Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus


dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari budi dan karya itu
(Koentjaraningrat, 1994: 9). Sastra dalam kerangka kebudayaan adalah salah satu
bentuk seni yang ada di antara bentuk seni yang lain, seperti seni lukis, seni pahat,
seni tari, dan seni suara (Hasjim, 2007: 1). Novel sebagai salah satu bentuk karya
sastra dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia
dengan berbagai macam peraturan dan norma-norma dalam interaksinya dengan
lingkungan sehingga dalam karya sastra (novel) terdapat makna tertentu tentang
kehidupan.
Dalam masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia,
berbagai bentuk sastra daerah itu tidak mustahil akan terabaikan dan mungkin
lama-kelamaan akan hilang tanpa bekas. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa
segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang bersifat pribumi, termasuk sastra
lisan dan sastra lama, kurang mendapat perhatian. Diakui bahwa ada di antara
sastra daerah itu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat saat
ini. Namun, banyak di antara sastra daerah itu yang mengandung ide yang besar,
buah pikiran yang luhur, dan pengalaman jiwa yang berharga. Semuanya itu
masih tetap dapat dimanfaatkan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Inilah salah satu fungsi karya sastra karena karya sastra itu mengandung nilai-
nilai budaya (Jayawati, 1997: 1).
Sastra daerah merupakan bukti historis kreativitas masyarakat daerah.
Sehubungan dengan itu, sastra daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan
daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam
antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang
bersangkutan. Dalam kedudukan sebagai wahana ekspresi budaya, sastra daerah
mempunyai fungsi untuk merekam kebudayaan daerah dan menumbuhkan
solidaritas kemanusiaan (Alwi dan Dendy Sugono [Ed.], 2003: 8).
Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan
inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra
mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor
pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala
kemasyarakatan (Ratna, 2004: 334). Kesusastraan yang mencakup ekspresi
kesusasteraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara
lisan adalah sastra lisan (cerita rakyat) (Hutomo, 1991: 1). Dari hal itu, cerita
rakyat merupakan kajian yang cukup menarik dengan memperhatikan segi media
yang digunakan. Sastra yang tersebar menggunakan bahasa lisan belum banyak
yang diteliti. Padahal, dari sejumlah sastra yang berkembang melalui media lisan
sangat banyak di Indonesia.
Novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira merupakan salah satu
bentuk pengungkapan cerita rakyat Kesenian Sintren yang berasal dari daerah
Batang, Jawa Tengah. Cerita rakyat merupakan bagian dari suatu kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Cerita rakyat
sebagian besar tersimpan di dalam ingatan orang tua atau tukang cerita yang
jumlahnya semakin berkurang. Sebagai kekayaan sastra, cerita rakyat (sastra
lisan) tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, melainkan sebagaimana yang
diungkapkan Melanowski (dalam Hutomo, 1993: 18-19) bahwa sastra lisan dapat
berfungsi sebagai kontrol sosial dan sebagai alat untuk mendidik anak.
Berdasarkan pembacaan pertama novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira ini mengetengahkan permasalahan sosial budaya yang dominan.
Budaya kawin dalam usia muda diceritakan pada pembuka novel ini. Pada bagian
selanjutnya diperlihatkan manifestasi kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat saat itu antara lain; bentuk peralatan dan perlengkapan hidup manusia,
mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa,
kesenian, sistem pengetahuan, dan religi (sistem kepercayaan).
Penelitian ini merupakan suatu bentuk usaha untuk menggugah
masyarakat agar kembali perduli terhadap seni kesusastraan daerah yang ada di
Indonesia. Adapun alasan dipilihnya novel Sintren sebagai objek penelitian ini,
yaitu berdasarkan pembacaan pertama cerita ini memperlihatkan permasalahan
sosial kemasyarakatan yang dominan di samping hikmah dan kesuritauladanan
dari karakter para tokohnya. Jadi, novel Sintren dianalisis (dikaji) untuk
mengenalkan kekayaan budaya bangsa Indonesia kepada masyarakat. Dari hal itu,
penelitian berjudul ”Unsur Budaya dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya
Yudhistira: Tinjauan Semiotik” penting dilakukan.

1.2 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini mengarah pada pendeskripsian


unsur budaya dalam novel Sintren berdasarkan tinjauan semiotik. Selain itu,
dideskripsikan juga struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira.

1.3 Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah, sebagai berikut:


1. Bagaimanakah struktur novel Sintren?
2. Bagaimanakah unsur budaya dalam novel Sintren dengan tinjauan semiotik?

1.4 Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini di antaranya
sebagai berikut:
1. mendeskripsikan struktur novel Sintren,
2. mendeskripsikan unsur budaya dalam novel Sintren dengan tinjauan semiotik.
1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis, penelitian lain,
maupun perkembangan kesusastraan Indonesia. Adapun manfaat dari penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis:
a. membantu pembaca untuk memahami struktur novel Sintren,
b. membantu pembaca untuk memahami unsur budaya dalam novel
Sintren dengan tinjauan semiotik.
2. Manfaat Praktis:
a. dapat menambah khasanah penelitian kesusastraan daerah di Indonesia
dalam memahami struktur dan identitas budaya dalam suatu cerita
rakyat.
b. sebagai alat motivasi, setelah dilakukan penelitian ini muncul
penelitian-penelitian baru sehingga dapat menimbulkan inovasi dalam
kesusatraan daerah di Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian suatu penelitian.
Penelitian tentang cerita rakyat dari berbagai aspek pernah dilakukan oleh Maini
Trisna Jayawati (dkk.) (1997) berjudul Cerita Rakyat dan Objek Pariwisata di
Indonesia: Teks dan Analisis Latar yang menitikberatkan pada permasalahan
kandungan ajaran-ajaran moral yang perlu diteladani oleh masyarakat
berdasarkan cerita yang menjadi data penelitiannya.
Yekti Maunati (2004) melakukan penelitian berjudul Identitas Dayak:
Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Titik perhatian dalam tulisan ini berkaitan
dengan identitas kebudayaan orang Dayak di Kalimantan Timur, Indonesia.
Penelitian ini membuktikan identitas bagi orang Dayak adalah sebuah proses yang
diaktis, yaitu kendati kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi merupakan faktor-
faktor utama dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas Dayak. Orang-orang
Dayak sendiri adalah pelaku-pelaku aktif dan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dengan kata lain, tanggapan politik dan ekonomi semacam ini juga sangat
signifikan dalam pembentukan identitas Dayak.
Berdasarkan pengamatan, tidak ditemukan penelitian yang membahas
unsur budaya dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dengan
tinjauan semiotik. Fokus utama dalam penelitian ini adalah mengungkapkan unsur
budaya dalam novel Sintren. Pemahaman terhadap unsur budaya dalam novel
Sintren dilakukan dengan menggunakan tinjauan semiotik.

2.2 Kerangka Teori


1. Budaya
Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budhaya yang berarti
sesuatu yang berkaitan dengan akal atau adab (Ngajenan, 1992: 58). Dengan
demikian, kebudayaan dapat diartikan ”hal-hal yang bersangkutan dengan budi
dan akal.” Ada pendirian lain mengenai asal dari ”kebudayaan” itu, ialah bahwa
kata itu adalah suatu perkembangan dari kata mejemuk, yaitu budi-daya, artinya
daya dari budi, kekuatan dari akal (Koentjaraningrat, 2000: 199). Hal ini senada
dengan ungkapan Alisyahbana (dalam Gazalba, 1968: 3) bahwa kebudayaan
adalah manifestasi dari cara berpikir; kebudayaan merupakan perwujudan dari
akal dan pikiran yang kemudian dilaksanakan dengan kekuatan proses. Di sisi
lain, Hartoko, dkk. (1992: 7) mengatakan bahwa kebudayaan adalah hasil
pengungkapan dari manusia ke dalam materi sejauh diterima oleh suatu
masyarakat dan menjadi warisan.
Kebudayaan ataupun yang disebut peradaban, mengandung pengertian
yang luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan
pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor dalam
Sulaiman, 1988: 10).
Koentjaraningrat (1980: 222) berpendapat bahwa pembangunan
kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi ke zaman kejayaan nenek
moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga ke zaman sekarang
karena kebudayaan perlu memberi kemampuan kepada bangsa Indonesia untuk
menghadapi peradaban dunia masa kini. Lebih lanjut Koentjaraningrat
mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia berfungsi sebagai identitas
sebagian warga dari suatu bangsa, merupakan kesinambungan sejarah dari zaman
kejayaan bangsa Indonesia di masa yang lampau sampai kebudayaan nasional
masa kini. Jadi, keseluruhan gagasan kolektif dari semua warga negara Indonesia
yang beranekaragam itulah yang merupakan kebudayaan nasional Indonesia
dalam fungsinya untuk berkomunikasi dan memperkuat solidaritas.
Masyarakat Jawa dalam siklus kehidupannya penuh dengan nilai-nilai dan
norma-norma kehidupan yang tumbuh secara turun-temurun. Nilai-nilai dan
norma-norma tersebut dimanfaatkan untuk mencari keseimbangan dalam tatanan
kehidupan. Sistem nilai dengan segala perhitungannya didasarkan atas keadaan
alam, perbintangan, waktu, agama, dan falsafah hidup. Hal tersebut dibentuk
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat yang akhirnya membentuk adat-
istiadat. Adat-istiadat tersebut diwujudkan dalam bentuk tata upacara adat.
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa merupakan pencerminan
bahwa semua perencanaan, tindakan, dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai
luhur (Bratawijaya, 1997: 117).
Cerita rakyat merupakan bagian dari kebudayaan yang tersebar di seluruh
Indonesia. Danandjaja (1997: 2) mendefinisikan folklor secara menyeluruh yaitu
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun
di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Fungsi folklor menurut Bascom (dalam Hutomo, 2001: 14), yakni
pertama, sebagai cermin atau proyeksi angan-angan pemiliknya; kedua, sebagai
alat pengesah pranata dan lembaga kebudayaan; ketiga, sebagai alat pendidikan;
dan keempat, sebagai alat penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai masyarakat
(means of socil pressure) dan pengendali perilaku masyarakat (exercising social
control). Danandjaja (1997: 73) mengatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam sastra lisan (cerita rakyat) berpedoman pada nilai budaya masyarakat.
Dengan mengkaji sastra lisan tersebut, akan tergalilah nilai kebudayaan bangsa
tempat berpijak nilai kebudayaan sekarang. Melalui sastra lisan (cerita rakyat)
tersebut, akan diperoleh nilai-nilai, tata hidup, sebagai sarana kebudayaan dan
komunikasi antargenerasi.
Berdasarkan keanekaragaman budaya yang berkembang di Indonesia
dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil pola tingkah laku manusia
yang dianut dan dikembangkan dalam masyarakat yang dapat dimanifestasikan
dalam bentuk peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup
dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem
pengetahuan, dan religi (sistem kepercayaan)
2. Teori Struktural
Analisis sastra adalah ikhtiar untuk menangkap atau mengungkapkan
makna yang terkandung dalam teks sastra. Pemahaman terhadap teks sastra harus
memperhatikan unsur-unsur struktur yang membentuk dan menentukan sistem
makna (Culler dalam Pradopo, 1995: 141). Analisis struktural dalam analisis teks
sastra menjadi perantaraan dalam membongkar sistem makna yang terkandung di
dalamnya. Teeuw (1983: 61) menilai bahwa pendekatan struktural sebagai
prioritas awal untuk mengetahui kebulatan makna teks sastra yang harus
memperhatikan pemahaman peran dan fungsi unsur-unsur yang membangun
dalam teks sastra.
Berdasarkan penilaian tersebut, Teeuw (1984: 135) mengungkapkan
bahwa analisis struktural terhadap teks sastra memiliki tujuan untuk membongkar
atau mengungkapkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra secara totalitas
dalam menghasilkan makna. Dengan demikian, kompleksitas dan koherensi
unsur-unsur struktur dalam teks sastra menjadi perhatian besar analisis struktural
dalam ikhtiar mengungkapkan sistem makna.
Pengertian tentang strukur menurut Peaget (dalam Budiman, 1999: 111)
tersusun atas tiga gagasan kunci, yakni keseluruhan (wholness), transformasi, dan
regulasi diri (self-regulation). Pertama, gagasan tentang keseluruhan
mengidentifikasikan bahwa elemen-elemen suatu struktur diatur sesuai dengan
kaidah-kaidah kombinasi yang bukan semata-mata penautan bersama-sama
sebagai sebuah agregat. Kedua, transformasi berarti kemampuan dari bagian suatu
struktur untuk dipertukarkan atau dimodifikasi sesuai dengan kaidah-kaidah
tertentu. Ketiga, gagasan tentang regulasi diri mengacu kepada ”saling pengaruh
antara antisipasi dan koreksi (umpan-balik)” di dalam sistem sibernetik atau
kepada ”mekanisme-mekanisme ritmis seperti tampak pada biologi dan setiap
tahap manusia”. Struktur yang meregulasi diri adalah sekaligus struktur yang
mampu ”mempertahankan diri sendiri” dan bersifat ”tertutup”.
Mokarovsky dan Vodica (dalam Teeuw, 1984: 190) menjelaskan
pendekatan strukturalisme dinamik berdasarkan konsepsi semiotik. Pendekatan
karya sastra dapat ditempatkan dalam dinamika perkembangan sistem sastra
dengan pergeseran norma-norma literernya yang terus-menerus di satu pihak dan
di pihak lain dinamika interaksinya dengan kehidupan sosial. Goldmann (dalam
Ratna, 2004: 122) menekankan bahwa dalam rangka memberikan keseimbangan
antara karya sastra dengan aspek-aspek yang berada di luarnya, yaitu antara
hakikat otonomi dengan hakikat ketergantungan sosialnya, tidak secara langsung
menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan
mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan.
Berdasarkan teori-teori strukturalisme tersebut dapat dinyatakan bahwa
teori strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya.
Setiap karya sastra, baik dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki
unsur-unsur yang berbeda. Dari hal itulah karya sastra dikatakan sebagai memiliki
kekhasan, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan
memberikan hasil yang berbeda.
Dengan demikian, perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang
terkandung dalam prosa (dalam hal ini novel dikelompokkan sebagai prosa).
Mokarovsky dan Vodica (dalam Ratna, 2004: 93) menyebutkan unsur-unsur
prosa, di antaranya tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan
atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Dalam
penelitian ini, struktur yang akan dianalisis yaitu tema, penokohan, alur, dan latar.
3. Teori Semiotik
Kata semiotik berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda.
Semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda (van Zoest,
1993: 1).
Istilah semiotika pada awalnya dikemukakan pada akhir abad ke-19 oleh
Peirce yang merujuk pada doktrin formal tentang tanda-tanda. Dasar semiotik
adalah konsep tentang tanda, yakni bahasa, sistem komunikasi yang tersusun oleh
tanda-tanda, dan dunia itu sendiri yang membuat manusia dapat menjalin
hubungan dengan realitas (Budiman, 1999: 107-108)
Preminger dkk. (dalam Pradopo, 2003: 119) mengatakan bahwa semiotik
(semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Saussure (dalam Magetsari, 2001: 102) mengungkapkan bahwa tanda
mencakup dua aspek, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda
(signified) yang ditandai. Nilai sebuah tanda ditentukan oleh kedudukan tanda
lainnya. Jaringan hubungan tanda yang terbentuk dengan cara demikian
menentukan konsep atau makna dari satu tanda dengan tanda lainnya. Peirce
(dalam Pradopo, 1999: 121-122) membagi hubungan penanda dan petanda atas
tiga konsep: (1) ikon, yakni tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
bersifat persamaan bentuk alamiah; (2) indeks, yakni tanda yang menunjukkan
adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau
hubungan sebab akibat; (3) simbol, yakni tanda yang hubungan antara penanda
dan petandanya arbitrer berdasarkan perjanjian (konvensi) masyarakat.
Sejak kemunculan Saussure dan Peirce, semiotika menitikberatkan
perhatian pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Dalam
semiotik, Peirce cenderung meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah pada
inferensi (pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada linguistik. Pada
kenyataannya, semiotika juga membahas signifikasi dan komunikasi yang
terdapat dalam sistem tanda non linguistik. Sementara itu, bagi Barthes, semiotika
hendak mempelajari tentang bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-
hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-
objek tidak membawa informasi, dalam hal objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem struktur dari tanda. Dengan
demikian, signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang
sudah terstruktur (Kurniawan, 2001: 52-53).
Barthes (1980: 95) mengatakan,

“The aim of semiological research is to reconstitute the


functioning of the systems of significations other than
language in accordance with the process typical of any
structuralist activity, which is to build a simulacrum of the
objects under observation”.

(“Tujuan dari penelitian semiologi adalah untuk mengumpulkan kembali


pelbagai fungsi sistem tanda-tanda dari bahasa yang sesuai dengan ciri-ciri
suatu aktivitas yang membangunnya, yang mana untuk membangun
bayang-bayang dari objek observasi”).

Semiotika dalam pemahaman Barthes (dalam Budiman, 2004: 64) dapat


dilihat dalam skema di bawah ini. Skema ini menunjukkan adanya tingkatan
pemahaman tanda dari makna denotatif menuju makna konotatif.
Penanda Petanda

Tanda
II. PETANDA
I. PENANDA
III. TANDA

Analisis semiotika disebutkan Rifaterre (dalam Teeuw, 1991: 65) terdiri


atas dua tahap, yakni pemahaman makna dari unsur-unsur kata yang disebut
sebagai fungsi bahasa dan pemaknaan dalam tataran semiotika dengan
pembongkaran struktur untuk menemukan makna dari penyimpangan-
penyimpangan arti dan hubungan dengan latar teks. Hal ini diperjelas kembali
oleh Rifaterre (dalam Pradopo, 1995: 135) bahwa untuk memberi makna karya
sastra secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik
dan hermeneutik atau retroaktif.
Pembacan heuristik cerkan (novel) adalah pembacaan “tata bahasa”
ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk
mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Cerita
yang beralur sorot balik (dapat) dibaca secara alur lurus. Pembacaan heuristik itu
adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan. Begitu juga,
analisis bentuk formalnya merupakan pembacaan heuristik. Pembacaan heuristik
harus diulang kembali dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara
hermeneutik bedasarkan konvensi sastranya, yaitu sistem semiotik tingkat kedua.
Berdasarkan berbagai teori semiotika yang telah dikemukakan tersebut,
analisis unsure budaya dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira
dengan tinjauan semiotik dilakukan. Analisis ini ingin mengetahui unsur budaya
dalam Novel Sintren dengan teori yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam
Pradopo, 1995: 135) yaitu dengan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau
secara semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat pertama.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem
semiotika tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang


dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memilik arti lebih
daripada sekadar angka atau frekuensi (Sutopo, 2002: 35). Pengkajian novel
Sintren menggunakan metode kualitatif deskriptif; artinya yang dianalisis dan
hasil analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefisien
tentang hubungan variabel (Aminudin, 1990: 16). Dalam penelitian ini data yang
dikumpulkan berupa kutipan, kata-kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam novel
Sintren. Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut.

3.1 Objek penelitian


Objek penelitian ini adalah unsur budaya dalam novel Sintren.

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian adalah data deskriptif yang berupa uraian cerita,
ungkapan, pernyataan kata-kata tertulis, dan prilaku yang diamati (Arikunto,
1993: 3). Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata tertulis atau data lisan
tentang orang-orang dan prilaku yang diamati (Moleong, 1991: 3). Data dalam
penelitian ini adalah kata-kata, frasa, kalimat, dan paragraf yang termuat dalam
novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira (Grasindo, 2007).
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Sumber
data primer dalam penelitian ini diambil dari novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira. Sumber data sekunder menggunakan hasil penelitian Trisna Jayawati
(dkk.) (1997) dan Yekti Maunati (2004). Sumber data sekunder yang lain, yakni
buku, majalah, jurnal, koran, dan hasil penelitian yang relevan dengan objek
penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik yang menggunakan sumber-sumber
tertulis untuk memperoleh data (Subroto, 1992: 42). Data yang diperoleh
berbentuk tulisan, maka harus dibaca, disimak, dan hal-hal yang penting dicatat
kemudian menyimpulkan dan mempelajari sumber tulisan yang dapat dijadikan
sebagai landasan teori dan acuan dalam hubungan dengan objek yang akan
diteliti. Teknik simak dan catat berarti penulis sebagai instrumen kunci dalam
melakukan penyimakan secara akurat, teratur dan teliti terhadap sumber data
primer yakni sasaran penelitian karya sastra yang berupa novel Sintren itu dicatat
sebagai sumber data. Data yang dicatat tersebut disertakan pula kode sumber
datanya untuk penyelesaian ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam
rangka analisis data (Subroto, 1992: 41).
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk menganalisis novel Sintren dalam penelitian
ini menggunakan teori yang diungkapkan oleh Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:
135), yakni pembacaan secara heuristik dan pembacaan secara hemeneutik. Dalam
pembacaan heuristik, dilakukan interpretasi secara referensional melalui tanda-
tanda linguistik. Untuk pembacaan hemeneutik, dilakukan pembacaan ulang
melalui teks dari awal hingga akhir kemudian mengingat penafsiran-penafsiran
atau kejadian-kejadian dalam teks, yang telah dibaca, dan selanjutnya
memodifikasi dengan pemaknaan sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
ada dalam novel Sintren.
3.5 Penyajian Hasil Analisis
Penyajian hasil analisis penelitian ini menggunakan metode penyajian
hasil analisis secara informal. Metode peneliltian informal adalah perumusan
dengan kata-kata biasa—walaupun dengan terminologi yang teknik sifatnya
(Sudaryanto, 1993: 145).
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Analisis Struktural novel Sintren

Analisis struktur novel Sintren menggunakan teori yang dikemukakan oleh


Mukarovsky dan Vodica (dalam Ratna, 2004: 93) bahwa unsur-unsur pokok yang
terkandung dalam prosa, di antaranya tema, peristiwa atau kejadian, latar atau
setting, penokohan atau perwatakan, alaur atau plot, sudut pandang, dan gaya
bahasa. Unsur-unsur yang digunakan untuk menganalisis novel Sintren yaitu
tema, penokohan, alur, dan latar.
a. Tema
Oemarjati (dalam Fanani, 1996: 5) menjelaskan bahwa tema itu terdapat
tujuan cerita secara implisit. Hal itu berarti bahwa tema itu dinyatakan masih
dalam keadaan yang samar-samar di dalam rangkaian kalimat sebuah cerita dari
awal sampai cerita itu berakhir. Tema yang masih samar-samar itu perlu dicari
maknanya melalui sebuah penelitian.
Novel Sintren bercerita tentang seorang tokoh yang bernama Saraswati.
Saraswati adalah seorang anak yang cerdas dari keluarga miskin yang dipaksa
menuruti kemauan ibunya untuk menjadi sintren, setelah gagal menikah dengan
seorang perjaka tua yang kaya. Mengingat semangat yang kuat Saraswati untuk
sekolah, ia terpaksa menjadi sintren.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dinyatakan tema dalam novel
Sintren yaitu kegigihan, ketegaran, dan kesabaran dalam meraih cita-cita. Hal ini
dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
”Pagi ini aku harus masuk, apa pun yang terjadi, katanya dalam hati.
”Tidak dengar kamu!”
Pelan-pelan Saraswati mengangkat kepalanya. Menatap wajah maknya
dengan nyali ciut.
”Saya ingin masuk sekolah, Mak”
”Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu
masih mau masuk. Mau ditaruh mana mukamu itu?” (halm. 2).
Mak terkejut. Ternyata Larasati.
”Anakmu mulai besok jadi sintren, ya.” (halm. 111).

”Bila hatimu rasanya berat, Mak bisa bicara sama Mbah Mo.”
Jantung Saraswati berdegup kencang mendengar Mbah Mo disebut-
sebut....
”Biar Mak, tidak apa-apa. Biar Saraswati jadi sintren.”......
Saraswati mangangguk. “Asal Saraswati bisa sekolah sampai SMP.” (hlm.
119).

Kelas satu di bangku SMP itu ia jalani dengan baik. Ia meraih peringkat
pertama meski sibuk menjadi sintren. Buku pelajaran hanya dibukanya
sebentar-bentar tetapi prestasi sekolahnya mengagumkan. Tak satu pun
nilai pelajarannya kurang dari angka sepuluh. (halm. 255).

Matahari meredup pagi itu. Saraswati itu tak lagi memakai seragam putih
biru. Sekarang ia anak SMEA. ........
Ia lega. Akhirnya uang sekolah tak perlu meminta lagi pada Mak,...(halm.
263).

b. Alur
Luxemburg (1993: 93) mengemukakan bahwa plot atau alur adalah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara
logis dan kronologis saling berkaitan atau dialami oleh pelaku. Analisis alur dapat
dilakukan berdasarkan tahapan pemunculan konflik (Generating Circimstance),
tahap penyituasian (Situation), tahap pemunculan konflik kedua (Generating
Circimstance), tahap peningkatan konflik (Rising Action), tahap klimaks (climax),
dan tahap penyelesaian.
Adapun analisis struktur alur dalam novel ini dapat dipaparkan sebagai
berikut:
1. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstance)
Tahap ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik
mula dimunculkan. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan
konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap berikutnya (Tasrif dalam Nurgiyantoro, 200: 19).
Dalam novel Sintren ini konflik dimunculkan pada bagian awal cerita.
Pemunculan konflik dalam novel ini terjadi ketika juragan Wargo ingin melamar
Saraswati yang masih kelas lima SD untuk Kirman, anaknya yang berusia sudah
tiga puluhan tahun. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.
Juragan Wargo melihat lagi ke Saraswati kemudian berbisik lagi.
”Anakmu itu sudah ada yang punya belum?”
Mak tersenyum. ”Ya... yan punya mak sama bapaknya.”
Juragan Wargo tertawa. ”Kalau begitu bolehlah aku lamar dia buat Kirman
anakku.”(hal. 11).

Kutipan tersebut merupakan permasalahan awal yang dialami oleh


Saraswati. Permasalah tersebut terjadi karena di usianya yang masih anak-anak
sudah dipaksa untuk menikah. Di sisi lain, Saraswati masih berkeinginan untuk
sekolah yang lebih tinggi.
2. Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-okoh
cerita, serta pemberian informasi awal. Tahap ini berfungsi untuk melandastumpui
cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Tasrif dan Nurgiyantoro, 2000:
149).
Dalam novel ini tahap penyituasian dapat dilihat pada saat juragan Wargo
membatalkan lamarannya untuk Saraswati. Saraswati menjadi lebih nyaman
karena masih dapat sekolah tanpa harus menikah. Pembatalan lamaran tersebut
karena juragan Wargo dimintai pertanggungjawaban oleh Wastini untuk melamar
Wati, anaknya. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah karen kematian nenek
Ijah (ibu Wastini) yang tertabrak oleh mobik Kirman saat hendak berangkat kerja.
Kutipan berikut ini membuktikan pernyataan di atas.
Tak lama juragan Wargo muncul di depan Wastini. Tanpa juragan Wargo
duga, Wastini meminta sesuatu yang sangat berat. Juragan Wargo harus
membatalkan lamarannya pada Saraswati.
”Anakmu harus bertanggung jawab atas kematian makku”
”Tanggung jawab apa lagi.”
”Kalau saja makku tidak ditabrak Kirman, mungkin masih hidup sampai
sekarang.”...
”Batalkan lamaran ke Marto. Kirman harus menikahi Wati, anakku. Atau
kamu aku bikin bangkrut.” (hal. 98).

3. Tahap Pemunculan Konflik Kedua (Generating Circimstance)


Tahap pemunculan kedua ini adalah sewaktu pemunculan konflik yang
menegangkan cerita. Pada tahap ini, terlihat sewaktu permasalahan menimpa
kembali pada Saraswati. Permasalahan tersebut, yaitu setelah lamaran juragan
Wargo dibatalkan, Surti (Mak Saraswati) berhenti bekerja di tempat juragan
Wargo karena kecewa. Di saat yang bersamaan, mendapatkan tawaran untuk
anaknya agar mau menjadi sintren. Tawaran tersebut dari salah satu temannya
yaitu Larasati. Atas dasar tawaran tersebut Saraswati dipaksa untuk menjadi
sintren oleh maknya. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.
Mak Saraswati memutuskan berhenti kerja pada juragan Wargo. Ia sakit
hati. Sakit hati itu tak bisa digantikan apa pun. .... (hal. 101).

”Jangan bicara seperti itu, sebenarnya aku ke sini atas permintaan Mbah
Mo.”
”Mbah Mo sedang mencari anak gadis.”
”Mbah Mo”
”Anak gadis”? Mak manautkan kening.
”Untuk jadi sintren, sebentar lagi kan tujuh belasan.”
”Lumayan dapat uang sedikit-sedikit, Sur.”......(hal. 102).

Mak datang saja mendekatinya dan langsung menyampaikan keinginan


Mbah Mo dan Larasati.
Saraswati terkejut setengah mati. Ia tak pernah menyangka bila Mak
memintanya untuk menjadi sintren.
”Mak minta kamu tak menolak pekerjaan ini.”
”Pekerjaan? Jadi Sintren?”........(hal. 104).

4. Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)


Pada tahap ini, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya
semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa dramatik
yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik
yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
benturan-benturan antara kepentingan masalah dan tokoh yang mengarah ke
klimaks semakin dapat dihindari.
Dapat dilihat dalam novel ini tahap peningkatan konflik ketika Saraswati
menginginkan berhenti menjadi sintren. Dia ingin menjadi dirinya sendiri seperti
dulu lagi. Namun, hal itu tidak mungkin karena sudah terlanjur bersekutu dengan
roh yang merasuk dalam dirinya. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut
ini:
”Sesungguhnya siapakah aku ini?” tanya Saraswati setengah mengaluh.
Dirinya yang ada di lagit itu tersenyum.
Kau sintren, bukan lagi Saraswati.
Saraswati menghela napas.
Tak ada perempuan di muka buni ini yang mampu menandingi
keelokanmu.
Aku lebih suka menjadi Saraswati yang dulu
Muskin dan diejek?
Kalimat itu terasa menusuk ulu hati Saraswati. Sekali lagi ia ingin sekali
lepas dari sintren, menjadi perempuan biasa, wajar-wajar saja.

5. Tahap Klimaks (climax)


Tahap klimak merupakan tahap ketika konflik-konflik mencapai
puncaknya. Pada tahap ini, konflik dan pertentangan-pertentangan yang terjadi,
yang dilakukan para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks
sebuah cerita akan berperan sebagai pelaku atau penderita terjadinya konflik
utama (Tasrif danam Nurgiyantoro, 2000: 149).
Tahap klimaks dalam novel ini yaitu ketika Sinur (teman Saraswati
sekaligus pujaan hatinya sejak SD) melamar Saraswati untuk menjadi istrinya.
Mengingat akibatnya, bahwa setiap laki-laki yang menikahi Saraswati pasti akan
mati beberapa saat setelah menikah; Saraswati menolaknya. Adapun pernyataan
tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.
”Maukah kau menjadi istriku.”
Saraswati terbelalak. Ia tercekat. Waktu seperti berhenti.
”Maukah kau menjadi istriku.” Sinur mengulanginya.
Saraswati menggeleng dengan dengan pandangan sendu ke mata Sinur.
”Tidak Nur, aku tidak bersedia.”
Ada yang sakit dari dalam hati Sinur waktu mendengarnya.
”Aku tak meragukan cintamu, tapi aku tak ingin melihat...”
”Melihat aku mati setelah menikahimu?”
Saraswati tersentak. ”Ya,” suaranya tanpa sengaja mengeras (hal. 291).

6. Tahap Penyelesaian
Konflik yang mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konfliks
tambahan, jika ada diberi jalan keluar, cerita diakhiri (Tasrif dalam Nurgiyantoro,
2000: 150). Tahap penyelesaian dalam novel ini terlihat pada saat Saraswati
meninggal demi kebaikan untuk semua. Adapun pembuktiannya adalah sebagai
berikut.
Sinur meraba denyut nadi kekasih hatinya itu. Diam. Seketika ia berteriak
hebat.
”Saras...”
Sintren itu telah pergi. Bukan untuk sementara tetapi untuk selamanya.
Sinur memimpin pemakamannya. Entah mengapa ia seperti melepas
belahan jiwanya yang telah bertahun-tahun menjalani hidup bersama.
Kematian Saraswati memutarbalikkan prasangka buruk para perempuan di
kampung itu. Semua orang keluar rumah, melayat Saraswati. Kampung
atas dan kampung-kampung yang pernah disinggahi Saraswati menari
sintren, juga semua pedagang, melayat Saraswati (hal. 294).

Berdasarkan analisis tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa novel


Sintren beralurkan maju. Adapun alasannya yaitu novel ini menceritakan
kehidupan tokoh utama dari masa kecil hingga maut menjemput. Maksudnya,
peristiwa yang dihasilkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang
dikemukakan terlihat runtut yaitu dimulai dari tahap awal (penyituasian,
pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir
(penyelesaian) (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995: 153-154).

c. Penokohan
Penokohan merupakan cara seorang pengarang menampilkan watak para
pelaku itu di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya pelaku, sebuah cerita tidak
mungkin akan terbentuk (Hasjim dalam Fanani dkk., 1996: 5). Bentuk penokohan
yang paling sederhana ialah pemerian sebuah nama kepada seseorang pelaku di
dalam sebuah cerita. Penyebutan nama itu merupakan suatu cara untuk mengenal
diri pribadinya atau untuk menghidupkan para pelaku dalam sebuah cerita
(Wellek dalam Fanani dkk., 1996: 5).
Adapun tokoh utama dalam novel ini adalah Saraswati. Saraswati adalah
anak yang cerdas dari keluarga miskin, cantik, sabar dan memiliki semangat yang
kuat untuk mencapai cita-citanya. Selain tokoh utama tersebut, terdapat sejumlah
tokoh pendukung yang menyertai hingga cerita ini berakhir yaitu Surti (mak
Saraswati), dan Marto (bapak Saraswati).
Kutipan berikut merupakan bukti dari pernyataan di atas.
Meskipun bulu roma Saraswati menegang, ia tetap putuskan pagi ini tidak
akan absen lagi. Ia tidak mau tinggal kelas. Ia ingin tetap menjadi anak
nomor satu dikelasnya. Ia ingin menjadi bintang kelas. ”Pagi ini aku harus
masuk, apapun yang terjadi, katanya dalam hati.
”Tidak dengar kamu!”
pelan-pelan Saraswati mengangkat kepalanya. Menatap wajah maknya
dengan nyali ciut.
”Saya ingin masuk sekolah, Mak.”
”Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu
masih mau masuk. Mau ditaruh mana mukamu itu?” (hal. 2).
Marto tahu istrinya uring-uringan karena Saraswati tidak mau tinggal di
rumah. Marto juga tahu, kalu Saraswati punya keinginan besar untuk terus
sekolah. Anak itu punya orak cerdas. Setiap kenaikan kelas, Saraswati
selalu menjadi bintang kelas dan tak pernah tergantikan (hal. 3).

Sewaktu ibu anak itu hendak pulang, juragan Wargo sempat berpapasan
dengan Saraswati. Melihat kecantikan Saraswati, juragan Wargo berbisik
pada Mak. ”Punya anak perawan kok tidak ngomong-ngomong.” (hal. 10).

d. Latar
Latar adalah keterangan yang mengacu pada waktu, tempat, dan suasana
yang terdapat dalam karya sastra. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000: 16)
menyatakan bahwa latar (setting) yang disebut juga sebagai landasan tumpu yang
mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan ungkapan sosial tempat
terjadinya perustiwa-peristiwa diceritakan.
Adapun latar tempat dalam novel ini yaitu di daerah Batang, Jawa Tengah.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
Hari berbilang hari, hingga berganti minggu, bulan, dan tahun. Sejak
kematian Saraswati, tak pernah ada lagi pertunjukan sintren di kota
Batang. Sintren kini hanya menjadi salah satu kepingan waktu yang telah
melapuh di kota itu (hal. 295).

Hubungan waktu dalam novel ini tidak ditunjukkan secara pasti untuk
tahunnya. Namun, untuk hari, dan bulan dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Bu Kartika menautkan kening. Ia tahu tahun ini kemarau memanjang.
Mestinya bulan Desember sudah turun hujan tetapi ini hampir Januari
hujan belum juga turun setitik pun. Sawah-sawah tak bisa ditanami padi.
Ini berarti selama ini bapak Saraswati menganggur (hal. 7).
Ungkapan sosial dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini;

kali itu terbentang melewati Desa Dracik, yang terletak di dalam kota,
agak jauh dari kampung Saraswati. Daerah sekitar Kali Kramat selalu
dibanjiri orang setiap Jumat Kliwon siang. Pada hari itupertunjukan
dangdut digelar. Oarang-orang dari seluruh pelosok kota Batang tumplek
di situ.bahkan banyak juga yang datang dari kota Pekalongan, Wiradesa,
dan Pemalang.
Keramaian di sekitar Kali Keramat telah dimulai pada malam sebelumnya,
yakni malam Jumat. Malam itu dijejali banyak orang dari berbagai
pelosok. Di alun-alun itu banyak orang menggelar dagangannya, dari
makanan, minuman, mainan anak-anak, pakaian, sampai denganberaneka
macam bunga segar hingga bungan buatanuntuk hiasan di atas meja.
Hampir semua macam dagangan ada disitu. Pedagangnya un datang dari
berbagai tempat yang sangat jauh dari kota Batang (hal. 165).

Dari analisis struktural tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa alur,


penokohan, dan latar merupakan penunjang tema. Para tokoh dalam novel Sintren
diungkap dengan cermat tanpa kehilangan jalinan kisah sehingga alur tetap
terjaga kesatupaduannya. Tokoh Saraswati menjadi penggerak alur utama dan
bertindak dengan tokoh-tokoh lain sehingga jalinan peristiwa dapat terjaga
keutuhan kaitannya di antara kedua aspek intrinsik. Hal ini menunjukkan bahwa
karakter masing-masing tokoh bertalian erat dengan intrinsik dalam institusi
keluarga dan komunikasi sosial dengan lingkungan.
Berdasarkan analisis struktural novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira dapat diambil simpulan bahwa unsur yang membangun novel Sintren
merupakan bentuk keseluruhan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain
saling terkait dan menjalin kesatuan. Hal ini dapat terlihat dari jalinan cerita yang
merupakan hasil perpaduan antara alur, penokohan, dan latar.

2. Unsur Budaya Novel Sintren

Koentjaraningrat (2000: 9) mengatakan bahwa kebudayaan sebagai


konsep berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya
dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Disebutkan
oleh Koentjaraningrat (2000: 2) unsur-unsur kebudayaan universal yang
merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini adalah sistem religi
dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi,
dan peralatan.
Preminger dkk. (dalam Pradopo, 2003: 119) mengatakan bahwa semiotik
(semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini mengenggap bahwa
fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Analisis terhadap unsur budaya dalam novel Sintren dilakukan dengan
pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:
135), yaitu pembacaan secara heuristik dan pembacaan secara hermeneutik.
Dalam pembacaan heuristik, dilakukan interpretasi secara referensional melalui
tanda-tanda linguistik. Untuk pembacaan hemeneutik, dilakukan pembacaan
ulang melalui teks dari awal hingga akhir kemudian mengingat penafsiran-
penafsiran atau kejadian-kejadian dalam teks, yang telah dibaca, dan selanjutnya
memodifikasi dengan pemaknaan sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
ada dalam novel Sintren. Berdasarkan pembacaan, unsur budaya yang terdapat
dalam novel Sintren yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi, dan peralatan.
a. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan
John Brown (dalam Foxs, 2002: 126) mengatakan bahwa dalam semua
masyarakat, orang menandai perjalanan hidup dengan mengadakan upacara
keagamaan. Upacara tersebut meliputi peringatan dan peralihan hidup seseorang
dari bayi menjadi anak-anak, anak-anak menjadi dewasa, lajang menjadi suami
atau istri, dan orang hidup menjadi arwah.
Lebih lanjut Brown mengatakan bahwa selama berabad-abad umat Islam
Indonesia mengembangkan upacara daur hidup sesuai dengan tuntutan agama,
tradisi, dan lingkungan. Untuk menyesuaikan perintah Al-Quran dan Hadits
dengan budaya Indonesia. Umat Islam menekankan persamaan gender, keakraban
dengan alam dan pentingnya hubungan dengan orang mati. Di antara semua
peristiwa yang menandai jalan hidup seseorang, ada empat jenis upacara yang
dicermati oleh umat Islam Indonesia, yaitu lahir dengan selamat, memasuki
kedewasaan, menikah, dan meninggal.
Upacara pernikahan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
Juragan Wargo melihat lagi ke Saraswati kemudian berbisik lagi.
”Anakmu itu sudah ada yang punya belum?”
Mak tersenyum. ”Ya.... yang punya mak sama bapaknya.”
Juragan Wargo tertawa. ” Kalau begitu bolehlah aku lamar dia buat
Kirman anakku.” (hlm. 11).

”Saraswati masih di bawah umur, Gan.”


Mendengar ucapan Bapak, Mak menyenggol keras lengan Bapak.
”Kalau kami setuju-setuju saja, Gan.”
”Tapi Mak...”
”Hari ini kami melamar dulu, kalu soal kawin kami bisa menunggu
kesediaan Saraswati.” (hlm. 76).
Kalimat ”Anakmu itu sudah ada yang punya belum?” merupakan penenda
bahwa dalam kronologi upacara adat pengentin Jawa, ungkapan terebut disebut
nakokake atau menanyakan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah si
gadis sudah mempunyai calon atau belum (Bratawijaya, 1997: 139). Upacara
selanjutnya yaitu nglamar atau meminang. Dalam adat Jawa, upacara nglamar
keluarga pihak sang pemuda menyerahkan barang kepada keluarga pihak sang
gadis sebagai peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya
sandang sapangadek. ”Hari ini kami melamar dulu, kalau soal kawin kami bisa
menunggu kesediaan Saraswati.” merupakan petanda upacara lamaran
(meminang).
Pak Penghulu dan Pak Lebai menyerah juga akhirnya, dan bersama
dengan saksi masing-masing calon mempelai mereka menikahkan
Rukiyah dan Bagong......
Ritual nikah tanpa busana pengantin dan iringan gamelan ituberlangsung
juga. Mengherankan juga Bagong dan Rukiyah bisa mengucapkan ijab
kabul dengan lancar, malahan sangat lancar (hlm. 198).

Kata Pak Penghulu dan saksi dalam kutipan tersebut menandakan bahwa
dalam ajaran Islam penghulu dan saksi-saksi harus ada dalam upacara pernikahan.
Penghulu ialah seorang yang menikahkan pengantin dalam agama Islam. Saksi
yaitu beberapa orang kerabat dari kedua mempelai yang menyaksikan saat
pengantin mengucapkan ijab kabul. Frasa ijab kabul merupakan faktor yang
menandai suatu pernyataan pengantin bahwa mereka (pengentin) telah resmi
menjadi pasangan suami-isteri.
Upacara kematian dapat dilihat pada kutipan berikut ini;
”Hentikan!”
”Makamkan Bu Kartika selayaknya orang meninggal.”
”Ia bunuh diri.”
”Bawa pulang, mandikan, kafani, dan salatkan dahulu!”
”Itu kalau...”
”Perlakukan jenazah Bu Tika dengan hormat!”
Kalimat ”Bawa pulang, mandikan, kafani, dan salatkan dahulu!”
merupakan sebuah petanda dalam upacara perawatan jenazah dalam agama Islam.
Bratawijaya (1997: 126) mengatakan bahwa perawatan jenazah pada dasarnya ada
lima bagian, meskipun dalam hal ini setiap agama mempunyai tatacara tersendiri.
Perawatan tersebut pada umumnya, yaitu menyucikan (memandikan) jenazah,
menata dan merapikan jenazah, mengadakan upacara doa, penghormatan terakhir
kepada jenazah, dan upacara pemakaman. Tahapan perawatan jenazah dalam
ajaran Islam yaitu menyucikannya (memandikan) kemudian mengkafani,
menyalatkanya, dan menguburkannya. Memandikan berarti jenazah dimandikan
oleh ahli warisnya sebelum dikafani. Setelah dikafani, jenazah disalatkan oleh
ahli waris dan orang-orang yang melayat.
Sistem kepercayaan memiliki implikasi terhadap pemikiran tentang gejala-
gejala yang menyertai konflik-konflik sosial yang beraneka ragam sifatnya (van
Baal, 1988: 192). Dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan bahwa binatang
kucing memiliki daya kutuk. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
Kirman mengangguk, meski hatinya tetap cemas. “Kucing,” gumamnya
sendiri. Dulu pernah ia dengan sengaja mengguyur seekor kucing dengan air
panas, karena ia tak percaya kalau kucing itu hewan keramat. Waktu itu
Kirman beranggapan kucing tak beda dengan binatang lain. Tak memiliki
daya kutuk kepada manusia bila dilukai. Ia tak percaya bila melukai kucing
dengan sengaja atau tak sengaja dirinya akan mengalami kesialan (hlm. 31).

Kata “kucing” merupakan penanda binatang yang rupanya seperti


harimau, kecil, dan biasa dipelihara orang (KBBI, 1999: 534). Dalam masyarakat
Jawa, kucing dipercayai sebagai binatang yang keramat. Seperti halnya dalam
kutipan di atas menyatakan bahwa kucing adalah binatang yang memiliki daya
kutuk. Kepercayaan semacam ini dapat dikatakan sebagai mitos.
Veranza (dalam Sutrisno, 2002: 183) menelusuri pengertian mitos
sebagaimana dijelaskan oleh Dupre, van Peursen, Fries sebagai berikut: (i) ucapan
yang mengandung kerahasiaan gaib sebagai pernyataan mutlak; (ii) sesuatu yang
pertama-tama hanya diomongkan versus “ergon” atau sesuatu yang dibuat,
dikerjakan; (iii) sebuah cerita yang memberikan pedoman atau arah; (iv) sabda,
cerita, pesan, peristiwa atau dapat juga berarti sejarah; (v) mitos mengungkapkan
arti yang mendasari segala apa yang ada, melihat ke dalam dimensi dunia dan
kejadiannya.
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Dalam kehidupan kebudayaan, nyata sekali betapa banyak unsur yang


tidak rasional bertahan, karena kebiasaan. Di sisi lain, banyak juga penanaman
unsur baru yang banyak dibenarkan oleh pikiran-pikiran. Namun, hal itu harus
diperjuangkan dulu untuk menjadi unsur-unsur kebudayaan yang baru.
Naluri sosial manusia selalu berada dalam keadaan berhubungan dengan
manusia-manusia lain. Saling hubungan itulah yang melahirkan gerak sosial.
Gerak sosial membentuk kelompok manusia. Kelompok itu ada yang tetap dan
teratur hubungannya dan ada juga yang tidak teratur. Pada hubungan yang tetap
dan teratur itu kita berhadapan dengan organisasi masyarakat. Dalam kelompok
yang terbentuk dan terorganisasi inilah kita menemukan norma-norma yang
disadari, baik rasional maupun irasional (Gazalba, 1968: 161).
Dapat dilihat dalam kutipan berikut,
……dilihatnya ternyata sesajen itu kurang lengkap, ternyata belum ada
kembang tujuh rupa, juga belum ada pisang sepat. Maka repotlah rombongan
sintren itu mencari kelengkapan sesajen……(hlm. 123).

Kata “rombongan” dalam kutipan tersebut menandakan sebuah bentuk


organisasi yang memiliki kesadaran saling membutuhkan. Gazalba (1968: 165)
mengatakna bahwa bentuk organisasi itu ditandai oleh ciri-ciri antara lain; (1)
kelompok individu itu memiliki kesadaran persatuan /maka repotlah rombongan
sintren itu mencari kelengkapan sesajen/, (2) selalu dalam keadaan saling hubung,
(3) mempunyai organisasi, dan (4) memiliki sistem pembagian hak dan
kewajiban.
Kutipan berikut ini merupakan bukti dari pernyataan tersebut di atas.
Mbah Mo minta tolong untuk segera mangangkat para pemuda yang
pingsan itu lalu dibaringkan di teras sekolah. Malam itu kesibukan
Mbah Mo bertambah. Menjaga berjalannya sintren juga menyadarkan
tujuh pemuda yang pingsan.
Mbah Mo terus mengucap mantra di antara iringan tembang-tembang
sintren, mbang cepaka putih, cepaka putih (hlm. 192).
Tiba-tiba dari arah sintren terdengar suara riuh. Mbah Mo terkejut
lagi. Kali ini salah satu pendukung (anggota rombongan) sintren
kesurupan. Kejadiannya sangat tiba-tiba. Ketika saraswati menari dan
mereka berebut melempar kain ke arah sintren, dua kain mengenai
tubuh Rukiyah yang menjadi panjak (sindhen), dan mengenai Bagong
yang menjadi bador (seseorang yang menari dengan gerakan
mengundang tawa) sintren.

Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa dalam pertunjukan sintren


terdapat pembagian tugas antara masing-masing anggota rombongan. Seperti
Mbah Mo adalah seorang dukun yang menguasai seluk-beluk kesenian sintren.
Hal ini ditandai kalimat /malam itu kesibukan Mbah Mo bertambah. Menjaga
berjalannya sintren juga menyadarkan tujuh pemuda yang pingsan. Mbah Mo
terus mengucap mantra di antara iringan tembang-tembang sintren/.
Panjak merupakan penanda dari seorang yang menyanyi sesuai dengan
irama tetabuhan (gamelan) untuk mengiringi pertunjukan sintren. Bador adalah
penanda dari seseorang yang menari dengan gerakan mengandung tawa dalam
pertunjukan sintren. Kelompok kesenian sintren merupakan salah satu organisasi
kemasyarakatan yang ada dalam masyarakat Batang, Jawa Tengah. Organisasi
semacam ini dapat dikatakan organisasi kesepahaman.
c. Bahasa
Bahasa mempunyai dua pengertian, pertama, bahasa merupakan alat
komunikasi verba; kedua, bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer,
yang dipergunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama,
berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Batas bahasa
identik dengan batas kesatuan sosial, dan batas kesatuan sosial sejajar dengan
batas kebudayaan. Dengan demikian, saling-hubungan antara bahasa dan sosial,
secara bersamaan membawa saling-hubungan antara bahasa dan kebudayaan.
Kebudayaan membentuk bahasa, dan bahasa membentuk kebudayaan.
Perkembangan kebudayaan membawa perkembangan bahasa. Sirnanya suatu
kebudayaan membawa hilang bersama bahasa (Gazalba, 1968: 351).
“Aku bingung, takut kalau anakku benar-benar jadi sintren.”
“Apa yang membuatmu takut dan bingung.”
“Aku takut ia akan berubah.”
“Berubah itu pasti, Sur.”
Mak terkejut.
“Ia akan dikenal sebagai sintren”
“Apakah ia juga akan terkena penyakit?”
“Maksudmu.”

Berdasarkan kutipan di atas ditemukan penanda kata ”akan” yang


menandakan bahwa sesuatu yang dibicarakan belum terjadi. Jadi, hal tersebut
merupakan sebuah implementasi pemikiran. Dalam kehidupan interaksi sosial,
bahasa sebagai lambang verbal paling banyak dan paling sering digunakan. Hal
ini disebabkan, oleh hanya bahasa yang mampu mengungkapkan pikiran orang
(komunikator) mengenai hal atau peristiwa, baik yang konkrit maupun yang
abstrak, yang terjadi masa kini, masa lalu, dan yang akan datang. Hanya dengan
bahasa pula kita dapat mengungkapkan rencana kita untuk minggu depan, bulan
depan, atau tahun depan, yang tidak mungkin dapat dijelaskan dengan lambang-
lambang lain (Socrates dan Aristoteles dalam Pardede, 2003: 346).
Marto menghentikan becaknya di depan rumah juragan Wargo.
Niatnya menggebu-gebu, ingin menyampaikan penolakan lamaran.

Berdasarkan ungkapan tersebut di atas kata “menyampaikan” merupakan


penanda dari bentuk komunikasi. Menyampaikan berarti pengungkapan pikiran
secara verbal. Seperti halnya pendapat Socrates dan Aristoteles bahwa bahasa
merupakan mampu mengungkapkan pikiran orang (komunikator) mengenai hal
atau peristiwa, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang terjadi masa kini,
masa lalu, dan masa yang akan datang.
d. Kesenian
Erich Kahler (dalam Gazalba, 1988: 83) mengatakan bahwa seni ialah
kegiatan manusia yang menjelajahi dan dengan demikian menciptakan realitas
baru dengan cara suprarasional, berdasarkan pandangan dan menyajikan realitas
itu secara atau kiasan sebagai satu kebulatan dunia kecil, yang mencerminkan
sebuah kebulatan dunia besar. Seni sebagai kegiatan dapat diartikan sebagai
produk kegiatan itu, yakni karya seni. Pengertian ini terjadi karena orang
mengacaukan proses dan produk dari proses itu.
Penabuh tethe mengubah nada menjadi lebih rancak yang kemudian
disusul suara gendang. Para panjak pun mulai melantunkan tembang-
tembang, yang harus sesuai dengan keberadaan sintren.

Kembang-kembang mbako, kacamata abang ijo,


sintrene metu kembange ngrampyo.

Berdasarkan kutipan tersebut frasa “suara gendang” merupakan penanda


seni musik. Gendang merupakan alat musik yang dapat menimbulkan nada
tertentu dengan dipukul. Wajib adanya, dalam pertunjukan sintren tembang-
tembang yang dinyanyikan panjak yang diiringi suara gamelan (gendang). Seperti
halnya pada kutipan di atas, tembang mantra “Kembang-kembang mbako,
kacamata abang ijo, sintrene metu kembange ngrampyo.” merupakan tembang
wajib untuk mengiringi pertunjukan sintren. Dikatakan wajib karena setiap
pertunjukan sintren, tembang itulah yang digunakan untuk memulainya.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, kesenian sintren merupakan
tradisi bagi masyarakat Batang, Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Johanes Mardimin (1994:145), bahwa ciri-ciri seni tradisi Indonesia adalah
adanya aturan-aturan yang merupakan perbendaharaan garap medium. Secara
rasional, timbulnya aturan-aturan dalam seni tradisi dipengaruhi oleh dua hal.
Pertama, karena benar-benar merupakan titik puncak garapan yang mantap pada
waktu itu, sedangkan yang kedua karena dipengaruhi situasi.

e. Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian


Hakikat ekonomi adalah produksi barang-barang keperluan, distribusi
hasil produksi itu dan konsumsi barang-barang yang diedarkan itu. Baik produksi
maupun distribusi, bahkan konsumsi pun inheren (berkaitan erat) dengan kerja.
Kerja dengan mempergunakan alat disebut teknik. Teknik dengan
mempergunakan ilmu-ilmu eksakta disebut teknologi (Gazalba, 1978: 233).
Di tangan Kirman, usaha ikan pindang milik bapaknya jadi maju pesat.
Kirman menerapkan teori manajemen dalam usaha bapaknya itu.
Hasilnya, dari waktu ke waktu usaha bapaknya mengalami kemajuan.
Di tahun kedua Kirman mengembangkan usaha bapaknya dengan
membuat tepung ikan untuk makanan ternak. Usaha ini juga
mengalami kemajuan hingga bertambah penuh saja pundi-pundi milik
juragan Wargo (hlm. 23).

Kata “pundi-pundi” merupakan penanda dari harta kekayaan yang


semakin melimpah. Kebudayaan bergantung kepada ekonomi. Perubahan
ekonomi berarti perubahan materi. Perubahan materi disebabkan oleh perubahan
alat-alat produksi. Perubahan alat-alat produksi melahirkan perubahan
kebudayaan. Misalnya, kalau orang menjadi miskin (kurang materi) ia terdorong
untuk mencuri, menipu, atau berbohong untuk mendapatkan materi. Akan tetapi,
kalau kaya (banyak materi), ia tidak perlu mencuri, menipu atau berbohong. Jadi,
materilah yang menentukan akhlak (Gazalba, 1978: 216).
Kata usaha dalam kutipan tersebut menandai sebuah mata pencaharian
seseorang. Mata pencaharian yang dimaksud adalah dengan menciptakan sendiri
lapangan pekerjaan tersebut (pekerjaan). Kirman telah berhasil mengembangkan
usaha bapaknya, yaitu membuat tepung ikan untuk pakan ternak. Berdasarkan
teori manajemen yang telah didapatkan oleh Kirman usaha bapaknya menjadi
lebih maju.
Bu Kartika menautkan kening. Ia tahu tahun ini kemarau memanjang.
Mestinya bulan Desember sudah turun hujan tetapi ini hamper Januari
hujan belum juga turun setitik pun. Sawah-sawah tak bias ditanami
padi. Ini berarti selama ini bapak Saraswati menganggur.

Kata ulang sawah-sawah menandakan bahwa mata pencaharian suatu


penduduk sebagian besar adalah seorang petani. Petani berarti seseorang yang
selalu menggarap sawah, merawat, dan memeliharanya agar menjadi subur. Di
sisi lain pekerjaan petani adalah pekerjaan yang mulia. Dalam falsafah Jawa kata
tani merupakan kata dasar ngratani (menjadikan rata: adil).

f. Sistem Teknologi dan Peralatan


Kebudayaan pada dasarnya dibina oleh pengetahuan dan teknik,
sedangkan kebudayaan modern oleh ilmu dan teknologi. Hal yang membedakan
manusia dengan hewan adalah pengetahuan dan kerjanya. Perbedaan kemajuan
suatu masyarakat dengan masyarakat lain ialah kemajuan teknologi dan ilmu.
Ilmu dan teknologi membawa kemajuan pada bidang-bidang lainya: sosial,
ekonomi, politik, seni, dan filsafat ilmu agama (Gazalba, 1978: 283).
Mengalun lagi tembang sintren yang diiringi tetabuhan tethe, alat
musik tradisional yang terbuat dari besi yang dipipihkan berjajar
sebanyak delapan biji. Cara membunyikannya dengan memukulkan
alat seperti tongkat kecil, dan kendhang yang bersahutan. Para panjak
sintren menembang agar sitren mau keluar dan menari (hlm. 124)
Sintren Saraswatiserta merta berdiri dan mengambil nampan berisi
beras kuning. Lalu dikelilingkan nampan itu ke penonton. Spontan
para penonton merogohkan tangan ke saku masing-masing,
mengambil uang dan menaruh uang ke dalam nampan (hlm. 126).

Adapun kata tethe dan kendhang merupakan penanda dari alat musik
tradisional. Tethe adalah alat musik tradisional yang terbuat dari besi yang
dipipihkan berjajar sebanyak delapan biji. Kendhang adalah alat musik yang
berupa kayu bulat panjang, di dalamnya berongga dan pada salah satu lubangnya
atau kedua-duanya diberi kulit (untuk dipukul) (KBBI, 1999: 308). Dalam cerita
tersebut diceritakan bahwa untuk menyambut sintren menari harus diiringi bunyi-
bunyi musik gamelan dan tembang-tembang yang dinyanyikan oleh seorang
panjak (sindhen).
“Ciit…” Sekuat tenaga Kirman mengerem mobilnya. Hampir saja ia
menabrak kucing.

Kata “mobil” merupakan penanda dari alat tranportasi, kemewahan, dan


tingkatan sosial seseorang dalam masyarakat. Dari kutipan tersebut dapat
ditafsirkan bahwa pemilik mobil adalah Kirman. Berdasarkan hal tersebut, dapat
dinyatakan bahwa Kirman termasuk orang dari golongan menengah ke atas.

g. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan berasal dari kata tahu. Bermacam kemungkinan arti kata
tahu, yaitu: kenal, sadar, insaf, mengerti, pernah, pandai dan dapat. Dengan
diberikan awalan pe- dan akhiran –an (pengetahuan), ia berarti: ’apa yang dikenal
atau hasil pekerjaan tahu’. Semua yang dikenal atau hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti, pernah, pandai dan dapat, disebut pengetahuan (Gazalba, 1978: 281).
……Saraswati masih belum percaya kalau sekarang ia seorang penari
sintren. Dulu ia pernah melihat sintren, jadi sebenarnya ia tak begitu
mengenal tentang sintren…..(hlm. 143).

Kalimat dulu ia pernah melihat sintren merupakan faktor penanda bahwa


pengetahuan itu dapat dilalui dengan mengalami (pernah) sendiri. Dari ungkapan
tersebut dapat diketahui bahwa Saraswati memiliki pengetahuan tentang sintren.
Ia seirang penari sintren; Ia dapat menari sintren.
Sering Kirman merasa sia-sia, sudah empat tahun lebih berkutat
dengan buku-buku kuliah, tetapi ilmu yang ia dapatkan tak bisa ia
gunakan.
…..Kirman menerapkan teori manajemen dalam usaha bapaknya itu.
Hasilnya, dari waktu ke waktu usaha bapaknya mengalami kemajuan.
Di tahun kedua Kirman mengembangkan usaha bapaknya dengan
membuat tepung ikan untuk makanan ternak. Usaha ini juga
mengalami kemajuan hingga bertambah penuh saja pundi-pundi milik
juragan Wargo (hlm. 23).
Ungkapan /sudah empat tahun lebih berkutat dengan buku-buku kuliah/
menandakan bahwa Kirman adalah seorang sarjana ekonomi (teori manajemen).
Pengetahuan yang telah didapatkan di meja perkuliahan membuktikan bahwa
Kirman mampu memajukan usaha bapaknya dengan menerapkan teori
manajemen yang didapatkan dalam perkuliahan.
Berdasarkan analisis unsur budaya dengan teori semiotik Riffaterre novel
Sintren karya Dianing Widya Yudhistira tersebut dapat dikemukakan bahwa
kehidupan masyarakat Batang, Jawa Tengah dilingkupi permasalahan sosial
budaya yang selalu tumbuh dan berkembang di dalamnya. Segala perilaku dan
tindakan seseorang dituntut untuk memberikan jalan penyelesaiannya dengan baik
dan dapat diterima di lingkungan sekitarnya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang telah dilakukakn dari penelitian yang berjudul
”Usur Budaya dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira: Tinjauan
Semiotik” diperoleh simpulan sebagai berikut:
Pertama, dari hasil analisis struktural, novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira dapat diambil kesimpulan bahwa unsur yang membangun novel
Sintren merupakan bentuk keseluruhan antara unsur-unsur yang satu dengan yang
lain saling terkait dan menjalin kesatuan. Hal ini dapat terlihat dari jalinan cerita
yang merupakan hasil perpaduan antara alur, penokohan, dan latar.
Kedua, berdasarkan analsisis unsur budaya dengan teori semiotik
Riffaterre, dalam novel Sintren ini dapat dikemukakan bahwa unsur budaya yang
terdapat di dalamnya antara lain sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan.
B. Saran

Saran ini ditujukan pada penelitia lain yang akan melakukan penelitan
sastra, khususnya dalam jenis novel. Adapun saran-saran tersebut yaitu dalam
penelitian sastra khususnya novel, pemahaman terhadap novel yang dianalisis dan
teori yang mendukung keberhasilan peneliti yang diperoleh dari berbagai sumber,
merupakan dasar untuk menginterpretasi dalam penganalisisan. Di samping itu,
hasil interpretasi karya sastra dengan teori semiotik yang lain dan yang baik
alangkah baiknya dijadikan acuan untuk menghasilkan interpretasi yang lebih
baik. Sehingga, hasil penelitian dapat dijadikan tambahan wawasan pengetahuan
sastra bagi pembaca dan manambah kahsanah penelitian sastra di Indonesia, serta
menarik minat masyarakat terhadap sastra.
LAMPIRAN I

Sinopsi Novel
Judul : Sintren
Pengarang : Dianing Widya Yudhistira
Penerbit : Grasindo
Tahun terbit : 2007
Jumlah halaman : 296
Hasil sinopsis

Saraswati seorang murid cerdas dari keluarga miskin, terpaksa


menuruti permintaan ibunya untuk menjadi seorang sintre, karena gagal
menikah dengan Kirman, anak juragan Wargo. Dalam hitungan Saraswati,
dengan menjadi sintren dirinya bisa ikut membiayai sekolahnya.
Namun, yang terjadi justru ia menerima cercaan dari lingkungannya.
Meski usiannya beri tiga belas tahun, semenjak menjadi sintren Saraswati
semakin menunjukkan pesonanya sebagai pujaan kaum lelaki baik yang masih
bujangan maupun yang sudah beristri; dari segala lapisan dan golongan.
Sehingga, ia menjadi pusat hinaan kaum istri. Saraswati juga menyebabkan
gurunya, Ibu Kartika, memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena
tidak bisa menerima kenyataan mantan kekasihnya menjadi gila lantaran
cintanya bertepuk sebelah tangan pada Saraswati.
Sintren Saraswati benar-benar ibarat bintang yang sedang bersinar
terang. Tetapi, mengapa akhirnya ia bersedia menerima lamaran duda tua—
yang tak sempat menyentuhnya karena keburu meningga. Setelah kejadian itu,
ketika ia memutuskan menikah lagi, mengapa suami-suami berikutnya juga
menemui nasib yang sama, meninggal dalam hitungan hari setelah masa
pernikahan. Dari hal itulah kemarahan kaum istri memuncak hingga berniat
membakar rumahnya. Namun, hal itu tak kesampaian karena Saraswati
meninggal setelah dilamar lelaki yang sejak kecil menjadi pujaan hatinya.
Angota
Nama : Sri Handayani
NIM : A 310 040 079
Tempat/ tanggal lahir : Grobogan, 10 April 1985
Alamat : Bancar, Sobo RT 08/ II, Kec Geyer, Kab. Grobogan, Jawa
Tengah
Motto : Segala sesuatu adalah ibadah.

Pengalaman Organisasi:
Sekretaris HMJ PBSID FKIP UMS (2006/2007)

Pertemuan Ilmiah yang Pernah Diikuti:


a. Orasi Ilmiah Dr. Abdul Ngalim, M.M., M.Hum. (2005).
b. Seminar Regional Bahasa Tingkat Jawa Tengah oleh HMJ PBSID FKIP UMS
(2005)
c. Seminar Sastra dan Pendidikan oleh HMJ PBSID FKIP UMS (2007)
Anggota
Nama : Rr. Noerul Hidayah B.
NIM : A 310 050 171
Tempat/ tanggal lahir : Salatiga, 23 November 1987
Alamat : Padanan RT 01/ 01, Kec. Pabelan, Kab. Semarang.
Motto : Menuntut ilmu itu ibadah

Pengalaman Organisasi:
a. Anggota HMJ PBSID FKIP UMS (2006/2007)
b. Anggota LPMF Figur FKIP UMS (2006/2007)
c. Anggota JMF UMS (2006/2007)
d. Anggot KOPMA UMS (2006/2007)

Pertemuan Ilmiah yang Pernah Diikuti:


Seminar Sastra dan Pendidikan oleh HMJ PBSID FKIP UMS (2007)
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik
Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Aminudin. 1990. Metode Penelitian dalam Penelitian Sastra. Malang: Yayasan Asah
Asih Asuh.

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Rineka Cipta.

Barthes, Roland. 1980. Element of Semiology (Translated by Annette Lavers and


Colin Smith). New York: Hill and Wang.

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKIS.


___________ . 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.


Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Dandjaja, James.1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.


Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Fanani, Muhammad dkk. 1996. Struktur dan Nilai Budaya Cerita Wayang: Hikayat
Gelaran Pandu Tarunan Pandawa, Hikayat Wayang Arjuna, dan Hikayat
Purusara. Jakarta: Pusat Pmbinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University


Press.

Gazalba, Sidi. 1978: Asas Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hasjim, Nafron. 1984. Hikayat Galuh Digantung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.

_____________. 2007. ”Sastra, Pengajaran Sastra dan Kebudayaan: Pembicaraan


tentang Multikultural” (makalah seminar dipresentasikan di Universitas
Muhammadiah Surakarta).

Hutomo, Suripan Hadi. 1993. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Sastra Lisan.
Surabaya: HISKI
Jayawati, Maini Trisna (dkk.). 1997. Analisis Struktural dan Nilai Budaya Cerita
Rakyat Sumatra Utara Sastra Melayu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1999. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Angkasa Baru.

_____________. 2000. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pengembangan. Jakarta:


Gramedia.

Kurniawan, Iwan. 2003. Semiotika Roland Barthes. Magelang: Indonesia Tera.

Magetsari, Nurhadi. 2001. “Semiotik dalam Arkeologi” dalam Husen, Ida Sundari
dan Rahayu Hidayat Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Mardimin, Johanes (Ed.). 1994: Jangan Tangisi Tradisi: Tansformasi Budaya Menuju
Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komoditas dan Politik Kebudayaan.


Yogyakarta: LKiS.

Moleong, Lexy. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Ramaja Rosda Karya.

Ngajenan, Mohammad. 1992. Kamus Etimologi Bahasa Indonesia. Semarang:


Dahara Prize.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Metode Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Pardede, Nurhaida. 2006. ”Peranan Bahasa dalam Pemecah Konflik Sosial” (dalam
Madani). Sumatra Utara. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia 1. Jakarta: Ichtiar Baru- Van Hove.
Soekardi, Yuliadi dan U.Syahbudin. 2006. Asal Mula Kesenian Sintren. Bandung:
Pustaka Setia.

Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1996. Serba Serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia.

Sulaiman, Munandar. 1988. Ilmu Kebudayaan Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Eresco.

Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar, Teori dan


Penerapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.

Sutrisno, Slamet. 2002: “Bentuk-bentuk Simbolik Mitos dan Religi Masyarakat Sasak
Lombok” (dalam Gama Sains). Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Gadjah Mada.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.

van Baal, J. 1988. Sejarah dan Petumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
Dekade 1970). Jakarta: Gramedia.

Yudhistira, Dianing Widya. 2007. Sintren. Jakarta: Grasindo.


UNSUR BUDAYA DALAM NOVEL SINTREN
KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA:
TINJAUAN SEMIOTIK

Diajukan untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM)


LKTM Bidang Seni
Oleh:
Aji Wicaksono (A 310 030 018)
Sri Handayani (A 310 040 079)
Rr. Noerul H.B. (A 310 050 171)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


SURAKARTA
2007
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................ii
PENGESAHAN ..........................................................................................iii
KATA PENGANTAR ................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................v
DAFTAR ISI ...............................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................1
1.2 Pembatasan Masalah......................................................................3
1.3 Perumusan Masalah........................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian........................................................................... 3
1.5 Manfaat Masalah........................................................................... 3
1. Manfaat Teoritis ........................................................................... 4
2. Manfaat Praktis ............................................................................ 4
BAB II LANDASAN TEORI
Tinjauan Pustaka ..............................................................................5
Kerangka Teori ................................................................................5
1. Budaya ....................................................................................5
2. Teori Struktural .......................................................................8
3. Teori Semiotik ........................................................................9
BAB III METODE PENELITIAN
Objek Penelitian...............................................................................13
Data dan Sumber Data....................................................................13
Teknik Pengumpulan data................................................................14
Teknik Ananlisis Data......................................................................14
Teknik Penyajian Hasil Analisis......................................................14
BAB IV HASIL PEMBAHASAN
1. Analisis struktural novel Sintren .....................................................15
a. Tema ....................................................................................15
b. Alur ........................................................................................16
1. Tahap Pemunculan Konflik...........................................16
2. Tahap Penyituasian....................................................... 17
3. Tahap Pemunculan Konflik Kedua................................18
4. Tahap Peningkatan Konflik...........................................18
5. Tahap Klimaks...............................................................19
6. Tahap Penyelesaian .......................................................20
c. Penokohan ..............................................................................20
d. Latar ....................................................................................... 21
2. Unsur Budaya dalam novel Sintren................................................. 23
a. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan ........................24
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan ..............................27
c. Bahasa ...........................................................................28
d. Kesenian ....................................................................... 29
e. Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian ........................31
f. Sistem Teknologi dan Peralatan ....................................32
g. Sistem Pengetahuan ..................................................... 33
BAB V PENUTUP
1. Simpulan ......................................................................................... 35
2. Saran ............................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

PENGESAHAN

Laporan penelitian dengan judul “ Unsur Budaya dalam Novel Sintren Karya
Dianing Widya Yudhistira: Tinjauan Semiotik” oleh:
Aji Wicaksono(A 310 030 018)
Sri Handayani (A 310 040 079)
Rr. Noerul H.B. (A 310 050 171)

Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing pada tanggal: … Mei 2007

Ketua Jurusan PBSID Ketua Pelaksana,

Drs. H. Yakub Nasucha, M. Hum. Aji Wicaksono


NIP. 131 409 908 NIM. A 310 030 018
Mengetahui, Dosen Pembimbing,
Wakil Rektor III

Ir. Waluyo Adi S., M. Eng. Ph.D. Dra. Atiqa Sabardila, M.Hum.
NIK. 899 NIK. 472

NSUR BUDAYA DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA


YUDHISTIRA: TINJAUAN SEMIOTIK

Oleh: Aji Wicaksono, Sri Handayani, Rr. Noerul H.B.


Abstrak
Sastra dalam kerangka kebudayaan adalah salah satu bentuk seni yang ada di
antara bentuk seni yang lain, seperti seni lukis, seni pahat, seni tari, dan seni suara.
Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat dengan bebas berbicara tentang
kehidupan yang dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan norma-norma
dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga dalam karya sastra (novel) terdapat
makna tertentu tentang kehidupan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur budaya dalam novel
Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dengan tinjauan semiotik, dan untuk
mendeskripsikan struktur novel Sintren. Untuk mengetahui unsur budaya dalam novel
Sintren digunakan metode kualitatif deskriptif, teknik pustaka, simak, dan catat.
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan teori yang dikemukakan
oleh Riffaterre yaitu dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur budaya yang terdapat dalam novel
Sintren atara lain: sistem religi dan kepercayaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian,
sistem teknologi, dan peralatan. Adapun unsur yang membangun cerita dalam novel
Sintren merupakan bentuk keseluruhan antara unsur-unsur yang satu dengan yang
lain saling terkait dan menjalin kesatuan. Hal ini dapat terlihat dari jalinan cerita yang
merupakan hasil perpaduan antara laur, penokohan, dan latar.

Kata kunci: Unsur Budaya, Sintren, dan Sastra Daerah.

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tim peneliti selalu memanjatkan syukur alhamdulillah atas rahamt


yang telah dilimpahkan oleh Allah SWT sehingga dapat menyelesaikan
laporan penelitian ini. Sholawat dan salam kita haturkan ke junjungan baginda
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nanti syafaatnya di akhirat kelak.
Laporan penelitian ini berjudul ”Unsur Budaya dalam Novel Sintren
Karya Dianing Widya Yudhistira: Tinjauan Semiotik”. Penyusunan laporan ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan baik bagi penulis, peneliti lain,
maupun perkembangan kesusastraan Indonesia, khususnya mengenai
kesusastraan daerah yang ada di Indonesia. Kesenian sintren adalah tradisi
seni tari yang mengandung unsur magis. Namun, saat ini seni tari sintren
hanya menjadi kepingan waktu.
Cerita sintren merupakan salah satu cerita rakyat (sastra daerah) yang
berkembang di Indonesia. Sastra daerah merupakan bukti historis kreativitas
masyarakat daerah. Sehubungan dengan itu, sastra daerah sebagai salah satu
bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya
yang di dalamnya yang di dalamnya terekam antara lain pengalaman estetik,
religius, dan sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan. Dari
pernyataan tersebut penelitian ini bermaksud untuk mengugah masyarakat
agar kembali perduli terhadap seni kesusastraan daerah yang ada di Indonesia.
Adapun keberhasilan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan
partisipasi berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada:
1. Ir. Waluyo Adi Siswanto, M. Eng., Ph.D. selaku Wakil Rektor III UMS yang
telah memberi kesempatan kepada kami untuk menyusun penelitian,
2. Drs. Sofyan Anif, M. Si. selaku Dekan FKIP UMS yang memberikan
kesempatan dan dukungan dalam penyusunan laporan penelitian,
3. Drs. Ahmad Muhibin, M. Si. selaku Wakil Dekan III FKIP UMS yang
memberi dukungan bagi peneliti,
4. Drs. Yakub Nasucha, M. Hum. selaku Ketua Jurusan PBSID yang
memberikan dukungan untuk penelitian ini,
5. Dra. Atiqa Sabardila, M. Hum. selaku pembimbing yang penuh kesabaran
memberikan bimbingan dan pengarahan,
6. Bapak dan Ibu yang kami cintai yang telah memberikan dorongan material
dan sepiritual selama peneliti studi akademik,
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dan
memberikan semangat selama penelitian ini.
Akhirnya kami hanya mengharap semoga Allah Swt. memberikan
balasan atas bantuan yang telah diberikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Surakarta, Mei 2007

Tim Peneliti

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sinopsis novel Sintren


2. Boidata Peneliti dan Biodata Dosen Pembimbing.

Anda mungkin juga menyukai