Anda di halaman 1dari 21

Fenomena Violence Dalam Cerpen “Amanat Bapak”

Karya Mugi Astuti

MAKALAH
Disusun sebagai Tugas

Pada Matakuliah Sosiologi Sastra

oleh

LIVIA ARYA KINANTI

1901040074

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Fenomena Violence dalam Cerpen
"Amanat Bapak" karya Mugi Astuti”. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafaatnya
kelak di hari akhir.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Sastra di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Selanjutnya penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Arif Hidayat, S.Pd. M.Hum. selaku
dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah membimbing dalam
penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan


makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Purbalingga, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1


B. Rumusan Masalah...................................................................................2

BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................3

A. Teori Struktural Genetik.........................................................................3


B. Teori Sosiologi Gender...........................................................................4

BAB III PEMBAHASAN.................................................................................6

A. Analisis Fenomena Violence dalam Cerpen...........................................6

BAB IV PENUTUP...........................................................................................11

A. Simpulan.................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................12

LAMPIRAN.......................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Damono (dalam Al-Ma'ruf dan Farida Nugrahani, 2019: 98)
menyatakan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan
itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian tersebut, kehidupan
mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang,
antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi
bahan sastra adalah cerminan hubungan seseorang dengan orang lain atau
dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan
mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Dengan melakukan kajian sosial pada
teks sastra, maka analisis berusaha untuk mengungkap potret kehidupan yang
tersirat dan tersurat di dalam teks (Faruk, 2016: 67). Dengan melakukan
analisis sosiologi sastra, maka akan mempunyai manfaat bagi kehidupan
dalam masyarakat.
Cerpen dengan judul “Amanat Bapak” karya Mugi Astuti ini memiliki
beberapa fakta sosial yang cukup menarik untuk dikaji. Cerpen tersebut
bercerita tentang kehidupan seorang wanita yang mempunyai anak semata
wayang bernama Adit. Wanita tersebut dijodohkan dengan seorang laki-laki,
anak dari pamannya yang telah berjasa membantu bapaknya sewaktu hidup.
Bapak dari wanita itu memberikan amanat untuk berkeluarga dengan keluarga
pamannya itu. Namun, kehidupan rumah tangga mereka tidak harmonis,
suaminya sering kali mabuk karena frustasi dan memukulinya hingga
berdarah. Perlakuan suaminya yang sering memukul itu, ditiru oleh Adit, anak
mereka di sekolahnya. Fakta sosial ini tidak jarang terjadi di masyarakat,
perilaku kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga menarik untuk dikaji
karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat umum.
Perilaku violence yang kerap terjadi di dalam rumah tangga sering
menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) merupakan hal yang sudah tidak asing lagi terdengar di

1
telinga. Kasus violence yang terjadi di dalam cerpen “Amanat Bapak” karya
Mugi Astuti dapat menjadi salah satu contoh mengenai kasus kekerasan dalam
rumah tangga yang banyak terjadi di Indonesia. Dengan demikian, di dalam
makalah ini menarik untuk dikaji tentang Fenomena Violence dalam Cerpen
“Amanat Bapak” karya Mugi Astuti.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Seperti apakah kasus violence yang terjadi di dalam cerpen “Amanat
Bapak” karya Mugi Astuti?
2. Bagaimanakah tindakan violence yang dilakukan tokoh di dalam cerpen
“Amanat Bapak” karya Mugi Astuti?
3. Apakah yang menyebabkan sang tokoh melakukan tindakan kekerasan
dalam cerpen tersebut?

2
BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam makalah ini akan digunakan beberapa teori untuk menganalisis cerpen
yang berjudul “Amanat Bapak” karya Mugi Astuti, yaitu teori struktural genetik
dan teori sosiologi gender.

A. Teori Struktural Genetik


Goldmann (dalam Wigati & Widowati, 2017: 133) mengatakan bahwa teori
strukturalisme genetik sebagai upaya penolakan terhadap pendekatan
strukturalis murni. Goldmaan berpendapat bahwa karya sastra bukanlah
struktur tanpa arti. Karya sastra lebih merupakan respons pengarang dalam
menghadapi perubahan realitas sosialnya dan merepresentasikan sekaligus
ideologi kelas sosialnya. Oleh karena itu, strukturalisme genetik bisa dianggap
sebagai gabungan pendekatan struktural dan marxis. Lucian Goldmann
merupakan tokoh yang mengembangkan pendekatan strukturalisme genetik
dalam kajian sastra.
Dengan pendekatan ini, Goldmann mengklasifikasikan karya sastra dalam dua
sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah pemosisian karya sastra
sebagai ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Sudut pandang kedua
memosisikan karya sastra sebagai artikulasi pandangan dunia pengarang
dengan penciptaan tokoh, objek, dan relasi-relasi imajiner (Faruk, 1999: 17).
Lucian Goldmann menawarkan kajian lebih mendalam sebagai respons terkait
pandangan yang menganggap karya sastra adalah karya murni seorang
pengarang tanpa terpengaruh oleh dunia yang dihadapi pengarang tersebut.
Goldmann percaya bahwa karya sastra didasarkan pada struktur mental
transindividual yang terjadi di dalam suatu kelompok sosial (Shelden & Peter
Widdowson, 1993: 86). Goldmann memberikan dasar pemikiran bahwa karya
sastra dan realitas sosial selalu memiliki ruang interaksi. Keduanya juga tentu
diinterpretasikan secara struktural.
Hubungan-hubungan yang terbangun dari realitas sosial inilah yang
memungkinkan pengarang memberikan penawaran pandangan dunianya.
Pandangan inilah yang akhirnya mendasari penciptaan narasi dalam karya

3
sastra. Dengan begitu secara eksplisit, Goldmann menawarkan aspek
sosiologis yang akhirnya terepresentasikan dalam struktur karya sastra. Untuk
itulah, disebut struktural genetik. Terkait strukturalisme genetik, Goldmann
menawarkan dua konsep, yaitu fakta kemanusiaan dan subjektif kolektif.
Fakta kemanusiaan adalah segala bentuk aktivitas verbal maupun fisik yang
berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Hal ini meliputi kegiatan sosial tertentu,
kegiatan politik, budaya, seni, dan lain-lainnya. Faruk (2012: 57) menjelaskan
bahwa fakta kemanusiaan ini terdiri dari dua bagian, yaitu fakta individual dan
fakta sosial. Analisis kali ini difokuskan pada fakta sosial. Selain fakta
kemanusiaan, Goldmann juga menjelaskan konsep subjek kolektif. Subjek
kolektif adalah konsep yang digunakan untuk melihat aspek historis yang
menjadi dasar penciptaan karya oleh pengarang. Pengarang sangat jelas
merupakan bagian dari masyarakat. Hal inilah yang membuat pengarang tidak
bisa bebas nilai. Imajinasi dan kreativitas maupun pendapat individu diikat
oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Dengan kata lain, kesadaran yang
terbangun dalam suatu karya sastra merupakan kesadaran sosial ataupun
kesadaran kelas (Pawling, 1984: 29).
B. Teori Sosiologi Gender
Dalam perspektif sosiologi, konsep gender dipahami sebagai sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya (Eisenstein, 1981). Sosiolog melihat gender sebagai perilaku yang
dipelajari dan diproduksi sebagai kategori sosial yang tidak bersifat alamiah,
tetapi merupakan produk sosiokultural dan kekuatan historis yang secara
potensial dapat diubah. Berdasar pemikiran itu, mempelajari kehidupan
perempuan tidak dilakukan dalam posisi perempuan terisolasi dari kehidupan
laki-laki karena dalam konteks budaya keduanya berfungsi sebagai pasangan.
Dalam analisis sosiologi gender, dimensi gender menjadi arus utama
pembahasan dengan asumsi bahwa dimensi gender adalah dimensi dominan
yang mengalahkan semua dimensi lain dalam kehidupan sosial. Lebih dari
sekadar menganalisis dan melakukan berbagai kajian, perspektif sosiologi
gender sesungguhnya juga berupaya mencari bukti empiris, memahami dan
mengupayakan perubahan realitas ketidakadilan gender dalam kehidupan

4
sosial. Dengan kata lain, dalam kajian sosiologi gender ada aspek praksis yang
kental untuk melakukan perubahan dan perbaikan posisi tawar perempuan
(Alcoff, 1988).
Dalam studi sosiologi gender, relasi gender tidak hanya dilihat sebagai relasi
sosial antara perempuan dan laki-laki. Relasi gender dilihat sebagai ’’suatu
kesatuan pemahaman dan pemikiran tentang subordinasi perempuan dan
praktik-praktik budaya yang mempertahankannya, cara-cara yang menentukan
pilihan objek seksual, pembagian kerja secara seksual, pembentukan karakter
dan motif –sejauh hal tersebut diorganisasi dalam kategori feminitas dan
maskulinitas’’ (Barrett, 1988: 15).
Sosiologi gender mendasarkan akar analisisnya pada paradigma kritis
sehingga realitas sosial dilihat sebagai realitas yang ada di luar maupun di
dalam pikiran manusia, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Realitas
sosial diciptakan manusia dan realitas itu sering penuh dengan kontradiksi.
Paradigma kritis juga melihat sifat manusia dicirikan oleh sifat dialienasi,
dieksploitasi, dibatasi, dikondisikan, dan dijauhkan dari penyadaran akan
potensinya.

5
BAB III

PEMBAHASAN

Cerpen “Amanat Bapak” karya Mugi Astuti merupakan cerpen yang


menggunakan latar sosial berupa konteks kehidupan masyarakat dalam lingkup
keluarga. Dalam cerita pendek ini, pengarang menjelaskan tentang keadaan wanita
yang menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Wanita yang memiliki
suami berwatak keras sering kali mengalami tindakan yang tidak wajar terhadap
dirinya. Peristiwa ini dapat tergambar dalam kutipan berikut.

“Ibu, sakit ya, Bu?” Tiba-tiba saja ia sudah berada di depanku, mengelus
pipiku yang merah bekas tamparan sang bapak barusan.

Ia mungkin terbangun gara-gara dentam daun pintu yang dibanting


bapaknya. Malam ini pastilah bapaknya tak pulang lagi. Ia mengambil
tisu dari kotak di meja makan. ”Bibir Ibu berdarah…,” katanya pelan
sambil mengelap sudut bibirku.

Keadaan yang tergambar dalam kutipan tersebut sangatlah jelas bahwa wanita itu
mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri, berupa
tamparan di pipi. Hal ini merupakan salah satu dari sekian banyak kasus
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dalam keluarga yang harmonis pun,
kekerasan dalam rumah tangga seperti dalam kutipan tersebut adalah hal yang bisa
dipungkiri dapat terjadi.

“Bukankah memukul tidak baik, Bu? Tapi kenapa Bapak sering memukul
Ibu?”

“Jika kaurasa itu tak baik, jangan lakukan, Nak. Apalagi kepada
perempuan. Kamu laki-laki, sudah seharusnya melindungi” Kubetulkan
selimutnya.

Kutipan di atas menggambarkan bahwa sang suami melakukan tindakan


kekerasan secara berkala, tidak hanya satu atau dua kali. Dikatakan oleh sang
anak, bahwa bapaknya sering memukuli ibunya. Hal semacam inilah yang

6
menjadi tonggak munculnya perceraian yang marak terjadi di kehidupan rumah
tangga dalam masyarakat.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga tentulah memiliki akar permasalahan atau
sebab yang menjadi awal mula dilakukannya tindak kekerasan tersebut. Dalam
cerpen ini, penyebab adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tokoh suami
tergambar dalam kutipan berikut.

Bayangan peristiwa itu selalu berkelebat setiap kali aku mengunjungi


makam Bapak. Terbayang tangan Bapak yang lemah meletakkan telapak
tangan mungilku dalam genggaman tangan Pakde Yo. Terbayang Ibu
yang terisak pelan di samping tempat tidur berseprai putih dalam
ruangan berbau obat. Terbayang pula Pakde Yo yang setiap Minggu
mampir ke rumah untuk memberi uang kepada Ibu setelah tubuh Bapak
dimasukkan ke dalam liang lahat. Baru setelah lulus SMA, semua hal
menjadi jelas bagiku. Bapak sebatangkara memulai usaha bersama Pakde
Yo. Dan ketika sakit, ia menitipkan Ibu, aku, dan kedua abangku kepada
Pakde Yo dan istrinya. Untuk mengikat persaudaraan, akhirnya mereka
menikahkan aku dengan Aswin, anak satu-satunya Pakde Yo.

Aku tahu Aswin frustrasi. Untuk menikah denganku, ia harus


meninggalkan kekasih yang sangat dia cintai. Namun aku juga tak bisa
memaksa diri berbagi tempat tidur dengan seseorang yang sudah
kuanggap saudara kandung.

Di dalam kutipan cerpen tersebut, penyebab awal terjadinya kekerasan dalam


rumah tangga antara Aswin, sang suami kepada si wanita adalah karena sebuah
perjodohan yang tidak diinginkan oleh tokoh sang suami.

Perjodohan sering kali menjadi salah satu sebab awal maraknya kekerasan dalam
rumah tangga yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia, perjodohan masih terjadi di
era zaman yang semakin modern, seperti halnya pada budaya perjodohan yang
terjadi pada masyarakat suku Bugis di Kelurahan Mendahara Ilir, Kecamatan
Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dimana para orang tua suku Bugis
masih mempertahankan budaya perjodohan terhadap anak-anaknya dalam rangka

7
melangsungkan pernikahan, namun tidak sedikit yang berujung pada kekerasan
dalam rumah tangga yang mengakibatkan perceraian.

Dalam kehidupan rumah tangga, kekerasan yang dilakukan tokoh suami tidak
hanya berdampak pada istri atau si wanita, melainkan juga berdampak pada
perilaku anak. Hal ini dapat tergambar dalam kutipan berikut.

“Mita sangat suka kelinci. Jadi aku berikan buku itu padanya. Tapi Danu
juga mau. Danu rebut itu dari Mita. Bukunya sobek. Jadi Adit pukul Danu
sampai jatuh.”

Kuelus tangannya. “Besok Ibu belikan lagi yang sama persis. Buat Danu
juga. Nanti Adit kasih ke Danu dan bilang maaf ya?”

Ia mengangguk pelan.

Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Aswin, berdampak pada perilaku sang
anak. Hal tersebut muncul dalam kutipan cerpen di atas. Di sekolah, sang anak tak
segan memukul temannya hingga terjatuh.

Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau


sejumlah orang kepada seseorang atau sejumlah orang, yang dengan sarana
kekuatannya, baik secara fisik maupun non-fisik, dengan sengaja dilakukan untuk
menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan (Mufidah, 2008: 267). Bentuk
kekerasan yang dilakukan oleh Aswin, sang tokoh suami selain kekerasan fisik,
juga terdapat kekerasan non-fisik, seperti dalam kutipan berikut ini.

Kudengar pintu depan dibuka dengan kasar saat aku memindahkan


singkong yang telah matang ke ember plastik untuk kutumbuk. Adit yang
sedang membantuku mengelap daun pisang terkejut. Wajahnya
menampakkan ketakutan. Belum sempat aku berkata apa pun, Aswin
sudah ada di depanku. Matanya merah. Bau alkohol tercium dari
mulutnya. Kurasakan rambutku perih karena dia jambak. Selanjutnya
yang kudengar adalah sumpah-serapah Aswin serta tangisan dan teriakan
Adit seperti biasa jika melihat sang bapak memukuliku. Adit menangis
meraung-raung dan berlari. Bedanya, kali ini ia tidak bersembunyi. Dia

8
justru berlari, lalu memelukku, sebelum memukuli badan sang bapak.
Namun apalah arti kepalan tangan Adit, selain menambah kemarahan
Aswin?

Dengan marah Aswin mendorong tubuh kecil Adit. Mulutnya


menceracaukan makian yang tak jelas. Refleks tanganku menyambar alu
untuk menumbuk dan menghaluskan getuk. Kupukul kepala Aswin berkali-
ulang saat kulihat gerakan tangannya mengayun ke arah Adit. Aswin
tumbang dengan kepala berlumuran darah.

Kutipan di atas, menggambarkan bahwa sang tokoh Aswin, melakukan tindak


kekerasan baik fisik maupun non-fisik. Kekerasan yang dilakukan secara fisik
yaitu penjambakan dan pukulan. Sedangkan kekerasan yang dilakukan secara
non-fisik adalah berupa sumpah serapah dan makian. Adanya perlawan dari pihak
wanita muncul dalam kutipan di atas, wanita yang merupakan sosok penyabar
dan lemah lembut tersebut dapat melakukan hal yang serupa akibat dari tindakan
sang suami.

Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam cerpen ini, merupakan
representasi dari berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat di lingkup keluarga yang disebabkan oleh
suami yang berwatak keras dan perjodohan. Representasi merupakan karakter dari
gambaran bahasa yang dibuat oleh pengarang di dalam karya sastranya. Sudut
pandang yang digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan kasus kekerasan
dalam rumah tangga ini adalah sudut pandang dari wanita yang menjadi korban
kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.

9
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan mengenai cerpen
“Amanat Bapak” karya Mugi Astuti maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kasus violence yang terdapat dalam cerpen “Amanat Bapak” karya
Mugi Astuti ini merupakan representasi dari kasus kekerasan rumah
tangga yang terjadi di dalam masyarakat di lingkup keluarga yang
tidak harmonis yang disebabkan oleh watak keras dari suami dan
perjodohan.
2. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tokoh suami dalam cerpen
“Amanat Bapak” karya Mugi Astuti merupakan tindakan berkala.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Aswin, tokoh suami dalam
cerpen ini berupa tindakan kekerasan baik secara fisik maupun non-
fisik. Kekerasan yang dilakukan secara fisik yaitu pukulan, tamparan
hingga berdarah, dan penjambakan. Kekerasan yang dilakukan secara
non-fisik adalah berupa sumpah serapah dan makian.
3. Peristiwa yang menjadi penyebab sang tokoh suami melakukan tindak
kekerasan kepada wanita dalam cerpen ini adalah karena perjodohan
yang tidak diinginkan oleh tokoh.

B. Saran
Berdasarkan makalah ini, penulis menyarankan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Bagi yang akan melakukan penelitian mengenai fenomena violence
dalam karya sastra, disarankan dapat menjadikan makalah ini sebagai
acuan guna penelitiannya.

10
2. Bagi guru ataupun dosen sastra dapat menggunakan makalah ini
sebagai bahan untuk memahami mengenai fenomena violence yang
terjadi di dalam karya sastra.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’ruf, Ali Imron dan Farida Nugrahani. 2019. Pengkajian Sastra: Teori dan
Aplikasi. Surakarta: CV. Djiwa Amarta Press.
Astuti, Mugi. 2020. Amanat Bapak. Dikutip dari
https://lakonhidup.com/2020/07/05/amanat-bapak/. Diakses pada 20
Oktober 2020.
Kalsum, Umi. 2019. Dampak Perjodohan Terhadap Pasangan Suami Istri di
Kelurahan Mendahara Ilir, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Provinsi Jambi. Dikutip dari
http://repository.uinjambi.ac.id/1554/. Diakses pada 31 Desember 2020.
Sigalingging, Hendra. 2020. Analisis Strukturalisme Genetik Novel Bulan Lebam
di Tepian Toba Karya Sihar Ramses Simatupang. Dikutip dari https://e-
journal.usd.ac.id/index.php/sintesis/article/view/2372. Diakses pada 24
Desember 2020.
Susanti, Emi. 2017. Perempuan, Relasi Kuasa, dan Sosiologi Gender. Dikutip
dari https://www.jawapos.com/opini/01/07/2017/perempuan-relasi-kuasa-
dan-sosiologi-gender/. Diakses pada 24 Desember 2020.

12
LAMPIRAN

“Amanat Bapak”
Karya Mugi Astuti

“Ibu, sakit ya, Bu?” Tiba-tiba saja ia sudah berada di depanku, mengelus pipiku
yang merah bekas tamparan sang bapak barusan.

Ia mungkin terbangun gara-gara dentam daun pintu yang dibanting bapaknya.


Malam ini pastilah bapaknya tak pulang lagi. Ia mengambil tisu dari kotak di meja
makan. ”Bibir Ibu berdarah…,” katanya pelan sambil mengelap sudut bibirku.

“Adit…, Adit tidur lagi ya, Nak. Besok kan Adit harus sekolah. Jangan sampai
terlambat,” kataku. Kuusap kepalanya.

“Ibu tidak tidur?”

Alih-alih kembali ke kamar, ia malah duduk di sampingku, menyenderkan kepala


ke pundakku. Kukecup rambutnya. Bau samar stroberi dari sampo anak-anak
masih terasa. “Ibu masih harus mengerjakan pesanan getuk sebentar lagi. Kau
tidurlah. Ya, Nak?” Kupeluk dan kuusap pundaknya.

“Kenapa Bapak sering memukul Ibu?” tanyanya sembari menatapku. Demi


melihat matanya, air mataku urung jatuh. Aku tak ingin menambah luka hatinya
lagi. Aku yakin hatinya terluka setiap kali melihat perlakuan sang bapak
kepadaku. Dan, aku tak ingin ia melihat air mataku. Aku berdiri, kutuntun ia
menuju ke kamarnya.

“Ibu….”

“Ya, Nak?”

13
“Bukankah memukul tidak baik, Bu? Tapi kenapa Bapak sering memukul Ibu?”

“Jika kaurasa itu tak baik, jangan lakukan, Nak. Apalagi kepada perempuan.
Kamu laki-laki, sudah seharusnya melindungi” Kubetulkan selimutnya.

“Tapi Bapak tidak melindungi Ibu.”

“Kau tidurlah, besok kita bicara lagi. Kau sudah besar, sebentar lagi SMP, tahu
mana yang boleh kaucontoh atau tidak kan?”

Ia mengangguk. Kumatikan lampu sebelum meninggalkan kamarnya.

Hiruk-pikuk pasar sudah terasa, meski masih dini hari. Aku bergegas melangkah
menuju ke tempat biasa menyetorkan jajanan.

“Mbak, yang kemarin masih sisa lima biji,” kata penjual makanan itu sambil
mengangsurkan plastik berisi returan getuk dan uang 190.000.

“La mbok dibuang aja kalau masih sisa, Mbah, atau berikan ke orang sekiranya
masih bagus,” kataku sambil menata getuk di wadah yang sudah dia sediakan.

“Ya gak penak ta, mosok aku bilang sisa tapi gakada barangnya. Eh, Mbak, bisa
bikin getuk tampahan gak? Ada yang pesan pakai tampah, mau buat prasmanan
sunatan,” sambungnya.

Aku menghitung ulang getuk-getuk dalam kemasan mika kecil itu sebelum
menjawab. “Bisa, Mbah. Mau yang harga 250.000 atau 300.000?” jawabku.

“Tampah cilik wae. Nanti kalau jadi pesen aku SMS kamu ya?”

“Nggih, Mbah. Pareng riyin. Matur nuwun,” jawabku.

14
Kustater motor matikku, menekan tuas gas menuju ke penjual singkong
langganan. Kuharap ia masih punya singkong jinten. Jenis singkong ini sangat
bagus untuk bahan baku bikin getuk. Hasilnya lebih cantik daripada jenis
singkong lain dan tentu saja getuknya lebih enak dan pulen.

Sesampai di rumah, kulihat Adit sudah rapi. Ia memang mandiri, meski anak
semata wayang. Aku juga tak pernah terpikir untuk memberikan adik supaya ia
tidak kesepian. Keadaan ekonomi keluarga belum stabil. Lagipula aku tak mau
ada bayi lagi di rahimku.

“Adit sarapan dulu ya, Nak. Ibu sudah beli bubur ayam kesukaanmu.” Kubuka
plastik kresek dan mengeluarkan bubur dalam kemasan sterofoam. Seperti biasa
kuambil dulu sendok plastiknya untuk kusimpan bersama sendok plastik bubur
ayam hari-hari sebelumnya. Siapa tahu suatu saat nanti aku membutuhkan banyak
sendok plastik. Lagipula aku tak ingin memakai terlalu banyak barang sekali
pakai. Kemajuan zaman dan teknologi tidak diimbangi dengan kebijaksanaan
pelaku. Budaya buru-buru menuntut semua hal harus instan. Lalu segala sesuatu
yang sekali pakai menjadi solusi. Akibatnya, sampah yang tidak bisa terurai
membebani bumi. Aku tersenyum malu; aku juga salah seorang penyumbang
sampah tak terurai di bumi.

Alih-alih membawa kotak makan atau termos untuk membeli bubur ayam sarapan
Adit, aku enteng saja memakai kemasan sterofoam dan membuangnya bersama
sampah sisa dapur. Mungkin sore ini aku harus membeli kotak makan sebelum
menjemput Adit pulang sekolah.

Sore ini, area makam seperti biasa. Hanya beberapa warga permukiman sekitar
makam sesekali melintas. Sinar matahari sudah tak begitu terik. Semilir angin
membelai kamboja, merontokkan beberapa daun dan bunga.

15
Aku bersimpuh di salah satu kijing makam keramik berwarna hijau tua dengan
tulisan nama bapakku di nisan. Kuelus tulisan nama yang tertulis di nisan itu,
sebelum kuletakkan beberapa tangkai bunga di bawahnya.

“Bapak, apa kau tahu amanat yang kauberikan padaku ini terlalu berat?”
gumamku.

Bayangan peristiwa itu selalu berkelebat setiap kali aku mengunjungi makam
Bapak. Terbayang tangan Bapak yang lemah meletakkan telapak tangan mungilku
dalam genggaman tangan Pakde Yo. Terbayang Ibu yang terisak pelan di samping
tempat tidur berseprai putih dalam ruangan berbau obat. Terbayang pula Pakde
Yo yang setiap Minggu mampir ke rumah untuk memberi uang kepada Ibu setelah
tubuh Bapak dimasukkan ke dalam liang lahat. Baru setelah lulus SMA, semua
hal menjadi jelas bagiku. Bapak sebatangkara memulai usaha bersama Pakde Yo.
Dan ketika sakit, ia menitipkan Ibu, aku, dan kedua abangku kepada Pakde Yo
dan istrinya. Untuk mengikat persaudaraan, akhirnya mereka menikahkan aku
dengan Aswin, anak satu-satunya Pakde Yo.

Aku menghela napas. Kuelus nisan hijau tua itu sekali lagi.

Aswin tak sepenuhnya salah. Kesalahanku juga yang membuat Aswin akhirnya
berubah perangai. Beberapa bulan setelah perkawinan kami, aku tak juga mau
Aswin dekati. Sementara itu setiap kali pertemuan keluarga, ada saja seseorang
yang bertanya kenapa aku tak kunjung hamil. Mungkin Aswin kalut hingga pada
suatu malam ia pulang dalam keadaan mabuk dan memaksaku untuk melayani di
ranjang. Dan, malam-malam neraka itu terus berlangsung hingga Adit lahir.

Aku tahu Aswin frustrasi. Untuk menikah denganku, ia harus meninggalkan


kekasih yang sangat dia cintai. Namun aku juga tak bisa memaksa diri berbagi
tempat tidur dengan seseorang yang sudah kuanggap saudara kandung.

16
“Bapak, aku pulang dulu.” Kukibaskan rokku dari debu. Kuelus sekali lagi nisan
hijau tua itu sebelum aku melangkah pergi. Setiap Sabtu, Adit menginap di rumah
Pakde Yo. Jadi aku bisa leluasa mengunjungi makam Bapak.

Kuketuk pintu bertuliskan “Ruang Kepala Sekolah” sebelum menekan handel


pintu. Di dalam, di ruangan ini, Adit berdiri dengan kepala tertunduk. Seorang ibu
dan anak perempuan duduk berhadapan dengan Ibu Kepala Sekolah.

Sejak pesuruh sekolah mengantar surat itu tadi pagi, aku sudah tahu Adit
membuat masalah lagi. Dan benar saja, Ibu Kepala Sekolah mengatakan Adit
memukul kepala temannya hingga berdarah garagara anak itu menyobek buku
anak perempuan yang sekarang ada di ruangan ini. Sekolah akan bertindak tegas
jika sekali lagi ada laporan Adit berkelahi dengan temannya.

Kuparkir motor matikku di depan tukang siomai favorit Adit, memesan dua porsi
siomai goreng dan mengajak dia duduk di bangku. Ia hanya diam sejak tadi.
Mukanya menunduk.

“Adit, kenapa lagi, Nak?”

Kulihat seragam putihnya kotor. Satu kancing baju bagian atas hilang dan sakunya
robek.

“Ibu marah?” katanya pelan.

Aku tersenyum dan menggeleng.

“Ibu ingat buku gambar yang bersampul gambar kelinci?”

Aku mengangguk.

17
“Mita sangat suka kelinci. Jadi aku berikan buku itu padanya. Tapi Danu juga
mau. Danu rebut itu dari Mita. Bukunya sobek. Jadi Adit pukul Danu sampai
jatuh.”

Kuelus tangannya. “Besok Ibu belikan lagi yang sama persis. Buat Danu juga.
Nanti Adit kasih ke Danu dan bilang maaf ya?”

Ia mengangguk pelan.

Kudengar pintu depan dibuka dengan kasar saat aku memindahkan singkong yang
telah matang ke ember plastik untuk kutumbuk. Adit yang sedang membantuku
mengelap daun pisang terkejut. Wajahnya menampakkan ketakutan. Belum
sempat aku berkata apa pun, Aswin sudah ada di depanku. Matanya merah. Bau
alkohol tercium dari mulutnya. Kurasakan rambutku perih karena dia jambak.
Selanjutnya yang kudengar adalah sumpah-serapah Aswin serta tangisan dan
teriakan Adit seperti biasa jika melihat sang bapak memukuliku. Adit menangis
meraung-raung dan berlari. Bedanya, kali ini ia tidak bersembunyi. Dia justru
berlari, lalu memelukku, sebelum memukuli badan sang bapak. Namun apalah arti
kepalan tangan Adit, selain menambah kemarahan Aswin?

Dengan marah Aswin mendorong tubuh kecil Adit. Mulutnya menceracaukan


makian yang tak jelas. Refleks tanganku menyambar alu untuk menumbuk dan
menghaluskan getuk. Kupukul kepala Aswin berkali-ulang saat kulihat gerakan
tangannya mengayun ke arah Adit. Aswin tumbang dengan kepala berlumuran
darah.

Jerit tangis Adit berhenti, matanya membelalak, mulutnya ternganga.

18

Anda mungkin juga menyukai