Abstrak
Penelitian ini mengungkapkan sisi kemanusiaan dalam ranah politik yang tergambar melalui
cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) karangan Krishna Miharja berjudul “Jenengku: Asu”.
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dialektika tokoh utama dengan dunia sosialnya.
Tujuan penelitian adalah menjelaskan dialektika tokoh utama dengan lingkungan sosialnya,
khususnya dalam usahanya memenuhi ambisi politiknya. Pembahasan dalam analisis ini
menggunakan kerangka pikir sosiologi pengetahuan Peter Berger melalui dialektika proses
eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan
tokoh utama dalam memenuhi ambisinya disebabkan karena ambisi politiknya tidak didukung
oleh kemampuan dan pengetahuan yang cukup. Sikap tersebut bertentangan dengan filosofi
orang Jawa “aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa”, sebuah kearifan lokal untuk
introspeksi diri.
Abstract
This research aims to reveal humanism in political field as portrayed through Javanese short
story by Krishna Miharja entitled “Jenengku: Asu”. Problem formulation is how the dialectic of
main character to his social life. The purpose of the research is explaining the main character to
his social life, particularly to his own political ambition. The discussion in the analysis uses
sociology of knowledge framework of Peter Berger through dialectic process of externalization,
objectivation, and internalization. The result shows that the failure of main character in
fulfilling his ambition is stimulated from his political ambition without sufficient ability and
knowledge. That attitude is against the Javanese philosophy “aja rumangsa bisa, nanging bisaa
rumangsa”, a local wisdom to self introspection.
Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 11
menyadari segala kekurangan dan kelebihan belakang berusaha masuk ke panggung
diri, menimbang setiap langkah, menjadi politik. Tak jarang drama perpolitikan di
rendah hati, mau melihat orang lain yang Indonesia hanya menjadi tontonan yang
mempunyai kemampuan berbeda dengan diri menggelikan dan konyol. Kekonyolan
sendiri. Inti kearifan ini adalah pemahaman tersebut lalu direkam oleh para pengarang
terhadap kemampuan diri ketika akan menjadi sebuah suguhan karya sastra yang
melakukan sebuah tindakan, apakah diri berfungsi mengeritik tetapi dalam kemasan
sendiri mampu, kuat, tepat, atau tidak. estetis.
Jangan sampai diri sendiri merasa mampu Cerkak-cerkak (cerita pendek berbahasa
padahal sebenarnya tidak mampu, tidak Jawa) karya Krishna Miharja yang
mempunyai modal, tidak mempunyai terangkum dalam Pratisara (pemenang
pengetahuan, tidak mempunyai visi-misi, penghargaan Rancage tahun 2014 sebagai
serta berbagai hal yang dibutuhkan untuk karya sastra Jawa terbaik) berkisah tentang
melaksanakan dan mengemban tugas yang drama-drama kemanusiaan yang erat
dihadapinya. Jika seseorang tetap hubungannya dengan politik dan kekuasaan.
memaksakan keinginan dan tidak pernah Gambaran masyarakat, pemimpin
mampu menakar kemampuan diri (bisa masyarakat, tabiat penguasa, ambisi
rumangsa), maka kekonyolan, bahkan nasib seseorang menjadi wakil rakyat, dan lain
tragis akan menjadi akhir langkah atau karier sebagainya dipaparkan oleh Krishna dalam
mereka. satu paparan yang bersifat anekdot dan
Kearifan Jawa “aja rumangsa bisa, satire. Selain sebagai sebuah ekspresi
nanging bisaa rumangsa”, seperti kearifan- kesastraan yang estetis untuk dibaca, cerkak-
kearifan Jawa lain muncul sebagai respon cerkak dalam Pratisara juga
kehidupan sosial yang perlu dikritisi. Zaman menyumbangkan kritik sosial yang tidak
milenial seperti sekarang ini banyak ditemui berjarak dengan pembaca.
para oportunis di berbagai bidang kehidupan, Cerkak berjudul “Jenengku: asu”
yang tentunya menjanjikan profit dan kuasa. bergaya ekspresi satiris dan anekdotal.
Dunia politik adalah salah satunya. Dunia Cerkak tersebut merespon fenomena dunia
politk adalah magnet ketenaran, simbolisasi perpolitikan yang terjadi di Indonesia.
sebuah kekuasaan, parameter sebuah Rumusan masalah dalam penelitian ini
keberhasilan. Fenomena panggung adalah bagaimana menemukan dialektika
perpolitikan tersebut merupakan bagian dari individu tokoh utama dengan dunia sosial
sebuah dinamika kehidupan masyarakat budayanya. Dialektika tersebut tergambar
dalam struktur sosial tempat mereka tinggal dalam tiga proses interaksi individu dengan
dan berinteraksi. Segala sesuatu yang kita dunia sosial budayanya, yaitu melalui
lakukan terletak dan dipengaruhi oleh eksternalisasi, obyektivikasi, dan
struktur sosial tempat kita tinggal (Wollf, internalisasi. Tujuan penelitian adalah
1981: 9). mengetahui dan menjelaskan dialektika
Sejak zaman Yunani kuno, intrik untuk tersebut melalui pembacaan makna-makna
menjadi politikus sudah tergambar, baik dan perlambangan yang disimbolkan dalam
dalam sejarah, seni pertunjukan, maupun tokoh, alur, dan latar serta menemukan
dalam sastra. Sejak zaman Calligula sampai simpulan dari perlambang-perlambang yang
dengan zaman milenial, magnet dunia politik diperoleh.
seakan menjadi iming-iming bagi segelintir
orang. Jika disertai kemampuan yang 2. Metode
mumpuni dan tujuan yang luhur untuk Pembahasan cerkak “Jenengku: Asu” akan
memperjuangkan kehidupan berbangsa dan memanfaatkan pandangan sosiologi
bernegara, maka dukungan rakyat layak pengetahuan Peter Berger (1990: xiv-xx),
diperoleh. Akan tetapi, fenomena dewasa ini yaitu melihat fenomena sosial budaya yang
di Indonesia, setiap orang dari segala latar berangkat dari kenyataan kehidupan sehari-
Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 33
menentukan gajinya sendiri. Sudah menjadi pengusaha. Sudahlah…semua proyek
rahasia umum bahwa anggota dewan bisa kutangani sendiri.” (Pratisara, 2013: 124)
menentukan dan memutuskan berbagai hal
yang kaitannya dengan pembiayaan, tidak Ambisi Denmas Lakon tersebut benar-
terkecuali pengadaan proyek-proyek bertaraf benar tidak didukung oleh kemampuan dan
nasional. Hal ini sering dijumpai dalam pengetahuan yang cukup untuk menjadi
berita-berita di media massa dan media seorang politikus dan anggota dewan. Dia
sosial, bahkan ketika anggota dewan tersebut tetap kukuh pada niatnya ketika istrinya
akhirnya terjebak dan tertangkap tangan oleh menasihatinya untuk membatalkannya.
pihak berwajib atau KPK untuk Dengan menghabiskan uang berjuta-juta
mempertanggungjawabkan perbuatannya. akhirnya Denmas Lakon berhasil terpilih
Seorang anggota legislatif yang berteriak menjadi anggota dewan. Isi hati Denmas
melawan korupsi ternyata akhrinya Lakon berbeda dengan apa yang selalu dia
tertangkap karena melakukan korupsi. Hal ucapkan kepada masyarakat di masa
semacam ini muncul karena pendidikan kampanye. Akhirnya dia menderita sakit
politik tidak diterapkan bagi para calon bicara, yaitu salah-salah ketika mengatakan
anggota legislatif tersebut. Fokus kampanye sesuatu. Hal ini menjadi heboh ketika
adalah masalah ketenaran semata (Mustika Denmas Lakon dilantik. Isi hatinya
dan Arifianto, 2018: 140-141). Rupanya terungkap melalui kata-katanya secara tidak
perbandingan antara ketenaran, kekayaan, sadar tetapi tetap terucap.
dan kekuasaan menjadi politikus dan
Nalikane diwisuda dadi anggota dewan
anggota dewan dan tindakan ceroboh mereka
Dnmas Lakon babar pisan ora bisa nyebut
memperkaya diri sendiri tidak diperhatikan jenenge dhewe.
oleh sebagian masyarakat. Hal inilah yang “jenengku
akhirnya menjadi iming-iming bagi Sulak…Sulaa…Sulll…Suuu…jenengku
masyarakat untuk berambisi menjadi Suuuu…,” Denmas Lakon ora bisa ngeja
politikus dan anggota dewan supaya jenenge. Gagap.
mempunyai kekuasaan dan kekayaan, Sing wadon, banget anggone bingung
walaupun sebenarnya kemampuan dan meruhi sing lanang babar pisan ora bisa
pengetahuan mereka sangat tidak memadai ngeja jenenge dhewe iku.
untuk itu. Iming-iming ketenaran, kekuasaan “Jenengku. Su jenengku assuuuu. Jenengku
yang seakan menjadi tren dan gaya hidup Asu,” cetha lan teteh banget pocapane
Denmas Lakon.
orang-orang tertentu tergambar dalam
Kahanan dadi geger, gemrenggeng kaya
kutipan berikut. tawon gula digosok talane. Ana kang
nyenyenges, ana sing njegeges anggone
“Aiyak wektu iki politikus iku segalanya, ngguyu. Ana kang nggresah alon karo
Bu. Apa meneh bisa dadi anggota dewan. ngelus dhadha. Ana kang cekikikan sajak
Ngendi ana wong nyambut gawe bisa ngece. (Pratisara, 2013: 126)
ngatur lan nemtokake bayare dhewe, liyane
dadi anggota dewan. Kamangka, saliyane Terjemahan:
anggota dewan…aku uga isih dadi Ketika diwisuda menjadi anggota dewan.
pengusaha. Wis…kabeh proyek tak garap Denmas Lakon sama sekali tidak bisa
dhewe.” (Pratisara, 2013: 124) menyebut namanya sendiri.
“Namaku
Terjemahan: Sulak…Sulaa…Sulll…Suuu…namaku
“Aiyak…sekarang ini politikus adalah Suuuu…,” Denmas Lakon tidak bisa
segalanya, Bu. Apa lagi bisa menjadi mengeja namanya. Gagap.
anggota dewan. Mana ada orang bekerja Istrinya, sangat bingung melihat suaminya
bisa mengatur dan menentukan gajinya sama sekali tidak bisa mengeja namanya
sendiri, selain jadi anggota dewan. Padahal, sendiri.
selain anggota dewan…aku juga masih jadi
Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 55
(tidak gagap komunikasi) untuk “Eih…kabeh proyek iku nganggo lelang,
berkomunikasi secara konstruktif kepada to?”
rakyat. Dan yang paling penting adalah “Ohoi, lelang? Kaya adat sabene, lelang
kejujuran dan ketulusan, untuk melayani. iku mung dienggo singlon thok,” kandhane
Denmas Lakon.
Hal ini menjadi dasar bagi sebuah pesta
“Karo meneh, suk yen aku wis dadi
demokrasi yang diikuti oleh calon-calon anggota dewan, aturan iki kudu diganti.
anggota legistalif, bahwa pemilu merupakan Kabeh proyek ora kudu dilelang, nganggo
sarana demokrasi yang mendasarkan pada PeeL. Penunjukan Langsung. Pira suwene
ekspresi kedaulatan rakyat yang nantinya gawe aturan anyar.” (Pratisara, 2012:
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang 124).
aspiratif, berkualitas, serta mampu
bertanggung jawab untuk menyejahterakan Terjemahan:
rakyat (Wardhani,2018: 58), bukan “Eih…semua proyek itu palai lelang, kan?”
pemimpin yang ambisius akan kuasa dan “Ohoi, lelang? Seperti biasanya saja, lelang
kekayaan. hanya sebagai kamuflase saja,” kata
Denmas Lakon.
“Lagipula, besok kalau aku sudah jadi
3.2.2 Objektivasi anggota dewan, aturan ini harus diganti.
Objektivasi, yaitu sebuah interaksi sosial Kabeh proyek tidak harus dilelang, melalui
dalam dunia intersubjektif. Dalam dunia PeeL. Penunjukan Langsung. Berapa lama
pemerintahan terdapat interaksi antar sih buat aturan baru.” (Pratisara, 2012:
perangkat pemerintahan untuk membangun 124).
komunikasi konstruktif dalam menjalankan
roda pemerintahan secara baik. Seorang Pernyataan Denmas Lakon
individu yang akan mencalonkan diri menunjukkan bahwa aktivitas objektivasi
menjadi wakil rakyat, dia harus menjadi tidak terjadi antara calon anggota dewan
bagian dari institusi-institusi sosial yang dengan rakyat. Ambisi pribadi Denmas
berorientasi kemasyarakatan. Selama masa Lakon adalah memperkaya diri sendiri.
kampanye, seorang calon anggota dewan Syarat menjadi anggota dewan sama sekali
seharusnya menyatakan berbagai ide dan tidak dipenuhi oleh Denmas Lakon.
gagasan untuk menyejahterakan rakyat,
bukan sebaliknya berpikiran memperoleh 3.2.3 Internalisasi
keuntungan dari rakyat untuk kepentingan Proses internalisasi diri tidak ditunjukkan
kekuasaan dan kekayaan diri sendiri. oleh Denmas Lakon sesuai dengan jabatan
Selain itu, Denmas Lakon tidak yang disandangnya. Internalisasi diri
melalukan aktivitas objektivasi, yaitu dengan Denmas Lakon sebagai anggota dewan sama
memperhatikan dan memenuhi syarat dan sekali tidak muncul, karena semua syarat dan
kebutuhan seorang anggota dewan (fit and kebutuhan sebagai seorang anggota dewan
proper test). Denmas Lakon hanya tidak pernah diketahui dan dipenuhinya.
memperhatikan keuntungan finansial melalui Kesadaran dan sifat koreksi diri (Jawa: bisaa
kekuasaan menjadi seorang anggota dewa rumangsa) dominan mengemuka dalam
sehingga mengesampingkan mekanisme dirinya. Denmas Lakon mendasarkan dirinya
administratif yang berlaku. pada perasaan bahwa politik lebih berhak
Sebagai seorang calon anggota dewan, bagi mereka yang punya pengalaman dan
Denmas Lakon harus mempunyai status sosial yang cukup (Wardhani, 2018:
mekanisme yang konstruktif membangun 61). Pemahaman yang tidak sepenuhnya
jalur birokrasi yang bebas korupsi dan benar inilah yang menyebabkan Denmas
nepotisme. Akan tetapi, ambisi Denmas Lakon merasa dirinya mampu menjadi wakil
Lakon adalah sebaliknya, yaitu ingin rakyat dengan status sosial yang tinggi dan
menciptakan jalur birokrasi yang kekayaan yang dipunyainya. Dia lupa kalau
menguntungkan diri sendiri.
Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 77
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan manusia. Lagipula, gambaran anjing adalah
individu yang diperolehnya dari interaksi gambaran binatang, sebuah simbol kehinaan.
intersubjektivitas dalam dunia sosial. “Binatang” yang berkeinginan menjadi
Panggung politik adalah ajang kontestasi manusia adalah sebuah ketidakmungkinan,
kekuasaan individu dengan tujuan-tujuan pemaksaan diri, namun tetap dilakukan oleh
yang beragam. Denmas Lakon. Di dalam budaya
Fenomena panggung perpolitikan masyarakat Jawa, sikap seperti ini dianggap
tersebut merupakan bagian dari sebuah sebagai sikap tidak tahu diri, tidak tahu
dinamika kehidupan masyarakat dalam malu, tidak bisa mengoreksi diri. Drama
struktur sosial tempat mereka tinggal dan kemanusiaan tersebut dianggap sebagai
berinteraksi. Segala sesuatu yang kita sebuah tindakan yang “aja rumangsa bisa,
lakukan terletak dan dipengaruhi oleh nanging bisaa rumangsa”, atau dalam
struktur sosial tempat kita tinggal (Wollf, bahasa Jawa disebut “jangan merasa bisa
1981: 9). Maka, sebagai makhluk sosial tetapi bisalah merasa”. Jelas, tindakan
manusia harus dapat beraktivitas sesuai Denmas Lakon tersebut tidak mengindahkan
dengan lingkungan sosial budaya tempatnya perasaan malu terhadap diri sendiri, terdahap
tinggal. Manusia secara ideal harus sesama manusia, dan bahkan kepada Tuhan
membangun interaksi konstruktif dengan (Susanti, 2014; dalam Iswari, Handayani,
lingkungan sosialnya sebagai wujud dan Nuriyanti, 2019: 81). Bahkan dapat
kreativitas dan tindakan inovatif yang dikatakan Denmas Lakon mempunyai sifat
disandangnya. Sebagai insan kreatif dan mental yang suka menerabas atau
inovatif, manusia mempunyai modal kuasa mengambil jalan pintas untuk mencapai
yang dapat diterapkannya untuk berinteraksi tujuannya (Koentjaraningrat, 1991: 45),
dan memperoleh cita-cita. tanpa mawas diri.
Kegagalan ketiga tokoh Denmas Lakon Falsafah Jawa “aja rumangsa bisa,
dalam “Jenengku: asu” menunjukkan nanging bisaa rumangsa” ini adalah falsafah
fenomena kemanusiaan yang sederhana, tetapi mempunyai makna
kontraproduktif. Keadaan kontraproduktif universal yang mengingatkan manusia untuk
tersebut terjadi karena tindakan para tokoh mampu menyeimbangkan diri antara
untuk memenuhi keinginan mereka tidak keinginan (demand) dan kemampuan
diimbangi dengan modal yang cukup. Modal (supply). Keseimbangan inilah yang
tersebut adalah pengetahuan, sikap mental, akhirnya membedakan antara manusia yang
keterampilan dan keahlian tertentu, ataupun berpikir sebelum bertindak dan bertindak
material. tanpa berpikir.
Denmas Lakon yang seharusnya
memperoleh kehormatan menjadi politikus 4. Simpulan
dan anggota dewan, akhirnya menjadi Sikap wawas diri adalah sebuah sikap
terhina karena ternyata dirinya mewujud evaluatif bagi setiap orang. Sikap seperti ini
menjadi seekor anjing (anjing berbadan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan
manusia). Seekor binatang tidak akan dapat “bodoh” yang berpotensi merugikan orang
menyamai prilaku manusia, sepintar apapun lain. Pepatah Jawa “aja rumangsa bisa,
binatang itu. Maka, ketika simbolisasi nanging bisaa rumangsa” merupakan seruan
Denmas Lakon, seorang manusia yang preventif dalam konteks kearifan lokal Jawa
berambisi memperoleh kekayaan dan untuk menakar ambisi atau keinginan diri
kekuasaan digambarkan mempunyai watak supaya empan papan (tahu diri di tempat
seperti anjing, dengan membahasakan yang didatangi, menyesuaikan diri dengan
dirinya sebagai asu atau anjing, dan akhirnya suasana yang ada), waktu, kebutuhan, dan
tubuhnya maujud sebagai anjing. Ini suasana. Ajakan wawas diri ini utamanya
menunjukkan sebuah ketidakmampuan diri, ditujukan bagi mereka yang berambisi
yaitu binatang yang ingin menyamai menjadi pemimpin, supaya mereka
Daftar Pustaka
Berger, Peter. (1990). Tafsir Sosial atas
Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Danandjaya, James. (1991). Folklore
Indonesia. Ilmu Gossip, Dongeng, dan
Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.
Darmasoetjipta, F.S. (1985). Kamus
Peribahasa Jawa. Yogyakarta:
Kanisius.
Firza. (2016). Local Wisdom Sebagai Dasar
Dalam Pembentukan Karakter.
Prosiding Seminar Nasional
Reforming Pedagogi. Halaman 361—
365.
Iswari, Fitria, Dian Handayani, Widya
Nuriyanti. (2019). “Sosialisasi Budaya
Malu di Kalangan Pelajar melalui
Infografis sebagai Bentuk Pendidikan
Karakter”. Jurnal Desain, Volume 06
Issue, 02 Januari-April 2019. Halaman
77—88.
Koentjaraningrat. (1992). Budaya
Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. (1991). Etika Jawa.
Sebuah Analisa Filosofi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Miharja, Krishna. Pratisara. (2012).
Pratisara. Yogyakarta: Leutikaprio.
Mustika, Rieka. Arifianto. (2018).
“Komodifikasi “Popularitas
Selebritis” untuk Mendulang Suara
Pemilu Legislatif 2019”. Jurnal Studi
Komunikasi dan Media. Volume 22
No. 2 (Desember 2018). Hal. 139—
150.
Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 99