Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

2.1 PEMBAHASAN
1. Struktur Novel Manusia Langit Karya J.A. Sonjaya
Terbentuknya karya sastra novel tidak lepas dari struktur pembangunnya.
Struktur karya sastra juga menyaran pada hubungan antar unsur (intrinsik) yang
bersifat timbal balik, saling mempengaruhi secara bersama membentuk satu kesatuan
yang utuh. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan
yang menekankan pada kajian antar pembangun yang bersangkutan (Nurgiyantoro,
1994: 36). Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum menerapkan
analisis yang lain. Tanpa analisis struktural, kebulatan makna intrinsik dalam suatu
karya sastra tidak dapat ditangkap. Unsur intrinsik menurut Nurgiyantoro (1994: 23)
meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan,
dan bahasa atau gaya bahasa. Unsur intrinsiknya terdiri dari tema, tokoh dan
penokohan, alur atau plot, latar.
a) Tema
Tema adalah gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut
persamaan–persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, dalam
Nurgiyantoro, 1994: 68). Tema merupakan suatu gagasan sentral, suatu yang hendak
di perjuangkan dalam tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan
sentral yang menjadi dasar tolak penyusunan karangan dan sekaligus menjadi sasaran
dari karangan tersebut.
NO STRUKTUR ISI KUTIPAN
a. TEMA Perjuangan hidup “Setelah tidak mendapat jawaban,
demi meraih Cita- akhirnya aku membiarkan tubuhku
cita dan Cinta tergeletak dipasir. Mataku
menerawang ke angkasa. Pikiranku
menerawang ke masa lalu. Aku
berusaha menimbang dan mencari alas
an untuk tetap hidup.” (Hal.63)

“Setelah semalaman menimbang hidup


di Parangtritis, akhirnya aku
memutuskan untuk mencoba
melupakan semua dengan menempuh
kehidupan lain.” (Hal.65)

“Aku memilih melibatkan diri dalam


bidang pendidikan, karena, bagiku,
membangun Nias bukan sekedar
membangun fisik, tetapi yang jauh
lebih penting adalah membangun
manusianya” (Hal.71)

b) Tokoh dan Penokohan


Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif
atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang di ekspresikan dalam ucapan apa yang di
lakukan dalam tindakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994: 169). Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang kemunculanya lebih sedikit dan kehadiranya hanya jika
ada keterkaitanya dengan tokoh utama secara langsung (Nurgiyantoro, 1994:176)
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku yang
memerankan berbagai peristiwa dalam suatu cerita. Penokohan adalah gambaran
orang yang berperan dalam sebuah cerita yang mempunyai keadaan berbeda-beda
yang di lukiskan secara lahir dan batin.
STRUKTUR ISI KUTIPAN
b. Tokoh dan - Mahendra
Penokohan - Lemah - “Aku memutuskan untuk
mengakhiri semua ini di Pantai”
(Hal.63)
- “Berkali-kali aku menenggelamkan
diri, namun berkali-kali pula aku
terapung dan terempas ke pasir.”
(Hal.63)

- Bijaksana - “Setelah semalaman menimbang


hidup di Parangtritis, akhirnya aku
memutuskan untuk mencoba
melupakan semua dengan
menempuh kehidupan lain.”
(Hal.65)
- “Aku memilih melibatkan diri
dalam bidang pendidikan, karena,
bagiku, membangun Nias bukan
sekedar membangun fisik, tetapi
yang jauh lebih penting adalah
membangun manusianya” (Hal.71)

- Peduli - “Padahal Aku rela meninggalkan


kehidupanku di Universitas demi
Yasmin, tapi kenapa yasmin tidak
Mengetahui perasaan dan
keinginanku.” (Hal.64)
- “Andai ia ada di hadapanku, aku
ingin sekali memeluknya dan
mengatakan bahwa aku mau
bertanggung jawab atas jabang
bayi yang dikandungnya. Aku tidak
ingin membiarkannya menderita
dan menanggung sendirian.”
(Hal.63)

- Yasmin
- Kuat/Tegar - “Karena aku tidak mau jadi
pedagang seperti leluhurku, aku
tidak mau kuliah di
ekonomi.”(Hal.46)
- “Mas, aq skrg lg ngandung anak
qt. aq tdk mau ganggu hidup mas
yang sdh bgt mapan. Jd, utk yang 1
ini biar aq yg nanngung sendiri.
Tlg jgn cari aq.”(Hal.62)

- Jujur - “Sekarang mas sudah tahu siapa


yasmin,” ucapnya lirih.” Tubuh
yasmin sudah Kotor Begini, Mas,
beginilah Yasmin.”(Hal.61)
- Sayani
- Pemberani - “Kenapa para pemabuk itu
kelihatan hormat kepadamu dan tak
berani lagi kepadaku.”(Hal.73)
- “Mereka berbicara kepada Sayani
dalam bahasa Nias dengan nada
penuh emosi.”(Hal.4)

- Tempramen - “Tiba-tiba Sayani bangkit dari


tempat duduknya lalu berjalan
menuju pintu. Ia berjaln keluar
menembus kegelapan malam.”
(Hal.25)
- “Tadi malam aku memang marah,
tapi sekarang tidak lagi.” (Hal.27)

- Ama Budi
- Baik - “Lalu disiarkanlah kabar jika
keluarga Ama Budi Hia hendak
menyelenggarakan pesta
pengukuhan anak Angkatnya,
Mahendra Hia”(Hal.126)
- “Ama Budi, meski tidak
mengenyam bangku pendidikan,
sangat memhami bahwa ia
memperlakukan aku sebagai pihak
yang memiliki gerak untuk menjadi
diriku sendiri karena sesungguhnya
aku tidak bias benar-benar menjadi
orang Nias.” (Hal.128)
- Bijaksana - “Di balik rasa kecewa, ada rasa
kagum dalam diriku terhadap sikap
Ama Budi yang tampak Njawani”
(Hal.127)
- “Ama Budi, meski tidak
mengenyam bangku pendidikan,
sangat memhami bahwa ia
memperlakukan aku sebagai pihak
yang memiliki gerak untuk menjadi
diriku sendiri…..,” (Hal.128)

- Saita
- Tekun/Giat - “Saita, meski usianya sudah
terlambat, atas anjuranku akhirnya
mau mendaftar menjadi siswi kelas
satu SMP”. (Hal.133)
- “Terakhir mataku tertuju kepada
Saita. Ia selalu masuk terakhir
untuk menghindari tertabrak
teman-temannya.” (Hal.136)
- “Sepulang sekolah, Saita
membantu keluarga Ama Budi di
rumah dan di lading. Berangkat ke
lading siang puylang sore, lalu
malam mencuci perabot keluarga
Ama Budi.” (Hal.136)

- Patuh - “,Keberadaan Saita sebagai


“Pembantu” di rumah Ama Budi
karena Orang tua Saita mempunyai
utang adat kepada Ama Budi.”
- “Berhubung orang tua Saita tidak
sanggup membayar, ia merelakan
anak bungsunya bekerja keras
untuk keluarga Ama Budi.”
(Hal.137)
- “Ketika pulang, laju jalan para
perempuan ini tak secepat saat
berangkat karena saat pulang
mereka membawa beban yang
sangat berat.”
- “aku melihat saita berjalan lebih
lambat ketimbang yang lain.
Ibunya bahkan juga terlah
meninggalkannya jauh di belakang.

- Kali ini ia beristirahat lebih lama.
Ketika hendak menaruh kembali
karung diatas kepalanya, ia tidak
kuat lagi dan hamper terjatuh.”
(Hal.150)

- Pemberani - “Aku menoleh kea rah suara itu.


Tiba-tiba aku melihat Saita berlari
mengejarku. Ia memelukku erat-
erat.” (Hal.165)
c) Alur atau Plot
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1994: 113) plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang
lain. Dalam pengertian ini, alur merupakan jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa
yang tidak putus-putus membentuk satu kesatuan cerita yang dapat dinikmati oleh
pembacanya.
Berdasarkan urutan kelompok kejadian ada empat macam sebagai berikut: (1)
Alur buka, yaitu situasi mulai membentang sebagai suatu kondisi permulaan yang
akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya, (2) Alur tengah, kondisi sudah mulai
bergerak dan bergerak ke kondisi yang mulai memuncak, (3) Alur puncak, yaitu
kondisi mencapai titik puncak sebagai klimak peristiwa, (4) Alur tutup yaitu kondisi
memuncak sebelum mulai menampakan pemecahan dan penyelesaian.
Adapun alur (plot) berdasarkan fungsinya ada dua macam, yaitu: (1) alur
utama, (2) alur sampingan. Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, sedang
alur sampingan adalah alur yang merupakan bingkai cerita: segala peristiwa kecil-
kecil yang melingkari peristiwa-peristiwa pokok yang membangun cerita, atau sering
pula alur sampingan ini merupakan cerita yang berada dalam cerita induk.
Dari uraian di atas penulis membuat kesimpulan bahwa alur (plot) adalah
urutan peristiwa di dalam sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai salah satu dari
pembangunan karya sastra itu sendiri, sehingga terbentuklah sebuah cerita.

NO STRUKTUR ISI KUTIPAN


c. Alur atau Plot - Tahap - “Entah kenapa Tanganku tergerak
Munculnya unutk meraih dan mengusap tangan
Konflik Yasmin peln.aku tadinya sempat
berfikir bahwa hanya perempuan
nakal yang mau datang dan betah
di tempat biliar yang dipenuhi asap
rokok dan beragam minuman
beralkohol. Apalgi Rizal telah
mengingatkanku untuk berhati-hati
berhubungan dengan Yasmin.
Mendengar pen jelasan Yasmin,
prasangka burukku tertang Yasmin
mulai berubah.” (Hal.47)
- “Seiring berganti hari, rasa suka
perlahan-lahan merasuki hati dan
menjalar di sekujur tubuhku. Aku
mulai tidak bias
berhentimemikirkan Yasmin.
Pikiranku, lebih dari separuh, habis
untuk Yasmin. Yang separuh lagi
terbagi untuk berpikir menyiapkan
kuliah, membuat proposal, dan
menulis laporan penelitian. Dengan
begitu, dapat dikatakan bahwa
Yasmin jauh lebih penting
ketimbang pekerjaan. Ini sungguh
Aneh buat aku yang dikenl gila
kerja di antara teman-temanku.”
(Hal.49)
- “Yasmin, setelah setahun kita
sering bersama dan bicara, apakah
itu tidak berarti buat Yasmin?
Tanyaku pelan sambil menarik
tangan Yasmin agar lebih dekat ke
tubuhku.”Apakah Yasmin tidak
menyadari bahwa kita saling
suka?” (Hal.51)

- Tahap - “Mas, aq skrg lg ngandung anak


peningkatan qt. aq tdk mau ganggu hidup mas
Konflik yang sdh bgt mapan. Jd, utk yang 1
ini biar aq yg nanngung sendiri.
Tlg jgn cari aq.”(Hal.62)
- “Ketika nyaris putus asa mencari,
tiba-tiba aku mendapat kabar dari
seorang mahasiswa tentang
penemuan sosok perempuan yang
terbujur kaku di sebuah kamar
hotel di pusat kota Yogya.”
- Aku benar-benar merasa Hancur.
Rasanya aku tidak bisa lagi
menerima kenyataan ini. Kuambil
sepeda motor, lalu memacu gas
menuju pantai.”
- “Ini sangat konyol. Tapi, bagi
sebagian orang yang sedang patah
hari barangkali bisa sedikit
memahami. Aku memutuskan
untuk mengakhiri semua ini di
pantai. Namun, laut Selatan
tampaknya tak tertarik pada
nyawaku. Berkali-kali aku
menenggelamkan diri, namun
berkali-kli pula aku terapung dan
terempas ke pasir.” (Hal.63)

- Tahap Puncak - “Setelah semalaman menimbang


Konflik hidup di Parangtritis, akhirnya aku
memutuskan untuk mencoba
melupakan semua dengan
menempuh kehidupan lain. Aku
memutuskan untuk meniggalkan
kampus yang telah membentukku
selama hampir tujuh tahun. Aku
meninggalkan kampus bukan
semata-mata karena bosan di
universitas, melainkan lebih karena
aku merasa tidak pantas hidup di
universitas yang harusnya berisi
orang-orang terhormat. Setelah
semua kejadian ini, aku tidak
mungkin bisa menjalani kehiupan
di kampus karena semua orang
pasti akan tahu bahwa Yasmin
meninggal dalam kondisi
mengandung anakku.” (hal.65)
- “Kaki Saita yang sedikit pincang
tang mengurangi sedikit pun daya
tariknya. Tapi, memperhatikan
anak gadis di Banuaha tentu
berbeda dengan di Yogya atau kota
lain. DI Banuaha gaids tidak boleh
ditatap dan disentuh. Siapapun
yang berani bisa terkena dena.
Sehingga perhatian itu hanya bisa
dibatin saja, tidak sampai terucap.”
(Hal.136)
- “Semula aku merasakan kasihan
kepada Saita, tapi lama-kelamaan
muncul rasa suka ketika aku bisa
menatap dan membayangkan
wajahnya. Barangkali inilah salah
satu jalan melupakan Yasmin yang
selalu menggangu pikiranku;salah
satu cara mengembalikan jiwaku
yang telah lama pergi.”
- “Meski tidak pernah terucap, aku
merasa yakin Saita mengerti bahwa
aku suka kepadanya. Sayang sekali,
adat Nias tidak memberi
keleluasaan kepada anak muda
untuk memilih pasangan dan
mengungkapkan secara terang-
terangan. Memilih jodoh adalah
hak dan pekerjaan orang tua. Anak-
anak tinggal menerima saja apa pun
keputusannya. Jika orang tua
menaksir seseorang perempuan
untuk menjadi calon istri anak
lelakinya, ia akan minta seseorang
untuk memata-matai perempuan
tersebut.” (Hal.137)
- “Aku sedang belajar mencintai
gadis desa dengan cara pemuda
desa. Meski aku mengetahui bahwa
aku tidak akan sanggup membayar
mas kawin untuk Saita, mencintai
Saita dengan batas adat yang tegas
telah memberi rasa tersendiri, rasa
yang menggebu-gebu, rasa yang
membuat hidup ini terasa lebih
hidup. Aku jatuh cinta lagi untuk
kedua kalinya.” (Hal.138)
- “Di sebuah sungai kecil, aku
menyeberang lebih dulu dan
meletakkan karung beras di atas
sebuah batu. Aku kembali
menyeberangi sungai menghampiri
Saita yang kesulitan menuruni
tebing sungai. Aku secara sepihak
meraih tangan Saita menuntunnya
menuruni tebing lalu mempahnya
menyeberangi sungai. Saita tampak
malu, tapi tidak menolak
papahanku. Di seberang sungai,
tubuh kami begitu dekat. Aku
sudah lupa diri bahwa aku sedang
berada di lingkungan yang masih
kuat memegang adat. Kedua
tanganku dipakai mengangkat
kepala Saita agar matanya
mengarah pada tatapanku.” Saita,
Tahukah jika abang menyukai
Kamu?”
- “Saita menggeleng. Aku sungguh
senang sekali mendapat respons
Saita seprti itu. Untuk
melampiaskan perasaanku, aku
mencium kening Saita
lembut.”Sauhagolo, Saita!”
Suaraku nyaris tak terdengar”
- “Sepanjang perjalanan, banyak
mata memperhatikan kami berdua.
Aku tak peduli. Selain memang
ingin bersama Saita, aku pun tak
tahan lagi melihat kesulitan Saita
diperjalanan dengan 25 kg beras di
kepalanya.”
- “Menjelang gelap, kami sampai di
rumah Saita yang hanya terselang
beberapa rumah dari rumah Ama
Budi. Aku menjatuhkan karung itu
dihalaman rumah Saita. Disana
sudah ada beberapa anggota
keluarga, termasuk kedua orang
tuanya yang sudah sampai terlebih
dahulu ke rumah. Aku hanya
menatap sebentar tanpa berkata-
kata apa-apa. Mereka pun tampk
bengong dan bungkam seribu
bahasa.” (Hal.152)
- “HENDRA,Aine, dicari Ama
Saita!” Ama Budi memanggilku
dari ruang depan.”
- “Ada apa. Ama?”
- “Dia mau minta keteranganmu
tentang kejadian tadi siang, tentang
kamu dan saita.”
- “Jntungku berdegup kencang.
Benar seperti kekhawatiran Ama
Budi, perbuatanku telah menuai
petaka. Perbuatanku ternyata ada
yang mengamati.”
- Aku di anggap melanggar dua
pasal. Pertama, aku mencium Saita.
Kedua, aku telah berjalan berduaan
dengan anak gadis tanpa ikatan
apapun. Aneh bukan? Setelah
membantu mengangkat beras
bukannya mendapatkan tanda
terimakasih, malah disuruh bayar
dena. Anak-anak babi yang baru
saja aku beli untuk pesta
pengukuhan namaku kelak terpaksa
harus aku ikhlaskan untuk
membayar denda itu. Tapi, bukan
itu yang membuat aku sakit hati.
Aku sungguh merasa terpukul
ketika mengetahui Saita akan
menjadi milik lelaki lain.”
(Hal.160)
- “Bang Hendra!”. Aku menoleh kea
rah suara itu. Tiba-tiba aku melihat
Saita berlari mengejarku. Ia
memelukku erat-erat. Semua orang
tertegun dan terpukau melihat
adegan itu. Aku menatap sekeliling
dan tidak berani membalas pelukan
Saita.”
- “Aku baru tersadar ketika pukulan
dan tendangn menghantamku. Lalu
aku sepontan melarikan diri ketika
sebuah pisau mengarah ke dadaku.”
(Hal.165)

- Tahap - “Jadi yang memeluk duluan Saita?”


Menurunya Tanya Ama Budi,” dan Nak
Konflik Hendra waktu dipeluk Saita diam
saja kan?” lanjut Ama Budi ingin
memastikan. Sayani mengiyakan
dengan anggukann. “bang Hendra
malah mengkat tangannya agar
tangannya tidak menyentuh Saita.”
- “Jika begitu, kita tenang karena
kesalahan bukan sepenuhnya
dipihak kita,”kata Ama Budi.”
(Hal.167)

- Tahap - “Meski belum terbesit keinginan


penyelesaian pulang ke Yogya, namun aku
Konflik terpaksa memutuskan untuk
meningalkan Banuaha. Aku tidak
mau pertikaian anatkeluarga terus
berlarut-larut gara-gara aku. Meski
mereka menyatakan berani mati
untukku, namun ongkos itu
menurutku terlalu mahal.
Keberadaanku di Banuaha berkali-
kali-kali menimbulkan masalah.
Aku tak mau lagi keluarga yang
kutinggali turut menanggung akibat
buruk dari keberadaanku.” (Hal.
170)
d) Latar (setting)
Abrams (1981: 175 dalam Nurgiyantoro, 1994: 216) menyatakan bahwa latar
atau setting disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang
diceritakan. Sedangkan Nurgiyantoro (1994: 227) membedakan unsur latar ke dalam
3 unsur pokok yaitu:
1. Latar tempat (menyaran pada “lokasi” terjadinya peristiwa yang di
ceritakan dalam sebuah karya fiksi, misal desa, sungai.
2. Latar waktu (menyaran pada “kapan” terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi misal jam, tahun.
3. Latar sosial (menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan social dimasyarakat di suatu tempat yang di ceritakan dalam
karya fiksi misal kebebasan hidup).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah landasan
tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

NO STRUKTUR ISI KUTIPAN


d. Latar (Setting) - Latar Tempat - “Aku dan Sayani telah 37 Hari
menggali di wilayah Kampung
Banuaha. Sebulan pertama aku
menggali di Gua Alui Gampo
dan berhasil menemukan
perkakas berburu seperti mata
panah dan kapak batu.” (Hal.4)
- “iya, ini ladang milik keluarga.
Kedua bapak itu ini adalah
keluarga pak Laiya. Mereka
belum tahu. Tapi sudah ku
jelaskan.” (Hal.5)
- “Aku dan Sayani langsung
menaiki tangga masuk ke dalam
rumah. Seluruh tiang dan
dinding rumah itu terbuat dari
kayu dan atapnya terbuat dari
daun rumbia yang dianyam
berlapis.” (Hal.14)
- “Ruang kelas 202 siang itu riuh.
Para mahasiswa saling ngotot
memperdebtkan persoalan
perkawinan beda budaya. Tak
sekedar mulutnya yang beraksi,
telunjuknya pun kadang turut
menuding.” (Hal.29)
- “Dua bok gedung kulewati
sebelum akhirnya tiba di kantin.
Aku tidak kesulitan mencari
posisi meja Yasmin di mana
karena kantin fakultas kami tidak
besar.” (Hal.34)
- “Hingga aku memarkirkan
sepeda motorku di halaman
Cineta yang luas, ternyata hatiku
masih belum siap juga.” (Hal.40)
- “Aku membwa Yasmin ke kost
nya di belakang kompleks
Angkatan Udara. Kosannya
terdiri dari belasan kamar yang
ditata membentuk huruf L
dengan dinding yang tinggi
dibagian depan dan sisi utara.”
(Hal.57)
-
- Latar Waktu - “Kulihat Sayani bangkit dari
- Siang Hari kotak galian sambil mengusap
peluh di keningnya. Awan yang
menggantung di langit membuat
panas bumi terperangkap.
Akibatnya suhu di perbukitan itu
menjadi lebih panas dari
biasanya.” (Hal.1)
- Sore/Senja - “Ayo bang, kita harus segera
Hari turun sebelum gelap datang!”
(Hal.11)
- Malam Hari - “Malam sudah larut. Entah jam
berapa. Aku mulai tidak peduli
pada waktu karena jam tidak
terllu penting di kampong yang
masih bersahaja itu, kampong
yang masing memegang teguh
tradisi, kampong yang dihuni
manusia keturunan dari langit.”
(Hal.15)
- Latar Sosial
- Kuno - “karena sering hilang dimakan
roh halus itulah, populasi
Balada akhirnya tidak banyak
dan tidak berkembang, bahkan
punah. Anak-anak bayi mereka
sering hilang dimakan roh jahat.
Cerita itu masih hidup sampai
sekarang. Banyak orang kita
sekarang yang masih
mempercayai roh pemakan bayi
itu.” (Hal.20)
- Teguh dan yakin - “Para mahasiswa saling ngotot
memperdebatkan persoalan
perkawinan beda budaya. Tak
sekedar mulut yang beraksi,
telunjukpun kadang turut
menuding.” (Hal.29)
- Modern - “Negara membatasi populasi
dengan program KB. Negar kita
bahkan membunuh niat warga
Negara untuk memiliki Bayi.”
(Hal.33)
- “Apakah aku pantas masuk ke
tempat seperti ini untuk
menemui seorang perempuan
berjilbab? Aku menimbang.”
(Hal.41)
2. Konflik Sosial dalam Novel Manusia Langit Karya J.A. Sonjaya
Pada subbab pembahasan ini, akan dibahas wujud konflik sosial, penyebab
konflik sosial, dan penyelesaiannya seperti yang telah disajikan dalam tabel
rangkuman pada subbab hasil penelitian di atas. Dalam pembatasan masalah telah
disampaikan bahwa konflik sosial yang akan dibahas adalah konflik social. Dalam
Novel digambarkan jelas beberapa konflik yang di alami oleh tokoh-tokoh Central
seperti Mahendra, Yasmin, Sayani, Ama Budi, dan Saita.

1. Wujud konflik sosial antara Individu dengan individu dalam novel Manusia
Langit karya J. A. Sonjaya
menurut Soekanto (1986: 94), perbedaan orang-perorangan merupakan perbedaan
pendirian dan perasaan yang secara mungkin dapat menyebabkan bentrokan antara orang-
perorangan. Konflik sosial akibat adanya perbedaan orang-perorangan akan dibagi menjadi
beberapa pembagian yang mencakup perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan
antara individu dengan kelompok, dan perbedaan antara kelompok dengan kelompok.
NO STRUKTUR ISI KUTIPAN
1. Konflik Sosial - Individu-individu -
- Bersitegang - “salah satu bapak itu berbicara
kepaa Sayani dalam bahasa Nias
dengan penuh emosi“. (hal.4)
- “Ini semua gara-gara kamu, Bang!”
teriak Sayani histeris.”Aku
mendengar semua percakapanmu
dengan Ama tadi malam!”.
- “selalu saja minta maaf! APa-apa
minta maaf! Apakah Ina akan
kembali dengan mafmu!” Suara
Sayani sangat keras sehingga
perhatian seisi rumah tertuju
kepadanya.”kamu hanya membawa
masalah saka di keluarga ini.”
(Hal.113)

- Bertengkar - “Tiba-tiba Sayani bangkit dari


tempat duduknya llu berjlan
menuju pintu. Ia berjalan keluar
menembus kegelapan malam.”.
(Hal.25)
- “Sari, mahasiswa yang diserang itu,
tak terima.”lihat dulu, jangan
terlalu cepat menyimpulkan, kita
lihat konteksnya,”kilahnya.”
(hal.30)
- “Ama ini selalu saja membela dia!”
teriak Sayani sambil beranjak
pergi.” (Hal.113)

- Individu-kelompok - “Mereka menjabat tanganku terasa


tidak dari hati. Matanya tetap tajam
menghujam, seperti hendak
membunuh keberanianku,
meluluhlantahkan keinginanku
untuk terus melakukn penggalian.
Bibir dan mulutnya yng merah
menegaskn rasa marah.” (Hal.5)
- “WOI, berhenti kalian!” Teriak Pak
Nai Laiya yang tiba-tiba datang
membawa belasan orang. “Ada
apa,Ama? Apa salah kami” Tanya
Sayani. Mereka berdua perang
mulut. Yang lain turut berkomentar
menambah suasana semakin panas.
Beberapa dari mereka ada yang
mengambil cangkul dan tanpa
basa-basi menutup lubang eskafasi
yang sudah dikerjakan hampir dua
bulan.” (Hal.75)
- “Sepanjang perjalanan, banyak
mata yang memperhatikan kami
berdua. Aku tak peduli. Selain
memang ingin bersama Saita, aku
pun sudah tak than lagi melihat
kesulitan Saita di perjlanan dengan
25 kg beras di kepalanya.”
(hal.152)
- “Di sana sudah ada beberapa
anggota keluarga, termasuk kedua
orang tua Saita yang sudah sampai
terlebih dahulu ke rumah. Aku
hanya menatapnya sebentar tanpa
berkata apa-apa. Mereka pun
tampak bengong dan bungkam
seribu bahasa.” (Hal.153)
- ‘Para paman Saita marah sekali.
Belakangan aku mengetahui jika
Saita sedang ditaksir harganya oleh
seorang anak tetua adat dari desa
sebelah. Ia adalah lelaki yang besar
di perantauan, tapi masih terikat
tradisi karena men jadi anak
pertama dari ketua adat. Ia masih
ada hu Bungan darah dengan Pak
Nai Laiya. Mereka mengggap
perbuatanku telah mencemari
kegadisannya.” (Hal.160)
- “Aku tidak mengerti. Kepalaku
mulai linglung karena terkena
pukulan para lelaki perkasa secara
bertubi-tubi.” (Hal.165)
- “Aku menolong orang yang aku
piker pinsan tertabrak motor.
Ternyata ia pemabuk yang
kesenggol ojek. Teman-temannya
marah mengira aku yang
menjatuhkannya.” (Hal.72)
-
- Kelompok- - “Para Mahasiswa saling ngotot
Kelompok memperdebatkan persoalan
perkawainan beda budaya. Tak
sekedar mulutnya yang beraksi,
telunjuknya pun kadang turut
menudign. Sepintas mereka tampak
liar.” (Hal.29)
- “Gerombolan warga menggiringku
dan sayani menuruni lading menuju
kampong. Mereka seperti seang
membawa tawanang perang dengan
golok terhunus. Kami dituduh
menyebarkan cerita bohong dan
menyinggung orang Banuaha.”
(Hal.75)
- “Talifuso sekalian, sore ini kita
telah mendengar permintaan maaf
seorang manusia yang sudah
berusaha hidup di sini dan belajar
budaya kita,” Ama Budi angkat
bicara lagi. “Sesuatu yang jarang
bagi kita, orang minta maaf, mana
ada di sini yang berani minta maaf
di depan umum. Kita selalu
menjunjung harga diri dan kokh
dengan pendapat meski salah.”
(Hal.77)
-

Anda mungkin juga menyukai