Anda di halaman 1dari 14

0|Page

Salam Redaksi

Keberpihakan sastra dengan orang- orang lemah, terasingkan, terpinggirkan, menjadi


suatu hal yang menarik. Sastra seakan memiliki pertalian dengan masyarakat, bahkan dengan
korban sekalipun. Adanya nilai sosial kemanusiaan dalam sebuah karya sastra, juga
memberikan pengalaman batin, bahwa kenyataan ternyata lebih fiksi dari karya fiksi itu
sendiri. Kejadian yang terjadi dalam fiksi tak mungkin begitu saja terjadi, tanpa referensi dari
sebuah realitas kehidupan. Segala hal yang indah dalam
realitas, akan menjadi lebih indah dalam karya sastra, pun hal SUSUNAN REDAKSI BULETIN PETRA

yang menakutkan, aneh, serta buruk sekalipun, di dalam karya Pembina


Zulfa Fahmi, S.pd., M.Pd
sastra cukup indah sebagai perenungan- perenguan semata.
Dewan Pengawas
Dalam Buletin Petra edisi maret (iii/2018) kali ini, Emi Nur Hidayah
kami mengusung tema orang- orang marginal. Sebuah objek Noor Laila Amalia

yang menarik untuk ditulis. Selain sebagai bentuk informasi Pimpinan Produksi
real-fiksi, realitas kehidupan sehari-hari orang- orang marginal Renanto Adi Putro

yang belum banyak diketahui, menjadi daya tarik tersendiri. Koordinator


Istiqbalul F. Asteja
Tulisan-tulisan dalam buletin juga tidak lepas dari sisi lain
dalam kehidupan orang- orang marginal
Penghimpun Naskah
Aul sebagai bingkainya. Seperti dalam cerpen Pakde Joko Yang Bisu,
menceritakan seorang eks-aktivis yang terpaksa mengasingkan diri
Penyunting Naskah
Syakrila karena sesuatu hal. Lalu, sebuah fiksi mini yang berjudul Yang Cuma
Diriku, fikmin perihal dikriminasi orang pinggiran dengan orang
Penata Letak
NWW kantoran, lalu opini tentang keterasingan yang justru dapat membuat
orang semakin kritis, kreatif dan produktif, serta beberapa tulisan yang
Ilustrator
Re lain.
Siti
Dengan demikian, kita sebagai pembaca dan juga penulis, dapat
Liputan
Alif mengambil sikap, ikut serta menghormati kaum marginal. Lewat karya
sastra yang dipercaya memberikan perenungan atas segala perkara
Distributor
Al yang terjadi, kita dapat lebih peka, pun mengambil struktur nilai yang
terkandung di dalamnya. Selain itu, mengetahui sisi lain
Penyelia Akhir
Enggang
kehidupan orang- orang yang terpinggirkan adalah langkah awal dalam kita
memupuk kesadaran diri untuk berbagi dan bersyukur.

Ya, kesadaran untuk berbagi. Kesadaran yang kini sangat sulit ditemukan di tengan zaman
yang manusianya lebih mementingkan eksistensi. Jika manusia sudah kehilangan rasa
kepeduliannya, apakah pantas disebut sebagai manusia? Jawaban atas pertanyaan ini, tidak
akan kita dapatkan jika kita berkaca pada diri yang belum bisa menata hati.

Semoga sastra dapat menyadarkan dan menggugah dalam hal baik, pada diri kita. Dan
yang menjadi suatu kepastian, selamat membaca.

Redaksi

Redaksi menerima karya para pembaca baik tulisan maupun gambar. Kirim berkas karya kamu ke Apartemen Cakra Gedung UKM Pusat
lantai dua, Universitas Negeri Semarang. Atau kirim dalam bentuk file word atau gambar ke surel ukmcakra@yahoo.com. Bagi karya kamu
yang berhasil dimuat dalam buletin, akan mendapatkan kenang-kenangan menarik dari redaksi. Segala informasi yang belum disampaikan
bisa dilihat di akun media sosial UKM Cakra, atau kontak langsung ke 089665891181 (Aul).
IG: @ukmcakra
Berita Sastra
Pementasan Pemimpi(n)?, Wujud
Penyampaian Opini Masyarakat
“Sebagai warga negara, kita mestinya mendukung program yang dicanangkan
pemerintahan, bukan malah berfikiran negatif” (Lakon Pemimpi(n)? Yang dipentaskan oleh
Teater Usmar Ismair)

Rani Kusuma Dewi selaku sutradara


berpendapat bahwa pentas ini ada sebagai
cerminan realita yang terjadi di tengah
masyarakat masa kini yang mana lebih suka
main hakim sendiri terhadap kinerja
pemerintah. Selain itu, pentas ini diadakan
sebagai bentuk eksistensi para penggiat teater
di kalangan mahasiswa yang lebih suka
menyampaikan pesan dan kritik sosial dalam
bentuk pertunjukan seni daripada melakukan
aksi demo yang nampaknya sangat populer di
kalangan mahasiswa.
SEMARANG – Mahasiswa-mahasiswa
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES “Karena alangkah baiknya pesan-pesan sosial
yang tergabung dalam komunitas pecinta itu disampaikan dalam kemasan yang indah,
teater yaitu Teater Usmar Ismail sehingga apa yang diharapkan sampai ke
mempertontonkan opini masyarakat yang masyarakat dapat diterima dengan baik,”
beraneka ragam tentang kinerja pemerintah ungkap Ana Sutopo selaku pimpinan produksi.
saat ini melalui sebuah pementasan teater
berjudul “PEMIMPI(N)?”. Membicarakan pro dan kontra disetiap
kebijaksanaan dalam sebuah pemerintahan
Pementasan tersebut menceritakan tentang kiranya tidak akan pernah selesai. Dengan
bagaimana tanggapan masyarakat terhadap adanya pementasan ini, penonton dapat
perbagai program yang dicanangkan mengambil titik tengah yang meski dilakukan
pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. sebagai warga negara yang baik. Opini-opini
Mereka terkumpul dalam sebuah nasib yang masyarakat meski disampaikan dengan baik,
sama, sebagai wong cilik. Balutan komedi begitupun program dan kebijaksanaan
yang sengaja diselipkan dalam setiap pemerintah meski didukung dengan baik pula.
perbincangan yang terkesan serius membuat
pementasan ini menarik untuk ditonton. Bukan “Seorang pemimpin dan pemimpi harus
hanya itu, beberapa mimpi-mimpi wong cilik bekerja sama untuk mewujudkan harapan-
juga disampaikan secara tersirat dan tersurat harapannya”tungkas Rani, sebagai sutradara.
dalam setiap dialog antar tokoh.

Beni dan Redaksi


Cerpen

PAKDE JOKO
YANG BISU
Oleh : Tingkar Ayu

Suara memang teman bagi sebagian Asistennya berwajah pucat dan kakinya
orang, tetapi lebih banyak yang gemetaran. Pakde Joko menyilakan mereka
menganggapnya musuh, termasuk Pakde duduk di ruang tamu yang letaknya ada di
Joko. depan jendela rumah Pakde Joko, tentunya
tanpa bersuara. Pakde Joko hanya sedikit
Semua orang di Desa Pandirin tahu membungkuk sambil jari-jari tangan kirinya
Pakde Joko, Tapi tak ada yang pernah menggenggam, menyisakan ibu jari yang
mendengar suara keluar dari mulut Pakde Joko mengarah ke bangku bambu usang khas gaya
yang di atasnya ditumbuhi kumis tebal orang Jawa saat menyilakan tamu yang
berwarna hitam. Beberapa warga mengira itu biasanya diiringi kata monggo.
disebabkan kebencian Pakde Joko pada suara,
sehingga tak satupun yang berhak tahu seperti Pakde Joko bergegas masuk ke
apa suara Pakde Joko. rumahnya yang hanya berukuran 3x3 meter
untuk mengambil dua gelas air putih.
Pernah suatu ketika, Carik Desa Minuman itu disuguhkan tanpa nampan dan
datang ke rumah Pakde Joko untuk mendata suara. Karena menghormati Pakde Joko yang
jumlah warga. Setelah mengetuk pintu selama benci suara, Asisten Carik menyerahkan
berjam-jam, akhirnya Pakde Joko keluar stopmap berisi blangko untuk diisi Pakde Joko
rumah memakai kaos polos berwarna merah pun tanpa suara. Blangko itu menanyakan
seperti biasanya. Melihat Pak Carik dan identitas Pakde Joko sebagai warga Desa
Cerpen

Pandirin; siapa nama panjangnya, Bahkan saat masih semester dua,


pekerjaannya, tempat dan tanggal lahir, berapa sudah puluhan seminar ia adakan untuk
lama tinggal di Desa Pandirin, nomor e-KTP, membangun karakter mahasiswa yang kritis
golongan darah, status rumah, status dan berani. Semua gerakan di jalan-jalan dan
perkawinan, dan yang paling bawah adalah depan gedung pemerintahan, Pakde Jokolah
pertanyaan dengan dua kotak kecil yang salah yang memimpin. Meski begitu, Pakde Joko
satunya harus dicentang, yaitu apakah pengisi tidak pernah anarkis dalam gerakannya.
blangko sensus penduduk.
Ia pernah juga menjadi garda terdepan
Diisinya blangko itu tanpa bertanya. barisan mahasiswa yang menolak kenaikan
Pakde Joko mengisi setiap pertanyaan dengan harga buku. Pakde Joko berdiri tegap di atas
tulisan yang nampak seperti anak TK baru podium memakai kaos polos merah
masuk. Pengisian itu disaksikan Pak Carik dan kebanggaannya, berteriak lantang tanpa
Asistennya dengan seksama. pengeras suara, "Kita semua tahu, buku adalah
jendela dunia, kalau harga buku menjadi
Pada baris pertama menanyakan nama mahal, banyak masyarakat yang tak sanggup
lengkap, ditulisnya "Pakde Joko", Di membelinya, itu sama saja menutup jendela
bawahnya adalah baris alamat, diisi dengan dunia bagi rakyat. Hidup Mahasiswa! Hidup
tanda strip saja, karena memang rumah Pakde Rakyat Indonesia!"
Joko hanya terbuat dari anyam bambu yang
berdiri pada pondasi tiang-tiang bambu di atas Nahas, suara Pakde Joko yang terus
sungai, jadi Pakde Joko sering bingung di menggema di hati jutaan manusia itu,
mana alamat rumahnya. membuatnya harus membayar mahal.
Didapatinya ayah, ibu, dan adik perempuannya
Membaca baris di bawahnya sudah berlumuran darah saat Pakde Joko
menanyakan pekerjaan, Pakde Joko tercekat, membuka pintu rumah sepulang berorasi.
bolpoin yang tadi dipegangnya jatuh ke tanah. Ayahnya tergeletak di atas tikar dengan
Jakunnya bergerak ke bawah lalu naik lagi menggenggam foto Pakde Joko. Segera ia
seperti menelan kepahitan hidup yang terpaksa menghampiri ayahnya dan merenggut foto itu
harus masuk ke dalam kerongkongannya. Mata dari tangan ayahnya yang telah kaku. Foto
Pakde Joko menerawang jauh ke sela-sela Pakde Joko yang memakai kaos merah polos
pepohonan pisang yang rimbun di depan di atas podium sambil mengepalkan tangan ke
rumah. atas itu, telah berbau anyir darah.
Piringan memori di kepala Pakde Joko Ibunya terlentang telanjang bersimbah
memutar kisah hitamnya 40 tahun lalu. Saat darah di pojok ruangan. Lehernya yang hampir
semua kejadian sudah berhasil menampar putus mengalirkan darah di antara
keras tepat di jantung hatinya. Dulu Pakde payudaranya yang tidak lagi kencang.
Joko adalah orang yang terpandang dengan Rambutnya yang sudah hampir putih semua,
suara yang selalu dinanti di setiap podium. berantakan menutupi sebagian wajahnya
Geloranya yang membara telah membakar dengan mata melotot dan mulut menganga.
semangat ratusan mahasiswa menyuarakan Diciumnya kening sang ibu sambil
keluhan masyarakat. Tak ada yang tak kenal mengucapkan "Nyuwun Pangapurane,
Pakde Joko. Lelaki yang ketika itu terkenal mbook...."
dengan nama Bung Joko adalah mahasiswa
paling berbahaya di kampusnya—berbahaya Tangis pakde Joko pecah saat
bagi dosen lebih tepatnya. Pikirannya yang memeluk adik perempuannya yang tergeletak
kritis dan tajam membuat banyak dosen angkat di samping sang ibu. Darah membuat
tangan. seragamnya yang putih tak bisa dibedakan lagi
Cerpen

dengan warna roknya. Tas yang masih "Mau apa sampeyan di sawah ha? Mau
dirangkul telah koyak dan buku-buku di jadi wong-wongan sawah? Wong-wongan
dalamnya berubah merah dan berantakan. sawah saja itu berisik lho buat ngusir burung,
Penderitaan Pakde Joko bertambah, sebab lha kok bisu mau kerja di sawah. Rak kanggo
sehari setelah pemakaman keluarganya, Pakde mas, rak kanggo."
Joko dikeluarkan dari kampus karena dianggap
telah bersekutu dengan Partai Kiri. Tak aneh Bahkan pernah Pakde Joko menjadi
memang, karena telah lama dosen mencurigai pemulung. Tapi dua hari Pakde Joko menjalani
kebiasaan Pakde Joko yang selalu memakai profesi memulungnya, pemulung lain
kaos merah polos. Sejak itu, Bung Joko menghabisi Pakde Joko sampai giginya
mengubur suaranya di antara kuburan ayah tanggal, katanya orang tak bersuara tak pantas
dan ibunya. Lantas namanya berganti menjadi hidup.
Pakde Joko. Berbagai penolakan diterima Pakde
Mantan aktivis itu lantas merantau Joko dengan besar hati. Darah seorang aktivis
dengan bekal beberapa potong kaos merah yang tak kenal menyerah masih mengalir di
polos dan selembar fotonya yang masih ada kebisuan Pakde Joko. Ia terus mencari
bekas darah ayahnya. Dia tak tahu ke mana pekerjaan menjadi apapun. Hal itu membuat
arah membawanya. Yang ia tahu, ia tak mau semua warga kemudian mengenal lelaki bisu
lagi menjadi orang yang terkenal. Ia ingin itu dengan nama "Pakde Joko". Sebutan itu
mengasingkan diri dari keramaian dan suara. muncul karena ia selalu nampak sendiri, dan
Tertambatlah jangkar harapnya di Desa orang Jawa menyebutnya "Joko" yang artinya
Pandirin yang asri, desa terpencil di Tanah bujangan serta karena ia sudah tua maka
Jawa yang bahkan tak tergambar di peta. Dia disebut "Pakde".
memilih lahan paling dalam dekat sungai. Beruntung, akhirnya Pakde Joko
Sebab, di tempat itulah tak ada suara mendapat pekerjaan sebagai tukang pijat,
kemunafikan, adanya hanya suara sungai yang karena orang yang butuh dipijat hanya mencari
tidak begitu deras, suara tokek di malam hari, kenikmatan bukan suara.
serta suara ayam jago yang menyapa Pakde
Joko setiap pagi. ***

Di tempat itu ternyata kemalangan Suara batuk Pak Carik memecah


masih betah menyertai Pakde Joko. Ia benar- lamunan Pakde Joko. Sambil menyerahkan
benar menjadi orang yang terbuang. Tak ada blangko yang belum selesai diisi, Pakde Joko
satu pun warung di pasar yang mau berkata "Maaf, Pakde Joko sudah mati,
menerimanya bekerja dengan alasan ia tak perkenalkan saya Bung Joko".
bersuara.
Bergegas Bung Joko mengemasi
"Halah mas, mas, sampeyan itu bisu, semua kaos polos merahnya, meninggalkan
saya kira tadi mau mencuri, e lha kok ternyata Pak Carik dan Asisten yang masih tercenung
mau bantu di sini, sana cari di tempat lain saja, di tempat. Bung Joko kembali ke kota dan ikut
ndak butuh saya orang bisu.", kata salah berdemo lagi untuk menyambung hidup.
seorang ibu pemilik warung.

Di sawah, ia juga tidak diizinkan


menggarap sekadar sepetak, karena kata si
juragan, suara kerbau lebih menguntungkan
dibanding suara Pakde Joko yang hening.
Yang Terbuang dan Terasingkan
Puisi
Oleh : Nur Alif Prasetyo
Yang membius kami dengan sesuap
kebahagiaan
Apa yang kamu banggakan? Namun penderitaan yang kau jejalkan
Cuma kertas bercorak wajah pahlawan? Bedebah
Membumbung langit kau merasa Tengok kakimu
Terbang jauh menembus semesta Tengok dagumu
Terbius kau dalam gemerlap fana Tengok keringatmu
Tertawa menggila tak tahu rasa Semua yang kau rasa itu
Terpojok dan terpinggirkan
Tak apa kawan tertawa Namun senyum kemenanganmu
Tak apa kawan menggila menembus langit para pesaing
Tak apa kawan terbius
Tak apa tembus langitmu Kami ikhlas
Kau menggila di atas sana
Sedang kami terinjak hina Semarang. 2018
Memutar mesin uangmu
Sedang kau menyilang lengan
Tak apa congkak TERGANTI
Tak apa dengak dagu Oleh: Rara Indah pratiwi
Tak apa menatap kasar
Ikhlas kami sarapan tabiatmu Tiada lagi kata yg kita lontarkan
Kami keliru se-zarrah Diam.
Kau layang fatwa tak bersidang Tak saling acuh
Buang kami macam sampah ingin sapa
Lalu beri makan yang lain dengan bual Ingin disapa,
ababmu Hanyalah harap.
Tapi kami ikhlas
Sedang hati ingin kembali menyatu
Namun kepingan-kepingan tlah berhambur
Kami tabah Serpihan takkan mungkin menyatu
Satu hilang datang yang lain terlalu sulit nan sakit.
Kau buat kami salang bersaing
Tak apa, kami ikhlas Sudah tak perlu sesal
Demi sesuap sisa kebahagianmu Meski tlah lebih dari kata sesal memupuk hati.
Yang kau janjikan Air mata telah menderas
Yang kami perjuangkan hingga kemarau menghentikannya.

Lalu janji kami tagih,


Kau membual ribuan alasan Jika terjatuh hingga mati
Kami minta lagi Rasa bukan lagi kecewa, lebih darinya.
Kau lebih membual lagi Menanti telah melari diri
Hingga kami kering nyaris Pengorbanan hanya sia-sia
tak berair Lalu tuk apa lagi menanti
Kau masih saja membual Bahkan dia telah mematikan diri
Diam kami membuatmu
membara Hilang dalam sekejap
Ucap kami kau ancam Dan hinggap pada diri beda
Terpaksa kami masuk
lubang kebohongan (2018)
Opini

Pengarang dan Keasingan


Oleh : Istiqbalul F. Asteja

Mampus kau dikoyak koyak sepi!

(Chairil Anwar dalam sajak Sia- Sia, 1943)

Sebuah aktivitas untuk mencapai kesempurnaan dalam pergumulan riset cerita,


ketajaman berfikir, kepekaan dengan lingkungan sekitar, dan pengendapan sebuah karya.
Semua pengarang sepertinya pernah mengalami pengalaman seperti itu. Beberapa ada yang
menggunakan hal itu sebagai bentuk berdamai dengan diri sendiri. Meskipun, Kuntowidjoyo
mengatakan bahwa pada dasarnya seseorang menulis itu harus dengan intuisi, tidak dengan
formula apapun, namun pengarang juga membutuhkan waktu sendiri dalam menyelesaikan
karyanya. Alih- alih memang harus merasa terasingkan terlebih dahulu untuk dapat
menghasilkan sebuah karya?
Lahirnya tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer juga bukan menjadi
suatu kebetulan dilatarbelakangi dengan penjara—tempat pengasingan diri—di Pulau Buru.
Hasrat lama menyusun sejarah dalam bentuk cerita ditekuninya dengan alat yang seadanya,
serba terbatas dan sederhana. Keasingan makin terasa, ketika karyanya sempat dilarang oleh
Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa.
Seorang pelopor pergerakan islam di Turki Modern, Syaikh Baiduzzaman Said Nursi
yang telah menulis tiga ribu kitab dalam bahasa arab, dan telah menyusun empat belas
ensiklopedia yang mencangkup permasalahan islam modern, pun pernah diasingkan. Selama
hidupnya, Syekh Said Nursi pernah dipenjara dua puluh delapan tahun, dan diasingkan
sebanyak dua puluh satu kali. Kebanyakan kitab-kitabnya ditulis di pengasingan dan di
penjara.
Lalu, seorang aktivis sekaligus penyair Wiji Thukul. Ketika ia dianggap berbahaya
karena kata-katanya lebih bersenjata dibandingkan senjata itu sendiri. Wiji terpaksa harus
disembunyikan. Namun ditengah-tengah persembunyiannya, sajak-sajaknya terdengar lebih
suara dan lebih nyaring hingga tertanam dalam memori-memori zaman.
Betapapun, keterasingan seperti dapat memberikan berkat lebih menjadi seorang
manusia. Keterasingan seperti membantu manusia menjadi lebih peka dengan lingkungan
sekitar, ditengah hingar bingar kebisingan dunia saat ini. Dengan menyendiri, telinga kita
Opini

terasa lebih waspada, mata kita terasa lebih tajam. Imajinasi-imajinasi yang tidak
terbayangkan sebelumnya dalam logika, seakan berloncatan girang ingin dilahirkan dalam
bentuk karya. Betapa syahdu dan harunya kesendirian, sehingga pengarang terkadang
membutuhkan waktu sendiri untuk bersahabat dengan pemikiran-pemikirannya.
Dalam proses kretif seorang pengarang, beberapa ide seperti terlahir dari kuburan-
kuburan mimpi. Semacam perjumpaan intensif antara manusia dengan kesadaraannya, di
dunia semu. Sebuah bebayang ketidak jelasan pada diri yang sedemikiaan rupa nyaris tak
dapat disadari, membawa pengarang pada keasingan. Semacam pemantik dalam keresahan
suatu persoalan, suatu pemikiran mustahil yang hanya akan muncul dalam dunia diam.

Aku ini binatang jalang


dari kumpulan yang terbuang

(Chairil Anwar, dalam sajak Aku, 1943)

Kutipan di atas merupakan sajak Chairil yang sampai sekarang masih hidup dan
masih disuarakan. Chairil tentu mengalami suatu pergolakan batin sehingga dapat melahirkan
kata-kata fenomenal itu. Sebuah penggalan dalam sajak Aku yang menyuarakan betapa
sendirinya dan terasingnya tokoh aku dalam puisi tersebut. Layaknya manusia yang
terpinggirkan, sajak itu juga menyuarakan keasingan. Bahkan, sajak yang lahir dari seorang
penyair pun bisa saja menggambarkan keasingan. Sedekat itukah hubungan pengarang
dengan keasingan?
Apabila menilik proses kreatif para pujangga jawa kuno, sebagaimana ungkapan
Kuntara Wiryamartana bahwa, pengendapan dimulai dengan semedi untuk menyesap
pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa. Di sinilah tahap seorang pengarang dengan
perjinakan segala aktivitas untuk bisa masuk ke dalam dunia sukma, dunia niskala: dunia
tanpa ukuran, tanpa rasa, tanpa warna, semua serba kosong (Nasrullah, Jawa Pos edisi 6
Agustus 2006, dilansir di sastra-indonesia.com)
Pengalaman yang luas di dalam kehidupan nyata, juga pengalaman “membaca”
menjadi syarat kuat bagi para pengarang untuk menciptakan kreatifitas. Lagi-lagi, pengarang
membutuhkan keasingan. Mengosongkan diri untuk mengisi, dan mengisi untuk
mengosongkan diri, begitu kata pepatah lama mengatakan. Jadi, mari kita cari pengalaman
sebanyak mungkin baik berupa pengalaman bacaan, maupun pengalaman “membaca”.
Setalah itu, Mari menikmati kesendirian masing-masing.
F
I
K
S
I
Yang Cuma Diriku
M Oleh : Nur Wijayanti
I
Terlambat lima menit. Gerbong sudah ditutup. Si Bapak menoleh, memberi pandangan jijik.
N
Seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas Sekilas saja, setelahnya ia menutupinya
I hitam dan sepatu pantofel itu terlambat lima dengan pandangan bersalah.
menit. Masih dengan kesal yang sama, Si
Bapak itu duduk. Si Lelaki itu tak suka diberi pandangan begitu.
Tapi jika hal itu bisa membuat Si Bapak mau
Di waktu yang sama dengan sudut pandang menyemir sepatunya, ia ikhlas saja. Si Lelaki
lain, seorang lelaki yang tampak lusuh dengan mencoba menampilkan senyuman, yang tanpa
alat semir yang dikalungkan pada lehernya, sadar malah membuat ngeri Si Bapak.
memerhatikan Si Bapak. Terlepas dari jas
hitam dan celana kain yang rapi dan necis Alih-alih menjawab tanya, Si Bapak
yang dikenakan Si Bapak, pantofelnya agak menyodorkan uang kertas dengan angka dua
kotor. diikuti tiga nol dibelakangnya. Tanpa kalimat,
frasa pun. Hanya isyarat, "Ambil ini"
Susah memang, mencari pelanggan di tengah
banyaknya kumpulan tukang semir sepatu di Tidak berpikir panjang karena ia pikir ia harus
sini yang banyaknya minta ampun juga dengan makan, Si Lelaki itu mengambilnya. Pun
kemungkinan bahwa mereka yang ditawari setelah itu, Si Bapak berjalan cepet. Hilang di
juga belum tentu mau. "Tapi, tidak salah kerumunan.
mencoba peruntungan, kan?" gumamnya.
Sedang Si Lelaki tak lagi peduli presensi Si
"Pak, mau semir sepatu?" Bapak. Ia terus berpikir di kepalanya, dan
tanpa sadar menyuarakan, "Apa orang yang
tidak punya kaki pantas mengemis saja?"

Profil Kita
Dari Rupa Hingga Nyastra
“Re, Renan, Kak Re" bukankah nama itu tak bukan berasal dari Prodi Sastra, melainkan
asing di telinga kita ? Seni Rupa. Jiwa seni nampaknya tak bisa
disangsikan mengalir di darahnya. Diibaratkan
Lelaki bernama lengkap Renanto Adi Putro ini tangan kanannya memegang kuas dan tangan
aktif sebagai penggiat sastra. Seperti tahun kirinya memegang
lalu, ia telah berhasil memerankan tokoh gulungan kertas
Gunarto dalam lakon "Ayahku Pulang" karya puisi.
Usmar Ismail dengan apik bersama kawan
UKM Cakra UNNES yang lain. Tahun ini Buku-buku jenis
bahkan Renan mendapat kepercayaan menjadi novel telah menjadi
ketua UKM Cakra. Tak hanya itu, dalam teman akrab Renan
beberapa pementasan teater, dia selalu hadir sejak kecil.
sebagai penikmat. Berulang Renan juga Kecintaannya pada
menjadi narasumber bina bahasa di saluran pemikiran membuat
radio RRI Jawa Tengah. Di beberapa ia menyukai dunia sastra.Kini, ia semakin
komunitas sastra seperti Puisi Legi wajahnya menyelam lebih dalam ke dunia sastra yang
pun selalu nongol. indah sekaligus berbahaya ini.

Namun siapa sangka, mahasiswa semester 4 (Redaksi)


yang lahir di Tegal pada 27 Agustus 1998 ini
Komik Bersambung

Anda mungkin juga menyukai