Anda di halaman 1dari 4

`Memberitakan Injil Tanpa Upah

Rekoleksi STSP Mei 2021


Yustinus Slamet Antono

1 Kor 9: 18
Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil
tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.
2 Tes 3: 8
dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang
malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di antara kamu.
Pengantar
Ketika saya basa-basi bertanya sudah berapa lama bertugas kepada seorang imam Fransiskan
yang bertugas di taman Getsmani ia menjawab: “saya baru dua puluh tahun bekerja di sini”.
Saya terkagum-kagum dan memberi komentar: “Ketaatan dan kesetiaan anda luar biasa!”.
Imam itu membalas: “Oh tidak, di sini saya hanya menjalankan tugas, tidak ada
keistimewaan dalam disi saya”. Sebelumnya saya menduga bahwa setidak-tidaknya imam
tersebut dengan ekspresi bangga telah menjalankan tugasnya dalam waktu yang sangat lama.
Dalam obrolan-obrolan ringan jika berjumpa dengan imam yang baru saya kenal saya sering
mengajukan pertanyaan serupa: sudah berapa lama di tempat ia bekerja. Jawaban mereka
bervariasi, ada yang menyampaikan dengan sangat rendah hati bahwa ia telah bertugas
selama lima tahun – berjalan. Di antara mereka juga ada yang menceritakan dengan berbuih-
buih program-program besar yang telah dilakukan, kenalan-kenalan orang penting dan hal-
hal hebat lain tanpa saya tanya.
Begitulah, tidak ada yang aneh dalam perbincangan itu, mungkin di antara para frater pernah
juga memperoleh reaksi yang sama ketika berbincang-bincang dengan orang yang baru saja
dikenal. Dalam konteks rekoleksi kita, contoh obrolan terakhir tadi merupakan contoh “upah
halus”, bagaimana seseorang berusaha mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Pengakuan
yang diharapkan itu bisa disebut sebagai pamrih (asal bahasa Jawa) yang secara singkat bisa
diartikan sebagai kepentingan diri.
1. Paulus dan Pekerjaannya
Paulus kita kenal sebagai orang yang sangat gigih mewartakan Injil. Ia juga kita kenal
sebagai orang yang memiliki skill, ketrampilan untuk bertahan hidup yaitu membuat tenda
(tukang kemah, Kis 18: 3). Pekerjaan itulah yang memberi “kehidupan” bagi Paulus. Dengan
kata lain, rejeki bagi Paulus diperolehnya melalui pekerjaan membuat tenda (kemah). Setelah
bertobat, pekerjaan itu tetap ia tekuni bersamaan dengan kegiatannya mewartakan Injil.
Paulus memiliki spesialisasi pekerjaan, sama seperti murid-murid Yesus juga memiliki dan
menekuni pekerjaan tertentu untuk bertahan hidup. Petrus kita kenal sebagai penjala ikan
Mateus kita kenal sebagai pemungut cukai. Yusuf orang tua Yesus juga dikenal sebagai
seorang tukang kayu. Dalam Injil tidak diceritakan pekerjaan apakah yang dilakukan oleh
para murid setelah Yesus bangkit dari mati. Sekalipun begitu Injil mencatat bahwa Petrus dan
kawan-kawan masih aktif menebarkan jala ketika Yesus telah bangkit dari mati.
2. Paulus dan Karyanya
Setelah mengalami perjumpaan secara khusus dengan Yesus, Paulus berubah total arah hidup
dan spiritualitasnya. Sedemikian rupa Paulus hidup untuk Tuhan, mewartakan Yesus yang
bangkit dari antara orang mati. Dalam konteks hidup Paulus pada saat itu, mewartakan Injil
sebagaimana bisa kita baca dalam Kisah Rasul berarti secara verbal menyampaikan khabar
bahwa Yesus bangkit dari antara orang Mati. Kepada orang-orang Yahudi Paulus juga
menyampaikan argumentasi-argumentasi biblis terkait apa yang diwartakannya. Kepada
orang Yunani Paulus memberikan argumentasi-argumentasi rasional terkait dengan Yesus
dan kebangkitanNya. Semua itu disampaikannya secara verbal dan kadang-kadang
memunculkan perdebatan-perdebatan dengan para ahli agama yang berujung pada
pemenjaraan Paulus. Pewartaan-pewartaan verbal itu berhasil meyakinkan orang dan mereka
bertobat, percaya pada Yesus yang bangkit.
3. Pendidikan para Imam/calon Imam
Para imam melalui pendidikan khusus dibekali berbagai pengetahuan dan kecakapan yang
terkait langsung dengan pewartaan Injil secara verbal. Selain itu, para imam juga dibekali
ketrampilan-ketrampilan mendidik dan hal-hal yang terkait dengan aktivitas managerial yang
berguna untuk mendidik dan mengorganisir umat. Mereka yang tidak berhasil menjadi
imam, pendidikan formalnya masih bisa digunakan untuk bekerja di dunia pendidikan
(agama). Para imam tidak menerima pendidikan khusus yang terkait dengan kecakapan-
kecakapan mencari rejeki seperti pada umumnya lulusan perguruan tinggi lain yang memang
hasil pendidikannya dimaksudkan untuk memperoleh pekerjaan atau penghasilan yang lebih
baik. Singkatnya, pendidikan calon imam baik langsung maupun tidak langsung, tidak
memungkinkan untuk memperoleh penghasilan (uang) bagi hidupnya sendiri maupun orang
lain. Oleh karena itu merupakan suatu kesalahan besar jika seseorang bermaksud menjadi
imam dan karena statusnya itu ia akan memperoleh berbagai fasilitas untuk menunjang
kehidupannya.
4. “Upah” Imam
Karena tugas dan medan pelayanan yang berat, banyak imam yang menghabiskan waktunya
untuk tugas pelayanan itu. Sudah cukup menyenangkan bagi imam tersebut ketika ia
disambut oleh umat dengan antusias. Di paroki-paroki, pekerjaan yang menyita banyak
waktu, tenaga dan pikiran itu tidak menghasilkan upah/uang. Mungkin ada di antara umat
yang tergerak hatinya untuk memberi uang sekedarnya bagi imamnya. Kalaupun ada, itu juga
bukan merupakan penghasilan sebagaimana pada umumnya orang bekerja yang mendapatkan
hasilnya. Namun demikian, keuskupan pastilah mengatur sedemikian rupa supaya para
imamnya memiliki sedikit uang dengan berbagai judul atau label. Mungkin uang itu disebut
sebagai uang saku yang nominalnya tergantung dari kebijakan keuskupan masing-masing.
Hal-hal yang terkait dengan stipendium dan lain-lain biasanya keuskupan-keuskupan
mengatur sedemikian rupa sehingga tidak masuk ke “pundi-pundi” imam yang bersangkutan.
Kondisi seperti itu sebenarnya tidak memungkinkan bagi seseorang untuk memiliki banyak
uang karena menjadi imam.
5. Apakah Harus Seperti Paulus?
Baik dalam 1 Kor 9: 18 maupun dalam 2 Tes 3: 8, tampak bahwa Paulus tidak ingin
membebani orang untuk menanggung hidupnya. Ia bekerja sendiri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Jelas, bahwa Paulus juga mengharapkan upah atas jerih payahnya
sebagai tukang tenda, tetapi bukan mengharapkan upah karena ia mewartakan Injil. Bahkan
jika karena mewartakan Injil orang berhak mendapatkan upahnya, maka Paulus memilih
untuk tidak menggunakan hak itu. Jelas pula bahwa Paulus bisa dikatakan mandiri dari sisi
finansial. Mungkinkah imam-imam sekarang menjadi seperti Paulus, mandiri secara
finansial? Mungkin saja asal ia memiliki skill di luar hal-hal terkait dengan profesinya
sebagai imam. Artinya, ia juga mesti harus memiliki ketrampilan yang “laku jual”
sebagaimana dimiliki oleh awam atau orang pada umumnya.
Imam seperti yang kita kenal di antara kita sebenarnya tidak pernah hidup berkekurangan. Ia
juga tidak pernah berkelimpahan harta karena statusnya sebagai imam. Bahkan, norma sosial,
norma hukum, dan norma-norma lain telah menyeting sedemikian rupa agar para imam
dalam Gereja Katolik tidak gemar pada uang atau hal-hal duniawi lainnya.
6. Bekerja dan Upah
Dalam kehidupan sehari-hari mungkin bisa kita jumpai orang-orang yang berpikir bahwa
menganggur atau tidak bekerja itu sama dengan nihil atau netral. Tentu saja pemikiran itu
tidak tepat, sebab sekalipun menganggur ia harus makan dan minum. Artinya orang yang
menganggur itu bukan nihil atau netral, tetapi minus. Ia makan minum dari “keringat” orang
lain. Orang semacam itu akan mengacaukan harmoni dalam kehidupan orang di sekitarnya.
Sebaliknya, mungkin kita bisa menjumpai orang yang bekerja keras dalam pengertian
mengeluarkan energi begitu banyak tetapi tidak memperoleh hasil (upah) yang setimpal.
Mungkin hal semacam itu banyak dialami oleh kaum buruh. Jika hal itu terjadi secara massal,
situasi inipun juga bisa membuat masyarakat menjadi disharmoni. Atau mungkin kita akan
menjumpai di mana terdapat orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, waktu yang
sama, beban yang sama tetapi upahnya berbeda.
Dalam “dunia upah”, terdapat banyak variabel yang menentukan seberapa banyak upah yang
pantas diterima oleh orang yang telah bekerja atau mengerjakan sesuatu untuk orang lain.
Mempekerjakan orang lain tanpa upah akan disebut sebagai perbudakan, pemerasan dan lain
sebagainya. Sebaliknya, memberi upah yang berlebihan yang tidak sesuai dengan prestasi
kerja seseorang akan disebut sebagai pemborosan, kebodohan atau istilah lain yang sepadan.
Terkait dengan prestasi kerja dan upah yang diterima, kita bisa melihat kembali
perumpamaan Yesus tentang talenta, tentang orang yang diberi kepercayaan untuk
mengembangkan “uang”. Dari situ tampak bahwa terdapat prisip keseimbangan. Upah yang
diterima seseorang didasarkan pada prestasi yang telah dicapai seseorang. Pada kesempatan
lain Yesus mengatakan bahwa orang yang memberi pinjaman menerima upah yang besar di
surga. “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan
dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-
anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima
kasih dan terhadap orang-orang jahat” (Luk 6:35).
7. “Upah di Surga”
Hingga sekarang ini, secara pribadi saya belum pernah mendengarkan kotbah baik dari para
imam maupun dari para uskup yang dengan sangat terang benderang memberikan rumusan
matematis tentang “buah” dari tindakan manusia. Jika melakukan kejahatan ini maka akan
mendapatkan siksaan begini dan begitu, atau jika melakukan perbuatan jenis ini maka kelak
akan mendapatkan ini dan itu di surga. Akan tetapi terdapat agama yang dengan sangat jelas
memberikan rumusan matetatis apa yang akan diperoleh kelak di surga jika melakukan jenis
kebaikan tertentu. Bahkan, setiap tindakan diberi sifatnya misalnya tindakan ini jika
dilakukan baik dan jika tidak dilakukan juga tidak salah. Sekalipun ada pemahaman seperti
itu tidak dengan sendirinya semua yang mengetahuinya memilih yang terbaik untuk
dilakukannya.
Mungkin di antara kita ada yang sangat mengharapkan dengan menjadi imam atau calon
imam akan memperoleh kepastian bahwa kelak pada waktunya akan masuk surga. Apakah
harapan seperti itu kurang lebih setara dengan mengharapkan upah? Pertanyaan itu tidak
perlu dijawab di sini. Pastinya kita tidak memiliki atau mungkin tidak akan pernah memiliki
perhitungan matematis tentang upah atau ganjaran, pahala dan lain sejenisnya karena telah
melakukan perbuatan baik ataupun karena telah mewartakan Injil dengan sepenuh hati.
8. Mewartakan Injil tanpa Upah
Dalam Perjanjian Baru terutama yang tampak dalam Kisah Rasul atau Surat-surat Paulus,
konsep “bekerja” sering digunakan baik untuk menunjuk pada pekerjaan profan (yang terkait
dengan kehidupan sehari-hari) maupun pada pekerjaan yang terkait dengan pelayanan Paulus
pada jemaat-jemaat yang dilayaninya. Tampak juga bahwa paulus sungguh-sungguh giat
bekerja dalam pengertian profan maupun bekerja untuk “pekerjaan” Tuhan.
Adalah baik jika kita mengembangkan apa yang dilakukan oleh Allah dalam diri Yesus
sendiri dalam mengasihi manusia. Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah adalah kasih.
Tanda-tanda kasih yang paling nyata tampak dalam pemberian diri secara cuma-cuma dan
tidak mengharapkan adanya balasan, imbalan atau upah. Jika spirit kita dalam berpastoral
seperti yang dimiliki oleh Yesus maka mewartakan Injil tanpa upah itu menjadi mungkin.

Anda mungkin juga menyukai