Anda di halaman 1dari 15

Nama : Vinsensius Noviantomo

NIM : 180510086
Matakuliah : Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia
Dosen : Dr. Yustinus Slamet Antono
Kelas : 1B
Semester : 2 (dua)

Hubungan Sosial dalam Persepsi Antropologi Orang Jawa

Abstrak
Orang Jawa menjunjung tinggi sikap sopan terhadap satu sama lainnya. Dalam
hidupnnya mereka memiliki beberapa kaidah baik itu secara lisan maupun tulisan. Kaidah-kaidah
ini dikembangkan dari satu generasi ke generasi. Kaidah-kaidah ini ditetapkan sebagai prinsip
hidup mereka. Tanpa berbagai macam aturan ini, eksistensi sebagai orang Jawa akan
menghilang. Dengan ini pula orang Jawa menjadi mempunyai sifat dengan ciri khas yang unik
yang tidak dimiliki oleh bangsa suku lainnya. Selain itu, orang Jawa dalam hidupnya percaya
pada dua dunia, yaitu jagad gedhe dan jagad cilik. Dalam jagad ciliknya itu yang tertinggi
adalah raja dan yang terendah adalah kawula (rakyat). Rakyat dengan raja tidak terikat dengan
membayar, tetapi dengan cara membayar perasaan dan pengabdian. Raja mengayomi rakyatnya
dan rakyat merasa diayomi lalu mengabdi. Pengabdian rakyat bersifat total. Rakyat tidak pernah
menghitung berapa banyak waktu yang dicurahkan pada raja dan apa yang diminta oleh rajanya
tidak pernah dihitung. Selain itu, abdi dalem merasa lunas dalam hidupnya bila anaknya
menggantikan dia.
Keyword: orang Jawa, wong cilik, priyayi, rukun, hormat, konsep lingkungan, hubungan sosial.

Pendahuluan
Ada pepatah Inggris mengatakan “no man is an island” yang memiliki arti “tiada
manusia adalah sebuah pulau”. Pepatah ini ingin menyampaikan bahwa manusia tidak dapat
hidup sendiri. Manusia adalah makhluk individual yang memiliki keunikan dan kepribadiannya
masing-masing yang tak dimiliki oleh manusia lainnya, tetapi sekaligus juga manusia adalah
makhluk sosial yaitu makhluk hidup yang memerlukan bantuan makhluk hidup lainnya untuk
bertahan hidup.
Dimanapun dan kapanpun manusia pertama-tama memikirkan bagaimana caranya agar
bisa tetap hidup. Sejak awal sampai akhir inilah kebutuhan manusia yang mutlak dipenuhi: udara
untuk bernapas, makanan dan minuman untuk tumbuh dan terus hidup. 1 Manusia juga harus
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan orang sekitarnya. Untuk
beradaptasi dengan lingkungannya manusia memerlukan akal budi agar lingkungan yang ia
temukan menjadi kondusif. Akal budi inilah yang menjadi latar belakang mengapa manusia
dapat menemukan dan mengembangkan inovasi-inovasi baru, termasuk penemuan kebudayaan
baru dalam aktivitas hidup manusia.
Kata kebudayaan2 berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan
bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal
yang bersangkutan dengan budi dan akal. 3 Adapula istilah culture yang merupakan istilah bahasa
asing yang sama artinya dengan kebudayaan diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia
untuk mengolah dan mengubah alam. Kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.4
Dalam suatu kebudayaan terdapat banyak unsur-unsur eksistensi dari suatu budaya. Ini
merupakan suatu nilai positif yang dapat dikembangkan dan harus dipertahankan. Sehingga
kebudayaan itu tidak lekang di makan zaman. Contohnya saja dalam suatu kebudayaan terdapat
unsur seni. Kata “seni” berasal dari bahasa Melayu yang berarti halus, tipis dan lembut. 5
Kesenian bisa kita kaitkan dengan estetika karena berbicara tentang kesenian berarti berbicara
tentang keindahan dari suatu yang dihadirkan. Yang sering terabaikan adalah bahwa seni
terutama berkaitan dengan “penciptaan”, dan estetika artinya “persepsi”. Maka seni terutama
adalah soal “menciptakan persepsi baru”.
Selain itu, kebudayaan yang manusia miliki mempunyai berbagai macam simbol.
Simbol ini menunjuk kepada sebuah barang, suatu peristiwa, atau seseorang di dunia yang
dibatasi oleh kelima indra atau dapat menunjuk pada suatu dunia yang lain dan pada isi yang
dibayangkannya serta bila menggunakan simbol-simbol secara penuh, manusia menjadi lebih

1
F.W. Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 39.
2
Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan
serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
3
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Penerbit Universitas, 1965), hlm. 77-78.
4
E.B. Tylor, Primitive Culture (New York: Brentano’s, 1924), hlm. 1.
5
Lingga Agung, Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 2.
manusiawi.6 Simbol-simbol yang masih ada dalam kebudayaan yang lain harus dihormati dan
dipelajari. Hanya dengan demikian dapatlah interaksi yang kreatif dan bentuk-bentuk simbolis
yang baru muncul. Dengan demikian, simbol-simbol merupakan bagian dari sekurang-kurangnya
proses budaya yang membawa manusia kepada kepenuhan potensinya.7

Ciri Khas Kebudayaan Jawa


Kebudayaan di Indonesia sangat beragam. Mulai dari ujung barat Sumatera sampai ke
ujung timur Papua mempunyai keunikannya masing-masing seperti bahasa, nyanyian, tari-tarian
dan gerak-gerik. Kebudayaan yang sebagian besar dapat dilihat dimanapun saja adalah
kebudayaan Jawa. Orang Jawa ada dimana saja di pulau-pulau Indonesia. Orang Jawa selalu
hidup dalam bentuk etnis-etnis.8 Etnis Jawa berasal dari suku dan ras Jawa asli dan juga ada yang
campuran dengan etnis lain. Campuran etnis itu biasanya yang dominan adalah di mana mereka
tinggal. Jika mereka hidup di wilayah Jawa, tentu campuran perkawinan itu banyak unsur Jawa
yang mempengaruhi hidupnya.
Orang-orang Jawa menganggap diri mereka sebagai “keturunan” Pandawa, sementara
yang di luar Jawa dianggap Astina dan entah negara mana lainnya. 9 Orang Jawa juga memiliki
sifat selalu “melihat yang baik”. Ini berarti bahwa orang Jawa mampu melihat segi-segi baik dan
segi-segi menguntungkan, misalnya duapuluh lima orang meninggal dalam kecelakaan bus,
untung tidak masuk jurang. Ini memberi indikasi bahwa orang Jawa itu optimistik.10
Dalam kehidupannya, orang Jawa memiliki kemampuan luar biasa hebat. Kemampuan
tersebut adalah membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang kebudayaan-kebudayaan yang datang
dari luar dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Demikianlah, kebudayaan Jawa
justru tidak dapat menemukan dirinya dalam keadaan isolasi, melainkan dalam pencernaan
masukkan-masukkan kultural dari luar.11

6
F.W. Dillistone, The Power…, hlm. 39.
7
F.W. Dillistone, The Power…, hlm. 205.
8
Etnis berarti bangsa dan juga merujuk pada ras dan trah (keturunan).
9
J.C. Tukiman Taruna, Ciri Budaya Manusia Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 12.
10
J.C. Tukiman Taruna, Ciri Budaya…, hlm. 13.
11
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta:
Gramedia, 1984), hlm. 1.
Konsep Orang Jawa
Di dalam budaya orang Jawa, manusia adalah makhluk rohani. 12 Konsep tentang
manusia dipengaruhi oleh tiga ajaran agama, yaitu agama Hindu, Budha, dan Islam. Tiga agama
inilah yang sangat memperkaya ajaran tentang manusia dalam kebudayaan Jawa. Orang Jawa
mendapatkan ide klasifikasi manusia dari ajaran Budha dan Hindu yang secara umum dibagi
dalam dua kelompok, yaitu kelompok wong cilik dan kelompok priyayi.13 Priyayi14 adalah
kelompok kelas sosial-ekonomi atas. Priyayi adalah kaum aristokrat15 yang lebih banyak tinggal
di kota-kota, sedangkan wong cilik adalah rakyat petani yang tinggal di pedesaan. Antara priyayi
dan wong cilik tidak bisa dipisahkan. Kaum priyayi memberikan kebudayaan kepada wong cilik
agar dijadikan pegangan, sedangkan wong cilik memberikan hasil-hasil pertanian yang
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup priyayi.
Dampak agama Hindu mempengaruhi sistematika pandangan manusia dalam bentuk
hirarkis. Manusia menurut pandangan ini, secara moral dan mistis tidaklah sederajat. 16 Kaum
priyayi dipandang lebih tinggi dan lebih halus yang maksudnya lebih dekat pada kebenaran dan
dalam keadaan yang lebih menguntungkan untuk berkomunikasi dengan kekuatan kosmos.
Pemikiran ini membuat banyak priyayi menekankan perlunya sikap hormat kepada keteraturan
hirarkis: “Bila seseorang menghormati saudara tua, orangtua, guru dan rajanya maka orang itu
menghormati Tuhan.”17
Konsep-konsep sistematika dan rumit tentang manusia lebih banyak berkembang di
kalangan priyayi daripada di kalangan wong cilik. Ini karena secara budaya, priyayi tetap sebagai
pemimpin kebudayaan.18 Raja dan kaum priyayi mengembangkan kebudayaan dan filsafat yang
tertutup agar tetap terpelihara atau sengaja dipertahankan. Dalam proses mempertahankan etik
ini tidak hanya dari segi tata krama saja, tetapi juga pemisahan diri secara geografis pemukiman.
Ketergantungan petani kepada priyayi adalah kepercayaan yang menganggap priyayi mempunyai

12
Konsep manusia dalam budaya Jawa telah menjalani perubahan-perubahan sebagai akibat dari masuknya
pengaruh-pengaruh agama yang datang dari luar.
13
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa (Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2015), hlm.
165.
14
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.
308.
15
Penganut cita-cita kenegaraan yg berpendapat bahwa negara harus diperintah oleh kaum bangsawan.
16
Niel Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java (Singapore: Singapore University Press,
1978), hlm. 16.
17
Niel Mulder, Mysticism and Everyday…, hlm. 15.
18
Clifford Geertz, Abangan, Santri…, hlm. 314.
lingkaran cahaya mistik-magis di sekitarnya. Tidak mengherankan apabila konsep tentang
manusia hanya dibicarakan di kalangan priyayi,19 sementara kaum petani (wong cilik) hanya puas
dengan konsep dedemit dan makhluk halus lainnya.20 Konsep manusia dan tugas-tugas yang
harus dijalankannya hampir semua berasal dari ide-ide yang berkembang di kalangan priyayi.
Konsep lanjutan tentang manusia dan tugas-tugasnya datang dari aliran kepercayaan
Pangestu.21 Aliran ini mengajarkan tiga tugas pokok manusia dalam usaha penyempurnaan diri,
yaitu distansi, konsentrasi, dan representasi.22 Distansi merupakan penjarakan terhadap dunia di
sekitarnya dalam segi spiritual dan materiil. Ini dilakukan dengan sikap rila (rela), narima
(menerima), dan sabar. Konsentrasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tapa dan
pamudaran.23 Representasi merupakan penemuan kekayaan batinnya yang sedang dalam
perjalanan menuju kepersatuan dengan Tuhan. Karena bersatu dengan Tuhan, dalam hidup
sehari-hari ia memperlihatkan sifat-sifat Tuhan seperti damai, tenteram dan terang.
Akhirnya ia menjadi manusia yang mengusahakan keselamatan dunia. Keselamatan
dunia diibaratkan dengan bulan purnama yang maksudnya seseorang yang telah diilhami wahyu
sering disebut sebagai bulan purnama pada malam hari. Konsep manusia dalam kebudayaan
Jawa semakin terarah pada suatu ide bahwa manusia sebagai makhluk, jauh lebih menonjol
aspek kerohanian dan spiritualnya. Ini erat terkait pada konsep lingkungannya.

Konsep Lingkungan
Orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius.
Interaksi sosial merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya, sikap terhadap alam sekaligus
mempunyai kaitan sosial. Antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip
hakiki.24 Jadi, lingkungan dalam masyarakat Jawa menjadi sesuatu yang penting. Ini merupakan
dasar kehidupan yang melingkupi individu, masyarakat dan alam sekitarnya. Semua unsur
lingkungan itu menyatu dengan alam supernatural. Apa yang dibutuhkan untuk itu adalah
menjaga keteraturan kehidupan lingkungan.25 Keteraturan ini merupakan refleksi dari ide sistem

19
Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm. 13.
20
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 15.
21
Pangestu adalah Paguyuban Ngesti Tunggal yang didirikan di Solo pada tanggal 20 Mei 1949.
22
S. de Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 17-21.
23
Pamudaran adalah kebebasan batin seseorang setelah melalui proses tapa.
24
Niel Mulder, Mysticism and Everyday…, hlm. 15.
25
Keteraturan ini berasal dari mitos Mahabrata yang menggambarkan realitas kehidupan ini sebagai
peperangan antara kuasa-kuasa keteraturan dan kuasa-kuasa kekacauan.
kepercayaan Jawa. Dalam pengertian simbolis, kesatuan ini dimengerti sebagai hubungan
harmonis antara jagad gedhe (kosmos)26 dan jagad cilik (manusia).27 Kesatuan keduanya ini
merupakan akhir dari perjalanan manusia. Ini menunjukkan bahwa suku Jawa mempunyai tujuan
hidup, yakni mencapai keseimbangan dalam mikrokosmik dan makrokosmik. Kepercayaan yang
terbesar adalah untuk memiliki kehidupan yang baik di dunia, kita harus menjadi pribadi dan
jiwa yang baik. Pembagian alam ini ditujukan untuk memudahkan masyarakat suku Jawa
menjalani kehidupan.28
Masyarakat dan alam adalah lingkup sosialisasi orang Jawa sejak kecil. Masyarakat
terwujud di kalangan orang Jawa dalam keluarganya sendiri, 29 dimana ia temasuk sebagai anak,
adik atau kakak. Kemudian melebar kepada tetangga, dan akhirnya seluruh desa.30 Dalam
lingkungan itulah manusia menemukan identitas dan keamanan psikisnya. Dari lingkungan
sosial, manusia sadar bahwa alam mengancam tetapi sekaligus memberikan ketenangan. Ia
belajar apa yang harus dikerjakannya pada saat-saat yang sesuai. Begitu pula kekuatan-kekuatan
alam dihayati dalam peristiwa-peristiwa tentang kehidupan, seperti kehamilan, kelahiran,
pernikahan sampai kematian.31
Alam juga dianggap sebagai sumber rasa aman dan nyaman, karena alam dipahami
sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancuran. Dari sebab itu, alam inderawi
(yang dapat dilihat) merupakan ungkapan alam gaib. Dari sinilah masyarakat mendapat tempat
bernaung dan eksistensi. Di dalam alam, masyarakat menyadari bahwa ia tergantung pada
kekuasaan-kekuasaan yang melebihi dunia yang tidak dapat diperhitungkan. 32 Dengan begitu
alam manusia berhubungan erat dengan alam gaib. Keduanya saling meresapi satu sama lain.
Pengalaman inderawi orang Jawa tidak pernah berdasarkan pengalaman semata-mata. Alam
inderawi selalu sudah diresapi oleh alam gaib.33
Kepercayaan tentang alam gaib mendorong orang Jawa berusaha menghindari diri dari
proses tabrakan dengan pemegang kekuasaan alam gaib. Dorongan ini mempengaruhi konsep

26
Alam yang misterius, penuh dengan hal yang sifatnya supranatural.
27
Alam yang nyata, alam yang kita tinggali saat ini.
28
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 170.
29
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 4.
30
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi…, hlm. 85.
31
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi…, hlm. 85.
32
Mulder dalam bukunya, “Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java” mengatakan: “Kosmos
merupakan kesatuan yang terkoordinasikan dan teratur. Suatu kesatuan eksistensi di mana setiap gejala materiil,
spiritual mempunyai arti yang jauh melebihi apa yang nampak”., hlm. 17.
33
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi…, hlm. 86.
tempat yang tepat bagi mereka. Layaknya seperti manusia yang hidup di dalam rumah gelap
gulita yang penuh dengan kursi, meja dan lemari.34 Demikian manusia akan bergerak dengan
hati-hati dan bersikap waspada. Apabila ia memegang sebuah kursi atau meja atau lemari ia akan
tinggal disitu dan tidak akan bergerak. Ini menunjukkan bahwa ketepatan tempat yang tidak
berubah-ubah, mempunyai makna penyelamatan diri bagi orang Jawa.
Disini terlihat jelas bahwa keselamatan tergantung dari keteraturan alam dan ketepatan
tempat yang ia huni. Usaha untuk mendapatkan tempat yang tepat mendapat prioritas utama dan
pertama. Karena ditempatnya ia pasti selamat.35 Karena itu kepercayaan ini mempengaruhi pula
konsepnya tentang perubahan. Orang Jawa tidak menyukai perubahan dan inisiatif. Karena suatu
perubahan menyebabkan ia harus meninggalkan tempat amannya dan kembali ke wilayah yang
belum diketahui.36 “Tempat yang tepat”37 itu tidak bisa ditemukan dengan mata telanjang.
“Tempat yang tepat” itu hanya dapat dipelajari dengan pengalaman. Pengalaman itu tertuang
dalam tradisi yang sudah ada selama berabad-abad dalam pengetahuan tentang keselamatannya
di dunia. Demikian terjaminlah rumah yang mau dibangun, operasi yang mau dijalankan dan
perkawinan yang akan dilaksanakan.38
Lewat cara apapun kondisi-kondisi kosmis dan duniawi tetap saja timbul karena
keteraturan dan koordinasi. Peristiwa-peristiwa ditimbulkan oleh struktur yang terkoordinasi:
keraton dibangun sesuai dengan tata kosmos. Kebenaran realitas lingkungan adalah masalah
batin. Paham Jawa tentang kasunyatan meliputi baik kondisi-kondisi kasar maupun kondisi-
kondisi halus yang menyangkut kebenaran. Kasunyatan adalah realitas sejati dan jelas menjadi
sebab-akibatnya sendiri.39
Di dalam konteks ini, tertib hidup dilihat sebagai hirarki spiritual mulai dari wilayah
makhluk hidup dengan taraf terendah, wilayah tak kasat mata, sampai wilayah kebenaran kosmos
yang hakiki. Pandangan hirarkis seperti ini berkembang khusus dikalangan elite priyayi. Tetapi
orang-orang di luar kaum priyayi juga diajak dan diingatkan untuk menghormati tatanan sosial,
yaitu harmoni kehidupan dalam masyarakat dan menghormati para orangtua.40
34
Franz Magniz Suseno, “Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup: Catatan tentang Struktur Etika Jawa”, dalam
F. Magnis-Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan: Sebuah Bunga Rampai (Yogyakarta: Kanisius,
1983), hlm. 93.
35
Franz Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan…, hlm. 94.
36
Franz Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan…, hlm. 94.
37
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 166.
38
Franz Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan…, hlm. 94.
39
Niel Mulder, Mysticism and Everyday…, hlm. 17.
40
Niel Mulder, Mysticism and Everyday…, hlm. 17.
Konsep lingkungan seperti ini merefleksikan kepercayaan animistik. 41 Benda-benda
dipengaruhi oleh spiritualitas pemiliknya. Bahkan dapat memuat kekuatan mereka. Kejadian
seperti tsunami memiliki makna spiritualitas dan berlaku sebagai tanda-tanda yang berasal dari
ekspresi kosmos.42 Akhirnya keteraturan lingkungan alam dan kosmos menjadi obsesi yang
terus-menerus dalam benak orang Jawa.

Hubungan Sosial
Bentuk hubungan sosial masyarakat Jawa adalah refleksi dari konsep manusia dan
lingkungan, terutama konsep mereka tentang lingkungan tampak lebih besar mempengaruhi
bentuk hubungan sosial. Ini karena persepsi mereka terhadapnya jauh lebih langsung berhadapan
dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pola-pola hubungan mereka menekankan keselarasan dan
harmoni. Kemauan untuk menjauhkan konflik secara terbuka, merupakan refleksi langsung dari
konsep keteraturan lingkungan yang terkoordinasikan. Suatu obsesi yang terus-menerus
menghantui orang Jawa. Bentuk hubungan sosial yang menekankan pada keharmonisan ini
merupakan gejala umum yang berkembang, baik di kalangan petani (wong cilik) maupun di
kalangan priyayi. Tetapi juga ada perbedaan bentuk hubungan sosial di antara petani dan kaum
priyayi. Perbedaan itu terlihat jelas pada kedalaman pemikiran etika pergaulan antara kedua
golongan itu.
1. Wong Cilik
Satuan desa sosial-politik petani adalah desa yang terdiri dari sekelompok
rumah. Dalam desa, kehidupan ekonomi dan sosial berpusat di sekitar keluarga inti. 43
Sebagai suatu masyarakat kecil, desa sangat berkepentingan dalam mempertahankan
keserasian internal dan kerja sama yang baik. Kepentingan ini diungkapkan dalam sistem
sosial desa oleh seperangkat kewajiban yang diformalkan secara konsentrasi yang
dibebankan kepada setiap petani. Kewajiban-kewajiban ini diambil sebagai suatu
keseluruhan. Membina suatu sistem timbal-balik yang kukuh dan berakar.

41
Kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang
biasa.
42
Niel Mulder, Mysticism and Everyday…, hlm. 17.
43
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 40-41.
Kondisi hubungan ini dilukiskan sebagai tolong menolong. 44 Ikatan-ikatan
praktis ini kemudian dieratkan oleh beberapa nilai moral utama desa di Jawa. Khususnya
nilai gotong-royong, sama rata dan tenggang rasa. Akibatnya adalah kaum petani Jawa
dapat cepat menerima hubungan-hubungan pribadi yang lancar untuk diterima sebagai
anggota masyarakat yang baik.
Bentuk hubungan sosial seperti ini terjadi karena hasil dari proses sosiologis.
Walau secara tak langsung, tak lama sebelum tahun masehi, proses pembentukan desa-
desa Jawa mulai terbentuk.45 Proses pemukiman ini kemudian diikuti oleh proses
homogenisasi tradisi dan budaya di kalangan mereka.46 Bersamaan juga timbul
kebutuhan-kebutuhan untuk bekerja sama di antara mereka oleh hampir sebagian besar
pekerjaan tidak bisa dilaksanakan sendiri.47 Kondisi ini kemudian diselimuti oleh sistem-
sistem kepercayaan tertentu yang berasal dari konsep mereka terhadap lingkungan, lalu
memantul kembali pada pengukuhan sistem hubungan-hubungan sosial.
Kemudian berkembang prinsip-prinsip hubungan sosial yang sebagian besar
terdiri dari prinsip kerukunan dan prinsip hormat.48 Prinsip rukun bertujuan untuk
mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan rukun terletak di
mana semua pihak berada dalam keadaan damai, suka bekerja sama, saling menerima
dalam suasana tenang dan sepakat.49 Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat
dipertahankan dalam semua hubungan sosial. Suasana seluruh masyarakat seharusnya
bernapaskan semangat kerukunan.50
Ada dua segi tuntutan kerukunan. Pertama adalah tidak mengganggu keselarasan
sosial yang diandaikan sudah ada. Dalam pandangan ini, ketenangan dan keselarasan
sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak
diganggu. Prinsip kerukunan ini bersifat negatif.51 Rukun berarti berusaha untuk
44
Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1984), hlm. 37.
45
Clifford Geertz, Abangan, Santri…, hlm. 305.
46
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 175.
47
Nantinya sampai abad modern Jawa, pola kerja sama di kalangan petani tidak pernah bisa hilang.
48
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi…, hlm. 38.
49
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 165.
50
Kata “rukun” menunjukkan cara bertindak. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan
dalam masyarakat atau antarpribadi, sehingga hubungan-hubungan sosial tetap tampak selaras. Rukun mengandung
arti usaha terus-menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang dan untuk menyingkir semua unsur yang
mungkin menimbulkan perselisihan dan kekerasan.
51
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 171.
menghindari konflik-konflik yang terjadi. Karena itu, prinsip kerukunan sebaiknya tidak
disebut prinsip keselarasan, melainkan prinsip pencegahan politik. Kedua adalah
penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang diatur adalah permukaan hubungan-
hubungan sosial yang kentara. Yang perlu dicegah adalah konflik-konflik yang terbuka.
Diperlukan sikap-sikap batin agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan
kerukunan yang mudah dan enak. Tetapi agar semua pihak menjaga kerukunan,
ketentraman dalam masyarakat jangan sampai diganggu dan jangan sampai nampak ada
perselisihan dan pertentangan.
Prinsip hormat menyatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa
diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. 52 Prinsip hormat
berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis,
bahwa keteraturan hirarkis ini bernilai kepada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang
wajib mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya. Kesatuan ini
hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan tata krama
sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat, sedangkan yang
berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapakan atau keibuan dan rasa tanggung
jawab.53 Karena itu hendaknya setiap orang puas dengan kedudukan yang telah
diperolehnya dan berusaha untuk menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-
baiknya.
Kehidupan orang Jawa diresapi oleh kesadaran akan kedudukan sosial masing-
masing pihak. Tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap
dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menafsirkan kedudukan
sosial kita dibandingkan dengannya. Dalam cara menyapa, orang Jawa mempergunakan
istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah ini mengungkapkan segi senior-yunior. Dalam
semua istilah itu, terungkaplah orang tersebut lebih tua atau lebih muda.54 Apabila lawan
bicara memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi, dipergunakan istilah senior; apabila
pangkatnya lebih rendah, dipergunakan yunior.
Seorang laki-laki yang lebih tua bisa disebut mbah atau pak, laki-laki yang sama
umurnya atau sedikit lebih muda disebut kak atau kang, dan yang jauh lebih muda disebut

52
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 165.
53
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 22-23.
54
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 167.
dhik. Sementara wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang sama
umurnya disebut mbakyu, sedangkan yang lebih muda disebut dhik.55 Penggunaan istilah
itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial. Apabila mereka itu benar-benar
masih keluarga, maka tanpa memperhatikan perbandingan umur yang nyata harus
dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai dengan hubungan generasi.56
Kefasihan dalam mempergunakan sikap hormat dikembangkan sejak kecil
melalui pendidikan dalam keluarga. Pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang
dipelajari anak-anak Jawa dalam situasi-situasi yang membuat rasa hormat, yaitu wedi,
isin, dan sungkan.57 Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi ancaman fisik maupun sebagai
rasa takut terhadap kurang enaknya suatu tindakan. 58 Sedangkan isin berarti malu dan
juga dalam arti malu-malu atau merasa bersalah.59 Isin dan hormat, ditambah dengan rasa
sungkan60 merupakan satu kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat
menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Perasaan
isin dapat timbul dalam semua situasi sosial.
Dapat dikatakan semua hubungan keluar selalu terancam rasa isin. Sikap hormat
dan sikap-sikap yang berhubungan dengannya, berkembang dengan paling jelas dalam
kalangan masyarakat ini yang kehidupannya dipengaruhi oleh kaum priyayi yang secara
tradisional berpedoman ke kraton. Sedangkan dalam lingkungan desa sikap-sikap itu
tidak memainkan peranan yang cukup besar. Kehidupan desa menjunjung tinggi nilai
persamaan di seluruh kalangan petani. Lurah memang menduduki tempat sebagai bapak,
tetapi bukan sebagai otoritas yang harus ditaati. Otoritas lurah tidak tanpa tandingan.
Untuk tindakan-tindakan yang menyangkut seluruh desa, ia harus mencari persetujuan
semua orang. Perintah diberikan dalam bentuk usul, seperti diajukan kepada orang yang

55
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 20-21.
56
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 167.
57
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 116.
58
Pertama-tama anak belajar untuk merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati. Anak dipuji apabila
bersikap wedi terhadap orang yang lebih tua dan terhadap orang asing. Bentuk-bentuk pertama kelakuan halus dan
sopan dididik pada anak-anak dengan menyindir pada segala macam bahaya yang mengerikan dari pihak-pihak
asing dan kekuatan-kekuatan di luar keluarga yang akan mengancamnya.
59
Belajar untuk merasa malu (ngerti isin) adalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang.
Sebaliknya pengertian ora ngerti isin, tidak tahu malu, merupakan suatu kritik yang amat tajam.
60
Sungkan adalah suatu perasaan yang dekat dengan isin, tapi sungkan sebenarnya adalah malu dalam arti
positif. Sungkan bukan suatu rasa yang hendak dicegah, rasa hormat yang sopan terhadap atasan dan sesama yang
belum dikenal.
sama kedudukannya. Seluruh keputusan penting disetujui sebelumnya melalui suatu
musyawarah atau rembug desa.61

2. Priyayi
Pola hubungan sosial priyayi dengan wong cilik tidaklah jauh berbeda. Tapi
perbedaan di antara keduanya relatif jelas. Letak kedalamannya itu justru pada kedalaman
filsafat dari setiap unsur yang menopang sistem hubungan sosial. Peranan besar dalam
sistem hubungan sosial priyayi adalah etiket.62 Etiket memperlengkapi priyayi dengan
serangkaian cara formal dalam mengerjakan segala sesuatu, yang menyembunyikan
perasaan sebenarnya dari orang lain. Etiket juga mengatur tingkah laku diri sendiri dan
orang lain hingga tak memungkinkan memberi kejutan yang tak menyenangkan. Ada
empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi: bentuk yang sesuai untuk pangkat
yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan dan menghindari tiap perbuatan yang
menunjukkan kesalahan atau tak menguasai diri.
Pada dasarnya batin perlu diatur untuk memperhalus perasaan. Tetapi batin
hanya dapat diatur bila yang lahir diatur lebih dulu. Karena sebagaimana manusia berada
dalam dunia besar begitu juga jiwa berada dalam dunia kecil dalam tubuh. Pengaturan
dunia lahir dicapai manusia lebih-lebih dalam pengaturan hubungan sosialnya sesuai
dengan tata krama sopan santun. Di sini termasuk penekanan terhadap segala ucapan
sopan santun seperti praktek pura-pura (ethok-ethok), hormat (urmat), pengelakan
terhadap segala bentuk interaksi yang kasar seperti memberi jawaban menolak,
membantah dan bertengkar.63
Penguasaan hidup lahir memungkinkan penghalusan hidup batin dan sebaliknya,
yang kedua terungkap dalam pertama. Untuk mencapai rasa yang mendalam perlu
diciptakan keseimbangan batin. Oleh karena segala hawa napsu perlu dikuasai. 64 Hawa-
hawa napsu termasuk perasaan-perasaan yang kasar. Orang yang mantap batinnya

61
Tetapi apabila dalam rembug desa muncul seorang wakil pemerintah yang datang dari kota, tidak terjadi
suatu musyawarah dan kritik langsung atas asal-usulnya. Namun akibat perintah dan instruksi yang semacam ini
sangat terbatas. Orang-orang desa yang berkumpul, termasuk lurah, tentu akan menerima tamu tinggi dari kota
menurut segala peraturan tata krama. Meskipun demikian, semua itu tidak menjamin petunjuk-petunjuk kebapakan
pejabat pusat itu juga akan dilaksanakan.
62
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 23.
63
Franz Magnis Suseno dan S. Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan…, hlm. 98-99.
64
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 145.
memiliki kekuatan-kekuatan moral dan sosial, sedangkan emosi-emosi kuat mengancam
kesehatan jiwa dan raga. Kekuatan moral itu menyatakan dirinya dalam kelakuan rukun.
Kaum priyayi takut terhadap emosi kuat karena emosi-emosi itu bisa
menghasilkan frustasi berat. Oleh karena itu perasaan seperti kecewa (gela) dan kaget
dianggap membahayakan kesehatan. Priyayi menganggap semua itu berbahaya bagi
keseimbangan batin. Ia harus selalu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan itu
supaya dapat mengelakkannya pada waktunya. Manusia yang berhasil mengatur kelakuan
sosialnya menurut tata krama sopan-santun dan dengan cara menenangkan perasaan-
perasaannya menjadi seorang kesatria pinandita65, seorang kesatria yang sekaligus
menjadi guru rohani. Dengan mengatur jagad ciliknya, ia mencocokkan diri secara alus
dan tepat ke dalam keselarasan jagad gedhe.
Etika hubungan sosial yang hendak dicapai adalah untuk menciptakan
keselarasan. Keunggulan prinsip-prinsip keselarasan pertama-tama adalah suatu
kenyataan sosiologis. Dalam pandangan ini, keselarasan harus didahulukan dari hukum
positif. Mempertahankan hak-haknya menurut hukum positif berhadapan dengan prinsip-
prinsip keselarasan. Namun dalam kenyataan masyarakat yang ditentukan oleh prioritas
prinsip-prinsip keselarasan itu sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang orang Jawa harus
hidup dalam suatu masyarakat di mana hukum positif memiliki keunggulan mutlak.
Kenyataan ini memiliki dampak yang lebih jauh. Pertama-tama larangan itu
mengenai segala sikap yang disebabkan oleh emosi, napsu-napsu, juga oleh kepentingan
diri sendiri yang diperhitungkan dengan kepala dingin. 66 Prinsip rukun dan hormat
menuntut agar seorang priyayi bersedia untuk menomorduakan kepentingan pribadi untuk
mempertahankan keselarasan masyarakat.67 Prinsip keselarasan menuntut lebih dari itu.
Prinsip-prinsip itu melarang segala macam tindakan yang tidak sesuai dengan
tuntutannya: hubungan-hubungan hirarkis selalu harus dihormati. Jadi prinsip keselarasan
selalu menjadi kerangka yang berfungsi sebagai batas mutlak bagi segala sesuatu.

Kesimpulan

65
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 169.
66
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa…, hlm. 145.
67
Hildred Geertz, Keluarga Jawa…, hlm. 154-155.
Pada dasarnya masyarakat Jawa menuntut agar usahanya untuk menjamin
kepentingan-kepentingan dan hak-haknya jangan sampai menganggu keselarasan sosial. Prinsip
kerukunan melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik. Demikian juga prinsip
hormat yang melarang pengambilan posisi yang tidak sesuai dengan sikap-sikap hormat yang
dituntut. Apapun yang diharapkan dan diusahakan oleh individu, betapa pun hak-hak dan
kepentingan-kepentingannya, bagaimanapun ia sendiri menilai suatu keadaan, namun kalangan
priyayi mengharapkan agar individu bertindak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri
sejauh keselarasan tetap terjaga, dan derajat-derajat hirarkis tetap dihormati. Prinsip keselarasan
dengan demikian memuat larangan mutlak terhadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar
kesadaran dan kehendak seseorang saja.
Dengan demikian, tindakan-tindakan moral pun terkena. Dalam pandangan ini
pertimbangan moral pribadi seseorang tidak memberi hak untuk memandang sepi terhadap
tuntutan-tuntutan keselarasan. Jadi pada prinsip keselarasan, kewajiban seseorang bertindak
menurut tanggungjawabnya sendiri pun menemukan batasnya. Keprihatinan terhadap nasib
orang lain, tanggung jawab terhadap tugas yang telah diterima ataupun suatu pernyataan
berdasarkan prinsip-prinsip moral tidak dapat membenarkan suatu gangguan terhadap
keselarasan sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Dillistone, F. W. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Agung, Lingga. Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika. Yogyakarta: Kanisius, 2017.
Tukiman Taruna, J. C. Ciri Budaya Manusia Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: Gramedia, 1984.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Mulder, Niel. Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java. Singapore: Singapore
University Press, 1978.
Mulder, Niel. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada
University, 1984.
De Jong, S. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Suseno, Franz Magnis dan Reksosusilo, S. Etika Jawa dalam Tantangan: Sebuah Bunga Rampai
Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas, 1965.
Tylor, E.B. Primitive Culture. New York: Brentano’s, 1924.
Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service,
2015.
Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Anda mungkin juga menyukai