Anda di halaman 1dari 9

Fakta kemanusiaan

Fakta kemanusiaan merupakan segala hasil aktivitas atau perilaku manusia


baik verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta
tersebut berwujud aktivitas sosial tertentu seperti sumbangan bencana alam,
aktivitas politik tertentu seperti pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat,
seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 2015: 57).
Menurut Faruk, sebagai sebuah teori, strukturalisme-genetik merupakan
sebuah pernyataan yang dianggap sahih jika di dalamnya terkandung gambaran
mengenai tata kehidupan yang bersistem dan terpadu, yang didasarkan pada
sebuah landasan ontologis yang berupa kodrat keberadaan kenyataan itu dan pada
landasan epistemologis yang berupa seperangkat gagasan sistematik mengenai
cara memahami atau mengetahui kenyataan yang bersangkutan (Faruk, 2015: 56).
Strukturalisme-genetik tidaklah masyarakat sebagai hakikat dalam
menjalankan kehidupan sosial. memandang suatu karya sastra sebagai suatu fakta
alamiah melainkan sebagai fakta kemanusiaan. Dari sisi fakta alamiah suatu karya
sastra hanya dipahami sampai sebatas struktur yang dimiliki saja. Akan tetapi,
dalam fakta kemanusiaan memandang suatu karya sastra sebagai struktur yang
dipahami hingga pada aspek artinya.
Sebab suatu karya sastra bukanlah tercipta dengan begitu saja oleh pengarang,
melainkan didasari proses kreatif dengan mempertimbangkan beberapa aspek,
antara lain aspek lingkungan alaminya maupun lingkungan sosialnya. Berdasarkan
sudut pandang teori strukturalisme-genetik karya sastra yang hidup dipandang
sebagai bagian dari proses asimilasi dan akomodasi yang berlangsung secara
terus-menerus. Asimilasi yang dimaksudkan adalah suatu karya sastra mengalami
penyesuaian dengan kondisi lingkungan sekitarnya dengan menempati ruang yang
tersedia sebagai tempat dalam berproses menjadi suatu karya sastra itu sendiri.
Menurut Goldmann, fakta kemanusiaan terdiri atas dua jenis yaitu fakta
individual dan fakta sosial. Fakta individual merupakan hasil aktivitas dan
tingkah laku manusia yang bersifat pribadi. Dengan kata lain aktivitas fakta
individual berhubungan dengan hakikat manusia sebagai seorang individu.
Sedangkan fakta sosial lebih mengarah pada hubungan yang terjadi antara
manusia dalam hubungannya dengan aktivitas kultural di masyarakat. Fakta-fakta
kemanusiaan adalah respon-respon dari subjek kolektif atau individual,
pembangunan suatu percobaan agar sesuai dengan inspirasi yang telah dibangun
subjek tersebut. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan suatu hasil usaha
seorang individu untuk memperoleh suatu keseimbangan yang baik dalam
hubungannya dengan dunia sekitarnya (Faruk, 2015:56).

- Fakta Sosial Dalam Novel Manusia Langit


Fakta sosial merupakan bagian dari fakta kemanusiaan. Fakta sosial
adalah fakta-fakta yang berhubungan dengan masyarakat. Fakta sosial
memiliki peranan dan hubungan dengan sejarah di masyarakat dalam novel
Manusia Langit diciptakan.
Menurut (Faruk, 2013: 57) fakta individual bersifat pribadi. Sedangkan
fakta sosial mempunyai peranan dalam sejarah. Selain itu, fakta sosial
mempunyai dampak dalam hubungan sosial yang ditemukan dalam novel
Manusia Langit yaitu Polosnya Masyarakat Nias (Banuaha) yang dilatar
belakangi keangkuhan terhadap kepekaan sosial sehingga mudah percaya
dengan apa yang dihadapi, dan proses eksploitasi dan dekontruksi Tradisi
yang dilakukan seorang tokoh Hero.

1. Polosnya Masyarakat Nias (Banuaha)


Kepolosan atau terlalu tertutupnya sebuah pandangan akan dunia
dapat mempengaruhi kepekaan sosial seseorang, seperti yang terjadi
di dalam Novel Manusia Langit. Terlalu pekanya tokoh Sayani akan
Mahendra yang membuat dia membawa masuk idealism Modern ke
dalam Nias, menjadi pintu masuk Awal Mahendra untuk menyelami
dan meng eksploitasi tradisi Banuaha, Nias.
Kutipan-kutipan dibawah ini menjadi bukti bahwa pepatah lama
yang mengatakan “Jangan berbicara dengan orang asing.” Adalah
benar adanya, dikarenakan hal tersebut suatu peradaban bisa
kehilangan jati diri dan ideologinya.
“Kenapa Kamu menolongku waktu itu, Sayani?”
“Aku sudah memperhatikan Bang Hendra sejak pertama turun dari
bus di lapangan dekat kecamatan. Jarang orang pendatang seperti bang
Hendra di kecamatan terpencil seperti ini. Semua orang disini pasti
merasa terhormat bisa berkenalan dan bicara dengan pendatang. Tpi,
mereka malu karena keterbatasan berbahasa.” (Hal.73)

Kutipan percakapan di atas memperlihatkan bagaimana awal mula


proses Modernitas menjajah Masyarakat Nias melalui kedekatan
emosi dan kepolosan mereka.

“Aku yang bilang, Ama!” Tiba-tiba Sayani angkat bicara. “aku


tidak tahu dampaknya akan seperti ini. Niatku biar kita sama-sama
sadar dan menagtasi masalah memalukan ini bersama-sama. Bahwa
bukan roh yang memakan bayi-bayi di kampong ini, tapi keputusasaan
kitalah yang menyebabkan mereka mati!”
“Sayani!” Aku berusaha menghentikan Sayani agar tidak bicara
terus terng seperti itu.
“Tidak apa-apa, Bang Hendra tidak salah, Bang Hendra justru telah
membukakan mata kami.” (Hal.76)

Intrik-intrik kaum intelektual yang sudah biasa kita dapatkan,


bersembunyi dan menjadikan tameng orang yang mereka buat percaya
dengan dirinya agar tidak mengahdapi situasi dan terhindar dari
masalah yang telah dibuatnya.
Dari kutipan di atas kita juga bisa melihat arti dari sebuah sikap
yang memang berawal dari baik kemudian bisa saja berubah menjadi
jahat akibat kepercayaan seseorang. Karna sudah menjadi anugrah
alami kita sebagai manusia modern yaitu kepintaran dalam menjaring
seseorang/kelompok untuk berada di pihak kita.
“Ini bukan salah Sayani. Ini jelas kesalahanku. Karena aku, mka
cerita ini berkembang. Aku minta maaf atas kekacauan ini. Juga pada
sayani. Sekali lagi aku minta maaf.”
Semua orang tertegun mendengar pengakuanku, termausk Sayani.
“Talifuso sekalian, sore ini kita telah mendengarkan permintaan
maaf seseorang manusia yang sudah berusaha hidup di sini dan belajar
tentang budaya Kita,” Ama Budi ngkt bicara lagi.
“Sesuatu yang sangat jarang bagi kita, orang minta maaf,mana ada
di sini yang berani mint maf di depan umum. Kita selalu menjunjung
harg diri dan kokoh dengan pendapat meski salah.” (Ha.77)

Menjadi langkah selanjutnya untuk bisa menguasai atau mengubah


suatu peradaban/kelompok, yaitu bisa membuat percaya salah satu
orang penting sehingga bisa menjadi jalan bala bantuan ketika kita
menghadapi sebuah masalah, hal itu yang terjadi pada kutipan di atas.
Terihat salah satu tokoh adat menjadi penengah dan pelindung bagi
Mahendra.
Seorang Arkeolog seperti Mahendra tidak akan dating dengan
tangan kosong atau pemikiran kosong. Pastinya sebelum terjun lapang
pastinya akan Research terlebih dahulu sehingga menghasilkan data-
data pendukung untuk bekal nya masuk dan menjadi satu di sana. Ha
itu terbukti ampuh dan bisa menjadi salah satu hal yang wajib di bawa
ke dalam tengah-tengah Masyarakat Nias yang terkenal keras dan sulit
berinteraksi dengan pendatang.
Dalam bukunya yang berjudul “Melacak Batu Menguak Mitos”
Jajang Agus Sonjaya menuliskan. “Pertanyaan dari teman dan kolega
itu sedikit banyak telah mendorong saya untuk mencari informasi
lebih banyak lagi sebelum berangkat ke Nias. Dalam awal pencarian
itu, informasi yang masuk sebagian besar adalah hal-hal negative,
antara lain bahwa Nias adalah daerah yang masih tertinggal (Udik),
rawan pembunuhan, tingkat pendidikan rendah, makanan
mahal,transportasi sulit, komunikasi sangat terbatas, dan orangnya
temperamental.”
Dari kutipan buku tersebut, bisa kita lihat bagaimana persiapan
Jajang Agus Sonjaya dalam penggambaran sosok Mahendra
mengumpulkan perbekalan secara matang dan terstruktur dalam
menghadapi Nias.

2. Eksploitasi dan Dekontruksi Tradisi Nias.


Eksploitasi adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri;
pengisapan; pemerasan (KBBI). Dalam proses ini Mahendra sebagai
tokoh Central memegang penuh kuasa atas diri Sayani, dan Ama Budi
sebagai representasi dari Tradisi Banuaha, Nias. Sebagaimana di
ceritakan di dalam Novel, Sayani dan Ama Budi mempercayai dan
secara tidak sadar telah berada dalam kuasa Mahendra, menjadi
tameng dan menjadi jalan keluar Mahendra dari Nias. Proses peng
eksploitasian berjalan dengan lancer dan juga terkesan tulus murni
niat baik Mahendra untuk menjadi salah satu bagian dalam Banuaha,
Nias. Sehingga Mahendra menyandang gelar Hia di belakang
namanya, menjadi Mahendra Hia. Gelar tersebut semakin
memperjalas bahwa Mahendra telah berhasil menjadi bagian dan
dengan mudah bisa men-dekontruksi pemikiran Masyarakat Nias
melalui Sayani dan Ama Budi. Kutipan di bawah ini akan
memperjelas pemaparan di atas.

"Menurutku, yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua


mereka, bukan roh jahat. Sekarang bayangkan, bagaimana sebuah
keluarga bisa hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara
perempuannya masih menyusui dan melahirkan bayi? Untuk bisa
bertahan hidup, mau tidak mau yang paling lemah dikorbankan. Bayi-
bayi yang lemah itu ditimbun atau dihanyutkan di sungai. Si orang tua
kemudian berteriak histeris. Lalu mereka membuat cerita bahwa
bayinya telah dibawa oleh roh jahat Tidak ada orang yang meragukan
cerita itu. Tidak ada orang yang menyalahkan orang tua bayi yang
malang itu."
[. . . ]
"Kamu benar, Nak Mahendra!" kata Ama Budi tiba-tiba.
"Sebenarnya hal itu yang ingin aku ceritakan kepada Sayani, tapi
lidahku terasa sangat kaku karena ada kebohongan yang selalu
kupendam di sini," kata Ama Budi sambil menepuk dadanya. "Ah, ini
hanya dugaan saja, Ama!" "Aku pun pernah melakukannnya, aku
pernah membunuh bayiku sendiri ketika kami masih sering bermukim
di ladang," kata Ama Budi dengan suara lebih pelan. Matanya tiba-
tiba berkaca- kaca. "Itu anak kedua kami, bahkan kami belum sempat
memberi nama."
[. . . ]
Aku hendak menyusulnya, tapi Ama Budi menahanku. "Biarkan
saja, Mahendra, biarkan dia berpikir, sudah saatnya anak lelakiku
menjadi manusia yang sesungguhnya. Ia anak lelaki yang akan
menjadi tulang punggung keluarga." (Hal.21-25)

Fakta sosial tentang proses Eksploitasi yang di lakukan oleh


Mahendra sudha bisa diterima dengan baik orang Sayani dan Ama
Budi sebagai representasi Nias, proses ini secara otoamtis juga akan
mendekontruksi pemikiran tokoh di atas, yang awalnya sangatlah
Udik menjadi sebuh pemikirn yang modern sejalan dengan pemikiran
Mahendra.
Keberhasilan Mahendra terlihat juga pada saat dia menghadapi
puncak masalah dengan keluarga Saita, sosok perempuan yang
Mahendra sukai tetapi terbentur dengan tradisi Banuaha yang
sangatlah kental dn tidak bisa dilanggar. Berawal dari perasaan suka
kemudian berakhir dengan proses pengorbanan nyawa oleh Saita dan
Sayani.
Saita dalam fakta sosial ini juga termasuk dalam golongan
Mahendra yang sudah terdekontruksi pemikirannya, tidak lagi sebagai
sosok perempuan yang patuh terhadap kelurga dan adatnya.
Memanglah proses percintaan menjadi salah satu hal penting dalam
proses pendekontruksian pemikiran, perasaan adalah hal yang rentan
dna mudah untuk dimasuki dan di ubah, tergambar jelas di dalam
Novel bagaimana Saita seorang tokoh lugu dan cacat sebagai
representasi Tradisi Nias dalam kontek gender yang juga bisa
dimasuki oleh idealism Mahendra yang modernitas.
Pertentangan relasi antara Mahendra dengan tradisi nias dalam
konteks pernikahan bisa Mahendra atasi dengan cara perlahan,
meskipun mendapatkan penolakan dari Keluarga Ama Saita, dalam
proses perjalnan cinta mereka sudah tergolong dalam roman Modern,
yaitu proses bertemu, saling suka kemudian ada keinginn lebih untuk
memiliki.
Penjelasan relasi Antara Mahendra dan Saita sudh dijelaskan dalam
bab sebelumnya yaitu “Struktur Karya Satra”, pada bab tersebut
dipaparkan bagaimana proses Mahendra merubah pemikiran Saita
agar bisa menjadi Milik Mahendra. Dalam Bab ini menjelaskan
eksploitasi dan Dekontruksi tradisi yang di alami masyarakat Nias
dalam sosok Sayani, dan Ama Budi.
Kutipan-kutipan dibawah ini akan semakin memperjelas
pemaparan di atas.

"Nenek ini telah menceritakan semuanya kepadaku. Setelah


memukulmu, Sayani segera mengganti pakaiannya dengan
pakalanmu. la lalu membakar diri bersama Saita di dalam gubuk itu
agar semua masalah terkait Nak Hendra dan Saita selesai. Biar emua
orang tahu bahwa kalian berdua sudah tiada. "Kenapa Sayani berbuat
seperti itu?" "la tahu betul, jika kematian Saita yang seperti ini sampai
ke kampung, maka urusannya tidak akan selesai hingga tujuh
generasi. Maka, ia memilih menjadi kamu agar kamu bisa pulang.”
(Hal.185)

Pada kutipan tersebut di ceriatakan bagaimana Ama Budi tidak lagi


menjadi sosok Manusia Langit Nias, dikarenakan pemikirannya sudah
bukan lagi Adat Banuaha yang sangat kental seperti di awal,
melainkan pemikiran Modern yang telah Mahendra berhasil lakukan.
Dalam kutipan di atas menggambarkan proses pemilihan sikap dari
Ama Budi akan melindungi Mahendra sebagai Anak angkatnya atau
sayani sebagai anak kandungnya, representasi dari proses pemindahan
Tradisi menjadi Budaya.

"Lalu bagaimana dengan Sayani?"


"Akan aku ceritakan bahwa ia merantau ke Padang, menyusul
abangnya, tak akan ada yang bisa menyanggah ceritaku." Aku
terduduk lunglai mendengar penjelasan Ama Budi. Aku tak mengerti
mengapa Sayani nekad bunuh diri demi melindungiku.
"Pulanglah, Nak! Sudah saatnya kamu kembali ke langit, kembali
ke kehidupanmu.
"Langit yang mana, Ama?" aku bertanya karena langitku beda
dengan langit versi Ama Budi. "Aku sudah tak peduli apa pun
sekarang. Jika boleh memilih, aku ingin mati saja," kataku sambil
hendak melompat ke dalam kobaran api.
"Jangan nekat!" cegah Ama Budi. "Sudah cukup aku ke hilangan!"
"Tolong, Ama, aku sudah tidak tahan, harusnya aku dan Saita saja
yang mati, bukan Sayani..." "Kamu harus kembali ke langitmu, bukan
langitku!" kata Ama Budi lirih.
"Lekas pergilah!" Tapi, Ama....." suaraku tertahan. "Aku harus
bertanggung jawab atas kekacauan yang kutimbulkan di sini..
"Sudahlah, aku sama sekali tidak menyesal atas semua kejadian ini.
Justru aku bahagia bisa memiliki anak dari langit." Ama Budi berkata
sembari menyodorkan tas yang berisi barang-barangku yang sengaja
kutinggalkan di rumah kemarin.
"Suatu hari kita pasti akan bertemu lagi karena kita punya satu
ikatan di sini," ucap orang tua itu sambil meletakkan telapak
tangannya di dadaku.
"Tetap hiduplah demi aku, dan tolong ceritakan di kampus bahwa
ada Banuaha, ada aku.
"Ah, Ama!"
"Jangan lupa catatanmu," kata Ama Budi. "Catatan itu harus
sampai ke langit bersama kamu." (Hal. 185-186)

Penggalan perckapan di atas semakin memperjelas keberhasilan


Mahendra dalam mendekontruksi pemikiran Masyarakat Nias melalui
Ama Budi. Pengorbanan Sayani menjadi salah satu tanda bahwa
tradisi Nias sudah mati dan mengambilan sikap Ama Budi yang tidka
menyesal anak kandungnya mengorbankan nyawa adalah representasi
keberpihakan Ama Budi dan proses penerimaan kebudayan
Modernitas Mahendra akan dirinya.

3.

Anda mungkin juga menyukai