Oleh Kelompok 4:
Segala puji hanya milik Allah SWT karena berkat rahmat dan limpahan-Nya
penyusun mampu menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi
Sastra. Dalam penyusunan makalah, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi. Namun,
penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan pihak yang terkait, sehingga kendala-kendala yang
penyusun hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang konsep dan sudut
pandang mengenai “Analisis Cerpen Suap Karya Putu Wijaya Sebuah Kajian Hegemoni
Gramsci” disajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan
berita.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas. Terima kasih atas
bantuan dan arahan dari dosen pembimbing yang memberi bantuan penyusunan makalah ini.
Kritik yang membangun dari dosen pembimbing dan teman-teman sekalian agar makalah ini
menjadi lebih baik.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.4 Analisis Hegemoni dalam Cerpen “Suap” Karya Putu Wijaya ................ 9
PENUTUP ............................................................................................................. 19
LAMPIRAN .......................................................................................................... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penyusunan
makalah adalah:
1.3.1 Mengetahui dan memahami tentang teori hegemoni Gramsci
1.3.2 Mengetahui dan memahami fase-fase hegemoni
1.3.3 Mengetahui dan memahami tentang perkembangan hegemoni Gramsci
di Indonesia
1.3.4 Memahami analisis hegemoni Gramsci dalam cerpen “Suap” karya
Putu Wijaya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
pembentuk hukum baru (Gramsci dalam Sudikan, 2000: 169). Dipihak lain,
intelektual tradisional memiliki citra terhadap kontinuitas sejarah yang tak
terputus terhadap “kualifikasi-kualifikasi” sebuah spirit de corps, maka
mereka melihat dirinya sebagai kelompok sosial yang berkuasa yang otonom
dan independen. Pandangan demikian bukan tanpa konsekuensi dalam
lapangan ideologi dan politik.
Gagasan tersebut bertentangan dengan konsep Marx, bahwa
masyarakat membentuk negara dan masyarakat dibentuk pula oleh cara
produksi yang dominan hubungan-hubungan produksi yang ada di dalamnya.
Oleh sebab itu negara merupakan ekspresi politik dari struktur kelas yang
melekat dalam produksi. Dalam masyarakat kapitalis, negara didominasi oleh
kaum borjuis. Itulah sebabnya negara merupakan ekspresi politik dari kelas
dominan.
Gramsci (Sudikan dalam Saraswati, 2002:144) memberikan contoh
intelektual tradisional yang terpopulerisasi, dipresentasikan melalui manusia
literer (literariman), filsuf, artis. Dengan demikian, para jurnalis yang
menganggap diri mereka sebagai manusia literer, filsuf dan seniman juga
menganggap diri mereka sebagai intelektual. Di dunia modern, edukasi
teknologis yang dikaitkan juga dengan kerja industrial paling primitive dan
tak terkualifikasi, harus membentuk basis bagi tipe baru intelektual.
Keempat, Hegemoni memiliki makna ideologi dominan. Pada rezim
Orde Baru, ideologi yang dijadikan pembenaran kebijakan bagi aparatur yaitu
“pembangnan”. Di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci
dalam segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang
dimaksud terutama adalah kemajuan material. Pembangunan seringkali
diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang
ekonomi (Budiman dalam Saraswati, 2002:144). Pembangunan selalu
dijadikan pembenaran terhadap setiap kebijkan yang diambil masyarakt
politik (political society).
Budiman (dalam Saraswati, 2002:145) juga mencatat bahwa
pembangunan bagi rakyat kecil diartikan sebagai malapetaka yang
4
mendamparkan hidup mereka ke kota kecil atau perintah pak lurah yang tidak
bisa ditolak. Atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus
kritik yang muncul dari masyarakat. Samego (1996: 128) menyatakan
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru hanyalah
memperkuat posisi negara di hadapan rakyatnya. Apa yang dilakukan
pemerintah lewat program-program pembangunan pada dasarnya
mencerminkan upaya penguasa untuk memperkuat fungsi pengawasannya
atas masyarakat.
Dengan demikian negara dianggap sebagai “perpanjangan dari
kekuasaan pribadi atau kelompok” (Anderson dalam Haolt, 1972: 36). Itulah
sebabnya, istilah seperti “demi kepentingan umum”, “pembanguna untuk
seluruh masyarakat”, “negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya”,
serta ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam
pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara. Rakyat harus pindah dari
pemukimannya, meskipun dengan ganti rugi yang sangat kecil, “demi
kepentingan umum”. Surat kabar dicabut izin usahanya karena kritik-
kritiknya bisa membahayakan “pembangunan nasional” yang dilakukan bagi
semua lapisan masyarakat. Kepentingan-kepentingan anggota masyarakat
dituduh sebagai “kepentingan kelompok” yang bersifat sektarian, sedangkan
kepentingan negara selalu merupakan “kepentingan umum” yang bersifat
nasional (Budiman dalam Saraswati, 2002:146).
Hal itu menunjukkan bahwa istilah “demi kepentingan umum” atau
“pembanguna nasional untuk segala lapisan masyarakat” biasanya dipakai
sebagai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa
orang atau sekelompok warga agar bersedia mematuhi keinginan negara.
Warga tersebut harus selalu patuh tanpa protes, karena negara bertindak
bukan untuk kepentingan pribadinya. Negara hanya pelaksana yang netral
dari kepentingan umum itu. Sebaliknya, warga bertindak untuk kepentingan
pribadi atau kelompokya. Karena itu, warga harus mengalah kepada
kepentingan yang lebih besar yang “selalu” dilaksanakan oleh negara.
Seperti dikatakan Gramsci (dalam Sudikan, 172) memang benar
negara dilihat sebagai alat dari sebuah kelompok tertentu yang bertujuan
5
untuk menciptakan kemudahan bagi pengembangan kelompok tertentu itu.
Tetapi pembangunan dan perkembangan kelompok tertentu itu dilihat dan
dipersembahkan sebagai motor penggerak bagi sebuah perkembangan umum,
bagi sebuah pembangunan dari semua kekuatan “nasional”. Untuk realitas
politik Indonesia sendiri acapkali dapat disaksikan teori Gramsci diadptasi
baik untuk menjelaskan secara kritis fenomena dominasi ideologi yang
diproduksi oleh negara Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan atas politik,
sosial dan budaya, maupun sebagai pola strategi perubahan sosial yang
dilancarkan oleh kelompok pinggiran maupun LSM yang berhaluan
Transdormatif. Namun sayang, teori itu justru sering mengalami reduksi
sehingga bagian filsafat politik Gramsci untuk merespon situasi historis pada
zamannya tidak dielaborasi lebih jauh (Saraswati, 2002:144).
Kekuasaan hegemonik itu dapat dilihat pada zaman rezim orde baru,
yang kebijakan pembangunannya menganut sistem kapitalis. Pertumbuhan
ekonomi lebih diprioritaskan daripada pemerataan ekonomi. Pembangunan
lebih mengutamakan kelompok borjuis daripada rakyat miskin. Oleh sebab
itu, Gramsci menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan perlu dilakukan
kerja di bidang ideologi untuk melawan ideologi hegemonik yang ada
(Sudikan dalam Saraswati, 2002:144).
6
berbagai tingkat homogenitas dan kesadaran politik yang dicapai oleh
kelompok yang secara potensial hegemonik.
Fase ketiga adalah fase hegemoni atau fase positif, yaitu wilayah
kebebasan, suatu proses kreasi pandangan dunia baru yang memperlengkapi
massa dengan kategori-kategori pikiran, perilaku, dalam proses penciptaan
satu pandangan dunia baru / world view. Fase positif disebut juga fase
hegemoni ideologis. Elemen-elemen kesadaran yang superstruktural,
ideologi, kebudayaan merupakan faktor yang menentukan sifat, ruang
lingkup, dan hasil sebuah revolusi. Hegemoni ideologi dapat diartikan
sebagai suatu organisasi kesadaran. Hal ini dibedakan dengan dominasi yang
bersifat penataan terhadap kekuatan material.
Pada fase hegemoni, suatu kelas mengembangkan solidaritas politik
dengan interes-interes kelompoknya tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga
untuk masa depan, dan bahkan mengatasi batas-batas kelompoknya serta
menyentuh kepentingan kelompok subordinat lain. Hegemoni berlangsung
bila suatu kelas sudah mengembangkan dan memperluas interesnya dengan
memperhitungkan interes kelompok subaltern. Jika tidak memperhitungkan
interes kelompok subaltern, hegemoni sama sekali tidak akan tercapai.
7
koran, penerbitan dan juga buku-buku termasuk di dalamny akrya
sastra.
Kedua, dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat Dewan oleh aparat
keamanan yang bertugas menyeleksi dan mengawasi isi dari setiap
penerbitan yang ada. Bacaan-bacaan yang tidak berkenan bagi
pembesar lembaga ini dinamakan “bacaan liar”.
Ketiga, didirikan Balai Pustaka sebagai penerbitan resmi
pemerintah. Badan ini melakukan sensor yang ketat atas buku-buku
(termasuk di dalamnya adalah karya-karya sastra) yang akan
diterbitkan. Wujud nyata dari situasi ini adalah pencekalan terhadap
“bacaan-bacaan liar”. Aktivitas pengekangan dan pembatasan oleh
pemerintah kolonial tidak berhasil membatasi kegiatan susastra
masyarakat saat itu.
8
2.2.4 Zaman Orde Lama
Pada zaman orde lama kebebasan berkarya telah berubah. Hal
ini dikarenakan kondisi politik dan sosial ekonomi memburuk.
Polarisasi kekuasaan pada arus nasional mempengaruhi polemik atau
perdebatan di dalam masyarakat. Politik aliran yang ada
mengembangkan dinamika kehidupan yang keras dalam masyarakat.
Perdebatan sastra Indonesia kontemporer seperti sekarang diwarisi dari
latar politik dan sosial budaya paruh pertama tahun 1960-an.
Perdebatan humanisme universal dan realisme sosialis, polemik sipil-
militer menjadi melembaga sebagai latar sosial politik dalam
mendiskusikan sastra sampai sekarang.
1. Analisis
9
Cerita pendek yang berjudul Suap karya Putu Wijaya dapat
dianalisis dengan pendekatan Hegemoni Gramsci. Dalam perspektif
hegemoni, cerpen Suap menceritakan tentang permasalahan kehidupan,
baik sosial, ekonomi, maupun kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dalam
isi cerita.
Tokoh Saya bekerja sebagai seniman dengan taraf hidup yang
dapat digolongkan ekonomi kelas menengah. Ia menjadi salah satu juri
dalam sebuah perlombaan lukis tingkat internasional. Ketika tokoh Saya
sedang di rumahnya, ia didatangi seorang tamu, yakni tokoh laki-laki yang
tidak diketahui identitasnya. Tokoh laki-laki itu menginginkan peserta
lukis yang mewakili daerahnya dimenangkan dalam lomba lukis
internasional. Tokoh laki-laki itu berkunjung ke rumah Saya dengan
membawa uang sogokan. Uang sogokan itu akan digunakan tokoh laki-
laki untuk menyuap tokoh Saya sebagai juri. Hal tersebut dibuktika
dengan kutipan berikut.
10
“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”
katanya memujikan. Keluarganya memang turun-temurun
adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah
pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja.
Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi
pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang, seluruh
dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang
mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat
lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal
kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc,
mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai
manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama,
memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang
suci.”
11
dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap
tidak akan bisa menang.”
“Orang yang mau menyuap itu tersenyum.”
12
masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada
kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”
13
“Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau
sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah
berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam
penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah
amplop yang lain.”
Segenap tenaga, tokoh saya mencari uang suap dalam kolam yang
menjijikkan. Namun, uang suap itu belum juga ditemukan. Menghilangkan
uang suap tersebut menandakan bahwa dia menerima tawaran laki-laki itu.
Ia terus mencari amplop tersebut. Ia baru berhenti mencari ketika sang istri
memanggilnya dan memberitahukan bahwa laki-laki itu akan pulang.
Tidak ditemukannya amplop membuat tokoh saya merasa bersalah dan
bingung harus berbuat apa. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.
14
“Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu
lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam
saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam.
Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan
kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari
gini, siapa yang tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya
berhenti.
.....
Dari kutipan di atas, tokoh saya merasa bodoh atas semua tindakan
yang ia lakukan. Ketika berhadapan dengan penyuap itu, ia hanya bisa
diam tanpa kepastian. Diamnya diartikan sebaliknya oleh penyuap itu,
laki-laki penyuap mengartikan bahwa tokoh saya menginginkan uang itu.
Kondisi ekonomi-sosial yang membuat penyuap itu semakin yakin. Tiba-
tiba seorang anak tetangga menemukan amplop tersebut dan
mengembalikannya kepada tokoh saya. Kutipan tersebut dijelaskan di
bawah ini.
15
“Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga.
Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang
sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat
mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan
dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada
kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu
memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi
ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar
oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali
tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun
memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan
menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan
dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang
amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan
timang-timang.
16
“Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke
amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya
menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai
itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada
belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya.
Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya
berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar
semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya
tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama
saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap.
Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop
itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya
menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu,
bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan
membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.”
17
Faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya Hegemoni dalam cerpen ini adalah:
1. Perbedaan kekuasaan
Perbedaan kekuasaan membuat si penyuap merasa paling benar berkuasa. Si
penyuap tersebut mengganggap bahwa uang segalanya, uang dapat
melumpuhkan hati nurani.
2. Kondisi ekonomi
Kondisi ekonomi tokoh saya menjadikannya seseorang yang lemah. Ia
menganggap bahwa dengan uang suap tersebut ia dapat memperbaiki
kesejahteraan keluarganya. Namun, hati nuraninya lebih besar dari sekadar
uang.
3. Status sosial
Tokoh saya tersebut hanya sebagai juri, sedangkan calon peserta lukis
internasional adalah seseorang yang berpengaruh di daerahnya.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori Hegemoni memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
perkembangan sosiologi sastra. Secara literal hegemoni berarti
kepemimpinan. Lebih sering kata itu digunakan oleh para komentator politik
untuk menunjuk pada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci konsep
hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks yang sekaligus bersifat
ekonomik dan etis-politis. Pertama, hegemoni tidak memutarbalikkan model
basis-superstruktur tradisional Marxis, melainkan menafsirkan kembali
berdasarkan paham Crocean. Kedua, Hegemoni melihat negara sebagai
sesuatu yang abadi tak punya konteks historis, mentransendenkan masyarakat
sebagai kolektivitas yang ideal. Ketiga, dalam konsep hegemoni dikenal
adanya skematisasi pemilihan intelektual ke dalam intelektual organis dan
intelektual tradisional.
Ada tiga fase untuk menjadi kelas hegemonik, yaitu: fase ekonomik,
fase politik, dan fase hegemoni. Fase ekonomik atau fase negatif, yaitu
wilayah materialistik, wilayah keniscayaan, sesuatu yang tidak terelakkan
manusia. Fase pertama ini, merupakan suatu momen ekonomik yang
menimbulkan kesadaran satu kelas akan adanya hegemoni politik. Fase
kedua, yaitu hubungan kekuatan-kekuatan politik yang memungkinkan
identifikasi berbagai tingkat homogenitas dan kesadaran politik yang dicapai
oleh kelompok yang secara potensial hegemonik. Fase ketiga adalah fase
hegemoni atau fase positif, yaitu wilayah kebebasan, suatu proses kreasi
pandangan dunia baru yang memperlengkapi massa dengan kategori-kategori
pikiran, perilaku, dalam proses penciptaan satu pandangan dunia baru / world
view. Fase positif disebut juga fase hegemoni ideologis.
Di Indonesia pada zaman dulu sastra merupakan kehidupan intelektual
yang hanya dinikmati oleh segelintir oang dikalangan istana. Keterbatasan
akses masyarakat terhadap karya sastra sangat tergantung pada birokrasi yang
mendefinisikan kebudayaan yang ada di masyarakat. Berikut merupakan
19
hegemoni yang terjadi di Indonesia: Kolonial Belanda, Kolonial Jepang,
zaman kemerdekaan, era orde lama, orde baru, dan orde revormasi.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya Hegemoni dalam cerpen
ini adalah: Perbedaan kekuasaan, membuat si penyuap merasa paling benar
berkuasa. Si penyuap tersebut mengganggap bahwa uang segalanya, uang
dapat melumpuhkan hati nurani. Kondisi ekonomi tokoh saya menjadikannya
seseorang yang lemah. Ia menganggap bahwa dengan uang suap tersebut ia
dapat memperbaiki kesejahteraan keluarganya. Namun, hati nuraninya lebih
besar dari sekadar uang. Status sosial, tokoh saya tersebut hanya sebagai juri,
sedangkan calon peserta lukis internasional adalah seseorang yang
berpengaruh di daerahnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Rosyidi, M. Ikhwan dkk. 2010. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra
Darwati.
http://nfitrianipit.blogspot.com/2015/07/bentuk-hegemoni-dalam-cerita-
pendek.html (diakses pada 6 November 2018)
21
LAMPIRAN
Sinopsis “Suap”
22