Anda di halaman 1dari 6

Lembar Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Sosiologi Sastra

Alfi Yusrina

0906527351

3 April 2012

Reputasi dan Pengorbanan Perempuan: Sebuah Tinjauan Sosiologis


atas Cerpen-Cerpen Nugroho Notosusanto

Pendahuluan
Sastra adalah cerminan dari masyarakat penciptanya. Menurut Wellek dan
Waren (via Damono, 2010: 4)), pembaca sastra harus dapat mengetahui metode
artistiknya. Swingewood (Ibid. hlm. 6-7) mengatakan tidak semua karya sastra dapat
menjadi cermin masyarakatnya. Untuk itu, pembaca memerlukan alat bantu yang
tepat untuk mengkaji karya sastra sebagai proyeksi dari suatu zaman.
Kajian sosiologi sastra dapat dilakukan melalui pendekatan sosio kultural.
Pendekatan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek penanda. Pendekatan ini
mempertimbangkan sebuah karya sastra adalah hasil eksperimen moral, yaitu
menampilkan tanggapan evaluatif terhadap keadaan kultur di suatu masa. Karya
sastra juga menunjukkan perkembangan watak kultural. Pendekatan sosio kultural ini
digunakan untuk mendedah dua cerpen karya Nugroho Notosusanto yang berjudul
“Pengantin” dan “Tayuban”. Dua cerpen ini adalah bagian dari buku kumpulan
cerpen Tiga Kota.
Sekilas mengenai latar belakang pengarang, Nugroho N. berasal dari
Rembang, Jawa Tengah. Ia dilahirkan 15 Juli 1931, dan meninggal 2 Juni 1985.
Selain seorang sastrawan, Nugroho N. adalah seorang ahli sejarah era Orde Baru. Ia
pernah menjabat sebagai Kepala Sejarah ABRI, dan pengajar SESKO ABRI dan

1
Lemhanas. Ia pernah menjabat Rektor Universitas Indonesia (1982-1985) dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1983-1985).
Analisis ini melihat bentuk-bentuk feodalisme masyarakat Jawa terhadap
tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen “Pengantin” dan “Tayuban”.

Analisis Bentuk-bentuk Feodalisme terhadap Tokoh Sri dan Tokoh Nenek


Yakob Sumardjo (1982, 30-35) dalam artikel “Masalah Perdesaan dalam
Sastra Indonesia” berpendapat jika mempelajari karya sastra berarti mempelajari juga
kondisi sosial suatu masyarakat. Untuk memahami lebih jauh, pembaca harus
mengetahui latar belakang dan pengalaman pengarang. Oleh sebab itu, pembaca akan
lebih mudah memahami karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Nugroho Notosutanto,
atau Trinoyuwono, daripada karya-karya Montinggo Busye.
Kumpulan cerpen Tiga Kota memiliki tiga bab. Ketiga bab tersebut dibagi
berdasarkan latar tempat penceritaan. Kumpulan cerpen ini banyak mengangkat
masalah-masalah perdesaan. Melihat hal tersebut, pembaca diharapkan tidak
menganggap karya sastra adalah karya yang otonom. Untuk memahami kondisi sosial
suatu masyarakat, pembaca diajak untuk mengaitkan unsur-unsur di luar teks, seperti
tentang asal-usul pengarang dengan teks.
Dalam analisis ini, dua cerpen tersebut berlatar tempat di Rembang. Bagian
pendahuluan telah menyebutkan bahwa Nugroho N. berasal dari Rembang. Ada
kemungkinan bahwa cerpen-cerpen ini memiliki kedekatan dengan dunia Nugroho,
yaitu memiliki kesamaan latar tempat, Rembang.
Kondisi sosial yang ditampilkan oleh Nugroho N. mengenai kota
kelahirannya dalam kedua cerpen dapat dilihat dari pendeskripsiannya. Cerpen
“Pengantin” mengisahkan seorang gadis anak Pak Sekater dari Rembang yang akan
dinikahkan dengan putera ketiga Pak Sinder dari Pati. Satu hari sebelum upacara
malam midodarini dilaksanakan, Sri yang akan menikah lusa diculik oleh Munoto
anak dari seorang Wedana Tjepu. Akibat dari penculikan tersebut, Ning, adik Sri,
terpaksa menggantikan posisi kakaknya untuk menikahi putera dari Pak Sinder.

2
Cerpen kedua berjudul “Tayuban” yang mengisahkan percakapan antara
seorang nenek dan cucu perempuannya. Cucu perempuan mengeluhkan suaminya
yang dinilai tidak menaruh perhatian lagi kepada sang istri. Nenek memberikan
nasehat melalui contoh-contoh kasus dalam perkawinannya. Salah satu contoh kasus
yang pernah dialami nenek, yaitu sewaktu enam bulan usia pernikahannya, kakek
terpaksa harus meniduri seorang penari tayub atas suruhan atasannya. Menurut sang
cucu, tindakan kakek tidak bermoral. Nenek tidak berpikir demikian. Nenek dapat
mengerti situasi yang menekan kakek pada saat itu.
Setelah membaca kedua cerpen tersebut, ada sebuah kemiripan yang
menghubungkan kedua cerita ini. Kedua cerpen ini memiliki kesamaan dalam
membicarakan masalah sistem feodal masyarakat Jawa, tepatnya masalah sistem
sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat.
Karya sastra Indonesia yang mengangkat masalah feodalisme cukup banyak
jumlahnya. Hampir seluruh karya angkatan Balai Pustaka pada tahun 1920-an
mengungkapkan masalah feodalisme (Esten, 1982: 28). Karya-karya yang
menyangkut feodalisme seperti Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan.
Menurut Sumardjo (1982: 15:18), karya sastra ada kecenderungan untuk
menunjukkan sifat-sifat pada zamannya. Karya sastra tidak harus selalu menjadi
cermin masyarakat pada zamannya. Bahan karya sastra memang dapat diambil dari
situasi sosial, tetapi kondisi atau kultur masyarakat tidak harus selalu digambarkan
apa adanya. Jika pembaca berpendapat bahwa cerpen-cerpen ini menunjukan sifat-
sifat pada tahun 1920-an, kemungkinan itu dapat terjadi. Permasalahannya, pembaca
sebaiknya tidak tergesa-gesa untuk memutuskan keseluruhan cerita di dalam cerpen-
cerpen tersebut benar-benar terjadi. Walaupun demikian, pembaca tidak dapat
menafikan bahwa permasalahan yang diangkat oleh pengarang dapat benar-benar
terjadi.
Kedua cerpen ini ditulis pada tahun 1954. Latar waktu “Pengantin” adalah
sekitar tahun 1920-an. Latar waktu “Tayuban” tidak disebutkan, tetapi dapat
diperkirakan ada dua latar waktu yang digunakan pengarang, yaitu waktu nyata ketika

3
adegan percakapan tokoh nenek dan cucunya, dan waktu di masa lampau ketika
nenek sedang bercerita kehidupannya.
Tema karya sastra yang menonjol pada masa itu kebanyakan memperlihatkan
kesulitan berlakunya adat, pola-pola kehidupan tradisional. (Mohamad, 1980: 15).
Menurut Goenawan Mohamad tidak sehat” pada zamannya. Kedua cerpen ini, jika
dilihat dari tahun penulisannya yaitu 1954, Nugroho N. seolah sedang menghadirkan
kembali tema-tema yang pernah menjadi tren pada tahun 1920-an.
Ada kecenderungan dalam cerpen “Pengantin” Nugroho N. berkeinginan
untuk merekam tema-tema yang menonjol pada tahun 1920. Hal ini juga tidak dapat
dilepaskan dari ketertarikan Nugroho N. terhadap sejarah dan satra Indonesia. Dalam
cerpen “Tayuban”, Nugroho N. seperti memberi jarak kepada antar tokohnya dan
pembaca, melalui dua tokoh dari generasi muda dan generasi tua.
Sistem feodal yang ada dalam kedua cerpen ini terletak pada hubungan antara
tokoh-tokohnya yang memiliki strata jabatan dalam kelas sosial, seperti dalam cerpen
“Tayuban” tokoh Mantri Polisi tunduk kepada perintah Gusti Kanjeng.

“Bupati zaman dlu sudah seperti raja, bukan nenek?”


“Ya, seorang bupati kalau bertitah, adalah seperti Kandjeng
Gubernemen sendiri memerintah.” (hlm. 28)
“Kakek berbyat demikian karena kewajiban. Ia akan dipecat kalau
berani menolak undangan Gusti Kanjeng.” (hlm. 31).

Kutipan di atas memperlihatkan ada strata sosial, yaitu seorang matri polisi
tunduk pada orang yang jabatannya lebih tinggi darinya, dalam cerpen ini adalah
seorang bupati. Ketakutan mantri menolak undangan bupati bukan karena ia tidak
suka ditawari penari tayub, melainkan ia lebih mementingkan jabatannya sebagai
seorang mantri.
“Kakek adalah laki-laki yang paling berbudi di seluruh dunia.” (hlm. 31)
Kutipan di atas memberi kesan bahwa persoalan meniduri penari Tayub tidak
salah dan dapat dibenarkan, selama jabatan suami tidak hilang. Hal ini menunjukkan
bahwa tokoh nenek juga tunduk pada sistem feodal. Pekerjaan atau jabatan suami

4
lebih penting daripada perasaan tokoh nenek. Nugroho N. menggambarkan tokoh
nenek yang ikhlas dan rela terhadap sistem feodal tersebut. Melalui ujaran-ujaran
tokoh cucu perempuan, seolah Nugroho N. sedang menunjukkan sebuah kompromi
dua generasi yang berbeda aliran.
Bentuk-bentuk kekuasaan sistem feodal juga nampak pada cerpen
“Pengantin”. Ayah Sri, seorang sekater, bersikap pasrah ketika Sri diculik putera dari
seorang wedana. Pada sistem sosial ini, posisi wedana jauh lebih tinggi daripada
sekater. Seperti tokoh nenek dalam cerpen “Tayuban”, tokoh Pak Sekater terpaksa
menyingkirkan perasaan tidak sukanya terhadap Munoto, putera seorang Wedana,
dan akhirnya patuh pada sistem feodal.
Pak Sekater jatuh ke ranjang Sri seperti sehelai lap basah. Fait
accompli yang dihadapkan kepadanya sangat tak tersangka-sangka dan sangat
keras pukulannya. Setelah berunding selama satu jam dengan kedua
saudaranya, Pak Menteri Lumbung dan Pak Kolektur, ia pergi ke stasiun
kereta dan pergi ke Pati. Di sana Pak Sekater dengan merendahkan diri
mempersembahkan kesalahannya kepada calon besannya. Mereka berunding
selama setengah jam dan mencapai suatu persetujuan. Setelah itu Pak Sekater
pulang ke Rembang. Setelah minum kopi, ia berangkat naik bus ke Tjepu
lewat Blora untuk berunding dengan Pak Wedana mengenai penculikan
putrinya, serta akibat-akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang ilegal itu.”
(hlm. 21)

Kutipan tersebut merupakan sebuah potret tentang seorang sekater yang harus
pergi menghadap orang-orang yang jabatannya lebih tinggi daripadanya hanya untuk
meminta keselamatan reputasi namanya. Pak Sekater harus menghadap Pak Sider dan
Pak Wedana, kedua orang ini memiliki jabatan yang lebih tinggi daripada Pak
Sekater. Dalam cerpen ini, selain tokoh Pak Sekater yang harus mengacuhkan
perasaan tidak sukanya terhadap Munoto, ia juga harus mengorbankan anak
bungsunya yang bernama Ning.
Tokoh Ning yang menjadi tumbal sistem feodal ini mengingatkan pada
seorang tokoh emansipasi wanita, R.A Kartini. Dalam hal ini, kemiripan tokoh Ning
dan R.A Kartini terletak pada sekuat apapun perempuan ini berjuang untuk

5
pendidikan, akhirnya mereka harus tetap kalah pada sistem feodal yang
mengungkung mereka.

Kesimpulan

Kedua cerpen ini pada akhirnya menunjukkan kepatuhan yang sedemikian


rupa pada feodalisme tetap saja akan berakhir dengan perasaan kalah. Nugroho
membuat definisi kalah tidak selalu berelasi dengan kesan negatif. Dalam cerpen
“Tayuban”, tokoh nenek walaupun suaminya telah meniduri perempuan lain, ia tetap
menerima sistem itu dan menganggapnya sebagai sebuah perbuatan yang baik karena
mematuhi perintah atasan, dan mengabaikan perasaannya sendiri.
Kedua cerpen ini juga mengungkapkan bahwa dalam sistem feodalisme peran
tokoh perempuan dan laki-laki sama saja. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Tokoh
laki-laki yang digambarkan dalam dua cerpen tersebut cenderung patuh pada sistem
karena ingin mempertahankan reputasi dan jabatan, sedangkan perempuan harus
menjadi korban dari sistem yang tidak menyisakan pilihan untuk mereka. Melalui
beberapa uraian dalam ujaran-ujaran tokoh perempuan, ditampilkan bahwa
kepasrahan posisi perempuan dianggap sebagai suatu yang wajar.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum.
Esten, Mursal. 1982. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Mohamad, Goenawan. 1980. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan
Notosusanto, Nugroho. 1970. Tiga Kota. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nur
Cahaya.
.

Anda mungkin juga menyukai