PENDAHULUAN
Ada beberapa tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini di antaranya
sebagai berikut:
1. mendeskripsikan struktur novel Sintren,
2. mendeskripsikan unsur budaya dalam novel Sintren dengan tinjauan semiotik.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis, penelitian lain,
maupun perkembangan kesusastraan Indonesia. Adapun manfaat dari penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis:
a. membantu pembaca untuk memahami struktur novel Sintren,
b. membantu pembaca untuk memahami unsur budaya dalam novel
Sintren dengan tinjauan semiotik.
2. Manfaat Praktis:
a. dapat menambah khasanah penelitian kesusastraan daerah di Indonesia
dalam memahami struktur dan identitas budaya dalam suatu cerita
rakyat.
b. sebagai alat motivasi, setelah dilakukan penelitian ini muncul
penelitian-penelitian baru sehingga dapat menimbulkan inovasi dalam
kesusatraan daerah di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian suatu penelitian.
Penelitian tentang cerita rakyat dari berbagai aspek pernah dilakukan oleh Maini
Trisna Jayawati (dkk.) (1997) berjudul Cerita Rakyat dan Objek Pariwisata di
Indonesia: Teks dan Analisis Latar yang menitikberatkan pada permasalahan
kandungan ajaran-ajaran moral yang perlu diteladani oleh masyarakat
berdasarkan cerita yang menjadi data penelitiannya.
Yekti Maunati (2004) melakukan penelitian berjudul Identitas Dayak:
Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Titik perhatian dalam tulisan ini berkaitan
dengan identitas kebudayaan orang Dayak di Kalimantan Timur, Indonesia.
Penelitian ini membuktikan identitas bagi orang Dayak adalah sebuah proses yang
diaktis, yaitu kendati kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi merupakan faktor-
faktor utama dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas Dayak. Orang-orang
Dayak sendiri adalah pelaku-pelaku aktif dan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dengan kata lain, tanggapan politik dan ekonomi semacam ini juga sangat
signifikan dalam pembentukan identitas Dayak.
Berdasarkan pengamatan, tidak ditemukan penelitian yang membahas
unsur budaya dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dengan
tinjauan semiotik. Fokus utama dalam penelitian ini adalah mengungkapkan unsur
budaya dalam novel Sintren. Pemahaman terhadap unsur budaya dalam novel
Sintren dilakukan dengan menggunakan tinjauan semiotik.
Tanda
II. PETANDA
I. PENANDA
III. TANDA
Data dalam penelitian adalah data deskriptif yang berupa uraian cerita,
ungkapan, pernyataan kata-kata tertulis, dan prilaku yang diamati (Arikunto,
1993: 3). Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata tertulis atau data lisan
tentang orang-orang dan prilaku yang diamati (Moleong, 1991: 3). Data dalam
penelitian ini adalah kata-kata, frasa, kalimat, dan paragraf yang termuat dalam
novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira (Grasindo, 2007).
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Sumber
data primer dalam penelitian ini diambil dari novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira. Sumber data sekunder menggunakan hasil penelitian Trisna Jayawati
(dkk.) (1997) dan Yekti Maunati (2004). Sumber data sekunder yang lain, yakni
buku, majalah, jurnal, koran, dan hasil penelitian yang relevan dengan objek
penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik yang menggunakan sumber-sumber
tertulis untuk memperoleh data (Subroto, 1992: 42). Data yang diperoleh
berbentuk tulisan, maka harus dibaca, disimak, dan hal-hal yang penting dicatat
kemudian menyimpulkan dan mempelajari sumber tulisan yang dapat dijadikan
sebagai landasan teori dan acuan dalam hubungan dengan objek yang akan
diteliti. Teknik simak dan catat berarti penulis sebagai instrumen kunci dalam
melakukan penyimakan secara akurat, teratur dan teliti terhadap sumber data
primer yakni sasaran penelitian karya sastra yang berupa novel Sintren itu dicatat
sebagai sumber data. Data yang dicatat tersebut disertakan pula kode sumber
datanya untuk penyelesaian ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam
rangka analisis data (Subroto, 1992: 41).
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk menganalisis novel Sintren dalam penelitian
ini menggunakan teori yang diungkapkan oleh Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:
135), yakni pembacaan secara heuristik dan pembacaan secara hemeneutik. Dalam
pembacaan heuristik, dilakukan interpretasi secara referensional melalui tanda-
tanda linguistik. Untuk pembacaan hemeneutik, dilakukan pembacaan ulang
melalui teks dari awal hingga akhir kemudian mengingat penafsiran-penafsiran
atau kejadian-kejadian dalam teks, yang telah dibaca, dan selanjutnya
memodifikasi dengan pemaknaan sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
ada dalam novel Sintren.
3.5 Penyajian Hasil Analisis
Penyajian hasil analisis penelitian ini menggunakan metode penyajian
hasil analisis secara informal. Metode peneliltian informal adalah perumusan
dengan kata-kata biasa—walaupun dengan terminologi yang teknik sifatnya
(Sudaryanto, 1993: 145).
BAB IV
PEMBAHASAN
”Bila hatimu rasanya berat, Mak bisa bicara sama Mbah Mo.”
Jantung Saraswati berdegup kencang mendengar Mbah Mo disebut-
sebut....
”Biar Mak, tidak apa-apa. Biar Saraswati jadi sintren.”......
Saraswati mangangguk. “Asal Saraswati bisa sekolah sampai SMP.” (hlm.
119).
Kelas satu di bangku SMP itu ia jalani dengan baik. Ia meraih peringkat
pertama meski sibuk menjadi sintren. Buku pelajaran hanya dibukanya
sebentar-bentar tetapi prestasi sekolahnya mengagumkan. Tak satu pun
nilai pelajarannya kurang dari angka sepuluh. (halm. 255).
Matahari meredup pagi itu. Saraswati itu tak lagi memakai seragam putih
biru. Sekarang ia anak SMEA. ........
Ia lega. Akhirnya uang sekolah tak perlu meminta lagi pada Mak,...(halm.
263).
b. Alur
Luxemburg (1993: 93) mengemukakan bahwa plot atau alur adalah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara
logis dan kronologis saling berkaitan atau dialami oleh pelaku. Analisis alur dapat
dilakukan berdasarkan tahapan pemunculan konflik (Generating Circimstance),
tahap penyituasian (Situation), tahap pemunculan konflik kedua (Generating
Circimstance), tahap peningkatan konflik (Rising Action), tahap klimaks (climax),
dan tahap penyelesaian.
Adapun analisis struktur alur dalam novel ini dapat dipaparkan sebagai
berikut:
1. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstance)
Tahap ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik
mula dimunculkan. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan
konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap berikutnya (Tasrif dalam Nurgiyantoro, 200: 19).
Dalam novel Sintren ini konflik dimunculkan pada bagian awal cerita.
Pemunculan konflik dalam novel ini terjadi ketika juragan Wargo ingin melamar
Saraswati yang masih kelas lima SD untuk Kirman, anaknya yang berusia sudah
tiga puluhan tahun. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.
Juragan Wargo melihat lagi ke Saraswati kemudian berbisik lagi.
”Anakmu itu sudah ada yang punya belum?”
Mak tersenyum. ”Ya... yan punya mak sama bapaknya.”
Juragan Wargo tertawa. ”Kalau begitu bolehlah aku lamar dia buat Kirman
anakku.”(hal. 11).
”Jangan bicara seperti itu, sebenarnya aku ke sini atas permintaan Mbah
Mo.”
”Mbah Mo sedang mencari anak gadis.”
”Mbah Mo”
”Anak gadis”? Mak manautkan kening.
”Untuk jadi sintren, sebentar lagi kan tujuh belasan.”
”Lumayan dapat uang sedikit-sedikit, Sur.”......(hal. 102).
6. Tahap Penyelesaian
Konflik yang mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konfliks
tambahan, jika ada diberi jalan keluar, cerita diakhiri (Tasrif dalam Nurgiyantoro,
2000: 150). Tahap penyelesaian dalam novel ini terlihat pada saat Saraswati
meninggal demi kebaikan untuk semua. Adapun pembuktiannya adalah sebagai
berikut.
Sinur meraba denyut nadi kekasih hatinya itu. Diam. Seketika ia berteriak
hebat.
”Saras...”
Sintren itu telah pergi. Bukan untuk sementara tetapi untuk selamanya.
Sinur memimpin pemakamannya. Entah mengapa ia seperti melepas
belahan jiwanya yang telah bertahun-tahun menjalani hidup bersama.
Kematian Saraswati memutarbalikkan prasangka buruk para perempuan di
kampung itu. Semua orang keluar rumah, melayat Saraswati. Kampung
atas dan kampung-kampung yang pernah disinggahi Saraswati menari
sintren, juga semua pedagang, melayat Saraswati (hal. 294).
c. Penokohan
Penokohan merupakan cara seorang pengarang menampilkan watak para
pelaku itu di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya pelaku, sebuah cerita tidak
mungkin akan terbentuk (Hasjim dalam Fanani dkk., 1996: 5). Bentuk penokohan
yang paling sederhana ialah pemerian sebuah nama kepada seseorang pelaku di
dalam sebuah cerita. Penyebutan nama itu merupakan suatu cara untuk mengenal
diri pribadinya atau untuk menghidupkan para pelaku dalam sebuah cerita
(Wellek dalam Fanani dkk., 1996: 5).
Adapun tokoh utama dalam novel ini adalah Saraswati. Saraswati adalah
anak yang cerdas dari keluarga miskin, cantik, sabar dan memiliki semangat yang
kuat untuk mencapai cita-citanya. Selain tokoh utama tersebut, terdapat sejumlah
tokoh pendukung yang menyertai hingga cerita ini berakhir yaitu Surti (mak
Saraswati), dan Marto (bapak Saraswati).
Kutipan berikut merupakan bukti dari pernyataan di atas.
Meskipun bulu roma Saraswati menegang, ia tetap putuskan pagi ini tidak
akan absen lagi. Ia tidak mau tinggal kelas. Ia ingin tetap menjadi anak
nomor satu dikelasnya. Ia ingin menjadi bintang kelas. ”Pagi ini aku harus
masuk, apapun yang terjadi, katanya dalam hati.
”Tidak dengar kamu!”
pelan-pelan Saraswati mengangkat kepalanya. Menatap wajah maknya
dengan nyali ciut.
”Saya ingin masuk sekolah, Mak.”
”Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu
masih mau masuk. Mau ditaruh mana mukamu itu?” (hal. 2).
Marto tahu istrinya uring-uringan karena Saraswati tidak mau tinggal di
rumah. Marto juga tahu, kalu Saraswati punya keinginan besar untuk terus
sekolah. Anak itu punya orak cerdas. Setiap kenaikan kelas, Saraswati
selalu menjadi bintang kelas dan tak pernah tergantikan (hal. 3).
Sewaktu ibu anak itu hendak pulang, juragan Wargo sempat berpapasan
dengan Saraswati. Melihat kecantikan Saraswati, juragan Wargo berbisik
pada Mak. ”Punya anak perawan kok tidak ngomong-ngomong.” (hal. 10).
d. Latar
Latar adalah keterangan yang mengacu pada waktu, tempat, dan suasana
yang terdapat dalam karya sastra. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000: 16)
menyatakan bahwa latar (setting) yang disebut juga sebagai landasan tumpu yang
mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan ungkapan sosial tempat
terjadinya perustiwa-peristiwa diceritakan.
Adapun latar tempat dalam novel ini yaitu di daerah Batang, Jawa Tengah.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
Hari berbilang hari, hingga berganti minggu, bulan, dan tahun. Sejak
kematian Saraswati, tak pernah ada lagi pertunjukan sintren di kota
Batang. Sintren kini hanya menjadi salah satu kepingan waktu yang telah
melapuh di kota itu (hal. 295).
Hubungan waktu dalam novel ini tidak ditunjukkan secara pasti untuk
tahunnya. Namun, untuk hari, dan bulan dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Bu Kartika menautkan kening. Ia tahu tahun ini kemarau memanjang.
Mestinya bulan Desember sudah turun hujan tetapi ini hampir Januari
hujan belum juga turun setitik pun. Sawah-sawah tak bisa ditanami padi.
Ini berarti selama ini bapak Saraswati menganggur (hal. 7).
Ungkapan sosial dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini;
kali itu terbentang melewati Desa Dracik, yang terletak di dalam kota,
agak jauh dari kampung Saraswati. Daerah sekitar Kali Kramat selalu
dibanjiri orang setiap Jumat Kliwon siang. Pada hari itupertunjukan
dangdut digelar. Oarang-orang dari seluruh pelosok kota Batang tumplek
di situ.bahkan banyak juga yang datang dari kota Pekalongan, Wiradesa,
dan Pemalang.
Keramaian di sekitar Kali Keramat telah dimulai pada malam sebelumnya,
yakni malam Jumat. Malam itu dijejali banyak orang dari berbagai
pelosok. Di alun-alun itu banyak orang menggelar dagangannya, dari
makanan, minuman, mainan anak-anak, pakaian, sampai denganberaneka
macam bunga segar hingga bungan buatanuntuk hiasan di atas meja.
Hampir semua macam dagangan ada disitu. Pedagangnya un datang dari
berbagai tempat yang sangat jauh dari kota Batang (hal. 165).
Kata Pak Penghulu dan saksi dalam kutipan tersebut menandakan bahwa
dalam ajaran Islam penghulu dan saksi-saksi harus ada dalam upacara pernikahan.
Penghulu ialah seorang yang menikahkan pengantin dalam agama Islam. Saksi
yaitu beberapa orang kerabat dari kedua mempelai yang menyaksikan saat
pengantin mengucapkan ijab kabul. Frasa ijab kabul merupakan faktor yang
menandai suatu pernyataan pengantin bahwa mereka (pengentin) telah resmi
menjadi pasangan suami-isteri.
Upacara kematian dapat dilihat pada kutipan berikut ini;
”Hentikan!”
”Makamkan Bu Kartika selayaknya orang meninggal.”
”Ia bunuh diri.”
”Bawa pulang, mandikan, kafani, dan salatkan dahulu!”
”Itu kalau...”
”Perlakukan jenazah Bu Tika dengan hormat!”
Kalimat ”Bawa pulang, mandikan, kafani, dan salatkan dahulu!”
merupakan sebuah petanda dalam upacara perawatan jenazah dalam agama Islam.
Bratawijaya (1997: 126) mengatakan bahwa perawatan jenazah pada dasarnya ada
lima bagian, meskipun dalam hal ini setiap agama mempunyai tatacara tersendiri.
Perawatan tersebut pada umumnya, yaitu menyucikan (memandikan) jenazah,
menata dan merapikan jenazah, mengadakan upacara doa, penghormatan terakhir
kepada jenazah, dan upacara pemakaman. Tahapan perawatan jenazah dalam
ajaran Islam yaitu menyucikannya (memandikan) kemudian mengkafani,
menyalatkanya, dan menguburkannya. Memandikan berarti jenazah dimandikan
oleh ahli warisnya sebelum dikafani. Setelah dikafani, jenazah disalatkan oleh
ahli waris dan orang-orang yang melayat.
Sistem kepercayaan memiliki implikasi terhadap pemikiran tentang gejala-
gejala yang menyertai konflik-konflik sosial yang beraneka ragam sifatnya (van
Baal, 1988: 192). Dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan bahwa binatang
kucing memiliki daya kutuk. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
Kirman mengangguk, meski hatinya tetap cemas. “Kucing,” gumamnya
sendiri. Dulu pernah ia dengan sengaja mengguyur seekor kucing dengan air
panas, karena ia tak percaya kalau kucing itu hewan keramat. Waktu itu
Kirman beranggapan kucing tak beda dengan binatang lain. Tak memiliki
daya kutuk kepada manusia bila dilukai. Ia tak percaya bila melukai kucing
dengan sengaja atau tak sengaja dirinya akan mengalami kesialan (hlm. 31).
Adapun kata tethe dan kendhang merupakan penanda dari alat musik
tradisional. Tethe adalah alat musik tradisional yang terbuat dari besi yang
dipipihkan berjajar sebanyak delapan biji. Kendhang adalah alat musik yang
berupa kayu bulat panjang, di dalamnya berongga dan pada salah satu lubangnya
atau kedua-duanya diberi kulit (untuk dipukul) (KBBI, 1999: 308). Dalam cerita
tersebut diceritakan bahwa untuk menyambut sintren menari harus diiringi bunyi-
bunyi musik gamelan dan tembang-tembang yang dinyanyikan oleh seorang
panjak (sindhen).
“Ciit…” Sekuat tenaga Kirman mengerem mobilnya. Hampir saja ia
menabrak kucing.
g. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan berasal dari kata tahu. Bermacam kemungkinan arti kata
tahu, yaitu: kenal, sadar, insaf, mengerti, pernah, pandai dan dapat. Dengan
diberikan awalan pe- dan akhiran –an (pengetahuan), ia berarti: ’apa yang dikenal
atau hasil pekerjaan tahu’. Semua yang dikenal atau hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti, pernah, pandai dan dapat, disebut pengetahuan (Gazalba, 1978: 281).
……Saraswati masih belum percaya kalau sekarang ia seorang penari
sintren. Dulu ia pernah melihat sintren, jadi sebenarnya ia tak begitu
mengenal tentang sintren…..(hlm. 143).
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukakn dari penelitian yang berjudul
”Usur Budaya dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira: Tinjauan
Semiotik” diperoleh simpulan sebagai berikut:
Pertama, dari hasil analisis struktural, novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira dapat diambil kesimpulan bahwa unsur yang membangun novel
Sintren merupakan bentuk keseluruhan antara unsur-unsur yang satu dengan yang
lain saling terkait dan menjalin kesatuan. Hal ini dapat terlihat dari jalinan cerita
yang merupakan hasil perpaduan antara alur, penokohan, dan latar.
Kedua, berdasarkan analsisis unsur budaya dengan teori semiotik
Riffaterre, dalam novel Sintren ini dapat dikemukakan bahwa unsur budaya yang
terdapat di dalamnya antara lain sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan.
B. Saran
Saran ini ditujukan pada penelitia lain yang akan melakukan penelitan
sastra, khususnya dalam jenis novel. Adapun saran-saran tersebut yaitu dalam
penelitian sastra khususnya novel, pemahaman terhadap novel yang dianalisis dan
teori yang mendukung keberhasilan peneliti yang diperoleh dari berbagai sumber,
merupakan dasar untuk menginterpretasi dalam penganalisisan. Di samping itu,
hasil interpretasi karya sastra dengan teori semiotik yang lain dan yang baik
alangkah baiknya dijadikan acuan untuk menghasilkan interpretasi yang lebih
baik. Sehingga, hasil penelitian dapat dijadikan tambahan wawasan pengetahuan
sastra bagi pembaca dan manambah kahsanah penelitian sastra di Indonesia, serta
menarik minat masyarakat terhadap sastra.
LAMPIRAN I
Sinopsi Novel
Judul : Sintren
Pengarang : Dianing Widya Yudhistira
Penerbit : Grasindo
Tahun terbit : 2007
Jumlah halaman : 296
Hasil sinopsis
Pengalaman Organisasi:
Sekretaris HMJ PBSID FKIP UMS (2006/2007)
Pengalaman Organisasi:
a. Anggota HMJ PBSID FKIP UMS (2006/2007)
b. Anggota LPMF Figur FKIP UMS (2006/2007)
c. Anggota JMF UMS (2006/2007)
d. Anggot KOPMA UMS (2006/2007)
Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik
Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Aminudin. 1990. Metode Penelitian dalam Penelitian Sastra. Malang: Yayasan Asah
Asih Asuh.
Fanani, Muhammad dkk. 1996. Struktur dan Nilai Budaya Cerita Wayang: Hikayat
Gelaran Pandu Tarunan Pandawa, Hikayat Wayang Arjuna, dan Hikayat
Purusara. Jakarta: Pusat Pmbinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hasjim, Nafron. 1984. Hikayat Galuh Digantung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
Hutomo, Suripan Hadi. 1993. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Sastra Lisan.
Surabaya: HISKI
Jayawati, Maini Trisna (dkk.). 1997. Analisis Struktural dan Nilai Budaya Cerita
Rakyat Sumatra Utara Sastra Melayu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Magetsari, Nurhadi. 2001. “Semiotik dalam Arkeologi” dalam Husen, Ida Sundari
dan Rahayu Hidayat Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Mardimin, Johanes (Ed.). 1994: Jangan Tangisi Tradisi: Tansformasi Budaya Menuju
Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Moleong, Lexy. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Ramaja Rosda Karya.
Pardede, Nurhaida. 2006. ”Peranan Bahasa dalam Pemecah Konflik Sosial” (dalam
Madani). Sumatra Utara. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia 1. Jakarta: Ichtiar Baru- Van Hove.
Soekardi, Yuliadi dan U.Syahbudin. 2006. Asal Mula Kesenian Sintren. Bandung:
Pustaka Setia.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1996. Serba Serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia.
Sulaiman, Munandar. 1988. Ilmu Kebudayaan Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Eresco.
Sutrisno, Slamet. 2002: “Bentuk-bentuk Simbolik Mitos dan Religi Masyarakat Sasak
Lombok” (dalam Gama Sains). Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Gadjah Mada.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
van Baal, J. 1988. Sejarah dan Petumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
Dekade 1970). Jakarta: Gramedia.
PENGESAHAN
Laporan penelitian dengan judul “ Unsur Budaya dalam Novel Sintren Karya
Dianing Widya Yudhistira: Tinjauan Semiotik” oleh:
Aji Wicaksono(A 310 030 018)
Sri Handayani (A 310 040 079)
Rr. Noerul H.B. (A 310 050 171)
Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing pada tanggal: … Mei 2007
Ir. Waluyo Adi S., M. Eng. Ph.D. Dra. Atiqa Sabardila, M.Hum.
NIK. 899 NIK. 472
KATA PENGANTAR
Tim Peneliti
DAFTAR LAMPIRAN