Anda di halaman 1dari 9

Analisis Sosiologi Sastra dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak

Karya Ahmad Tohari

oleh Ade Krisnawati (1506682175)

Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN

Karya sastra tidak terlepas dari fenomena sosial kehidupan manusia. Sehingga dalam
polemik atau permasalahan fenomena dari peristiwa kehidupan manusia menjadi hal yang
menarik jika dijadikan sebagai sebuah karya sastra. Dalam sebuah karya sastra, terdapat suatu
gambaran dari imaji pengarang atas fenomena sosial dengan tujuan menyampaikan suatu pesan
atas peristiwa sosial melalui karya yang disajikan pengarang tersebut. Karya sastra merupakan
refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Tanpa penciptaan, karya sastra tidak
mungkin ada. Karya sastra sebagai refleksi rasa dan karsa untuk menyatakan perasaan yang di
dalamnya terdapat makna yang terkandung maksuda dan tujuan tertentu.

Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang tidak terlepas dari budaya dengan
keindahan yang disajikan pengarang dalam sebuah karya sastra. Karya sastra juga merupakan
bagian yang tidak terlepas dari sosiologi masyarakat ketika menjadi objek bacaan yang
mempengaruhi pola hidup masyarakat. Keterkaitan dengan masyarakat karena dalam sebuah
novel sebagai hasil dari karya sastra perlu dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Karya sastra menjadi sebuah media yang sesuai untuk menggambarkan keadaan sosiologis dalam
kehidupan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang digunakan
untuk menganalisis peristiwa sosial yang terkandung dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari ini dapat berupa mobilitas sosial, perubahan sosial, dan konflik sosial. Dalam
novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan permasalahan di desa Tanggir pada tahun 1970an.
Novel Di Kaki Bukit Cibalak ini ditulis pertama kali oleh Ahmad Tohari pada tahun 1970.
Ahamd Tohari dalam novelnya tersebut begitu peka mengangkat permasalahan yang sesuai pada
tahun 1970 di mana Indonesia sedang di landa kemiskinan.
2. LANDASAN TEORI

Damono dalam Ratnaningsih (2011:13) Sosiologi merupakan telaah yang objektif dan
ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Proses
sosial dalam lingkup masyarakat merupakan wadah bagi manusia dalam berinteraksi sosial
dengan sesame manusia. Dalam proses sosial masyarakat terjadi berbagai fenomena yang
melibatkan setiap anggota masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai anggota
masyarakat, seseorang perlu memahami berbagai kondisi fenomena yang terjadi di lingkungan
masyarakat tersebut sehingga setiap anggota masyarakat dapat menjalankan peran masing-
masing dengan baik.

Damono dalam Ratnaningsih (2011:14) membuat klarifikasi dalam masalah sosiologi


sastra menjadi tiga. Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi
sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua,
sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok
penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga
sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Damono dalam Ratnaningsih (2011:14) membagi pendekatan sosiologi sastra menjadi


tiga bagian yakni: 1) konteks sosial pengarang, hal ini ada hubungannya dengan posisi sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, 2) sastra sebagai cermin
masyarakat, hal ini berhubungan dengan kaitan posisi kedudukan sastra sampai sejauh mana
dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat, 3) fungsi sosial sastra, dalam hal ini
berhubungan dengan sejauh mana nilai sastra dikaitkan dengan nilai sosial? dan sejauh mana
nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?

Sastra sebagai cermin masyarakat adalah bahwa posisi karya sastra akan mempengaruhi
segala sikap dan sifat masyarakat dalam menjalani kehidupan. Menurut Endraswara (2011:169)
yang mengatakan bahwa cermin itu benda yang tembus pandang. Cermin dapat memantulkan
cahaya. Sastra itu itu juga sebuah cermin. Membaca sastra, sama halnya sedang bercermin diri
sejak awal, kehadiran kritikus sastra, kritikus sosiologi sastra telah memperhatikan sastra sebagai
sastra yang indah karena mampu mencerminkan dunia sosial secara estetis.
Wacana tentang kemiskinan terus menjadi bahasan aktual yang selalu dibicarakan.
Kemiskinan merupakan suatu masalah rumit yang hampir dialami oleh setiap negara
berkembang, tak terkecuali Indonesia. Kemiskinan adalah sebagai suatu kondisi atau keadaan
ketidakcukupan sandang, pangan, dan papan tersebut membuat seseorang atau sekelompok orang
itu tidak dapat hidup secara layak. Kekurangmampuaan tersebut terjadi pada tingkat pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan yang mendasar seperti: makan minum, berpakaian, bertempat tinggal atau
rumah, dan kesehatan (Astika, 2010: 21)

3. SINOPSIS NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK

Novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan kecurangan-kecurangan politik di sebuah desa


Tanggir. Berawal dari penggambaran di Kaki Bukit Cibalak, sebuah tempat yang dahulunya
adalah daerah yang alami dengan kental suasana pedesaan. Kaki Bukit Cibalak pun kemudian
berubah menjadi kacau, daerah tersebut tak lagi kental dengan suasana pedesaan, melainkan
menjadi bising suara kendaraan, traktor-traktor pembajak sawah, dan sebagainya.

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak juga banyak menceritakan gambaran penyimpangan-
penyimpanagan dalam bidang politik, seperti halnya, salah satu calon lurah bernama Pak Dirga
menggunakan cara kotor agar dapat memenangkan dirinya menjadi seorang lurah di daerahnya.
Namun, terdapat tokoh yang menentang tindakan dengan cara kotor tersebut. Tokoh tersebut
bernama Pambudi muncul sebagai tokoh yang berlawanan.

Tokoh Pambudi merasakan keresahan atas adanya tindakan penyimpangan-


penyimpangan di desanya, desa Tanggir. Suatu ketika ada perempuan tua yang bernama Mbok
Ralem sangat memerlukan uang untuk berobat penyakit kanker ganasnya. Namun, peminjaman
tersebut ditolak oleh kepala desa Pak Dirga tersebut. Akhirnya Pambudi memutuskan untuk
menolong Mbok Ralem. Tak kalah akal, Pambudi mendatangi kantor surat kabar Kalwarta yang
berada di Yogya. Pambudi menemui pimpinan harian dan mengusulkan agar membuka dompet
amal guna pengobatan Mbok Ralem. Tindakan tersebut membuat Pambudi sangat disegani dan
dihormati karena kebaikan budi luhurnya.
Tindakan Pambudi tersebut membuat Pak Dirga merasa terusik. Pak Dirga pun berusaha
untuk menjatuhkan nama seorang Pambudi. Ia menyebarkan berita bahwa Pambudi
menyelewengkan dana koperasi. Akan tetapi, Pambudi tetap tenang mengatasi persoalan
tersebut. Akhirnya Pambudi memutuskan untuk meninggalkan desa Tanggir dan hidup tenang di
Yogya. Berada di Yogya ia kuliah dan bekerja di Kalawarta yang pernah menerimanya mencari
dana untuk Mbok Ralem. Sani, salah satu gadis di desanya yang polos yang menarik hati
Pambudi. Tak luput dari Pak Dirga, Sani ingin dijadikan istri keduanya. Sejak itulah ia bertemu
kembali dengan Mulyani yaitu anak gadis mantan majikannya dan adik kelasnya di kampus.
Pambudi hendak melamarnya sebagai istrinya. Pak Dirga akhirnya diberhentikan dari jabatan
kepala desa. Ia terbukti melakukan penyelewengan.

4. KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak banyak gambaran konflik sosial yang terjadi. Ahmad
Tohari dengan epik menggambarkan kehidupan masyarakat di desa Tanggir yang terjadi dalam
novelnya tersebut. Konflik ini berawal dari ketidakberesan salah satu calon lurah desa Tanggir
yang bernama Pak Dirga. Dalam sosiologi sastra di dalamnya terkandung bentuk sosial. Salah
satu bentuk sosial ialah konflik dan beberapa bentuk sosial lainnya. Bentuk konflik sosial yang
terdapat dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak di antaranya sebagai berikut:

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak terjadi konflik sosial dalam bentuk kecurangan dan
tindakan kotor. Dilihat dari momen saat pemilihan lurah dilaksanakan. Keinginan untuk
memenangkan pemilihan lurah menyebabkan Pak Dirga menghalalkan segala cara untuk
mendapatkannya. Konflik ini muncul pada bagian pertama cerita.

Berdasarkan kutipan:

“…Atau benar kata sementara orang, bahwa ketiga calon yang lemah itu hanyalah
boneka-boneka yang sengaja dipasang oleh Pak Dirga untuk mengurangi suara yang
berpihak kepada Pak Badi…” (Tohari, 2005: 16)

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak terjadi konflik sosial tentang konflik batin Pambudi
yang berkaitan dengan masalah sosial yang ada di desa Tanggir itu. Pambudi begitu peka dengan
permasalahan yang terjadi dalam badan Koperasi tempat ia bekerja. Banyaknya tindak
kecurangan yang terjadi dalam Koperasi tersebut berdampak buruk pada kesejahteraan desa dan
masyarakatnya.

Berdasarkan kutipan:

“…Terkadang Pambudi bertanya kepada diri sendiri, mengapa ia tidak berbuat


seperti Poyo, teman sejawat dalam pengelolaan lumbung desa itu. Poyo hidup dengan
sejahtera bersama istri dan anak-anaknya. Rumah mereka sudah ditembok. Belum lama
ini Poyo membeli sebuah motor. Pambudi tahu persis mengapa sejawatnya bisa
memperoleh semua itu. Ia bekerja sama dengan lurah, misalnya memperbesar angka
susut guna memperoleh keuntungan berton-ton padi. Atau mereka bersekongkol dengan
para tengkulak beras dalam menentukan harga jual padi lumbung koperasi. Dengan cara
ini saja mereka akan mendapat keuntungan berpuluh ribu rupiah, karena mereka dapat
mencantumkan harga penjualan semau mereka sendiri, dan dari tengkulak padi mereka
mendapat semacam komisi. Pambudi tahu, sama sekali tidak sukar berbuat demikian
karena badan koperasi itu tanpa pengawasan, apalagi penelitian. Dan, kebanyakan
penduduk Tanggir adalah anak cucu kaum kawula. Mereka nrimo, sangat nrimo..”
(Tohari, 2005:18)

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak terjadi konflik sosial dalam bentuk kriminalitas dan
kelicikan politik. Pak Dirga menghalalkan segala cara agar ia dapat menjadi kepala desa Tanggir.
Kriminalitas yang terdapat adalah tindakan pencurian. Pencurian tersebut merupakan pencurian
kayu jati, dan benda berbentuk tabung.

Berdasarkan kutipan:

“Pagi-pagi mereka ke pasar membawa apa-apa untuk dijual di sana. Biasanya mereka
menjual akar kayu jati yang mereka gali dari lereng-lereng kaki bukit Cibalak. Atau daun
pohon itu meskipun mereka memperolehnya dengan mencuri.” (Tohari, 2005: 7)
“Pak Danu ingin memamerkan sebuah tabung yang dicurinya dari rumah Akiat, sambil
berpropaganda dengan bangga…” (Tohari, 2005:7)

Kriminalitas selanjutnya adalah berupa tindakan penyuapan seperti imbalan dalam hal kotor. Di
mana calon kepala desa Pak Dirga di desa Tanggir tersebut memberikan uang suap kepada kakek
seorang dukun agar Pak Dirga calon kepala desa itu bisa memenangkan pemilihan kepala desa.
Berdasarkan kutipan:

“Disana ada seorang kakek sedang membaca mantra. Tentu ia telah dibayar oleh seorang
calon agar “wahyu” datang kepada seorang calon yang telah memberinya uang.” (Tohari,
2005: 14)

Kelicikan politik yang dilakukan Pak Dirga terhadap Pambudi berupa pemfitnahan. Bentuk
pemfitnahan ini ialah upaya Pak Dirga dan sekertaris desa bernama Poyo yang berusaha
mengusir Pambudi dari desa Tanggir.

Berdasarkan kutipan:
“Ya, Pak. Tetapi dalam buku yang kedua ada pengeluaran sebesar 125.000 atas tanggung
jawab seseorang.”
“Pambudi.” (Tohari, 2005: 59)

“…anakku kau didakwa melarikan uang milik lumbung koperasi sebanyak 125.000
rupiah. Kata orang, buktinya ada dalam buku lumbung. (Tohari, 2005: 115-116)

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak terdapat konflik sosial dalam bentuk perselisihan. Di
mana perselisihan ini terjadi antara dua tokoh yaitu Pak Dirga sebagai kepala desa baru dan
Pambudi sebagai pengelola lumbung padi.

Berdasarkan kutipan:

“Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak akan diberi kesempatan untuk berobat ke Yogya.”
Kata pambudi bangkit dari duduknya.
“Lho, kenapa kau bertanya begitu? Sudah lama kau mengurus lumbung, bukan? (Tohari,
2005: 22-27)

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak terdapat konflik sosial dalam bentuk potret
kemiskinan. Dalam novel tersebut juga turut menggambarkan kemiskinan di Indonesia pada
tahun 1970-an. Badan pusat statistik menginformasikan tingkat kemiskinan pada tahun 1970
mencapai 60,1%. Hal ini sama halnya berarti sekitar 70 juta penduduk Indonesia dikatakan
sebagai masyarakat miskin. Pada masa kepemimpinan Soeharto, terjadi penurunan inflasi dan
pengurangan tingkat kemiskinan sampai 40,1%. Hal tersebut terjadi pada tahun 1976.
Keberhasilan penurunan laju inflasi dan pengurangan kemiskinan yang terjadi tidak diimbangi
dengan keberhasilan pemerataan ekonomi (Wicaksana, 2007:16).

Ketidakmampuan membiayai pengobatan merupakan salah satu indikasi bahwa tokoh


yang ada dalam cerita adalah tokoh yang miskin. Tokoh tersebut ialah Mbok Ralem perempuan
tua yang mengidap penyakit kanker ganas. Ia ke balai desa hendak meminta surat keterangan
miskin sebagai bukti benar-benar miskin karena tidak mampu membayar pengobatan.

Berdasarkan kutipan:

“Ke Balai Desa? Keterangan apa, Nak?”


“Keterangan yang menyatakan bahwa kau benar-benar miskin sehingga tidak mampu
membayar pengobatan.”

Kemiskinan selanjutnya juga dapat dilihat dari kondisi kemiskinan tokoh Mbok Ralem.
Kehidupan Mbok Ralem yang sangat miskin, serba kekurangan, ditambah dengan penyakit
kanker ganas yang di deritanya.

Bedasarkan kutipan:

“Berapa luas sawah yang kau garap, Mbok?”


“Oalah, Nak, aku tak mempunyai sawah sedikitpun…”
“Pasti tidak cukup, Nak, sebab kata Pak Mantri, aku harus berobat ke Yogya…” (Tohari,
2005: 20)

Dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak ini terdapat konflik sosial berupa bentuk kedengkian.
Kedengkian ini terjadi pada diri Pak Dirga terhadap Pambudi, dan ia pun berniat untuk berusaha
mengusirnya dari desa Tinggir, dengan cara menemui seorang dukun bernama Eyang Wira.

Berdasarkan kutipan:

“Dan sampean beruntung. Setiap untuk menyingkirkannya dari desa Tinggir…(Tohari,


2005: 62)
Selain konflik sosial seperti permasalahan batin dan permasalahan sosial yang menjadi
inti cerita dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, terdapat juga permasalahan lain seperti konflik
percintaan. Pambudi yang sempat tertarik kepada gadis desa bersama Sanis. Namun, cinta itu
pupus tatkala Pak Dirga juga ingin menjadikan Sanis menjadi istri mudanya. Pada akhirnya,
Pambudi bertemu dengan Mulyani anak gadis mantan majikan dan adik kelasnya di kampus ia
saling jatuh cinta.

Berdasarkan kutipan:
“…Kini Mulyani bukan hanya bersandar kepada Pambudi. Ia memeluk pemuda itu erat-
erat. Tangisnya berderai lagi. Dalam hati Pambudi berkecambuk peperangan berbagai
perasaan. Masing-masing perasaan menuntut Pambudi, mendesak agar dituruti. Ketika
segalanya mengendap, Pambudi dapat berpikir tenang. Kesadaran muncul. Ia tahu siapa
dirinya, suatu pengetahuan yang datang bersama kejujuran. Pambudi bercakap-cakap
dengan dirinya sendiri. (Tohari, 2005:168)

5. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis novel Di Kaki Bukit Cibalak ini dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra dapat disimpulkan bahwa banyak permasalahan sosial yang diangkat terdapat
dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak. Terdapat bentuk-bentuk sosial, salah satu bentuk sosial ialah
berupa konflik-konflik sosial yang terjadi antar tokoh. Konflik sosial yang diangkat oleh Ahmad
Tohari banyak kita temui dalam lingkup masyarakat dewasa ini, seperti perebutan kursi
kepemimpinan, tindakan kecurangan, tindakan menghalalkan segala cara dengan kriminalitas,
kemiskinan, dan juga kedengkian. Novel Di Kaki Bukit Cibalak ini juga turut peka dalam
menggambarkan permasalahan kemiskinan pada era 1970-an saat itu. Novel Di Kaki Bukit
Cibalak ini sangat menarik dengan isi keseluruhan mengangkat permasalahan sosial dengan
kompleks dan realistis. Munculnya konflik-konflik tersebut mengandung pesan nilai-nilai
kehidupan yang baik dalam hidup bermasyarakat. Sehingga novel Di Kaki Bukit Cibalak sebagai
sarana memperluas pemaknaan kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat
sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Ratnaningsih, Dewi. 2011. Tinjauan Sosiologi Novel Di Kaki Bukit Cibalak Karya Ahmad
Tohari dan Pembelajarannya di SMA. Skripsi Tidak Diterbitkan. Kotabumi: STKIP
Muhammadiyah Kotabumi.
Endraswara, Suwardi. 2010. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

Tohari, Ahmad. 2005. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wicaksana, Sunarwan Arif. 2007. Analisis Kesenjangan Kemiskinan Antar Provinsi di Indonesia
Periode Tahun 2000-2004. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia.

Astika, Ketut Sudhana. 2010. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan
dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat. Skripsi Tidak Diterbitkan. Bali: Univeritas
Udayana.

Anda mungkin juga menyukai