Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS CERPEN “SUAP” KARYA PUTU WIJAYA

SEBUAH KAJIAN HEGEMONI GRAMSCI


Makalah ini disusun demi memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Sastra Kelas C
Dosen Pengampu: Dra. Endang Sri Widayati, M.Pd.

Oleh Kelompok 4:

Karinda Fitra Noza (160210402084)


Mohamad Abdul Azis (160210402090)
Rike Aprilia (160210402093)
Ainur Rohmah (160210402095)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT karena berkat rahmat dan limpahan-Nya
penyusun mampu menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi
Sastra. Dalam penyusunan makalah, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi. Namun,
penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan pihak yang terkait, sehingga kendala-kendala yang
penyusun hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang konsep dan sudut
pandang mengenai “Analisis Cerpen Suap Karya Putu Wijaya Sebuah Kajian Hegemoni
Gramsci” disajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan
berita.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas. Terima kasih atas
bantuan dan arahan dari dosen pembimbing yang memberi bantuan penyusunan makalah ini.
Kritik yang membangun dari dosen pembimbing dan teman-teman sekalian agar makalah ini
menjadi lebih baik.

Jember,5 November 2018

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Teori Hegemoni ........................................................................................ 3

2.2 Fase-fase Hegemoni ................................................................................. 6

2.3 Hegemoni di Indonesia ............................................................................. 7

2.4 Analisis Hegemoni dalam Cerpen “Suap” Karya Putu Wijaya ................ 9

BAB III ................................................................................................................. 19

PENUTUP ............................................................................................................. 19

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21

LAMPIRAN .......................................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini di Indonesia, cerpen menjadi semakin banyak diminati.
Selain karena keberagaman tema cerita yang pada umumnya meliputi
persoalan kehidupan sehari-hari seperti percintaan atau masalah sosial,
ekonomi, dan budaya, daya tarik yang dimiliki dari sebuah cerpen terletak
pada kemampuan penulis untuk menghadirkan penokohan dan alur yang tidak
terduga dalam situasi yang singkat. Beraneka ragam konflik yang pengarang
hadirkan. Salah satu yang menarik perhatian adalah konflik kasta dalam kisah
politik. Bukan hanya dalam cerita fiksi, dalam dunia nyata saja banyak kisah
yang demikian.
Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji cerita pendek “Suap” karya
Putu Wijaya berdasarkan teori Hegemoni dalam pendekatan sosiologi sastra.
Analisis kali ini akan membahas tentang hegemoni dalam cerita pendek karya
Putu Wijaya dan menerapkan analisis tersebut pada kisah nyata yang ada di
Indonesia. Teori hegemoni yang berawal dari teori Marxisme yang lahir dari
konteks masyarakat industri Eropa. Revolusi industri di Eropa pada abad-19,
menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat. Kesenjangan ini terjadi antara
kaum borjuis (pemilik modal) dengan kaum proletat, kaum petani miskin
dengan para tuan tanah. Kesenjangan sosial dalam cerita fiksi dapat
dibuktikan dengan kesenjangan sosial pada dunia nyata dalam analisis kali ini.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah-masalah yang akan dikaji dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana teori hegemoni Gramsci?
1.2.2 Seperti apa fase-fase hegemoni?
1.2.3 Bagaiamana perkembangan hegemoni Gramsci di Indonesia?
1.2.4 Bagaimana analisis cerpen “Suap” karya Putu Wijaya dikaji dengan
teori hegemoni Gramsci?

1
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penyusunan
makalah adalah:
1.3.1 Mengetahui dan memahami tentang teori hegemoni Gramsci
1.3.2 Mengetahui dan memahami fase-fase hegemoni
1.3.3 Mengetahui dan memahami tentang perkembangan hegemoni Gramsci
di Indonesia
1.3.4 Memahami analisis hegemoni Gramsci dalam cerpen “Suap” karya
Putu Wijaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Hegemoni


Teori Hegemoni memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
perkembangan sosiologi sastra. Secara literal hegemoni berarti kepemimpinan
(Faruk dalam Saraswati, 2002:141). Lebih sering kata itu digunakan oleh para
komentator politik untuk menunjuk pada pengertian dominasi. Akan tetapi,
bagi Gramsci (dalam Saraswati, 2002:142) konsep hegemoni berarti sesuatu
yang lebih kompleks yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politis.
Secara umum Hegemoni mengoreksi pandangan Marxis kuno.
Pertama, hegemoni tidak memutarbalikkan model basis-superstruktur
tradisional Marxis, melainkan menafsirkan kembali berdasarkan paham
Crocean. Penggagas konsep ini menolak interpretasi “materialisme vulgar”
dan kecenderungan sosiologi positivis evolusioner.
Kedua, Hegemoni melihat negara sebagai sesuatu yang abadi tak
punya konteks historis, mentransendenkan masyarakat sebagai kolektivitas
yang ideal. Jadi, negara terlihat jauh lebih sederhana daripada sebuah institusi
politik. Hal ini berbeda dengan gagasan Hegel (Sudikan dalam Saraswati,
2002:143) tentang bentuk negara ‘rasional’ yang dibangun atas dasar
hubungan etis dan harmoni yang ada dalam elemen-elemen masyarakat,
penggagas teori.
Ketiga, dalam konsep hegemoni dikenal adanya skematisasi pemilihan
intelektual ke dalam intelektual organis dan intelektual tradisional. Yang
dimaksud dengan intelektual organik yaitu intelektual yang langsung
berhubungan dengan cara produksi yang dominan. Setiap kelas sosial muncul
dari basis produksi ekonomi, menciptakan sendiri kelompok atau kelompok-
kelompok intelektual yang memberikan homogenitas serta kesadaran akan
fungsinya, bukan hanya dalam lapangan ekonomi, namun juga dalam
lapangan sosial dan politik. Para entrepreneur kapitalis menciptakan sendiri
teknisi industrial, ekonomi politik, para agen pembentuk kebudayaan baru,

3
pembentuk hukum baru (Gramsci dalam Sudikan, 2000: 169). Dipihak lain,
intelektual tradisional memiliki citra terhadap kontinuitas sejarah yang tak
terputus terhadap “kualifikasi-kualifikasi” sebuah spirit de corps, maka
mereka melihat dirinya sebagai kelompok sosial yang berkuasa yang otonom
dan independen. Pandangan demikian bukan tanpa konsekuensi dalam
lapangan ideologi dan politik.
Gagasan tersebut bertentangan dengan konsep Marx, bahwa
masyarakat membentuk negara dan masyarakat dibentuk pula oleh cara
produksi yang dominan hubungan-hubungan produksi yang ada di dalamnya.
Oleh sebab itu negara merupakan ekspresi politik dari struktur kelas yang
melekat dalam produksi. Dalam masyarakat kapitalis, negara didominasi oleh
kaum borjuis. Itulah sebabnya negara merupakan ekspresi politik dari kelas
dominan.
Gramsci (Sudikan dalam Saraswati, 2002:144) memberikan contoh
intelektual tradisional yang terpopulerisasi, dipresentasikan melalui manusia
literer (literariman), filsuf, artis. Dengan demikian, para jurnalis yang
menganggap diri mereka sebagai manusia literer, filsuf dan seniman juga
menganggap diri mereka sebagai intelektual. Di dunia modern, edukasi
teknologis yang dikaitkan juga dengan kerja industrial paling primitive dan
tak terkualifikasi, harus membentuk basis bagi tipe baru intelektual.
Keempat, Hegemoni memiliki makna ideologi dominan. Pada rezim
Orde Baru, ideologi yang dijadikan pembenaran kebijakan bagi aparatur yaitu
“pembangnan”. Di Indonesia kata pembangunan sudah menjadi kata kunci
dalam segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang
dimaksud terutama adalah kemajuan material. Pembangunan seringkali
diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang
ekonomi (Budiman dalam Saraswati, 2002:144). Pembangunan selalu
dijadikan pembenaran terhadap setiap kebijkan yang diambil masyarakt
politik (political society).
Budiman (dalam Saraswati, 2002:145) juga mencatat bahwa
pembangunan bagi rakyat kecil diartikan sebagai malapetaka yang

4
mendamparkan hidup mereka ke kota kecil atau perintah pak lurah yang tidak
bisa ditolak. Atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus
kritik yang muncul dari masyarakat. Samego (1996: 128) menyatakan
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru hanyalah
memperkuat posisi negara di hadapan rakyatnya. Apa yang dilakukan
pemerintah lewat program-program pembangunan pada dasarnya
mencerminkan upaya penguasa untuk memperkuat fungsi pengawasannya
atas masyarakat.
Dengan demikian negara dianggap sebagai “perpanjangan dari
kekuasaan pribadi atau kelompok” (Anderson dalam Haolt, 1972: 36). Itulah
sebabnya, istilah seperti “demi kepentingan umum”, “pembanguna untuk
seluruh masyarakat”, “negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya”,
serta ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam
pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara. Rakyat harus pindah dari
pemukimannya, meskipun dengan ganti rugi yang sangat kecil, “demi
kepentingan umum”. Surat kabar dicabut izin usahanya karena kritik-
kritiknya bisa membahayakan “pembangunan nasional” yang dilakukan bagi
semua lapisan masyarakat. Kepentingan-kepentingan anggota masyarakat
dituduh sebagai “kepentingan kelompok” yang bersifat sektarian, sedangkan
kepentingan negara selalu merupakan “kepentingan umum” yang bersifat
nasional (Budiman dalam Saraswati, 2002:146).
Hal itu menunjukkan bahwa istilah “demi kepentingan umum” atau
“pembanguna nasional untuk segala lapisan masyarakat” biasanya dipakai
sebagai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa
orang atau sekelompok warga agar bersedia mematuhi keinginan negara.
Warga tersebut harus selalu patuh tanpa protes, karena negara bertindak
bukan untuk kepentingan pribadinya. Negara hanya pelaksana yang netral
dari kepentingan umum itu. Sebaliknya, warga bertindak untuk kepentingan
pribadi atau kelompokya. Karena itu, warga harus mengalah kepada
kepentingan yang lebih besar yang “selalu” dilaksanakan oleh negara.
Seperti dikatakan Gramsci (dalam Sudikan, 172) memang benar
negara dilihat sebagai alat dari sebuah kelompok tertentu yang bertujuan

5
untuk menciptakan kemudahan bagi pengembangan kelompok tertentu itu.
Tetapi pembangunan dan perkembangan kelompok tertentu itu dilihat dan
dipersembahkan sebagai motor penggerak bagi sebuah perkembangan umum,
bagi sebuah pembangunan dari semua kekuatan “nasional”. Untuk realitas
politik Indonesia sendiri acapkali dapat disaksikan teori Gramsci diadptasi
baik untuk menjelaskan secara kritis fenomena dominasi ideologi yang
diproduksi oleh negara Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan atas politik,
sosial dan budaya, maupun sebagai pola strategi perubahan sosial yang
dilancarkan oleh kelompok pinggiran maupun LSM yang berhaluan
Transdormatif. Namun sayang, teori itu justru sering mengalami reduksi
sehingga bagian filsafat politik Gramsci untuk merespon situasi historis pada
zamannya tidak dielaborasi lebih jauh (Saraswati, 2002:144).
Kekuasaan hegemonik itu dapat dilihat pada zaman rezim orde baru,
yang kebijakan pembangunannya menganut sistem kapitalis. Pertumbuhan
ekonomi lebih diprioritaskan daripada pemerataan ekonomi. Pembangunan
lebih mengutamakan kelompok borjuis daripada rakyat miskin. Oleh sebab
itu, Gramsci menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan perlu dilakukan
kerja di bidang ideologi untuk melawan ideologi hegemonik yang ada
(Sudikan dalam Saraswati, 2002:144).

2.2 Fase-fase Hegemoni


Ada tiga fase untuk menjadi kelas hegemonik, yaitu: fase ekonomik,
fase politik, dan fase hegemoni (Simon, 1999: 34-36; Salamini, 1981: 33, 55-
56). Fase ekonomik atau fase negatif, yaitu wilayah materialistik, wilayah
keniscayaan, sesuatu yang tidak terelakkan manusia. Fase pertama ini,
merupakan suatu momen ekonomik yang menimbulkan kesadaran satu kelas
akan adanya hegemoni politik. Munculnya alternatif sejarah/historis sangat
bergantung pada perkembangan cara-cara produksi, misalnya, dari cara
produksi manual ke mekanik. Proses tersebut, tidak cukup untuk mengubah
sejarah. Terjadinya perubahan cara produksi tidak dengan sendirinya
mengubah sejarah, tetapi harus diikuti fase politik. Fase kedua, yaitu
hubungan kekuatan-kekuatan politik yang memungkinkan identifikasi

6
berbagai tingkat homogenitas dan kesadaran politik yang dicapai oleh
kelompok yang secara potensial hegemonik.
Fase ketiga adalah fase hegemoni atau fase positif, yaitu wilayah
kebebasan, suatu proses kreasi pandangan dunia baru yang memperlengkapi
massa dengan kategori-kategori pikiran, perilaku, dalam proses penciptaan
satu pandangan dunia baru / world view. Fase positif disebut juga fase
hegemoni ideologis. Elemen-elemen kesadaran yang superstruktural,
ideologi, kebudayaan merupakan faktor yang menentukan sifat, ruang
lingkup, dan hasil sebuah revolusi. Hegemoni ideologi dapat diartikan
sebagai suatu organisasi kesadaran. Hal ini dibedakan dengan dominasi yang
bersifat penataan terhadap kekuatan material.
Pada fase hegemoni, suatu kelas mengembangkan solidaritas politik
dengan interes-interes kelompoknya tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga
untuk masa depan, dan bahkan mengatasi batas-batas kelompoknya serta
menyentuh kepentingan kelompok subordinat lain. Hegemoni berlangsung
bila suatu kelas sudah mengembangkan dan memperluas interesnya dengan
memperhitungkan interes kelompok subaltern. Jika tidak memperhitungkan
interes kelompok subaltern, hegemoni sama sekali tidak akan tercapai.

2.3 Hegemoni di Indonesia


Di Indonesia pada zaman dulu sastra merupakan kehidupan intelektual
yang hanya dinikmati oleh segelintir oang dikalangan istana. Keterbatasan
akses masyarakat terhadap karya sastra sangat tergantung pada birokrasi yang
mendefinisikan kebudayaan yang ada di masyarakat. Berikut merupakan
hegemoni yang terjadi di Indonesia:
2.2.1 Zaman Kolonial Belanda
Pada zaman kolonial Belanda terdapat beberapa aturan yang
membatasi perkembangan sastra pada saat itu, diantaranya: Pertama,
pemberlakuan Undang-undang pers zaman kolonial tahun 1863
memperlihatkan campur tangan negara dalam mengatur kehidupan
sastra dan khususnya pers pada saat itu. Regering reglemen semacam
itu ikut mengatur tata tertib proses produksi, distribusi, dan konsumsi

7
koran, penerbitan dan juga buku-buku termasuk di dalamny akrya
sastra.
Kedua, dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat Dewan oleh aparat
keamanan yang bertugas menyeleksi dan mengawasi isi dari setiap
penerbitan yang ada. Bacaan-bacaan yang tidak berkenan bagi
pembesar lembaga ini dinamakan “bacaan liar”.
Ketiga, didirikan Balai Pustaka sebagai penerbitan resmi
pemerintah. Badan ini melakukan sensor yang ketat atas buku-buku
(termasuk di dalamnya adalah karya-karya sastra) yang akan
diterbitkan. Wujud nyata dari situasi ini adalah pencekalan terhadap
“bacaan-bacaan liar”. Aktivitas pengekangan dan pembatasan oleh
pemerintah kolonial tidak berhasil membatasi kegiatan susastra
masyarakat saat itu.

2.2.2 Zaman Kolonial Jepang


Pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia, negara ini
memperlakukan produk sastra sebagai sesuatu yang khusus dalam
kehidupan masyarakat. Sedenbu atau departemen propaganda
mendirikan sebuah komisi kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) yang
bekerja untuk menulis, menyeleksi, menetapkan dan menyebarkan
bahan bacaan tertulis kepada rakyat. Orang yang terlibat dalam badan
ini adalah, Chairul Saleh, Adam Malik, Rivai Apin, Pramoedya Ananta
Toer dan Sutan takdir Alisyahbana.

2.2.3 Zaman Kemerdekaan


Pada masa ini terdapat para penulis yang kita kenal dengan
nama angkatan ’45. Produk sastra pada masa ini kembali mendapat
tempat dalam masyarakat, akan tetapi fungsinya mulai berubah, tidak
lagi sebagai alat untuk mengontrol pikiran, akan tetapi sebagai tenaga
pendorong revolusi. Sastra menjadi satu kesadaran baru sehingga
antara sastra dan revolusi saling mengisi (Foulcher, 1993).

8
2.2.4 Zaman Orde Lama
Pada zaman orde lama kebebasan berkarya telah berubah. Hal
ini dikarenakan kondisi politik dan sosial ekonomi memburuk.
Polarisasi kekuasaan pada arus nasional mempengaruhi polemik atau
perdebatan di dalam masyarakat. Politik aliran yang ada
mengembangkan dinamika kehidupan yang keras dalam masyarakat.
Perdebatan sastra Indonesia kontemporer seperti sekarang diwarisi dari
latar politik dan sosial budaya paruh pertama tahun 1960-an.
Perdebatan humanisme universal dan realisme sosialis, polemik sipil-
militer menjadi melembaga sebagai latar sosial politik dalam
mendiskusikan sastra sampai sekarang.

2.2.5 Zaman Orde Baru


Dalam masa ini, terlihat gambaran yang kabur mengenai
hubungan sastrawan dengan negara juga sikap negara terhadap
sastrawan. Sikap negara terhadap sastrawan, pertama, pada tingkatan
produksi, negara memberikan lisensi kepada orang-orang tertentu
untuk membuat penerbitan. Ada dua seleksi yang harus dilewati.
Pertama, seleksi ekonomi, kedua seleksi politik. Negara tidak
memberikan izin kepada setiap penerbit. Kedua, pada tingat distribusi,
negara lebih mengambil peran represif ketimbang preventif seperti
pelarangan pementasan. Ketiga, tingkat ideologi. Kata kunci orde baru
disamping “pembangunan” adalah “stabilitas nasional” akar
pelarangan dapat dicari dalam ideologi “stabilitas” ini. Hampir semua
karya yang dilarang mendapat tuduhan mengganggu prinsip estetika
negara.

2.4 Analisis Hegemoni dalam Cerpen “Suap” Karya Putu Wijaya

1. Analisis

9
Cerita pendek yang berjudul Suap karya Putu Wijaya dapat
dianalisis dengan pendekatan Hegemoni Gramsci. Dalam perspektif
hegemoni, cerpen Suap menceritakan tentang permasalahan kehidupan,
baik sosial, ekonomi, maupun kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dalam
isi cerita.
Tokoh Saya bekerja sebagai seniman dengan taraf hidup yang
dapat digolongkan ekonomi kelas menengah. Ia menjadi salah satu juri
dalam sebuah perlombaan lukis tingkat internasional. Ketika tokoh Saya
sedang di rumahnya, ia didatangi seorang tamu, yakni tokoh laki-laki yang
tidak diketahui identitasnya. Tokoh laki-laki itu menginginkan peserta
lukis yang mewakili daerahnya dimenangkan dalam lomba lukis
internasional. Tokoh laki-laki itu berkunjung ke rumah Saya dengan
membawa uang sogokan. Uang sogokan itu akan digunakan tokoh laki-
laki untuk menyuap tokoh Saya sebagai juri. Hal tersebut dibuktika
dengan kutipan berikut.

“Seorang tamu datang ke rumah saya. Tanpa mengenalkan


dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap. Dia
minta agar di dalam lomba lukis internasional, peserta
yang mewakili daerahnya dimenangkan.”

Tokoh laki-laki penyuap merupakan seorang tangan kanan salah


seorang peserta lukis dengan keluarga yang kaya raya. Laki-laki penyuap
merayu tokoh saya, ia berdalih bahwa jika juri memenangkan seniman
perwakilan daerahnya, seluruh dunia akan memandang daaerah tempat
tinggal seniman itu yang sedang dilanda kelaparan dan kemiskinan. Laki-
laki penyuap seakan peduli dengan permasalahan sosial dan ekonomi di
daerahnya. Laki-laki penyuap menyuap tokoh saya atas nama
kemanusiaan, padahal dalam tuturan laki-laki penyuap itu tersirat sebuah
keinginan agar juri memenangkan pelukis kebanggaan daerahnya agar
menang dalam perlombaan lukis tingkat internasional. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kutipan berikut ini.

10
“Seniman yang mewakili kawasan kami itu sangat berbakat.”
katanya memujikan. Keluarganya memang turun-temurun
adalah pelukis kebangaan wilayah kami. Kakeknya dulu adalah
pelukis kerajaan yang melukis semua anggota keluarga raja.
Sekarang dia bekerja sebagai opas di kantor Gubernuran, tetapi
pekerjaan utamanya adalah melukis. Kalau dia menang, seluruh
dunia akan menolehkan matanya ke tempat kami yang sedang
mengalami musibah kelaparan dan kemiskinan, karena pusat
lebih sibuk mengurus soal-soal politik daripada soal-soal
kesejahteraan. Dua juta orang yang terancam kebutaan, tbc,
mati muda, akan terselamatkan. Saya harap Anda sebagai
manusia yang masih memiliki rasa belas kasihan kepada sesama,
memahami amanat ini. Ini adalah perjuangan hak azasi yang
suci.”

Tokoh saya sebagai juri menolak tawaran laki-laki penyuap.


Menurut tokoh saya, keputusan pemenang didasari atas hasil karya yang
diciptakan para peserta lukis, bukan berdasarkan faktor kemanusiaan. Hal
ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

“Saya langsung pasang kuda-kuda.


“Maaf, tidak bisa. Tidak mungkin sama sekali. Juri tidak akan
menjatuhkan pilihan berdasarkan kemanusiaan, tetapi
berdasarkan apakah sebuah karya seni itu bagus atau tidak.”

Penolakan tokoh saya tidak membuat laki-laki penyuap menyarah


begitu saja. Laki-laki penyuap berusaha kembali membujuk tokoh saya. Ia
berusaha meyakinkan tokoh saya agar menjadikan pelukis daerahnya
menjadi pemenang. Tokoh saya tidak menyerah pada argumen laki-laki
penyuap. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

“Tapi bukankah karya yang bagus itu adalah karya yang


membela kemanusiaan dan bermanfaat bagi manusia?”
“Betul. Tapi meskipun membela kemanusiaan, tetapi kalau tidak
dipersembahkan dengan bagus, atau ada yang lebih bagus, di

11
dalam sebuah kompetisi yang adil, yang kurang bagus tetap
tidak akan bisa menang.”
“Orang yang mau menyuap itu tersenyum.”

Laki-laki penyuap belum menyerah untuk membujuk tokoh saya.


Ia berusaha melakukan apapun agar tujuannya tercapai. Kemudian, laki-
laki penyuap itu memberi iming-iming pada tokoh saya berupa cek kosong
yang isi nominalnya dapat ditulis sendiri oleh tokoh saya. Perlakuan laki-
laki penyuap perlahan membuat komitmen tokoh saya menjadi lemah. Hal
itu dibuktikan dalam kutipan berikut.

“Bapak mengatakan itu, sebab kami tidak menjanjikan apa-


apa?”
“Sama sekali tidak!”
“Ya!”
Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-
tangani. Saya langsung merasa tertantang dan terhina. Tetapi
entah kenapa saya diam saja. Kilatan cek itu membuat darah
saya beku.
“Kalau wakil kami menang, Bapak boleh menuliskan angka
berapa pun di atas cek kontan ini dan langsung
menguangkannya kapan saja di bank yang terpercaya ini.”
Saya bergetar. Itu sebuah tawaran yang membuat syok.”

Penawaran yang diajukan oleh laki-laki penyuap membari tokoh


saya terkejut dan bingung. Tokoh saya dengan sekejap menjadi lupa atas
komitmennya dari awal untuk tidak menerima suap. Laki-laki penyuap
masih berusaha terus dalam menyuap tokoh saya. Laki-laki tersebut makin
menaikkan nominal uang suap yang ditawarkan kepada tokoh saya secara
tunai, bukan lagi dalam bentuk cek. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kutipan berikut.

“Kalau ragu-ragu silakan menelpon ke bank bersangkutan,


tanyakan apakah ada dana di belakang rekening ini, kalau Anda

12
masih was-was. Kami mengerti kalau Anda tidak percaya kepada
kami. Zaman sekarang memang banyak penipuan bank”

Laki-laki penyuap segera mengeluarkan uang tunai. Hal ini


dilakukannya semata-mata untuk meyakinkan tokoh saya bahwa
tawarannya bukanlah sebuah tipuan, dan mengubah keyakinan tokoh saya
agar menjadikan peserta lukis daerahnya sebagai pemenang. Namun, saat
laki-laki penyuap menyodorkan uang suap kepada tokoh saya, tokoh saya
takut menerima uang itu. Ia takut ada kamera wartawan yang merekam
kegiatan antara tokoh saya dengan laki-laki penyuap. Tokoh saya tergiur
dengan amplop sogokan laki-laki penyuap, namun ia takut terciduk KPK
kemudian dipenjara sebagai koruptor. Hal ini dibuktikan dalam kutipan
berikut.

“Saya gelagapan. Apalagi kemudian dia mengeluarkan


sebuah amplop. Nampak besar dan padat.
“Kami tidak siap dengan uang tunai sebanyak itu. Tapi
kebetulan kami membawa sejumlah uang kecil yang akan
kami pakai sebagai uang muka pembelian mobil. Silakan
ambil ini sebagai tanda jadi, untuk menunjukkan bahwa kami
serius memperjuangkan kemanusiaan.” Dia mengulurkan
uang itu. Kalau pada waktu itu ada wartawan yang
menjepret, saya sudah pasti akan diseret oleh KPK, lalu
diberi seragam koruptor. Saya tak berani bergerak, walau
pun perasaan ingin tahu saya menggebu-gebu, berapa kira-
kira uang di dalam amplop itu.“Silakan.”

Sesaat setelah laki-laki penyuap memberikan amplop berisi uang


suap, tokoh saya terbatuk. Batuk itu merupakan reaksi tokoh saya yang
sedang kebingungan. Laki-laki penyuap menganggap batuk tokoh saya
sebagai sebuah arti, yakni penolakan. Karena demikian, laki-laki penyuap
itu mengeluarkan sebuah amplop yang lain. Hal ini dibuktikan dalam
kutipan berikut ini.

13
“Tiba-tiba saya batuk. Itu reaksi yang paling gampang kalau
sedang kebingungan. Tetapi batuk saya yang tak sengaja itu sudah
berarti lain pada tamu itu. Dia merasa itu sebagai semacam
penolakan. Dia merogoh lagi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah
amplop yang lain.”

Dari kutipan di atas, sebenarnya batuk tokoh saya merupakan


ekspresi kebingungan. Namun, hal itu tidak dipahami oleh laki-laki
penyuap itu. Laki-laki penyuap malah mengartikan sebaliknya. Dia
menganggap kalau batuk bapak juri merupakan penolakan karena uang
yang ditawarkan dirasa kurang. Kemudian dia mengeluarkan amplop
serupa yang lain. Anak tokoh saya yang bernama Ade seakan mengetahui
apa yang dilakukan bapaknya dan dia seakan ingin memberitahu kalau ia
juga menolaknya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.

“Saya memberi isyarat untuk menolak. Tapi orang itu terlalu


sibuk, mungkin sengaja tidak mau memberi saya kesempatan.
Waktu itu anak saya yang baru berusia 4 tahun berlari dari
dalam. Dia memeluk saya. Saya cepat menangkapnya. Tapi
sebelum tertangkap, anak itu mengubah tujuannya. Dia
mengelak dan kemudian mengambil kedua amplop yang
menggeletak di atas meja.
“Ade, jangan!”
Tapi amplop itu sudah dilarikan keluar.

Segenap tenaga, tokoh saya mencari uang suap dalam kolam yang
menjijikkan. Namun, uang suap itu belum juga ditemukan. Menghilangkan
uang suap tersebut menandakan bahwa dia menerima tawaran laki-laki itu.
Ia terus mencari amplop tersebut. Ia baru berhenti mencari ketika sang istri
memanggilnya dan memberitahukan bahwa laki-laki itu akan pulang.
Tidak ditemukannya amplop membuat tokoh saya merasa bersalah dan
bingung harus berbuat apa. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut.

14
“Dengan berapi-api saya terus mencari. Kalau kedua amplop itu
lenyap, berarti saya sudah makan suap. Hampir setengah jam
saya menggapai-gapai menyelusuri setiap lekuk dasar kolam.
Tak seorang pun yang menolong. Semua hanya memperhatikan
kelakuan saya. Saya juga tidak bisa menjelaskan, bahaya. Hari
gini, siapa yang tidak perlu uang?
Ketika istri saya muncul dan berteriak memanggil baru saya
berhenti.
.....

Dari kutipan di atas, tokoh saya merasa bodoh atas semua tindakan
yang ia lakukan. Ketika berhadapan dengan penyuap itu, ia hanya bisa
diam tanpa kepastian. Diamnya diartikan sebaliknya oleh penyuap itu,
laki-laki penyuap mengartikan bahwa tokoh saya menginginkan uang itu.
Kondisi ekonomi-sosial yang membuat penyuap itu semakin yakin. Tiba-
tiba seorang anak tetangga menemukan amplop tersebut dan
mengembalikannya kepada tokoh saya. Kutipan tersebut dijelaskan di
bawah ini.

“Seorang anak tetangga, teman main anak saya mengacungkan


kedua amplop itu. Badannya kuyup penuh kotoran. Rupanya dia
nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak
rela Ade saya strap.
“Terimakasih!” kata saya menyambut kedua amplop itu, sambil
kemudian memberikan uang untuk persen.
“Limapuluh ribu?” teriak istri saya memprotes.
Lalu ia mengganti uang itu dan menggantikannya dengan tiga
lembar uang ribuan.
“Masak ngasih anak limapuluh ribu, yang bener aja!”

Tokoh saya menunggu laki-laki penyuap itu datang kembali, ia


berniat untuk mengembalikan suap tersebut dan tetap pada pendiriannya,
yakni menolak suapan laki-laki itu. Hal ini dibuktikan dengan kutipan
berikut.

15
“Tapi sepuluh hari berlalu. Orang itu tidak muncul-muncul juga.
Lomba pun memasuki saat penentuan. Melalui perdebatan yang
sangat sengit, akhirnya dicapai kata sepakat. Dengan sangat
mengejutkan pemenangnya adalah calon yang dimintakan
dukungan oleh penyuap daerah itu.
Terus-terang saya termasuk yang ikut memberikan suara pada
kemenangan tersebut. Bukan karena suap. Jagoan daerah itu
memang berhak mendapatkannya. Bahkan juara kedua apalagi
ketiga masih jauh di bawahnya. Kemenangan itu dinilai wajar
oleh semua orang. Diterima baik oleh masyarakat. Sama sekali
tidak ada suara-suara kontra.
Satu bulan berlalu. Lomba itu sudah menjadi lampau. Saya pun
memperoleh jarak yang cukup untuk menyiapkan perasaan
menghadapi kedua amplop itu. Meski sudah saya sembunyikan
dengan begitu rapih, tapi kalau lagi sepi, kadang-kadang
amplop itu saya bawa ke tempat sunyi di depan rumah dan
timang-timang.

Dari kutipan di atas, tokoh saya telah memilih peserta tersebut


bukan karena ia disuap. Hari demi hari, tokoh saya menunggu kedatangan
penyuap itu hingga ia merasa kelelahan menunggunya. Karena lelah
menunggu, ia berniat untuk menggunakan uang suap itu untuk mengubah
kehidupan keluarganya. Setidaknya untuk masa depan anak-anaknya. Niat
hanyalah niat, ia masih mempertimbangkan untuk tetap menggunakan
uang itu atau tidak.
Pada bulan selanjutnya, ia memutuskan untuk mempergunakan
uang suap itu dan memberitahukan kepada istri dan anak-anaknya. Tokoh
saya melihat anak dan istrinya yang tidak setuju dengan pendapatnya,
menjadikan ia merasa bersalah melakukan tindakan itu. Ketika berkumpul
membahas uang suap, istri dan anaknya-anaknya meninggalkan tokoh
saya seorang diri di ruang tersebut. Salah satu anaknya menunjuk amplop
uang itu seolah mengisyaratkan sesuatu. Tokoh saya merasa aneh dengan
tingkah anaknya dan mencoba untuk mencari tahu apa maksud anaknya
itu. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

16
“Tiba-tiba terpikir sesuatu. Kenapa anak saya tadi menunjuk ke
amplop. Apa maksudnya? Apa itu sebuah peringatan? Saya
menatap amplop yang menjadi bersih karena sering saya belai
itu. Tiba-tiba saya terperanjat. Di satu sisinya ternyata ada
belahan. Dari situ nampak terbayang isinya.
Tangan saya gemetar. Saya sambar amplop itu dan intip isinya.
Kemudian dengan bernafsu, barang yang sempay saya
berhalakan itu saya kupas. Darah saya seperti muncrat keluar
semua ketika menemukan di dalamnya bukan uang tetapi hanya
tumpukan kertas-kertas putih.
Dengan kalap saya terkam bungkusan kedua dan preteli. Sama
saja. Isinya juga hanya kertas. Di situ mata saya mulai gelap.
Ini pasti perbuatan tetangga jahanam itu. Dia temukan amplop
itu, lalu gantikan isinya, baru dia suruh anaknya supaya
menyerahkan kepada saya. Bangsat. Kalau tidak begitu,
bagaimana mungkin dia bisa meningkatduakan rumahnya dan
membeli motor? Saya S2 dia SMP saja tidak tamat.”

Uang suap itu diganti menjadi tumpukan kertas yang telah


digabungkan dalam amplop. Uang yang asli hanya terdapat pada sisi atas
dan bawah seakan hanya untuk meyakinkan itu benar tumpukan uang.
Uang suap itu telah digunakan tetangganya untuk membetulkan dan
mempercantik rumah serta untuk membeli motor. Hal tersebut membuat
tokoh saya menjadi geram. Bukan ia yang mendapat hasil dari penyuap
itu, justru tetangganya yang merasakan kenikmatan uang tersebut.
Kehidupan keluarganya masih tetap saja. Akhirnya ia mendatangi rumah
tetangganya itu dan memaki-maki di depan rumahnya. Berikut kutipannya.

“Dengan gelap jelalatan karena geram saya keluar rumah. Jelas


sekali sekarang. Mungkin ketika anak saya lari-lari berkejar-
kejaran dengan Ade, kedua amplop itu sudah direbut oleh
tetangga. Setelah tahu isinya, mereka langsung ganti. Dan ketika
saya mencebur ke dalam kolam mereka punya kesempatan untuk
memeriksa isinya dan mengganti. Itu kejahatan. Manusia
sekarang sudah rusak moralnya karena uang. Tidak ada lagi
perasaan persaudaraan, menjarah, merampok uang orang lain
sudah jadi semacam kiat dan keberanian.

17
Faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya Hegemoni dalam cerpen ini adalah:
1. Perbedaan kekuasaan
Perbedaan kekuasaan membuat si penyuap merasa paling benar berkuasa. Si
penyuap tersebut mengganggap bahwa uang segalanya, uang dapat
melumpuhkan hati nurani.
2. Kondisi ekonomi
Kondisi ekonomi tokoh saya menjadikannya seseorang yang lemah. Ia
menganggap bahwa dengan uang suap tersebut ia dapat memperbaiki
kesejahteraan keluarganya. Namun, hati nuraninya lebih besar dari sekadar
uang.
3. Status sosial
Tokoh saya tersebut hanya sebagai juri, sedangkan calon peserta lukis
internasional adalah seseorang yang berpengaruh di daerahnya.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori Hegemoni memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
perkembangan sosiologi sastra. Secara literal hegemoni berarti
kepemimpinan. Lebih sering kata itu digunakan oleh para komentator politik
untuk menunjuk pada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci konsep
hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks yang sekaligus bersifat
ekonomik dan etis-politis. Pertama, hegemoni tidak memutarbalikkan model
basis-superstruktur tradisional Marxis, melainkan menafsirkan kembali
berdasarkan paham Crocean. Kedua, Hegemoni melihat negara sebagai
sesuatu yang abadi tak punya konteks historis, mentransendenkan masyarakat
sebagai kolektivitas yang ideal. Ketiga, dalam konsep hegemoni dikenal
adanya skematisasi pemilihan intelektual ke dalam intelektual organis dan
intelektual tradisional.
Ada tiga fase untuk menjadi kelas hegemonik, yaitu: fase ekonomik,
fase politik, dan fase hegemoni. Fase ekonomik atau fase negatif, yaitu
wilayah materialistik, wilayah keniscayaan, sesuatu yang tidak terelakkan
manusia. Fase pertama ini, merupakan suatu momen ekonomik yang
menimbulkan kesadaran satu kelas akan adanya hegemoni politik. Fase
kedua, yaitu hubungan kekuatan-kekuatan politik yang memungkinkan
identifikasi berbagai tingkat homogenitas dan kesadaran politik yang dicapai
oleh kelompok yang secara potensial hegemonik. Fase ketiga adalah fase
hegemoni atau fase positif, yaitu wilayah kebebasan, suatu proses kreasi
pandangan dunia baru yang memperlengkapi massa dengan kategori-kategori
pikiran, perilaku, dalam proses penciptaan satu pandangan dunia baru / world
view. Fase positif disebut juga fase hegemoni ideologis.
Di Indonesia pada zaman dulu sastra merupakan kehidupan intelektual
yang hanya dinikmati oleh segelintir oang dikalangan istana. Keterbatasan
akses masyarakat terhadap karya sastra sangat tergantung pada birokrasi yang
mendefinisikan kebudayaan yang ada di masyarakat. Berikut merupakan

19
hegemoni yang terjadi di Indonesia: Kolonial Belanda, Kolonial Jepang,
zaman kemerdekaan, era orde lama, orde baru, dan orde revormasi.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya Hegemoni dalam cerpen
ini adalah: Perbedaan kekuasaan, membuat si penyuap merasa paling benar
berkuasa. Si penyuap tersebut mengganggap bahwa uang segalanya, uang
dapat melumpuhkan hati nurani. Kondisi ekonomi tokoh saya menjadikannya
seseorang yang lemah. Ia menganggap bahwa dengan uang suap tersebut ia
dapat memperbaiki kesejahteraan keluarganya. Namun, hati nuraninya lebih
besar dari sekadar uang. Status sosial, tokoh saya tersebut hanya sebagai juri,
sedangkan calon peserta lukis internasional adalah seseorang yang
berpengaruh di daerahnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rosyidi, M. Ikhwan dkk. 2010. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal. Malang:


UMM Press

Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra
Darwati.

http://nfitrianipit.blogspot.com/2015/07/bentuk-hegemoni-dalam-cerita-
pendek.html (diakses pada 6 November 2018)

21
LAMPIRAN

Sinopsis “Suap”

Cerita pendek ini mengisahkan tentang kehidupan keluarga seniman yang


sederhana. Suatu hari dia didatangi seseorang yang mengaku sebagai utusan dari
salah satu peserta yang akan mengikuti lomba lukis internasional. Orang tersebut
berniat untuk menyuap Bapak itu karena dia adalah satu satu juri. Berbagai cara
telah dilakukan penyuap itu supaya orang tersebut menyetujui dan berhasil disuap.
Ada rasa keinginan untuk mengambil uang tersebut karena untuk mengubah
keluarganya dari kehidupan miskin yang selalu menyelimuti. Namun, naluri
batinnya terlalu kuat. Ia masih ragu-ragu untuk menerimanya.
Suatu masih membicarakan hal tersebut bersama penyuap itu, anaknya
yang bernama Ade mendekat dan mengambil amplop yang berisikan uang itu
kemudian ia lari keluar rumah sambil membawa uang itu. Bapak dan anak pun
akhirnya kejar-kejaran di luar rumah. Ade malah membuang amplop itu ke dalam
kolam. Bapak itu pun geram karena tidak mau dianggap sebagai menerima suap.
Ia akhirnya mencari amplop itu di dalam kolam. Namun ia tak menemukannya.
Beberapa jam kemudian anak tetangga menemukan amplop itu dan
mengembalikannya.
Beberapa hari, minggu, bulan, Bapak itu menunggu kedatangan lelaki
misterius tersebut. Sampai akhirnya pada bulan ketiga ia memutuskan untuk
menggunakan uang tersebut dan membicarakan pada keluarganya. Tanpa sadar,
ternyata amplop tersebut bukan berisikan uang melainkan kumpulan koran yang
telah dibentuk layaknya gepokan uang. Bapak tersebut baru menyadari kalau
tetangga yang menemukan amplopnya telah menggantikannya dengan koran
tersebut. Bapak pun marah dan berniat menghancurkan rumah tetangganya yang
telah direnovasi menggunakan uang suap itu, tapi naas tokoh bapak keburu dihajar
massa oleh tetangganya.

22

Anda mungkin juga menyukai