Anda di halaman 1dari 9

“AJA RUMANGSA BISA NANGING BISAA RUMANGSA” PESAN MORAL

DALAM KEARIFAN LOKAL JAWA MELALUI CERPEN “JENENGKU:


ASU” KARYA KRISHNA MIHARJA

“AJA RUMANGSA BISA NANGING BISAA RUMANGSA” MORAL


MESSAGE IN JAVANESE LOCAL WISDOM OF “JENENGKU: ASU”,
A SHORT STORY BY KRISHNA MIHARJA

Yohanes Adhi Satiyoko


Balai Bahasa D. I. Yogyakarta
Jalan I Dewa Nyoman Oka 36, Yogyakarta
Pos-el: dhimassetiyoko@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini mengungkapkan sisi kemanusiaan dalam ranah politik yang tergambar melalui
cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) karangan Krishna Miharja berjudul “Jenengku: Asu”.
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dialektika tokoh utama dengan dunia sosialnya.
Tujuan penelitian adalah menjelaskan dialektika tokoh utama dengan lingkungan sosialnya,
khususnya dalam usahanya memenuhi ambisi politiknya. Pembahasan dalam analisis ini
menggunakan kerangka pikir sosiologi pengetahuan Peter Berger melalui dialektika proses
eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan
tokoh utama dalam memenuhi ambisinya disebabkan karena ambisi politiknya tidak didukung
oleh kemampuan dan pengetahuan yang cukup. Sikap tersebut bertentangan dengan filosofi
orang Jawa “aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa”, sebuah kearifan lokal untuk
introspeksi diri.

Kata kunci: mawas diri, eksternalisasi, objektivasi, internalisasi, ambisi

Abstract
This research aims to reveal humanism in political field as portrayed through Javanese short
story by Krishna Miharja entitled “Jenengku: Asu”. Problem formulation is how the dialectic of
main character to his social life. The purpose of the research is explaining the main character to
his social life, particularly to his own political ambition. The discussion in the analysis uses
sociology of knowledge framework of Peter Berger through dialectic process of externalization,
objectivation, and internalization. The result shows that the failure of main character in
fulfilling his ambition is stimulated from his political ambition without sufficient ability and
knowledge. That attitude is against the Javanese philosophy “aja rumangsa bisa, nanging bisaa
rumangsa”, a local wisdom to self introspection.

Keywords: self introspection, externalization, objectification, internalization, ambition

1. Pendahuluan kehidupannya. Kebiasaan ini tidak hanya


“Aja rumangsa bisa, nanging bisaa berupa aktivitas atau perbuatan, tetapi juga
rumangsa” atau “Jangan merasa bisa, tetapi dalam bentuk ekspresi sastra, tradisi relijius,
bisalah merasa” adalah sebuah ungkapan dan lain sebagainya. Kearifan lokal
kearifan lokal Jawa yang mempunyai makna dipandang juga sebagai sebuah nilai luhur
universal, yaitu ajakan introspeksi diri. (lofty value) dalam ajakan kebaikan (Firza,
Kearifan lokal adalah kebiasaan baik yang 2016: 362). Ajakan kearifan lokal Jawa ini
dilakukan oleh masyarakat dalam berusaha menyapa setiap individu untuk

Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 11
menyadari segala kekurangan dan kelebihan belakang berusaha masuk ke panggung
diri, menimbang setiap langkah, menjadi politik. Tak jarang drama perpolitikan di
rendah hati, mau melihat orang lain yang Indonesia hanya menjadi tontonan yang
mempunyai kemampuan berbeda dengan diri menggelikan dan konyol. Kekonyolan
sendiri. Inti kearifan ini adalah pemahaman tersebut lalu direkam oleh para pengarang
terhadap kemampuan diri ketika akan menjadi sebuah suguhan karya sastra yang
melakukan sebuah tindakan, apakah diri berfungsi mengeritik tetapi dalam kemasan
sendiri mampu, kuat, tepat, atau tidak. estetis.
Jangan sampai diri sendiri merasa mampu Cerkak-cerkak (cerita pendek berbahasa
padahal sebenarnya tidak mampu, tidak Jawa) karya Krishna Miharja yang
mempunyai modal, tidak mempunyai terangkum dalam Pratisara (pemenang
pengetahuan, tidak mempunyai visi-misi, penghargaan Rancage tahun 2014 sebagai
serta berbagai hal yang dibutuhkan untuk karya sastra Jawa terbaik) berkisah tentang
melaksanakan dan mengemban tugas yang drama-drama kemanusiaan yang erat
dihadapinya. Jika seseorang tetap hubungannya dengan politik dan kekuasaan.
memaksakan keinginan dan tidak pernah Gambaran masyarakat, pemimpin
mampu menakar kemampuan diri (bisa masyarakat, tabiat penguasa, ambisi
rumangsa), maka kekonyolan, bahkan nasib seseorang menjadi wakil rakyat, dan lain
tragis akan menjadi akhir langkah atau karier sebagainya dipaparkan oleh Krishna dalam
mereka. satu paparan yang bersifat anekdot dan
Kearifan Jawa “aja rumangsa bisa, satire. Selain sebagai sebuah ekspresi
nanging bisaa rumangsa”, seperti kearifan- kesastraan yang estetis untuk dibaca, cerkak-
kearifan Jawa lain muncul sebagai respon cerkak dalam Pratisara juga
kehidupan sosial yang perlu dikritisi. Zaman menyumbangkan kritik sosial yang tidak
milenial seperti sekarang ini banyak ditemui berjarak dengan pembaca.
para oportunis di berbagai bidang kehidupan, Cerkak berjudul “Jenengku: asu”
yang tentunya menjanjikan profit dan kuasa. bergaya ekspresi satiris dan anekdotal.
Dunia politik adalah salah satunya. Dunia Cerkak tersebut merespon fenomena dunia
politk adalah magnet ketenaran, simbolisasi perpolitikan yang terjadi di Indonesia.
sebuah kekuasaan, parameter sebuah Rumusan masalah dalam penelitian ini
keberhasilan. Fenomena panggung adalah bagaimana menemukan dialektika
perpolitikan tersebut merupakan bagian dari individu tokoh utama dengan dunia sosial
sebuah dinamika kehidupan masyarakat budayanya. Dialektika tersebut tergambar
dalam struktur sosial tempat mereka tinggal dalam tiga proses interaksi individu dengan
dan berinteraksi. Segala sesuatu yang kita dunia sosial budayanya, yaitu melalui
lakukan terletak dan dipengaruhi oleh eksternalisasi, obyektivikasi, dan
struktur sosial tempat kita tinggal (Wollf, internalisasi. Tujuan penelitian adalah
1981: 9). mengetahui dan menjelaskan dialektika
Sejak zaman Yunani kuno, intrik untuk tersebut melalui pembacaan makna-makna
menjadi politikus sudah tergambar, baik dan perlambangan yang disimbolkan dalam
dalam sejarah, seni pertunjukan, maupun tokoh, alur, dan latar serta menemukan
dalam sastra. Sejak zaman Calligula sampai simpulan dari perlambang-perlambang yang
dengan zaman milenial, magnet dunia politik diperoleh.
seakan menjadi iming-iming bagi segelintir
orang. Jika disertai kemampuan yang 2. Metode
mumpuni dan tujuan yang luhur untuk Pembahasan cerkak “Jenengku: Asu” akan
memperjuangkan kehidupan berbangsa dan memanfaatkan pandangan sosiologi
bernegara, maka dukungan rakyat layak pengetahuan Peter Berger (1990: xiv-xx),
diperoleh. Akan tetapi, fenomena dewasa ini yaitu melihat fenomena sosial budaya yang
di Indonesia, setiap orang dari segala latar berangkat dari kenyataan kehidupan sehari-

Gramatika, Volume VII, Nomor 1, Januari—Juni 2019 22


hari (lebenswelt) sebagai realitas utama sindiran kepada satu “riwayat hidup” pribadi
gejala bermasyarakat. Fenomena sosial yang tertentu (Danandjaya, 1991: 118). Cerkak
dimaksudkan adalah sikap-sikap subyektif berjudul “Jenengku: asu” memaparkan
yang wajar dan alamiah dengan seorang pengusaha yang kaya yang
memperhatikan faktor dialektika antara diri berambisi menjadi anggota dewan yang
(the self) dengan dunia sosio-kultural, yakni bakal dihormati. Keinginan pengusaha
eksternalisasi diri (penyesuain diri dengan tersebut sudah ditentang oleh istrinya, karena
dunia sosio-kultural sebagai produk pengusaha itu tidak tahu apa-apa tentang
manusia), obyektifikasi (interaksi sosial tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan
dalam dunia intersubyektif yang yang terhormat. Namun, semua peringatan
dilembagakan atau mengalami proses istrinya tidak digubris sama sekali. Dia tetap
institusionalisasi), dan internalisasi diri bersikeras menjadi anggota dewan. Setelah
(individu mengindentifikasikan diri dengan dilantik, anggota dewan tersebut dicemooh
lembaga sosial atau organisasi tempat oleh masyarakat karena kebodohannya.
individu tersebut menjadi anggotanya). Bahkan dia digambarkan tidak mampu
Dialektika tersebut muncul dalam bahasa- berbicara dan menyebutkan nama dirinya
bahasa verbal dan non verbal yang sendiri dengan benar. Dia gagap. Dia
menyimbolkan atau menandai sesuatu dalam akhirnya hanya mampu menyebut dirinya
kehidupan manusia (Berger 1990: 49-52). sendiri sebagai asu atau anjing. Akhirnya, si
Hasil pembacaan dialektis tersebut secara pengusaha tersebut bisa berbicara dengan
sosiologis mewujud menjadi sebuah lancar setelah disembuhkan, namun tubuh
pengetahuan bagi masyarakat. pengusaha tersebut berubah menjadi anjing.
Latar belakang sosial budaya tersebut di Den Lakon berubah menjadi anjing dengan
atas akan mendasari pembahasan berikutnya, segala tingkah lakunya. Sorotan akan sosok
yaitu melihat perwatakan tokoh utama, latar diri, keluarga, pekerjaan, catatan
penceritaan, dan alur cerita. Latar sosial kehidupannya, sepak terjangnya, dan akhir
budaya dibahas sesuai dengan konteks perjalanan karirnya akhirnya menjadi
masalah, yaitu ambisi seseorang menjadi konsumsi publik.
anggota dewan tanpa dibekali dengan modal Suksesi kepemimpinan selalu menjadi
pengetahuan dan kecakapan yang memadai. topik menarik untuk disimak dalam sejarah
Pembahasan berikutnya, yaitu umat manusia. Pemilihan kepala daerah, dari
menunjukkan apakah tokoh Denmas Lakon presiden, gubernur, sampai kepala desa
melaksanakan proses dialektika melalui tiga sebagai pemimpin daerah sering menyisakan
momen simultan, eksternalisasi, objektivasi, masalah, seperti ketidakpuasan massa
dan internalisasi. Hasil pembacaan terhadap pendukung pasangan, politik uang yang
perwatakan, latar, dan alur cerita dengan berhasil dibongkar, hingga sampai pada
tokoh utama Denmas Lakon tersebut dalam praktik perdukunan untuk memuluskan
dialektikanya dengan lingkungan sosial suksesi. Fenomena tersebut menjadi bagian
budayanya, dirumuskan menjadi temuan kehidupan kita sehari-hari. Fenomena ini
yang ditafsirkan dan dipaparkan sebagai diangkat oleh Krishna Miharja dalam
simpulan penelitian untuk menunjukkan ekspresi cerkak
watak tokoh utama. Tokoh Denmas Lakon dalam
“Jenengku: Asu” digambarkan sebagai
3. Pembahasan seorang pengusaha yang kaya raya.
3.1 Cerkak “Jenengku: Asu” dalam Walaupun sudah kaya, Denmas Lakon tetap
Fenomena Sosial Budaya tertarik untuk menjadi seseorang yang lebih
Cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) kaya, berkuasa, disegani, dan dapat
“Jenengku: Asu” adalah karya Krishna memperoleh beraneka proyek. Iming-iming
Miharja bergaya anekdotal dan satiris, yaitu jabatan sebagai anggota dewan menjadi daya
cerita yang menggelikan dan mengandung tarik baginya. Dia ingin terkenal, kaya, dan

Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 33
menentukan gajinya sendiri. Sudah menjadi pengusaha. Sudahlah…semua proyek
rahasia umum bahwa anggota dewan bisa kutangani sendiri.” (Pratisara, 2013: 124)
menentukan dan memutuskan berbagai hal
yang kaitannya dengan pembiayaan, tidak Ambisi Denmas Lakon tersebut benar-
terkecuali pengadaan proyek-proyek bertaraf benar tidak didukung oleh kemampuan dan
nasional. Hal ini sering dijumpai dalam pengetahuan yang cukup untuk menjadi
berita-berita di media massa dan media seorang politikus dan anggota dewan. Dia
sosial, bahkan ketika anggota dewan tersebut tetap kukuh pada niatnya ketika istrinya
akhirnya terjebak dan tertangkap tangan oleh menasihatinya untuk membatalkannya.
pihak berwajib atau KPK untuk Dengan menghabiskan uang berjuta-juta
mempertanggungjawabkan perbuatannya. akhirnya Denmas Lakon berhasil terpilih
Seorang anggota legislatif yang berteriak menjadi anggota dewan. Isi hati Denmas
melawan korupsi ternyata akhrinya Lakon berbeda dengan apa yang selalu dia
tertangkap karena melakukan korupsi. Hal ucapkan kepada masyarakat di masa
semacam ini muncul karena pendidikan kampanye. Akhirnya dia menderita sakit
politik tidak diterapkan bagi para calon bicara, yaitu salah-salah ketika mengatakan
anggota legislatif tersebut. Fokus kampanye sesuatu. Hal ini menjadi heboh ketika
adalah masalah ketenaran semata (Mustika Denmas Lakon dilantik. Isi hatinya
dan Arifianto, 2018: 140-141). Rupanya terungkap melalui kata-katanya secara tidak
perbandingan antara ketenaran, kekayaan, sadar tetapi tetap terucap.
dan kekuasaan menjadi politikus dan
Nalikane diwisuda dadi anggota dewan
anggota dewan dan tindakan ceroboh mereka
Dnmas Lakon babar pisan ora bisa nyebut
memperkaya diri sendiri tidak diperhatikan jenenge dhewe.
oleh sebagian masyarakat. Hal inilah yang “jenengku
akhirnya menjadi iming-iming bagi Sulak…Sulaa…Sulll…Suuu…jenengku
masyarakat untuk berambisi menjadi Suuuu…,” Denmas Lakon ora bisa ngeja
politikus dan anggota dewan supaya jenenge. Gagap.
mempunyai kekuasaan dan kekayaan, Sing wadon, banget anggone bingung
walaupun sebenarnya kemampuan dan meruhi sing lanang babar pisan ora bisa
pengetahuan mereka sangat tidak memadai ngeja jenenge dhewe iku.
untuk itu. Iming-iming ketenaran, kekuasaan “Jenengku. Su jenengku assuuuu. Jenengku
yang seakan menjadi tren dan gaya hidup Asu,” cetha lan teteh banget pocapane
Denmas Lakon.
orang-orang tertentu tergambar dalam
Kahanan dadi geger, gemrenggeng kaya
kutipan berikut. tawon gula digosok talane. Ana kang
nyenyenges, ana sing njegeges anggone
“Aiyak wektu iki politikus iku segalanya, ngguyu. Ana kang nggresah alon karo
Bu. Apa meneh bisa dadi anggota dewan. ngelus dhadha. Ana kang cekikikan sajak
Ngendi ana wong nyambut gawe bisa ngece. (Pratisara, 2013: 126)
ngatur lan nemtokake bayare dhewe, liyane
dadi anggota dewan. Kamangka, saliyane Terjemahan:
anggota dewan…aku uga isih dadi Ketika diwisuda menjadi anggota dewan.
pengusaha. Wis…kabeh proyek tak garap Denmas Lakon sama sekali tidak bisa
dhewe.” (Pratisara, 2013: 124) menyebut namanya sendiri.
“Namaku
Terjemahan: Sulak…Sulaa…Sulll…Suuu…namaku
“Aiyak…sekarang ini politikus adalah Suuuu…,” Denmas Lakon tidak bisa
segalanya, Bu. Apa lagi bisa menjadi mengeja namanya. Gagap.
anggota dewan. Mana ada orang bekerja Istrinya, sangat bingung melihat suaminya
bisa mengatur dan menentukan gajinya sama sekali tidak bisa mengeja namanya
sendiri, selain jadi anggota dewan. Padahal, sendiri.
selain anggota dewan…aku juga masih jadi

Gramatika, Volume VII, Nomor 1, Januari—Juni 2019 44


“Namaku. Su namaku assuuuu. Namaku 3.2 Ambisi dan Kemampuan Diri
Asu,” jelas dan tegas sekali ucapan Denmas Dialektika hubungan antara individu, yaitu
Lakon. sosok tokoh Denmas Lakon dalam
Keadaan menjadi gempar, mendengung “Jenengku: asu” dipilah melalui momen
seperti lebah gula yang digosok sarangnya.
simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi,
Ada yang menyindir, ada yang mengejek
sambil tertawa. Ada yang menghela napas
dan internalisasi. Berikut penjelasannya.
pelan sambil mengelus dada. Ada yang
cekikikan mengejek. (Pratisara, 2013: 126) 3.2.1 Eksternalisasi
Tataran eksternalisasi, yaitu penyesuaian diri
Kutipan di atas secara gamblang individu dengan dunia sosial budaya buatan
menunjukkan sebuah dekonstruksi jabatan manusia. Dunia sosial budaya yang
politikus anggota dewan yang dianggap dimaksud dalam “Jenengku: Asu” adalah
terhormat di mata masyarakat, tetapi melalui keharusan Denmas Lakon untuk
Denmas Lakon jabatan tersebut menjadi bersosialisasi kepada masyarakat, karena dia
sebuah hal yang remeh-temeh dan sangat mencalonkan diri menjadi wakil rakyat.
tidak berharga. Penggambaran dekonstruktif Mekanisme pencalonan secara administratif
tersebut disimbolkan dengan penghadiran juga perlu dijalani, seperti latar belakang
latar suasana wisuda anggota dewan. Pada pendidikan, keahlian yang dipunyai,
wisuda yang seharusnya berlangsung formal, kesiapan mental, bahkan fit and proper test
khidmat, dan terhormat menjadi kacau balau (uji kelayakan). Dalam hal ini Denmas
karena tokoh Denmas Lakon yang dilantik Lakon mengabaikan mekanisme yang harus
ternyata tidak mampu menyebutkan nama dijalani untuk memperoleh jabatan sebagai
dirinya sendiri. Ucapan yang keluar dari anggota dewan, sehingga tidak terjadi
mulut Denmas Lakon adalah “jenengku asu” penyesuaian diri dengan tatanan yang
atau “namaku anjing”. berlaku. Politik uang dengan menghambur-
Perlambangan anjing merupakan hamburkan banyak biaya untuk memperoleh
perlambangan yang sangat rendah jika suara dilakukannya, apalagi dirinya adalah
dikomparasi dengan derajat manusia. Anjing seorang pengusaha yang sudah mempunyai
adalah hewan yang dianggap najis (dalam banyak uang.
agama tertentu) dan berderajat di bawah
hewan-hewan lain yang sering berada di Denmas Lakon tetep ngeyel, lan sing wadon
sidane ora bisa menggak kekarepane sing
sekitar kehidupan manusia, seperti kambing,
lanang. Dhuwit mayuta-yuta mawut
sapi, ayam, kucing, burung, dan lain dienggo melu kampanye. (Pratisara, 2012:
sebagainya. dengan demikian penghadiran 124)
simbol anjing dalam derajat sejajar dengan
manusia merupakan sebuah satire yang Terjemahan:
sangat dalam dan merendahkan derajat Denmas Lakon tetap ngotot, dan istrinya
manusia jauh di bawah batas derajat akhirnya tidak dapat menahan keinginan
terbawah manusia. Secara fungsional dapat suaminya. Uang berjuta-juta dihamburkan
dipahami bahwa Denmas Lakon adalah untuk ikut kampanye (Pratisara, 2012: 124)
simbol ambisi manusia yang rendah, tidak
berotak waras, namun berambisi menjadi Ambisi tokoh Denmas Lakon untuk
orang terhormat dan kaya. Hal ini pun menjadi politikus, anggota dewan sangat
mengimplikasikan sebuah perumpamaan kuat dengan persepsi bahwa dia akan
bahwa ambisi manusia untuk menjadi memperoleh semua yang diinginkannya.
terhormat, tetapi hanya bermodal seperti Menjadi anggota dewan mensyaratkan
binatang, seperti seekor anjing. sebuah pengetahuan yang sangat luas tentang
berbagai hal dalam kehidupan manusia.
Selain itu diperlukan juga mental
kenegarawanan dan kemampuan retorika

Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 55
(tidak gagap komunikasi) untuk “Eih…kabeh proyek iku nganggo lelang,
berkomunikasi secara konstruktif kepada to?”
rakyat. Dan yang paling penting adalah “Ohoi, lelang? Kaya adat sabene, lelang
kejujuran dan ketulusan, untuk melayani. iku mung dienggo singlon thok,” kandhane
Denmas Lakon.
Hal ini menjadi dasar bagi sebuah pesta
“Karo meneh, suk yen aku wis dadi
demokrasi yang diikuti oleh calon-calon anggota dewan, aturan iki kudu diganti.
anggota legistalif, bahwa pemilu merupakan Kabeh proyek ora kudu dilelang, nganggo
sarana demokrasi yang mendasarkan pada PeeL. Penunjukan Langsung. Pira suwene
ekspresi kedaulatan rakyat yang nantinya gawe aturan anyar.” (Pratisara, 2012:
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang 124).
aspiratif, berkualitas, serta mampu
bertanggung jawab untuk menyejahterakan Terjemahan:
rakyat (Wardhani,2018: 58), bukan “Eih…semua proyek itu palai lelang, kan?”
pemimpin yang ambisius akan kuasa dan “Ohoi, lelang? Seperti biasanya saja, lelang
kekayaan. hanya sebagai kamuflase saja,” kata
Denmas Lakon.
“Lagipula, besok kalau aku sudah jadi
3.2.2 Objektivasi anggota dewan, aturan ini harus diganti.
Objektivasi, yaitu sebuah interaksi sosial Kabeh proyek tidak harus dilelang, melalui
dalam dunia intersubjektif. Dalam dunia PeeL. Penunjukan Langsung. Berapa lama
pemerintahan terdapat interaksi antar sih buat aturan baru.” (Pratisara, 2012:
perangkat pemerintahan untuk membangun 124).
komunikasi konstruktif dalam menjalankan
roda pemerintahan secara baik. Seorang Pernyataan Denmas Lakon
individu yang akan mencalonkan diri menunjukkan bahwa aktivitas objektivasi
menjadi wakil rakyat, dia harus menjadi tidak terjadi antara calon anggota dewan
bagian dari institusi-institusi sosial yang dengan rakyat. Ambisi pribadi Denmas
berorientasi kemasyarakatan. Selama masa Lakon adalah memperkaya diri sendiri.
kampanye, seorang calon anggota dewan Syarat menjadi anggota dewan sama sekali
seharusnya menyatakan berbagai ide dan tidak dipenuhi oleh Denmas Lakon.
gagasan untuk menyejahterakan rakyat,
bukan sebaliknya berpikiran memperoleh 3.2.3 Internalisasi
keuntungan dari rakyat untuk kepentingan Proses internalisasi diri tidak ditunjukkan
kekuasaan dan kekayaan diri sendiri. oleh Denmas Lakon sesuai dengan jabatan
Selain itu, Denmas Lakon tidak yang disandangnya. Internalisasi diri
melalukan aktivitas objektivasi, yaitu dengan Denmas Lakon sebagai anggota dewan sama
memperhatikan dan memenuhi syarat dan sekali tidak muncul, karena semua syarat dan
kebutuhan seorang anggota dewan (fit and kebutuhan sebagai seorang anggota dewan
proper test). Denmas Lakon hanya tidak pernah diketahui dan dipenuhinya.
memperhatikan keuntungan finansial melalui Kesadaran dan sifat koreksi diri (Jawa: bisaa
kekuasaan menjadi seorang anggota dewa rumangsa) dominan mengemuka dalam
sehingga mengesampingkan mekanisme dirinya. Denmas Lakon mendasarkan dirinya
administratif yang berlaku. pada perasaan bahwa politik lebih berhak
Sebagai seorang calon anggota dewan, bagi mereka yang punya pengalaman dan
Denmas Lakon harus mempunyai status sosial yang cukup (Wardhani, 2018:
mekanisme yang konstruktif membangun 61). Pemahaman yang tidak sepenuhnya
jalur birokrasi yang bebas korupsi dan benar inilah yang menyebabkan Denmas
nepotisme. Akan tetapi, ambisi Denmas Lakon merasa dirinya mampu menjadi wakil
Lakon adalah sebaliknya, yaitu ingin rakyat dengan status sosial yang tinggi dan
menciptakan jalur birokrasi yang kekayaan yang dipunyainya. Dia lupa kalau
menguntungkan diri sendiri.

Gramatika, Volume VII, Nomor 1, Januari—Juni 2019 66


dirinya tidak mempunyai pengalaman yang budaya malu yang tinggi, maka karakter dan
cukup. kualitas manusia akan terlihat (Iswari,
Ambisi Denmas Lakon menjadi anggota Handayani, dan Nuriyanti, 2019: 86).
dewan sebenarnya sudah dilarang oleh Implikasinya adalah, individu akan sadar dan
istrinya. Istri Denmas Lakon sangat mengerti tahu posisi dirinya serta mampu
kemampuan Denmas Lakon sebagai seorang menginternalisasi diri sebagaimana
pengusaha. Berkali-kali Denmas Lakon mestinya.
dievaluasi oleh istrinya supaya
menginternalisasi diri sesuai dengan bidang 3.3 Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa
keahliannya saja, tidak coba-coba berperan Rumangsa
melebihi kemampuan dirinya. Dialektika yang dipaparkan dalam tiga
momen simultan tersebut menunjukkan
“Pak, dadia macan kaya macan tenan, bahwa antara individu dengan lingkungan
geneya yen dadi wedhus iya kaya wedhus sosial budayanya tidak terjadi interaksi yang
temenan. Kowe iki kiraku wis didhapuk semestinya. Sebagai individu Denmas Lakon
dadi pengusaha, keneng apa ndadak dadi merasa diri aman melakukan tindakan yang
politikus, karo meneh apa bathine dadi
dirasanya benar, namun tidak aman secara
politikus?” kandhane sing wadon.
(Pratisara, 2012: 124)
obyektif. Hal tersebut terlihat dari akhir
cerita tragis, yaitu Denmas Lakon
Terjemahan: menelanjangi dirinya sendiri dengan
“Pak, jika jadi harimau jadilah harimau menunjukkan bahwa dirinya sebenarnya
beneran, sedangkan jika jadi kambing hanyalah manusia yang berwatak anjing
jadilah kambing beneran. Kamu kan sudah (Jawa: asu). Tindakan tokoh Denmas Lakon
ditakdirkan menjadi pengusaha, mengapa merupakan bukti ketidakmampuan diri untuk
malah berusaha menjadi politikus, lalu apa melihat potensi dalam diri sendiri. Ambisi
keuntungan jadi politikus?” kata istrinya. yang didasari oleh anggapan bahwa politikus
(Pratisara, 2012: 124) merupakan sebuah “profesi” untuk dapat
mengatur keuangan sudah mengakar urat di
Kata-kata istri Denmas Lakon tersebut
benak Denmas Lakon. Denmas Lakon
menunjukkan bahwa Denmas Lakon tidak
berusaha menciptakan kekuasaan melalui
mau dan mampu menginternalisasi diri
cara-cara yang instan, yaitu menjadi anggota
sesuai profesinya. Dia mengingkari dan
dewan. Iming-iming, budaya berlomba
berusaha berprofesi lain, sebagai politikus,
menjadi anggota dewan, dan angan-angan
tanpa berbekal modal pengetahuan dan
bahwa menjadi anggota dewan akan
keterampilan yang cukup. Jangankan
menyejahterakan kehidupan melalui
memperjuangkan kepentingan rakyat,
kekuasaan dan kekayaan rupanya sudah
beretorika saja Denmas Lakon tidak
menjadi budaya yang tidak dapat dihindari
sanggup. Akhirnya, satu hal yang dia bisa
mengakar urat di setiap kepala orang yang
lakukan adalah berujar bahwa namanya
ambisius dan egois.
adalah asu atau anjing. Simbolisasi ini
Kemampuan diri dapat muncul sebagai
secara fungsional menunjukkan bahwa dia
sebuah kekuasaan yang mengatur diri
menelanjangi dirinya sendiri, menunjukkan
sendiri. Kekuasaan adalah kemampuan atau
jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan srigala
kesanggupan berbuat sesuatu. Kekuasaan
berbulu domba, maka dapat juga
dapat berasal dari diri sendiri untuk
disejajarkan bahwa apa yang dilakukan
mengatur diri sendiri dan dapat pula dari diri
Denmas Lakon adalah anjing berbadan
untuk mengatur orang lain. Legitimasi moral
manusia. Pernyataan istri Denmas Lakon di
kekuasaan tergantung dari cara bagaimana
atas, secara implikatif mengajak Denmas
kekuasaan itu diperoleh dan bagaimana
Lakon untuk tahu diri, mempunyai dan
pemakaiannya (Magnis-Suseno, 1991: 110).
mengingat budaya malu yang berkembang
Implementasi dan idealisme kekuasaan
dalam tatanan sosial yang normatif. Dengan

Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 77
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan manusia. Lagipula, gambaran anjing adalah
individu yang diperolehnya dari interaksi gambaran binatang, sebuah simbol kehinaan.
intersubjektivitas dalam dunia sosial. “Binatang” yang berkeinginan menjadi
Panggung politik adalah ajang kontestasi manusia adalah sebuah ketidakmungkinan,
kekuasaan individu dengan tujuan-tujuan pemaksaan diri, namun tetap dilakukan oleh
yang beragam. Denmas Lakon. Di dalam budaya
Fenomena panggung perpolitikan masyarakat Jawa, sikap seperti ini dianggap
tersebut merupakan bagian dari sebuah sebagai sikap tidak tahu diri, tidak tahu
dinamika kehidupan masyarakat dalam malu, tidak bisa mengoreksi diri. Drama
struktur sosial tempat mereka tinggal dan kemanusiaan tersebut dianggap sebagai
berinteraksi. Segala sesuatu yang kita sebuah tindakan yang “aja rumangsa bisa,
lakukan terletak dan dipengaruhi oleh nanging bisaa rumangsa”, atau dalam
struktur sosial tempat kita tinggal (Wollf, bahasa Jawa disebut “jangan merasa bisa
1981: 9). Maka, sebagai makhluk sosial tetapi bisalah merasa”. Jelas, tindakan
manusia harus dapat beraktivitas sesuai Denmas Lakon tersebut tidak mengindahkan
dengan lingkungan sosial budaya tempatnya perasaan malu terhadap diri sendiri, terdahap
tinggal. Manusia secara ideal harus sesama manusia, dan bahkan kepada Tuhan
membangun interaksi konstruktif dengan (Susanti, 2014; dalam Iswari, Handayani,
lingkungan sosialnya sebagai wujud dan Nuriyanti, 2019: 81). Bahkan dapat
kreativitas dan tindakan inovatif yang dikatakan Denmas Lakon mempunyai sifat
disandangnya. Sebagai insan kreatif dan mental yang suka menerabas atau
inovatif, manusia mempunyai modal kuasa mengambil jalan pintas untuk mencapai
yang dapat diterapkannya untuk berinteraksi tujuannya (Koentjaraningrat, 1991: 45),
dan memperoleh cita-cita. tanpa mawas diri.
Kegagalan ketiga tokoh Denmas Lakon Falsafah Jawa “aja rumangsa bisa,
dalam “Jenengku: asu” menunjukkan nanging bisaa rumangsa” ini adalah falsafah
fenomena kemanusiaan yang sederhana, tetapi mempunyai makna
kontraproduktif. Keadaan kontraproduktif universal yang mengingatkan manusia untuk
tersebut terjadi karena tindakan para tokoh mampu menyeimbangkan diri antara
untuk memenuhi keinginan mereka tidak keinginan (demand) dan kemampuan
diimbangi dengan modal yang cukup. Modal (supply). Keseimbangan inilah yang
tersebut adalah pengetahuan, sikap mental, akhirnya membedakan antara manusia yang
keterampilan dan keahlian tertentu, ataupun berpikir sebelum bertindak dan bertindak
material. tanpa berpikir.
Denmas Lakon yang seharusnya
memperoleh kehormatan menjadi politikus 4. Simpulan
dan anggota dewan, akhirnya menjadi Sikap wawas diri adalah sebuah sikap
terhina karena ternyata dirinya mewujud evaluatif bagi setiap orang. Sikap seperti ini
menjadi seekor anjing (anjing berbadan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan
manusia). Seekor binatang tidak akan dapat “bodoh” yang berpotensi merugikan orang
menyamai prilaku manusia, sepintar apapun lain. Pepatah Jawa “aja rumangsa bisa,
binatang itu. Maka, ketika simbolisasi nanging bisaa rumangsa” merupakan seruan
Denmas Lakon, seorang manusia yang preventif dalam konteks kearifan lokal Jawa
berambisi memperoleh kekayaan dan untuk menakar ambisi atau keinginan diri
kekuasaan digambarkan mempunyai watak supaya empan papan (tahu diri di tempat
seperti anjing, dengan membahasakan yang didatangi, menyesuaikan diri dengan
dirinya sebagai asu atau anjing, dan akhirnya suasana yang ada), waktu, kebutuhan, dan
tubuhnya maujud sebagai anjing. Ini suasana. Ajakan wawas diri ini utamanya
menunjukkan sebuah ketidakmampuan diri, ditujukan bagi mereka yang berambisi
yaitu binatang yang ingin menyamai menjadi pemimpin, supaya mereka

Gramatika, Volume VII, Nomor 1, Januari—Juni 2019 88


introspeksi diri terlebih dahulu, jujur Utomo, Sutrisno Sastro. (2007). Kamus
terhadap kemampuan, dan keinginan mereka Lengkap Peribahasa Jawa-Indonesia.
sebelum mencoba meraih posisi atau Yogyakarta: UII-Press
kedudukan tertentu. Cerkak “Jenengku: Asu” Wardhani, Primandha Sukma Nur. (2018).
menjadi satu ekspresi kesusastraan, cermin “Partisipasi Politik Pemilih Pemula
masyarakat yang menggambarkan kontestasi dalam Pemilihan Umum”. Jurnal
kebodohan dan kebobrokan moral (calon) Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial (10) (1)
“pemimpin” masyarakat dalam (2018): 57—62.
perlambangan binatang asu atau anjing Wolff, Janet. (1981). The Social Production
sebagai jati diri individu dalam topeng of Art. United States of America: St.
manusia. Martin’s Press, Inc.

Daftar Pustaka
Berger, Peter. (1990). Tafsir Sosial atas
Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Danandjaya, James. (1991). Folklore
Indonesia. Ilmu Gossip, Dongeng, dan
Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.
Darmasoetjipta, F.S. (1985). Kamus
Peribahasa Jawa. Yogyakarta:
Kanisius.
Firza. (2016). Local Wisdom Sebagai Dasar
Dalam Pembentukan Karakter.
Prosiding Seminar Nasional
Reforming Pedagogi. Halaman 361—
365.
Iswari, Fitria, Dian Handayani, Widya
Nuriyanti. (2019). “Sosialisasi Budaya
Malu di Kalangan Pelajar melalui
Infografis sebagai Bentuk Pendidikan
Karakter”. Jurnal Desain, Volume 06
Issue, 02 Januari-April 2019. Halaman
77—88.
Koentjaraningrat. (1992). Budaya
Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. (1991). Etika Jawa.
Sebuah Analisa Filosofi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Miharja, Krishna. Pratisara. (2012).
Pratisara. Yogyakarta: Leutikaprio.
Mustika, Rieka. Arifianto. (2018).
“Komodifikasi “Popularitas
Selebritis” untuk Mendulang Suara
Pemilu Legislatif 2019”. Jurnal Studi
Komunikasi dan Media. Volume 22
No. 2 (Desember 2018). Hal. 139—
150.

Yohanes Adhi Satiyoko, “Aja Rumangsa Bisa Nanging Bisaa Rumangsa” Pesan Moral... 99

Anda mungkin juga menyukai