Anda di halaman 1dari 24

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS

DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT


KARYA GWF HEGEL

Oleh:
Bito Wikantoso
Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
bito_wikan@gmail.com

Abstract

One of the basic concepts of the Hegel’s critic on the modern society which differentiate it from that
of the liberalism is the concept of subjectivity. For Hegel, the self-consciousness is constructed of the
self-consciousness of others. This study concerns the intersubjectivity comprensively explained within
the Hegel’s system of philosophy. Thus, it has made the Hegel’s idea is more outstanding than what the
other philosophers of the same period have.

Abstrak

Salah satu konsep dasar kritik Hegel atas masyarakat modern yang membedakannya dari liber-
alisme adalah konsep tentang subjektivitas. Bagi Hegel, kesadaran-diri terben­tuk dari interaksi
kompleks dengan kesadaran-diri lainnya. Studi ini, melihat konsep inter­subjektivitas yang diurai-
kan Hegel dalam sistem filsafatnya. Sehingga dapat dilihat kelebihan Hegel dibandingkan pandan-
gan pemikir sejamannya.

Kata kunci: Hegel, Intersubjektivitas, Phenomenology of Spirit

I. PENDAHULUAN meyakini manusia modern terputus dari nilai-


nilai dan pandangan hidup tradisional. Mereka
1.1. Latar Belakang Masalah yang mencemaskan hasil perubahan itu, men-
Semua bangsa terlibat proses modernisasi. gatakan bahwa masyarakat modern kehilangan
Manifestasi proses ini pertama kali nampak di akar-akar kehidupan sosialnya. Mereka
Inggris abad delapan be­las yang disebut revolu- menunjuk­kan pada masyarakat konsumen yang
si industri. Sejak itu gejala ter­sebut meluas ke aktif sebagai bukti dam­pak masyarakat modern.
segala penjuru dunia. Penyebaran ini diang­gap Hal itu terlihat dari sikap gaya hidup konsumen
sebagai sesuatu yang biasa, sehingga tidak terse- yang serba berubah sampai dengan lingkup
dia tempat kemungkinan adanya negara yang pembicaraan yang dibentuk industri komunika-
karena sesuatu hal tidak terlibat dalam proses si massa.
modernisasi itu (Schoorl, 1980:1). Manusia modern dapat membayangkan hid-
Manusia modern memiliki kepercayaan ber- up di dalam wilayah kehidupan yang tidak di-
beda-beda tentang diri mereka dan abad mod- persoalkan seperti yang di­lakukan masyarakat
ern ini. Ada yang merasa terbebaskan dari tradi- di daerah lain atau pada masyarakat ja­man da-
si dan memuji perubahan ini. Ada pu­la yang hulu. Tetapi kenyataannya, mereka tidak mengi-

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 67
Bito Wikantoso
kuti tradisi secara alami dan tidak mendefinisi- (hukum)-nya sendiri. Yang dimaksud dengan
kan diri berda­sarkan norma-norma sosial yang emansipasi adalah individu mendorong praktik
tetap. Mereka menyangkal tempat hidupnya mengubah eksistensi yang terkait dengan struk-
berubah. Tetapi ketika hidup bersama di dalam tur sosial. Akhirnya yang disebut sekularisasi
suatu aturan sosial, aturan itu merupakan hal adalah sebentuk kesada­ran memisahkan antara
yang asing. sikap hidup mereka jauh berbeda sakral dan profan.
dengan yang terjadi pada prajurit Mataram atau Dalam terang triad dari Peter L. Berger yaitu:
petani tradisional pada awal abad sembilan be- eks­ternalisasi — objektivasi — internalisasi, ke-
las. Manusia modern lebih mungkin memiliki sadaran mo­dern merupakan rangkaian peruba-
pilihan-pilihan di luar aturan sosial itu. Tetapi han dan perkembangan kesa­daran manusia. Ke-
apakah kehendak dan nilai-nilai yang meng- sadaran modern dengan segala aspek, mengek-
kerangkai tindakan dan cara pikir manusia itu sternalisasikan diri membentuk dunia modern,
sungguh pasti ? Apakah manusia mem­buat pili- berupa realitas kesadaran objektif. Kesadaran
han dan memutuskan tindakan secara otonom modern ob­jektif ini selanjutnya diinternalisasi
dan bebas. kembali oleh kesa­daran subjektif manusia.
Dalam wawasan historis dapat dikatakan Eksternalisasi kesadaran modern yang ter-
bahwa sejak Renaissance abad enam belas dan wujud dalam dunia modern, menurut Berger
memuncak pada Aufklarung abad delapan belas, (1992: 29 & 44), ciri sen­tralnya adalah produksi
dalam masyarakat Barat muncul apa yang dise- berteknologi dan birokrasi. Selain itu Berger
but Max Weber: disenchantment of the world (1990: 21) dan Poole (1993: xx-xxi) mengatakan
(“hilangnya pesona dunia”). Lingkungan lahiriah bahwa masyarakat pasar dan kapitalisme juga
tidak lagi mengepung dengan kekuatan-kekua- merupakan ciri modernitas.
tan gaibnya yang menakutkan sekali­gus mempe- Kapitalisme, didefinisikan oleh Max Weber
sona. Lingkuhgan ini sekarang dihadapi sebagai sebagai usaha kegiatan ekonomi yang ditujukan
suatu dunia material atau objek belaka (Hardi- pada suatu pasar dan dipacu menghasilkan laba
man, 1993: 120). Konsekuensi logis dari peristi- melalui pertukaran di pasar (Ber­ger, 1990: 21-
wa ini adalah otonomi dan kebebasan menafsir- 23). Kegiatan pokok kapitalisme berlangsung di
kan realitas. Kebebasan tafsir itu memunculkan antara dua kutub konsumsi dan produksi. Kon-
pluralitas gagasan, persaingan bebas produk in- sumsi adalah pemuasan keinginan tertentu ma-
telektual (Mannheim, 1991: 15). nusia. Jika pemuasan keingi­nan dianggap seb-
Filsafat modern dimulai dengan pembalikan agai kebahagiaan, lalu kapitalisme tampak­nya
pusat ke­nyataan yaitu penemuan subjektivitas, menjanjikan bertambah banyaknya kebahagia-
seperti yang dikata­kan Descartes dalam Dis- an. Sebalik­nya, produksi merupakan tindakan
course on Method: “manusia adalah tuan dan atau proses transformasi. Dalam bentuk intinya,
penguasa dunia” (Kolb, 1986: 2). Sekarang bu- produksi meliputi perubahan objek-­objek dan
kan batin manusia yang harus menyesuaikan di- bahan-bahan yang disediakan oleh alam, men-
ri dengan lingku­ngan lahiriah, melainkan alam jadi bentuk-bentuk saat objek-objek dan bahan-
yang harus menyesualkan diri dengan norma- bahan tersebut cocok dipakai oleh manusia.
norma batin manusia. Kosmosentrisme berubah Kapitalisme mengembangkan kekuatan ma-
menjadi antroposentrisme. nusia dalam me­ngubah alam. Ini meliputi me-
Berpangkal dari subjektivitas ini, seperti sin-mesin baru, bentuk kerja dan macam-ma-
yang dika­takan Hardiman (1993: 121-124), cam pengetahuan baru: mengadakan keahlian
muncul beberapa aspek ke­sadaran modern lain, dan perencanaan dan koordinasi baru. Kekua-
yakni: progres, individuasi, emansi­pasi dan saan atas alam telah berkembang berduaan se-
sekularisasi. Progres atau kemajuan adalah cara simbiosis dengan kekuasaan ma­nusia atas
suatu kesadaran bahwa waktu merupakan se- manusia lain. Macam-macam kekuasaan di sini
buah arus yang tak bisa diulang. Sedangkan sub- tidak hanya kemampuan mengubah alam, tetapi
jektivitas berarti individu membe­ baskan diri kekuasaan itu lebih-lebih merupakan kemam-
dari entitas-entitas kolektif. Proses ini ke­mudian puan memperluas dan menciptakan. Kekuasaan
disebut “individuasi” yaitu individu menyadari tidak membatasi apa yang sudah ada, melain­kan
bah­wa dirinya berbeda dari masyarakatnya. Dia mengadakan hal yang baru. Kekuasaan inilah
itu otonom, da­ lam arti menghasilkan nomos yang me­mainkan peranan penting di dalam du-

DHARMASMRTI
68
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
nia kapitalis dan meru­pakan salah satu nilai ing tergantung seca­ ra rasional, terkendalikan
dominannya. dan teramalkan. Setiap komponen tidak memi-
Masyarakat pasar terutama dicirikan ketiga liki satu fungsi tunggal, setiap komponen dapat
unsur ini: pertama, adanya pembagian kerja saling disusun dengan cara yang berbeda-beda.
dalam masyarakat: kedua, adanya kerangka ker- Berkaitan erat dengan hal itu adalah sifat ab-
ja hukum mengenai milik pribadi dan kontrak, straksi implisit, sifat yang meresapi. Setiap tin-
terakhir, adanya kecenderungan individual ber- dakan, bagaimanapun konkretnya, dapat dipa-
tindak demi kepentingan sendiri (Poole, 1993: hami menurut kerangka acuan yang abstrak.
3-4). Dalam masyarakat pasar, masing-masing Berger (1992: 47-54) juga menjelaskan yang
individu akan berusaha memaksimalkan dimaksud dengan birokrasi. Secara umum, bi-
pemenuhan keinginan-keinginannya. Karena se- rokrasi dimengerti seba­gai tata langkah yang
galanya sama, ia hanya dapat melakukan ini den- layak. Birokrasi dianggap berjalan menurut
gan mengambil bagian dalam hubungan-hubun- aturan-aturan dan tata urut rasional. Dalam ru-
gan pasar, dan hal itu menuntutnya mengerah- ang lingkup politik hal itu berhubungan dengan
kan tenaga menghasilkan barang-barang yang ide kelegalan dan tata langkah menurut hukum.
diinginkan orang lain. Dengan demikian indivi­ Eksistensi birokrasi itu sendiri dilegitimasikan
du yang berkepentingan diri harus produktif se- oleh kelegalan itu, dan dianggap bahwa birokra-
cara sosial. Cara terbaik bagi seseorang mem- si akan bekerja sesuai dengan hukum.
perbaiki kedudukan ada­lah menjadi lebih efisien Pengertian pokok tentang sistem birokrasi
daripada saingan-saingannya. Ja­di pasar mengu- ialah pe­ngertian kompetensi tiap yuridikasi dan
tamakan efisiensi produksi. Dalam masyarakat tiap badan di da­lamnya kompeten hanya atas ru-
pasar apa yang merupakan keinginan-keinginan ang lingkup kehidupan yang menjadi tugasnya
akan menjadi kebutuhan-kebutuhan. Apabila dan harus memiliki pengetahuan mahir yang
keinginan dan kebutuhan me­ningkat, pasar akan sesuai dengan ruang lingkup itu.
meningkatkan menyediakan sarana-sarana yang Ciri gaya kognitif birokrasi yang menonjol
memuaskan keinginan mereka. adalah ke­teraturan. Tiap birokrasi menghasilk-
Proses produksi tidak sekedar alat-alat in- an sistem kategori yang dapat memberikan tem-
dustri. Se­lain itu dalam diri pekerja ada pengeta- pat kepada segala sesuatu da­lam yuridikasi ter-
huan tentang peker­jaan khusus, yang mengha- tentu dan menjadi kerangka acuan menangani
ruskan dia bekerja dengan cara-­cara tertentu. segala sesuatu. Birokrasi mengandaikan sifat-
Pengetahuan pekerja tentang bidang kerja bu- dapat­ditata yang umum dan otonom. Pada prin-
kan sekedar isi yaitu cara-cara dan aturan- sipnya, segala se­suatu dapat ditata menurut isti-
aturan yang dilatihkan secara khusus, sehingga lah-istilah birokrasi. Karena sifat formalnya yang
ia terampil di bidang­nya. Berger (1992: 31-32) abstrak, birokrasi pada prin­sipnya dapat diter-
mengatakan bahwa pengetahuan pe­kerja juga apkan pada fenomena manusiawi manapun juga.
mengenai gaya yang ciri-cirinya dapat dilukis­ Ada asumsi umum tentang sifat dapat dira-
kan sebagai berikut. Ciri yang paling penting malkan. Tata langkah tertentu diketahui dan
adalah sifat mekanistis, kemudian sifat yang demikian dapat diramalkan. Ada pengharapan
berkaitan erat adalah si­fat dapat direproduksi umum tentang keadilan. Diharapkan bahwa tiap
dan akhirnya sifat dapat diukur. orang dalam kategori yang relevan akan diper-
Selain itu, suatu unsur strategis dalam gaya lakukan secara sama. Orang pada umumnya
kognitif yang dibicarakan adalah komponensial- mengharapkan agar birokra­si bekerja secara im-
itas (sifat terdiri dari komponen-komponen). personal dan “kenetralan afektif”. Ak­hirnya, ter-
Realitas ditata menurut pengertian komponen- dapat pengertian keanoniman. Kompetensi, tata
komponen yang dipahami dan dimanipulasi se- langkah, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban bi-
bagai satuan-satuan atomistik. Jadi segala ses- rokrasi tidak­lah melekat pada individu-individu
uatu dapat dianalisa, dipisah-pisahkan dan di- konkret tetapi pada pa­ra pejabat dan klien kan-
persatukan kembali ber­dasarkan komponen itu. tor-kantor birokrasi. Di dalam ke­rangka acuan
Maka dari itu muncullah sifat ketergantungan birokrasi, korupsi adalah setiap pelanggaran
antar komponen itu dengan tata urutnya. Dalam terhadap asas keanoniman yang dominan itu.
kondisi sama, hasil-hasil yang sama dapat diper- Apa yang muncul dari kombinasi unsur-un-
oleh. Komponen-komponen terus menerus sal- sur gaya kog­nitif yang disebutkan di atas dapat

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 69
Bito Wikantoso
dilukiskan sebagai ke­anoniman itu tidak hanya gan lahiriah itu menjadi struktur lingku­ngan ba-
diakui sebagai keperluan pragma­tis tetapi diberi tiniah, yakni kesadaran subjektif. Tetapi
kepatuhan sebagai perintah moral. Dalam bi- pembati­nan realitas objektif dalam masyarakat
rokrasi, keanoniman ditentukan secara intrinsik modern mengalami kegagalan. Dalam situasi re-
dan di­sahkan secara moral sebagai suatu prinsip alitas objektif kesadaran mo­dern mengalami ke-
hubungan sosial. Jadi, anggapan persamaan hak terpecahan “diri”nya dan aneka peran yang ter-
semua orang dalam suatu kate­ gori birokrasi buka terhadap konflik satu sama lain. Makna jati
yang relevan bukanlah suatu tuntutan teknis ­dirinya menjadi kabur.
melainkan suatu aksioma etika birokrasi. Sistem Situasi keterpecahan diri manusia modern
birokrasi sebagai keseluruhan dipandang mem- itu dilukis­kan Berger (1992: 165-179) melalui
punyai kewajiban-kewaji­ban moral terhadap istilah “ketakberuma­ han” (homeless). Dalam
para kliennya. Ini tentu saja merupakan dasar sruktur-struktur masyarakat modern yang plu-
keabsahan birokrasi. ralitis, makin banyak individu yang senantiasa
Kesadaran lebih berada pada lingkungan ba- berubah. Individu senantiasa silih berganti men-
tiniah. Eks­ternalisasi adalah penglahiran kes- galami konteks-konteks sosial yang sangat ber-
adaran, yang kemudian membentuk objektivitas lainan dan kerap kali bertentangan. Berkenaan
dalam realitas sosial. Lingkungan dunia lahiriah dengan riwayat hidupnya, individu berpindah-
baru sebagai hasil ciptaan kesadaran modern pindah berganti-ganti dari dunia sosial yang sa-
adalah pranata-pranata modern. tu ke dunia sosial yang lain yang saling berbeda
Menurut Marx Weber, kekuatan pendorong sekali. Tidak hanya makin banyak jumlah indi-
terpenting mo­men objektif dunia modern adalah vidu dalam masyarakat modern tercabut dari
apa yang disebutnya “ra­sionalisasi” yaitu tinda- lingkungan sosial mereka, yang asli, tetapi, se-
kan progresif dalam berpikir ra­sional dan lain itu, tidak ada lingkungan baru pengganti
teknik-teknik rasional atas setiap sektor ma- lingkungan lama yang berhasil menjadi “rumah”
syarakat (Berger, 1990: 37). Dengan ini dimak- yang sebenarnya.
sudkan bah­wa prinsip-prinsip rasionalitas ter- Dalam situasi ketakberumahan, manusia
tentu sudah mulai disa­turagakan di dalam insti- modern tidak mampu membatinkan lingkungan
tusi-institusi dan praktik-praktik dunia modern lahiriahnya secara aktif. Manusia modern men-
— termasuk pasar dan organisasi produksi kap- galami kesulitan internalisasi. Akibat­ nya dia
italis, birokrasi dan aparat-aparat hukumnya, malah menjadi sistem-sistem objektif yang
dan pe­lembagaan ilmu pengetahuan serta pen- dicipta­kannya. Momen objektifnya, masih berdi-
didikan. Mereka yang hidup dalam institusi-in- ri tegar di luar kontrol kesadaran.
stitusi dan praklik-praktik ini tak bisa berbuat Sejak awal perkembangan dunia modern,
apa-apa kecuali hidup di dalam saluran­-saluran menurut Poole (1993: 23-29), para filsuf telah
yang tersedia bagi mereka dalam masyarakat. memberi tanggapan terha­dap jaman itu. Im-
Rasio­nalisasi, dalam arti institusional atau ob- manuel Kant merupakan,filsuf yang memberi
jektif, menghasilkan bentuk-bentuk rasionalitas landasan moral bagi masyarakat modern. Kant
yang mampu mengatur pe­mikiran dan tingkah memberikan sebuah rute yang baik bagi jalan ke
laku manusia modern. moralitas pasar. Pasar mengandaikan suatu
Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bah- kerangka kerja pemilikan dan kontrak. Prasyarat
wa rasiona­litas dominan dalam dunia modern yang dituntut masyarakat komersial adalah indi-
adalah rasionalitas instrumental (rasionalitas vidu-indiividu yang mampu menunaikan kewa-
bersifat formal, strategis dan efektif). Bentuk ra- jiban mereka karena hal itu merupakan kewa-
sionalitas semacam ini paling jelas ada di ma- jiban mereka, yakni mengakui milik orang lain
syarakat pasar dalam proses produksi dan dan mengikat kontrak dengan maksud menepat-
pemasa­ran. Individu-individu bersifat rasional inya. Kant mampu dengan cemerlang merumus-
dalam arti ini, mereka menyeleksi dari rentetan kan suatu moralitas yang berpusat pada kebe-
tindakan-tindakan yang me­mungkinkan mereka basan dan kewajiban.
mencapai mencapai tujuan tertentu. Bagi Kant, pengertian yang relevan tentang
Momen internalisasi dalam triad Berger kebebasan yang terkait dengan konsep rasional-
adalah tahap pembatinan kembali hasil-hasil itas, memiliki universalitas formal. Artinya, se-
objektivasi dengan mengubah struktur lingkun- jauh manusia ini mahluk rasio­nal, manusia men-

DHARMASMRTI
70
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
gakui dirinya tunduk di bawah prinsip­-prinsip yaitu: individu bebas memilih nilai-nilainya
yang dapat diterapkan. Prinsip-prinsip itu oleh sendiri. Kaum liberal membayangkan masyara-
Kant disebut maksim-maksim, dikenakan kepa- kat majemuk, dicirikan berbagai macam indivi-
da semua mahluk rasional di dalam situasi yang du memilih sendiri konsep-konsep ten­tang ke-
sama. Daya dorong utama penalaran Kant ini, hidupan yang baik. Di batas-batas tertentu, tak
adalah bahwa individu yang paling mementing- ada standar-standar.objektif menilai tindakan-
kan diri sekalipun harus mengakui bahwa klaim- tindakan pencip­taan nilai itu dan karenanya tak
klaim yang ia buat bagi dirinya sendiri mesti ju- ada alasan mengira satu cara hidup lebih unggul
ga bisa diterima orang-orang lain yang berada terhadap yang lain. Wilayah pemba­tasan hubun-
dalam kedudukan serupa. Model moralitas Kant gan antar individu hanyalah konsep keadilan.
ini, yaitu: kesetiaan pada prinsip-prinsip­nya, se- Proyek liberalisme menyusun pandangan
cara tidak langsung memelihara struktur pasar. mengenai keadi­lan yang mempertahankan sub-
Konsep-konsep yang mendefinisikan moder- jektivitas. Kant-lah yang mem­berikan inspirasi
nitas dalam kaitannya dengan kebebasan dan in- utama bagi para teoritikus liberal dewa­sa ini
dividualitas modern, me­nurut Kolb (1986:10), mempelajari konsep keadilan. Prinsip keadilan
dikemukakan juga oleh Max Weber. Ia mempos- ditemukan, tidak dalam jaringan dunia lahiriah,
tulatkan individu adalah pencipta makna. Dunia atau juga tidak dalam isi keinginan atau pilihan
so­sial dengan makna dan aturan-aturannya individu melainkan di dalam struktur pikiran
adalah hasil konstruksi bersama-sama antar in- dan tindakan manusia. Dalam arti tertentu, ini
dividu-individu. Gema Kantian nampak dalam adalah struktur subjektivitas. Tetapi kalau struk-
pembahasan pada bagian ini. Tetapi Weber ber­ tur itu universal, maka subjektivitas akan mem­
tentangan dengan Kant. ia membuat makna punyai status impersonal.
menjadi tindakan pembebasan pilihan individu. Kant mengatakan bahwa peran kunci yang
Memberi persyaratan yang disebut metodologi menentukan isi dan kekuatan prinsip subjektivi-
individualisme. Metodologi itu mengiku­ti pan- tas universal dimainkan konsep rasio. Manusia
dangan modern yang secara eksplisit mengakui mematuhi tuntutan keadilan sejauh mereka
kepercayaan dan kebiasaan individual sebagai mahluk-mahluk rasional. Tuntutan-tuntutan ini
basis konstruksi sosial tentang diri manusia leb- tidak akan menjadi kendala eksternal, melaink-
ih dekat kebenarannya di­bandingkan keyakinan an akan diterima orang yang memenuhi tuntut-
tradisional. an itu. Prinsip-prinsip hak da­lam arti ini adalah
Pada intinya dalam masyarakat modern jelas pengendalian diri dan pembatasan­pembatasan
terdapat individualisme atau otonomi individu pengekangan diri. Oleh karena itu, semua tinda­
menurut Weber itu. Individu, melalui otonomin- kan diri adalah hasil kebebasan.
ya, membebaskan diri dari ikatan komunal yang Pemutlakkan liberalisme terhadap subjekti-
telah tertanam kuat di dalam dirinya. Orang-­ vitas seba­gai satu-satunya ruang yang digunak-
orang seperti itu dapat berusaha dan pergi men- an sebagai sumber nilai dan pengetahuan ini
cari ke­sempatan-kesempatan baru tanpa ter- memisahkan ikatan-ikatan konstitutif antara in-
hambat tradisi, adat istiadat dan pantangan- dividu dan masyarakat. Proses ini juga meru-
pantangan kolektif. Kemudian dalam proses sos- pakan proses pengosongan manusia dari sum-
ialisasi, mereka mempunyai tanggung jawab ber-sumber nilai-nilai mereka sendiri. Hal ini
priba­di yang kuat. Hal ini mengharuskan adanya memperlihatkan bahwa liberalisme gagal meng-
suatu disiplin yang kuat dan rasionalitas yang hadapi kearbitreran kebebasan individu.
tinggi. Rasionalitas di sini diartikan sebagai ra- Kehancuran nilai-nilai objektif dan ketidak-
sionalitas fungsional, sikap kepala dingin, tidak mampuan individu memiliki nilai-nilai sendiri
main-main, siap mengatasi persoalan kehidu- merupakan dasar mun­culnya nihilisme. Nihil-
pan pada umumnya dan tentu saja kehidupan isme adalah kekosongan kebebasan absolut.
ekonomi pada khususnya. Liberalisme, menurut Poole (1993, 188), adalah
Liberalisme dewasa ini, menurut Poole nihilisme yang cair. Paham ini secara implisit
(1993: 99-98), juga menerima tesis Weber ten- mengakui nihilisme pada pusat eksistensi sosial
tang konsep individualisme itu. Bagi kaum lib- modern, dan mengu­sahakan membendung ni-
eral, dunia tidak mengandung nilai-ni­lai objektif hilisme di dalam batas-batas yang diperlukan
dan mereka menekankan kebebasan individu agar kehidupan sosial tetap berlangsung. Tetapi

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 71
Bito Wikantoso
liberalisme memiliki hakikat nihilisme, yaitu dari cukup sehingga peneliti mengalami kesuli-
dorongan ke arah kekuasaan dan konsumsi tan dalam menyatu­kan semua konsep dalam fil-
yang merupakan kedok-kedok nihilisme dalam safat Hegel.
dunia modern. Kedok-kedok ini menghancur le-
burkan atau membongkar batas-batas, khusus- 1.2. Landasan Teori
nya batas­-batas moralitas. Jadi proyek moderni- Hegel melihat dunia sebagai sebuah keselu-
tas itu gagal. ruhan model tentang Roh, yaitu: Roh mem-
Dampak negatif situasi dunia modern bagi proyeksikan objek yang da­pat disadari subjek.
kesadaran manusia sudah dikritik para filsuf se- Objek-objek ini berkembang, melalui tahap-ta-
jak puncak pembelaan filsafat terhadap moder- hap, ke arah manusia. Manusia sebagai kesada-
nitas pada awal perkembangannya. Menurut ran tidak hanya menyadari alam, tetapi juga roh
Poole (1993: 126), G.W.F. Hegel, merupakan fil- kosmis itu sendiri dalam hubungannya dengan
suf yang sangat berbeda dari segala para filsuf di alam. Perkembangan manusia dan pemikiran-
abad kede­lapan belas dan sembilan belas. Para nya, hadir dalam perluasan kesadaran diri Roh
filsuf pada abad-abad tersebut pada umumnya kosmis. Kesadaran ini dilengkapi oleh sistem
sangat memuja dan begitu berharap kepada ma- Hegel sendiri, yang ia pandang sebagai puncak
syarakat baru yang sedang mulai berkembang perkembangan Roh, saat keseluruhan proses
itu. Sebaliknya Hegel mengakui masalah-ma- menjadi sama sekali jernih bagi manusia (In-
salah yang dihadapi masyarakat modern, tetapi wood, 1983: 2).
pemecahan yang diberikan oleh liberalisme ter- Partisipasi roh manusia dalam Roh dunia itu
hadap persoalan masyarakat modern, menurut memung­kinkan perubahan kesadaran dari ta-
Hegel, sangat keliru. hap yang paling rendah ke tahap yang paling
Salah satu konsep dasar kritik Hegel atas ma- tinggi. Dan ini yang dideskripsikan Hegel dalam
syarakat modern yang membedakannya dari lib- Phenomenology of Spirit yaitu sejarah kesada­
eralisme adalah konsep tentang subjektivitas. ran. Hegel mulai dengan kesadaran alami (natu-
Bagi Hegel, kesadaran-diri terben­tuk dari inter- ral con­sciousness) dan mengubah melalui ger-
aksi kompleks dengan kesadaran-diri lainnya. akan dialektis perkem­bangan kesadaran, mem-
Tulisan ini, melihat konsep inter­subjektivitas perlihatkan bagaimana level le­bih rendah ter-
yang diuraikan Hegel dalam sistem filafatnya. masuk dalam level lebih tinggi sesui dengan
Sehingga dapat dilihat kelebihan Hegel. diband- sudut pandang lebih memadai, sampai akhirnya
ingkan pandangan pemikir sejamannya. mencapai level pengetahuan absolut (Copleston,
Tetapi Hegel termasuk seorang yang paling 1963: 181).
sukar dipa­hami di antara para filsuf yang pernah Metode Hegel disebut “dialektis”, karena
hidup. Ia mengha­silkan karya dalam jumlah be- mengikuti dinamika dalam pikiran dan kenyata-
sar. Selain itu, filsafat He­gel sangat gelap dan an itu. Dialektik itu diungkapkan sebagai tiga
menempatkan pembaca dihadapan sejum­lah langkah: dua pengertian ber­tentangan, kemudi-
besar masalah-masalah interpretasi (Layen- an didamaikan.
decker, 1983: 177). Ketidakjelasan filsafat Hegel
ini, menyulitkan da­lam meringkasnya (Inwood, (Thought) in its very nature is dialectical, and
1983: 1). Oleh karena itu, penelitian ini mem- that, as understanding, it must fall into contra-
batasi masalah hanya pada konsep inter­ diction -the negative of itself....... When thought
subjektivitas di dalam salah salu karya dari grows hopeless of ever achieving, by its own
sistem filsa­fat Hegel yaitu Phenomenology of means, the so­lution of contradiction which it
Spirit. Karya Hegel ini memiliki posisi penting has by its own ac­tion brought upon itself, it
bagi karya-karya Hegel yang lain. turns back to those so­lutions of question with
Selain faktor kesulitan filsafat Hegel: luas pe­ which the mind had learned to pacify itself in
mikiran dan karyanya dalam jumlah besar, pem- some of its modes and forms’ (Hegel, 1915: 5).
batasan pene­litian ini disebabkan juga oleh be-
berapa kendala dalam diri peneliti. Kendala itu (Pikiran pada hakekatnya adalah dialektik,
meliputi: Dasar yang tidak cu­kup kuat dalam pe- dan seba­gai pemahaman, hal itu harus masuk
mikiran filosofis, baik sistematis maupun histo- ke dalam kontra­ diksi-negasi dari dirinya
ris. Kemudian, daya sintetis-historis yang jauh sendiri... Ketika pikiran berkembang tanpa

DHARMASMRTI
72
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
harapan sesungguhnya mencapai suk­ses, no, 1993: 19).
oleh cara-cara miliknya, kesimpulan dari Dialektika adalah kesadaran bahwa setiap
kontra­diksi yang mana ha1 itu melalui tinda- bentuk atau momen dalam isolasinya tidak
kan sendiri mengarahkan dirinya sendiri, benar, maka memanggil pe­nyangkalan dan
mengembalikan solusi-so­lusi itu dari pertan- dalam arti ini juga memuatnya saat penyangka-
yaan yang dengan pertanyaan itu roh belajar lan itu sendiri lalu perlu disangkal, dan seterus-
menenteramkan diri dalam beberapa cara nya. Jadi dialektika, menurut Magnis-Suseno
dan bentuk lain). (1993: 19-21), dalam sintesis, memanggil ses-
ungguhnya antitesis baru. Itulah prinsip negati-
Sebagai titik tolak metodis, Hegel mengambil vitas.
salah satu pengertian atau konsep yang lazim di- Sistem dual ini dapat diketemukan dalam
anggap jelas. Pengertian itu mulai diambil menu- teks Phenome­noloqv of Spirit: dialektika Hegel
rut arti sehari-hari, spontan dan bukan reflektif. bukan triad: tesis - antitesis - tetapi lebih seb-
Oleh karena Hegel, konsep atau pengertian itu agai sistem dual. Setiap “tesis” “antitesisnya”,
dirumuskan dengan jelas, sehingga identik den- dan yang nampak sebagai sintesis dari antitesis
gan dirinya sendiri dan menyangkal segala hal sebelumnya.
atau pengertian lain. Dengan memikirkan dalam
keterbatasan itu, Hegel menerangkan secara ra- The disparity which exist in consciousness be-
dikal menurut segala eks­trimnya. Tetapi dalam tween the ‘I’ and the substance which is its ob-
proses pemikiran itu dengan tiba-­tiba, konsep ject is the distinction between them, the nega-
atau pengertian itu mulai kehilangan ketega­san tive in general. This can be regarded as the de-
dan kepadatannya mulai menjadi cair dan re- fect of both, though it is their soul, or that
muk. which moves them. That is why some of the an-
Pada langkah kedua, pemikiran konsep atau cients conceive the void as the princi­ple of mo-
pengertian yang per­tama itu sendiri membawa tion, for they rightly saw the moving principle
orang ke konsep pengertian yang menimbulkan as the negative, though they did not as yet
pengertian ekstrim yang lain. Konsep atau grasp that the negative is the self. Now, al-
pengertian yang muncul dalam langkah kedua though this negative appears at first as a dis-
itu diperlaku­kan sama seperti langkah pertama. parity between the ‘I’ and its object, it is just as
Pada langkah ketiga, ke­ dua langkah satu-dua much the dis­parity of the substance with itself.
memuat negasinya sekarang kedua­-duanya telah Those what seems to happen outside of it, to be
padat dan konkret. Mereka menjadi Aufgehoben, an activity directed, against it, is really its own
yang dapat berarti: melarutkan, menghapuskan, doing, and Substance shows itself to be essen-
meniadakan, tetapi juga mengangkat, membawa tially Subject. When it has shown this com-
ke taraf lebih tinggi, bahkan juga menyimpan pletely, Spirit has made its existence identical
(Bakker, 1984: 101-103). with its essence: it has itself for its ob­ject just as
Hegel mengartikan realitas sebagai proses it is, and the abstract element of imme­diacy,
pendobrakkan atau pernyataan diri akal budi. and of the separation of knowing and truth, is
Manusia mengalami proses itu dalam kesadaran overcome. Being is then absolutely mediated...
sebagai peningkatan pengertian menyeluruh (Hegel, 1977, 21).
dan kesadaran itu sekaligus mengungkapkan se-
buah proses peningkatkan rasionalitas dalam (Disparitas yang ada dalam kesadaran antara
sejarah. Dan karena rasionalitas menyatakan di- “Aku” dan substansi yang adalah objeknya,
ri melalui negativitas, negati­vitas adalah prinsip merupakan distingsi antara mereka, negasi
kemajuan baik dalam realitas itu mau­pun dalam dalam keseluruhan. Ini dapat dipandang seb-
pengertian tentang realitas itu dan dua-duanya agai cacat dari keduanya, meskipun itu adalah
merupakan satu proses. Hegel menguraikan jiwa mereka, atau itu yang menggerakkan
proses itu dl satu pihak sebagai proses perjala- mere­ka. Itu adalah mengapa beberapa orang
nan kesadaran-diri dari pengetahuan inderawi kuno memahami kehampaan sebagai prinsip
sampai pengetahuan absolut, di lain pihak seb- gerak, mereka benar melihat prinsip gerak
agai perkembangan Roh, dari Roh subjektif me- sebagai negasi, meskipun mereka belum me-
lalui Roh objektif ke Roh absolut (Magnis-Suse- mahami bahwa negasi adalah kedirian. Seka-

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 73
Bito Wikantoso
rang meskipun negasi ini nampak pada awal- si adalah per­kembangan keluar dari isolasi
nya sebagai sebuah disparitas antara “Aku” predikat sebuah benda yang memberikan be-
dan objeknya, hal itu seperti banyak dispari- berapa referensi, dan menghasilkan relativi-
tas seperti substansi dengan dirinya sendiri. tasnya, sementara masih dalam respek-res-
Jadi apa yang tampak terjadi di luar negasi, pek yang lain meninggalkan validitas isolas-
menjadi sebuah aktivitas ditunjukkan me- inya. Tetapi dengan Dialektika berarti ten-
nentang negasi itu, adalah sungguh kerjanya densi secara permanen hadir keluar melalui
sendiri, dan substansi mengetahui dirinya sisi yang satu dan membatasi predikat pema-
menjadi subjek esensial. Ketika subjek mem- haman dilihat dalam sinar kebenarannya, dan
perlihatkan kelengkapannya, Roh membuat diperlihatkan sebagai negasi bagi mereka...
eksistensi identik dengan esensinya, diri­bagi Jadi memahami prinsip Dialektika mengkon-
objek seperti dirinya sendiri, dan unsur ab- stitusikan kehidu­pan dan jiwa perkemban-
strak kelangsungan serta keterpisahan, men- gan ilmiah, dinamika yang mem­ berikan
getahui dan kebenaran, diatasi. Pengada ke- hubungan imanen dan keperluan pada tubuh
mudian sepenuhnya diperantarai). ilmu pengetahuan. Sangat penting mengeta-
hui dengan pasti dan memahami dengan
Dialektika adalah sebuah perkembangan benar hakikat Dialektika).
yang tidak ber­henti. Dan apabila proses negati-
vitas berhenti, dialektika berubah menjadi Skep- 1.3. Metode Penelitian
tisisme. Penelitian ini merupakan penelitian historis
faktual mengenai konsep intersubjektivitas
(W)hen the — Dialectic principle is employed dalam salah satu karya utama Hegel yaitu Phe-
by the un­derstanding separately and indepen- nomenology of Spirit. Metodologi yang digunak-
dently — especially as seen in its application to an meliputi penggabungan antara penelitian
philosophical theories­Dialectical becomes naskah atau buku dengan penelitian konsep
Skepticism: in which the result that ensues its dalam sejarah filsafat. Metodologi yang digunak-
action is presented as a mere nega­tion... Dia- an meliputi: interpretasi, induksi-deduksi, kohe-
lectic is different from ‘Reflection’. In the first rensi intern, holistika, kesinambu­ngan historis,
instance, Reflection is that movement out be- idealisasi, komparasi (Bakker dkk, 1991: 67-71
yond the isolated predicate of a thing which & 77-82).
give it some reference, and brings out its rela-
tivity, while still in others respects leaving it its 1.3.1. Interpretasi
isolat­ed validity. But by Dialectic is meant the Diusahakan menangkap konsep intersubjek-
indwelling tendency outwards by which the tivitas dalam filsafat-filsafat sebelum Hegel. Di-
one sideness and limi­tation of predicates of un- usahakan pula menangkap filsafat Hegel. Dan
derstanding is seen in its true light, and shown terakhir, diusahakan menangkap setepat mung-
to be the negation of them .... Thus understood kin konsep intersubjektivitas dalam Phenome-
the Dialectic principle constitutes the life and nology.
soul of scientific progress, by the dy­namic
which alone gives immanent connection and 1.3.2. Induksi dan deduksi
ne­cessity to body of science. It is highest impor- Setiap pemakaian konsep intersubjektivitas,
tance to ascertain and understand rightly the filsafat Hegel, dan teks Phenomenology dipelaja-
nature of dia­lectic (Hegel, 1975: 116). ri sebagai case­ study.
Dengan mengalisa semua arti dari intersub-
(Ketika prinsip dialektika digunakan oleh jektivitas mengikuti segala hubungannya dan
akal budi secara terpisah dan independen membentuk sintesis. Seba­liknya, pemahaman
-teristimewa dilihat dalam aplikasinya pada sepenuhnya tentang konsep intersubjekti­vitas
teori-teori filsafat- Dialek­tika menjadi Skepti- baik dalam tokoh maupun periode, dipergunak-
sism: yang mana hasil yang terjadi dari tinda- an untuk mengartikan secara lebih mudah ka-
kannya dihadirkan sebagai sebuah hal yang sus-kasus khusus. Demikian pula semua konsep
sama sekali negasi... Dialektika dibedakan dalam Phenomenology, di­analisa satu persatu
dari ‘Re­fleksi’. Dalam bagian pertama, Reflek- dan dalam hubungannya satu sama lain dapat

DHARMASMRTI
74
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
dibanqun suatu pemahaman sintesis. Dari visi nya. Ide tentang intersubjektivitas dan konsep-
dan gaya menyeluruh yang mendominasi buku konsep lainnya yang tercantum dalam Phenom-
ini, dipahami dengan baik detail-detailnya, teru- enology dibandingkan dengan karya-karya yang
tama konsep intersubjektivitas. Di samping itu lebih dahulu dan yang kemudian. Lebih luas dari
seluruh karya pikiran Hegel diselidiki melalui itu, konsepsi intersub­jektivitas Hegel diter-
induksi dan deduksi, supaya Phenomenology jemahkan dalam terminologi dan pema­haman
dapat ditentukan tempat yang tepat dalam kes- yang sesuai dengan cara berpikir aktual seka-
eluruhan perkemba­ngan filsafatnya. rang.

1.3.3. Koherensi Intern 1.3.6. Idealisasi


Dilakukan penyesuaian variasi kosep-kosep Dicari konsep intersubjektivitas yang sebena-
satu sama lain secara konsisten, pada masing- rnya dikatakan Hegel, sehingga diperoleh kon-
masing filsuf. Dilihat aspek-aspek dan konsep- sep yang seuniver­sal dan seideal mungkin.
konsep dalam filsafat Hegel menurut keselar-
asan satu sama lain. Uitetapkan inti pikiran yang 1.3.7. Komparasi
mendasar, dan topik-topik sentrai filsafat Hegel. Komparasi diadakan di antara pemikiran-pe-
Uilakukan penetapan pikiran-pikiran mendasar mikiran konsep intersubjektivitas. Dibanding-
dalam Phenomenology. Semua aspek-aspek dan kan kesamaan serta perbe­daan arti dan pe-
konsep-konsep seper­ti: kesadaran: kesadaran- makaian konsep intersubjektivitas. Diper­siskan
diri: akal budi: Roh: perkemba­ngan Roh: dll, dili- isi konsep intersubjektivitas dari Hegel.
hat menurut keselarasannya satu sama lain. Di- Isi Phenomenology dibandingkan dengan bu-
lakukan penetapan konsep intersubjektivitas, ku-buku lain baik karya Hegel maupun karya fil-
dite­liti susunan logis sistematis konsep itu, di- suf lain. Dalam perban­dingan itu diperhatikan
persiskan gaya dan metode pengarang dalam keseluruhan pikiran denqan ide­ide pokok,
menguraikan konsep itu. kedudukan konsep-konsep, metode dll.
Konsep intersubjektivitas dalam Phenome-
1.3.4. Holistika nology dibandingkan dengan konsep intersub-
Dilihat konsep intersubjektivitas dalam jektivitas dari karya-karya Hegel yang lain.
Phenomenolo­gy. Konsep itu dilihat dalam rangka Dibandingkan konsep intersubjektivitas Hegel
keseluruhan visi mengenai manusia, dunia dan dengan seluruh perkembangan konsep
Tuhan. intersubjektivi­tas sebelum Hegel.

1.3.5. Kesinambungan Historis II. PEMBAHASAN


Konsep intersubjektivitas pertama-tama dili-
hat dari, konteks penggunaannya pada beberapa Konsep Intersubjektivitas Hegel merupakan
filsuf dari jaman Yu­nanf sampai Hegel. Diikuti konsep yang berproses dan selalu diperbaharui
interpretasi dan reaksi mereka terhadap filsuf- sejak awal perkembangan pemikirannya. Oleh
filsuf sebelumnya. Diteliti kesinambungan pe- karena itu, dalam bagian ini, dilihat tahap-tahap
mikiran dari filsuf-filsut tersebut, dan dibuat pembentukan konsep intersubjektivitas: per­
analisis peralihan dari filsuf yang satu. tama, dari masa Hegel muda dalam karyanya
Konsep intersubjektivitas tanpa melepaskan semasa di Jena yaitu: Philosophy of Mind. Kedua
latar belakang Latar belakang eksternal melipu- dalam Phenomenology of Spirit, dan ketiga diteli-
ti: jaman, situasi sosial­ekonomi, politik, kebu- ti dalam Philosophy of Right. Tetapi terlebih da-
dayaan, dunia sastra dan filsafat. Sedangkan hulu diteliti posisi filsafat Hegel yang berkaitan
latar belakang internal meliputi: riwayat hidup dengan modernitas.
Hegel, pendidikannya, pengaruh yang diteri-
manya, relasi dengan filsuf-filsuf sejamannya 2.1. Hegel dan kritik atas modernitas
dan segala macam pengala­man yang memben- Hal ini mungkin tampak aneh membicarakan
tuk kesadarannya. Hegel seba­gai seorang pengkritik jaman mod-
Begitu juga diperhatikan perkembangan in- ern. Tetapi dalam bukunya yang berjudul Philo-
tern pada Hegel. Tahap-tahap dalam pikirannya, sophical Discourse of Modernity, Haber­mas
dan perubahan dalam minat atau arah filsafat- (1987, 4-30) mendiskripsikan dan membukti-

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 75
Bito Wikantoso
kan bahwa Hegel adalah filsuf pertama yang The principle of modern world is freedom of
membangun konsep moderni­tas secara jelas. subjec­tivity, the principle that all the essential
Oleh karena itu, dengan mengikuti argu­ men factors present in the intellectual whole are
Habermas tersebut, dalam membicarakan kon- now coming into their right in the course of
sep moderni­tas harus kembali kepada Hegel jika their development. Starting from this point of
membutuhkan memahami hubungan internal view, we can hardly raise the idle question:
anlara modernitas dan rasionalitas. Which is better from of government monarchy
Hegel menggunakan konsep modernitas per- or democracy ? We may only say that all con­
tama-tama da­lam konteks historis, sebagai kon- stitutional forms are one-sided unless they can
sep jaman: “Abad baru” adalah “abad modern”. sus­tain in themselves the principle of free sub-
Ini berkaitan dengan penemuan ‘dunia baru’, Re- jectivity and know how to correspond with a
naissance dan Reformasi, yang merupakan tiga matured rationality (Hegel, 1967: 286).
ke­jadian momumental sekitar 1500 mewujud-
kan masa ambang antara jaman modern dan (Prinsip dunia modern adalah ‘pembebasan
abad pertengahan. Hegel (1956: 912), dalam subjekti­vitas’, prinsip yang mana semua fak-
Lectures on Philosophy of History menggunakan tor esensial hadir dalam keseluruhan intelek-
sebutan untuk mengklasifikasikan dunia Kristen tual sekarang datang pada kebenaran mereka
Jerman ke­luar dari jaman Romawi dan Yunani dalam arti perkembangan merekbi mulai dari
kuno. Pembagian masih digunakan, sekarang sudut pandang ini, kita dapat kesulitan me-
menjadi Periode Modern, Abad Pertenga­han dan munculkan pertanyaan yang tidak berarti:
Jaman Purbakala (sejarah modern, pertengahan Mana yang lebih baik antara monarki dan de-
dan kuno), dapat mengambil bentuk seperti itu mokrasi ? Kita hanya boleh mengatakan bah-
hanya setelah. ungkapan “baru” atau “abad mod- wa semua bentuk konstitusional adalah ber-
ern”. sisi-satu kecuali kalau mereka dapat menyi­
Habermas mengatakan bahwa Hegel meru- nambungkan dalam diri mereka prinsip sub-
pakan filsuf yang pertama kali memunculkan jektivitas Yang bebas dan memahami
sampai tingkat filosofis masalah proses pemisa- bagaimana berkaitan dengan rasionalitas
han modernitas dari norma-norma yang terben­ yang dewasa).
tang di luar diri subjek. Secara pasti, dalam arti
kritik atas tradisi yang mengintegrasikan pen- Ketika melukiskan ilmu filsafat dari abad
galaman Reformasi dan Renaissance dengan modern, Hegel menjelaskan “subjektivitas” dari
reaksi awal ilmu pengetahuan alam modern, arti “kebebasan” dan “refleksi”:
serta filsafat modern dari Skolastisme akhir
sam­pai Kant telah mengungkapkan pemahaman The principle is hereby gained, but only the
diri tentang moder­nitas. Tetapi hanya pada akh- princi­ple of freedom of spirit: and the great-
ir abad delapan belas problem kepastian-diri ness of our time rest in the fact of that freedom,
(self-assurance) dari modernitas tampil ke muka the peculiar possession of mind whereby it is at
dalam cara yang oleh Hegel ditangkap sebagai home with it-self in itself, is recognized, and
persoa­lan filsafat, dan sungguh sebagai persoa- that mind has this con­sciousness within itself
lan fundamental dalam filsafatnya. Hegel meli- (Hegel, 1968: Vol. III: 923)
hat filsafat dikonfrontasikan dengan tugas yang
dipegang pada jamannya, yaitu kebutuhan (Prinsip yang dengan ini diperoleh, tetapi
pemastian diri bagi kecemasan yang disebabkan hanya prinsip kebebasan roh: dan yang terbe-
oleh fakta keberadaan modernitas tanpa model- sar dari abad kita berhenti dalam fakta bah-
model yang menstabilkan dirinya sendiri pada wa kebebasan, teristimewa milik pikiran den-
basis bagian-bagiannya. Hegel memper­lihatkan gan jalan mana hal itu kerasan dengan dirin-
ia tidak dapat menghasilkan konsep filsafat yang ya sendiri, diakui, dan bahwa pikiran memi-
lepas dari konsep filosofis modernitas. liki kesadaran bersama dirinya sendiri).
Bagi Hegel, abad modern dibentuk secara
universal oleh struktur hubungan diri yang la Kunci kejadian-kejadian sejarah yang
sebut subjektivitas: memapankan prin­sip subjektivitas adalah
Reformasi, Enlightenment, dan Re­volusi

DHARMASMRTI
76
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
Perancis. Bersama Luther, keyakinan agama kan rahmat Tuhan melalui kerja, hal itu sungguh­
menjadi reflektif: dunia ketuhanan diubah ke -sungguh tindakan moral. Dalam agama “positif”
dalam perhatian sub­jektivitas yang ditempatkan terjadi pemisahan doktrin agama dari kehidu-
oleh dirinya sendiri. Menantang keyakinan pan dan pemilikan bersama, pemisahan penge-
dalam otoritas ajaran dan tradisi gereja. tahuan pendeta dari pemujaan yang mendalam
Protestanisme menyetujui otoritas subjek dalam masyarakat, dan jalan memutar yang di-
mengandalkan diri pada pengertiannya sendiri. duga mampu mengarahkan moralitas hanya me-
Kemudian juga deklarasi hak­hak asasi manusia lalui otoritas dan per­buatan menajubkan dari
mensahihkan prinsip kebebasan kehendak seorang pribadi: ke jaminan lega­litas tindakan,
menentang pra pengada hukum yang secara dan akhirnya, di atas semua itu, pemisahan aga-
historis merupakan basis substantif negara. ma pribadi dari kehidupan publik adalah “posi-
Lebih lanjut, interpretasi Habermas atas tif”.
Hegel memperlihatkan bahwa menurut Hegel Dalam awal karyanya, menurut Habermas,
prinsip subjektivitas menetukan bentuk kebu- Hegel mengusa­hakan rasio sebagai rekonsiliasi.
dayaan modern. Ini dipegang secara pasti perta- Ia selalu menekankan sisi otoritas kesadaran-di-
ma-tama untuk kepentingan ilmu pengetahuan. ri (self-consciousness), ketika pikiran menghasil-
Kemudian pada wilayah moral, konsep moral ja- kan pembagian melalui refleksi. Manifes­tasi
man modern diikuti dari pengakuan kebebasan modern “yang positif” membuka kedok prinsip
subjektif individu-individu. Pada satu sisi, mer- subjekti­ vitas sebagai dominasi tunggal. Hegel
eka mene­mukan hak individu mencapai apa menentang pengeta­huan secara sewenang-
yang mereka duga dikerja­kan secara sahih, dan wenang dari rasio yang memusat pada subjek
pada sisi yang lain, mereka menemu­kan tuntut- (subject-centered reason). Ia menyimpulkan
an bahwa setiap person boleh mengejar tujuan kekuatan penyatuan dari intersubjektivitas yang
kesejahteraan pribadinya hanya dalam harmoni tampak di bawah ju­dul “cinta” dan “kehidupan”.
dengan jahteraan setiap orang lain. Tempat hubungan reflektif di antara subjek dan
Kehendak subjektif mencapai otonomi di objek ditempatkan melalui perantaraan komu-
bawah hukum universal, tetapi pencapaian itu nikasi subjek-subjek. Roh kehidupan (living
hanya dalam kebebasan ke­hendak subjektif atau spirit) merupakan wahana menemukan komu-
secara implisit prinsip-prinsip ke­hendak dapat nalitas secara langsung. Dalam komunalitas ini,
diaktualisasikan. Struktur kehendak subjektif seorang subjek dapat memiliki diri­nya sendiri
ini dipahami dalam filsafat sebagai subjektivitas dan menjadi seorang subjek bersama subjek
abstrak, dalam pengertian “cogito ergo sum”-nya lain, sementara masih tetap merupakan dirinya
Descartes dan “Aku transendetal” dalam filsafat sendiri. Iso­lasi subjek sebagai gangguan komu-
Kant. nikasi kemudian dihimpun dan diubah menjadi
Hegel meyakinkan bahwa abad Pencerahan gerakan dinamis yang inheren dalam tu­juan yai-
berpuncak pada Kant dan Fichte, menegakkan tu memapankan kembali intersubjektivitas.
sebuah berhala dalam pikiran. Hal ini secara
salah menanamkan Akal-Budi (Understanding) 2.2. Konsep Intersubjektivitas dari Hegel
atau refleksi dalam tempat Rasio (Reason) dan Muda
meninggikan yang terbatas pada status tak ter- Karya Hegel: Philosophy of Mind dari periode
batas. Unsur-unsur tak terbatas filsafat refleksi Jena, diteliti berdasarkan penafsiran atas karya
dalam kebenaran diper­oleh Akal-Budi, unsur ra- tersebut oleh: Herbert Marcuse dan Jurgen
sional yang melemahkan sendiri dalam negasi Habermas.
keterbatasan.
Sebagaimana tampak bagi Hegel muda, posi- 2.2.1. Penafsiran Herbert Marcuse
tivitas ke­hidupan etis merupakan cap dari ja- Dalam Reason and Revo­lution, Marcuse (1969:
man Hegel. Ia menerapkan kata “positif” bagi 74-77) menafsirkan pemikiran Hegel tentang fil-
agama-agama yang didasarkan pada oto­ritas safat Roh yang dikerjakan Hegel pada masa di
menyendiri dan tidak menggabungkan nilai-ni- Jena. Ia bertolak dari tiga kategori pendasaran
lai kema­ nusiaan ke dalam moralitas mereka. integrasi masyarakat, yaitu: bahasa, kerja dan
“Positif” mengaplikasi­kan resep sesuai dengan barang milik. Menurut Marcuse tiga kategori itu
yang diyakini, yang diduga mampu menghadir- mendasari tiga bentuk komunitas yang berbeda,

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 77
Bito Wikantoso
yaitu keluarga, civil society dan negara. Ketika si harta milik pribadi memaknakan, bahwa “ob-
bentuk masyarakat itu kemudian dikembangkan jek-objek” akhirnya digabungkan ke dalam du-
oleh Hegel secara mendetail dalam Philosophy of nia subjektif: “objek-objek tidak sekedar benda
Right. mati”, tetapi termasuk totalitas mereka, pada
Sejarah dunia manusia tidak dimulai dengan wilayah realisasi diri sub­jek. Semua perjuangan
perjuangan individu dalam alam, tetapi komuni- sejarah menjadi perjuangan antara kelompok
taslah yang datang per­tama. Kesadaran manusia individu-individu pemilik harta kekayaan. Kerja
dalam komunitas yang pertama ini merupakan dilihat sebagai unsur yang esensial dan konsti-
komuni­awal ini menga­tetapi kesada­ran univer- tutif dari individualitas, individu melindungi
sal (Roh), barangkali dapat digambarkan seb- dan mempertahankan har­ta kekayaan agar
agai kesadaran kelompok primitif di mana mempertahankan dirinya sebagai individu. Kon-
semua individu menjadi dibawahkan ke dalam sekuensinya, perjuangan hidup dan mati. Inilah
komunitas. Inilah yang oleh Hegel dikategorikan prototipe civil society. Pertentangan hanya dapat
sebagai keluarga. Dunia berkembang, dalam diintegrasi­kan ke dalam bentuk komunitas
rangkaian integrasi dari pertentanganan-per- bangsa.
tentangan. Ben­tuk kesadaran dalam komunitas Marcuse memperlihatkan bahwa situasi kon-
yang kedua: individu menya­dari subjektivitas- fik didamaikan dalam perjuangan hidup dan
nya. Pada tahap ini terjadi konflik an­tar mereka. mati mewujud dalam perjuangan untuk pen-
Masyarakat atomistik ini disebut civil society gakuan (struggle for recognition). Kesadaran
dan pada tahap terakhir, mereka nampak seb- men­capai integrasi sekali lagi sebagai roh raky-
agai bangsa. at, tetapi kesatuannya tidak sekedar langsung
Bahasa adalah medium dari integrasi komu- dan primitif. Di sini Hegel menyebut kesatuan
nitas. Dalam bentuk komunitas keluarga, bahasa term perantaraan bagi intersubjek­tivitas. Aktivi-
merupakan medium pertama dari individuasi. tas perantaraan ini adalah aktivitas kerja. Me-
Individu, melalui hal itu, memperoleh pengua- lalui kerja, manusia mengatasi keterasingan an-
saan atas objek-objek dan memberi nama. tara dunia objektif dan dunia subjektif: dia men-
Seorang ma­nusia mampu mengetahui dan men- transformasikan alam menjadi medium yang
gawasi batas-batas perannya di antara individu- pantas bagi perkembangan diri. Melalui kerja,
individu dalam kelompok komunitas orang lain. manusia kehilangan eksistensi atomiknya. Dari
Tetapi bahasa juga memungkinkan individu me- seorang individu yang dipertentangkan dengan
nyadari secara otonom, melawan rekan demi ke- semua individu lain, menjadi seorang anggota
inginan dan kebutuhan­nya. Oleh karena itu, ba- komunitas. Individu melalui kebajikan kerjanya,
hasa di sini berperan sebagai medium masyara- berubah menjadi universal. Ker­ja pada hakekat-
kat tahap kedua, civil society. Sedangkan bahasa nya adalah aktivitas universal, produknya dapat
sebagai landasan integras.i negara merupakan dipertukarkan di antara semua individu.
sintesa antara bahasa universal yang bersifat Marcuse (1969: 80-86), dalam menafsirkan
langsung dan bahasa yang mengkerangkai kes- Jenenser Realphilosoohie II, mendeskripsikan
adaran subjektif. kritik Hegel atas ma­syarakat modern. Menurut
Selain bahasa, kerja juga merupakan medium Hegel, transisi dari keluarga ke bangsa memiliki
integrasi komunitas. Kerja di sini dipahami seb- kesamaan secara kasar dengan transisi dari “ke-
agai usaha manusia mengolah alam, manusia se- adaan alami” (state of nature) ke civil society.
bagai subjek dan alam sebagai objek. Sedangkan Hegel berpendapat civil society, digambarkan
sebagai landasan integrasi hubungan antar ma- dalam Revolusi Perancis, mengandung prinsip-
nusia, kerja dipahami sebagai hasil kerja yaitu prinsip di luar batas yang diberikan kerangka
barang milik. Kerja, pertama-tama menyatukan kerja masyarakat individualis. Ide-ide tentang
individu-individu ke dalam keluarga. Di dalam rasio dan kebebasan, merupakan nilai-nilai yang
kerja, keluarga, “barang milik” keluarga ditetap- tidak dapat dikorbankan kepada negara. Hegel
kan untuk subsistensi. Barang milik ke­luarga berjuang se­panjang hidupnya membuat rasio
berdiri di antara milik keluarga lain. Konflik dan kebebasan sesuai dengan kebutuhan akan
mun­cul di sini bukan sebagai kesadaran sebagai “pengkontrolan dan pengekangan”. Bermacam-­
hasil pemben­tukan bahasa, tetapi hasil perebu- macam usaha Hegel dalam memecahkan perso-
tan harta milik antar ke­lompok. Institusionalisa- alan itu. Hasil akhirnya: negara rasional di bawah

DHARMASMRTI
78
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
aturan hukum. sisi bercabang-­cabang menjadi wilayah-
Hegel, sebagaimana dikutip oleh Marcuse wilayah bisnis di mana bisnis yang lebih kecil
(1969: 81), dalam Jenenser Realahilosophie II, menjadi tidak menguntungkan. Ab­ straksi
melihat keanarkian dan kekaburan civil society kerja sepenuhnya mencapai tipe kerja yang
dengan warna suram. sangat individual dan wilayahnya terus me-
lebar. Ke­
senjangan antara kaum kaya dan
(The individual) is subject to the complete con- miskin berubah menjadi pemotongan bagian-
fusion and hazard of the whole. A mass of pop- bagian dari kehendak masing-masing, pem-
ulation is con­demned to stupefying, unhealthy berontakan dan kebencian batin).
and insecure labor factories, manufactures,
mines, and so on. Whole branches of industry Resiko dalam masyarakat industri bukan se-
which supported a large bulk of the population mata-mata kebetulan, melainkan berproses. In-
suddenly fold up because the mode of changes dividu-individu mempro­duksi eksistensi me-
or because the values of their product fall on lalui hubungan pertukaran dalam pa­sar mem-
account of new inventions in their countries, or berikan integrasi yang dibutuhkan. Individu-
for other reasons. Whole masses are thus aban- indivi­du yang diisolasi akan bertempur dalam
doned to helpless poverty. The conflict between konilik yang kompe­titif. Perjuangan individu
vast wealth and vast poverty steps forth, a pov- yang dahsyat dalam masyarakat industri atau
erty unable to im­prove its condition. Wealth masyarakat-pemroduksi komoditi (comodity
becomes.... a predominant power. Its accumu- producing-society) lebih “baik” dibandingkan
lation takes place party by chance, partly konflik antar kelompok yang saling berebut har-
through general mode or distribution.... Acqui­ ta milik. Hubungan pertu­karan dalam pasar me-
sition develops into a many-sided system which letakkan dalam tingkat perkembangan sejarah
rami­fies into field from which smaller business yang lebih tinggi dan mengimplikasikan sebuah
cannot profit. The utmost abstractness of la- “pengakuan timbal balik” dari hak-hak individu-
bor reaches into the most individual types of al. Kontrak mengekspresikan pengakuan ini seb-
work and continues to widen its sphere. This agai realitas sosial.
inequality of wealth and poverty, this need and Marcuse memperlihatkan bahwa bagi Hegel
necessity turn into the utmost dismemberment muda konsep intersubjektivitas dalam civil soci-
of will, inner rebellion and hatred. ety adalah kontrak. Kon­trak merupakan salah
satu pondasi masyarakat modern, masya­rakat
(Individu adalah subjek terhadap kekaburan secara aktual sebuah kerangka kerja dari
dan resiko selengkapnya dari keseluruhan. kontrak-­kontrak antar individu. Dalam kontrak
Sebuah massa populasi dihukum dengan ter- mensyaratkan hubu­ngan timbal balik yang di-
bius, tak sehat, dan kerja yang tak aman di perhitungkan dan rasional. Oleh karena itu, “uni-
pabrik-pabrik, industri-industri, tambang­ versal adalah substansi kontrak”. Tetapi dalam
tambang dll. Keseluruhan cabang industri kontrak, situasi identitas antara partikular dan
didukung oleh sebuah bagian terbesar popu- universal belum direalisasikan. Potensi-potensi
lasi yang tiba-tiba gulung tikar karena pe- in­dividu jauh dari terlindungi dalam civil society.
rubahan mode atau karena nilai­ nilai dari Konseku­ensinya, kekuasaan harus berdiri di be-
-
produk mereka jatuh di atas hitungan in­ lakang setiap kontrak. Hal itu memungkinkan
vestasi-investasi baru di negara lain, atau terjadi tindak kejahatan dan pemberontakan.
banyak lagi alasan lain. Seluruh massa Pengakuan aturan hukum adalah tahap inte­grasi
dibuang menjadi kaum miskin yang tak ber- dari situasi ini, di mana individu mendamaikan
daya. Konflik antara sedikit orang kaya dan diri dengan masyarakat. Aturan hukum dibeda-
sangat banyak orang miskin terus berlanjut, kan dari aturan kontrak sejauh hal itu ditempat-
kaum miskin tak mampu mengubah kondis- kan ke dalam perhitungan “diri individu dalam
inya. Kaum kaya menjadi penguasa utama. eksistensinya sebaik dalam pengeta­huannya”.
Akumulasinya mengambil tempat sebagian Individu mengetahui bahwa dia dapat eksis han-
melalui kesempatan, sebagian melalui distri- ya melalui hukum, bukan hanya karena hal itu
busi secara menyeluruh. Keahlian berkem- melindungi dia, tetapi hal itu jaminan utama ba-
bang men­jadi sebuah sistem dengan banyak- gi perkembangan diri. Dalam tahap ini intersub-

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 79
Bito Wikantoso
jektivitas berlandaskan hukum. berjudul: “Kerja dan Interaksi: Catatan-catatan
Hegel menggambarkan bangsa sebagai ma- tentang Karya Hegel di Jena, filsafat tentang
syarakat demo­kratis. Hal itu diperlihatkan oleh Roh”, menafsirkan konsep inter­subjektivitas
situasi negara-kota Yunani. Di sana, kesatuan Hegel Muda secara berbeda dari Marcuse. Ia
antara individu dan kehendak umum masih bertolak dari kategori-kategori: bahasa, alat dan
spontan dan secara kebetulan saja. Tetapi de­ keluar­ga, menunjuk dalam hubungan dialektis
mokrasi semacam ini masih rapuh. Integrasi yang ekuivalen: re­presentasi simbolis, proses
bangsa Yunani hanya dalam kesatuan langsung, kerja dan interaksi.
didasarkan atas perasaan belaka dan tidak atas Terhadap tiga hubungan kerja, bahasa, dan
kesadaran intelektual dan organisasi moral ma- interaksi, Habermas (1990: 2) mengemukakan
syarakat: Hegel mengatakan bahwa situasi itu tesis:
mem­butuhkan penjaga kesatuan yang baik yai-
tu: monarki. Negara dalam bentuk monarki “Bukanlah Roh dalam gerak absolut mere-
adalah organisasi rasional dari ma­ syarakat fleksikan dirinya, antara lain memanifestasi-
dalam beragam peranan. Semua peran seluruh- kan diri dalam bahasa, kerja dan hubungan
nya diabdikan untuk kepentingan umum. etis, melainkan pengertian Roh baru ditentu-
Lebih penting lagi, negara monarki merupak- kan oleh saling hubungan yang dialek­tis an-
an negara Kristen. Lebih tepat lagi, negara Kris- tara perlambang bahasa, kerja dan interaksi.”
ten yang datang ber­sama Reformasi Jerman.
Baginya, negara adalah perwujudan dari prin- Roh yang dimaksudkan Hegel di sini dalam
sip-prinsip kebebasan Kristiani. Kebebasan ini arti suatu kesatuan antara inteligensi dan ke-
memproklamasikan kemerdekaan hati nurani hendak. Kesatuan ini di­ bentuk dalam jalinan
manusia, dan ke­dudukan umat manusia sedera- hubungan yang fundamental antara re­
jat di hadapan Tuhan. Me­nurut Hegel, tanpa ke- presentasi-simbolis, kerja dan interaksi. Hubun-
bebasan batin ini, kesadaran akan de­mokrasi gan antara ketiga momen itu bukan dalam ab-
berada di luar batin manusia. Kesadaran sema- straksi-abstraksi. Dalam abstraksi-abstraksi,
cam ini tidak berfaedah. Reformasi Protestan Roh hanyalah roh subjektif dan objek­tifikasi-
menggambarkan prestasi terbesar dalam seja- objektifikasi sebagai tempat Roh memperoleh
rah yaitu: keputusan bahwa in­dividu sungguh- ek­sistensi lahirnya dikeluarkan dari proses Roh.
sungguh bebas hanya ketika ia menjadi kesa­ Berdasar konsep Roh ini Habermas memaha-
daran-diri. Kesadaran-diri ini tidak dapat di- mi konsep sub­jektivitas dari Hegel secara baru.
cabut. Pro­testanisme memapankan konsep kes- Pengertian Aku, menurut Hegel, mencakup pen-
adaran-diri ini dengan memperlihatkan bahwa galaman dasar mengenai dialektika. Aku digam-
kemerdekaan Kristiani diimplikasikan ke dalam barkan sebagai kesatuan. Suatu “kesatuan yang
wilayah realitas sosial, kepatuhan dan ketaatan mengacu pada dirinya sendiri”, sebagai “Aku ber-
kepada hirarki ketuhanan yang maujud dalam pikir”, harus dapat menyertai semua pikiran sa-
negara. ya. Konsep ini meng­artikulasikan pengalaman
Jadi, dalam konsep negara sebagai komunitas dasar dari-filsafat refleksi: yak­ni, pengalaman
bang­sa, intersubjektivitas berdasarkan kesada- identitas Aku di dalam refleksi-diri, jadi pengal-
ran sebagai ben­tukan universal (Roh). Kesada- aman-diri dari subjek yang mengenal, melepas-
ran ini bersifat langsung seperti yang digambar- kan diri dari segala objek yang mungkin di dunia
kan negara-kota Yunani. Tetapi seka­ligus Roh dan mengacu kembali kepada diri sendiri seb-
mendasari subjektivitas manusia sebagai agai satu-satunya objek. Tetapi Hegel lebih lan-
kesada­ran-diri. Dengan demikian, intersubjekti- jut mengikuti Dialektika Aku dan orang lain
vitas bersifat langsung sebagai ungkapan kes- dalam rangka subjektivitas roh, di mana Aku
adaran-diri manusia bebas. yang berkomunikasi bukan Aku dengan dirinya
sendiri sebagai diri yang lain, melainkan Aku
2.2.2. Penafsiran Jurgen Habermas dengan suatu Aku lain sebagai orang lain.
Habermas dalam buku­nya: Technik und wis- Dialektika kesadaran-diri, menurut Hegel,
senchaft als Ideologi (1990: 1- 31) dan juga The- melampaui hubungan refleksi-diri dan meru-
ory and Practice (1974: 192-169), menafsirkan pakan hubungan komplementer antara indivi-
kembali karya-karya Hegel muda dalam bab du-individu yang saling mengenal. Pengalaman

DHARMASMRTI
80
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
kesadaran-diri tidak lagi merupakan pengala- manusia yang diindividukan.
man asali, me­lainkan lebih merupakan hasil Hegel merekonstruksi penindasan dan pemu-
pengalaman interaksi, di mana Aku belajar meli- lihan situasi dialog sebagai hubungan etis. Di
hat diri dengan mata subjek lain..Da­lam dialek- dalam gerak ini, yang ha­nya bisa dinamakan di-
tika ini, Roh bukan dalam arti dasar yang me­ alektis, hubungan-hubungan logis dari suatu ko-
landasi subjektivitas diri dalam kesadaran-diri, munikasi yang didistorsikan dengan menggu-
melainkan merupakan medium yang di dalam- nakan kekerasan pada gilirannya akan melaku-
nya suatu Aku berkomunikasi dengan Aku lain kan kekerasan prak­tis. Kekerasan baru ditiada-
itu. Kedua Aku itu baru berkembang atas dasar kan ketika situasi dialog sudah tercapai. Hilang-
resiprositas itu dan menjadi subjek. nya kekerasan melahirkan kebebasan. Oleh
Aku sebagai kesadaran-diri oleh Hegel dipa- karena itu, pengenalan diri orang lain yang dia-
hami Aku kosong seperti diajarkan Kant, tetapi logis atau cinta kasih merupakan rekonsiliasi.
la menurunkan ting­kat Aku itu menjadi momen, Yang dialektis bukan intersubjektivitas tanpa
dengan Jalan memasukkannya ke dalam katego- paksaan itu melainkan proses re­presinya dan
ri yang umum. Aku sebagai kesadaran-diri ada­ pemulihannya.
lah Aku yang umum, karena ia merupakan Aku Dalam hubungan tentang pemilikan, Hegel
yang abstrak, yakni sebagai hasil abstraksi dari menunjukkan subjek-subjek yang sedang ber-
segala Isi, Aku bagi suatu subyek yang mengenal juang dengan segenap jiwa ra­ga mereka mem-
atau membayangkan sudah diberi­kan. Tetapi pertahankan setiap milik mereka yang mereka
Aku juga kategori keindividualan. Aku adalah in- peroleh melalui kerja. Subjek-subjek berjuang
dividualitas, tidak hanya dalam arti pengidenti- untuk mempe­roleh pengakuan. Perjuangan ini
fikasian yang dapat diulang-ulang dari ses- merupakan perjuangan hidup dan mati. Hasil
eorang tertentu di dalam rangka koordinat- hubungan ini bukan pengenalan-diri yang lang-
koordinat yang dapat ditunjukkan, melain­kan sung dalam diri yang lainnya, melainkan suatu
dalam arti suatu nama diri yang mengacu kepa- keadaan di mana subjek-subjek berhadapan sa-
da semba­rang orang yang diindividukan. Aku tu sama lain atas dasar pengakuan timbal balik.
adalah Umum dan Indivi­du tercakup menjadi sa- Dikatakan timbal balik sebab ber­dasarkan kes-
tu. Roh adalah perkembangan dialek­tis dari kes- adaran bahwa identitas Aku hanya mungkin
atuan ini, yakni totalitas etis. mela­lui identitas orang lain yang mengakui Aku,
Menurut Hegel, Roh (Spirit) tidak sekedar dan yang pada gilirannya tergantung pen-
“Roh Bangsa”: suatu jaman: atau sebuah tim, gakuanku.
melainkan komunikasi individu-individu di Hegel memahami konsepsi Aku dari proses
dalam suatu medium umum. Hubungan Roh perkembangan, yakni dari proses perkemban-
dengan individu-individu itu, seperti hubungan gan penyatuan komunikatif dari subjek-subjek
antara gramatika suatu bahasa dengan orang- yang saling berhadapan. Di dalam kuliah-kuli­
orang yang berbicara dalam bahasa itu. Atau, an- ahnya di Jena, Hegel mengkonstruksi dengan
tara suatu sistem norma yang berlaku dengan menggunakan con­toh kehidupan bersama suatu
individu-individu yang berbuat. Jadi di da­lam kelompok primer, yakni interak­si dalam ling-
hubungan antara Roh dan individu tidak diton- kungan keluarga. Konsepsi “milik keluarga” seb-
jolkan momen yang umum terhadap yang khas. agai titik pusat yang berlaku bagi hubungan tim-
Keorisinalan pemahaman Hegel itu adalah: Aku bal ba­lik. Dua kategori lain: bahasa dan kerja.
sebagai kesadaran diri hanya dapat dimengerti Disamping Keluar­ga, oleh Hegel-dikembangkan
jika ia merupakan Roh, artinya, apabila Aku dari pula dua kategori lain: kerja dan bahasa. Ketiga
subjektivitas berubah menjadi objektivitas yang model dasar itu heterogen, bahasd dan kerja se-
umum. Dalam yang umum itu, atas dasar re- bagai medium-medium Roh tidak dapat diasal-
siprositas, subjek-sub­jek saling mengenal diri kan dari pengalaman interaksi dan pengakuan
masing-masing. Dengan demikian, subjek-sub- timbal balik.
jek yang tidak identik satu sama lain, dipersa­ Bahasa bagi Hegel tidak hanya mencakup
tukan. Dalam hal ini, sosialisasi sebenarnya ti- hubungan anta­ra subjek yang bertindak dan ke-
dak boleh diartikan sebagai pemasyarakatan hidupan bersama, melainkan juga berarti peng-
suatu individu tertentu, lebih tepat jika di- gunaan simbol-simbol oleh individu yang meny-
katakan, bahwa sosialisasi baru mengha­silkan endiri, yang dihadapkan pada alam dan yang

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 81
Bito Wikantoso
memberi nama pada benda-benda. Hegel me- 2.3. Konsep Intersubjektivitas dalam
mandang representasi seba­gai fungsi sebena- Phenomenology of Spirit
rnya dari simbol-simbol: sintetis asali keaneka Hegel menggambarkan konsep intersubjekti-
ragaman berkaitan dengan fungsi representasi vitas dengan bertolak pada ide tentang kesada-
tanda-tanda, yang memungkinkan pengidentfi- ran. Hegel mengatakan:
kasian benda­benda. Melalui simbol-simbol itu,
kesadaran yang berbicara menjadi objektif bagi Self-consciousness exist in and for itself when,
dirinya sendiri sebagai suatu sub­jek. Oleh kare- and by the fact that, it so exist for another: that
na itu, bahasa memberikan pemaknaan ganda: is, it exist only in acknowledged (Hegel, 1977:
di satu pihak, melebur dan menyimpan benda 111). Each is for the other the middle term,
yang dilihat di dalam sebuah simbol yang merep- through which each mediates itself with itself
resentasikan benda itu. Dan di lain pihak, meme- and unites with it­self, and each is for itself, and
lihara jarak antara kesadaran dan ob­ jek- for the other, animmediate being on its own
objeknya, di mana Aku melalui simbol-simbol ini account, which at the same time is such only
yang diciptakannya sendiri, dalam waktu bersa- through this mediation. They recog­nize them-
maan berada dalam benda-benda itu dan pada selves as mutually recognizing one another
dirinya sendiri. Dalam bahasa, Roh adalah logos (Hegel, 1977: 112).
sebuah dunia dan bukan refleksi kesada­ran-diri
yang menyendiri. (Kesadaran-diri, ada dalam dan bagi dirinya
Sedangkan kerja dipahami Hegel sebagai cara sendiri ketika dan hanya oleh fakta hal itu ada
spesifik memuaskan dorongan. Kerja mematah- bagi orang lain, berarti, hal itu ada hanya
kan pendiktean nafsu yang langsung dan seolah- dalam pengakuan).
olah menahan proses pemuasan dorongan ini.
Alat-alat kerja di dalamnya mengendap general- (Setiap-kesadaran diri merupakan perantara
isasikan dari Alat kerja mengikat merupakan ti- yang lain, melalui beberapa perantaraan diri
tik pusat bidang kerja, pengalaman-pengalaman sendiri dengan diri sendiri dan kesatuan diri
yang sudah di­orang yang bekerja dengan ob- sendiri dengan diri sen­diri, dan setiap kes-
jeknya. aturan-aturan yang tetap, dengan pen- adaran-diri untuk diri sendiri dan untuk diri
guasaan proses-proses alam dapat diulangi ses- yang lain sebagai keberadaan diri yang serta
uka hati. Di dalam alat kerja, subjektivitas kerja merta nyata, yang dalam waktu yang sama
diangkat menjadi umum: setiap orang dapat ada bagi dirinya sendiri melalui perantaraan
membuat tiruannya dan melakukan pekerjaan ini. Mereka mengakui diri mereka sebagai
yang sama. Dilihat dari segi ini, kerja merupa­kan pengakuan timbal balik setiap satu dengan
aturan yang tetap. yang lain).
Pada mulanya bukan alam yang ditundukkan
dengan sim­bol-simbol ciptaan sendiri, melaink- Pengakuan timbal balik seseorang dengan
an sebaliknya, subjeklah yang tunduk kepada sesamanya me­rupakan pandangan yang men-
kekuatan alam. Tetapi melalui kerja sekarang arik dari Hegel tentang struktur nyata hubungan
kesadaran sebagai kesadaran yang bersiasat, ketergantungan dua kelompok manusia. Pan­
yang dalam tindakan-tindakan instrumentalnya dangan Hegel itu dapat dilihat pada salah satu
menggunakan penga­laman-pengalamannya analisa paling gemilang tentang arti sosial buda-
dalam proses penundukkan alam itu. ya pekerjaan manu­sia. Analisa itu ditemukan
Hegel tidak mereduksi interaksi menjadi ker- dalam Phenomenology of spirit pada fragmen
ja, tidak pula mengangkat kerja ke dalam inter- Tuan dan Budak (Lordship and Bondage).
aksi. Keduanya, sejauh dialektika cinta kasih dan Hegel bertitik tolak dari suatu skenario dasar
perjuangan tidak dapat di atasi oleh hasil-hasil manu­sia, yaitu: keadaan konfrontasi hidup dan
tindakan instrumental dan pengkonstitu­sian ke- mati antara dua pribadi yang mau membuktikan
sadaran yang bersiasat. Hasil pembebasan me- diri. Konfrontasi antara me­reka berakhir dengan
lalui kerja masuk ke dalam norma-norma, yang kematian satu pihak. Tetapi bisa juga terjadi
mengatur tindakan komplementer manusia. bahwa akhirnya yang satu menjadi takut dan
menye­rah. Dengan demikian menjadi budak si
pemenang (Magnis­Suseno, 1992 a: 114).

DHARMASMRTI
82
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
Hegel mengemukakan bahwa kesadaran atau of Spirit ini merupakan penjelasan yang lebih
subyek pe­ngetahuan itu serba tidak jadi, melain- mendetail sebagai kelanjutan konsep “perjuan-
kan ada dalam proses pembentukan. Sebagaima- gan un­tuk pengakuan timbal balik” yang telah
na dikatakan Hegel: dikembangkan Hegel pada masa di Jena.
Sebaliknya Habermas (1990: 32-33), men-
The unity of being-for-another and being-for- gatakan bahwa sejak dalam Phenomenology of
oneself, this universal substance, speaks its Spirit, dialektika yang khas antara kerja dan in-
universal lan­guage in customs and laws of its teraksi telah kehilangan posisinya, yang secara
nation... The laws proclaim what each individ- sistematis masih dimilikinya dalam kuliah-kuli-
ual is and does the indi­vidual knows them nor ah di Jena. Hegel sekarang menggantikannya
only as his universal objec­tive... but equally dengan pemba­gian Roh di dalam ensiklopedinya
knows himself in them, and in each of his fellow menurut Roh subjektif, Roh objektif dan Roh ab-
citizens... Just as this unity ex­ist through me, so solut. Selanjutnya dalam Encyclo­pedia yaitu
it exist through the others too (Hegel, 1977: karya lebih lanjut setelah Phenomenology, dia­
351). lektika kerja dan interaksi sekarang dikonstruk-
si sebagai hubungan-hubungan riil, yang disub-
The single individual consciousness... Is a solid ordinasikan: di dalam filsafat tentang Roh sub-
un­shaken trust in which spirit has not, for the jektif. Kerja sebagai tindakan in­strumental pada
indi­vidual, resolved itself in its abstract mo- umumnya, tidak disebut-sebut. Gantinya, seb-
ments, and therefore he is not aware of himself agai kerja sosial di bawah judul sistem
as being a pure individuality on his own ac- kebutuhan-kebu­tuhan, Hegel menyebut hal itu
count. But once he arrived at this idea, as he sebagai unsur penting dalam perkembangan
must, then this immediate unity... his trust, is Roh objektif. Hanya dialektika hubungan etis
lost (Hegel, 1977: 355). masih mempertahankan posisinya, baik dalam
kuliah-kuliah di Jena maupun dalam Encyclo-
(Kesatuan ada-bagi-diri yang lain dan ada-ba- paedia. Tetapi di dalamnya ti­dak dikenal lagi di-
gi-diri sendiri, ini substansi universal, dibi- alektika cinta kasih dan perjuangan, melainkan
carakan sebagai bahasa universal dalam adat dialektika, yang oleh Hegel dikembangkan seb-
istiadat, hukum bangsa... agai gerak Roh absolut.

Hukum itu menyatakan bahwa setiap indivi- 2.4. Konsep Intersubjektivitas dalam
du adalah dan berbuat, secara perseorangan Philosophy of Right
mengetahui diri mereka tidak hanya keumu- Bagi Hegel hubungan antara individu dan
man objektif tetapi dengan sama me­ngetahui masyarakat dalam dunia modern terungkap me-
dirinya dalam mereka, dan pada setiap warga lalui tiga’ lembaga yaitu: hukum, moralitas dan
negara... sebagaimana kesatuan ini eksis me- Tatanan-Sosial Moral yang terkait satu sama
lalui saya, maka itu juga eksis melalui yang lain. Urutan ketiga lembaga itu adalah urutan
lain juga). perealisasian kemerdekaan individu yang sema-
kin konkret. Landasan integrasi masyarakat
(Kesadaran perseorangan yang tunggal.’.. se- modern adalah sistem hukum modern, menjadi
buah kepas­tian solid tak terguncang dimana lebih.real dalam suara hati setiap anggota ma-
roh tidak, bagi perorangan, mengubah diri ke syarakat, dan mencapai kesempurnaan dalam
momen abstrak, dan oleh s­ ebab itu ia tidak Tatanan-Sosial Moral (Ethical Life. Sittlichkeit)
menyadari dirinya sebagai ada secara indi- yang dijamin negara. Magnis-Suseno (1990 b:
vidual murni dalam perhitungannya sendiri. 107-111) mengatakan bahwa hu­kum oleh Hegel
Tetapi dia sebagai yang tunggal dia mencapai pertama-tama dibedakan dari moralitas. Hu­kum
ide ini, la harus, kemudian kesatuan langsung adalah eksistensi langsung yang diambil secara
ini... kepas­tiannya, hilang). lang­sung contoh utamanya: hak milik pribadi.
Pengakuan terha­dap milik pribadi sebagai hu-
Marcuse (1969: ?7), mengatakan bahwa kon- kum: yaitu hak untuk diakui dan dilindungi,
sep intersub­jektivites yang terwujud dalam di- merupakan lingkaran luar dari eksistensi, oleh
alektika tuan dan budak pada Phenomenology karena itu hukum semata-mata formal dan ab-

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 83
Bito Wikantoso
strak, ar­tinya tidak secara khusus menggerak- gan keya­kinan atau kepercayaan. Keyakinan dan
kan kehendak, penger­tian dan maksud. kepercayaan muncul dalam refleksi. Hal ini dise-
Moralitas, menurut Hegel, adalah lingkaran babkan refleksi mensyaratkan kekuasaan pem-
kehendak subjektif, mempertahankan diri se- bentuk ide dan membuat pemisahan. Hubungan
cara otonom berhadapan dengan seluruh dunia subjek dengan tatanan etika lebih sebagai jiwa
luar. Jika hukum bersifat heteronom atau keta- kehidupan dari kesadaran-diri aktual. Hubun-
atan terhadap aturan yang berasal dari luar dan gannya bersifat insight (subjek sadar akan objek
yang bersifat memaksa, sebaliknya, moralftas secara langsung).
bersifat oto­nom. Orang yang bermoral bertekad Bidang Tatanan-Sosial Moral pada pokoknya
mengikuti suara hatinya. Atas nama suara hat- ditentukan oleh tiap lingkup hidup manusia: ke-
inya ia berani menentang segala paksaan dari lu- luarga, masyarakat umum (civil society) dan
ar. Titik tolak moral adalah subjek. Akan tetapi, negara. Tiga lembaga itu disebut Tata­nan-Sosial
menurut Hegel, moralitas pun masih bersifat ab- Moral karena mereka memerlukan adat istiadat,
strak, karena moralitas tinggal dalam kebatinan kebiasaan dan hukum, sebagaimana individu
murni dan tidak mengacu pada struktur-struk- harus bertindak sebagai mahluk rasional.
tur obiektif dunia sosial. Hegel memahami keluarga sebagai roh etika
Lembaga ketiga yang berupa struktur realitas dalam ke­alamiahan dan kelangsungan. Kemudi-
sosial adalah Tatanan Sosial-Moral. Tatanan-So- an, ‘Tatanan-Sosial Moral dipahami sebagai civil
sial Moral menurut Hegel, adalah konsep kebe- society perkumpulan anggota masya­rakat, seb-
basan yang dibangun menjadl dunia yang tam- agai subs istensi diri. Perkumpulan ini hanya
pak dan alam kesadaran-diri. Sebagai dunia yang abs­trak. Mereka membentuk asosiasi berdasar-
tampak, Talanan-Sosial Moral maujud dalam kan kebutuhan-­ kebutuhan mereka, melalui
tatanan moral objektif, yaitu: kebaikan abstrak sistem legal, yaitu: cara-cara melindungi person
dibuat menjadi substansi konkret melalui sub- dan barang milik dan melalui sebuah or­ganisasi
jektivitas sebagai bentuk yang tak terbatas. Jadi eksternal untuk mencapai partikularitas dan ke-
Tatanan-Sosial Moral memposisikan bersama pentingan-kepentingan bersama. Sedangkan
dirinya sendiri, memisahkan diri dari karakter negara, dipahami Hegel sebagai, penyatuan kon-
spesifik. Dengan cara demikian, hal itu menen- stitusi Negara di antara tata­nan moral universal
tukan konsep­-konsep dan membuat tatanan eti- dan kehidupan publik seperti dalam civil society.
ka menjadi isi independen yang stabil dan sub-
sisten di atas pandangan subjektif dan jalan piki- 2.4.1. Keluarga.
ran yang tiba-tiba. Pemisahan hukum-hukum Hegel mendefinisikan keluarga sebagai:
dan institusi-institusi yang secara absolut valid.
Tatanan etika adalah kebebasan atau kehendak The family, as the immediate substantiality of
absolut yang objek­tif. Sebagai hal yang objektif, mind, is specifically characterized by love,
kekuasaan etika mengatur kehidupan individu- which is mind’s feeling of its own unity. Hence
individu. Di dalam kekuasaan individu­-individu in a family, one’s frame of mind is to have self-
saling berhubungan sebagai kejadian-kejadian consciousness of one’s individuality within this
da­lam substansi. Kekuasaan itu dalam diri indi- unity as the absolute essence of one self, with
vidu digambar­kan memiliki penampakkan dan the result that one is in it not as an indepen-
menjadi diaktualisasikan. dent person but as a member (Hegel, 1967:
Menurut Hegel (1967: 108-109), substansi 111).
etika dan hukum-hukum serta kekuasaannya, di
satu sisi sebuah objek yang berhadapan secara (Keluarga, sebagai substansialitas pikiran
bertentangan dengan subjek, dan da­lam arti ini langsung, secara spesifik dicirikan oleh cinta,
keduanya merupakan ada (being) yang sub- yaitu perasaan pikiran dari kesatuannya
sisten. Hal itu adalah otoritas yang absolut dan sendiri. Jadi dalam sebuah keluarga, kerang-
kekuasaan tanpa batas. Tetapi, di sisi lain, sub- ka pikir seseorang bersama kesatuan ini seb-
stansi etika bukan suatu yang asing bagi subjek. agai hakekat absolut dari diri seseorang, de­
Sebaliknya, subjek secara langsung menyatu ngan hasil bahwa seseorang dalam hal itu bu-
dalam tatanan etika melalui sebuah hubu­ngan kan seo­rang person yang bebas tetapi ang-
sebagai sebuah identitas dibandingkan hubun- gota komunitas).

DHARMASMRTI
84
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
terima. Ini merupakan kontradiksi amat sangat
Perwujudan keluarga, menurut Hegel, adalah besar yang inheren dalam bentuk sosial itu.
masyara­kat negara-kota Yunani. Individu dalam Berdasarkan latar belakang masyarakat Yu-
masyarakat Yunani posisinya di bawah kekua- nani, konsep kekuasaan manusia, menurut
saan komunitas. Subjeklivitas belum diberi tem- Hegel, hanya dapat direalisasi­kan sepenuhnya
pat. Sebagai contoh: kasus Socrates. Ma­syarakat dalam sebuah konteks sosial di mana kritisisme
Yunani menempatkan Socrates sebagai bagian individu akan tatanan sosialnya dilegitimasikan,
dari keteraturan sosial. Sebagai seseorang yang dan di mana susunan institusional merupakan
memiliki subjektivitas, Socrates merupakan hasil pandangan dan aktivitas individu-individu.
kekuatan destruktif. Kesadaran subJek dikerang-
kai himpunan konsep yang tersedia secara 2.4.2. Civil Society
umum. Maka sudut pandang Socrates dipandang Masyarakat Yunani runtuh dengan mun­
sebagai suatu hal yang tampak pribadi, eksklusif culnya subjektivitas, yaitu: warga negara men-
dan termasuk dis­kursus politik yang asing bagi jadi reflek­tif dan tidak menerima begitu saja
jamannya. adat istiadat komunitas sebagai kebutuhan yang
Menurut Aristoteles (tak disangsikan sangat memadai dalam kebijaksanaan nilai­nilainya. Ke-
ideal), polis-polis Yunani kuno menentukan ben- mudian Hegel mendeskripsikan civil society seb-
tuk hidup di mana suhjektivitas individu adalah agai lahap lebih lanjut dari keluarga.
subjektivitas warga negara dan sebagian diten- Hegel mendeifinisikan civil society sebagai:
tukan oleh peran serta mereka dalam kegiatan-
kegiatan yang diperlukan menopang polis itu. an association of members as self-subsistent
Da­lam hal ini kesejahteraan individu (eudaemo- individ­uals in a universality which, because of
nia) sebagian dapat ditentukan dengan sumban- their self­subsistent, is only abstract. Their as-
gan yang diberikan individu untuk kesejahter- sociation is brought about by their needs, by
aan sosial. Sekurang-kurangnya tidak me­ the legal system -the means to security of per-
ngorbankan yang satu bagi yang lain (Poole, son and property- and by an external organi-
1993: 19). zation for attaining their particu­lar and com-
Subjektivitas warga negara Yunani berdasar- mon interest. ‘rhis external state. (Hegel, 1967:
kan tata bangun konsep-konsep. Sebuah pema- 110).
haman tentang konsep-kon­sep itu lebih meliputi
referensi pada konsep-konsep itu dibandingkan (sebuah perkumpulan anggota sebagai indi-
semata-mata kekuatan determinasi. Jadi masya­ vidu-individu yang subsistensi-diri dalam se-
rakat Yunani eksis sebagai masyarakat “rohani” buah universalitas yang sama, karena subsis-
dan bukan bentuk masyarakat “alami”. Sebagai tensi-diri mereka, hanya abstrak. Perkumpu-
masyarakat “rohani” ha­nya dapat eksis sebagai lan mereka dihasilkan oleh kebutuhan-
kebajikan dari kekuasaan manusia menginter- kebutu­han mereka, melalui sistem legal —
nalisasi dan menggunakan konsep-konsep se- cara-cara melin­dungi person dan barang mi-
cara bersama-sama (Walton, 1983: 86). lik dan dengan sebuah orga­nisasi eksternal
Meskipun kekurangan subiektivitas reflektif, bagi pencapaian kekhususan dan ke­pentingan
masyara­kat Yunani tergantung pada mahluk- bersama. Inilah negara eksternal).
mahluk manusia. Mereka menggunakan konsep-
konsep dan pandangan hidup yang berasal dari Civil society menegaskan sebuah sistem eko-
manusia. Manusia Yunani bukan semata-mata nomi tempat anggota-anggota dapat bekerja
sebuah efek dari determinasi psikologis atau dan berdagang memuaskan kebutuhan mere-
struktural. Tetapi seba­gai pengada dependen ka, ditambah institusi-institusi sipil seper­ti:
atas kekuasaan konseptual. Masyarakat Yunani pasar, pengadilan dan administrasi keadilan
menyangkal realisasi diri mereka sepenuhnya. publik, kesejahteraan minimal dan sistem anti-
Pe­nyangkalan mereka lakukan melalui penyang- monopoli.
kalan terhadap suara hati, pilihan dan kritik in- Individu dalam civil society memiliki kebe-
dividual. Dan juga mela­ lui tuntutan untuk basan dan kekayaan yang tercukupi. Kebutuhan-
menerima secara tidak reflektif terha­dap adat- kebutuhan individu tidak identik dengan penge-
istiadat dan aturan-aturan sosial yang mereka jaran kebahagiannya, tidak pula sekedar

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 85
Bito Wikantoso
memenuhi pemuasan kebutuhan, tetapi usaha Hasilnya adalah kehancuran masyarakat.
memenuhi kesatuan antara pikiran dan tatanan Definisi individu sebagai mahluk bebas, yang
kebutuhan. Maka, dalam membuat pilihan dan mengua­ sai barang miliknya secara mandiri,
ukuran individu tidak dapat kembali pada jami- mengandung arti ke­rangka kerja dari interaksi
nan tradisional melalui peran-peran, tetapi ia dan peran-peran institusional yang formal. Indi-
harus memilih ukuran sendiri. Hal ini memperli- vidu menjadi ahli bukan karena kualitas, dirinya.
hatkan bahwa individu merupakan seorang pe- Individu-individu, dalam civil society, mengakui
milih yang formal dan kosong. Hegel memahami satu sama lain berdasarkan objek-objek yang
civil society sebagai sebuah medan perang ke- mereka miliki. Person modern mengakui sesa-
pentingan-kepentingan pribadi (a battle-field of manya sebagai seorang individu yang dapat
private interest): Sebagai medan pertempuran, membuat pilihan dan memiliki kebutuhan. Ke-
setiap orang dalam civil society saling berhubun- butuhan dan pilihan pada suatu dunia didasar-
gan dalam pertentangan. Kepentingan pribadi kan atas barang milik. Masyarakat mengem-
bertentangan dengan kepentingan bersa­ma, ke- bangkan kebutuhan-kebutuhan agar struktur
mudian kedua kepentingan tersebut bersama- sosial sebagai intersubjektivitas dimungkinkan.
sama me­nentang organisasi negara dan konsep- Banyak orang mengatakan bentuk kebebasan
konsep yang lebih tinggi. dari civil society adalah ideal. Tetapi Hegel tidak
Individu-individu yang bebas saling tergan- menyetujui hal tersebut. Hegel mengatakan bah-
tung satu sama lain berdasarkan kepentingan wa bentuk aktualitas indivi­du dalam civil society
memenuhi kebutuhan ma­sing-masing. Menurut mengarah pada salah satu dari berbagai macam
Kolb (1986: 28), civil society dari Hegel adalah tatanan yang mungkin untuk organisasi indivi­
ciptaan motif-motif dipusatkan pada diri (self- du-individu yang serupa. Hal ini justru menjadi
centered motives), bukan kebijaksanaan politik tempat penghancuran pewatakan parlikularitas
dan tindakan kebajikan sebagaimana dituntut dan organisasi, sebaliknya justru kesadaran diri
masyarakat Yunani. Anggota civil society mera- sebagai hasil kebebasan negatif itu yang maju.
sakan tanpa tekanan mengurus segala sesuatu Dalam hubungannya dengan keluarga dan
terkecuali syarat-syarat formal dari prose­dur negara civil society adalah bentuk komunitas
keadilan dan syarat-syarat eksternal dari perda- yang menghalangi keluarga sebagai pendasaran
gangan dan perjanjian. Ciri khas civil society negara. Civil society adalah prestasi dari dunia
adalah komunitas itu memberikan struktur- modern yang memberikan determinasi Ide ten-
struktur kosong dan formal. tang hak. Civil society merupakan kesatuan yang
Hegel tidak mengakui individualisme selalu hanya berupa perkongsian. Dalam civil society
sebagai kebenaran yang tersembunyi dalam setiap anggota memillki tujuannya sendiri,
dasar-dasar setiap kebu­dayaan dan masyarakat. orang lain bukan apa-apa bagi dirinya. Orang
Individualisme modern adalah pres­tasi dari se- lain juga memiliki tujuan-tujuan mereka sendiri.
buah proses panjang dan merupakan suatu yang Mereka berhubungan dengan sesamanya untuk
baru dalam sejarah kebudayaan Barat. Civil soci- memenuhi kepen­tingan mereka sendiri.
ety bukan pengakuan terakhir dari kondisi per- Menurut Walton (1983: 68), tujuan
manen, hal itu adalah ukuran kondisi baru. Kare- perseorangan menga­sumsikan sebuah bentuk
na struktur intersubjektivitas dan akibat dari in- universalitas melalui hubungannya dengan indi-
dividualisme, mengubah tahap yang berbe­da vidu yang lain. Hal ini hanya mungkin dicapai
dalam sejarah. dalam kesejahteraan bersama. Sejak yang parti-
Menurut Kolb (1986: 30), sepanjang sejarah kular tak da­pat dielakkan dan tidak mungkin
Barat, gagasan tentang identitas manusia secara dikondisikan oleh yang universal, wilayah ke-
berangsur-angsur dimurnikan dari kesadaran bersamaan dalam civil society adalah wilayah
milik bersama. Sebagai contoh: revolusi Peran- perantaraan. Di sana berbagai macam permain-
cis. Rakyat mengusahakan masyarakat dan poli- an bebas dengan segala keanehannya, bakat-
tik yang memiliki struktur pengakuan yang ber- bakatnya dan setiap bentuk spontanitasnya, la-
titik tolak dari individu-individu sebagai pemilih hir dan berkembang. Yang partiku­lar ditentukan
murni. Tetapi usaha pendefinisian diri ini hanya yang universal dengan jalan setiap anggota
negatif, karena tidak menempatkan pembatasan mampu mengembangkan kesejahteraannya
kesadaran individu melalui kesada­ran bersama. sendiri.

DHARMASMRTI
86
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
2.4.3. Negara The state is the actuality of concrete freedom.
Civil society adalah bentuk negara, dimana But concrete freedom consist in this, that per-
perbedaan-perbedaan dan konflik-konflik parti- sonal indi­viduality and its particular interest
kular sangat eksplisit. Kepentingan warga nega- not only achieve their complete development
ra dengan negara terbatas pada persoalan hu- and gain explicit recognition for their right...
kum perdata dan ekonomi, jadi bukan uru­san but, for one thing, they also pass over of their
politik. Individu memisahkan dirinya dari uru- own accord into interest of the universal, and,
san ma­syarakat. Urusan pribadinya tidak terkait for another thing, they know and will the uni-
dengan urusan politik dan kesulitan politik ti- versal... they take it as their and and aim and
dak menarik perhatiannya. are active in its pursuit. The result is that the
Menurut Hegel, bersamaan dengan saat ter- universal does not prevail or achieve com­
jadinya kon­flik kepentingan, roh korporasi (cor- pletion except along with particular interest
poration spirit) di­timbulkan ketika individu par- and through the co-operation of particular
tikular mencapai gelar mereka tentang hak. Sek- knowing and willing: and individuals likewise
arang batin diubah menjadi roh negara yai­tu se- do not live as private persons for their own
jak negara menegakkan tujuan-tujuan partiku- ends alone, but in the very act of willing these
laritas warga negara. Inilah rahasia patriotisme they will the universal in the light of the uni-
warga negara, yaitu: negara menegakkan ke- versal... (Hegel, 1961: 160-161).
pentingan-kepentingan khusus mereka bersama
gelar, otoritas, dan mengusahakan kesejah­ (Negara adalah perwujudan dari kebebasan
teraan bagi warga negara. Ualam Roh korporasi, yang kong­krit. Tetapi kebebasan kongkrit
sumber partikular dan universal langsung di- yang termuat dalam komunitas ini, individu-
hadirkan. Oleh karena itu, di dalam Roh yang alitas personal dan kepenti­ngan partiku-
terdalam dan terkuat, memuat rasa kebangsaan larnya tidak hanya mencapai perkembangan
massa rakyat akan negaranya. mereka selengkapnya dan mencapai pen-
Civil society bukan bentuk negara yang hanya gakuan eksplisit bagi hak-hak mereka... teta-
berda­sarkan teori politik menurut akal budi pi, untuk suatu hal, mere­ka Juga mengabai-
(Understanding), tetapi juga momen bagi negara kan persetujuan milik mereka menjadi ke-
yang dimaksud oleh Hegel. Sekarang karena pentingan universal, dan bagi hal yang lain,
pengaruh pendidikan kehidupan sipil teristime- mereka mengetahui, dan menghendaki yang
wa kehidupan perdagangan dan perniagaan, universal... mereka mengambil yang univer-
membuat in­dividu-individu modern memiliki si- sal sebagai tujuan dan berusaha serta aktif
si universal. Hal ini disebabkan mereka berseku- dalam pengejarannya. Hasilnya adalah uni­
tu demi kepentingan ekonomi tanpa harus men- versal itu tidak berlaku atau mencapai peny-
gorbankan kebebasan. Persekutuan ini mungkin elesaian kecuali sepanjang dengan kepentin-
menjaga kebebasan manusia agar tidak jatuh gan-kepentingan partikular dan melalui kerja
menjadi indi­vidualisme atau manusia yang egois sama dan kehendak partikular: individu-indi-
apabila pengawas-penga­was eksternal ditem- vidu tidak hidup sebagai per­son-person
patkan dalam bentuk kebebasan ini. Disinilah privat bagi tujuan mereka sendiri, tetapi tin-
organisasi-organisasi eksternal dibutuhkan ma- dakan dalam menghendaki tujuan ini, mere-
nusia. Tetapi jika mereka merealisasikan kebe- ka meng­hendaki universal dalam cahaya uni-
basan melalui internalisasi prinsip-prinsip dan versal).
hal itu menjadi milik mereka, maka sebuah sin-
tesa antara yang universal dan yang partikular Bentuk hubungan-hubungan yang sangat
menjadi mungkin. Bentuk kebebasan semacam dekat dengan pertanyaan tentang subjektivitas
ini hanya mungkin apabila institusi politik nega- modern adalah bahwa in­dividu-individu masuk
ra dibedakan dari civil society. Sebab dalam civil ke dalam negara melalui partikulari­tas objektif.
society hukum hanya terbatas pada usaha men- Mereka masuk melalui nilai-nilai dan panda­
jaga keamanan barang. milik, dan kontrak dipan- ngan hidup, yang mereka pakai bersama-sama-
dang sebagai satu-satunya kekuatan eksternal. dalam kelompok.
Negara didefinisikan oleh Hegel, dengan men-
gatakan : The member of the state is a member of such a

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 87
Bito Wikantoso
group, and it is only as characterized in this ditanamkan dalam keseluruhan sebagai sebuah
objective way that he comes under consider- medium dari rasionalitas dalam mengejar tu-
ation when we are dealing with the state juan dan proyek-proyek personal mereka. Dan
(Hegel, 1967: 200). ini tidak menyangkal bahwa formasi dari tujuan-
tujuan hanya mungkin bersama dengan sebuah
(Anggota negara adalah anggota sebuah konteks sosial. Dalam negara yang dikonsepkan
group, dan hal itu hanya dicirikan dengan Hegel, menurut Walton (1986:70), tidak dapat
cara objektif bahwa dia sampai di bawah kon- menjadi tujuan-tujuan dan proyek-proyek per-
siderasi ketika kita memperlakukan negara). sonal yang dipahami secara independen dan
lepas dari latar bela­kang konsep-konsep dan
Perubahan perkembangan dalam pemikiran aturan-aturan bersama. Menurut He­gel, di dalam
Hegel ini mere­fleksikan perluasan gerakannya negara dibutuhkan dimensi sosial yang mampu
keluar dari aspirasinya tentang ideal komunitas mendeterminasi tujuan-tujuan personal. Tetapi
Yunani. Hal itu merupakan gerakan ke arah individu-in­dividu tetap dapat memiliki tujuan-
penggabungan ideal komunitas yang direalisasi- tujuan personal yang eksklusif. Aturan-aturan
kan dalam civil society telah mapan sebagai mo- umum diperuntukkan bagi maksud­-maksud
men yang berbe­da. Civil society muncul melalui “lebih tinggi”, artinya, maksud-maksud komuni­
cara-cara artikulasi dari hak-hak privat, pen- tas sebagai sebuah keseluruhan.
gakuan validitas hubungan kontraktual, serta
hubungan ekonomi bebas yang relatif di antara
produ­sen-produsen dan buruh-buruh. III.PENUTUP
Kutipan-kutipan tentang negara dari Hegel
ini meya­kinkan bahwa dalam pandangan Hegel, 3.1. Kesimpulan
konteks sosial lebih dipandang sebagai medium Penelitian konsep intersubjektivitas dalam
dibandingkan subyek atau roh yang subsisten. Phenome­nology of Spirit karya G.W.F Hegel
Hegel memperhitungkan Tatanan sosial Moral menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
mo­dern dengan desakannya atas pengakuan sal- 1. Subjektivitas merupakan kesadaran-diri yang
ing ketergantu­ngan antara yang universal dan terkait dengan objek. Subjek dan objek ber-
partikular. Pencantuman civil society sebagai hubungan secara dialek­tis. Kebenaran objek
salah satu dari momem-momennya mem­ tidak semata-mata berasal dari objek itu
perlihatkan bahwa gagasan-gasan dalam kon- sendiri tetapi juga ada pengaruh dari subjek.
teks sosial lebih merupakan medium dibanding- Bahkan dalam konsep tentang Daya (Force),
kan dengan subjek. Oleh karena itu, Tatanan-So- Hegel memahami kebe­ naran objek terkait
sial Moral modern dikatakan bertentangan den- dengan hukum universal yang mengada se-
gan ‘Tatanan-Sosial Moral Yunani, karena secara cara objektif dalam realitas.
ekspli­sit Tatanan-Sosial Moral modern dima- 2. Subjeklivitas individu ditentukan oleh pen-
pankan sebagai medium yang dipergunakan in- gakuan subjek lain. Subjektivitas adalah kes-
dividu dan disusun oleh kembali mereka yang adaran kita (we-conscious­ness): “Aku” adalah
menggunakannya. “Kita” dan “Kita” adalah “Aku”. Sub­jektivitas
Perubahan subjek ke medium dari masyara- bersifat sosial. Kesadaran-diri yang me-
kat Yunani kla­sik ke masyarakat modern adalah nyadari kehadiran subjek lain tidak meman-
prestasi dunia modern. Hal itu dicapai melalui dang subjek itu sebagai objek, tetapi sebagai
artikulasi dan ekspresi beragam kekua­tan sosial kesadaran-diri yang identik dengan kesada-
dan kulturai menciptakan Fenomena individual­ ran-diri miliknya.
isme modern. Dan dengan perubahan substansi- 3. Intersubjektivitas bukan hubungan yang
alitas ini, konsep intersubjektivitas ikut berubah. telah mapan secara alami, tetapi hasil per-
Perubahan ini sesuai dengan sebuah keung- juangan hidup dan mati dari individu-indivi-
gulan dan le­gitimasi pada tujuan-tujuan dan du yang berjuang memperoleh pengakuan.
proyek-proyek individu. Individu-individu tidak 4. Hegel memperbaharui konsep intersubjekti-
membutuhkan mengambil dari tujuan-­ tujuan vitas, yaitu: menempatkan kerja sebagai me-
keseluruhan sosial sebaqai milik mereka, tetapi dium intersubjektivitas.
lebih menggambarkan atas konsep-konsep yang 5. Intersubjektivitas dalam model dialektika

DHARMASMRTI
88
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138
Tuan dan Bu­dak adalah utopis. Intersubjekti- tersubjektif.
vitas yang sungguh-sungguh berdasar pada 9. Hubungan Roh dengan kesadaran ini setiap
kesadaran-diri yang mengandung muatan jaman berubah-­ubah, oleh karena itu bentuk
substansi etis objektif. intersubjektivitas tiap jaman pun berubah-
6. Hegel lebih mengutamakan ini intersubjekti- ubah.
vitas dalam wila­yah moralitas dibandingkan 10.Konsep intersubjektivitas masyarakat mod-
intersubjektivitas yang berme­diasi kerja. In- ern adalah model hubungan personal yang
tersubjektivitas di wilayah ekonomi tetap menghilangkan Roh dari inter­aksi. Meskipun
masih terbatas pada hubungan saling men- Roh masih diyakini, tetapi tidak aktual dalam
guasai. kesadaran subjek. Kesadaran manusia mod-
7. Roh adalah nilai-nilai dan pengetahuan, men- ern di domin­asi oleh bidang ekonomi. Bentuk
gada secara objektii dalam realitas sosial. Roh intersubjektivitas di da­lam masyarakat mod-
mewujud dalam adat-is­tiadat dan hukum pa- ern merupakan wujud krisis kebudayaan. Fil-
da masyarakat. Bahasa merupakan wahana safat tandingan Hegel: intersubjektivitas ber-
perwujudan kesadaran-diri dalam proses dasar pada kekuatan subyek menyatukan diri
internalisa­si dan eksternalisasi kandungan dengan sesama yaitu berupa pemberian maaf
Roh. untuk rekonsiliasi dan kesadaran­-diri yang
8. Subjektivitas menginternalisasi dan mengak- memuat substansi Roh. •
tualkan isi kandungan Roh melalui proses in-

DAFTAR PUSTAKA

Ankersmith, F.R., 1987, Refleksi Tentang Sejarah, Grame­dia, Jakarta, terj. Dick Hartoko.
Avineri, S., 1972. Hegel’s Theory of the Modern State, UniversiCy Press, Cambridge.
Bakker, A., 1984, Metode-Metode Filsafat, Ghalia Indone­sia, Jakarta.
_________, 1992, Ontoloyi, Metafisika Umum: Filsafat Pe­ngada dan Dasar-Dasar Kenyataan, Kanisius,
Yog­yakarta.
_________ dan A. Charis Zubair, 1991, Metodoloyi Peneli­lian Filsatat, Kanisius, Yogyakarta.
Berger, P.L., 1992, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesa­daran Manusia, Kanisius, Yogyakarta, terj.
Alouis A. Nugroho.
_________, 1990, Revolusi Kapitalis, LP3ES, Jakarta, terj. Hassan Basari .
Bertens, K., 1989, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yog­yakarta.
Copleston, F., 1963, A History of Philosophy, vol. VII, Search Press, London.
_________, 1962, A History of Philosophy, Vol. I: part 1, Image Books, New York.
_________, 1960 a, A History of Philosophy, Vol. VI: part 1, Image Books, New York.
_________, 1960 b, A History of Philosophy, Vol. VI: part 2, Image Books, New York.
_________, 1963, A History of Philosophy, Vol. VII, Search Press, London.
_________, 1968, A History of Philosophy, Vol. V, Burns and Oates Limited, London.
Findlay, J.N. 1977, Fbreword: dalam G.W.F. Hegel: “Pheno­menology of Spirit”, Claredon Press, Ox-
ford.
Franklin, M., 1960, On Hegel’s Theory of Alienation and Its Historic Force, dalam “Tulane Studies in
Philosophy: Studies in Hegel”: Vol IX, Martinus Nijhoff-The Hague, Netherlands.
Gadacz, T., 1987, Freedom as Reconciliation: the Essence of the Individual’s Freedom in the Philosophy
of’ Hegel, dalam “International Philosophical Quar­terly”, Vol XXVII: no: 2.
Habermas, J., 1990, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, LP3ES, Jakarta.
_________, 1987, The Philosophical Discourse of Moder­nity, The MIT Press Cambridge, Massachusets.
_________, 1974, Theory and Practice, Beacon Press, Boston.
Hamersma, H., 1986, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta.
Hardiman, F.B., 1993, Kesadaran yang Tak Bersarang: Re­fleksi atas Interaksi Kesadaran dan Struktur

KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS
DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL 89
Bito Wikantoso
da­lam Modernisasi, dalam Tim Redaksi Driyarkara (ed), “Diskursus Kemasyarakatan
dan Kemanu­siaan”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hegel, G.W.F., 1977, Phenomenology of Spirit, Cloredon Press, oxford.
_________, 1975, Science of Logic: the First Part of the Encyclopaedia of the Philosophical Sciences in
Outline, Cloredon Press, oxford.
_________, 1967, Philosophy of Right, Cloredon Press, Oxford.
_________, 1956, Philosophy of History, Dover Publi­cations Inc., New York.
_________, 1968, Hegel’s Lectures on The History of Philosophy, Vol. I, Humanities Press, New York.
_________, 1968, Hegel’s Lectures on The History of Philosophy, Vol. II, Humanities Press, New York.
_________, 1968, Hegel’s Lectures on The History of Philosophy, Vol. III, Humanities Press, New York.
Hoy, D.C., 1989, Hegel’s Critique of Kantian Morality, da­lam “History of Philosophy Quarterly”, Vol VI
no: 2, New York.
Inwood, M.J., 1983, Hegel, Routlegde & Kegan Paul, London.
Kant, I., 1959, Critique of Pure Reason, J.M. Dent & Sons LTD, London.
Kattsoff, L.O., 1987, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, terj. Soejono Soemargono.
Kolb, D., 1986, The Critique of Pure Modernity: Hegel, Heidegger and After, the University of Chicago
Press, Chicago.
Laeyendecker, L., 1991, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi,
Gramedia Pus­taka Ulama, Jakarta, terj. S.S. Samekto.
Magnis-Suseno, F., 1992 a, Berfilsafat dari Konteks, Gramedia Pustaka,Utama, Jakarta.
_________, 1992 b, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
_________, 1993, Hegel: Filsafat Kritis dan Dia­lektika, dalam Tim Redaksi Driyarkara (ed), “Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
_________, 1988, Etika Politik, Gramedia, Jakarta.
Mannheim, K., 1991, Ideologi dan Utopia: Nenyingkap Keter­kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Ja-
karta, terj. F. Budi Hardiman
Marcuse, H., 1969, Reason and Revolution: Hegel and the Rise of Social Theory, Routledge & Kegan
Paul LTD, London.
Marx, W., 1975, Hegel’s Phenomenology of Spirit: Its Point and Purpose A Commentary on the Preface
and Introduction, Harper & Row Publishers, New York.
Poole, R. 1993, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-­bayang Nihilisme, Kanisius, Yogyakarta,
terj. F. Budi Hardiman.
Rosen, S., 1979., G.W.F. Hegel: Introduction to Science of Wisdom, Yale University Press, London.
Santre, J.P., 1959., Being and Nothingness: an Essay on Phenomenological Ontology, Philosophical Li-
brary Inc., New York.
Schroorl, J.W., 1980, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkem-
bang, Gramedia, Jakarta, R.G. Soekadijo.
Scruton, R., 1986, Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Desacartes sampai Wittgenstein, Pantja Sim-
pati, Jakarta.
Shindunata, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer
dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Gramedia, Jakarta.
Silitonga, S., 1977, Mitologi Yunani, Djambatan, Jakarta
Slace, W.T., 1955, The Philosophy of Hegel, Dover Pu­blication, USA.
Tjahyadi, S.P.L., 1990, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris,
Kanisius, Yogyakarta.
Walsh, W.H., 1969, Hegelian Ethics, St Martin’s Press, New York.
Walton, A.S., 1983, Hegel: Individual Agency and Social Context, dalam Lawrence S. Stepelevich & Da-
vid Lamb (ed), “Hegel’s Philosophy of Action”, Humanities Press, New York.
Weslphal, M., 1979, History and Truth in Hegel’s Phenome­nology, Humanities Press Inc., New York.
Windelband, W., 1959, A History of Philosophy, Vol. II, Harper Torchbooks, New York.
Woolf, H.H. (ed), 1975, Webster’s New Collegiate Dictio­nary, G. & C. Merriam Company, Massachus-
setts.

DHARMASMRTI
90
Vol. XV Nomor 28 Oktober 2016 : 1 - 138

Anda mungkin juga menyukai