Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SOSIOLOGI SASTRA

TEORI STRUKTURALISME GENETIK DALAM CERPEN ULAT DAUN


EMAS KARYA MUNA MASYARI

Disusun oleh:
Nama : Rahayu
NIM : 19210141002
Prodi : Sastra Indonesia A 2019
Mata kuliah : Sosiologi Sastra UAS
Dosen Pengampu : Dr. Else Liliani S.S., M. Hum.

SASTRA INDONESIA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan hasil ide, gagasan dari sebuah peristiwa yang dituangkan
dalam bentuk tulisan oleh seorang pengarang. Hasil tulisan atau karya sastra dapat
berupa novel, cerpen, drama atau puisi. Hasil tulisan dapat memberikan dampak
tertentu bagi pembacanya. Hasil tulisan pengarang tidak selalu menimbulkan
keindahan, karena tidak jarang pula hasil tulisan pengarang akan menimbulkan
dampak lain yang tidak diinginkan; tidak sesuai dengan ekspektasi pembaca
(berdampak lain dari keinginan pembaca). Namun hal itu merupakan hasil kreativitas
pengarang yang mampu mempengaruhi pembaca setelah membaca hasil karyanya,
atau rekasi yang ditimbulkan pembaca setelah membaca hasil karya tersebut.
Dalam makalah ini, karya sastra yang saya bahasa adalah karya sastra fiksi cerpen.
Cerpen merupakan cerita fiksi, tetapi tidak semua hal yang dituliskan dalam cerpen
adalah cerita khayalan belaka, karena tidak sedikit pengarang yang menuliskan
permasalahan atau peristiwa yang terjadi pada lingkungan sekiatarnya atau bahkan
peristiwa yang dialaminya sendiri. Hal itu biasanya dilakukan untuk berbagi
pengalaman dalam kehidupan. Pengalaman maupun kisah tersebut dapat ditampilkan
lewat suatu tokoh atau bahkan menjadi keseluruhan peristiwa dalam cerita. Selain
untuk hiburan, cerita juga dapat memberikan nilai-nilai kehidupan, sejarah, atau
budaya.
Selain dari pengalaman pengarang, hasil karya sastra juga dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, faktor ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang ada. Hal itu karena
karya sastra merupakan cermin dari kehidupan seseorang dan suatu masyarakat di
wilayah tertentu. Lewat cerpennya yang berjudul Ulat Daun Emas ini, Muna Masyari
mengangkat masalah sosial yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Permasalahan
yang diangkat dalam cerpen ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang terjadi
dilingkungan pengarang, mengingat latar belakang dari cerpen ini adalah kehidupan
petani tembakau di Madura.
Saat ini perkembangan karya sastra sudah cukup pesat, termasuk cerpen. Hal itu
dapat terlihat ketika banyak cerpen atau karya sastra lain yang dimuat dalam berbagai
media. Cerpen Ulat Daun Emas ini dimuat dalam Kompas, edisi November 2020.
Cerpen ini akan saya analisis dengan pendekatan Strukturalisme Genetik.
Menggunakan pendekatan ini, saya mengajak pembaca untuk dapat melihat,
merasakan, dan menilai hal-hal yang terdapat dalam cerita, karena pendekatan
strukturalisme juga dibangun dari unsur lain selain unsur instriknya.
BAB II
KAJIAN TEORI
Pendekatan strukturalisme merupakan pendekatan objektif yang menilai karya
sastra berdasarkan unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Genetik
merupakan asal-usul karya sastra (ekstrinsik). Apabila karya sastra hanya dianalisis
unsur instriknya saja, maka unsur luar yang turut membangun karya sastra tidak
terlihat. Oleh sebab itu, teori strukturalisme genetik ini dapat memberikan perhatian
terhadap unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra.
Pendekatan strukturalisme genetik dicetuskan oleh Lucien Goldman, seorang
filsuf dan sosiolog dari Rumania-Perancis. Teori yang dikemukakan Goldman ini
muncul sebagai rekasi dari teori sebelumnya, yang menganggap bahwa karya sastra
hanya dikaji dari karya sastra itu sendiri tanpa melibatkan latar belakang sejarah
kemunculan karya sastra. Strukturalisme genetik menggunakan analisis struktural
dengan mencantumkan faktor genetik di dalam karya sastra, yang bertujuan agar
karya sastra dapat dipahami. Strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai
sebuah struktur, sistem relasi antar unsur-unsurnya (Faruk, 2010: 12). Pada dasarnya,
strukturalisme genetik Goldman merupakan penelitian yang berdasar pada penelitian
sosiologi sastra.
Selain unsur instrik (tema, tokoh dan penokohan, alur, latar dan amanat), terdapat
konsep yang membangun strukturalisme genetik Goldman, yaitu fakta kemanusiaan,
subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia pengarang, serta pemahaman dan
penjelasan. Fakta kemanusiaan merupakan segala aktivitas yang mencerminkan
perilaku tokoh dalam cerita baik perilaku verbal atau fisik. Fakta kemanusiaan dibagi
menjadi dua yakni fakta individual (hasil dari perilaku libidinal seperti mimpi, tingkah
laku orang gila), dan fakta sosial yang memiliki dampak pada hubungan sosial,
ekonomi, atau politik dalam masyarakat. Subjek kolektif merupakan kelas sosial yang
terdapat dalam karya sastra. Pandangan dunia pengarang merupakan hasil dari
pandangan pengarang setelah melihat permasalahan yang ada. Sedangkan menurut
Goldman, strukturasi merupakan struktur tematik dalam cerita, yaitu hubungan antara
tokoh dan relasi tokoh dengan objek yang berada di sekitarnya. Pemahaman sendiri
artinya usaha untuk mengerti identitas, sementara penjelasan (Goldman, dalam Faruk,
2010) merupakan usaha untuk mengerti makna bagian dengan menempatkannya
dalam keseluruhan yang lebih besar. Teori Strukturalisme Genetik inilah yang akan
saya gunakan untuk menganalisis cerpen Ulat Daun Emas karya Muna Masyari.
BAB III
ISI
Teori Strukturalisme Genetik yang dipakai dalam cerpen yaitu meliputi fakta
kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia pengarang, serta
penjelasan dan pemahaman.
Fakta kemanusiaan yang terjadi di dalam cerpen Ulat Daun Emas ini adalah
aktivitas sosial yang juga berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Fakta kemanusiaan di
sini digambarkan oleh tokoh aku, kau, dan H. Sappak. Tokoh aku di sini digambarkan
sebagai tokoh yang serba tahu dari aktivitas sosial atau interaksi yang terjadi antara
dirinya dengan tokoh kau, tokoh kau dengan H. Sappak, dan antara H. Sappak dengan
tokoh kau. Hal ini dapat terjadi, karena interaksi sosial yang ditampilkan dalam
cerpen membentuk segitiga atau dapat dikatakan bahwa masing-masing tokoh
memiliki atau sama-sama mengalami interaksi yang sama dengan tokoh terkait.
Berikut beberapa data kutipan yang dapat menguatkan pernyataan di atas:
Tokoh aku dan kau digambarkan sebagai orang yang hidup bertetangga, saling
membantu, dan saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
K I: Kuangkat kepala, menatapmu yang duduk di seberang hamparan kain dan
masih menggenggam segulung benang yang kau pinjam kemarin.
K II: Senja diam-diam mengintip ketika kau pamit dan benang putih kau
serahkan seraya berucap terima kasih.
Dari data di atas menunjukkan bahwa tokoh aku dan kau ini merupakan tetangga yang
saling berinterkasi dan tolong-menolong diantara keduanya. Aktivitas sosial yang
berupa interkasi sosial juga ditunjukkan oleh kutipan berikut:
Bukan sekali ini H. Sappak memesan jahitan gamis menjelang keberangkatannya
ke tanah suci. Tepatnya, sehabis panen tembakau dia pergi umrah, tiap itu pula
bikin gamis baru sebelum berangkat, persiapan untuk dipakai sepulang dari sana,
karena gamis-gamis produk Arab tak ada yang pas dengan ukuran badannya.
Kutipan di atas menunjukkan aktivitas sosial yaitu terjadinya interaksi antara tokoh
aku dan H. Sappak yang menunjukkan rasa saling membutuhkan, di mana tokoh aku
membutuhkan pelanggan jahitan agar memperoleh upah, dan H. Sappak juga
membutuhkan jasa penjahit agar dirinya memiliki baju gamis yang pas ukurannya.
Fakta kemanusiaan dalam cerpen juga dipenuhi persoalan sosial ekonomi,
digambarkan lewat interaksi tokoh kau dan H. Sappak mengenai urusan tembakau.
K I : “Kemarin itu aku ke rumahnya menagih sisa uang tembakau, tapi dia bilang
dari gudang pusat belum cair”.
K II:
“Berapa uangmu yang belum dibayar?”
“Yang kemarin saja sekitar tiga jutaan. Setelah dipotong utang modal, hanya
dikasih 500 ribu. Sisa yang tiga jutaan itu, ditagih beberapa kali tetap belum
dibayar”.
“Tahun-tahun sebelumnya?”
“Aku sendiri lupa sudah, anakku yang ingat. Dia selalu mendesakku agar ditagih,
ingin beli sepeda motor katanya”. Kau mendesah samar.
K III:
Sebagaimana petani kurang mampu di desa ini, modal tanam tembakau hingga
masa panen kau utang pada H. Sappak. Selain tanpa bunga, mau berutang
berapapun tak pernah pulang dengan tangan hampa. Entah siapa yang memulai,
sebagai balas jasa, begitu panen tiba, semua hasil rajangan tembakau dijual
padanya. Padahal, penjualan pada H. Sappak tidak pernah membuat dirimu dan
orang-orang itu puas. Tembakau-tembakau kalian hampir tidak pernah dibayar
lunas. Setelah dipotong utang modal, sisa pembayaran sulit diharapkan.
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa H. Sappak adalah orang yang rajin
umrah, tetapi ia juga merupakan orang yang menyebabkan perekonomian warga di
masyarakatnya susah. H. Sappak memang memberikan bantuan modal untuk tanam
tembakau, namun pada saat panen, tembakau para warga dijual kepada dirinya, oleh
H. Sappak tersebut hasil penjualan yang sudah dipotong dengan modal awal tidak
segera diberikan. Ia selalu beralasan jika tembakau yang digudangnya belum cair,
sementara tokoh aku sangat membutuhkan uang hasil penjualan tembakau tersebut
untuk membelikan motor anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Subjek kolektif, berkaitan dengan kelas sosial dalam karya sastra, dalam hal ini
kelas sosial saya kaitkan dengan golongan ekonomi dari masyarakat; golongan
ekonomi sosial kelas bawah, menengah dan atas.
Kelas sosial ekonomi bawah dalam cerpen ditunjukkan pada keadaan ekonomi
petani tembakau di desa tersebut, salah satunya tokoh kau yang juga menjadi petani
tembakau demi memenuhi kebutuhan hidup karena suaminya telah meninggal. Petani
tembakau sebenarnya memiliki penghasilan yang besar setelah panen, tetapi hal itu
tidak berlaku untuk petani tembakau di dalam cerpen ini karena disebabkan oleh
tengkulak yang tidak bertanggung jawab. Berikut bukti kutipannya:
K I: Sebagaimana petani kurang mampu di desa ini, modal tanam tembakau
hingga masa panen kau utang pada H. Sappak. ……tembakau-tembakau kalian
hampir tidak pernah dibayar lunas. Setelah dipotong uang modal, sisa pembayaran
sulit diharapkan.
K II: Suamimu meninggal hanya menitipkan yatim di pangkuan dan dua petak
tegal. Dengan dua petak itulah kau menyambung hidup sambil membesarkan
anakmu yang saat itu baru berusia tujuh tahun.
Kelas sosial menengah ditunjukkan pada tokoh aku yang berprofesi sebagai penjahit,
karena penghasilan dari profesi menjahit sudah dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari di lingkungan pedesaan, sehingga tergolong menengah.
Kuiyakan tanpa mengangkat wajah, tak ingin konsentrasi terpecah. Tatapan dan
pikiran kupusatkan pada permukaan kain yang terhampar. Kuluruskan pita
meteran, menandai kain di titik angka 32 sebagai batas seperempat lingkar dada,
lalu membuat lengkung dari ujung garis bahu hingga titik 32 tadi untuk kerung
lengan.
Kelas sosial ekonomi atas ditunjukka pada H. Sappak yang setiap tahunnya berangkat
umrah dan selalu meminjamkan modal tanam tembakau hingga panen bagi petani di
desanya.
K I: Bukan sekali ini H. Sappak memesan jahitan gamis menjelang
keberangkatannya ke tanah suci. Tepatnya sehabis panen tembakau dia pergi
umrah, tiap itu pula bikin gamis baru sebelum berangkat, …
K II: Sebagaimana petani kurang mampu di desa ini, modal tanam tembakau
hingga masa panen kau utang pada H. Sappak. Selain tanpa bunga, mau berutang
berapapun tak pernah pulang dengan tangan hampa.
Struktur karya sastra yang terdapat dalam cerpen yaitu tokoh dan objek lain di
sekitarnya. Tokoh yang terdapat dalam cerita yaitu tokoh Aku, Kau, H. Sappak, dan
anak dari tokoh Kau (tokoh bayangan). Objek lain yang berada di sekitar yaitu
lingkungan alam yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar yaitu berupa tegal.
Lingkungan kultural yang ditampilkan yaitu desa, gudang, rumah, tradisi, dan agama
islam. Lingkungan sosial yang ditampilkan yaitu adanya seorang petani desa miskin,
dan seorang tengkulak yang kaya dan egois. Relasi yang ditunjukkan secara alam
yaitu adanya tegal yang dapat digunakan sumber lahan pangan manusia, karena secara
tidak langsung alam ikut membantu dalam keberlangsungan hidup manusia. Relasi
antar tokoh juga ditunjukkan pada H. Sappak dan warga di desanya. Dalam relasi
yang terjalin, H. Sappak memiliki sifat yang kurang baik, pasalnya dia memiliki sifat
yang egois dan berlawanan dengan para petani tembakau yang idealis. Sifat egois ini
mampu memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri H. Sappak, karena ia dapat
hidup enak sesuai keinginanya dan petani hanya menerima nasib yang menimpa
mereka. Mereka hanya hidup dengan penghasilan yang cukup untuk makan. Dalam
oposisi sosial, H. Sappak dapat dikategorikan sebagai seorang tengkulak yang korupsi
karena memakan hak yang menjadi hak orang lain dan petani yang tidak profesional.
Selain persoalan sosial yang terjadi, terdapat juga budaya dan tradisi yang terjadi
di dalam cerpen. Dalam hal ini, pengarang menolak adanya budaya korupsi yang telah
marak di Indonesia. Penolakan pengarang terlihat dari cara pengarang menyajikan
ceritanya. Dalam cerpen, korupsi dilakukan oleh H. Sappak, dimana ia korupsi uang
hasil penjualan tembakau milik petani. Uang hasil penjualan tersebut tidak segera
diberikan kepada petani, tetapi ia malah pergi umrah setiap waktu panen tembakau.
Penolakan kebiasaan ini dapat terlihat dari percakapan yang terdapat dalam cerpen
antara tokoh Kau dan Aku. Pengarang juga menolak tradisi yang terjadi ketika
keberangkatan dan kepulangan haji atau umrah . Penolakan dapat terlihat dari narasi
yang disajikan dalam cerita. .
Cerpen Ulat Daun Emas ini memiliki latar belakang struktur sosial dan ekonomi
yang terjadi. Latar tempat dapat dilihat dari adannya penggunaan dialek Madura pada
kata taiya dalam percakapan, dan nama tokoh dalam cerita (Sappak). Cerpen ini
dipublikasikan di Kompas, November 2020. Madura dikenal dengan daerah penghasil
tembakau kualitas tinggi, maka tidak jarang jika penyebutan tembakau di sana
menjadi daun emas karena daun tersebut bagaikan emas yang dapat membantu dalam
perekonomian. “Memasuki musim tanam tembakau, kau dan anakmu seolah menabur
benih emas bersiram keringat. Harapan demi harapan muncul sepanjang tumbuhnya
helai-helai daun”. Namun, pada tahun 2020, petani tembakau mengalami kesulitan
karena musim kemarau yang terjadi membuat petani kesusahan dalam menyiram
tembakau. Dalam dunia industri, iklan rokok juga dibatasi sehingga pangsa pasar
rokok mengecil. Hal itu menjadi dampak negatif bagi petani karena permainan harga
tembakau mulai terjadi dan tembakau dibeli dengan harga rendah. Para petani hanya
bisa memperoleh uang yang tidak cukup untuk membayar utang sebagai modal dalam
menanam tembakau. Hal ini membuat kelicikan sulit dielakkan. Kejadian ini
merupakan kejadian persis yang menimpa tokoh Aku yang diuraikan dalam cerpen.
Faktor budaya dan tradisi yang terjadi di Madura juga turut membangun cerpen
ini. Tradisi keberangkatan dan kepulangan seseorang yang menunaikan ibadah haji
atau umrah. Tradisi tersebut dapat terlihat dari percakapan yang dilakukan antara
tokoh Aku dan Kau yang menyatakan bahwa apabila seseorang berangkat atau pulang
dari haji atau umrah, maka di rumahnya menggelar pesta meriah yang tentunya
mengeluarkan biaya banyak. Saat penjemputan dari keberangakatannya pun dilakukan
dengan diarak menggunakan motor dan mobil yang nantinya juga membutuhkan uang
pengganti bensin. Setelah sampai, seorang yang berangkat haji tadi membangikan
oleh-oleh kepada suara, rekan, maupun sesepuh yang datang ke rumahnya.
Pada tahun sekarang ini, banyak seseorang yang hanya menyandang Haji sebagai
status, tidak diterapkan dalam kehidupan masyarakat dengan baik. Hal itu dapat
terlihat dari perilaku H. Sappak kepada tokoh Kau, pada saat tokoh kau berada di
rumah H. Sappak untuk meminta uang hasil penjualan tembakau. “Justru aku malas
sering-sering ke sana. Setiap menagih, sudah tidak dibayar, kadang suka colak-colek
jika kebetulan istrinya tidak ada di rumah”. Dari pernyataan tokoh kau di sini juga
menunjukkan bahwa H. Sappak tidak memiliki moral atau etika yang baik. H. Sappak
juga melakukan sebuah korupsi uang hasil penjualan rajangan tembakau milik petani
tembakau. Dirinya tidak mencerminkan bahwa ia adalah seorang haji yang patut
disegani dan justru malah memperlihatkan budaya korupsi yang telah marak terjadi.
Perilaku H. Sappak yang melakukan korupsi ini juga didasari dengan adanya
faktor politik. Faktor politik yang berada di dalam cerita bukanlah politik partai atau
pemerintahan, tetapi politik perdagangan. Hal itu dapat terlihat dari perilaku H.
Sappak. H. Sappak memang memberikan bantuan modal tanam hingga panen
tembakau kepada petani, tetapi hasil rajangan tembakau tersebut juga dijual
kepadanya, dan uang hasil penjualan tersebut sulit diharapkan. Setiap kali ditagih, H.
Sappak selalu mengatakan bahwa tembakau di gudang pusat belum cair.
Beberapa persoalan tersebut terjadi di dalam cerpen Ulat Daun Emas karya Muna
Masyari ini. Pemahaman dan penjelasan, dapat digunakan untuk memahami dan
menjelaskan pesan tersirat dalam cerita. Cerita ini mengandung pesan bahwa
seseorang yang memiliki tingkat ekonomi sosial atas belum tentu memiliki perilaku
atau sikap yang baik, dan hal itu juga berlaku sebaliknya. Cerpen tersebut juga dapat
memberikan gambaran bahwa budaya dan tradisi yang sudah turun-temurun dalam
masyarakat tidak hanya memberikan dampak positif saja, tetapi terkadang juga dapat
berdampak negatif bagi masyarakat.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari analisis cerpen Ulat Daun Emas di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Pertama, fakta kemanusiaan yang terjadi di dalam cerpen yaitu aktivitas sosial
yang berbentuk interaksi sosial dan berhubungan dengan faktor ekonomi. Terjadi
pada semua tokoh yaitu tokoh Aku, Kau, dan H. Sappak. Mereka bertiga melakukan
interaksi sosial sebagai tetangga, dan interaksi sosial yang berhubungan dengan
ekonomi seperti pada urusan tembakau, dan jasa penjahit
Kedua, subjek kolektif yang dimunculkan dalam cerita, berkaitan dengan kelas
sosial ekonomi masyarakat yaitu kelas sosial ekonomi bawah digambarkan oleh tokoh
Kau, menengah digambarkan oleh tokoh Aku, dan kelas ekonomi atas digambarkan
oleh tokoh H. Sappak. Penggolongan kelas ekonomi yang terdapat dalam cerpen
berdasarkan harta atau kekayaan dan profesi yang dimiliki serta dijalankan oleh
masing-masing tokoh.
Ketiga yaitu strukturasi. Strukturasi yang terdapat dalam cerita yaitu tokoh dan
objek lain yang terdapat dalam lingkungan sekitar. Tokoh atau manusia yang berada
di dalam cerpen yaitu tokoh Aku, Kau, H. Sappak, dan anak dari tokoh Kau sebagai
tokoh bayangan. Lingkungan yang berada di sekitar yaitu lingkungan alam tegal,
lingkungan kultural; desa, gudang, rumah, tradisi, dan agama islam. Lingkungan
sosialnya yaitu seorang petani yang miskin dan tengkulak yang kaya serta egois.
Relasi yang terjalin antara manusia dan objek lain di sekitar (lingkungan) sudah
terjalin dengan baik.
Keempat yaitu pandangan dunia pengarang, atau pandangan pengarang terhadap
peristiwa yang terjadi. Pengarang menolak dengan budaya dan tradisi yang sudah
terjadi dalam masyarakat. Penolakan tersebut yaitu pada budaya korupsi dan
penolakan terhadap tradisi pada seseorang yang menunaikan ibadah umrah atau haji
(pada saat mengantar dan menjemput).
Kelima yaitu faktor lain yang turut membangun cerita, berupa latar belakang
penciptaan karya sastra yang berasal dari lingkungan asal pengarang yaitu Madura,
dan faktor lain yang terdiri dari faktor ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Keenam yaitu pemahaman dan penjelasan, digunakan untuk memahami dan
menjelaskan pesan tersirat karya tersebut, dan untuk memahami serta menjelaskan
latar belakang penulisan cerita tersebut. Oleh karena itu, cerpen Ulat Daun Emas ini
dapat dianalisis menggunakan teori Strukturalisme Genetik dengan menggabungkan
unsur instrinsik dan ekstrinsik yang membangun cerita.
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, Hazmi. 2020. Apa Kabar, Petani Tembakau. Diakses pada 11 Januari
2020, dari
https://radarmadura.jawapos.com/read/2020/06/20/200192/apa-kabar-petani-tembaka
u

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Masyari, Muna. 2020. Ulat Daun Emas. Diakses pada 23 Desember 2020 pada
https://lakonhidup.com

Pusat Bahasa Al Ahzar. Teori Strukturalisme Genetik. Diakses pada 9 Januari


2020 dari
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/teori-strukturalisme-genetik

Taufiqurrahman. 2013. Inilah Tradisi Warga Madura Sebelum dan Sesudah


Berhaji. Diakses pada 11 Januari 2020, dari https://amp-kompas-com.

Ukonpurkonudin. 2011. Teori Struktural Genetik dalam Penelitian Sastra.


Diakses pada 7 Januari 2020, dari
http://www-kompasiana-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.kompasiana.com/amp/uko
npurkonudin/teori-struktural-genetik-dalam-penelitian-sastra
LAMPIRAN CERPEN, KOMPAS, NOVEMBER, 2020

Ulat Daun Emas

Tidakkah kau perhatikan bagaimana sesungguhnya dia seperti ulat? Merayapi


dahan-dahan, untuk kemudian berpesta daun segar. Pakaian-pakaian bagus dan mahal
yang dikenakan bagai bulu-bulu halus yang menghiasi permukaan kulit ulat, tampak
indah namun bikin gatal. Setiap omongan besarnya tak lebih dari kotoran yang muncrat
ketika ulat kena injak, hijau-pekat dan menjijikkan!
Tidakkah kauperhatikan bagaimana sesungguhnya dia seperti ulat? Oh, tentu bukan
ulat tanduk hijau berhias garis putih-hitam yang menggemaskan dan sering kauakrabi
di tegal itu. Bukan! Dialah ulat yang merayapi dahan-dahan kecil sepertimu. Setiap
dahanmu menyembul tunas-tunas baru, dia datang memamahnya hingga lumat, dan
kau menjelma dahan gundul tak berdaya, diam kaku menunggu musim kembali tiba.

Sudah berapa banyak peluh kuning kau peras lalu dia sesap?

***

“Apakah H. Sappak akan pergi umrah lagi?” kau menyambung pertanyaan setelah
mendapat jawaban bahwa aku sedang menggambar pola untuk gamis H. Sappak.

Kuiyakan tanpa mengangkat wajah, tak ingin konsentrasi terpecah. Tatapan dan
pikiran kupusatkan pada permukaan kain yang terhampar. Kuluruskan pita meteran,
menandai kain di titik angka 32 sebagai batas seperempat lingkar dada, lalu membuat
lengkung dari ujung garis bahu hingga titik 32 tadi untuk kerung lengan….

Kurasakan tatapanmu mengikuti gerak tanganku.

Bukan sekali ini H. Sappak memesan jahitan gamis menjelang keberangkatannya ke


tanah suci. Tepatnya, sehabis panen tembakau dia pergi umrah, tiap itu pula bikin
gamis baru sebelum berangkat, persiapan untuk dipakai sepulang dari sana, karena
gamis-gamis produk Arab tak ada yang pas dengan ukuran badannya.

Ukuran badan H. Sappak sudah kuhapal. Mulai dari lingkar dada, lingkar panggul,
lebar bahu, panjang lengan, panjang gamis, angka-angka itu masih bersusun rapi
dalam ingatan. Sisanya, tinggal kutanyakan mau minta model kantong apa dan kerah
yang bagaimana. Walaupun kutunjukkan beberapa foto atau sketsa, dia masih
menambahinya dengan varian yang disukai. Tidak serta merta asal tunjuk.

Tahun kemarin minta kerah koko yang dihiasi bordiran benang perak campur emas,
dikasih kancing bulat emas, ujung lengan dan kantong dada juga dibordir dengan
warna senada. Tidak perlu dikasih kantong samping. Panjang gamis cukup separuh
betis de dengan tepi bawah dibentuk oval.

Kali ini minta model kerah the cuban collar, kancing jas besar dengan bukaan depan
penuh, panjang gamis semata kaki, ujung lengan dibelah belakang berhias dua
kancing.

“Kemarin itu aku ke rumahnya menagih sisa uang tambakau, tapi dia bilang dari
gudang pusat belum cair.” Suaramu seperti derak pohon tumbang, membuat
konsentrasiku terbang berhamburan laksana burung kaget.

Kuangkat kepala, menatapmu yang duduk di seberang hamparan kain dan masih
menggenggam segulung benang yang kaupinjam kemarin. Ada gugat berakar di
matamu. Kau menatap kain putih yang belum kupotong dengan wajah beku seperti
dahan gundul kehilangan daun.

“Berapa uangmu yang belum dibayar?”

“Yang kemarin saja sekitar tiga jutaan. Setelah dipotong utang modal, hanya dikasih
500 ribu. Sisa yang tiga jutaan itu, ditagih beberapa kali tetap belum dibayar.”

“Tahun-tahun sebelumnya?”

“Aku sendiri lupa sudah, anakku yang ingat. Dia selalu mendesakku agar ditagih,
ingin beli sepeda motor katanya.” Kau mendesah samar.

Terbayang di benakku sepasang mata anakmu yang begitu bernyala semangat,


membantumu selama menanam dan merawat pohon tembakau. Katamu, dia tak
pernah mengeluh meskipun harus bangun sebelum subuh, berangkat menyiram
melawan gigil yang meringkus badan mengilukan tulang. Tidak merasa malu apalagi
jijik menyunggi sakarung pupuk kandang. Tak peduli kulitnya kering menghitam
akibat matahari bengis memanggang.

Jika persediaan air mulai menipis, menyiram di pertengahan malam pun kalian
lakukan. Kau dan anakmu saling berganti posisi. Jika dia yang mengerek timba di
sumur, kau yang memikul dan menyiramkannya. Demikian juga sebaliknya. Kulit
tangannya lebih cepat memerah akibat mencengkram tambang jika dibandingkan
dengan tanganmu.

Kau hanya bisa mengusap dada ketika melihatnya meniup telapak tangan dengan
wajah setengah meringis. Tak perlu mendengarnya berkeluh, aku yakin kau ikut
merasakan panas dan perih yang dirasakannya. Andai suamimu masih ada, saat ini
tangan itu tentu masih terbiasa memegang pena memaknai kitab, bukan
mencengkeram gagang cangkul dan tambang timba sumur.

Di usia lima belas tahun seharusnya dia berada di pondok pesantren. Bukankah
demikian harapan suamimu dulu? Namun nasib bertutur lain. Suamimu meninggal
hanya menitipkan yatim di pangkuan dan dua petak tegal. Dengan dua petak itulah
kau menyambung hidup sambil membesarkan anakmu yang saat itu baru berusia tujuh
tahun.

Kini, anakmu sudah tumbuh menjadi pemuda tanggung dan mulai belajar jadi tulang
punggung. Memasuki musim tanam tembakau, kau dan anakmu seolah menabur benih
emas bersiram keringat. Harapan demi harapan muncul sepanjang tumbuhnya
helai-helai daun.

Selama ikut merawat, memupuki, menyirami, membuang ulatnya, anakmu kerap


berceloteh tentang teman-temannya yang sudah memiliki sepeda motor sendiri.
Tentang keinginan-keinginannya jika nanti memiliki sepeda motor juga seperti
mereka.

“Cobalah nanti kau jual ke gudang lain, daripada tidak dibayar begitu!” saranku.

“Mau dijual ke gudang mana kalau modal tetap berutang padanya?” kau menarik
napas.

“Cari utang modal pada orang lain saja.”


“Berutang pada orang lain kalau banyak malah dimintai bunga. Bertani dengan modal
uang riba sama saja menanam pohon api, kata orangtuaku dulu!”

Ketakberdayaan di wajahmu semakin lekat, sepasrah daun dimamah ulat.

Selain perawatan yang tak segampang tanaman pangan, tembakau juga butuh modal
besar. Sejak pembibitan, penanaman, pemupukan, perawatan, masih bisa dikerjakan
sendiri. Akan tetapi, begitu memasuki masa panen, mulai dari memetik, memeram,
menggulung, merajang, menjemur, hingga pengebalan, semua pengerjaannya
membutuhkan jasa tenaga kuli, dan hal itu menyedot dana yang jauh lebih besar dari
masa penanaman.

Sebagaimana petani kurang mampu di desa ini, modal tanam tembakau hingga masa
panen kau utang pada H. Sappak. Selain tanpa bunga, mau berutang berapapun tak
pernah pulang dengan tangan hampa.

Entah siapa yang memulai, sebagai balas jasa, begitu panen tiba, semua hasil rajangan
tembakau dijual padanya. Padahal, penjualan pada H. Sappak tidak pernah membuat
dirimu dan orang-orang itu puas. Tembakau-tembakau kalian hampir tidak pernah
dibayar lunas. Setelah dipotong utang modal, sisa pembayaran sulit diharapkan.

Kalaupun dibayar sebagian, dengan cara dicicil hingga tak berwujud sesuatu yang
berharga karena habis digunakan untuk belanja. Padahal, musim tembakau menjadi
musim impian, bagai menyembulnya tunas-tunas emas di musim hujan. Musim yang
dinanti-nanti dan hanya kembali setahun sekali. Musim di mana uang kecil seolah
bersembunyi.

Kuli, pedagang, petani, berlomba menjunjung mimpi bagai penjudi. Harapan-harapan


untuk membeli barang mahal berharap tunai di musim panen itu. Pun, impian anakmu
untuk membeli sepeda motor sudah digantung sejak tahun lalu.

“Kalau memang punya niat melunasi, daripada pergi umrah tiap tahun ‘kan lebih baik
dibuat bayar utang, taiya?” tambahmu.

“Benar kau itu! Ongkos umrah tidak sedikit, ditambah biaya pesta keberangkatan dan
kepulangan yang selalu menggelar pesta meriah.”
“Belum menghitung belanja dapur, untuk beli petasan dan uang pengganti bensin
untuk sepeda motornya saja tidak cukup tiga juta.”

“Ditambah oleh-oleh, taiya,” timpalku.

Sebagaimana tradisi pulang haji, setiap kali H. Sappak pulang umrah,


penjemputannya dipawai dengan ratusan kendaran roda dua dan puluhan roda empat.
Sebagian besar sepeda motor itu dicopot leher knalpotnya hingga menimbulkan bunyi
yang meraung-raung keras dan parau, beradu dengan bunyi petasan yang menyalak
susul-menyusul dan gaduhnya tabuhan rebana.

Selain suguhan-suguhan istimewa, suvenir yang hadiahkan kepada para tamu juga
beragam. Ada sajadah, serban, peci putih, gamis dan barang-barang produk Arab
lainnya. Khusus kerabat dekat dan kiai dihadiahi permadani.

Selama menemui tamu, dengan bangga H. Sappak tak henti bercerita tentang
perjalanannya, tempat-tempat bersejarah yang diziarahi, juga ibadah-ibadah yang
sudah ditunaikan selama berada di tanah suci.

Tak lupa dia membeberkan tentang jutaan rupiah yang dihabiskan dalam berbelanja
sebagai oleh-oleh. Pada saat itulah aku teringat cairan perut ulat yang muncrat ketika
diinjak. Sangat menjijikkan!

“Kalau begitu sering-sering saja kau tagih. Siapa tahu kalau sudah bosan ditagih
lama-lama dibayar juga!” usulku akhirnya.

“Justru aku malas sering-sering ke sana. Setiap menagih, sudah tidak dibayar, kadang
suka colak-colek jika kebetulan istrinya tidak ada di rumah.”

Tiba-tiba sekujur tubuhku merasa panas-gatal mendengar keluhanmu. Berkali-kali ke


tanah suci masih sekurang ajar itu? Dasar ulat beracun! Kutukku geram.

Senja diam-diam mengintip ketika kau pamit dan benang putih kau serahkan seraya
berucap terima kasih. Saat melangkah pulang, kulihat tumitmu yang hitam
pecah-pecah seperti parut karat.
Setelah punggungmu lenyap di balik pintu pagar, kuperhatikan lagi hamparan kain
yang sudah bergambar separuh pola dan bisa kusempurnakan untuk kemudian
dipotong. Akan tetapi….

***

Akhirnya dia datang juga untuk mengambil gamis pesanannya dengan pelipis berleleh
peluh seperti biasa. Cincin batu akik di jemarinya bagai manik-manik di punggung
ulat.

“Apa sudah selesai?”

“Kainnya kurang, Jhi!”

“Bagaimana bisa kurang? Bukankah 3 meter biasanya masih ada sisa? Lebarnya ‘kan
dobel.” dahinya mengernyit heran.

Kuperlihatkan selembar kain yang sudah dipotong dengan bentuk kain kafan lapis
pertama sambil membayangkan seekor ulat menggeliat kepanasan saat disundut bara
ujung rokok.

Anda mungkin juga menyukai