwi, ingkang arsa mapag mengsah ing
Bin tara.
(33) Arya Simping manjing pura, nedya methuk narpa siwi,

333

(k.437) sapraptane ing jro pura, ketingal kedhaton roam-


ring, Dyan Bondhan tan pinanggih, dados rawa jro kedha-
tun , mung kantun ing pagenthan, ingkang teksih maglik-
maglik, dalemira Jeng Ratu Andarawatya.
(34) Arya Simping wangsul sigra, mring Paglaran pan wus pang-
gih, lawan sagung pra bupatya, myang nararya para mantri,
Ki Arya suka warti, yen wus mingkrat Jeng Sang Prabu,
tenapi para putra, tuwin Dyan Bondhanserati, anut mengkrat

[ Ian pura wus dadya rawa.
(35 ) Kagyat kang sami miyarsa, mring jarwane Arya Simping,
sedaya sami karuna, asambat Gusti sang aji, seksana Arya
Simping, nyengkalani sirneng prabu, sareng Ian puranira,
myang putra Dyan Bondhansrati, tunggil candra sri narpa
Ian raja putra.
(36) Nir ilang kartining jagad, ingetang wus dadya tunggil, ci-
nampur kelawan tandha, warnanen sagung dipati, sedaya
rembag pikir, Arya Simping kang tinantun, sapa- (k.438)
ngrehing ayuda, ing rembagnya Arya Simping, "Angelu
lun tan nedya nglawani ing prang."
_ (3 7) Rembag nungkul mring Bintara, wus kenyatan sang dipati,
• Natapraja ing semangkya, kang antuk sihing Ywang Widi,
rinojong ~ara wali, sekti sudira pinunjui, mupugi ing aguna,
Bin tara sam pun pinesthi, nggennya brangta madeg nata gam a
Islam.

L. ASMARADANA
--
(1) Won ten em bannya sang pekik , Ki Lembana Ian Lembusa,
myarsa yen murca gustine, lawan Radyan Jambaleka, tan
arsa yen teluka, sing pasowan mbolos mantuk, semarga
tansah karuna. ·
(2) Ing Kadipaten wus prapti, sigra laju manjing pura, tur uning
mring garwa Raden , wus katur lukitanira , njrit sagung para
garwa, ing tyas gugup nedya ngruruh, Ian sedasih riyek
linggar.
334

(3) Kebut kang wong jalu estri, lampahira salang tunjang, nasak
manjing ing wana grong, minggah sengkan tumrun jurang,
semarga rereyongan, prapta tlatah ngarsa kidul, wus lepas
datan kagustha. •

(4) (k. 439) Wusen malih pra bupati, Arya Simping saha wa-
dya, gilig teluk sedayane, mring dipati ing Bintara, mung
sagung para putra, tan wonten kang nedya teluk, lampu
jengkar alelana.
(5) Ya ta sagung pra bupati, sewadya prajurititra, ambongkoki
dedamele, saweneh ngaturken brana, myang warna sese-
gahan, sedaya tinata sampun, miwah badhe beboyongan.
(6) Wau Sang Dyah Darawati, pan sampun ngaturan wikan,
yen arsa nungkul gung wadyeng, mring dipati ing Bintara,
jumurung prameswara, kasrahnya brana kedhatun, mring
kang putra ing Bintara.
(7) Gya kentar Ki Arya Simping, myang sagunge para wadya,
sumekta saboyongane, myang bongkokan gamaning prang,
wus winot neng pikulan, miwah Ian segahanipun, adulur
ponang rembatan.
(8) Ing marga datan winarni, glis prapta jawining praja, laju
njujug pakuwone, Adipati Natapraja, katur mring Kyana
Patya, yen tyang Majalengka nungkul, lang- (k.440) kung
trustha tyasnya patya.
(9) Aglis cundhuk matur gusti, ngaturken panungkulira, Arya
Simping sarowange, sami ngaturken bongkokan, boyongan
Ian segahan, Ian t\lr uning yen Sang Prabu, Brawijaya sam-
pun mingkrat.
( 10) Langkung ngungun sang dipati, miyarsa aturing patya, la-
mun darma Jeng Sang Rajeng, murca sangking jroning pura,
tan kongsi ngaben wadya, mung precaya tiyang Terung,
wayah kinen anungkula.
( 11) Sang dipati ngling ing patih, "Heh ta Kakang mengke padha,
iriden mring ngarsaningngong, sakeh wadya Majalengka,

335
kang teluk tur bongkokan", Kya Patih mestuti dhawuh,
mijil nim bali telukan.
( 12) Pangguh Arya Simping kerid, tekap ngarsa awotsekar, wus
kinen tata lenggahe, Arya Simping Arya Puspa, Arya Tiron

katrinya, atap silanya mandheku, jrih mulat marang di-
patya.
(13) De ujwala sang dipati, mencorong pindha baskara, lenggah
kursi kencana byor, sang Dipati Natapraja, si- (k.441)
niweng sagung wadya, ngarsa andher jawi penuh, lir samo-

dra rob mbelabar.
( 14) Kang lenggah kering dipati , sang Pandhawa ing Sese1a, Pange-
ran Kudus jajare, angampingi sang dipatya, kalih andeling
prana, sang dipati ngandika rum, nembrama keng sami prap-
ta.
( 15) Nem bah nuwun kang sinung ling, sang dipati malih nebda,
"Y a wecakna sayektine, sasirnane ram a narpa, sap a kang
arsa yud a, mapagna salakoningsun", Arya Simping matur
nembah.
( 16) "Samukseng ramanta aji, sagung putra myang sentana, tu-
win mantri prajurite, tan wonten nedya puruna, methuk
yuda panduka, milu1u sarembag teluk, sami atur pejah
gesang.
( 17) Tan won ten k ang s1ayeng kapti, atur setya dhateng am ba,
de sasirneng Jeng Sang Katong, panduka madega nata,
mengkua Majalengka, sinembaha sagung wadu , gumantosa
ing ramendra."
( 18) Sang dipati nglingnya aris, " lya Simping suntarima,
atur setyamu marang ngong, ingsun yekti nora nedya, mbe-
dhah kratone rama, (k.442) de mung nyuprih rama prabu,
karsaa Su lin agama. .
( 19) Samengko Jeng Ram a Aji, temah nilarkawibawan , tan arsa
gama Islame, mengko wadya Majalengka, ya arsa teluk
mring wang, apa sira padha anut, Islam kaya wong Bin-
tara.

336


(20) Kang tan geiem seba mami, pan sunrusak sunpiesana, rabi
sutane sunboyong", Arya Simping Ion turira, "Nggih Ieres
ingkang karsa", sang dipati nuiya dhawuh , marang putra
Kudus Pangran.
'
(2 I) "Kaki sira ya suntuding, Iumebua mring jro pura, gung
brana jarahen kabeh, boyongen garwa narendra, Dyah Ratu
Darawatya, wanodya Islam linuhung, alapen karyanen gar-
wa.
(22) Lan branane ja na keri, tetiiare Jeng Ramendra, miwah ke-
praboning rajeng, sunpundhut karya brekatan, sawama
geming nata, padha gawanen sedarum, marang nagri ing
Bin tara.
(23) Lan maninge bangsal ngapit, kang wetan sira gawaa, sun-
karya ganti srambine, wangunira pan prayoga, gawa- (k.
443) nen marang Demak, kuion karya seban agung, pra-
tandha sun sulih nata." •

(24) Mestu Pangran awotsari, tandya Iengser sangking ngarsa,


budhal Iawan sewadyane, Iaju manjing jroning pura, kuneng
datan winama, wuwusen malih kang kantun, sang Dipati
Natapraja,
(25) gya daut sewadya ngiring, Ian Kya Patih Wanasalam , ngirid
, sagung teiukane, gunging wadya Majalengka, umiring mring
Bintara, dene mantri ingkang kantun, angangkat karyeng
dipatya.
(26) Aseiur sami ngusungi, brana sangking Majalengka, tilar-
rannya Jeng Sang Katong, ingusungan mring Bintara, myang
sagung bebrekatan, ,kang an eng ing Sitiluhur, kang teksih

sam1 ngusungan.
(27) De gung brana kang kekasih, sami sima sing nggenira, pa-
Ienggahan bale rante, kang mungging bangsal witana, sima
kelawan gangsa, Sekardlima tengranipun, kawigya gendhing
pribadya.
(28) Sareng sirnanya Ian aji, myang brana sajroning pura, kathah

337

kang binekteng katong, tuwin ingkang (k.444) warna braja,


waos dhuwung Ian sara, sajuga tan wonten kantun, sedaya
binekta mengkrat.
(29) Dehe dasih kang kekasih, kang binekta mengkrat nata, deksa
adil kang wicekseng, myang pujangga alui sastra, tenapi gur-
meng besa, jalu estri datan kantun, sonya Ian niyaganira.
(30) Wecanira kang wus sidik, sirnanya sri Brawijaya, pan mung
ngalih kedhatone, neng Arga Lawu mrayangan, mangkya
wus santun tengran , ajejuluk Sunan Lawu, tan ewah keratoni-
ra.
(31) Nata dhawuhireng runtik , kenya pinundhut wirangnya, wit
estri myang kakung benceng, Dyah Ratu Andarawatya,
mursal nut ing agama, lawan pandongane kaum , kabule
pinundhu t nata.
(32) Myang pandh1ta nir kang mandi, pandhe ilang derajadnya,
bumi suda pametune, benjang ndungkap akir jaman, keh
anak wani bapak, bapa lali marang sunu, tengrannya jaman
Sengara.
(33) Malih warn an en sang putri, garwanya sri Brawijaya, (k.
445) Andarawati sang sinom, kang tinilar neng pagenthan,
marma dyah prameswara, tan ndherek mengkratnya prabu,
dene sang dyah sam pun Islam.
(34) Nut manjing agama suci, anggeguru ingkang putra, Sunan
Ngampel duk san trine, mattna datan ndherek mengkrat, sirik
ujaring sarak, sang dyah mantep idhepipun, sarengat terus
makripat.
(35) lng mangke dyah prameswari, pan sampun ngaturan wikan,
yen sang dyah arsa binoyong, dhateng nagri ing Bintara,
sang retna tan lenggana, langkung trustha tyas Jeng Ratu,
yen arsa binoyong putra.
(36) Mangkana ciptaning galih, Dyah Ratu Andarawatya, "Na-
dyan binoyonga ingong, mring putrengsun Raden Patah,
miwiti kraton Eslam, ingsun pisah Ian sang prabu, - ange-

338
,
..

nger Ian putraningwang.


(37) Bakal ratu gama suci, miwiti salin agama, pauger wali muk-

mine, baya ingsun tan kuciwa, nutugken Iaku gama, manut
srengat nabi rasul, tinarima ing Pangeran."
(38) (k.446) Gya busana sang Iir suji, sumekta sacethenira, jalma
priya pan sedene, kang ambekta saklir brana, kang badhe
katur putra, mangke arsa madeg ratu , Islam nagri ing Bin-
tara.
(39) Wus sumekta nulya mijil, dhateng bangsal Srimangantya,
Ian Pangeran Kudus panggoh, Jeng Ratu seksana lenggah,
Ion nebda namudana, "Abagea wayah ingsun, satekanta
an eng pura."
(40) Pangran Kudus mesem angling, nuwun-nuwun aturira, ang-
ganda prana eseme, anging sang dyah tan ngiegewa, mring
esemireng wayah, tan nyipta yen badhe dhaup , tinrimakken
dhateng wayah.
( 41) De Pan gran wus tam pi wangsit, karseng darma sang dipatya,
yen arsa dhinaubake, Ian kang eyang prameswara, kinarya
nglebur dosa, nini jodho lawan putu, pangleburan alating rat.
-
(42) Pangran Kudus matur aris, "Ratumas amba dinuta, mring
kang arsa madeg rajeng, kinen mboyong ing panduka, mi-
wah kang raja brana, sawontene jro kedhatu- (k.447) n ,
kinen mbekta mring Bintara."
(43) Dyah Ratu mangsuli angling, "Pangeran sumanggeng karsa,
mapan kang darbe warise, putraningsun Kaki Patah, guman-
tya dadya nata, mangalih puraning ratu, madeg Islam neng
Bintara." ·
(44) Gya tata wong Majapait, kang sami angangkat karya, rem-
batan Ian gotongane, sajuru-juru tinata, gya budhal sang
kusuma, ingringken Pangran Kudus, mijil sangking Srima-
ngantya.
( 45) Prapteng marga Pangran ngarsi, nitih kuda sinongsongan,
lir temanten lamun tinon, jajaran tinundha-tundha, ing

339

wuri prameswara, anitih wilisan agung, asri ingkang upacara.


( 46) Myang rabine pra bupati, umiring mring prameswara, nitih
crumpung Ian ja1ine, mbalbar tinon arantaban, kadya pe-
nganten nata, keprabon gotongan selur, wuri ngaran penuh
jalma.

LI PANGKUR

(1) Kuneng wuri kawuwusa, Arya Bobos Blegedhur ngangkat


kardi, wus matah wong Majalangu, angusung ponang bangsal,
(k.448) ngapit ngrawit sinareng pangusungipun, sagung wadya
Majalengka, kinen urun sikep niji.
(2) Kerigan wong Majalengka, kang wus anut ... sami sinungan
kardi, apan kinen usung-usung, marang nagri Bintara, myang
gung wadya kinen ngalih wismanipun, kang tan manut
pinleksana, jinarah dipunboyongi.
(3) Sagung putra Majalengka, kang wus mukti merang myat
mring dipati, temah nglalu ngles ing dalu, sagarwa putranira,
tilar praja weneh ngungsi wana gunung, sedya sami adhe-
dhekah, atapa nutupi dhiri.
(4) Kuneng malih winurcita, gunging jalma busekan ngangkat
kardi, keh kang ngrangkep karyanipun, wonten kang lagya
nata, weneh ana lagya ngrayah rowangipun, kang amogok
pinren tahan, rinisak dipunj arahi.
(5) sami sadina wus budhal, bangsal ngapit sinareng bangsal
ngrawit, sangking nagri Majalangu, binekta mring Bintara,
pan kinarya serambi Ian apitipun, wande yasaning uliya, ra-
(k. 449) mpung dening bangsal kalih.
(6) Ngapit pengrawit pinasang, neng Paglaran kadya duk Maos-
pait, ya ta wuri kang lelaku, Pangran Kudus wus prapta,
nagri Demak ngiringken Dyah nulya katur, marang ri sang
Adipatya, wus kinen umanjing purl.
(7) Tenapi kang raja brana, tetilare sang nata Maospait, ginelar

340
neng tarub agung, miwah keprabon nata, sawarnane sagung
upacareng ratu, kacu mas hardawalika, banyakdhalang
sawunggaling.
(8) Gandhek kandil Ian gendhaga, saput gedhah Ian bokor ken-
cana di, dhampar cepuri my ang kebut, kuthuk lawan lan-
taran , mungging bangsal pengapit dinulu murub , singer
man on ing Paglaran, lir wiyosnya sri bupati.
(9) Gya Dipati Natapraja, manjing masjid maharseng para wali,
meksih pepak gung pra wiku , njenengi nyambut karya,
matrap srambi datan dangu nuiya rampung, pra wall gya
Ienggah tata, kasongan seram bi masjid. ·
(I 0) Sang dipati mungging ngar- (k. 450) sa, Ion umatur mring
raka Sunan Girl, "Lun sumangga arseng wiku , gung brana
Majalengka, Ian boyongan garwanipun sang aprabu , sang
Dyah Ratu Darawatya, myang suwungipun praja di."
(11) Jeng Sunan Girl Ion nebda, " Suntarima Yayi nggon setyeng
kami", Jeng Sunan Girl gya matur, mring darma Ngampel
Sunan, "Kyai uiun sumangga adeging ratu , miwah ingkang
warni bran a, tilare sri Maospai t."
( 12) Sunan Ngampei Ion deiingnya, "Heh ta lurah yen mungguh
rembag mami, dene kang umadeg ratu , ya Kaki Natapraja,
jangjening Ywang Bintara sumambung ratu , wewarise nung-
sa Jawa, ratu pinandhiteng wali.
( 13) Nedha kanca ngestrenana, ing adege Bintara sang dipati, su-
mambung ju1t<.eneng ratu, juiuk Sultan Bintara, Nata Gama
Luputtullah ing Rat Agung, Waliyollah Nungsa Jawa", gung
miyarsa mestu sami.
( 14) Sung idi kang madeg nata, ageng alit jumurung angestreni,
Sunan Ngampel malih muwus, " Dene kang raja brana, gung
kaprabon kasraha kang madeg ratu", Sunan Ngampe- (k.
451) I malih nebda, mring putra sang baru aji.
( 15) "Kaki maneh jarwaningwang, kancaningsun ya sakeh para
wali, luputna pakaryeng ratu , de bekti mring Pangeran",
narpa mudha sumangga ing aturipun, ya ta ingkang madeg

341


-

nata, kinen lenggah dhampar rukmi. \

( 16) Wus ngrasuk keprabon nata, sekalire kepraboning nerpati,


~ang sewaka ndher ing ngaytin, muka lir konjem kisma,
merang lumyat mring ujwala baru prabu, nenggya wau si-
nengkalan, w.arna sima catur nabi.
(17) Nata dugi nggen sinewa, aluwaran makuwon gung pra wali,
nata kondur angedhatun, pinethuk mring kang garwa, putri
Ngampel kang jinunjung madeg ratu, wus lenggah sung
wikan garwa, niskara nggen madeg aji.
( 18) Myang mangke ing karsa narpa, lukitanya garwa wus den-
jarwani, kuneng ingkang imbal wuwus, prapta Dyah Dara-
wetya, lenggah ngarsa mudrawa pan esmu eluh, kumembeng
sinamun netya, nata ngling njarwani aris.
( 19) Ginepokken sangking sarak, nggen njarwani mring ibu nga-
rih-arih," (k.452) sigeg ingkang lagya ngimur, warnanen
Kyana Patya, Wanasalam kang lagya ndum beraha gung,
neng Paglaran sarowangnya, kang dinuman wus weradin.
(20) Ageng alit wus sinungan, jejarahan keng warna brana adi,
miwah wiryane keng lampus, warisnya wus pinatah, Kyana
Patih saha wadya sambi tugur, miwah ingkang pra asmara,
myang telukan tugur sami.
(21) Kuneng kang neng Pagelaran, wusen malih pura sang baru
· aji, myang Jeng Ratu Majalengu, Darawati sang retna, mangke
arsa tinrimakken Pangran Kudus, sang dyah sumpun bi-
nusanan, arsa pinanggihken null.
(22) Pangran Kudus gya ngandikan, nulya laju ijab mring mas-

jid alit, kang ngijabken Kangjeng Ratu, wali sulih Kya Patya,
kang musikum Ki Pangulu Wasalamun, Pangeran sawusnya
ijab, gya ngandikan manjing puri.
(23) Sapraptanira byantara, Pangran Kudus manembah sileng
ngarsi, rum ngandika Jeng Sang Prabu, mring s3ng dyah
prameswara, "Nggih krama lbu lawan Pangran Kudus,
abagus teksih (k. 453) taruna", angling Sang Dyah Dara-
wati.
342
(24) "Anak Prabu nggih pun biyang, wus tan nedy a yen krama
ngaping kalih, mangke tinrimakken putu, yekti yen dede
tim bang", sri narendra mangsuli ngandika arum, "lbu mang-
ke sanes alam, anuta ga.rwaning Nabi.
(25) Dewi Wuryan nggennya krama, kaping kalih Iman Tabut
rumiyin, malihipun Nabi Dawud, katrimah ing Ywang Suk-
mah, sapaminta tinurutan ing Ywang Agung, sinung putra
dados nata, Nabi Suleman kekasih."
(26) Kendel sang dyah prameswara, kaluhuran ing sebda putra
aji, sang nata anulya dhawuh, marang putra temantyan ,
"Kulup iki tampanana triman ingsun, padha tunggal trah-
ing Cempa", Pangran nuwun awotsari.
(27) Sang dyah cinandhak kang asta, mring sang nata tandya
. kinanthi mijil, prapteng tratag sang dyah ratu, tinitihaken
sigra, ing jempana tan ewah keratonipun, asri ingkang upa-
cara, jajarannya amerapit.
(28) Prameswari Ngampe- (k. 454) ldenta, tedhak mijil ngater
Dyah Darawati, nitih joli sang dyah ratu, kebut wong dalem
pura, kang umiring wiyosira kusuma yu, praptanireng pa-
ngurakan, Pangran Kudus nitih wajik.
(29) mungging ngarsa sinongsongan, pra asmara sumahab anja-
jari, myang mantri pratiwa anung, mungging kanan jempana,
busana bra maneka warna dinulu, lir pendah sekar setaman,
wingkingnya jempana joli.
(30) Kang nggrebeg mantri keparak, tuwin gedhong mantri sewu
panumping, lampah marga tan winuwus, ing dalemira prap-

ta, Pangran Kudus tumrun kuda nulya laju, lawan sang


dyah prameswara, kekalih wus sami manjing.
(31) Tan siwah sagunging wadya, lenggah tata kubeng neng
dalem ngarsi, tan dangu sunggata rawuh, njawi lebet ku-
wratan, gya dhahar wus dumugi linorod sampun, gya amit
dyah prameswara, kondur manjing dalem purl.
(32) Pra sang dyah seksana budhal, gumruh swareng gung jalma


343
jalu estri, wadya myang para tumenggung, (k. 455) budhal
samya sewangan, wangsul marang ing pakuwon ngalun-alun,
ya ta sang dyah prameswara, prapta marek raka aji.
(33) Ngaturken ing tindakira, reh dinuta mangater mring kang
krami, keksi sae lajeng runtut, atut ing pala krama, wau
sultan myarsa langkung trustheng kalbu, kuneng malih
kang winarna, Pangran Kudus kang wus krami.

) (34) Dugi dennya pulang raras, wusen malih Jeng Sultan neng
jro purl, memangun jroning kedhatun, kesaru kendel karsa,
ketamuan Jeng Sunan Kali kang rawuh, ingancaran lenggah
jajar, gya ngandika sang ayogi.
(35) "Heh ta Jebeng ingsun jarwa, kita uga wus klakon dadi
aji, miwiti agama ratu, nata gamaning Islam, nanging durung
darbe pusakaning ratu, saklir pusaka ginawa, mring ramanta
sri bupati.
(36) Mengko ana kris sajuga, kang inganggo sinta Terung dipati,
Segarawedang ran dhuwung, babaran seka sagra, ya pun-
dhuten prayoga ageming ratu, dene nguni ingkang karya,
Ki Anom di- (k.456) pati Tubin.
(37) Mengko lunga seka Tuban, mring Mentaram angungsi lumuh
jurit, pan rayine kang ingenut, nguni kang aran Sura, empu
wignya muja wesi adi luhung, samengko sira undanga, dadi
prabot ing praja di.
(38) Lan bapake becikana, aneng Sendhang ran Supa duk ing
nguni, nging uliya kaya ingsun, mandhep bekti Pangeran ,
lawan maning Jebeng ana jarwaningsun, si dipati Belam-
bangan , mogog nedya tata baris.
(39) Iku mawa seka criga, ya Sengkelat dhapure ingkang keris,
loro rahen kang satuhu, menek dadi pangkalan", mestu sul-
tan sandika ngaturken dhuwung, pepundhen Kyai Seng-
kelat, gya dhawuh nimbali rayi.
( 40) marang Terung mundhi serat, law an malih cundhamanik
nerpati, mring Blambangan mundhut dhuwung, Tumenggung

344
Artadaya, Ian Tohjiwa sumekta saastranipun, tigang ewu
saba wadya, duta tri gya nuwun amit.
(41) Linilan 1engser (k. 457) sing ngarsa, gandhek katri sing pura
sareng mijil, sapraptanya ngalun-alun, wus panggih lawan
rowang, sigra budhal sreseging wadya tri ewu , kadya ombak
kang samodra, ken tare wadya i~Z! aris.

LllDHANDHANGGULA
(1) Enengena wau kang lumaris, kawuwusa ing Terung dipatya,
Pecat tandha kang mandireng, angerda barisipun, ing bang
wetan wus teluk sami, sagung raja dipatya, wus riyek srah
biluk, myang dipati manca nagra, kang sumedya tetulung
mring Maospait, ngandhegan datan suka. •

(2) Kang ameksa temahan pinatin, kang wus anut sami tinim-
balan, prapta Terung sasegahe , kang mogok datan teluk ,
pan rinusak dipunjarahi, kang bangga tinelasan , kang wus
sami anut, winulang agama Islam, kinon sowan mring kang
arsa madeg aji, Bin tara kang misesa.
(3) Jalma wetan kang urut pasisir, pengagenge kang para (k.
458) dipatya, prapta Terung sedayane, seklangkung ajrihi-
pun, marang Terung sang adipati, kaloka ing amanca, ·yen
sektipinunjul, bebanthenge ing Bintara, pun dumadya nut
sapangreh sang dipati, tan ana swaleng karsa.
(4) Wradin suyud pan wus seka kapti, mangkya prapta neng •
Terung sumewa, tan lawan prang ing teluke, kelu miyarsa
tutur, lamun Terung sang adipati, ngrata sapraja wetan,
pinrih teiukipun, marang nagri ing Bintara, pan sedaya pa-
sisir Ian manca nagri, wus prapta angawuia.
(5) Mung Biambangan Iawan rajeng Bali, ingkang dereng teluk
mring Bin tara, purun manglawan jurite, sedyarsa madeg ratu ,
Belambangan sang adipati, Siyunglaut sedyanya, ngrat Jawa
ingangkuh, sumekta sanegeng yuda, Siyunglaut wus kait Ian
rajeng Bali, sumedya nglanggar ing prang.

345
,

(6) Pan ing mangke ing Terung dipati, sinewa gara mring gung
dipatya, kang baru telukan andher, mungging tetarub
a- (k.459) gung, pra dipati twnenggung nangkil, atata leng..
gahira, mawra beg supenuh, mbelabar mring tratag rambat,
pasewakan pangurakan bek prajurit, sangkep saastreng
yuda.
(7) Sang dipati wus lenggah neng kursi, atap kubeng sagung-
ing dipatya, samya munggeng kursi rentep, kang celak leng-
gah ngayun, Surabaya sang adipati, ing Rembang Ian Ju-
wana, Nglasem Ian Sedayu, Ngiamongan Ian Pasedhahan,
ing Weieri miwah Wajak Watuurip, Puger tuwin Luma-

. Jang.
(8) Myang dipati ing Bojanegari, Kertasana Nglebeg Ian Ko-
ripan, Srengat lawan ing Trenggaiek, myang Jagaraga cun-
dhuk, ing Beiora Gedhiri nangkil, tenapi Panaraga, neng
ngayun mandheku, sang dipati Terung nebda, "Sanak-
sanak punapi sampun miranti, myang paran Belambang-
an.
(9) Dene dereng sumeweng mariki, nggen punapa arsa mbantu
ing prang, dhateng Maospait prajeng", pra dipati umatur,
"Nggih Biambangan pun adipati, pramila (k.460) boten
sowan, ing wartos misuwur, mangirub negari we tan, nggih
semangke pan arsa umadeg aji, angangkuh nagri Jawa.
(IO) Sedya purun anglawani jurit, tyang bang wetan Bandhung

Sidapeksa, ing Gendhung Ian Seruwunge, miwah Pejarakan
anut , Seiaurip keng nunggil kapti, sampun wonten Blam-
bangan, rug rumajong pupuh", dipati Trung myarsa duka,
dhawuhnya kras, "Nggeh sami pinagut jurit, kang baris
Beiambangan."
(11) Pan wus dadya rembag nglanggar jurit, pra dipati gya un-
dhang mring wadya, ngrempak Blambangan semangke, ke-
saru praptanipun, duta narpa Bintara gati, gandhek gya
tinimbalan, prapta kinen lungguh, mungging kursi pan
ajajar, ngarsa celak nunggil lawan pra dipati, dhawuh mating-
ken sastra.
346

I
-
(12) Lon tinampin kang pustaka aji, wus sinukma ijemaning
sastra, mangkana serat tembunge, "Pengetsun sang apra-
bu, Kangjeng Sultan Panata Gami, Natapraja Bintara, dha-
wuh areningsun , (k.461) ing Terung Sang Pecattandha,
kang tinenga bang wetan para dipati, wiyose sunweh wi-
kan.
(1 3) Yen saiki nagri Majapait, wis sunbedhah dene Jeng Ramen-
dra, mengkrat lawan kedhatone , sasirneng Rama Prabu ,
Yayi ingsun ingkang gumanti, jumeneng ratu Islam, wus
ngiden pra wiku, maneh ingsun kangen sira, suntimbali ba-
renga cundhaka mami, karyeng prang ya lirena.
(14) Saantuke telukan pasisir, ya gawanen seba mring Binta-
ra, Ian asung uninga maneh, pan wis utusan ingsun, mring
Blambangan dipati kalih, Tohjiwa Artadaya, kang wis padha
mlaku", siti surasaning sastra, sang dipati ing Terung pa-
rentah aglis, mring sagung pra dipatya.
(1 5) Kinen dandan karsa sowan aji, sang dipati ing tyas lang-
kung trustha, yen kadang wus madeg katong, dutanya raka
prabu, pinisalin dipunsangoni, wradin tyang catur dasa,
bingah turnya nuwun, ya ta wusnya predandanan, sang
dipati wu- (k.462) s riyek sarowang sami, gung bektan
wus tinata.
(16) Sigra budhal wau sang dipati, lawan sagung telukan sakir-
na, dulur selur gotongane , tengara myang gumuruh, lir
ombaknya kang jalanidi, muntap mijil wurahan , marga
bek supenuh, sa'llgking geng wadya lumampah, ambela-
bar angebeki wana wukir, jurang temahan rata.
( 17) Sampun lepas wau kang lumaris, adipati ing Terung se-
wadya, tan kinandha ing lampahe, kuneng gantya winu-
wus, pan warnanen duta nerpati, Tumenggung Artadaya,
lawan Ki Tumenggung, Tohjiwa sarowangira, para mantri
lampah golong Ian prajurit, tigang ewu gung wadya.
(18) Sampun prapta ing Blambangan nagri, sami mondhok sa-
jawining praja, kesaput dalu lampahe, nahan tya kang wi-

347

nuwus, Belambangan Sang Adipati, Siyunglaut sinewa,


karsa madeg ratu , bang wetan para dipatya, riyek rembag
wus datan suwaleng kapti, mestu nggen rna- (k.463) deg
nata.
( 19) Sedangunya tugur pra dipati, mangke myarsa lamun inging-
gahan, sangking Demak geng barise , dennyana tiyang Te-
rung, gaman prapta jawining nagri, dipati Pejarakan, Ian
dipati Badhung, Kedhung Seruwung pra samya, tur uninga
marang Siyunglaut aji, yen won ten mengsah prapta.
(20) Narpa baru gya siyaga aglis, asanengga sasikeping yuda,
nukup ing dalu karsane, wus miranti gung wadu, tigang
ewu sumekteng jurit, myang wadya sesuruhan, sanega akum-
pul , pan wus dadya sangang nembang, gung dedamel tan

ana tengara muni, daut latri sewadya .
(2 1) Sigra miyos ri sang baru aji, saking kitha gumer sagung
wadya, sangking geng wadya lampahe, ebek kang marga
penuh, pra sentana punggawa mantri, sumekta saastranya,
gambira tyas nggergut, pra dipati sesuruhan, mungging
ngarsa sewadya prayitneng westhi, sumreg ing lampahi-
ra.
(22) Byar raina lampahnya gli- (k.464) s prapti, njawi kitha
prenahe kang mengsah, tan laju kendel barise, kuneng ing-
kang winuwus, dutanira Demak nerpati, Tumenggung Ar-
tadaya , neng kuwon sewadu, manggusthi kelawan rowang,
Ki Tumenggung Artadaya ingkang karsi, anduta mawi
serat.
(23) Pan wus dadya kang kinon nulya glis, mring Blambangan
sareng prapteng marga, wrin kagyat kendel lampahe, yen
wonten baris agung, tyang Blambangan sumekteng jurit,
muntap ponang gegaman, cundhaka gya wangsul, wadya
Blambangan wrin surak, sarwi bendrong gurnat lir gelap
sakethi, gugub wadya Bintara.
(24) Langkung kagyat ginetak ing jurit, karepotan datan an-
tuk papan, ketlanjukan nggen makuwon, bingung tyas-
I

348

(
ira kuwur, driya nglaras wus nyipta pati, de mangke mang-
guh baya, wau Ki Tumenggung, Artadaya Ian Tohjiwa,
dahat merang ,yen datan nglawani jurit, mijil nembang teng-
ara.
(25) Bendhe a- (k.465) gor pinyarsa lir tangis, erak bengkak
saruni lir gerah, kadya keh mundur yudane, miyarsa ponang
mungsuh, yen tyang Demak tengara muni, manggregud sa-
reng mangsah, rame surak gumruh, gya sareng munya kang
sunap, lir glap ngampar wireng Bintara malesi, agenti long-
linongan.
(26) Ramening prang punglu pendah wresi, wadya Demak kathah
ingkang pejah, temah kasor ing jurite, pra wira sura riwut ,
pan kesangsang tikswara lungit, ing prang karoban la-
wan, kadhinginan laku, wau wadya ing Bintara, dennya
aprang dereng ngantya ngati-ati, nempuh prang ambek pe-
jah. /

(27) Lunaping sara atepung gathik, wong Bin~ara lawan Belam-


bangan, ngrok ngungkih tan ngeman layon, rame nga-
laga lumpur, paru wutah majaring-jaring, kongas arka
ludira, papan sarah ganjur, wus datan ana tinaha, sang-
king sami tuwuk dadar sihing gusti, tan ana ngeman
lena.
x (28) Magud mapan sami mrih pepulih, (k.466) mangrug braja
tan ana tinaha, masilih sudhat dhadhane, manuduk pyuh
pinupuh, carowang mungsuh, rok ruket uleng maganas,
lenggak ginak krukata acaruk sungit, mandhendha sireng
braja.
(29) Wong Blambangan tandhang ngidak wani, sami Ionge pra-
jurit kang pejah, wong wetan ngrobi tandhinge, tan welas
malah wuwuh, sura nggregut amonah getih, gumulung prap-
ta ngrempak, wong Bintara riwut, tanbuh mungsuh lawan
rowang, pengamuke wong Blambangan ngowak-awik, wong
Demak tetumpesan.
(30) Ki Tumenggung Artadaya lalis, Ian Tumenggung Tohjiwa
x kurang bener
349

palastra, dipati Gendhung mengsahe, lawan dipati Badhung,
Pejarakan ingkang nigani, mring Tumenggung Tohjiwa,
Artadaya lampus, Ian dipati Sidapeksa, wong Blam-
bangan ing prang sura angajrihi, dhadhal wadya Bin-
tara.
(31) Ingkang gesang mantuk nandhang kanin, (k.467) wong
, Blambangan kang unggul yudanya, mundur langkung cuwa
tyase, dene prangira klentu, tan wong Terung lawannya
jurit, Tumenggung Artadaya prenah pamanipun, Ian di-
pati Belambangan, Ki Tohjiwa Ian dipati prenah rayi, kalih
teluk Bintara.
(32) Enengena ingkang unggul jurit, kawuwusa mantri ing Bin-
tara kang mantuk kasor jurite, lumaku siyang dalu, gan-
cang lampah datan winarni, ing prajanira prapta, patih

kang jinujug, marengi ing dina Soma, Kangjeng Sultan pan
arsa miyos tinangkil, aglar ingkang sumewa.
(33) Sri narendra lenggah bangsal rukmi, mungging dhampar
kencana rinengga, pinatik ing retna abyor, lelemek kasur
bludru, rinenda mas isinya sari, tinon asri manglaras, inga-
yap pra arum, manggung dyah pelara-lara, sami ngampil
sagung upacareng aji, wama yu laras endah.

(34) Kyana Patih Wanasalam ngarsi, ngirid cundhukira (k.468)
sang dipatya, ing Trung ngaras pada rajeng, sang dipati
rinangkul, marang raka sri narapati, dwi sami onengira,
nata ngandika rum "Padha basuki reningwang antukira
• angrowangi marang mami" , kang rayi matur nembah .
(35) " Nggih wilujeng tuk pangestu aji, sagungipun dipati bang
wetan, sampun suyud cundhuk rajeng, amung Gondhung
Saruwung, Pejarakan Badhung dipati, suyud dhatang Blam-
bangan, ingkang dereng nungkul, katungkak wonten utusan,

dereng ngantos kawula ngrebaseng jurit, sampun nunggil
Blambangan."
(36) Sri narendra angandika aris, "lya uwis Yayi suntarima,
setya tuhonira mring ngong, samengko karsaningsun, si

350


·Blambangan sunsuprih becik, ingsun lagi utusan , mot ngla-
yang yen rembug, lamun ana karsaningwang, sunlilani nora
seba marang mami, nging ana kang sunpinta,
(37) ya kerise roro si di- (k.469) pati, dhapur Sengklat pusa-
kaning nata, ingsun kang duwe wajibe, yen lenggana sun-
pundhut, gampang lamun rinebut jurit," kang rayi matur
nembah, "lng panduka ulun, tan purun nut ing panduka,
trang ing wartos pan arsa umadeg aji, mangirub nagri we-
tan.
(38) lnggih lamun karsa panduka ji, ngagem dhuwung yasaning
ramendra, keng sampun murca tilare , prayogi kagem ratu,
yektos agem ramanta aji, Kyai Segantenwedang, inggih
namenipun , lun sumangga pandukendra, telungane amba
kang tan dados aji , nuwun ngempek kewala.
(39) Yen panduka lulus madeg aji, sinten ingkang purun dha-
teng amba, de ulun sentana rajeng" , ya ta dipati Terung,
dhuwung nulya ngaturken aji, sangking ing lambungira,
katur raka prabu, kang dhuwung sam pun ingasta, gya tinarik
langkung trustha galih aji, antuk pusakeng nata.
(40) Langkung asih mring (k.470) rayi dipati, sri narendra alon
angandika, "Yayi banget trimaningngong, tan bisa males
ingsun, marang sira Yayi dipati, darma sun dadi nata , sira
melu njunjung, barenga mukti Ian ingwang, muga sira tulusa
melu ngrenggani, amengku tanah Jawa."
(41) lngkang rayi tur nuwun wotsari, pra dipati manca kang
sumewa, sinamuciana mring katong, tur sembah sami nu-
wun , dereng dugi kesaru prapti, mantri kang nandhang
barana, prapta ngarsa prabu, umatur sarwi karuna, tur
upeksi tiwasnya tumenggung kalih, wadaya lit tetumpesan.
(42) Solahing -prang wus ngaturken sami, sri narendra akarya
sengkala, sinambungkan ing cacahe, gempuring Majalangu,
sima gempur aneng ing bumi, jenenge Artadaya , wau mati
ngranu, Ian Tohjiwa sinengkalan, neng turangga pra lena ing
jalanidi, sacandra kaotira.

351
(43) Ri wusira nata ngandika ris, marang rayi ing Terung di
patya, "Yayi para- (k471) nta .. karsane, prakara Siyung-
laut, pan wis nyata yen wani kami", kang rayi matur nembah,
"Yen pareng pukulun, kawula amit Iumampah, angiurugi
ing Blambangan pun dipati, kang mogok ing pandu-
ka."
(44) Raka narpa Ion ngandikeng rayi, "lya Yayi apa sakarsanta,

wong wetan adunen kabeh, tan nyangoni reningsun , mung


pangestu siameta Yayi, Iananga juritira", kang rayi tur
nuwun, Ion umajeng ngaras pada, sang dipati mring raka
rinangkul ririh, sarwi sinungan sotya,
(45) jumrut retna pengaos nyakethi, tri kembaran sampun ti-
nampenan, gya Iengser sing ngarsa rajeng, pra dipati nut
ujung, ngaras pada aganti-ganti, lengser sangking ngayunan,
luwaran -sang prabu, gya laju kondur ngedhatyan, wusen
malih kang lengser sing ngarsa aji, Dipati Pecattan-
dha,
(46) Lan serowang sagung pra dipati, tyas gambira sura ing ayuda,
sampun daud sewadyane, tenga- (k.472) ra myang gumuruh,
anglir kadya karengeng wyati, lepas ing lampahira, gantya

kang winuwus, warnanen sang sri pandhita, para wall bar
Jumungah prapta mesjid , kerigang Demak.
(47) Sagung wall matur Sunan Girl, "Seh Lemahbang yogi ti-
nimbalan, dene mogok ing srengate, anilar sarak rasul, Ia-
rangane pandhita wall, prayogi ingawisan, dimenipun anut,
netepi ujaring sarak", narpa Girl pethuk tyas utusan aglis,
nimbali kang nrus brangta.

(Ull ASMARADANA)
( 1) Santri Kodrat kang tinuding, nimbali Seh Sitijenar, Ma-
langsumirang rowange, sami murid kinuwasa, gancang ka-
lih lampahnya, ing sakedhap netra rawuh, gyan. mertapa
Sitijenar.
(2) Seh Lemahbang pan wus panggih, tapa aneng jroning gu-

352

wa, uluk salam duta karo, kang sung salam sinauran, sang-
king sajroning guwa, ponang duta malih muwus, "Pangran
pa- (k.473) nduka ngandikan."
(3j Sitijenar Ion nauri, "Pangran Lemahbang tan ana, ya mung
Allah neng guwane, sira duta ge muliha" , dwi gandhek
tyas tan duga, tanpa pamit nggennya mantuk, sakedhap
netra glis prapta,
(4) neng Demak umatur gusti, cluta kalih sareng pyama, "Sam-
pun lun ngutus wiyose, nirnbali Seh Sitijenar, lun pang-
gih wonten guwa, nunten uluk salam ulun , ndhawuhken
tirnbalan Tuwan.
(5) Sitijenar ngge mangsuli, 'Seh Lemahbang nora nana, mung
Allah neng jro guwane, nun ten ken del datan nebda" , ang-
ling Prabu Satmata, "Heh sira balia gupuh, undangen Allah
jro guwa."
(6) Mestu wangsul duta ka1ih, lengser sangking ing ayunan,
aglis prapta nggen guwane, ndhawuhaken kang tirnbalan,
"Tuwan Allah ngandikan" , Sitijenar aris muwus, "Tuwan
Allah wus tan ana.
(7) Sitijenar kang gumanti, duta sira amuliha", kang liningan
wangsu- (k474) 1 age , mring Bintara nulya prapta, matur
ring gustenira, "Sampun Gusti lun ingutus, nirnbali Allah

jro guwa.
(8) Kang wonten guwa mangsuli, 'Tuwan Allah wus tan ana,
Sitijenar gegentine', kawula kinen wangsula", ngandika
wiku narpa, "Balla maneh digupuh, undangen sekaro-

rura.
(9) Y a caruken diatiti, Tuwan Allah Sitijenar, dibisa bareng
lakune", duta sandika gya kentar, salampahira prapta, njawi
guwa laju matur, "Tuwan Allah Sitijenar,
(10) panduka ngandikan aglis, dhateng Sang Prabu Satmata" ,
Pangran Sitijenar age, mijil sangking jroning guwa, gya
kentar kering duta, ing masjid Bintara rawuh, pangguh
Ian Prabu Satmata.

353
(11) Jawab asta atur bekti, mring gung wali pinituwa, uluk sa-
tam mring kang anem, nulya sami tata lenggah, ngung para
pandhita, kang anem miwah kang sepuh, pepak samya
pakumpulan.
(12) Sunan Giri ngandika ris, mring (k.475) Pangeran Sitijenar
"Mila suntimbali mangke, Ian sagunge pra pandhita, nggeh
, sami musawarat, ambabara ingkang kawruh, disami ing ngel-

merura.
(13) Nulya Sunan Kali angling, mbabar pangawikanira, "Tegese
edat asmane, jumeneng murba misesa, Allah ing kelangge-
ngan , kang nguripi jagad agung, kaelokan ing Ywang Sukma."
( 13) Pangran Kudus nambung angling, medhar pangawikanira "Te-
gese edat tan katon , tanpa warna tan sat mata, amung Allah
kang mulya, amisesa uripipun, keng langgeng tan kenging
ewah."
(14) Sunan Benang ngandika ris, ambabar ing kawruhira, "Tege-
se iman uripe, kelawan nugrahaning Ywang, be lawan bisemi-
lah, puniku ing uripipun , mantep lawan basa swara."
(15) Pangran WPP: lpada angling, amedhar kang pangawikan,
"Mung sukma langgeng uripe , ing donya tekeng akherat,
langgeng tan kena (k.476) ngowah, amisesa tiring tuwuh,
kang mengkoni ing sejagad."
( 16) Sunan Giri nulya angling, ambabar pamirsanira, "Allah
urip sejatine, langgeng datan kena pejah, misesa ing sarira,
anglimputi jagad sagung, myang nglimputi sabuwana."
(17) Pangran Cerbon nambung angling, Ion mbabar ing kawruh-
ira, "Allah urip sejatine , tegesing dad ujud nglela, wujud
iku pan sukma, keng langgeng ing uripipun , kang nguripi
ing sej agad ,''
(18) Pangran geseng nambung angling, ambabar ing kawruhira ,
"Sukma langgeng ing uripe , nguripi jagad sakirna , sang-
king Allah kang murba, rasulullah warnenipun , paesan
m urba mise sa."
( 19) Pangran Geseng nambung angling, ambabar ing kawruhira ,
354

..
...
"Dhingin Mukhamad jatine, kang misesa sabuwana, ka1ih-
nya Gusti Allah, tiganipun dad kang luhur, murba misesa
ing j agad."
(_0) Seh Majagung nulya angling, amedhar pamirsanira, "Ing
dad langgeng ing (k.4 77) uripe , upami pan cering surya,
puniku cahya Allah, dadya cahya uripipun, kang langgeng
cahyaning Allah."
(2 1) Sunan Ngampel ngandika ris, amedhar pamirsanira, " So-
rating Allah jatine, makripat Allah enggennya , sukma mur-
. ba misesa , keng langgeng ing uripipun, anguripi ing seja-
gad."
(22) Seh Maulana Ion angling, amedhar pamirsanira, "Tegese
Allah jatine, pan ya iku dudu ika, ya iku Allah sukma , Mi-
sesa sejagad sagung, tan liya sukma wisesa."
(23) Pangran Lembang nebda aris, ambabar pamriksanira, "Nu-
graha jati nabine , ya dad kang sejati .. tunggal, lawan kang
jinatenan, sejatine guru iku , iya iku dading Allah."
(24) Sitijenar nambung angling medharken pangawruhira , "Te-
gese Allah jatine, sujud rukuk padhang Allah , sembah-si-
nembah Allah , nanging Allah jatenipun, jinatenan nama
Allah.
(25) (k.478) Kekalih kahanan tunggil, katelu-teluning tung-
gal, kawula lawan gustine, gustine dadi kawula , katelu dad
kahanan , tan liya Jeng Nabi Rasul, kahanane dad wise-
sa.
(26) Tan ana Allah kang yekti, mung kocap asma kewala, Allah
tan ana wujude, Mukhamad cahyaning Allah, nyatane nabi
Allah, Sitijenar gentenipun, nyatane gusti kawula. ,
(27) Yektine kawula gusti, tan ana rasa rumangsa , mung Si-
tijenar anak~ , tan ana roro angucap, pan amung Sitijenar,
langgeng urip ananipun , donya kherat datan liyan.
(28) Nadyan sarnining ngaurip, tan sanes Ian jeneng ingwang,
mapan sarni kahanane" , Jeng Sunan Giri ngandika, "Nggeh .
leres ing andika, nanging sampun dika wuwus, nyuwungke
355


mesjid ing Demak.
(29) Malah netepana ugi, jangjine wong olah sarak, sampun
epot jumu- (k.479) ngahe, mrih genge kang sami salat,
marang mesjid ing Demak", Sitijenar sru gumuyu, wuwuse
maido sarak.
(30) "Ki Lurah urip puniki, yen manggunga asembahyang, dadi
wong was mring dheweke, katungkul ing tata srengat, idhepe
ngangka-angka, ngelmine tyang jail rusuh, katungkul nggen-
nya memical .
(31) Yen tiyang narimbeng jati, jatine Gusti kawula, dados Allah
saparenge, tan wonten Allah sembahyang, Ian datan arsa
dhahar, tan nendra lameng tumuwuh, nging nguripi ing se-
jagad."
(32) Kanggeg tyas Jeng Sunan Girl, myarsa wuwus Sitijenar,
dene wus sami ciptane, Seh Mulana asru mojar, mring Pang-
ran Sitijenar, "Sira Allah temenipun, pa seca legaweng
patya.
(33) Pan wus precaya ing nabi, adege sarak sarengat, aneng donya
tanpa gawe, T-... wan Allah Sitijenar, yen katon aneng
donya, mesjid Demak mesthi su (k.480) wung, luwung mu-
liha ngakerat."

(34) Sitijenar mesem angling, "Pan ora njejampang iman, do-
nya kerat saenggone, kabeh pan ya darbek ingwang, kang
alus myang kang wadhag, karone kahanan ingsun, nora
liya ananingwang.
(35) Lah kantuna gung pra wall, sun mulih mring ngeski kha-
yat, wiyat dhangka sananingngong", Sitijenar neng gegana,
maya-maya katingal, manglong-manglong aneng pintu, pintu
swarga rahmating Ywang.
(36) Katon mancur lir Ywang Rawi, mancal sangking graning
arga, ujwalanya ting pencorot, gawok sagung kang tumingal,
Jeng Sunan Girl mojar, anguwuh salam kang mantuk , nauri
ngalekum salam.

I
356
-
(37) Sunan Girl nebda malih, "Manira nedha tilaran, kinarya
tilas wurine", nauri kang aneng swarga, "Nggeh mangke
bajuningwang, karyanen werananingsun, ja kaweieh sa-
pungkurwang."
(38) Gya ngu- (k.48I) ncalken sangking kori, rasukan dados
manungsa, Iir Sitijenar warnane, ngadhep sedhakep lir salat,
nging minggu datan nebda, Sunan Girl Ion nglingipun, marang
sang dipati Piembiang.
(39) "Sitijenar sagah muiih dhateng swarga saraganya, wekas-
an wangsui ragane, punika yogi kinisas", laju angganya
ngobar, Seh Muiana gya tumanduk, narik sepi sarwi mo-

. Jar.
(40) "Tumengaa mring wiyati, tumungkuia mring prataia, sam-
bata yoganta karo, tibane antakanira", Sitijenar pinedhang,
kadya tatas jajanipun, Sitijenar nging tan pasah.
(4I) Pinedhang malih tan titis, kadya wayangan pinedhang,
Ian tan ana suwarane, wantya-wantya sru pinedhang, arne-
sa datan pasah, Seh Mulana asru muwus, "Kurang setya
Sitijenar.
(42) Sanggupe Iegaweng pati, pan uga njejampang iman, dene
tan mati ana- (k.482) ne, Ian tan pasah dening braja, lir
mretabating setan, anggegodha karyanipun", Sitijenar nuiya
pasah.
(43) Tatu jaja nguwir-uwir, nging teksih ngadeg lir gana, Seh
Mulana kras wuwuse, "Iku tatune wong apa, nora ngang-
go ludira", nuly2. kanin mijil marus, Seh Mulana malih
nebda.
(44) "Dadi Iumrah jalma kanin, mijil ludirane abang, dudu kwu-
la Ian gustine", nuiya santun kang Iudira, mijil ludira se-
ta, Seh Mulana malih muwus, "Dene lir Patinging wrek-
sa.
(45) Madeg mijil tlutuh putih, yen benere wong sampurna, rna-
nut tekan saragane, dadine pan ora pisah, gusti lawan ka-


--
357
ula ksana kang layon ambruk mbaskara nggenira seda.
4 S h aulana kang kani ka.rya gelaring sa.rengat gya ngam-
bil pathak gawon, srenggala Kudu kinarya lintun Siti-
jenar kang pin, dhang griwanipun binal - k.483 b t
kinop ahan.
47 ineblat gun1uling siti mungging serambi kin pang tinona-
ken ing ong "eh in rtakken ingkang do a~ Sitijenar
yektin a. mun ur marang rak ra ul rna ide dadi r n -
gal .
4 fi uwur jronin nagri. yen Pangeran Sitijenar, kinisa
dadi ga on gilang-gilang tatu jangga sekabat Sitijenar.
anen wana angon edhu , tengrann a lonthanasmara.
49 u trang ngg n mi ar arti en guronira kinisas. kunar-
pa dadi a on i Lonthang atilar menda luma u gegan ..
can an, prapta ngarsa ru muwu ''AJiah k ri usulena
50 marang Pangran guru mami. mayo aja kelayatan ing un
Allah angon emp Seh lulana sru b manty . a narik
kan jarnbiya Ki Lonthang pinedhang asru tibeng angga
nguji at.
unggang p ut nir tan k ksi imane ating- k.484) al
alam gun _ mulat ga ok njomblong, au kang kinarya
. lar r nggala gya lin mpar eksana bin mi ampun
1 ima d ning dahana~

5 Sa irep ponang agni gya wonten s ara kapyarsa mang·


kan ujar waran ' H h sagun pra pandhita alah gawe
tumitah ong wiku- ikuning t lu~ putih ka oran reta.
53) A a u ah kang k ri ing benjang pemale ing ang bu t
angg hing k raton kang mrih ru ak wali ollah lamun b n-
jang ntaram angalih puraning ratu, yen ana ratu g ng
brangta.
54 alelana andon jurit ing kono pemal ingwang lamun pa-
dha tambuh mring ngon ingsun putraning pandhita Resi
Busu ing arga S randhil pertapanipun, sun k neng upa-

35
teng danna.
5) dadi cacing lur wa1< mami binuwang Krendhawahana awor
lempung angganingngong tuk ngapura dening Sukn1a. k .
485) mulya jatining jaln1a itij nar a.raning un i padha
k ria 1 lam.
56 u dangu datan kap arsi SU\\•ara kang asung wikan. ya
ta malih tni.Tao . agung in an pra pandruta m arsa
ngungun ing dri a ~ Sitij nar soraltipun. jaba riyah sam-
puma.
7) engna gantya kang inami wuwu en gri B larnbangan
kang baru umad g rajeng man a Ia a asanen a. ngum-
pulk n pra dipa a tan sagung pungga anipun. nggu tharsa
yuda k naka.

I gandika ri Belambangan "' a. a p ran Ji mbugira ga-


patih. prakara dipati T run . n alan i karsanin ang~ pra
dipati pasi ir kab h ingirub . umatur Rek ana Pat a · ggih
luwung ginitik jurit.
_ Bokmena i nunt n ng rda mb ba ani n nganthi prn di-
pati. p isir lor manca gung nggih mumpung d ~ ng prap-
ta, anglurugi dhumat ng panduka Prabu narpa Siyun Ion
man bda k .4 , nan tun marang pra di ti .
3 ggih sak h nak in ang pra dipati punapa ngrem-
bagi ~ prakawi dipati T rung, arsa unlanggar ing prang.
sampun kanto uda krun1i inan laku . umatur para dipatya
· a ula ndh r k pra ogi.
4 ggih punapa inganto an. pra dipati bot n ingab n jurit.
amapag dipati 1i run ingkang sampun mbal Ia dhaten
angjeng Sri ar ndra ajalangu ~ milan m ngkrat in
pur:a ing T rung n apu i jurit.
5) Sagah nyepeng tyang Bintarn~ u anan a men ni a un
margi prajurit tan n aben pupuh Dipati atapraja pan ing

59
mangke rinojong dipati Terung, madeg ratu gama Islam ,
nggempur nagri Maospait."
(6) Kesaru pecambeng prapta, tur uninga yen wonten mengsah
prapti, pengageng dipati Terung, langkung geng dedamel-
nya, pra dipati pasisir kerig sewadu, gugup rajeng Belambang-
an, gya nembang tengara jurit.
(7) Tumandang amepa- (~.487) k wadya, ngalun-alun mbelabar
gung prajurit, sagung manca kang wus suyud, baris marga

sumahab, ambelabar prajurit sajuru-juru, miwah wadya

Belambangan, neng alun-alun miranti .
(8) Kuneng ingkang baris kitha, pan warnanen ing Terung sang
dipati, njawi kitha baris kumpul, myang sagung manca
nagra, Ian pasisir miranti saastreng pupuh, ing Terung sang
adipatya, kang minangka pramugari.
- (9) Gya dhawuh mbudhalken wadya, tengran gurnang sawenang
mlingi wyati, sreseging warastra wetus, wor pangriking
turangga, busana bra maneka warna dinulu, abra lumrang
tara rimang, nggregud wadya surengjurit .

( 10) Pra dipati Ian sewadya, manjing praja prapta nggen meng-
• sah keksi, sang dipati dhawuh wadu, kinen 1aju nempuha,
sareng bendrong kukusing kucika limut, kang punglu apen-

dah wresa, susurak lir karengeng 1angit.
( 11) Mamuk kang para dipatya, tindhih wadya umaJ!gS~ go- (k.
488) long pipis, sami nusup tikswaning hru, tandang andaka
tawan, ngundha watang mati malodra manggregud, madhen-
dha masireng braja, ngludira mangowak-awik.
(12) lng aprang ngerobi lawan, wong Blambangan temah kathah
kang lalis, tyang Badhung Kedhung Seruwung, Ian wadya
Pejarakan, bandayuda Sidapeksa wus lumayu, miwah wadya
Prabalingga, nut dhadhallumayu wingwrin.
(13) Angraos karoban lawan, rowangira wus kathah ingkang lalis,
kesusu ing prang kabutuh, tanbuh nggennya ngungsia, ngalor
ngidul kapengkok barising mungsuh, sasisane ingkang pejah,

360
nemah samya anut balik.
(14) Panggedhene langkung merang, sesingidan anyamar wor
pekathik, playonira rebut dhucung, geger wadya Blambang-
an, sami kaget ginitik ing mengsah ngepruk, sareng campuh
ing ayuda, neng lun-alun rame jurit.
(15) Panggah wadya Belambangan, wireng Terung mangsah ma-
ngidak wani, wong (k.489) Blambangan tumpes larud, ke-
roban lawan ing prang, ngalun-alun atemah segara marus,
asarah wukir kepala, alumu t lelayu hiring.
( 16) Paglaran wus tan na jalma, wong Blam bangan sajuga tan na
mijil, ya ta sang dipati Terung, lawan para dipatya, tedhak
kuda adharat manjing kedhatun, ingiring sentana wadya,
kang sami prawirengjurit.
(17) Warnanen kang aneng pura, narpa Siyung kelawan Kyana
Patih, mempen datan arsa magud, de kanthinya keh lena,
weneh mbolos ing Badhung Kedhung Saruwung, Pajarakan
Prabalingga, myang Sidapeksa ngoncati.
(18) Nglir biyuntu anglesira, sri Blambangan tansah prayitneng
purl, Ian Kya Patih neng kedhatun, dwi samya kewran
driya, Kyana Patih matur marang prabonipun, ngaturan
mbelani wadya, laju anempuh ajurit.
( 19) Nging Siyunglaut tan arsa, de langkung jrih kawus uningeng
getih, duk ngungak prang ngalun-alun, wu- (k.490) s engga
samodra rah, kamigilan tyasira Sang Siyunglaut, tan arsa
miyosi yuda, Ki Patih pegel kang ati.
(20) Dennya matur tan dhinahar, awusana tyas muring ngucap
wengis, "Heh ta Prabu Siyunglaut, kaya wong kesurupan,
de kumenthus ndadak arsa dadi ratu, sanggup ngadu marang
bala, temah ngapirani dasih.
(21) Apa wurung mati sira, pan gumendhung angangkuh ing rat
Jawi, balane wus sima lampus, ratu tan wani perang, nora
wurung sira mati lawan ingsun", Kya Patih nudingi asta,
sang nata tinantang jurit.

361
(22) Sri Siyunglaut bettnantya, nyat umangsah pan sarwi narik
keris, Patih Cluring gya sinuduk, jaja nrus ing wa1ikat, patih
enget gancang gennya ngrebat dhuwung, Siyunglaut linari-
han, sampyuh kalih sareng lalis.

(23) IG Patih lawan sang nata, kang kunarpa sami gumuling siti,
sang dyah prameswari ndulu, lamun kang raka seda, la-
(k.491) wan patih druwala suduk-sinuduk, sang dyah tan-
bub solahira, klara-lara nggennya nangis.
(24) Kesaru ing rawuhira, sang dipati ing Terung manjing puri,
ginerbeg pratiwa sagung, saba wadya sumahab, sang dipati
sapraptanireng kedhatun, tan wonten kang methuk yuda,
gya uning mengsahnya lalis.
(25) Kekalih gumuling kisma, lawan patih sami atatu keris, sang
dipati ngandika rum, marang dyah prameswara, "Napa pur-
wa palastra Ki Siyunglaut, dene sami tatu jaja, Ian patih
sarengnya lalis."
(26) Matur sang dyah prameswara, ngaturaken solahireng nge-
masi, ing purwa ngaturken sampun, marang sang adipatya,
sakelangkung sang dipati tyasnya ngungun, de keng meng-
sah sampun lena, druwala lawan pepatih.
(27) Dadya Ki Patih katrima, dene adreng Ki Patih ogajak jurit,
·mangke Ki Patih kang sunu, pinundhut kinen magang, wong
Bla- (k.492) mbangan sedaya wus kinen nungkul, marang
prabu ing Bin tara, binoyong dyah prameswari.
(28) Saisine ing jro pura, pinundhutan kang badhe katur aji, Ian
wasiyat Siyunglaut, kembar dhapur sengkelat, wus pinun-
dhut marang sang dipati Terung, wusnya makuwon sewadya,
ngantya dugi tigang latri.
(29) Nulya dhawuh berdandanan, arsa kondur .mring . Demak
cundhuk aji, ngaturken boyonganipun, miwah branajarahan,
winedalken brana sangking jro kedhatun, winot ngrembat
myang gotongan, grobag glindhing myang turanggi.
(30) Sang dipati gya paren tah, pra dipati pasisir pan pinalih, ki-

362

-
nen njarahi mring Badhung , myang dhateng Pejarakan,
Sidapeksa kelawan Kedhung Saruwung, tenapi mring Praba-
lingga, sepa1ih ingkang umiring.
(31) Kang kantun para dipatya, nata bektan marang Demak umi-
ring, mring tindak dipati Terung, semangke wus sanengga,
sang dipatt (k.493) gya budhal sewadya kebut, sangking
nagri Belambangan, sumrek wadya kang lumaris.
{32) Ginelak lampahing wadya, pan wus lepas neng marga tan
winarni, nagri Bintara glis rawuh, katur marang narendra,
tinimbDlan wus tekap byantara prabu, gya mangsah mangus-
weng pad·a, wusnya lenggah awotsari.
(33) Sang nata anamudana, mring kang prapta nembah nuwun
kang rayi, Ion matur dipati Terung, ngaturken reh dinuta,
ing prang unggul tuk boyongan Ian brana gung, lawan warni
bebandhangan, dhuwung pusaka keka1ih,
(34) kembar keng dhapur sengkelat, gya ingasta marang raka
nerpati, sang nata trustha kelangkung, ngaturan kang pu-
saka, tinarima nata nglembana kelangkung, marang rayi Pe-
cattandha, de senggantuk kang kenya di.
(35) Dugi eneng kalihira, mring kang rayi gya kinen ngaso sami,
marang ing pakuwonipun, sedaya pra dipatya, awot sekar
' lengser sangking ngarsa prabu, wus mi- (k.494) jil sekaring
pur~, sri nata jengkar tinangkil.

LV SINOM
'

(1) Sami manggen mring pondhokan, sagunge para dipati, putra-


nya Sang Pecattandha, kenya

yu pinundhut aji, tinnrimak-

ken sang dewi, dhaub lawan Pangran Kudus, pinangku mring


narendra, Pangeran jinunjung singgih, juluk sunan pinaringan
songsong gilap.
(2) Mangkya nuju dina Soma, pakumpulan gung pra wall, Kang-
jeng Sultan ing Bin tara, wus jejeg ngrenggani nagri, pra wall
angideni, juluk Senapati Jimbun, Panembahan Palembang,

363
ing mangke jinunjung aji, wus mupakat gung dipati tanah
Jawa.
(3) Semangke Ki Wanapala, atmanya jinunjung patih, sinung
ran Patih Mangkurat, Wanapala sinung mukti, sangkirig kar-
sanya aji, tetep ngabekti Ywang Agung, mituwa nagri De-
mak, mong putra ngrenggani patih, wicekseng tyas Sang
Mangkurat bundheling rat.
(4) Malih kar- (k.495) sanya narendra, muridnya Jeng Sunan
Kali, Iman Semantri semangkya, pan sampun sinungan muk-
ti, lenggah niyaka mukmin, ngembani gung para wiku, saklir
lukiteng karya, Sang Semantri kang ngoreni, Kyageng Sela
wus sinung sih mring narendra.
(5) Tarub Sela dadya lenggah, linuputken karyeng nagri, luput
bulu bekti karya, myang sanese sampun wradin, wadya
kang sahit jurit, warise wus sinung lungguh, dugi karsa
narendra, nggenira andum kamuktin, myang gung wadya
kang tugur wus kinen luwar.
(6) Sang Dipati Pecattandha, wus kalilan mantuk nagri, ben-
dhenira Kyai Macan, karsa pinaringken siwi, Sunan Kudus
nampeni, tyasnya langkung trusthanipun, maJih kang wi-
nurcita, Jeng Ratu Andarawati, putri Cempa nguni garwa
Brawijaya.
(7) Samengkratnya raka narpa, sareng Ian bedhaJring nagri,
tinawan marang Bintara, tinrimakken sang lir (k.496) suji,
tuk Pangran Kudus nguni, nging Dyah wus kepareng sepuh,
wonten Benang gya seda, sinare Karangkumuning, wonten
malih wong agung kang ginupita.
(8) Putra narpa Brawijaya, ngran Radyan Bondhanserati, sa-
kendranya sangking praja, amung lawan kadang siwi, neng
Argakidul prapti, laju Radyan adhedhukuh, alas Ngrejek
binabad, ginentha dalemnya dadi, papan banar tlatarnya

saengga praJa.
(9) Dasih lama kathah prapta, miranti sikeping jurit, dyan
dhawuh sentana wadya, karsanya sumulih darmi, juluk

364
Brawijaya ji, madeg baris Ngardikidul, dyan karsa nekung
cipta, neng sawargen manting dhiri, kang pininta mring
darma waris narendra.
(10) Kapyarsa mring para kadang, ing Mandura sang dipati, ri
Bethara Katong miwah, Ian Arya Jaranpanolih, k atri trang
kang pawarti, yen ri baris Ngardikidul, saeka nusul samya,
prapta ngarga pan wus panggih, tata oneng myang me- (k .

497) sru nggen sulih danna


( 11) Lembupeteng sang dipatya, ing mangkya enget ing galih,
lamun rayi dereng Islam, dadya ajrih mring pra wali, sang
katri rembag tunggil, rayi kinen gama rasul, dadya sawe-
ceng kadang, nging rayi dahat tan apti, weceng kadang tan
arsa san tun agama.
( 12) Driyestu senengan karsa , satemah selayeng karsi, sang dipati
tiga samya, kanggeg wande mbantu jurit, katri wus rem-
bag tunggil, sangking ngarga ngles ing dalu, sewadya mantuk
praja, ing wuri winarna malih, narpa putra kang tinilar le-
geg tyasnya.
( 13) Ngraos kaduwung ing karsa, gya ngeja praptaning lalis , gung
dasih kinen sanengga, sakeh wreksa ingkang aking, prapta
ngundhung lir wukir, dhawuh kinon nunu sampun, dahana
' makan wreksa, mubal bahning angajrihi, wayah ngisa sulak-

nya saengga nna.
(14) Narpatma myat nir wikarsa, ninging cipta wus kalingling,
tan samar Ian dewanira, kang bahning rinasuk a- (k.498 )
glis, mragalba angganya nir, pawaka nggreng gumaludhug,
pratandha trah kusuma, samodrardi angunnati, ting jalegur
jalmeng rat nyaneng kiyamat.
( 15) Dangu sirep kang dahana, kadang putra marepeki, tabet
bahning cinokeran, bresih awu tosan keksi, kadang putra
ngukupi, wiji-wijinya wus pangguh, winilis tan na )..lang,
mungging pengaron menuhi, rayi putra karuna tan burt karsa-
nya.

365

--
(16) Rembag pinernah neng sawar, gya tumandang kadang siwi,
Ion nginggahken marang arga, prapta cinandhak respati,
sinidikara aglis, wusira gya sami tumrun, l~u arebat paran,
Dyan Baribin dhateng Wungking, para garwa mring Paker

pangungsenrra.
(17) Kantun Radyan Wanatara, lan rayi tyasira kingkin, dangu
minggu datan nebda, Dyan Wanabaya ngaturi, kentara sang-
king wukir, raka pethuk gya manglangut, ngaler ngilen
tindaknya, kandheg Giring sang a- (k.499) kalih, karsa
dhekah wana Giring binabadan.
( 18) Kang rayi mangke tan arsa, yen nunggil amangun teki, kedah
arsa alelana, anut ciptanireng karsi, mring raka nuwun amit,
kalilan dyan nulya laju, kentar mangayam alas, wus tan ana
bayeng keksi, wangsul ngidul dyan prapta tepining sagra.
( 19) Dangu kuliling neng arga, dyan min yak ngupadya margi,
prapta Guwalangse Radyan, mragalba mring guwa aglis,
prapta jro manting dhiri, antuk sapta dina sampun, tan
keksi dhahar nendra, gya danna ji anedhaki, asung jarwa
ngalela tan keksi warna.
(20) "Heh ta Kaki Wanabaya, kentara sing guwa null, mangulona
. nut samodra, njujuga wetaning Pragi, na tegal raning Mangir,
babaden karyanen dhukuh, kono dadi jalaran, Ian rnintaa
mring Ywang Widi, benjang sira antuk braja lqJNih endah.
(21) Tur mijil sing kodrating Ywang", wusnya sima tanka- (k.
500) pyarsi, kagyat wungu mijil Radyan, gya linggar sing
guwa lari, nut tepi parang curl, kang mandaya pyak mangi-
dul, dadya tan ngambah tirta, wus kawuri marga sungil,
Radyan myarsa Parangtelor resep mulat.
(22) Sarut tirah ing samodra, giglag kadya densaponi, myang
jalma kang nyirat tirta, wola-wali pating sliri, jalestri tanpa
wills, lir tyang nyambut karyeng ratu, neng jroning praja
"'Uja, gumatel wancining rawi, jalma nyirat saya wewah da-
trul... suda.
(23) Wau ._+a Dyan Wanabaya, kang tindak tepining tasik, tansah
.

366

-

mangu resep mulat, wrin solahe sagung jalmi, Ion laju sang
apekik, ngilen prapta Limanmungkur, kendel malih dyan
lumyat, solahing rob kang jaladri, mawaJikan muncratnya
1ir arga ben tar.
(24) Tumempuh mring Parangliman, lir gurnada campuh jurit,
kang swara gumer gumentar, nglir gora wrayang mrih pati,
Radyan kacaryan ngeksi, Ion laju satindak mangu, (k. 501 )
pan kadya ngambah pura, neng plataran Maospait, dyan
kumembeng kemengan neng praja arja.
(25) Myang solahe jalma nyirat, sengkutnya nggen ngambil wa-
rih, lir jalma pinerdi karya, nglampahi pakaryeng gusti,
amangun kang pura di, myang kang ngambil mina ngranu,
mangrumbah aneng palwa, mangsahnya lir numpak wajik,
lincek-lincek lir kuda kinarung jalma.
(26) Tinempuh ngalun lumarap , solahira ngraspateni, tinon
ngentrag amendhapan, lir semuwan ing praja di, nglun-
alun kiter wajik, laju watang nander mamprung, pan sarwi
musthi sara, wus lepas datan kaeksi, Radyan saya kegagas
keraseng driya.
(27) Wus dangu Dyan Wanabaya, kuliling tepining tasik, prap-
ta sawanganing Opak, nuju pepet lining kali, labet, penu-
han wedhi, tirta wantah datan tempur, kelawan toyeng
sagra, dadya Radyan antuk margi, tan wikara nggennya
napak neng suwangan.
(28) Laju tindak ngudaya- (k. 502) na, glis prapta sawangan
Pragi, gya kendel tindaknya Radyan, mulat marang tirta
rawi, keh jalma sami ngambil, mina neng rawa asengkut,
mawarna kang bedhama, jala anco seser sundhit, dyan mer-
peki mring jalma kang ngam bil mina.
(29) "Heh Sanak manira tanya, pundi tegal keng ran Mangir",
kang tinanya Ion saweca, "Nggir ler punika kang keksi,
tegil kiduling Pragi, saelere dhusun gung", laju Dyan Wa-
nabaya, prapta kang sinedya karsi, laju babat wus lami pan
dadya dhekah.

367

(30) Dyan ambek apalamarta, wigya mikat tyasing jalmi, kalo-


ka mring manca desa, keh jalma kang prapta asih, nut ba-
bat asesabin, temah aija dyan kang dhukuh, dugi lama
wus krama, wijil Juwana sang dewi, pan cinendhak ing
kandha wus darbe putra,
(31) juga kakung wus diwasa, ram a ibu langkung asih, ingugung
sakarsanira, Radyan limpat tyasnya wegig, gung sastra wus
undhagi, sandi (k. 503) myang kawinya putus, mangke
prapteng diwasa, kinramakken sang apekik, antuk Bocor
kang dadya gandhangan garwa.

(LVI DHANDHANGGULA)
( 1) Tan ginustha rengganing akrami, dugi penggih atut kang
temantyan, rama ibu trustha anon, lami nggen among sunu,
embah arja dhukuh ing Mangir, Ki Ageng enget ing tyas,
nguni swareng dhawuh, mangke arsa lineksanan, mangun
tapa timbula waris nerpati, putra pinuja mantra.
(2) Dadya amit marang garwa siwi, jinarwanan salire kang
karsa, sarya kinen tut sekaron, myang amrih arjeng dhu-
kuh, aywa karya rengating jahni, kang putra mestu seb-
da, karseng rama jumrung, Kyageng wusnya jarweng pu-
tra, sigra linggar sing dhukuh Ki Ageng Mangir, alepas lam-
pahira.
(3) Tan winarna marga kang lumaris, gancang prapta sukuni-
reng arga, Kyageng mangke ing karsane, plawangan kang
tinuju, dugya ingkang sinedya karsi, laju amangun tapa,
me- (k. 504) minteng dewa gung, mangkya Kyageng santun
asma, ajejuluk Sang Begawan Gunturgeni, nengna gantya
kinandha.
(4) Jeng Sesunan ing Kali winarni, kang ngasrama aneng Kali-
jaga, dugi dennya mong putrane, Mas Adi ngraning sunu,
duk ing nguni Jeng Sunan Kali, jarwa mit marang garwa,
karsanya manglangut, nganglang dhateng jagad Mekah, ing-

368
kang putra tinilar duk meksih alit, semangke wus diwa-
sa,
(5) sanget methah mring ibu sang pekik, amit nusul sudarma
mring Mekah, tan kenging ngampah karsane, dyan meksa
amit nusul, ingkang ibu dadya nglegani, putra wus si-
nangonan, lawan sabatipun, dene ta ingkang binekta, sa-
hat kalih nguni ingkang sinung wangsit, Mas Adi amit nem-
bah.
(6) Sampun kentar sangking Pulo Upih, Dyan Mas Adi lepas
lampahira, prapta ing Pulo Merake, anulya dyan kapethuk,
Ian wa Sunan Benang sang yogi, sang wiku da- (k. 505)
tan samar, mring warna kang sunu, wusana alon ngandi-
ka, "Sira bayi kentannu arsa ngulati, anusul ramanira,
(7) marang Arab ramanta wus mulih, lagi kampir aneng nagri
Demak, amangun serambi gedhe, balia sira bagus, ngur
ngajia neng Demak mesjid, bisa pangguh ramanta", Jeng
Sunan gya laju, sakedhap wus tan katingal, Dyan Mas Adi
kang kantun arsa nututi, marang Jeng Sunan Benang.
"
(8) Sabat kalih neng wuri nututi, lampahira pan katiwang-ti-
wang, marang ing Demak karsane, neng marga tan winu-
wus, gancang prapta Bintara mesjid, tekap ngarseng Jeng
Sunan, Wujil jajar lungguh, Jeng Sunan medharken wulang,
santri Adi winulang sareng lan Wujil, sang wiku lon ngandika.
(9) "Jebeng roro sira sunjarwani, ja katungkul sira ngolah sas-
tra, kang mungging papan tulise, Jawa Arab ya iku, yen gi-
nugu angapirani, lamun tanpa tuduhan, tungkul melang-
melung, a- (k. 506) ngur baya teturona, sangking tan wruh
dunung sastra Arab Jawi, kang wus tumrap ingjiwa.
(I 0) Lawan maning J ebeng sunpepeling, diwaspada jatining
agesang, kanthine kantha sekuthon, diwrin weraneng ka-
yun, ditetela dipunketali, andulu daloning Ia, lila ja ka-
lulun, lulutan jarwaning jiwa, raganira ja grago ndulu grani
tis, ja karem pekareman.

369

(11) Remen ingkang tulis manilasi, nanging Tuwan tiwas datan


awas, kalunta temah 1akune, tan bara kang binuru, barang
wurung kadi wong baring, barundhul smari mara, marem
yen wrin dunung, dununge nayuti miyat, pesa ngeksi ka-
wiled saliring luwih, sakweh ya wahyu wiyang.
( 12) Wiyang kawayang wuyung kawaying, wuyunging wuyung-
yung yun kayangan, tan ngrasa ngresayeng tyase, ing tyas
teles tan tulus, anglulusi ujaring tulis, suraseng tulis telas,
sarake kesaruk, kabotan boboting nisbat, batollahi sejati
tinuju pakti, (k. 507) ati jiti tinata."
(13) Murid k alih ing tyas datan titis, mati titir labet tinuturan,
mring kang tinular nalare, lari-lari tyas kleru, liru laras mang-
laras liring, manglurah liring laras, larase tinurut, nurut
amor anarima, amorana anor raga ragi-ragi, karegon raga-
.
nrra.
( 14) Raganira gragon nging tan gigrig, pesa neges mrih gagrag
kusika, kusika siking sakehe, sakehe nglampah .lampus~
kang jinangka minangka nangkis, nangkis aijeng nakirah~
sinamun manekung, manekung maningkem nalar, na-
nging datan tumingal larasing dalil, nuli-nuli nut ing
rat.
( 15) Yen tinutur neter nitir-nitir, amasak warna l!)angsa ram-
punga, kesalahan ing solahe, ing tyas pepes pinupus, sin-
rahaken marang kang kardi, kang mengku samak basar,
kalam myang khayat nur, semana ingkang carita, duk Sang
Wujil winulang guru sang yogi, Ian Mas Adi neng Benang.
(16) (k. 508) Kalih nyuwun jarwa ngelmu suci, miwah sagung
ingkang rasa purba, myang ngelmine ing keraton, dugi se-
dasa taun, nggen merwita marang sang yogi, nguni keka-
sihira, nateng Majalangu, wus putus sandining sastra, mi-
lanipun kedah wrin ngelmi ginaib, purwa pungkasing ge-
sang.
( 17) Sakelangkung nggennya aminta sih, Dyan Mas Adi Ian Wu-
jil neng ngarsa, sarwi ngenorken jiwane, nembah manga-

370
ras suku, Jeng Sesunan nebda paring wrin, suruping jati
wenang, pungkasing lor kidul, suruling raditya wulan, re-
ming netra kelawan suruping pati, kendran ing roh Ian ja-
sat.
( 18) Suruping arka gantyaning latri, Sang Awujil gya nuntum-
ken wreksa, bedhiyan aneng dagane, ing pretapan sang
wiku, ngujung tepi ing waudadi, aran dhukuh ing Benang,
saha sonya sam un, agalang tan ana pelang:- curi tawing
byaking samodra neng wuri , parang gung aseluman.
( 19) Sang awiku angandika Wujil, "Heh (k. 5 09 ) ta Wujil dipe-
pareng ngarsa", mangsah ngelus kekucire, dangu ingelus-
elus, tiniban sih ing sebda wingit, " Ya Wuj il n1it uhua, mring
sesmintaningsun, lamun sira kalebua, neng jro nraka ya
sun dhewe kang ngandhemi, aja wong kay a sira."
(20) Wujil matur nembah anuwun sih, " Boten saged Gusti mang-
sulana, dennya asih mring dasihe , sampun panduka kalbu,
Gusti luwung dasih pun Wujil , klebeta wonten nraka, nggih
namungna ulun", semana sampun praseca, guru sabat wus
datan selayeng kapti, kapti saeka cipta.
(2 1) J eng Sesunan angandika malih, "Porn a J ebeng sira dipra-
yitna, ing daJem sekarat tembe, akeh warna kadulu, aja age
sira tut wuri, yen ta durung katekan , paesan kang tuhu,
' aja sira nggugu swara, lamun teka ingkang cahya wening,
pan meksih manca baya.
(22) lku meksih kebawur ing eblis, penggawene nj ajah lanato-
llah, ngridhu marang ing dhe- (k. 51 0) weke, muiane ya
diemut, aja pegat nggenira dhikir, dimantheng jro driya-
nya, aja kongsi klimput , temahane nemu sasar, diprayitna
yen sakaratil maoti, mesthi ana kang nggawa.
(23) Dinastiti mrih waluyeng pati, aja kengsi Jebeng nem u sa-
sar, temah ruhara sukmane, separan-paran nglangut, kadi
kinjeng nir netra kalih, poma Jebeng diyitna, pemantheng-
ing kalbu, dibisa katon satmata, sinaua njumbuhken rasa
ciptaning, drapon dadi tuladha .

371

• • - . -·

(24) Dikaesthi sampurnaning pati, wong agesang tan wurung pra-
laya, yen mati nyang ndi parane, saengga peksi mabur, me-
sat sangkin_g kurungan nguni, ngendi pencoking benjang,
aja nganti kleru, upama patraping donya, wong sesanjan
yen suwe tan wurung mulih, mumpung nom ngawruhana.
(25) Kaya paran n.g gonira ngawruhi, tan karuwan tanah prenah-
ira, Kitab Quran suwung bae, kapg marang Me- (k. 511) kah
nglangut, ujar iku kang diulati, tan tutur datan warah , Je-
beng prenahipun, ya Allah kang karya marga, mring ma-
nungsa sapa ingkang teki-teki, Allah ya paring wikan.
(26) Yen tan bisa angawruhi, upamane lir celeng kobaran, i-
reng tur jeleh netrane, dhapur lir reca budhur, bisa nga-
ji tan wruh ing lapil, pamane wong dribika, bibisane mung
nungkul, maneh basan kaya menda, pitik piler berundhu1
saba neng ·warih, ngawang sarahing berak. ..
(27) Jebeng iya manungsa duk nguni, pan kinarya karsaning
Ywang Sukma, nalika tapel ginavt'e, kehira apan catur,
kinumpulken dadi sawiji, bwni geni Ian tirta, angin jang-
kep catur, pan wus karsaning Ywang Sukma, pinaringan
nugraha dening Ywang Widi, dinadekken manungsa.
(28) Sipat papat paringaning Widi, jaman kalal jalal miwah ka-
har, iku sawiji-wijine, dene bubuhanipun sipat siji kalih
prekawis, kang aran sipat ja (k. 512) lal, ~u tegesipun,
manungsa nom dadi tuwa, sebab iku kedadean seka bumi,
mula nom dadi tuwa.
(29) Pan manungsa padha andarbeni, kuwat miwah apesing sa-
rira, seka geni ya asale, pepak Ian sonyanipun, sebab iku
aslining angin, kanepson lawan sabar, wiji sekang ranu,
pramila dipunwaspada, aja kongsi kalimput nggenira nges-
thi, derapon aja samar.
(30) De manungsa kang wus sinung eling, mesthi bisa nyampur-
nakken coba, nyingkirken begalan kabeh, apan ta dudu
iku, kang sinedya sajroning pati, mung nggone duk ing
kuna, sangkane rumuhun, bisaa mulih mring wisma, iya

372
iku kang sinedya jroning pati, yen antuk kanugrahan.
(31) Dene sipat rong puluh kang manjing, kang minangka pra-
boting sarira, wus kawengku sira kabeh, aneng lapal pa-
nebut, la ilaha la i- (k. 5 13) llollahi, la iku akadiyat, ilaha
ya iku, ingaran merbatat wadat, pan ilelah wakidiyat kurub
manjing, kabeh wus aneng sira.
(32) Pan 1a iku sesanga kuriping, pan ilaha nenem kuripira, ile-
llah lima kurupe, dadi sipat rong puluh, kumpu1 aneng
ing netra kalih, la putihe ing netra, ilahu puniku, pan iya
irenging netra pan illollah kang aneng ing tingal kalih, iku
praboting gesang.
(33) Wis ta Jebeng iku diabecik, aja kongsi kawilet tatrapan,
temah tanpa dadi kabeh, mulane ya diemut, aja pegat den-
nya minta sih, marang Allah kang murba, ing jagad sawe-
gung, dimantheng panyuwunira, diajumbuh Ian gustenira
pribadi, kanthaia puji sembah."

(LVll KINANTID)
(1) Sinegeg kang paring tutur, ya ta kawuwusa malih, nenggya
Sunan Kalijaga, kang sawek ngelaya bu- (k. 5 14) mi, se-
mangke arsa kondura, dahat oneng garwa siwi.
(2) Tindak gancang dhepok rawuh, Ian kang garwa ampun pang-
gih, ingkang putra tan katingal, gya andangu marang ra-
yi, "Y a mring ngendi putranira, dene ta nora na keksi."
(3) Kang garwa saweca matur, "Nusu1 Tuwan arsa ngaji, sabat
kalih kang binekta, tan kenging amba pambengi", Jeng
Sunan sareng miyaria, mring aturira kang rayi.
• (4) Raka kanggeg tyas kumepyur, nulya mit mring garwa alis,
kentar wangsul marang Mekah, sakedhap tindaknya prapti,
neng Mekah putra ngupadya, kubeng pu1o tan pinanggih.
(5) Wus tita Jeng Sunan wangsul, mring Jawa sakedhap prap-

373 '
ti, njujug nagri ing Bintara, laju putra denu1ati, beresih
Bintarajro praja, nggen ngu1ati tan pinanggih.
(6) Warneng putra sampun pandung, Sunan langkung wigyuh
galih, de wus ageng putranira, manna supe warneng siwi,
mangke karsa namun jiwa, mbarang to- (k. 515) peng nge-
sor dhiri.
(7) Mung pribadi sang awiku, sonder gangsa sonder murid ,
mung gangsa tutuk kiwala, kang gendhingan nerambahi,
mung juga topeng kinarya, penthul bancak amantesi.
(8) Nggennya mbarang turut warung, mrih tinonton lare alit,
nging tan arsa ingepahan, mung amrih sukaning jalmi, marga
peken tepung gelang, tinut sagung lare alit.
(9) Tan ana uning kang ndulu, yen keng nopeng Sunan Kali,
sigeg ingkang namur lampah, warnanen Benang sang yogi,
ing driya wis datan kilap, yen rayi nopeng rut margi.
(10) Sigra tedhak sang awiku, sakedhap Bintara prapti, Sunan
duta mawa sastra, nimbali kang namun karsi, Wujil dinu-
ta gya kentar, prapta miyak tyang ningali.
(11) Kang ngrangin jinawil gupuh, kagyat kang namun gya no-
lih, Wujil weca yen dinuta, nembah ngaturken palupi, kang
trate pinenget sastra, Sunan uning kang sastra di.
( 12) (k. 516) Nulya kering sang awiku , prapta mesjffi r~a pang-
gih, J eng Sunan Benang Ion nebda, "Sira Y ayi nglugas dhi-
ri, nggon ngulati putranira, dene ta kilapan Y ayi.
( 13) Ing samo bahing rat sagung, wus katekem sira nsami", k~g
rayi umatur raka, ''Amba kawulaning Widi, sinung kesdik
sing Pangeran, kawula amung sinilih."
(14) Raka mesem ngandika rum , "lya bener sira Yayi, pan wis
bubuhaning kwula, kena ngowah lawan gingsir, yen ang-
gungga lir Ywang Sukma, anglela lungguh ngengkoki.
( 15) Larangane Sukmana gung, kwula bisa gawe pethi, beneh
Yayi kang rinasan, mengko ingsun darbe murid, lagi anyar
durung Ia was, arane si Santri Adi. '

374
(16) Ngaji kitab pan wis putus" , anulya kinen nimbali, kerit
Wujil tekap ngarsa, dangu tan dinuk kang tiring, sang ka-
lih sami supenya, darma lawan ingkang siwi.
(17) Jeng Sunan Benang nglingnya rum, "Ge bektia (k. 517)
sira Adi, pan ya iku ramanira", Dyan Mas Adi gya ngabek-
ti, darma gepah pengrangkulnya, mestakeng .Putra kinem-
pit.
(18) Pan sarwi ngandika arum, "Adhuh nyawa putra mami, ala-
was suntinggal malana, geng diwasa sun tan uning, muiane
---- sun kekilapan, sira kulup sunulati,"
(19) Jeng Sunan Benang nglingnya rum , mring rayi Sesunan
Kali, "Putranira sunweh aran, Hadikesuma prayogi, ya
padhaa Iawan kanca", rayi sa bar mestu karsi.
(20) Semana Ywang Arka surup, karsa kondur sang ayogi, datan
kantun rayi putra, prapta dalem dhawuh Wujil, kinen anim-
bali dhalang, latri arsa ngegar galih.
(21) Wujil kentar pan wus antuk, sanega neng dalem ngarsi
Sunan Benang 1enggah nyamar, Ian kang rayi Sunan Kali,
sabat murid ngarsa aglar, Pangran Hadi kang manggihi.
(22) Wujil gya maharseng ngayun , umatur nerang keng karsi,
"Punapa ingkang lampahan, (k. 518) abdi dhalang sampun
mranti", Jeng Sunan alon ngandika, "Mintaraga bae be-
cik. ''
(Z~) Wujil lengser dhawuh sampun, gita dhalang majeng kawit,
munya gangsa kerawitan , jejer kresna putra ngarsi, dha-
lang ngandha rep kang gangsa, munya wijang pan aririh.
(24) Mung kang munya rebab nglangut, senggrenge angrespa-
teni, gambang gumrenggeng apinjal, karya lipur ing tyas
kingkin, campur wilet Ian gendemya, pyuhing swareng ang-

resep1.
(25) Nrithiling wilet gumrunggung, senute keraseng galih , su-
menteg jenggunging gangsa, neng jro kalbu nerambahi,
wau ta kang lenggah nyamar, sang kalih resep miyarsi.

375
(26) Langkung rena sang awiku, mirsa solah kang mangringgit,
tutuking kandha tan nimpang, runtut Ian kang gangsa
ngrangin, Sunan Benang Ion ngandika, marnng rayi Sunan
Kali.
(27) "Yayi dhalang kang wus manggung, jejere Sang ARirnurti,
dene kang aminangka darma, balencong puniku (k. 519)
Y ayi, ninging nrima manah ingwang, padhang luwih da-
mar gent.•
(28) Yen damare wus amurub, wayange null kaeksi, Pendhawa
lawan Ngestina, neng simpingan kanan kering, Bethara
Kresna kuwawang, iya Wisnu ya Rimurti.
(29) Ananing kelir pinanggung, nggone nyatakaken ringgit, de-
ne ireng nginggil ngandhap, minangka bumi Ian langit, kang
kelir ngibarat jagad, wayang amba dhalang Gusti.
(30) Ywang Wasesa dhalang lungguh, Sang Ywang Wenang kang
ningali, Ywang Nurasa kang ananggap, de niyaga kang na-
buhi, lungguhe pan Sang Ywang Tunggal, tunggal s~ara

gangsa mun1.
(31) Dene gamelan kang umyung, pan iya lathi kumitir, swara-
ne lir salapita, kethuk kenong ganti muni, kendhang gong
maguru gangsa, lelakon Sembadra elik.
(32) Duk Sang Arjuna manekung, neng guwa amati dhiri, pang-
leburan ing Ywang Sukma, sarira marl miyar:s , mulat di-
semedi (k. 520) ing rat, sedhakep asuku tunggil.
(33) Wus tan liyan kang pandulu, mung pucuking grana kengis,
kang tansah winawang-wawang, ·vayi iku nggon semedi,
pranata pindha niskala, lir sarah mungging jladri.
(34) Tumus swargan ura-ura, dhawuh karsa Ywang Pramesthi,
duk Suralaya kunggahan, ing Newata peksa ngambil, wida-
dari Dyah Supraba, Sang Arjuna kang ndhadhani.
(35) Kasor digbya ing prang lampus, unggul sarta ngalih kasih,
ajejuluk Mintaraga, karan Kombangaliali, iya Raden Da-
nangjaya, iya Bambang Wardaningsih.

376
,

. (36) Raden Murdasmara kasup, Wilikithi ya Premadi, Palguna


iya Janaka, karan Partawijaya, beda-beda kan sung aran,
Y ayi surasane nunggil.
(37) Muiane kang bangsa luhur, ewuh dennya angrasani, lamun
ngrasaa kawuia, yekti wujude kekalih, lamun ngrasaa Pange-
ran , kesiku Ian mukmin jati."
(38) Dugi dennya imbal wuwus, Sunan Be- (k. 521) nang Ian
kang rayi, sareng Ian rampunging kandha , Ki Dhalang
nggennya mangtinggit, puma sampak pakumpulan, Gonjang-
anom ingkang gendhing.
(3 9) Pendhawa pepak sedarum , kiwa ngarsa Harimurti, wing-
kingira Raden Sena, tengen Dattnakusuma ji, wingking-
nya Dyan Danangjaya, ngandhap kern bar putra sami.
(40) N greh bicara ing prang unggul, trustha arsa ngegar galih,
nayup miwah bebedhayan, Ki Dhalang anulya ngambil,
golek kenya rukma endah, winayangken bisa ngrangin.
(41) Gendlting cangklek ricik runtut, akarya renaning uning,
wusnya k ang winayangkara, gendhing bendrong sru kapyar-
si, luwar sagung kang neningal, jalu estri samya malih.
(42) Pumaning ringgit pinanggung, tutup kayon dhalang mi-
jil, Sunan Benang gya ngandika, marang rayi Sunan Kali,
' "lka Yayi kang ken yatan, bubar lakon kayon meksih.
(43) Yen kabehe wis ginulung, mring Ki Dhalang kang ndar-
beni", ra- (k. 5 22) yi saweca Ian raka, "Punapa ginalih
malih, rnung wujude la iillollah, kang kapusthi siyang la-
t n.."
(44) Kang ra.ka pasrangkara rum , "Bener panrimanta Yayi, abo-
te neng dalem donya, tan bisa ameper pamrih, pan:trih becik
Iawan ala, iku Yayi kang ngrubedi.
(45) Yayi kayon sipat kayun, kayun kayu kang supami, kayune
rineka jalma, tunggal uwit warna kalih, topeng Ian golek
dadinya, rasane seje kang pamrih,
(46) Golek rasane mangruruh, dumadi pungkasing urip, putuse

377
sumarah mring Ywang, beneh lawan topeng Yayi, kayuil ka-
yu karya molah, werana selameng urip.
(47) Mesthi dadi plambang besuk, duk Yayi neng marga ngra-
ngin, nganggo topeng penthul bancak, surasane Yayi mi-
ring, topeng bisa mangan sega, dadi wong lambene eblis."
...
(48) Rayi Sunan Kali matur, "Kawula darmi nglampahi, sedaya
topeng pingitan, kagungane ratu wall, penthul ang- (k.
523) gening kawula, dan1el pamrihing durnadi."
(49) Kang raka mangsuli wuwus, "Ya mesthi ing benjang akir,
wong mukmin lawan pandhita, padha sinung ati jail, wong
gedhe sinungan murka, gawe rusake wong cilik.
(50) Mung Yayi Ian jeneng ingsun, dipadha langgeng ing kapti,
angupaya laku tama, diwikan mring Sukma nadi, kang pa-
dhang mungging ing samar, samare katon dumeling.
(51) Nging Yayi ja kongsi bawur, yen bawur ambebayani, rubet
kamoran brahhara, anglimputi cipta kang ning, Yayi aja
kurang weka, mumpung nom diwigya ngesthi."

(LVIII SINOM)
( 1) Dugi dennya musawarat, Sunan Benang Ian kang rayi, seda-
lu tan wonten nendra, bibarnya sareng Ian ringgit, kang
rayi nuwun amit, tan kantun Ian putranipu_!J., kalilan nul-
ya kentar, kondur dhateng Pulo Upih, pan sinigeg nagri
Pengging kang kinandha.
(2) Putra mantu Brawijaya, kang ngrenggani nagri Pengging,
Sang Dipati Dayaningrat, sase- (k. 5 24) danira ing nguni,
tilar putra kekalih, patut putri Majalangu, sami kakung
sedaya, Kebokanigara wangi, arenira kekasih Kebokenanga.
(3) Duk bedhahe Majalengka, Raden kalih sanes karsi, tan
arsa nut gama Islam, lalu kentar tapeng wukir, laju mus-
wa neng ardi, Dyan Kebokenanga anut, ngagama Rasulollah,
srengat nabi prapteng wall, puruhita nguni Ian Seh Siti-

Jenar.

378

(4) Sarengira amrewita, wau lawan Kyageng Tingkir, ing ngel-


mine Sitijenar, madhep mantep gama suci, wus datan ang- .
raosi, kawibawan ramanipun, mung sokur reneng karsa,
mantep sungkem nggen ngabekti, kwula warga ing Pengging
wus Islam samya.
(5) Sagunge kang kwula wangsa, wus tan an~ rengat kapti,
ajrih asih kumawula, sungkemira pan wus gusti, tilas praja
ing nguni, pulih arja lir nagri gung, kutha Pengging semang-
kya, jejel wisma isi jalmi, mesa lembu tan kinandhang glar
plegunga- (k. 525) n.
\

(6) Nguni kathah pra dipatya, lyaning Pengging datan sami,


wong laku dru datan ana, kocap Kyageng pan wus krami,
antuk kadangnya nenggih, arenira Kyageng Butuh, kang
dhukuh saya atja, Kyageng Tingkir kang pinundhi, supe-
ket sih lir kadang tunggil seyayah.
(7) Anggepnya saengga darma, wus kaHh-kalihing tunggil,
Kyageng Tingkir dhepokira, tingaranan Purwawukir, pe-
thetan sri mawami, sang kaHh rena manekung, awis kon-
dur dalemnya, kekuwu neng Purwaardi, tan sumelang yen
tuk siku mring narendra.
(8) Kuneng gantya kang winarna, Bintara sri narapati, apan
sampun amiyarsa, mring solahe Kyageng Pengging, nata
wespadeng galih, terns tingalira prabu, J eng Sultan ing
Bintara, wau marang Kyageng Penging, cipteng driya ngre-
goni nggen madeg nata.
(9) Sang nata nimbali wadya, mantri kekaHh tinuding, Peng-
ging kinen nimbalana, gya kentar cundhaka ka- (k. 526)
. lih, saha wadya umiring, semarga pan lumestantun, kapung-
kur ing Bintara, ngidul ngilen nggen lumaris, murang mar-
ga siyang dalu nggen lelampah.
(10) Tan winarna aneng marga, duta prapta dhukuh Pengging,
laju cundhuk ponang duta, kelawan Ki Ageng Pengging,
Caraka saweca ris, "Nggeh amba ingutus Prabu, jengan-
dika ngandikan, dhumateng· Demak negari, asarenga ke-

379

'
Ia wan salam pah k ula.''
( 11) Kyageng Pengging Ion nglingira, "Tyang punapa a\va1' ma-
mi, tinimbalan mring sang nata, pendah punapa tyang san..
tri, ngandikan ing nerpati, m angsi wrina basanip un, nggeh
caraka wangsula, andika matura aji, sakelangkung n uwun
duka palamarta.''
(12) Duta narpa amit mesat, ing lampah tan antuk kardi, wuri
gantya kang winama, "'NUWUsen Ki Ageng Tingkir, miyarsa
yen kang rayi, pinerdi maharseng prabu , ngandikan marang
Demak, Ki Ageng gya prapta Pengging, Iaju panggih Ian
rayi Kebo- (k. 527) kenanga.
(13) Manjing dalem tata lenggah, Ion nebda Ki Ageng Tingkir,
"Yayi sira tinimbalan, marang Sultan Bintara ji, apa wa-
dene Yayi, d en e sira nora anut", Kyageng Pengging tur-
ira, "Punapa Kakang ing kardi, tyang dhedhekah t inim-
balan ing narendra.''
(14) Raka kanggeg emen g driya, wusana ngandika aris, "Kaya
priye Yayi sira , mogok tinim balan aji, apa ta sira Yayi,
nora k eb awah ing ratu , bumi Kang sira ambah, myang sa-
wengkon tan ah Jawi, sawarnane kabeh kagungane nata."
( 15) Ki Geng Pengging aturira, " Allah ingkang darbe siti, ka-
dar ta dadya punapa, tyang dhedhekah dentimbali", Ion
nebda K yageng Tingkir, "Aja v1angkot arenin su n, aj a tam-
pani lamba, Ian aja nggegampang pikir, pakewuhe meng-
ko Yayi ulatana.
(16) Mungguh Yayi kaya sira, pan kalenthing wadhah masin,
ambune pan durung ilang, yen sira tu- (k. 528) ru ning aji,
ratu Pengging ing nguni, tetilase durung alum, narpa agung
· prakosa, katujon ramanta ngambil, sang dipati tinarim a.ti
Brawijaya.
( 17) Mengko Yayi k ay a ngapa, sira angrangkep perk awis, angen-
dikan m ring sang nata , yen m enawa wis udani, lamun kada-
n ge yekti, arine ibunta tuhu, men awa asih m arma, ing kang

380

wis madeg nerpati, enget lamun darbe prunan aneng de-


sa.
(f8) Becik sira lumakua, manira Yayi tut wuri, mangsa sunte-
gakken sira, pakewuhe suncalangi", kang rayi matur aris,
"Kados boten sapuniku, Kakang bara tan bara , mendah
tyang jumeneng aji, enget dhateng sentana lambung ka-
sirnpar."
( 19) Kang raka malih ngandika, "Yen pinindho ditim bali, Y ayi
paran karsanira", umatur Ki Ageng Pengging, "Nggih ta
won ten punapi, meksa tiyang boten purun" , Ki Ageng Ting-
kir nglingira, "lya Yayi wong ngaurip, lamun mopo tinirn-
alan mring sang nata.
(20) A- (k. 529) nglungguhi wong duraka, wis sisan ngadegna
baris, aja tanggung tingkahira, Ian ja sira mungal-mungil,
men awa na kang jail, temah ketail reningsun, wong ala antuk
sram a, ngakali melik sathithik , kang sinung prih kandele •

ing wong ngawula.' '


(2 1) Kyageng Pengging m esem weca, "Kakang dahat pindho
kardi, panduka merangi tatal, billahi lara Ian pati, nggih
sinten kang n darbeni, pan kagungane Ywang Agung, sade-
renge gumelar, ing pepesthen sampun dadi, awon sae ing
lokil makpul wus nyata.
(22) Saderenge wonten jagad, k awula sampun pinesthi, inggih
dhateng Ywang keng murba, sinten sanggup angewahi, yen
pesthen sampun dadi, sinten sanggup murung laku, Gusti
lawan kawula, kekalih sampun pinesthi, boten langkung
mung wujude la illollah."
(23) Kyageng Tingkir Ion sebdanya, "lya Yayi apa maning, yen
wis mesthi toki- (k. 530) tira, pun kakang teka ngamini",
sadinten nggennya nggusthi, wamanen wus dugi dalu, wektu
salat seksana, sampun nggennya salat kalih, raka Tingkir
kelangkung sinuba-suba.
(24) Nulya karsa reringgitan, wau Ki Ageng ing Pengging, anyung-
gata ingkang raka, kang ringgit heber selatri, wau nujwa

381
marengi, Kyageng garwa wawrat sepuh, kraos grab bayi mba-

bar, wulannya Jumadilakir, ping sedasa warsa Edal kang lu-
makya.
(25) Mangsanira pan kalima, dintenipun Rebo Legi, ing wanci
bangun rairra,. miyos jalu Iangkung pekik, gepah Ki Ageng
Tingkir, medalaken mbing-bingipun, Ki Ageng kalihira, sami
trustha ingkang galih, jalma ningai ringgit beber kagegeran.
(26) Gya wonten keiuwung prapta, tiga sami nyerot kali, geri-
mis ndadak sekala, Ion nebda Ki Ageng Tingkir, "Y ayi nakira
iki, manira kang agungjuluk, Mas Kerebet prayoga, dene laire
marengi, (k. 531) Iagi nanggap wayang beber barang mba-
bar."
(27) Kyageng Pengging Ion turira, "Nuwun Iangkung aprayogi,
angsala sawab panduka, mugi kalis saking sakit, nggih amba
Kakang danni, panduka kang darbe sunu, pinanjangna kang
yuswa, putra panduka pun Bayi, mugi-mugi tuiusa nugraha-
ning Y wang."
(28) Dugi ngantya tigang dina, Kyageng Tingkir aneng Pengging,
ya ta kuneng kawuwusa, dutanira Sri Bupati, prapta Demak
negari, dwi duta Iaju tumanduk, tekap ngarsa tur weca, wus
katur sakreh tinuding, pamopone Ki Ageng Kebokenanga.
(29) Nata langkung dukeng driya, dhawuh kinen animbali, mring
K.i Ageng Wanapala, karsa dhawuh sebda Iungit, kang ngendi-
kan glis prapti, manata silanya bukuh, Ki Ageng matur nero-
bah, wonten karsa animbali, Iangkung gita sang Nata alon
ngandika.
(30) "lya Kakang ana karya, patut sira kang nglakoni, sira dadya
wakil ingwang, anggawaa bantah (k. 532) mami, tekakna
bayi Pengging, rong prakara bantah ingsun, Kakang ya wruha-
nira, ana krasa galih mami, bokmenawa si Pengging dadi pang-
kalan.
(31) Y a sapungkur ingsun benjing, muiane sunistiyari, mengko
Kakang sual ingwang, trapena si Bayi Pengging, endi kang di-
labuhi, saiah siji seka iku, sakehe karsaningwang, sun bodho

382

I
ing sara mangkin", puma dhawuh mestu lengser kang lini-
ngan.
(32) Dhinerekken catur sabat, Ki Ageng kentar sing nagri, amu-
rang-murang semarga, gancang lampah Pengging prapti, pang-
guh wus tata linggih, Kyageng Pengging Ion amuwus, " Kiyai
Jengandika, inggih ta priyagung pundi, lawan sinten panduka
sinam bat asma."
(33) Kang liningan Ion wecana, :'Wanapala tengran mami, mituwa-
ne nagri Demak, sun dinuta mring sang Aji, mundhi timbal-
an mesthi, dhawuha mring kita tuhu, karsane Kangjeng Sul-
tan, kinen mriksa sira (k. 533) mangkin, dene sira kawarta
alul mertapa.
(34) Apa ingkang sira sedya, timbalane Sri Bupati, ya jawaben
dipratela, sual nata rong perkawis, ja kongsi nlimpang kapti,
asikara dadenipun, ya marang dhewekira, Ian aja angrangkep
,
kardi, nora eca karya kingkin selawasnya.

LIX. ASMARADANA
( 1) lya sira pilih endi, ana luwih sangking ana, kang sonya luwih
suwunge, lawan turu mung sapisan, Ian melek selaminya, la-
wan turu saben dalu, pameleke sam ben dina.
(2) Mangan sapisan maregi, sajege nggennya tumitah, lawan ma-
ngan samben sore, pangelehe samben dina, mayo sira piliha,
timbalane sang Aprabu, yen sira pilih kang ana.
(3) Lawan mangan samben ari, alapen negara Demak, mupung
meksih sang Akatong", Kyageng Pengging Ion nglingira,
"Nggih punapa sang Nata, salah darnel ing tumu- (k. 534)
wuh, ing riki wonten punapa.
(4) Kawula kaget sayekti, miyarsa dhawuhing nata, dene mawi
sumlang ngantos, Kyai sangking dugi amba, ratu kalipatollah,
budi mesthi langkung luhur, pungkasane ing utama.
(5) Kula datan saged milih, sedayane inggih arsa, yen milih sonya
temahe, suwunge amengku gelar, yen milih siya-siya, dhateng

383

,
anak Adam wujud, yen miliha ingkang ana.
(6) Pinten panjange tyang urip, pinten raosing wibawa, pan bo-
ten wonten adate, jalma gesang sewu warsa, sanese sing Jeng·
Adam, saged yuswa sewu taun, lyan puniku wus tan ana.
(7) Kamukten sajroning pati, sirik ingaranan pejah, de mung nga-
lih panggonane, taunipun yutan wendran, pan meksih
ngangge etang, sanese tan kenging ngetung, nggih punika
atur kula.
(8) Jenengipun tyang ngaurip, estu manjangaken titah, yen siya-
(k. 535) a mring turune, punapa boten duraka, manna sam-
pun kainan, de sangking karsa Ywang Agung, ing wingking
sin ten uninga."
(9) Kyageng Wanapala myarsi, langkung wagugen driyanya, de-
ne pakewuh ature, "Leres ingkang salah cipta, wong iki wis
ketara, nora marem adhedhukuh, sandi bae nandur tela.
( 10) Yen mengkono sira iki, wiku-wikune ngatigan, nora putih
sayektine, jro driyanya manggo reta, ciptanta kawoworan,
sira wong ngalap tumuwuh, kabeh-kabeh sira arsa."
( 11) Ngling mangsuli Kyageng Pengging, "Sam pun ta menggah
kawula, yen kenginga suminggahe, nadyan Gusti Rasulullah,
tan paingan ing karsa, apan wonten tedhakipun, Sultan Seh
nagri Begedad,
( 12) Ngabdul Kadir Jaelani, pan boten mbucal lu~11ah, punika
langkung celake, pan sangking sihing Ywang Sukma, tur tra-
hing Rasulullah, jumeneng wall (k. 5 36) linuhung, luamahi-
pun tan pegat.
( 13) Pinakanan kados kucing, yen kinecap gya dhinahar, sam pun
kadya awak ingong, sageda mbucalluamah, yen teksih won-
ten donya, yektose tan saged tuhu, kuwate sangking lua-
mah."
( 14) Kyageng Wanapala angling, "Yen kaya mengkono sira, dadi
nora ngimanake, mring adege kraton Demak, tekeng pitung
medahat, nora niyat angrempelu, yen sebaa mring Bintara."

384
(1 5) Kyageng Pengging ngling mangsuli, "Langkung gaib ing
Pangeran", Kya Wanapala wuwuse, "Mayo sira asebaa, mring
Demak amaganga" , kang sinung ling lon amu\\'us, "Allah ing-
gih ta samangsa.
( 16) Yen Allah sam pun marengi, pin ten dangune lumampah, ing
mangke nuwun dukane, inggih gampil sowan benjang", Ki
Wanapala nebda, "Sira sunalimi tuhu, telung warsa asebaa.
(17) lngsun ingkang angali- (k. 537) ngi, yen ana dukane nata,
iku maklum ingsun dhewe, menek durung temu sira, jron osik
ing driyanta", Kya Wanapala gya kondur, lepas lampah tan

wtnama.
( 18) Gelis prapta Bin tara nagri, Kyageng laju manjing pura,
nata wrin kang prapta ngawe, Kyageng mangsah wus prena-
ta, ngaturken ngreh dinuta, purwa pungkasan ingutus, nggen
ndhawuhken pangandika.
( 19) "Jawabipun nggih pun Pengging, sual dalem dwi prakara,
dipun pilih sedayane, leres cipta pandukendra, sangking we-
tawis amba, nggih pun Pengging lejemipun, estu lamun
ngrangkep karya.
(20) Yen pinengkok angendrani, de pangucapipun lepas, satwi
tega ing pejahe, amung nata atur amba, mugi disabar karsa,
wewangen amba rumuhun, inggih sangking tigang warsa.
(21) Sam pun kagunganing Aji, wiyar kados keng samodra, sa bar
ngapunten myang kamot, yen tan sowan tigang warsa~
sumangga karsa narpa" , nata sareng myarsa atur, (k. 5 38)
emeng galih tan kawentar.
(22) Pangartikanireng Aji, "Si Pengging dadi bebaya, katon wani-
ne marang ngong" , wusana nata ngandika, "Ya Kakang Wana-
pala, bayi Pengging ya sun maklum, sajerone telung warsa.
(23) Kakang ana karsa mami, dhawuha marang si Patya, ingsun
arsa amilih wong, kang prawira ing ayuda, nging ana tandha-
ningwang, sunadu Ian mesa danu, ya dimati tanpa gaman.
(24) Iku Kakang ingsun arsi, klebu dadi wong tamtama", Ki

385
Ageng mestuti karseng, nulya lengser sing byantara, laju
mring Kepatihan, lawan putra pra wus pangguh, ndhawuh-
ken karsa narendra.
(2 5) Wus kadriya mring Kya Patih, lukita karsa narendra, gya dha-
wuh utusan age , marang sagung pra bupatya, pasisir manca
nagra, cancut dhawuh wus misuwur, marang sagung pra di-
, patya.
(26) Nengna gantya kang winami, Ki Ageng Getaspendhawa, wus
puput panjenengane, sumulih marang kang putra, juluk Ki
Ageng Se- (k. 539) la, pan pinundhut putra prabu, miji
kinarya petengan.
(27) Kyageng Sela langkung sekti, nguni saged nyepeng gelap ,
purwanya pinun'<ihut rajeng, duk marengi dhangir gaga, tan-
tara nulya jawah, Kyageng eca nggennya macul, sin amber
glap datan obah.
(28) Nolih bremantya tan sipi, glap tinubruk wus kepegang, bin-
lenggu wus gya binronjong, ingaturken Sultan Demak, nata
myat langkung trustha, glap kinen nggunjara sampun, mung-
ging lering pangurakan.
(29) Lamenira tan winarni, gya wonten ni tuwa prapta, minta tirta
mring kang saos, ni tuwa wus sinung toya, mungging siwur
wadhahnya, ni tuwa seksana laju, gunjara siniram tirta.
(30) Gya njebluk kang gelap muni, nini tuwa sareng "'ima, tuhu
yen gelap jodhone, gunjara wesi malesat, gograg pating se-
layah, Kyageng Sela kongasipun, dugi lami wus akrama,
(31 ) antuk putri (k. 540) Cempa luwih, tedhaknya seh sangking
Arab, dugi lami wus peputreng, wanodya yu ingkang warna,
sinihan ibu rama, Jeng Sultan Demak winuwus, memangun
wadya tamtama
• (3 2) Kawan atus wong sinelir, kang wus sami sekti digbya, sedaya
jinara menter, myang pinentar gora astra, weneh campuh
Ian daka, tanpa braja saged lampus, wus rampak wadya tam-
tama.

386
-

(33) Kyageng Sela myarsa gimir, arsa magang kang tamtama, se-
mana wus katur rajeng, Sultan Demak wus waskitha, mring
putra Kyageng Sela, yen benjang nurunken ratu, milanya
sinamar buda. ,

(34) Dimenipun gentur tapi, wignya apunjul ing sama, mengke


remen praja rame, nyata langkung emeng driya, sapraptani-
reng putra, ing mangke arsa ingundur, menawi rengat driya-
nya.
(35) Wusana nata ndhawuhi, wau marang Kyana Patya, "Patih
ya tarinen age, yen putrengsun jebeng Sela, (k. 541) mesa
mlebu tamtama, apa wani ya sunadu, padha siji Ian andaka.
(36) Tanpa braja diamati, yen tan mati sun tan arsa", mestu patih
nembah Iengser, prapta Jawi nulya panggya, ke1awan Kya-
geng Sela, "Angger dhawuh dalem Prabu, kin en nan tun pe-
kenira.
(37) Punapi Angger kadugi, ingaben Iawan maesa, atenapi lawan
bantheng, nging tan klilan mawi braja, pejaha sangking asta,
yen tan pejah boten kalbu" , kang liningan tur sandika.
(38) Mangkana sedalem usik , Kyageng tampi dhawuh nata, yen
ingaben lawan bantheng, Kyageng krenteg tyas kuwiyak,
kibir jubriyanira, "Anaa bantheng sepuluh, mangsa ingsun
k edhepena."
(39) Wusira gya wangsul patih, tekap ngarsa matur nembah,
"Sampun amba kinen naros, dhateng putra dalem Sela, sa-
karsa tan lenggana, ingabena bantheng danu, aturipun nggih
sandika."
(40) Yen mengkono sira (k. 542) Patih, jebeng Sela dandanana,
kang becik tinon ing akeh, kodhok ngorek ajokena, Ian kabeh
wong Bintara, sebaa neng alun-alun, iya padha konen surak."
(41) Sandika nembah Kya Patih, mijil Jawi undhang wadya, ki-
nen sanega sumiweng, tarap mungging tratag ram bat, anulya
Sri Narendra, tedhak miyos lenggah panggung, mriksani kang
arsa yuda.

387

LX. PANGKUR
( 1) Horek sagung kang sumewa, tata kubeng mungging sor pang-
gung Aji, dasih kalang tandang gregud, ngemadhuh kang an-
daka, tibeng angga andaka amingut-mingut, mungging sema-
dyaning blabar, sang Nata gya dhawuh gati.
(2) ~K odhok-ngorek kinen munya, Kyageng Sela kinen ngajengna
aglis, duta mesat sami dhawuh, warnanen Kyageng Sela, binu-
sanan kang busana abra murub, kampuh rampek gegubegan,
lancingan panji dinasih.
(3) U- (k. 543) dheng gilig rinenda mas, geng sapupu cineplok
ing rukma di, kinancing garudha krepu, krang melok cam pur
j wala, embah riweng warna pendah Bima sunu, Saptakisma
Antareja, digbya kyating ing ajurit.
(4) Ya ta laju lumeksana, Kyageng Sela wus manjing blabar wesi,
gung wadya surak gumuruh, campur lan gangsa munya, ko-
dhok-ngorek kapyarsa lir singa mbaung, karya uwas kang
tumingal, wau ta kang mangsah jurit.
(5) Kyageng pan wus yunan lumyat, Ian andaka saglugud datan
miris, tan arsa ndhingini campuh, dadya erek kewala, nata
- dhawuh andaka kinen ngemadhuh, kang liningan tandang si-
gra, ponang bantheng dengepyoki. .
(6) Kemadhuh myang tirta keras, tibeng muka andaka netra
andik, jenggirat amingut-mingut, gobag-gabig me.nolah, gya
nerajang Kyageng weya sru tinumbuk, antuk jaja tan wigatya,
(k. 544) kontal mangsah sru sinungit,
(7) tinundha ingundha tawang, sru sumebut dhawuh jumeng-,
• keng siti, nyat amangsah buteng nggedrug, rinasuk kang an-
daka, singat kalih pinegang nguntir gumlethuk, binithi polo-
nya muncrat, regag Kyageng mengo wuri.
(8) Andaka wus kapisanan, amekungkung tan ngleset nggennya
lalis, sang Nata wespadeng ndulu, mring solah putr~ng Sela,
dennya mbithi andaka noleh ing pungkur, nata nebda .
dhawuh patya, "Heh Patih priksananen aglis.

388
(9) Jebeng nganggo noleh wuntat, apa sebab ambithi nora ngek-
si", mestu patih lengser ngayun, pangguh Ian Kyageng Sela,
ndha\vuhaken kang timbalan J eng Sang Prabu , "Angger
Sela pekenira, wau mbithi bantheng lalis.
( 10) Panduka noleh ing wuntat, kin en mriksa punapi kang tino-
lih", Kyageng marang patih matur, "Mila mengo manira,
(k. 545) wau mbithi m anira kaciprat m arus, langkung suker
dhawah ngangga, milanya manira nolih. "
(11) Wangsul duta Kyana Patya, tekap ngarsa ngaturken ngreh
tinuding, "Nggih putranta mengonipun, suker pan kenging
erah" ndta nulya mring Kya Patih malih dhawuh, "Ya Patih
wis baleken a, Jebeng Sela wus tan arsi.
( 12) Iku wong tipis atinya, k ena marus kagete noleh wuri, ngapi-
rani nemu kewuh", Kya Patih lengser sigra, prapta ngenggen
lan Ki Ageng pan wus pangguh, lon ndhawuhken karsa narpa,
"Jengandika kinen bali.
( 13) AndL<a ginalih uwas, pram ilane sang Nata datan arsi,"Kya-
geng sareng tampi dhawuh, tyas kanggeg datan nebda, sigra
linggar kongas sendhu so1ahipun, tan mawi pamit mring pa-
tya, ku~ ca nrampat mring kang nangkil.
(14) Kyageng kondur gegancangan, tan winama neng dalemira
prapti, gya mepak d edamelipun, kawula wong Sa- (k . 546)
sela. winetara ana wadya pitung atus, neka penganggening
' j alma, sumekt" saastreng j1 rit.
(15) Kyageng musthi kang pusa l ~ a) Kyai Pleret mungging asta
kurr_itir, ngraos tunggil tfah Ian Pra bu, m liarsa ng1anggar
pura, ctatan wangwang m anglawan kridhaning pupuh , Ian
k ang ram a ing Bin tara, gepoh soma an ungkemi.
(16) Mat)Jr ngampah tan pin-yarsa, sigra 1aju Ki Ageng nitih wa-
jik, ules kresn a bathil mu1us, semarga angetepang, p an ingi-
ring sagung kwula wangsanipun, Kyageng tansah nggigit waja,
'- kadi ge ya t empuh jurit.
( 17) Salira wijang sembada, netra andik ngantirah angaj rihi, lir
Sang Boman t ara Prabu, duk tnonah Ian ri Soma, bremantyeng

389

tyas semarga-marga manglarug, prapta nagri ing Bintara, ge-


. ger jalma kang kamargin.
( 18) Gepah Patih cundhuk narpa, "Dhuh Dewaji putranta estu
balik, sumedya asaroh amuk", sang Nata angandika, ''Heh
ta Patih dhawuhana wa- (k. 547) dyaningsun, yen prapta si
Bayi Sela, poma ja na nglawan jurit.
( 19) Dimen prapta ngarsaningwang", tur sandika patih lengser
sing ngarsi, undhang marang wadya sagung, kinen baris anya-
mar, mung tamtama kang kinanthi celak Prabu, baris ngapit

palenggahan, ngalih atus nganan ngering .
(20) Tindhih sentana neng ngarsa, mungging Jawi gribig prayit-
neng westhi, nulya miyos Jeng Sang Prabu, lenggah ing dham-
par rukma, kenya purl kang ngampil keprabon Prabu, sang
Nata lenggah nyenyamar, nging tansah prayitneng westhi.
(21) Gya prapta Ki Ageng Sela, neng jro praja sonya tan ana
baris, laju prapta ngalun-alun, tan na kang mapag yuda, mung
pasowan keksi wonten gribig singub, myang wadya prawira
tama, kang katingal amung kedhik.
(22) Kyageng majeng wringin kembar, mungging kuda mandhi
waos ngajrihi, sang Nata wespadeng ndulu, mring solahireng
putra, estu lamun nir enget (k. 548) marang Prabu, Sang
Nata manukmeng driya, "Bocah iki nderawasi.
(23) Yen mengko sunlawanana, nguni banget sang Wiku nggon ma-
leri", sang Nata gya musthi kang hru, minantran gli lumepas,
buntaring hru kang kinarya plas tumanduk, pranantuk pasu
turangga, kuda njola nander nggendring.
(24) Pinekak-pekak ambandhang, kwula Sela lumayu atut wuri,
sang Nata gumujeng ngguguk, nebda sedalem driya, "Jebeng
Sela nyata tipis tyase tuhu, tangeh lamun dadi nata", gya
nimbali Kyana Patih.
(25) Prapta Ian gung pra bupatya, gya Jeng Sultan ngandika pa-
ring uning, ing niskara wande pupuh, myang solah putreng
Sela, Kyana Patih serowang kelangkung ngungun, tandya
jengkar Jeng Sri Narpa, kang sewaka luwar sami.

390


(26) Nata rawuh dalem pura, gya pinethuk mring garwa prames-
wari, kuneng nata neng kedhatun, warnanen kang sor yuda,
Kya- (k. 549) geng Sela sarawuhnya dalem dhukuh, minggu
datan kena nebda, de srengkara purun Aji.

LXI. DHANDHANGGULA
(1) Gyuh ing driya Kyageng manting dhiri, saundurnya sangking
nagri Demak, saroh amuk datanpa leh, saklangkung brangta
nekung, supe dhahar tenapi guling, ing dalu sare kadhar, le-
lemek ron satu, rengkulu banon salimbag, duk semana mare-
ngi dina sawiji, nuju bangun raina.
(2) Kyageng nendra pan satengah guling, nulya wonten swara
kapiyarsa, asung penget mring kang sare, "Heh nyawa tita-
hingsun, dinarirna yen titah Widi, pan sira benjang uga, antuk
bendhe luhung, tur dadi panenger yuda, bendhe lamun ti-
nabuh unine bening, wigya ngemandhang tawang.
(3) Wus pinasthi lamun unggul jurit, yen abengkak kasor yuda-
nira, tur dadi pusaka raj eng" , wusnya nir kang sung wu wus,
Kya- (k. 550) geng kagyat wungu nggen guling, pepungun .
saya brangta, nggregud ing panekung, nggennya minta mring
Ywang Sukma, dugya lami kuneng gantya kang winarni,
ing Bicak wonten dhalang.
(4) Purwa tengran kathah raning desi, langkung mlarat nanging
betah nglapa, temen nrima satitahe, kentar sing wisma laju,
atirakat neng pinggir beji, ngran tlaga ing Madirda, nguni
tilasipun, duk Jisaka karya jalma, ingkang tlaga mangong-
kang sukuning ardi, nujwa ri Gara mulya.
(5) Ngumbusongabledhug raning wukir, bang-bang wetan wanci-
ne kang latra, Bicak pitekur asendhen , rem-rem sata mangan-
tuk, saliyepan Ki Dhalang ngimpi, pinanggyan ramanira,
prapta ngadeg ngayun , asung jarwa kang saweca, "Jroning
tirta iku ana kempul siji, nguni ngran Pancajanya.

(6) Kaki age ambilen tumuli , gawe kempul dadi mulyanira, sa-

391
sedyamu pan kayekten", wusnya nikang sung wuwus, Bicak
ka- (k. 551) gyat nglilir nggen guling, emut supenanira, jro-

ning tya& mangungun, marengi candra purnama, pan sumi- "
lak lir raina anelahi, Bicak gya ngungak tlaga.
(7) Sangking tepi kang tirta awening, wonten keksi lir bulus
geng dhasar, celak estu kempul bendhe, gya manjing ngam-
bil gupuh, binekta wus minggah manginggil, ing tyas marwa-
ta suta, seksana gya mantuk, prapta wisma asung jarwa, rna-
rang rabi lamun ngimpi daradasih, k empul sinungken garwa.
(8) Y an ingucap semana wus lami, pan pinunggel mrih gancang-
ing kandh a, Bicak nggennya antuk bendhe, wus dadi mulya- ·
nipun, nggennya ndhalang kelangkung laris, kang nanggap
tan asela, dugi Sela nglarug, lami laris aneng Sela, wahka
sasra rabi dhalang ayu luwih, ing Sela tan asama.
(9) Dadya katur marang Jeng Kiyai, myarseng warta Kyageng
langkung brangta, nulya arsa ngyektekake, marengi . nerti
dhusun, (k. 5 52) dhalang Bicak dalu angringgit, Kyageng ana-
mur kwula, dennya karsa ndulu, dhawuh marang jinemannya,
catur dasa wus kinen ndulu rumiyin , kantun juga pun Soma.
( l 0) Kyageng linggar musthi sara mandi, njligud nggeged dhl-
nerekken Soma, prapta kendel neng dhadhahe, wuwusen
kang amanggung, dhalang Bicak kang lagya ngringgit, lampah-
an Bratayuda, pejahnya Bimanyu, rinoban prang Ian Kurawa,
wusing lena jejer garwanira kalih, gendhing bendhet wor ra-
ras.
(11 ) Reoing gangsa mangandha keng k awi, kang amunya m ung
rebab Ian gambang, kethuk kenong Ian gendhere, wilering
gender umyung, cukak kewes wileting gendhing, Nyi Dha-
lang sasolahnya, karya brangteng ndulu, dhasare pamulu
jenar, moblong mendal ungeling prembayun kalih, karya
pemanas driya.
(12) Sangking gunge jalma kang ningali, temah horeg tanbuh kang
tiningal, m ung Nyi Dhalang sasolahe, ta- (k. 553) nsah
dhesuk-<lhinesuk, kang tan kiyat mijil nglolosi, ,.vamanen

392

-
Kyageng Sela, kang ndulu neng pungkur, ngungak astu war-
na endah, wau Kyageng kang brangta arsa ngyekteni, mring
rabi dhalang Bicak.
(13) Dadya supe sangking genging brangti, baya sampun karsa-
ning Ywang Sukma, Bicak· tekeng ing takdire , Ki Ageng ngle-
pasi hru, marang dhalang lambunge titis, tan sambat laju
lena, Kyageng swareng wadu, tandang gung jineman Sela,
angerayah gangsa ringgit denambili, binoyong rabenira.
(14) Wusing enjang katur Jeng Kiyai, gangsa ringgit miwah rabe-
nira, dhalang Bicak kang wus layon, Ki Ageng sareng ndulu,
pan mung kempul renaning karsi, wus nir pandulyeng brang-
ta, mring rabi kang lampus, ngraos yen kaduwung karsa,
marang dhalang tan dosa tumekeng pati, wusana Ion ngandi-
ka.
( 15) "Heh sakehe sanak ingsun sami, kabeh iku ya sun ora arsa,
(k. 554) ya amung kern pule bae" , kuneng gantya winuwus,
Pulo Upih Jeng Sunan Kali, kang nuju ngider jagad, wus tan
samar kalbu, samobah mosiking kwula, karsa kampir dhateng
Sela sang Ayogi, tindaknya kadya kilat.
( 16) Mung sakedhap netra Sela prapti, laju njujug panepen kepang-
gya, wrin kagyat Kyageng nulya ge, tumrun gya ngraup suku,
matur nembah -mangasih-asih, wusnya Jeng Sunan lenggah,
mesem ngandika rum, "Nggonsun kampir Jebeng iya, arsa
uning sira antuk bendhe adi", esmu jrih Kyageng weca.
(17) Pan tumungkul ngrepa esmu wadi, saha waspa de sisip pra-
tingkah, ngaturken srah ing lenane, "Ulun atadhah bendu,
asikara tan do sa yekti", J eng Sunan Ion delingnya, "Y a
sun Jebeng wis wruh, kaya pa bendhe warnanya", Kyageng
lengser manjing dalem ngambil aglis, kempul ngaturken
Sun an~
( 18) Wus kapriksa sang Wiku Ion angling, "Heh ta J e- (k. 55 5)
beng sunjarwani sira, ya wruhannya kempul kiye, dadi pa-
nengran pupuh, mring nak putu buyutmu wuri, yen bendhe
munya bengkak, lamat kasor pupuh, yen bendhe tinabuh

393

munya, angemandhang swara muluk neng wiyati, mesthi


lanang kang yuda.
( 19) Bend he dadi pusaka nerpati, buyut canggahira dadi nata,
mengku ing rat Jawa kabeh", Ki Ageng nulya sujud, awor
kisma ngrasaning Yogi, ing driya sokur ing Ywang, sangking
sebdeng wiku, Jeng Sunan malih ngandika, "Jebeng mengko
dienget mring jarwa mami, Ian maning sunwewarta.
(20) Bendhe iku kang ndarbeni nguni, jaman purwa yan Sang Da-
nangjaya, Pancajannya ngraning bendhe, duk bratayuda pu-
puh, amrewaseng Sindurja sekti, kang bisa munya wiyat,
samengko ya iku, bendhe sunlih aranira, ya si Bicak nut ara-
n e dhalang lalis" , Ki Ageng m estu se bda.
(2 1) Gya sang Wiku angandika malih, "Aja siaya Jebeng ya sun
darbya, pan padha pusaka (k. 556) rajeng, tan lyan Pendha-
wa Prabu, Sang Sri Darma kang darbe nguni, warna kris pa-
ring dewa, duk panggih Ian ingsun, kinen akarya pusaka, ya
gadhuhen Ki Kopek araning keris, Jebeng nya tampanana."
(22) Ki Geng nembah Ion nampani kang kris, turnya nuwun tyas
mawarta suta, Sunan nebda "lku Jebeng, pundhinen disatu-
hu, telu iku ja pisah benjing, wis Jebeng akeria, ingsun arsa
nglangur", gya tedhak sing lenggahira, Kyageng ndherek ing
pintu J eng Sunan mijil, ken tar glis tan katingal.
(23) Kyageng wangsul lenggah nglanggar malih, nulya kinen nim-
bali kang putra, Dyan Jaka Enis kasihe , prapta wus cundhuk
ngayun, Ki Geng nebda njarwani siwi, "Ya Kulup wirayatnya, .
ing sawureningsun, mituhokna jarwaningwang, tutur ingsun
ora nana papan tulis, mung peling marang patrap.
(24) Basan peling anggiten mberkati, tur selamet sarta kuwa- (k.
5 57) rasan, malangi durunging klakon, aja pam bekan angkuh,
aja ladak Ian aja jail, Ian aja watak srakah, aja dhemen sling-
kuh, Ian aja mburu aleman, Ian ja salah wong saiah pan gelis
mati, ja dhemen tingkah ngiwa.
(25) lya lawan diidhep ing isin, Ian ya aja mangeran busana, ja
mangeran pagunane, aja mangeran ngelmu, Ian ja dumeh yen

394 •
digbya sekti, aja ngandelken japa, Ian ja nggege laku, k abeh
iku dadi siya, lawan aja nggugu kawruhe wong sugih, tan kena
tinirua.
(26) Yen sirantuk tingkah kang utami, aja sira angarah keringan,
saidhep-idhepe dhewe, diidhep ing tumuwuh, diabisa ngenaki
kapti, kaptine sapepadha, padhaning tumuwuh, iku kareping
manungsa, kudu kedhep marang sepadhaning jalmi, iku ya
kawruhana.
(27) Lan yen klakon anak putu wuri, sokur lamun yen 21 ) sira
pribadya, (k. 558) lamun bisa dadi gedhe, diidhep ing pake-
wuh, ewuh iku kalih prekawis, pan ewuh ing pangucap , ewu h
ing pandulu, Ian ewuh sajroning driya, yen ketara iku ing-
kang mbebayani, pan dadi penggrayangan.
(28) Balik sira anirua Kaki, jahna patrap iku rake tan a, ya su prihen
ing sawabe, mberkahi ya wong iku, ora kena yen dialani,
tirunen aprayoga, pambek tyase alus, sapangucap ngarah-
arah, laku lungguh tan pegat anata kapti, iku ngran jalma
tam a.
(29) Kang wus kocap pandhita linuwih, iya iku guruning pandhita,
tan ketara salakune , tan cegah mangan minum , mung narima
pasihan Widi, tan pegat nggon prayitna, tindak kang prih
ayu, labete ngawruhi raga, ngidhep marang sakeh kadang di-
wedeni, kadang gumlar ingjagad.
(30) Bumi tirta angin lawan ardi, surya candra lintang (k. 559)
ing akasa, kabeh iku pan kadange, jalma kang salah nglaku,
iya dadi satruning Widi, muiane ana lara, alat kang tinemu, ,
jalma kang rahayu patrap, lanang wadon becik raketana sami,
dadi ayuning jiwa.
(31) Iku poma wirayatsun Kaki, lamun sira dadi santri jlamprah,
dinedya kaprah ing akeh, yen dadi santri gundhul, digumun-
dhul-gundhul nggendholi, nggendholi ujar nyata, aja kongsi
kleru, yen ngrungu rasaning serat, jroning serat kerentek kang
basa mesthi, dimesthi sira nuta.
21) asline : yin

395
~i nggonsun kalya peling ma oe . .ik lla. ruaning pa..
kap Jarsun ngranggoni kabeh: muiane un pitutur su-
paya.a. Slamete rn un dadi n tan aman, mnn sapung r
ingsun nguni n punjm san1a anging duru.ng nge r-
"en ru eden dhiri mula n1eksih ruata.
33) renen '"a mg n1aling m31itit mulet a- . Sf>O ti tyas mg-
n pan ewran mrih ibasuki sima abeh, se~asa sabi antu..
nora ta 'ar ggonsun mrih ye ti sesi.ngating anda:ka, sunda-
d tand , asel apelak-peiak, a!)un gugup durun
pati angg~api, agahan tur agetan.
(34 Lan un nuW'llll atunr ng si i wu ~adriy.a saWiU.hngin
danna, padhang datan e ran ~ase, · Agen;) malih 1111UWU
,..p n1a illup sim dibec· . patrape ong neng praja dipra-
i tnen h . Ia an ma dbedhuiruha, neng La an pin-
tan n n1nng an lmuwih. tirnbula aris nata . ·
( ".. a eng ela wu dugi ang arsi nggenny;a paring wubng
dhaten putna, 1nyang dangune antu bendhe, terus supena-
n:iptm~ ah ~ manv.an sangkmg sang Yogi, lan pinarin
pusaka oraJa ami dhuwung, dwi san1i wijilan pUlVI.a ri
Pandha r.atu "'inilian de . adi, i A!geng ing seman a,
( 6 dri anya nut eranl'ating e- . 56 I) ris, yai ope agen1
Danna putr.a, tan IWah ¥ageng tyase, w.us mrr ruhareng
a:Ibu ang~enggahi manungsa jati ing tyas Dam1akusuma
nincing pandulu [nadhep [ll~ang mg am an, ber bu-
dirnan aseca lega eng an1i my.ang dhateng u aendran.
(3 'a a ~an1 i onga ing penggalih, embah arja dhukuh ing Se-
seia, emah kady.a pvaja genge, ~ebih wong laku sandu, labet
ageng udigby;a ekti en1an~e yageng Seta langlrung
mre [n "aibu, acy.a serat pi'WUlang, ngr.an P.epali lan u1uk
Lu ran~ng Jalmi lan1iny:a tan kmandha.
"ya ng ela 1 itu ang siWI, pen1bajenge anody.a yu
tama yi Geng Lurun tengah ngrane, milih ri anodya yu
1
yi Gen aba ang Dy.ah eng wangi ni ma1ih pan anody.a,
JYJ G n~ JP · , an R m sun1.undhui yi 1\geng gerang,
ari. malih i Gen iButuh · an e an · an ma1ih anoa a.
(3 ( 56 ...) ama antuk ri Gen Bodho natni dhuktih ~ajang
n1ung j ~a kan riya y:agen lEnis jejulu e~ ra y:a eng
ela SUliUd, yageng Eni sun1ulih danni.. ten gran i .~gen
ela in an1anca asup;) y.a eng Enis angkung eli b a su-
dira nung nggeguru Jen unan ali eian 4~ ung bran" en
ukma.

(I} uneng au yageng Enis, am an en ultan iBintara, nruni


dugi ubay,ane, ageng Pengging datan prapta, ndad S! en
dukeng nata, nuduh putra unan ud , prapta ngarsendra
ngandil<:a.
(2) " lilup priye Bayi Pengging, mreday.:.ng erat n mg\\rang,
sira luma:kua dhe e, lu rib se a prayo anta, y.a sira an a-
ogan, mrih padhange driyaningsun "' putra n1e tu a otse-
ar.
(3 garas pada nuwun amit, linilan ya n1ijil pura laju ~ ondur
mri.ng daleme, prapta mangstt aba am a, ikinen sanega
ndlya, Pang- . 565 ran amit garwa sampun g a .. entar
namun tindakny.a.
(4) emarga apindha druwis, sabat pitu an bine ta,Juga kinen
nggendhong bendhe, agen Macan an bine ta apun -

ur ing Bintara, nengna gantya an(T nu r.u.s, yaoen
'fmgkir rnan~e lena.
{5) Layon dereng densuceni, angentosi arenira, -- ageng P,eng-
ging ing pr.aptane, emana wus mgutusan, tan dangu ya-
geng prapta, gya n ungkemi iayon gupuh, aruna sambat
mlas arsa.
(6 " akang antenana mami aiayar egara tahmat, sampun lan1i
raganingngong, tan saged antun nen don a, pisah Ia an
panduka", tan enging ngampah '" ang eluh~ ragen ltan ah
atigapar.
(7) Maos subekanallahi, nulya layon siniraman, sinalat sinareka-
ke, wau wonten Ngardi Purwa, Ki Ageng Pengging mangkya
emeJ?,g ngantya ti- (k. 564) gang dalu, nggenira neng Ardi
Purwa.
(8) Kyageng nulya nuwun amit, mring kang Embok Ngardi Pur-
wa, Nyi Geng Tingkir Ion delinge, "Y ayi sira ngantenana, pi-
tung dina rakamta", kang rayi Ion ·aturipun, "Kangbok sam-
pun pindho karya."
(9) Kentar Kyageng kondur aglis, sampun prapta dalemira, ku-
neng malih winiraos, Sunan Kudus pan wus prapta, ler kali
ing Cemara, Sang Ywang Arka nunggeng gunung, gya raywan
neng madyeng wana.
( 10) Terata ban pinggir kali, kanan kering dhusun celak, Sunan Ku-
dus ing karsane, datan arsa kendel desa, pinggir kali kendel-
nya, rena wonten nggen kang singub, supadya tan uning jal-
ma.
( 11) Anuju pang1ong ing sasi, anging resik kang akasa, keksi gig-
lag lintang abyor, timbang lawan sining wana, konang gung
jrah ing kisma, ting parelik ngrenyep sum1uh, lir rengganing
(k. 565) busanendah.
( 12) Gebyaring lidhah nrawangi, keksi sawarnaning wana, wreksa-
wreksa neng argane, siluk singub jurang-jurang, keksi wama
· sewantah, Sunan langkung reneng ndulu, dadya nir sumlang

mg wana.
(13) Wau tarsa anggekteni, ungele bendhe Ki Macan, kinarya tan-
dha swarane, yen bendhe bengkak ungelnya, tiwas ing lam-
pahira, semangke wus madya dalu, bendhe tinabuh seksana.
(14) Ngungkung ngombang amelingi, asru kadya sima ngombang,
tinitir anggreng swarane, gita sakeh jalma desa, kiwa tengen
miyarsa, de na macan ngombang dalu, enjang sami sinelasah.
( 15) Tan ana macan kang keksi, mung jalma pitu kang ana, gung
jalma merpeki taken, "Ngriki napi wonten sima, sangking
dhusun kapyarsa, kang sima ngombang sedalu, enjang mila

398
-

sinelasah.
(16) lngulatan boten panggih, mung panduka (k. 566) kang neng
wana", prapta malih jalma taken, "Dora boten sima, sedalu
sami myarsa", gumujeng Sesunan Kudus, " Yen mengkono
desanira.
(17) Sunarani Sima becik, dene nora nana macan, pan mung swa-
ra ing anane", sagung jalma mestu sebda, desa nglih raning
Sima, Sunan Kudus nulya laju, dhlnerekken s.a batira.
(18) Ngidul leres nggen luiJlaris, tansah murang-murang marga,
nasak wiyak kambengane, pra sekabat tansah yitna, mring
Gusti nut ing tindak, angleresi nginggil dhawuh, ngambah
lepen pepirikan.
( 19) Sabat juga matur Gusti, mbok nggih Yogi kendel kedhap,
amba yun minum mring lepen, sanget salit boten kangkat" ,
Jeng Sunan Ion sebdanya, "Lah ta sahara karuhun, de lagi bu-
thek tirtanya.
(20) Mengko ngarsa tirta wening, ditutug adus minuma", pan ka-
telah dugi mangke, (k. 567) Kalibuthek tengranira, gya sin-
rang ing tindaknya, prapta nggening lepen agung, Sunan ken-
del Ian sekabat.
(21) Ayom mungging sor waringin, pan kasilir ing maruta, weh
sumrah jiwa kang reren, nikmating angga sumrambah, sima
lesuning jiwa, sabat pitu wus samya dus, Sunan laju ing tin-
daknya.
(22) Tan pisah kelawan murid, minggah sengkan tumrun jurang,
kendel dugi ing tlatare, mungging sor pucung kuwawang, ing
Pengging dhukuhira, karang nggenggeng Sri dinulu, tumruna
bebanjaran
(23) Pethetan banjengan asri, myang kantha-kenthaning bata,
tuhu pura tilasane, eca nggennya kendel Sunan, kinubeng pra
sekabat, manggusthi lampah ingutus, nggen arsa manatas
nyawa.

399

LXIII. MEGATRUH

( 1) Dangu ken del J eng Sun an Ian sa bat pitu, ngaringken lesuning
dhiri, ting keleset sami tidhur, la- (k. 568) bet lampah jalan
kaki, rinubung ing rare angon.
(2) Sami taken rare angon gumarumung, ngadeg pan sami gumri-
wis, "Apa rika gendhong iku", tan sela nggennya nakeni,
tan antuk dennya tetakon.
(3) Meksa tanya lare akeh gwnarumung, badhe-binadhe pra sami,
apa ika apa iku, sami rowangnya pribadi, "Dakbadhene iku
gembol."
(4) Kang sawiji nauri, "Dakbadhe dudu", ana mbadhe layang
piring, kangpretitis mbadhe kempul, ana mbadhe egong cilik,
dene ta kempul ginendhong.
(5 ) Kang mbekta ngling, "Bocah iki padha mbesur, bok ndleng
uwong sethithik", sinaru datan amundur, malah padha ang-
grayangi, kang ambekta sendhu mbekos.
(6) Ya ta mesem ngandika J eng Sunan Kudus, "Bok karepe bo-
cah cilik, aja sira aruh-aruh", ju- (k. 569) ga sabat matur
Gusti, "Jer larene sami mbandhol.
(7) Nggennya taken pan boten saged sumaur, wongsal-wangsul
anakeni, neracak sami ndelurung, karang bandhol ayak ngri-
ki", gya wonten wong tuwa katon.
(8) Sarwi macul pasangan nyengk.elang pecut, meksih cawetan
methinthing, njebobog ikete sabuk, upete merang cinang-
king, rinangkep lawan serotong.
(9) Nulya linggih nyelehken pasanganipun, upete merang sinan-
dhing, ngungkabi ingkang kinandhut, bako gewol neng sa-
lepi, nyogok srotong lingnya alon.
-
( 10) " Nggih ta dawek Ki Bagus andika udud", Sunan Kudus Ion
mangsuli, "Nggeh tarima Sanak ingsun, rika ududa pribadi,
aywa sira walang atos.
( 11 ) Nggeh ta Sanak manira taken satuhu, langgar karig katong

400
sing riki, na- (k. 5 70) pi ta nggeh dalemipun, Kiyai Ageng ing
Pengging", kang tinanya saweca Ion.
(12) "Nggih punika Ki Bagus ing dalemipun, Ki Ageng ing Peng-
ging mangkin, pan sampun sedasa dalu, Jeng Kyai sanget
prihatin, rinten dalu won ten gedhong.
( 13) Sarawuhe sangking Tingkir laju nekung, nggih kang raka
Kyageng Tingkir, kinadang ingaken guru, mangke sampun
angemasi, sawek din ten Jumungah Pon.
(14) Dugi mangke Kyageng dereng karsa metu, langkung sanget
nggen prihatin, kula wau nggih mretarnu, dhateng sabat nami
Kadim, mekaten nggenipun criyos."
( 15) Gya lare ngon nyelak malih sami ngrubung, tanya guywan
ting cekikik 22 ), badhe-binadhe kumrusuk, juga lare ban-
dhol angling, "Dakbadhe yaiku konthol."
( 16) Rowang lare nauri, "Dakbadhe entut", sarwi nganyur tudang-
tuding, dhedhesu- (k. 571) kan maju mundur, bendu Kyai
mring karyalit, usjemake padha ndhodhok.
( 17) "Na wong tuwa padha ngadeg ting jelanggrung, apa ta dine-
leng iki, kaya wong andulu badhut, wong lungguh tan ditak-
limi, dakgebuga sambil pekoh."
( 18) Datan ajrih lare surak use mlayu, Jeng Sunan manebda aris,
"Paman aja rika aruh, wus jemake bocah cilik, jer misih ka-
sihe Manon.
( 19) Becik rika alinggihan diatutug, rika pajar Kyai Pengging,
nggen banget tarimaningsun, ngriki desa ngrane pundi",
kang tinanya saweca Ion.
(20) "Ing Kenayan ngriki dhusun namenipun", Sunan Kudus ang-
ling malih, "Penet lihen Ngaruh-aruh, manira ingkang nyali-
ni, nggih prayogi Sanak ingong."
(21) Ri wusira gya laju Jeng Sunan Kudus, prapta ngandhaping
k uweni, sejawining banon agung, karsa (k. 5 72) kendel sang
Ayogi, wit kuweni geng sakebo.
22) asline: cekakik

401
(22) Roning luhur anglir gurda aubipun, panglindhung• nganti-
yang ninis, dangu ken del sang A wiku,

kang sekabat kin on
keri, winangsit lukiteng kewoh.
(23) "Ya wekassun lamun ing jro ana gumruh, bendhe tabuhen
diaglis, ya sun dhewe kang lumebu, nging dipadha ngati-ati",
gya wonten ni tuwa katon.
(24) Jeng Sunan ngling, "Nini ingsun titip batur, sun arsa marseng
Kiyai, yen nggawaa batur saru, sabab sun tan metu kori, sun
metu butulan kulon."
..
(25) Ngling ni tuwa tanya "Pundi dika Bagus", Jeng Sunan alon
nauri, "Manira Nyai ing Kudus, ya sira matura Kyai, lamun
ingsun arsa panggoh."
(26) Nini tuwa mring Jeng Sunan aturipun, "Kyageng sawek ap-
rihatin, tan saged manggihi tamu", Jeng Sunan ngandika rna-
lib, "Ni wecakna ujar ingong.
(27) La- (k. 573) mun ingsun dutane Ywang Mahaluhur, ya wijil-
an seka nglangit", nini tuwa gya lumebu, prapta matur Kya-
geng ririh, sangking sejawining kobong.
(28) "lnggih Gusti ing Jawi pan wonten tamu, ngaken dutane
Ywang Widi, tedhakan sing langit biru", Kyageng mesem
nglingnya aris, "Undangen mring ngarsaningngong."
(29) Cethi mijil ngawe Sunan gya tumanduk, prapta ing jro ge-
dhong aglis, Sunan uluk salam sampun, Kyageng Pengging
ngancarani, "Ing
_,..
riki sami alunggoh."
(30) Nyingkap klambu jawab asta tata lungguh, Ki Ageng ngandi-
keng rabi, "Rubiyah saosa suguh, dhedhaharan kang prayo-
gi", Nyi Geng lengser manjing pawon.
(31) Sunan Kudus andhawuhken kang pamuwus, "Heh kita Ki
Ageng Pengging, kang timbalan Jeng Sang Prabu, heh ta
iya pilih endi, kang neng jaba tenapijro.
(32) Aneng ngisor kelawan kang (k. 574) aneng luhur", Kyageng
Pengging Ion nauri, "Tan nampik tan milih ingsun, ngreh su-
mangga karseng widi, tan wigya yen dhandhang enggon.

402
'LXIV. DHANDHANGGULA

( 1) Yen miliha ing jero pan sisip~ yen miliha njaba luwih sasar,
semang-semang pangidhepe, yen miliha ing luhur, pan kuman-
dhang diaku yekti, yen miliha ing ngandhap, temah sasar-
susur, kapire pitung medahab, njaba njero ngisor ngluhur dar-
bek mami, sonyane darbek ingwang."
(2) Sunan Kudus wengis dennya angling, "Sira iku mula kekan-
dhangan, nora mantep panggilute", Ki Ageng Ion amuwus,
"Dene sira apindho kardi, yen wis kinecapena, mesthine ingu-
lu, yen linepeh siya-siya, pan was-uwas wong uwas kedha-
dhung eblis, mung angas idhepira.''
(3) Sunan Kudus angandika malih, "Sira bisa mati jroning ge-
sang, ya padha sa- (k. 575) dina kiye, yen bisa sun arsa
wruh", Kyageng Pengging nglingira aris, "lngsaallah ta aja,
ana sira pan wus, ya nora njejampang iman, kita iku baya ta
arsa ngyekteni, mring ingsun tan suminggah. ,
(4) Lamun sira anggaliha santri, yekti santri satuhu manira, yen
terkanen lare angon, nyata sun wijil ngratu, yen nerkaa Allah
mring mami, pan iya nyata Allah, sakarsanta ngrengkuh, ka-
wula nyata kawula", Sunan Kudus ngling, "Sun arsa wruh
ayekti, mring pati pekenira."
(5) Kyageng Pengging mesem nauri ngling, "Yen mengkono
karsane sang Nata, arsa karya lelabete, ngendi ana satuhu,
umat bisa mata pribadi, nanging penjaluk ingwang, ing sa-
pungkur ingsun, ja ngembeti ing akathah, ngemungena ing-
suri dhewe kang nglabuhi", Sun an Kudus manebda.
(6) "lya aja sira sumlang ati", Kyageng Pengging alon wuwusira,
"Mayo sekengira (k. 576) kuwe, tamakna sikut ingsun", -
Sunan gancang sikut sineking, Ki Ageng narik napas, niba
nulya lampus, Sunan Kudus nulya nggetak, uluk slam Ki
Ageng isih nauri, "Ya ngalaekum salam."
(7) Sunan Kudus sigra mesat aglis, prapta njawi pangguh saba-
tira, wusnya jarwa laju age, wamanen garwanipun, Nyi Geng

403
Pengging dereng udani, glis nggennya miyak gubah, uninga
seda wus, layon raka gilang-gilang, karuna njrit layon raka
densungkemi, sambatnya melas arsa.
(8) Para cethi sedaya nut anjrit, kapiyarsa njawi pekarangan,
sedaya kwula wangsane, estri jalu lumebu, sampun mashur
lamun ngemasi, Ki Ageng kenging cidra, njawi tandang gure-
ruh, kulon wetan kidul prapta, sawontene kwula Pengging
anutuhi, mring jalma kang anyidra.
(9) Sabat ing jro Pak Kadim nulya glis, manjing dalem Ka-
dim si- (k. 577) gra nyandhak, kang pusaka Pengging bendhe,
Kiyai Udanarum, bendhe iku kalane nguni, duk Prabu Daya-
ningrat, nalika rumuhun, yen don nglurug mbedhah praja,
bendhe lamun tinabuh ana garimis, mesthi lanang yudanya.
(10) Ki Danarum tinabuh tinitir, munya ngangkang wong Peng-
ging wurahan, alok gumrah wor tangise , we tara wong tri atus,
ingkang samya tandang ndhimini, kang wuri gurawalan,
liweran aselur, warnanen tindaknya Sunan, mirsa mesem ken-
del ngandhap pucung nguni, Ngaruara Kenayan.
( 11) Kyai Macan tinabuh tinitir, ngungkung nggereng anglir rna-
cam ngombang, wong Pengging wespadeng anon, wadyanya
Sunan Kudus, abrasinang katon sakethi, anggabag neka
warna, lir jeladri tedhuh, ngaler ngilen lampahira, kwula
wangsa Pengging gumrah anututi, sru nebda, "Amandhega.
( 12) Heh (k. 578) wong cidra papagen sun iki, aja tangg ng sira
amrih patya, belakena gusteningngong, ya aja tinggal playu,
taker marus aliru titih" , kotbuta sedayanya, myarsa Sunan
Kudus, nolih kendel asru nebda, "Heh wong Pengging ingsun
tan nedya ngembeti, wong cilik kaya sira."
( 13) K wula Pengging mberung anututi, " Ya wong cidra sakethi
wuwuha, mayo tameng jaja kene, angadu tosing balung, ken-
ceng otot wuleding kulit , atepung pupu jangga, akantaran
bau, ya mayo taker ludira, rebut titih mangrok bandawala
pati, ditanggen aja on cat."
(14) Sunan Kudus madeg nolih wuri, sarwi ngawe astanira kanan ,

404

,

"Heh padha lungaa bae, aja na salah dudu, pan wong cilik
nora udani, dosane gustenira, kaprana ing ratu", kang teken
kinipat ngetan, pe- (k. 579) ngrasane kang mungsuh mange-
tan sami, wong Pengging mbrereg ngetan.
( 15) SaiWi surak nggennya anututi, kang mange tan katonnya
a1eksan, tan kena doh selakune, kesaput dalu pan wus, wa-
dya Pengging manganan ngering, pijer ajejembungan, tan
ngalor tan ngidul, ngetan ora ngulon ora, Sunan Kudus ing
Kali Pepe wus prapti, ler kali tata lenggah.
( 16) Nyirat tirta tegal kidul kali, Sunan Kudus angandikeng sa-
hat, "Wong Pengging amesakake, tepa-tepa wak ingsun, du-
we sanak Ian duwe Gusti, dimene padha prapta, ing sasedya- ,
nipun, yen wis metu keringetnya, mengko lamun ngancik
tegal pinggir kali, mesthi nepsune ilang."
( 17) Gya ngawekken tekennya sang Yogi, ngidul ngetan kang bi-
ngung waluya, dadya anut selasahe, sarwi surak gwnuruh,
pitung atus yen winetawis, rampak arebu- (k. 580) t ngarsa,
kidul kali rawuh, jalma Pengging sami lumyat, pengrasane
mungsuhe ana sakethi, abra lir gunung kobar.
( 18) Wadya Pengging ngancik kidul kali, manahira pan, sami dera-
na, dadya sima kanepsone, katelah wonten dhusun, ran De-
rana Jimbung semangkin, ing wau kang sejarah, nenggya Su-
nan Kudus, salampah rinekseng Sukma wadya Pengging wa-
wang tyas seksana mulih, menedi kang kunarpa.
( 19) Sun an Kudus gya laju lumaris, kuneng gantya Pengging
kang winarna, kang layon sampun sinare, ler kilen dalemipun,
garwanira langkung prihatin, putra jalu sajuga, pan lagya cu-
mucut, sawusnya ing sapta dina, garwanira Nyi Ageng nusul
ngemasi, sinare n unggil raka .
.
(20) Mas Kerebet pan ginanti-ganti, kang amomong sentanane
samya, dipunugung sakarsane, nengna malih winuwus, Sunan
Kudus ing (k. 581) Demak prapti, wus katur sasolahnya, pra-
tingkah ingutus, wusnya narpa galih trustha, gancang kandha
nata nggennya madeg Aji, ing Demak saya arja.

405

(21) Sam pun nenem putra dalem Aji, nenggya gangsal putra ing-
kang priya, mbajeng Pangran Sabrangeler, putra kakung pang-
gulu, krama antuk ing Partaragi, Bethara Katong atma, nggen-
nya krama runtut, sinung juluk Dyan Trenggana, nulya Rayi
Pangeran Seda ing Kali, gya Pangran Kendhuruan.
• (22) Dyan pamekas malih putra putri, Jeng Ratu Mas mangke wus
akrama, antuk pangran ing Cirebon, kuneng carita prabu,
dugi lami surut sang Aji, ing mangkya keng gumantya, putra
ingkang sepuh, Pangran Sabrang madeg nata, sulih darma tan
lami nulya ngemasi, sinare tunggil rama.
(23) Dyan Trenggana kang gumantya Aji, ingestrenan pra wall
sakima, Sultan Demak jejuluke, pengulu Sunan Kudus, (k.
582) myang patihnya mangke wus salin, Patih Mangkurat
lena, putra madeg juluk, Kyana Patih Wanasalam, kuneng

Demak ing Pengging wuwusen maJih, Mas Krebet ing semang-
kya.
(24) Yuswanira pan wus dasa warsi, langkung pekik wau warnani-·
ra, dedeg pideksa mangronje, salira alus lurus, bau. wijang
nraju mas radin, cahya mangendra capa, sedheng mangsa telu,
amung keciwane lola, meksih lare remen aningali ringgit, pan
ngantya ngenger dhalang.
(25) Sentanane anyekarep sami, Mas Kerebet pinrih sukanira, di-
punugung sakarsane, malah wus lantip manggung, pan warna-
nen Nyi Ageng Tingkir, tedhak mring Pengging arsa, wrin
tilaranipun, mring putrane arenira, dene rama Ian 1 u sami
ngemasi, Nyi Geng lampahnya prapta.
(26) Mas Karebet nulya amanggihi, tinangisan marang ingkang
uwa, kadang mitra se.dayane, sami anglut amuwun, kathah
ingkang (k. 583) keraseng galih, Nyi Ageng Tingkir mojar,
"Heh ta Sanak ingsun, sunjaluk rilane padha, putraningsun
mengko sungawa mring Tingkir'', sedaya tur sumangga.
(27) Wus binekta Ki Jaka mring Tingkir, sapraptanya pan dinama-
dama, ngugung barang sakarsane, Nyi Geng Tingkir pan tutus,
nggen keringan mring kanan kering, sasedanireng raka, pan

406

meksih sinungun, pinundhi-pundhi manca pat, Mas Karebet


wus karan Ki Jakatingkir, wonten ing Ardi Purwa.
(28) Dalu rena Ki Jaka nenepi, sanggen-enggen guwa wana sonya,
jawuh nendra jro guwane, tan wawang bayeng kewuh, sato
galak kang neng wanardi, dera mrih kawidigbyan, ing tyas
ngudi tuwuh, nggraita prajurit tama, mrih digdaya kaprawi-
ran guna sekti, aneh samine larya.
(29) Wus sinigeg pangrengganing tulis, pan tiniti rampunging pa-
nyerat, anuju ri Respati Pon, wancinya bakda luhur, tanggal
kaping sawlas kang (k. 584) sasi, Dulkangidah warsanya,
Ehe kang lumaku, tinengran candra sangkala, rasa atri mang-
esthi Sri Narapati, wuku Kruwelut lagya.
(30) Mangsanira kapitu marengi, windu Adi Langkir lambangira,
Hijrah Nabi sengkalane, warna dwi katon jumbuh, Wlandi
kaping pitulikuring, Dhesember sinengkalan, kang rasa akum-

bul, terns ing langit semangkya, dene laju sam betaning srat
puniki, neng samak angka dhuwa.

. !

407
•,

'"


..
Buku ini harus anda kembalikan
paling lambat pada tanggal
yang tercantum terak.hir.

e.I

No. Buku : 959.8 ·- Ind ... b I



-.
-

.l

..... ..

• •

6p . ,.--._ --"P> :;.i ... ,.,: ,.,.....

~PN BALAI PUSTAKA- J~~ARTA

Anda mungkin juga menyukai