Anda di halaman 1dari 7

Kajian Mandiri Anggi Dewanggarani 170510060024 Tutor : Ade Makmur K, M.Phil, Ph.

D
Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB

Kearifan Lokal di dunia barat disebut sebagai indigineous knowledge. Dalam buku Dinamika Budaya Lokal yang ditulis oleh Kusnaka Adimihardja, Kearifan Lokal dibahasakan sebagai Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL). Walaupun begitu, dasar-dasarnya tetap sama, dasar pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai tradisi dan adapatasinya dengan nilai-nilai dari luar. Sebagai suatu sistem, pengetahuan lokal hidup dan berkembang, serta dipahami terpisah dari hamparan pengetahuan masyarakat yang lebih luas. Padahal SPTL itu pada hakikatnya bersifat universal juga, sebagaimana halnya ilmu pengatahuan modern. Ciri utama SPTL itu bukanlah nilai-nilai keaslian, tetapi lebih menekankan pada aspek lokalitas atau territorial tertentu baik yang didukung sistem pengetahuan yang bersifat asli maupun yang telah beradaptasi dengan nilai-nilai dari luar (hal 2). Berdasarkan berbagai kajian di berbagai belahan dunia, ternyata sistem pengetahuan dan teknologi lokal kini mulai dipertimbangkan sebagai alternatif dalam pembangunan. Kini pembangunan dapat menghubungkan SPTL dengan IPTEK modern, menghubungkan usaha-usaha yang berlaku sekarang dalam habitat kehidupan manusia yang interdependen satu dengan yang lainnya. Serta menghubungkan pula norma social dengan bentuk sosialnya. SPTL merupakan kekayaan intelektual masyarakat dan merupakan ungkapan budaya yang khas yang terkandung di dalamnya tata-nilai, etika, norma, aturan, dan keterampilan dari suatu komunitas dalam memenuhi tantangan keberlanjutan kehidupannya. SPTL sekarang ini banyak dipahami sebagai local level decision making, sebagaimana berlaku dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai aktivitas sosial lainnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat.

Istilah pengetahuan lokal digunakan semata-mata sebagai istilah teknis yang bersifat netral yang secara khusus disebut sebagai ekspresi budaya lokal, yang di kalangan para ahli dihubungkan dengan pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional ini sering diartikan dalam bentuk pengetahuan yang lebih spesifik, technical know-how, seperti ekologi tradisional, komunikasi tradisional, teknologi tradisional, pengobatan tradisional yang analog dengan system pengetahuan lokal. Sistem Pengetahuan Lokal sebagai ekspresi budaya, yang tercermin dalam berbagai bentuk ekspresi budaya berbasis tradisi, bersumber dari keragaman yang luas, mulai dari kebiasaan, adat-istiadat, bentuk ekspresi artistic, pengetahuan, kepercayaan, proses dari suatu produksi, dan ruang yang berasal dari banyak komunitas. SPTL sebagai warisan budaya, harus dipahami sebagai proses yang berkelanjutan yang menghasilkan berbagai gagasan, kelembagaan,dan produk yang bersifat kumulatif dan inovatif. Peradaban manusia yang semakin berkembang sejalan dengan perkembangan IPTEK yang bersumber dari dunia barat saat ini. Perkembangan tersebut semakin melepaskan manusia dari pengetahuan lokalnya. Khususnya dalam bidang teknologi, dalam pengelolaan sumber daya alam sudah tergeser oleh teknologi modern dari dunia barat. Di antara perkembangan masyarakat yang semakin pesat, ada masyarakat atau lebih tepatnya komuniti yang masih menerapkan SPTL-nya dalam kehidupan sehari-hari. Komuniti tersebut adalah warga Kasepuhan Adat Banten Kidul yang berlokasi di sekitar Gunung Halimun, Sukabumi. Secara tertib, pada saat upacara Seren Taun1 setiap keluarga wajib menyimpan padi sebagai tabungan di musim sulit. Warga Kasepuhan telah mengelola sumberdaya pangannya dengan baik. Berbagai penelitian dalam bidang pengobatan, arsitektur, system berladang, dan bersawah, model konservasi dan pengelolaan keanekaragaman hayati secara tradisional di berbagai daerah menunjukkan bahwa sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang digunakan komunitas adat berbagai suku bangsa di Indonesia memiliki kesesuaian dengan logika ilmu pengetahuan modern.
1

Upacara sebagai rasa syukur kepada Maha Pencipta atas panen yang melimpah

Ayatrohaedi (ed). 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Pengertian local genius secara keseluruhan meliputi dan mungkin sama dengan apa yang sekarang dianggap sebagai cultural identity atau identitas/kepribadian suatu bangsa. Maksudnya, bangsa tersebut menjadi mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayahnya sendiri, sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya. Masalah cultural identity awalnya muncul di Eropa pada abad ke-19 yang dilontarkan oleh masyarakat Jerman. Permasalahan tersebut cukup penting dan dianggap esensial terhadap eksistensi suatu bangsa. Suatu bangsa dapat dikatakan berdaulat, bukan hanya secara fakta fisiknya saja namun juga pribadinya secara mental-spiritual. Masalah eksistensi, hidup dan mati, adalah masalah yang peka bagi bangsa-bangsa di Dunia Ketiga, yang sebagian besar baru merdeka dari masa penjajahan wilayahnya. Sewaktu masih dijajah, bangsa jajahan selalu dipengaruhi untuk lebih mementingkan kebudayaan para penjajah daripada kebudayaan sendiri. Bahkan bangsa jajahan umumnya telah dibiasakan untuk menganggap kebudayaan sendiri lebih rendah, lebih hina, dan kurang bernilai dibanding budaya penjajah. Oleh karena itu, dalam bidang penelitian ilmu-ilmu sosial-budaya, perlu berpegangan pada makna lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara tersebut, selain melukiskan keadaan faktual negara dan bangsa, juga memberi kewajiban kepada kita semua untuk mengemban misi khusus. Salah satunya adalah menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, sambil tetap memperhatikan nuansa-nuansa warna dalam kebudayaan nasional. Dapat dikatakan Local Genius berguna dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Local Genius dapat diartikan sebagai kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing sampai dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik serta tidak terdapat seperti itu di dalam wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.

Untuk memahami arti dari Local Genius tersebut, mari menoleh seorang tokoh Arkeologi bernama Quatrich Wales. Wales menulis sebuah buku yang berjudul The Making of Greater India: A Study in South-East Asia Culture Change yang memaparkan bahwa bentuk-bentuk kesenian di Jawa, Khmer, dan Indo Cina menunjukan satu sumber yang sama yaitu India. Hal tersebut tentu memberi pertanyaan tersendiri, bagaimanakah setiap daerah memiliki cirinya sendiri? Mengalami proses evolusi sendiri? Dan menunjukkan diferensiasi antara yang satu terhadap yang lain? Sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, Wales menemukan suatu gagasan yang disebut local genius kebudayaan, yang dirumuskan sebagai the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life. (Hal 30). Secara sederhana dapat diartikan sebagai keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat/ bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau.. Sebagai kebudayaan local disebutnya sebagai kebudayaan prasejarah. Istilah genius itu sendiri di dalam kampus berarti very great and exceptional capacity of the mind or imagination atau creativeor inventive capacity. Bangsa Indonesia sejak jaman prasejarah sudah mempunyai kepandaian dan kemampuan tertentu (local genius) dan mampu pula mengembangkan pengaruh luar tersebut sesuai dengan lingkungan alam setempat (local government). Perlunya mempelajari lebih dalam dan luas mengenai kepribadian budaya bangsa (Local Genius) supaya dapat menyaring serta memilih unsur-unsur atau inti-inti budaya mana yang perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam kebudayaan nasional untuk menghadapi pengaruh negatif dari kebudayaan asing, kecepatan dan arah perubahan/ perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia, serta modernisasi. Hakikat Local Genius yaitu: (1) mampu bertahan dari dunia luar, (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

(3) mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli (4) memiliki kemampuan mengendalikan, dan (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (6) terbina secara kumulatif (7) terbentuk secara evolusioner (8) tidak abadi (9) dapat menyusut (10) tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.

Garna, Judistira K, Prof., Ph.D. 2009. Teori Sosial Pembangunan II. Bandung: Judistira Garna Foundation.

Jika berkaca ke belakang, dunia yang kita tempati ini secara tidak tertulis terkategori menjadi 3 bagian yaitu Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Menurut Garna (2009), negara dalam kategori Dunia Pertama atau blok kapitalis merupakan kumpulan negara dengan pemerintahan demokrasi, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara di Eropa Barat. Negara yang termasuk dalam kategori Dunia Kedua atau blok sosialis merupakan kumpulan negara yang memiliki ideologi komunis seperti Uni Sovyet (Rusia) dan negara-negara di kawasan Eropa Timur (Hongaria, Cekoslavia, Polandia, dan lainnya). Sedangkan negara yang termasuk dalam kategori Dunia Ketiga adalah negaranegara yang tidak termasuk dalam blok dunia mana pun. Dalam membicarakan tentang perkembangan negara atau pembangunan, maka istilah Dunia Ketiga digunakan untuk sebutan bagi negara-negara yang secara ekonomi miskin karena negara tersebut masih dalam keadaan berkembang, atau negara yang cukup disebut sebagai negara berkembang saja yang sedang melakukan pembangunan dirinya. Masalah dalam pembangunan yang dihadapi negara industri maju dengan negara berkembang adalah tidak sama. Bagi negara berkembang masalah pembangunan itu ialah bagaimana suatu negara itu bisa bertahan hidup atau bagimana caranya negara meletakan dasar ekonominya agar supaya bisa bersaing di pasar internasional. Bagi negara industri maju masalah pembangunan ialah bagaimana negara tersebut bisa melakukan ekspansi bagi kegiatan ekonominya yang memang kedudukan dan keadaannya sudah mapan itu. Nilai-nilai budaya atau cultural values menjadi penting dalam perencanaan

pembangunan. Premis nilai-nilai itu berada dalam perencanaan pembangunan tersebut hanya dapat dilakukan di atas landasan tentang bagaimanakah para perencana pembangunan itu memahami dunia yang mereka hadapi, yang keadaan itu sangat tergantung pada pilihan akan nilai-nilai bagaimana dan seperti apa yang mereka jadikan sebagai pedoman hidup.***

Anda mungkin juga menyukai