Salam Redaksi
yang menarik untuk ditulis. Selain sebagai bentuk informasi Pimpinan Produksi
real-fiksi, realitas kehidupan sehari-hari orang- orang marginal Renanto Adi Putro
Ya, kesadaran untuk berbagi. Kesadaran yang kini sangat sulit ditemukan di tengan zaman
yang manusianya lebih mementingkan eksistensi. Jika manusia sudah kehilangan rasa
kepeduliannya, apakah pantas disebut sebagai manusia? Jawaban atas pertanyaan ini, tidak
akan kita dapatkan jika kita berkaca pada diri yang belum bisa menata hati.
Semoga sastra dapat menyadarkan dan menggugah dalam hal baik, pada diri kita. Dan
yang menjadi suatu kepastian, selamat membaca.
Redaksi
Redaksi menerima karya para pembaca baik tulisan maupun gambar. Kirim berkas karya kamu ke Apartemen Cakra Gedung UKM Pusat
lantai dua, Universitas Negeri Semarang. Atau kirim dalam bentuk file word atau gambar ke surel ukmcakra@yahoo.com. Bagi karya kamu
yang berhasil dimuat dalam buletin, akan mendapatkan kenang-kenangan menarik dari redaksi. Segala informasi yang belum disampaikan
bisa dilihat di akun media sosial UKM Cakra, atau kontak langsung ke 089665891181 (Aul).
IG: @ukmcakra
Berita Sastra
Pementasan Pemimpi(n)?, Wujud
Penyampaian Opini Masyarakat
“Sebagai warga negara, kita mestinya mendukung program yang dicanangkan
pemerintahan, bukan malah berfikiran negatif” (Lakon Pemimpi(n)? Yang dipentaskan oleh
Teater Usmar Ismair)
PAKDE JOKO
YANG BISU
Oleh : Tingkar Ayu
Suara memang teman bagi sebagian Asistennya berwajah pucat dan kakinya
orang, tetapi lebih banyak yang gemetaran. Pakde Joko menyilakan mereka
menganggapnya musuh, termasuk Pakde duduk di ruang tamu yang letaknya ada di
Joko. depan jendela rumah Pakde Joko, tentunya
tanpa bersuara. Pakde Joko hanya sedikit
Semua orang di Desa Pandirin tahu membungkuk sambil jari-jari tangan kirinya
Pakde Joko, Tapi tak ada yang pernah menggenggam, menyisakan ibu jari yang
mendengar suara keluar dari mulut Pakde Joko mengarah ke bangku bambu usang khas gaya
yang di atasnya ditumbuhi kumis tebal orang Jawa saat menyilakan tamu yang
berwarna hitam. Beberapa warga mengira itu biasanya diiringi kata monggo.
disebabkan kebencian Pakde Joko pada suara,
sehingga tak satupun yang berhak tahu seperti Pakde Joko bergegas masuk ke
apa suara Pakde Joko. rumahnya yang hanya berukuran 3x3 meter
untuk mengambil dua gelas air putih.
Pernah suatu ketika, Carik Desa Minuman itu disuguhkan tanpa nampan dan
datang ke rumah Pakde Joko untuk mendata suara. Karena menghormati Pakde Joko yang
jumlah warga. Setelah mengetuk pintu selama benci suara, Asisten Carik menyerahkan
berjam-jam, akhirnya Pakde Joko keluar stopmap berisi blangko untuk diisi Pakde Joko
rumah memakai kaos polos berwarna merah pun tanpa suara. Blangko itu menanyakan
seperti biasanya. Melihat Pak Carik dan identitas Pakde Joko sebagai warga Desa
Cerpen
dengan warna roknya. Tas yang masih "Mau apa sampeyan di sawah ha? Mau
dirangkul telah koyak dan buku-buku di jadi wong-wongan sawah? Wong-wongan
dalamnya berubah merah dan berantakan. sawah saja itu berisik lho buat ngusir burung,
Penderitaan Pakde Joko bertambah, sebab lha kok bisu mau kerja di sawah. Rak kanggo
sehari setelah pemakaman keluarganya, Pakde mas, rak kanggo."
Joko dikeluarkan dari kampus karena dianggap
telah bersekutu dengan Partai Kiri. Tak aneh Bahkan pernah Pakde Joko menjadi
memang, karena telah lama dosen mencurigai pemulung. Tapi dua hari Pakde Joko menjalani
kebiasaan Pakde Joko yang selalu memakai profesi memulungnya, pemulung lain
kaos merah polos. Sejak itu, Bung Joko menghabisi Pakde Joko sampai giginya
mengubur suaranya di antara kuburan ayah tanggal, katanya orang tak bersuara tak pantas
dan ibunya. Lantas namanya berganti menjadi hidup.
Pakde Joko. Berbagai penolakan diterima Pakde
Mantan aktivis itu lantas merantau Joko dengan besar hati. Darah seorang aktivis
dengan bekal beberapa potong kaos merah yang tak kenal menyerah masih mengalir di
polos dan selembar fotonya yang masih ada kebisuan Pakde Joko. Ia terus mencari
bekas darah ayahnya. Dia tak tahu ke mana pekerjaan menjadi apapun. Hal itu membuat
arah membawanya. Yang ia tahu, ia tak mau semua warga kemudian mengenal lelaki bisu
lagi menjadi orang yang terkenal. Ia ingin itu dengan nama "Pakde Joko". Sebutan itu
mengasingkan diri dari keramaian dan suara. muncul karena ia selalu nampak sendiri, dan
Tertambatlah jangkar harapnya di Desa orang Jawa menyebutnya "Joko" yang artinya
Pandirin yang asri, desa terpencil di Tanah bujangan serta karena ia sudah tua maka
Jawa yang bahkan tak tergambar di peta. Dia disebut "Pakde".
memilih lahan paling dalam dekat sungai. Beruntung, akhirnya Pakde Joko
Sebab, di tempat itulah tak ada suara mendapat pekerjaan sebagai tukang pijat,
kemunafikan, adanya hanya suara sungai yang karena orang yang butuh dipijat hanya mencari
tidak begitu deras, suara tokek di malam hari, kenikmatan bukan suara.
serta suara ayam jago yang menyapa Pakde
Joko setiap pagi. ***
terasa lebih waspada, mata kita terasa lebih tajam. Imajinasi-imajinasi yang tidak
terbayangkan sebelumnya dalam logika, seakan berloncatan girang ingin dilahirkan dalam
bentuk karya. Betapa syahdu dan harunya kesendirian, sehingga pengarang terkadang
membutuhkan waktu sendiri untuk bersahabat dengan pemikiran-pemikirannya.
Dalam proses kretif seorang pengarang, beberapa ide seperti terlahir dari kuburan-
kuburan mimpi. Semacam perjumpaan intensif antara manusia dengan kesadaraannya, di
dunia semu. Sebuah bebayang ketidak jelasan pada diri yang sedemikiaan rupa nyaris tak
dapat disadari, membawa pengarang pada keasingan. Semacam pemantik dalam keresahan
suatu persoalan, suatu pemikiran mustahil yang hanya akan muncul dalam dunia diam.
Kutipan di atas merupakan sajak Chairil yang sampai sekarang masih hidup dan
masih disuarakan. Chairil tentu mengalami suatu pergolakan batin sehingga dapat melahirkan
kata-kata fenomenal itu. Sebuah penggalan dalam sajak Aku yang menyuarakan betapa
sendirinya dan terasingnya tokoh aku dalam puisi tersebut. Layaknya manusia yang
terpinggirkan, sajak itu juga menyuarakan keasingan. Bahkan, sajak yang lahir dari seorang
penyair pun bisa saja menggambarkan keasingan. Sedekat itukah hubungan pengarang
dengan keasingan?
Apabila menilik proses kreatif para pujangga jawa kuno, sebagaimana ungkapan
Kuntara Wiryamartana bahwa, pengendapan dimulai dengan semedi untuk menyesap
pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa. Di sinilah tahap seorang pengarang dengan
perjinakan segala aktivitas untuk bisa masuk ke dalam dunia sukma, dunia niskala: dunia
tanpa ukuran, tanpa rasa, tanpa warna, semua serba kosong (Nasrullah, Jawa Pos edisi 6
Agustus 2006, dilansir di sastra-indonesia.com)
Pengalaman yang luas di dalam kehidupan nyata, juga pengalaman “membaca”
menjadi syarat kuat bagi para pengarang untuk menciptakan kreatifitas. Lagi-lagi, pengarang
membutuhkan keasingan. Mengosongkan diri untuk mengisi, dan mengisi untuk
mengosongkan diri, begitu kata pepatah lama mengatakan. Jadi, mari kita cari pengalaman
sebanyak mungkin baik berupa pengalaman bacaan, maupun pengalaman “membaca”.
Setalah itu, Mari menikmati kesendirian masing-masing.
F
I
K
S
I
Yang Cuma Diriku
M Oleh : Nur Wijayanti
I
Terlambat lima menit. Gerbong sudah ditutup. Si Bapak menoleh, memberi pandangan jijik.
N
Seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas Sekilas saja, setelahnya ia menutupinya
I hitam dan sepatu pantofel itu terlambat lima dengan pandangan bersalah.
menit. Masih dengan kesal yang sama, Si
Bapak itu duduk. Si Lelaki itu tak suka diberi pandangan begitu.
Tapi jika hal itu bisa membuat Si Bapak mau
Di waktu yang sama dengan sudut pandang menyemir sepatunya, ia ikhlas saja. Si Lelaki
lain, seorang lelaki yang tampak lusuh dengan mencoba menampilkan senyuman, yang tanpa
alat semir yang dikalungkan pada lehernya, sadar malah membuat ngeri Si Bapak.
memerhatikan Si Bapak. Terlepas dari jas
hitam dan celana kain yang rapi dan necis Alih-alih menjawab tanya, Si Bapak
yang dikenakan Si Bapak, pantofelnya agak menyodorkan uang kertas dengan angka dua
kotor. diikuti tiga nol dibelakangnya. Tanpa kalimat,
frasa pun. Hanya isyarat, "Ambil ini"
Susah memang, mencari pelanggan di tengah
banyaknya kumpulan tukang semir sepatu di Tidak berpikir panjang karena ia pikir ia harus
sini yang banyaknya minta ampun juga dengan makan, Si Lelaki itu mengambilnya. Pun
kemungkinan bahwa mereka yang ditawari setelah itu, Si Bapak berjalan cepet. Hilang di
juga belum tentu mau. "Tapi, tidak salah kerumunan.
mencoba peruntungan, kan?" gumamnya.
Sedang Si Lelaki tak lagi peduli presensi Si
"Pak, mau semir sepatu?" Bapak. Ia terus berpikir di kepalanya, dan
tanpa sadar menyuarakan, "Apa orang yang
tidak punya kaki pantas mengemis saja?"
Profil Kita
Dari Rupa Hingga Nyastra
“Re, Renan, Kak Re" bukankah nama itu tak bukan berasal dari Prodi Sastra, melainkan
asing di telinga kita ? Seni Rupa. Jiwa seni nampaknya tak bisa
disangsikan mengalir di darahnya. Diibaratkan
Lelaki bernama lengkap Renanto Adi Putro ini tangan kanannya memegang kuas dan tangan
aktif sebagai penggiat sastra. Seperti tahun kirinya memegang
lalu, ia telah berhasil memerankan tokoh gulungan kertas
Gunarto dalam lakon "Ayahku Pulang" karya puisi.
Usmar Ismail dengan apik bersama kawan
UKM Cakra UNNES yang lain. Tahun ini Buku-buku jenis
bahkan Renan mendapat kepercayaan menjadi novel telah menjadi
ketua UKM Cakra. Tak hanya itu, dalam teman akrab Renan
beberapa pementasan teater, dia selalu hadir sejak kecil.
sebagai penikmat. Berulang Renan juga Kecintaannya pada
menjadi narasumber bina bahasa di saluran pemikiran membuat
radio RRI Jawa Tengah. Di beberapa ia menyukai dunia sastra.Kini, ia semakin
komunitas sastra seperti Puisi Legi wajahnya menyelam lebih dalam ke dunia sastra yang
pun selalu nongol. indah sekaligus berbahaya ini.