Anda di halaman 1dari 9

Jika ditelaah mengenai yang mana cerita rakyat yang benar, maka dua versi

tersebut tidak dapat menjelaskan lahirnya Sintren secara pasti, karena keduanya
memiliki kelemahan, bahkan saling bertentangan. Agar memermudah dalam
memahami perbedaan antara kedua versi cerita rakyat mengenai asal-usul Kesenian
Sintren, penulis menyajikan dalam tabel berikut:
Tabel. 1 Perbedaan Cerita Rakyat Tentang Asal-usul Kesenian Sintren
N
Keterangan
Versi pertama
Versi kedua
o
1
Kehadiran
Tokoh utama
Tokoh utama
empat tokoh utama
diperankan oleh Bahureksa diperankan oleh
dalam kesenian
dan Rantansari. Nama
Sulandono dan Sulasih
sintren (Bahureksa,
tokoh Sulasih adalah nama (gadis lain-orang yang
Rantansari,
penyamaran dari
beda dengan
Sulandono, dan
Rantansari, sementara
Rantansari). Kehadiran
Sulasih)
Sulandono merupakan
Bahureksa dan
tokoh yang tidak ada.
Rantansari merupakan
orang tua dari
Sulandono.
2
Peristiwa
Tidak ada peristiwa
Ada peristiwa
kesurupan (trance)
kesurupan pada Rantansari kesurupan pada Sulasih
dan kehadiran
sebagai penari dalam cerita sebagai penari, dengan
pemeran pawang
rakyat. Peristiwa
bantuan kehadiran
kesurupan pada penari
pawang yang
merupakan bagian dari
diperankan oleh
perkembangan/
Rantansari.
manifestasi dalam bentuk
kesenian tari dengan
bantuan pawang (ahli
magis yang tidak berada
dalam cerita)
Sumber: hasil olahan data penelitian Januari 2015
Pertentangan-pertentangan

tersebut

menunjukan

adanya

makna

yang

ambiguitas-paradoksal pada lahirnya Sintren. Pada versi pertama kemunculan


kesenian Sintren berawal dari penyerangan Batavia (beberapa literatur menegaskan

bahwa Bahureksa meninggal pada saat penyerangan Mataram ke Batavia pada tahun
1628), akan tetapi pada versi kedua justru menunjukan bahwa kesenian sintren sudah
ada sejak zaman kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Sultan Agung-Bahureksa.
Dalam versi pertama Bahureksa tidak memiliki keturunan, tapi pada versi kedua
menyatakan bahwa Sulandono merupakan putra dari Bahureksa.
Kelemahan lainnya, pada dua versi cerita rakyat diatas tidak dapat menjawab
bagaimana pertunjukan seni tari tersebut (baik yang diperankan oleh Rantansari pada
versi pertama maupun Sulasih pada versi kedua) kemudian dinamakan sintren. Ada
pendapat, secara etimologi kata sintren berasal dari dua kata si yang mempunyai
arti dia dan tren yang berarti panggilan untuk seorang putri, sehingga sintren
dapat diartikan si dia seorang putri (Sugiarto, dkk, 1989-1990 dalam Triratnawati,
dkk, 2012: 41). Hal ini dibenarkan oleh Triratnawati, dkk., karena penyebutan atau
pemberian arti tersebut sudah sesuai jika dicocokan dengan realitas kesenian sintren.
Menurut hemat peneliti, etimologi tersebut (pada kata tren) masih memiliki
kelemahan jika dikaitkan dengan realitas kesenian sintren. Arti kata tren tersebut
tidak dapat mewakili atau menunjuk si dia penari yang mengalami kesurupan,
padahal ciri khas dari realitas kesenian sintren adalah terjadinya kesurupan pada
penari sintren yang diperankan oleh seorang gadis (perawan).
Adanya berbagai kelemahan dan pertentangan-pertentangan atas cerita rakyat
sebagai dasar lahirnya kesenian sintren terhadap realitas kesenian sintren, maka
makna lahirnya kesenian Sintren yang dibagun atas kisah (pada versi pertama
maupun versi kedua)

dapat dikatakan sebagai makna yang diada-adakan atau

mengada-mengada. Sebagaimana yang dikatakan Barthes (2007:185), bahwa seni


tidak menciptakan figur-figur, hal yang berfigur dalam seni merupakan suatu
kombinasi artifisial yang dilakukan oleh seni dari elemen-elemen natural. Dengan
kata lain, konvensionalisasi lahirnya kesenian Sintren yang didasarkan pada dua versi
cerita rakyat diatas, tidak terlepas dari otoritas seniman sebagai orang yang
memproduksi kesenian tersebut dengan segenap agenda tersembunyi dibalik realitas
tanda yang diproduksinya.
1

Mengembalikan Hakikat Sintren Melalui Logika Cermin Antara Realitas


Kesenian Sintren dan Persamaan Genetis dalam Cerita Rakyat
Unsur- unsur dalam kesenian sintren tidak terlepas dari asal-usul munculnya

kesenian Sintren yang terangkum dalam cerita rakyat. Dari dua versi cerita rakyat
diatas satu sisi menunjukan pertentangan, tapi di sisi lain juga menunjukan adanya
dua persamaan genetis, yaitu kesenian Sintren lahir dari kisah Bahureksa dan kisah
cinta dua sejoli yang mendapat pertentangan dari pihak ketiga.
Mengutip pendapat Culler (dalam Wibowo, 2010), bahwa suatu karya sastra
atau karya seni tidak lahir dari ruang hampa yang sepi senyap, melainkan hasil
pergulatan sang pujangga (sastrawan/seniman) dengan teks-teks kehidupan. Bertolak
dari asumsi tersebut, maka asal-usul sintren tidak lepas dari konteks budaya
(kehidupan) seniman yang terjadi pada saat itu.
Bahureksa atau Tumengung Bahureksa, memiliki nama lain yaitu Kiai
Rangga. De Graaf, (2002: 177-195) lihat juga Kresna, (2011), menyatakan bahwa
Bahureksa merupakan panglima tertinggi armada Jawa dibawah kepemimpinan
Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma) raja Mataram Islam. Semua sumber Belanda

hanya mengenal Tumengung Bahureksa, penguasa Kendal, sebagai panglima pertama


yang dalam sergapan Belanda gugur pada 21 Oktober 1628. Kaitannya dengan
kesenian Sintren, daerah-daerah pengembang kesenian Sintren merupakan daerahdaerah yang memiliki sejarah atau petilasan Bahureksa, seperti Kabupaten Batang,
Kendal, Pekalongan, Tegal, Pemalang, dan Cirebon. Di Batang dan Pekalongan,
legenda Bahureksa mengisahkan sejarah terbentuknya nama Batang dan nama
Pekalongan.
Pengganti Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma) adalah Amangkurat I yang
menggunakan gelar sunan (sesuhunan atau yang dipertuan), hal ini dimaksudkan
untuk mengembalikan setatus raja sebagai penguasa mutlak. Awal penobatannya
sebagai raja Mataram, Amangkurat I memerintahkan untuk membunuh 3.000 orang
bawahan ayahnya yang dianggap akan melawan dirinya. Pada tahun 1647, ibu kota
Mataram dipindahkan dari Kerto ke Plered dengan bangunan keraton yang terbuat
dari batu bata tebal. Adik Amangkurat I (Pangeran Alit) melakukan pemberontakan
karena Amangkurat I kerap mengorbankan rakyat demi kepentingan Belanda,
sehingga Amangkurat marah, Pangeran Alit ditangkap di alun-alun dan dibunuh.
Selanjutnya, Amangkurat I mengumpulkan sekitar 5.000-6000 ulama beserta keluarga
mereka, kemudian dibantai di Plered. Di sisi lain, Amangkuarat I lebih menyukai
hal-hal yang berbau klenik daripada menjalankan syariat islam seperti ayahnya Sultan
Agung. Sikap Amangkurat I yang kejam tersebut juga dicatat oleh pegawai VOC,
Rijcklof Volkertz Van Goens, juga H.J. De Graaf dalam bukunya yang berjudul
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I.
Amangkurat I sangat mementingkan kepentingan duniawi dan memelihara
banyak selir. Sekitar tahun 1667 M, setelah kematian Ratu Malang, isteri penguasa
Kerajaan Mataram, Amangkurat I menyuruh dua orang mantri, yaitu Nayatruna dan
Yudakarti untuk mencari wanita pengganti yang sama cantiknya. Wanita itu
disyaratkan harus berasal dari daerah yang sumurnya berair segar. Kedua utusan
tersebut berangkat menjalankan tugasnya. Saat sampai di sebuah tempat, mereka
bertemu dengan seorang mantri yang bernama Ngabei Mangunjaya. Setelah
mendengar maksud dan tujuan keduanya, mantri itu menawarkan anak perempuannya
yang bernama Rara Oyi. Para utusan terpesona melihat gadis itu. Singkat cerita, Rara
Oyi dibawa ke Plered. Sewaktu dihadapkan kepada Amangkurat I, Raja
menganggapnya masih terlalu muda dan karenanya dititipkan kepada seorang mantri
yang bernama Ngabei Wirareja untuk nantinya setelah cukup dewasa dipersunting
oleh Amangkurat I.
Suatu saat putera mahkota, RM Rahmat (kelak menjadi Amangkurat II),
setelah gagal menikah dengan putri Raja Cirebon, secara kebetulan mampir ke rumah
Ngabei Wirareja. Dia melihat Rara Oyi yang sedang membatik bersama Nyai
Wirareja, RM Rahmat/Amangkurat II jatuh cinta kepadanya. RM Rahmat bertanya
tentang siapa dan status gadis tersebut. Wirareja memberitahu bahwa gadis itu adalah

calon isteri ayahnya. RM Rahmat dikabarkan patah hati lalu sakit keras, tidak makan
dan tidak tidur. Kerabat yang diorangtuakan oleh RM Rahmat (Pangeran Pekik dan
Ratu Wandansari-berwibawa di Mataram) yang tahu hal itu mengambil langkah
berani. Meraka pergi ke rumah Wirareja dengan membawa hadiah yang mahal-mahal
untuknya. Wirareja rupanya terbujuk dan diberikanlah Rara Oyi, yang kemudian
dibawa ke keraton, tempat tinggal RM Rahmat. Rara Oyi jatuh cinta terhadap RM
Rahmat dan mendapat dukungan dari Pangeran Pekik dan istrinya.
Amangkurat I marah mendengar berita itu. Sunan lalu memerintahkan
menyerbu dan membunuh kerabat tersebut beserta 40 orang keluarga/pengawalnya.
Wirareja pun dibuang dan kemudian dibunuh di hutan Lodaya/Ponorogo. Sementara
Putera Mahkota Pangeran Adipati Anom diperintahkan membunuh Rara Oyi dengan
tangannya sendiri. Sejak saat, itu Amangkurat I menjadi lebih kejam membunuh
orang-orang disekitarnya. Ia mengurung sekitar 100 wanita yang terdiri atas para selir
dan abdi ratu di kuburan, sehingga mereka mati kelaparan.
Setelah mencermati fakta kesejarahan, maka tokoh Bahureksa dalam
kesenian sintren merupakan tokoh yang dimunculkan karena kerinduan seniman
terhadap kepemimpinannya.

Kerinduan pada

masa lampau (kepemimpinan

Bahurekso-Sultan Agung) ini dapat dibaca sebagai implikasi sikap dan kekejaman
Amangkurat I yang terjadi setelah masa pemerintahan Sultan Agung. Kisah tragis si
gadis kecil Rara Hoyi/Rara Oyi yang meninggal ditangan Amangkurat II
menggambarkan adanya kisah cinta dua sejoli yang mendapat pertentangan pihak
ketiga.
Untuk mengetahui asal-usul kesenian sintren yang terkandung didalamnya
peneliti menggunakan logika cermin. Logika cermin yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah realitas kesenian sintren merupakan cerminan dari konteks budaya
(kehidupan)

penciptannya

(seiman).

Sebagaimana

realitas

kesenian

sintren

menunjukan bahwa ciri khas kesenian sintren adalah diperankan oleh seorang gadis

(perawan) dan adanya peristiwa kesurupan pada gadis tersebut. Untuk mempermudah
mengurai dan menjelaskan maka peneliti menggunakan bagan berikut:

Sintren
Realitas Kesenian Sintren

Cerita Rakyat

Tokoh Bahureksa

Kisah Cinta Dua Sejoli

Fakta Sejarah

Perawan

Rara Oyi
Kepemimpinan Amangkurat I dan VOC
Supranatural

Kesurupan

She Trance
Sintren

Bagan 1. Logika cermin antara cerita rakyat dan realitas kesenian sintren

Sintren yang hidup dalam masyarakat terdiri dari realitas kesenian dan cerita
rakyat. Dalam realitas kesenian sintren, ciri khas yang ditampilkan adalah penari
sintren harus diperankan oleh seorang gadis (perawan) dan terjadinya peristiwa

kesurupan pada penari tersebut. Sementara itu pada cerita rakyat (setelah ditelusuri)
terdapat dua persamaan genetis yaitu ketokohan Bahureksa dan kisah cinta dua sejoli
yang mendapat pertentangan pihak ketiga. Merujuk pada fakta sejarah, kedua
persamaan genetis terdapat ada dalam konteks budaya masa kepemimpinan
Amangkurat

yang

menjalin

kerja

sama

dengan

pihak

VOC.

Dalam

kepemimpinannya Amangkurat I mencintai Rara Oyi yang berusia di bawah umur (11
tahun). Suatu ketika anak Amangkurat I yang kemudian menjadi Amangkurat II juga
menyukai Rara Oyi. Hingga akhirnya Rara Oyi dibunuh oleh Amangkurat II dibwah
perintah Ayahnya. Sehingga dalam hal ini makna keperawanan yang menjadi realitas
kesenian sintren dibaca sebagai representasi dari Rara Oyi gadis (perawan).
Mengenai peristiwa kesurupan yang menjadi ciri khas dari realitas kesenian
sintren memang belum dapat dipastikan secara tepat. Namun ada sedikitnya dua
kemungkinan; pertama, peristiwa kesurupan merupakan representasi dari kesenangan
Amangkurat I terhadap hal-hal yang berbau klenik (supranatural), dan kedua,
peristiwa tersebut merupakan kritik rakyat terhadap sikap rasionalitas yang dibawa
VOC dalam kepemimpinan Amangkurat I. Senada dengan pernyataan ini penelitian
Rumekso Setyadi terhadap syair-syair yang dinyanyikan untuk mengiringi
pementasan dan ragam atribut yang dikenakan penarinya, maka sebuah hipotesis
awal yang diambil Rumekso Setyadi adalah ada sebuah simbol dan siasat kebudayaan
tertentu dari masa lalu dalam tradisi sintren masa kini tersebut (Hutari, 2009).
Munculnya kesenian sintren ditenggarai dengan transformasi kekuasaan di
pesisir dari kekuasaan Mataram ke pemerintah kolonial. Sintren adalah kesaksian

dari sebuah kebudayaan kolonial yang pernah berkembang di kalangan elite birokrasi
Eropa dan aristokrat pribumi, yaitu kegemaran berpesta dan dansa-dansa mewah di
gedung-gedung pertunjukan. Untuk meniru gaya hidup borjuasi kolonial, rakyat
membuat suatu bentuk kesenian yang merupakan ekspresi imitasi dari sebuah produk
kebudayaan elite dan kemudian terciptalah

sintren. Meniru disini dalam artian

sebagai kritik dari para kaum pribumi (masyarakat bawah) terhadap elit birokrasi
Belanda dan aristokrat pribumi. Hal ini didasari dengan mentalitas masyarakat Jawa
yang tidak mau berkonflik secara terbuka.
Munculnya istilah sintren merupakan sebutan yang diberikan dari VOC
untuk menunjuk kesenian tersebut. Istilah sintren berasal dari kata She dan
Trance, She berarti dia perempuan dan trance berarti kesurupan, sehingga
she trance adalah dia perempuan yang kesurupan. Namun karena lidah Jawa, kata
tersebut menjadi sintren. Hal ini sesuai dengan realitas kesenian sintren, yaitu
penari sintren diperankan oleh seorang gadis dan terjadinya peristiwa kesurupan pada
gadis tersebut.
Dari paparan diatas dapat ditarik simpulan bahwa kemunculan sintren
merupakan perlawanan rakyat dari kepemimpinan Amangkurat I yang memunyai
sikap sangat kejam dan menjalin kerja sama dengan pihak VOC. Sikap Amangkurat I
tersebut bertolak belakang terhadap kepemimpinan Sultan Agung (Raja yang berhasil
membawa punjak kejayaan Mataram). Hal ini menyebabkan masyarakat Jawa
merindukan kepemimpinan Sultan Agung, khususnya kepemimpinan Bahureksa di
wilayah pantai utara Jawa. Secara konseptual, kemunculan kesenian sintren dapat

dibaca sebagai seni romantis. Triyanto (2010:33), menegaskan bahwa beberapa khas
gaya romatis dalam seni adalah pemujaan terhadap alam, rasa melankolik dan
nostalgik terhadap masa silam, kesadaran agama mengambang, mengarahkan
perhatian pada diri seniman dan proses kreatifnya, lari dari kenyataan yang rill, serta
berupaya menciptakan dunia lain (khayal) yang bersifat emotif dan imajinatif.
Sintren sebagai seni romantisme merupakan aliran seni yang berusaha
menampilkan hal-hal yang fantastik, irasional, dan absurd. Realitas kesenian ini
melukiskan cerita-cerita romantis tentang tragedi yang dasyat, kejadian dramatis yang
biasa ditampilkan dalam cerita (roman). Kesenian ini cenderung kepada hal yang
berurusan dengan perasaan seseorang, eksotik, dan kerinduan pada masa lalu.
Purwanto (2010:8), menyatakan bahwa ciri-ciri aliran romantisme yaitu meliputi; 1)
mengandung cerita yang dahsyat dan emosional, 2) dalam tarian, penuh gerak dan
dinamis, 3) warna kontras dan meriah, 4) mengandung kegetiran dan menyentuh
perasaan, dan 5) kedahsyatan melebihi kenyataan. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa asal-usul Sintren merupakan proses dari romantisme
menjadi kesenian rakyat.

Anda mungkin juga menyukai