Anda di halaman 1dari 9

NILAI-NILAI PENDIDIKAN PADA CERPEN “GENERASI BEDEBAH”

KARYA ISNAR R

Khoiril Ilmiah, kelas 3B, 170621100057

Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

(khoirilalmusawwa@gmail.com)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ravina Isnar adalah seorang penulis muda yang berasal dari Blitar. Ia adalah
penulis yang cukup berbakat meskipun Ia belum se terkenal penulis-penulis lainnya.
Salah satu karyanya yang baru-baru ini lolos moderasi dalam Komunitas Penulis
Cerpen Indonesia pada 28 Maret 2018 adalah cerpen yang berjudul “Generasi
Bedebah”. Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang bergenre pendidikan.
Cerpen ini cukup menarik untuk di kaji karena dalam cerpen ini menceritakan
konflik sosial pendidikan yang cukup relevan saat ini. Selain itu, cerpen ini juga
memiliki nilai-nilai pendidikan tersendiri . Pemilihan cerpen tersebut didasarkan pada
beberapa pertimbangan. Pertama, dari segi penggunaan bahasa, cerpen tersebut
memiliki konteks atau tema yang cukup bagus. Selain itu, gaya bertutur pengarang
yang sederhana dan mengalir membuat pembaca mudah memahami permasalahan
dalam cerpen tersebut. Kedua, cerpen tersebut sangat memungkinkan untuk dikaji
secara sosiologis karena temanya berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga,
Membuktikan bahwa karya penulis muda berbakat juga berhak diapresiasi atas
karyanya yang pantas untuk dikaji.

1.2 Teori yang Digunakan


Dalam Cerpen “Generasi Bedebah” meungkinkan untuk dikaji menggunakan teori
sosiologi sastra. Kajian sosiologis sastra diawali oleh pendapat bahwa sastra memang
mencerminkan kenyataan sekaligus adanya tuntutan bahwa sastra harus
mencerminkan kenyataan. Kedua penafsiran ini disebut penafsiran mimetik mengenai
sastra (Luxemburg, 1984: 15). Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau
jiplakan) pertama-tama dipergunakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322)
dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di
Eropa.
Rahmad Djoko Pradopo (2010: 94) menjelaskan orientasi mimetik memandang
karya sastra sebagai tiruan, cerminan, ataupun representasi alam maupun kehidupan.
Kriteria yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” representasi objek-
objek yang digambarkan ataupun yang hendak digambarkan. Apa yang dikemukakan
Pradopo kiranya mengacu pada pendapat awal bahwa karya sastra merupakan
cerminan kenyataan, baik alam maupun kehidupan.
Bakdi Soemanto dan Levin (dalam Taum 1995: 47), mengatakan bahwa sosiologi
sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan
asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh
teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosilogi sastra
menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari
masyarakat, dan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan
sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut.
Sapardi Djoko Damono (1979: 8-10) mengemukakan, seperti halnya sosiologi,
sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal ini
sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Sastra dapat dianggap
sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial: hubungan manusia dengan
keluarganya, lingkungannya, politik, negara, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan
bahwa pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini
berlandaskan gagasan bahwa sastra merupakan cerminan zamannya. Pandangan ini
beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur
sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Kondisi sosial
memang mempengaruhi corak sastra pada zamannya. Hal ini dikemukakan oleh
Jakob Sumarjo (1979: 1618). Namun persoalannya, ada sastrawan yang
mengungkapkan kondisi sosial masyarakat tadi secara impresionis, diformulasikan
dalam pandangan tertentu, ada pula sastrawan yang memberikan reaksi sebaliknya.
Sastrawan memang mengambil bahan dari masyarakat, namun kondisi atau kultur
masyarakatnya tadi tidak selalu digambarkan seperti adanya. Memang benar ada
pengarang yang hanya melukiskan apa yang dilihatnya. Ia menyodorkan kenyataan
dalam masyarakatnya saja. Ia tidak punya komentar atau sikap. Namun sebaliknya,
ada pengarang yang mengadakan reaksi keras terhadap kondisi sosial masyarakatnya.
Ini lalu menghasilkan sastra protes terhadap situasi moral maupun kepercayaan
masyarakat pada zamannya (Sumarjo, 1979: 18). Pendapat senada dikemukakan oleh
Sapardi Djoko Damono (1983: 22), sastra bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia
merupakan produk masyarakat; ia sendiri bahkan merupakan persoalan masyarakat.
Hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakatnya bukanlah hal
yang dicari-cari. Adalah sah apabila kita memasalahkan hubungan timbal balik antara
ketiga unsur tersebut. Sapardi juga menambahkan bahwa slogan “seni adalah cermin
masyarakatnya” mencakup pengertian bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial
yang ada dalam masyarakatnya; dan kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang
tinggi, karya sastranya pasti juga mencerminkan kritik sosial yang (barangkali
tersembunyi) ada dalam masyarakatnya itu.
Pendapat-pendapat di atas terhubung dalam jalinan benang merah bahwa sastra
tidak dapat dilepaskan dari sastrawan dan kehidupan masyarakat. Karya sastra yang
dibuat oleh sastrawan hampir selalu dipengaruhi oleh keadaan dalam masyarakat.
Dengan kata lain, sastra merupakan cermin dari masyarakat. Dengan demikian, kajian
sosiologi sastra untuk membedah karya sastra selalu dimungkinkan. Ada dua teknik
analisis yang dapat digunakan dalam menganalisis karya sastra sebagai pencerminan
realitas sosial. Sapardi Djoko Damono dan Umar Junus (dalam Yasnur Asri, 2011:
247) menyatakan, pertama, analisis dimulai dengan teknik pemahaman latar atau
lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor-faktor di luar
sastra seperti tercermin dalam karya sastra. Teknik ini melihat faktor sosial yang
menghasilkan karya sastra kurun waktu tertentu. Dengan teknik ini, faktor sosial
dianggap sebagai analisis mayor dan karya sastra sebagai analisis minor. Kedua,
teknik analisis dimulai dari teks sastra dan mengungkapkan faktor-faktor sosial yang
ada di dalamnya, kemudian menguji kepada faktor sosial masyarakat yang menjadi
topik penceritaan. Teknik ini mengutamakan teks sastra sebagai fenomena utama atau
bahan utama analisis (major analysis) dan fenomena sosial masyarakat sebagai
minornya. Menurut Asri (dalam Asri, 2011: 247), teknik analisis tersebut dapat
dilakukan dalam enam langkah, yaitu :
(1) penentuan latar cerita untuk mengetahui gambaran masyarakat yang menjadi topik
cerita dalam karya sastra yang dianalisis, (2) penentuan tokoh beserta perannya, (3)
penentuan hubungan antarperan serta tokoh yang terlibat untuk menentukan
permasalahan cerita, (4) perumusan masalah berdasarkan hubungan antarperan, (5)
mengkaji hubungan permasalahan yang dirumuskan, baik secara normatif, secara
fiktif, maupun secara objektif, dan (6) interpretasi data untuk menentukan tingkat
relevansi antara realitas fiksi dengan realitas sosio-budaya masyarakat. Berdasarkan
paparan di atas, teknik yang sesuai untuk mengkaji cerpen “Generasi Bedebah”
adalah teknik analisis pertama.

1.3 Fokus Penelitian


Atas dasar permasalahan di atas, kajian ini bertujuan untuk (1) memaparkan apa
masalah sosial yang terkandung dalam cerpen “Generasi Bedebah” (2)
memaparkan apa sajakah nilai-nilai sosial yang terdapat dalam cerpen “Generasi
Bedebah”, dan (3) memaparkan apa sajakah nilai-nilai pendidikan yang dapat
diambil dari cerpen”Generasi Bedebah”.

1.4 METODE PENELITIAN


Kajian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam
kajian ini, fakta-fakta yang terdapat dalam cerpen “Generasi Bedebah” dianalisis
kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi disertai dengan penjelasan secukupnya.
2. PEMBAHASAN
A. Masalah Sosial yang Terkandung dalam Cerpen
Dalam pandangan Lubis (2008: 28) menyatakan bahwa, “masalah sosial adalah
suatu bentuk kecaman terhadap berbagai ketidakadilan yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan yang
manusiawi dengan citra yang tegas dan jernih.” Sedangkan menurut Berger dan
Lucman (dalam Ratna, 2007: 117) menyatakan bahwa, “masalah sosial adalah
kenyataan yang dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak
tergantung oleh kehendak subjek. Konflik dan kritik sosial tidak perlu dipahami
sebagai tindakan yang akan membuat perpecahan. Tetapi dapat memberi kontribusi
terhadap harmonisasi sosial.” Harmoni sosial maksudnya terdapat keseimbangan-
keseimbangan kepentigan di masyarakat walupun esensinya berbeda-beda.
“Belasan sepeda motor terparkir rapi, bau rok*k dan suara gelak tawa
belasan remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abu menyelimuti
suasana malam itu. Mereka tertawa, berbincang tanpa haluan, mengkritik sana
sini, bahkan mengkritik sesuatu yang tak pantas untuk kritik. Hal ini
mengingatkanku sepuluh tahun silam. Bukan apa-apa, tapi aku pernah menjadi
seperti mereka.
Sama seperti saat ini, di tempat yang sama, bau yang sama, seragam yang sama,
namun generasi yang berbeda. Saat itu umurku baru menginjak 17 tahun, saat
aku mengenal dunia luar. Kami dianggap sebagai para pelajar nakal. Dengan
nilai pas pasan namun kelakuan di atas batas wajar. Merok*k, tawuran, bahkan
mengerjai guru yang tak kami suka adalah hal yang biasa bagi kami semua,
para Bedebah sekolah berkumpul di tempat ini. Di sebelah tempat pembuangan
akhir yang sepi. Di mana kami bisa melakukan hal apapun semau kami.”

Kutipan dari cerpen diatas merupakan salah satu kutipan yang


menggambarkan bagaimana keadaan sosial dalam cerpen diatas. Dalam kutipan
tersebut dapat kita ketahui bagaimana kondisi siswa dalam cerpen “Generasi
Bedebah” ini. Hampir semua siswa merokok, mayoritas dari mereka menganggap
bahwa merokok adalah sebuah tren. Mereka sering melakukan tawuran, nongkrong
yang tidak jelas, mengerjai seorang guru hingga belajar yang merupakan tugas utama
mereka disekolah tidak dianggap begitu penting bagi mereka. “Generasi Bedebah” itu
sendiri merupakan sebutan sekelompok siswa yang memang suka membuat onar di
sekolah.
Menurut Soekanto (2013: 310) terdapat berbagai macam jenis masalah sosial
diantaranya adalah masalah pendidikan, pergeseran budaya, ketimpangan jender,
konflik sosial dan pengangguran. Namun dalam cerpen ini permasalahn sosial terletak
pada permasalahan pendidikan. Berikut beberapa kutipan dari permasalahan sosial
yang tedapat dalam cerpen;

“Dan bukan hal baru, kebanyakan dari kami lahir dari keluarga
berkecukupan, mungkin broken home. Atau seseorang yang dipaksa. Dan
sebagian adalah anak anak cupu yang baru keluar kandang, anak anak yang
dulunya manis dan penurut yang mulai terpengaruh dan terjebak dalam rasa
keingin tahuan mereka sendiri. Aku mungkin termasuk dalam salah satu anak
yang dipaksa.”

“Ayahku seorang kepala sekolah, dan kakakku seorang polisi. Keluaga kami
berkecukupan, namun ibuku telah meninggal sejak aku SMP, dan aku kira
setelah ia meninggal tak ada lagi yang bisa mengerti apa kemauanku.”

Dari kutipan dua paragraf diatas dapat diketahui bahwa permasalahan sosial yang
terjadi tentu saja memiliki sebab. Seperti halnya dalam cerpen “Generasi Bedebah”
ini. Permasalahan sosial ini terjadi karena dampak dari lingkungan keluarga mereka
sendiri yang mayoritas para orang tua dianggap belum bisa memahami kemauan
mereka, atau merupakan dampak pelampiasan dari permasalahan keluarga mereka
yang broken home, kurang kasih sayang dari orang tua dan lain sebagainya.

Seperti halnya yang dialami tokoh ‘aku’ yang bernama Andika dalam cerpen
“Generasi Bedebah” karya Ravina Isnar ini. Ia menjadi salah satu anggota dari geng
“Bedebah” karena ia merasa bahwa sejak sepeninggal ibunya, ayahnya tidak pernah
memahami dan mengerti setiap kemauan dari tokoh ‘aku’ atau Andika tersebut.
Hingga tingkah onarnya ini merupakan salah satu cara ia berontak karena hal
tersebut.

B. Nilai-nilai Sosial yang Terdapat dalam Cerpen

Nilai adalah gagasan tentang apakah pengalaman itu baik atau tidak. Nilai pada
hakikatnya mengarahkan pada prilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi dia
tidak menghakimi apakah sebuah prilaku itu salah atau benar. Nilai adalah sesuatu
yang penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah (secara moral dapat
diterima) jika harmonis atau selaras dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung
oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. Demikian pula seseorang yang
dengan ikhlas menyumbangkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan ibadah
dan rajin mengamalkan ibadah, maka ia akan dinilai sebagai orang yang terhormat
dan menjadi teladan bagi masyarakatnya (Horton dan Hunt, dalam Setiadi dan Usman
Kolip, 2011: 119).
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sesuatu
dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang.
Hal ini, tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran
apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata
nilai (Wikipedia). Ditinjau dari isinya , nilai nilai sosial dibedakan menjadi:
1. Nilai Estetis
Yaitu nilai yang menyangkut ekspresi rasa kejiwaan keindahan, misalnya
terhadap karya karya design dan seni.
2. Nilai Religius
Yakni nilai yang berkaitan dengan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Misalnya Masjid, Gereja, Pura dianggap sangat bernilai karena berhubungan
dengan keimanan dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama yang dianutnya
3. Nilai Etis atau Norma
Nilai Etis adalah nilai yang berhubungan dengan segala seuatu yang menyangkut
perilaku.

Dari penjelasan diatas nilai sosial yang terdapat dalam cerpen ini adalah nilai etis
atau norma.

“Begitupun saat ini, rok*k adalah cemilan baru kami, dan anehnya kami merasa
biasa. Seperti saat pertama kali kami bercerita dengan suguhan kacang. Kali ini
kami juga sedang bercerita namun dengan suguhan yang sedikit berbeda.

Bukan berarti semua dari kami menikmati camilan itu salah satunya aku. Karena aku
tidak mau jika harus masuk ke rumah sakit, mencium bau obat obatan yang sangat
kubenci karena asmaku kambuh.

Ditengah tengah keasikan kami mengobrol tiba tiba aku merasa ada yang menarik
telingaku dari belakang. “ah, sakit sakit” teriakku karena jeweran pak Adnan yang
lumayan. “sakitan mana sama disuntik jarum dan mencium bau obat obatan di
rumah sakit, mau kamu Dika” jawab Pak Adnan santai. “apaan sih pak” ucapku
sembari melepas telingaku yang masih berada di wilayah kekuasaan pak Andan.
Entahlah guru BK baru ini tahu dari mana hal yang paling aku takuti. Rumah sakit.
“bubar bubar semua, pulang ke rumah masing masing” teriak pak Adnan mengusir
kami para “bedebah” yang sedang nongkrong ini.

“kalau mau buat yang jelek itu mbok ya di lepas dulu seragamnya, bahkan kalau
bisa operasi plastik dulu wajahnya biar gak keliatan kamu itu anak sekolah sini, biar
gak malu maluin gitu lo” cerocos Pak Adnan yang mulai membuatku geram.Alhasil
karena kami tertangkap basah Guru BK baru itu kami pun langsung buyar pulang ke
rumah masing masing.”

Salah satu nilai sosial yang terdapat dalam kutipan cerpen diatas adalah sikap
disiplin yang diterapkan oleh salah satu guru BK yaitu pak Adnan. Siswa hendaknya
tidak melakukan suatu hal yang mampu memberikan citra buruk terhadap dirinya
juga terhadap instansi pendidikannya. Dalam kutipan cerpen tersebut sosok tokoh pak
Adnan memberikan teguran terhadap siswa yang merokok dan nongkrong tidak jelas
di lingkungan sekolahan pada saat jam sekolah telah usai, apalagi hal tersebut di
lakukan ketika masih menggunakan seragam yang merupakan salah satu bentuk
identitas dari sekolah. Teguran tersebut dilakukan dengan harapan bahwa siswa tidak
akan melakukannya lagi.

Selain itu terdapat kutipan lagi yang mencerminkan nilai sosial dalam cerpen.
Yaitu:

“Hingga suatu hari giliranku masuk ruang BK setelah kawan kawan Bedebahku juga
masuk ke sana, aku kira ada sesuatu yang janggal. Sudah berapa kali aku buat
masalah tapi baru kali ini “mereka” berani memanggilku ke ruang BK.

“wah wah, sudah datang rupanya, sang pangeran” kata seseorang yang sebelumnya
tak pernah kutemui. Aku tersenyum, menganggap remeh orang ini. Aku merasa
punya kekuasaan, karena Ayahku seorang Kepsek. Duduk santai di sofa empuk
ruangan ber AC ini. Cukup nyaman kurasa, tak apalah aku di sini sementara waktu
dari pada mendengar dongeng para guru di kelas.

“Andika, kelas IPA 3. Apa keinginanmu sebenarnya?” Tanya orang itu dengan
santai pula.“keinginan saya?, banyak sekali lah pak” jawabku asal dengan mata
terpejam, meremehkan.

“sepertinya kamu ingin membersihkan toilet di seluruh SMA ini, bersama teman
teman kamu yang bandel itu” katanya lagi dengan mendekatkan wajahnya,
mengamatiku.
“coba saja kalau bapak berani, ingat lo pak, saya ini anak dari kepsek” tantangku
dengan nada menyindir.“bisa, sebentar” lalu pak guru berkumis tipis itu mengambil
sesuatu di laci mejanya. “lihat ini baik baik” ia mengeluarkan sebuah surat
pernyataan.

Mataku terbelalak kaget membaca surat itu, di sana tertera jelas kalimat “ saya
sebagai orangtua dari Andika Setiawan menyerahkan sepenuhnya anak saya pada
pihak bimbingan konseling, jika anak saya berbuat kesalahan maka saya rela jika
anak saya mendapatkan hukuman yang setimpal.”

“bapak jangan main main, ayah saya tidak mungkin membuat pernyataan ini”
“lhah kamu tidak lihat tanda tangannya to?” dengan sigap surat pernyataan itu
berpindah tangan, dengan cermat aku mengamati tanda tangan itu. Dan memang
benar yang terukir di kertas itu adalah tanda tangan ayahku.

“nah, sekarang waktunya kamu dan teman teman kamu membersihkan kamar mandi,
silahkan. Kalau tidak bersih ya terpaksa ditambah hukumannya, kalau tidak mau ya
terpaksa tidak naik kelas. Saya lihat nilai kamu dan teman teman kamu itu sangat
pas pasan, jadi bukan hal sulit untuk membuat kalian tidak naik kelas” katanya
dengan nada balas mengejek. Dengan raut muka kesal segera kulangkahkan kakiku.
Keluar dari ruangan BK. Ruangan ber AC itu tiba tiba menjadi tak nyaman.

Anda mungkin juga menyukai