Anda di halaman 1dari 4

Wantok

Ichwan Prasetyo
Setiap kali mengetahui kabar orang besar di negeri ini berpulang, saya merasa
sedih. Saya merasa punya pertalian erat dengan sebagian di antara mareka.
Pertalian melalui kekaguman saya pada buku-buku dan esai-esai mereka dan ketika
berkesempatan belajar langsung dari mereka.
Arief Budiman, Rama B. Herry Priyono, S.J., Daniel Dhakidae, dan Radhar Panca
Dahana adalah sebagian dari orang-orang besar yang saya maksud. Ketika mereka
berpulang saya merasa kehilangan salah satu simpul kebudayaan, simpul penjaga
dan penguat keluhuran budi bangsa ini.
Ketika mereka berpulang saya merasa sangat sedih karena kerja-kerja kebudayaan
yang mereka lakukan—sesuai bidang keahlian masing-masing--belum juga
berhasil mendorong bangsa dan negeri ini ke tingkat luhur. Ketika mereka
berpulang tak ada pengganti mereka, sampai hari ini.
Kepulangan budayawan dan sastrawan Radhar Panca Dahana pada dua pekan lalu
mengingatkan saya pada pernyataan—menurut saya—sangat penting yang pernah
dia kemukakan melalui esai-esainya dan pernah dia katakan pula.
Bahwa sekian lama bangsa ini tampak tidak peduli, bisa saja cuma kebetulan tidak
peduli, pada kebudayaan. Perjuangan puluhan tahun menjadikan kebudayaan
sebagai fondasi cara membangun negara, bangsa, dan manusia di dalamnya
hasilnya hampir nihil, bahkan negatif.
Kebudayaan dalam lanskap kebijakan pengelolaan negara di negeri ini masih
dipandang dan diposisikan sebagai objek yang perlu dieksploitasi dan
dimanipulasi. Kebudayaan hanya dianggap sebagai ”beban”. Cuma dianggap
sebagai pos pengeluaran biaya.
Kebudayaan terus-menerus dipojokkan sebagai kaum miskin yang mengemis
kepada penguasa atau pengusaha. Ketika otoritas kebudayaan turun tangan, yang
mengemuka bukan kebijakan berkebudayaan, tapi sekadar kirab, festival, dan
pariwisata. Kini yang ”ngetren” adalah investasi.
Menurut filsuf Jerman, Immanuel Kant, ciri khas kebudayaan terdapat dalam
kemampuan mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah
tempat manusia belajar. Dalam kebudayaan manusia tidak hanya bertanya
bagaimana sifat-sifat sesuatu, tetapi juga bertanya bagaimana sesuatu seharusnya
bersifat.
C.A. van Peursen dalam buku Strategi Kebudayaan (1988) menjelaskan gejala
kebudayaan selalu berlangsung dalam suatu ketegangan. Ketegangan antara
lingkungan fakta-fakta yang mengurung manusia dalam keniscayaan alam di satu
pihak dan keterbukaan yang dicapai oleh penilaian kritis (evaluasi) di lain pihak.
Ini disebut ketegangan antara imanensi (serba terkurung) dan transendensi (yang
mengatasi sesuatu, berdiri di luar sesuatu). Inilah ciri khas kehidupan manusia.
Kehidupan manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan
(imanensi), tetapi selalu juga muncul dari arus alam raya untuk menilai alamnya
sendiri dan mengubahnya (transendensi).
Dalam konteks demikian ini, kebudayaan—dan seni di dalamnya—sesungguhnya
bisa dan terbukti dapat bekerja serta berkambang mandiri. Menurut Radhar Panca
Dahana, pembangunan membutuhkan operator agar bermanfaat maksimal,
terpelihara baik, dan berkembang kapasitasnya.
Operator itu adalah manusia-manusia yang kreatif, produktif, inovatif, jujur,
berkarakter baik, berintegritas. Yang membangun manusia semacam itu tidak lain
adalah kebudayaan dan seni di dalamnya. Hari-hari ini, dan sebenarnya sejak hari-
hari lalu, kita abai terhadap kebudayaan dalam konteks demikian ini.
Kita tak punya kesatuan kata, one talk, wantok dalam urusan kebudayaan. Saya
meminjam kata ”wantok” dari penjelasan Agustinus Wibowo dalam buku Jalan
Panjang untuk Pulang (2020). Wantok adalah kata untuk mendeskripsikan
kekerabatan dalam sistem kesukuan khas bangsa Melanesia di Papua Nugini.
Wantok berasal dari bahasa Inggris one talk—satu bahasa. Secara harfiah kerabat
adalah mereka yang ”bicara bahasa yang sama”, tetapi bisa juga berarti keluarga,
rekan bisnis, atau teman yang sangat baik. Dalam sistem kekerabatan wantok,
seseorang dituntut bisa melakukan apa saja demi melindungi warga wantok-nya,
tanpa meminta balasan apa pun.
Kita butuh spirit wantok ini dalam konteks kebudayaan. Hari-hari ini kita harus
jujur mengaku tak punya wantok dalam urusan kebudayaan. Kebijakan-kebijakan
dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas jamak tanpa kerangka kebudayaan.
Hanya politik yang dominan. Politik yang berkelindan dengan kepentingan
ologarki. Wajar yang mengemuka bukan kepentingan manusia dan kemanusiaan
dalam arti luas, tetapi hanya kepentingan ekonomi ”an sich”, cuma hitungan
untung atau rugi.
Investasi lebih penting daripada pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Logika nirkebudayaan berkesimpulan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat
galak dan tanpa kompromi mengganggu iklim investasi. Karena itulah, lalu
dilemahkan. Biar tak bisa galak tanpa kompromi lagi.
Orang berkebudayaan akan berpikir korupsi, kolusi, dan nepotisme itu penghambat
perkembangan ekonomi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi harus diperkuat.
Ketika warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupate Purworejo memprotes
rencana penambangan batu andesit dengan keyakinan penambangan itu akan
merusak lingkungan, sesungguhnya ini adalah kesadaran berkebudayaan.
Respons aparat keamanan atas protes itu dengan mengemukakan kesimpulan
kelompok Anarko menunggangi warga Desa Bener adalah nalar nirkebudayaan.
Kesimpulan ini jelas menganggap warga Desa Bener tak mampu berdaya, tak
berkebudayaan. Kesimpulan ini juga menganggap pembaca berita sebagai orang-
orang bodoh yang tidak bisa menganalisis fakta. Jelas, ini nalar nikebudayaan saat
mengelola krisis.
Ketika kita selalu silau dengan kemajuan negara lain di segala bidang lalu latah
ingin meniru mentah-mentah, itu juga respons yang nirkebudayaan.
Mengemukanya cita-cita membangun bukit algoritme bagian dari hal demikian.
Fondasi—kebudayaan—keropos kok berangan-angan setinggi langit mau
menyamai ”bangunan” negeri-negeri berkebudayaan ”kelas tinggi”,
Logika-logika demikian inilah yang hari-hari ini melingkupi pengelolaan negeri
ini. Ketiadaan wantok dalam urusan kebudayaan membuat kita keponthal-ponthal.
Saya teringat kesimpulan Rama B. Herry Priyono, S.J. yang dikemukakan dalam
satu kelas khusus filsafat yang saya ikuti di Jakarta beberapa tahun lalu.
Dia mengatakan orang Indonesia akan berdaya di kompetisi global ketika matang
sebagai manusia lokal—berkebudayaan lokal—lalu kukuh sebagai manusia
nasional—berkebudayaan Indonesia.
Manusia yang matang secara lokal dan kemudian kukuh secara nasional tidak akan
terombang-ambing dalam kompetisi global. Hari-hari ini kita malah mengabaikan
kebudayaan lokal dan tak bangga dengan kebudayaan nasional, akibatnya
keponthal-ponthal di tengah samudra global. Seperti busa di hamparan air
samudra.

Anda mungkin juga menyukai