Anda di halaman 1dari 10

(Paper Semi Ilmiah)

RESISTENSI BUDAYA, OBJEK dan STRATEGI


Oleh Otong Markotong1

Pengantar

”Bangun-bangun, kita telah terkepung-ayo lekas kematian akan


semakin mendekat jika kita tidak segera bergegas. Bangunkan juga
teman-teman lain. Kita persiapkan senjata dan strategi-kita hadapi
mereka begitu subuh mengumandang - besok perang akan sebegitu
dahsyat kawan, aku gelisah apakah kita akan sanggup
memenangkannya”

Demikian analog kondisi kebudayaan kita, yang sekarang sedang


terkepung didalam medan pertempuran, dalam suasana perang nan
mencekam dimana hidup dan mati adalah kemungkinan yang siap terjadi
dalam hitungan detik. Apakah terjadi seekstrim itu, mungkin saja karena
keadaan sekarang sudah tak terkendali, dunia yang lepas dari genggaman –

Runaway Word -.

Laju perubahan global seperti panser raksasa yang siap menggilas


apapun yang menghadangnya. Setebal apapun tembok yang menghalanginya
terkoyak dan hancur berkeping-keping. Kita menjadi berubah tanpa kita
sadari, tetangga kita –masyarakat kita –bahkan negara kita. Kita hitung saja,
berapa mall-mall yang sudah berdiri, sudah berapa kali kita berganti HP
sudah berapa kali merk kosmetik yang kita coba, tidak mantap rasanya jika
tidak minum coca-cola. Baru-baru berapa tahun kota kita menunjukkan
prestasi yang mengenaskan, banjir dan longsor Rahtawu, penggundulan
hutan Muria, gagal panen Undaan, melejitnya minyak goreng Kliwon,
membludaknya sarjana pengangguran Otong. Apa hubungan semua ini –
capek deh!

Menurut saya, kata kunci keadaan semua ini adalah kebudayaan. Jika
kebudayaan dimaknai secara leksikal definisnya adalah segala hasil budi daya
manusia. Budi dimaknai sebagai nalar yang diatribusikan pada hal-hal bersifat
abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, wacana, logika berpikir dan
padanan-padanan lainnya, sedang budi bermakna segala bentuk artefak
kebudayaan seperti seni, sastra, musik, pekerjaan, perilaku, gaya hidup,
gedung dll. Atau kalau mau sedikit akademis sedikit pake definisinya Clifford
Geertz.2 Kebudayaan memiliki hubungan yang amat erat dengan sistem

1
Pengangguran yang belum sukses
2
Kebudayaan adalah jejaring makna, bahwa manusia adalah seekor binatang yang
bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri. Lebih lanjut Geertz juga
memberikan pengertian bahwa Apa yang diajarkan kepada kita selama ini tentang kebudayaan
telah membentuk suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu merupakan blue print yang telah
menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku.
Pandangan semacam ini pun telah menyebabkan keberlanjutan kebudayaan itu pada ekspresi
simbolik individu dan kelompok, terutama pada proses pewarisan itu terjadi, seperti yang
dibayangkan- Clifford Geertz bahwa kebudayaan itu, “merupakan pola pengertian-pengertian
atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditranmisikan
makna dan implikasinya dalam sistem sosial. Oleh karenanya budaya memiliki
kaitan yang erat dengan dimensi sosial dan politik, maka pemaknaan budaya
disini bukan lagi dimaknai sebagai suatu “artefak” melainkan juga merupakan
suatu proses dan didalamnya mampu menjelaskan arah perubahan sosial.

Pertanyaan kita adalah siapa yang menciptakan kebudayaan? Jawaban


sederhana pasti manusia atau jangan-jangan setan menggunakan media
tubuh manusia. Rasanya tidak mungkin manusia yang menciptakan budaya
tawuran Pilkada, korupsi, atau budaya main gusur –pasti itu budaya setan
yang diakui sebagai budaya manusia sehingga setan sekarang marah dan
jengkel pada manusia. Jangan-jangan budaya setan itu menjangkiti pikiran-
pikiran kita sehingga kita hanya mampu berpikir tapi tidak mau merubah,
cuek dengan keadaan, mau menang sendiri, “ah ada-ada saja, mana
mungkin”.

Ok sekarang kita lebih serius bahwa individu (kita) tidak pernah bisa
independent dalam kebudayaan, yang bisa kita lakukan adalah memilih.
Karena ide, persepsi, pikiran dan wacana kita sebenarnya telah dikonstruk
(dibangun) oleh keluarga, masyarakat dan negara melalui bentuk pendidikan
bahasa kerennya pengetahuan yang ditranmisikan secara historis. Tapi kalau
tidak ada alternatif pilihan berarti kita dipaksa sekali lagi dipaksa. “ada yang
tidak sependapat?”. Apa yang dilakukan manusia tergantung pada isi otaknya
–jika otaknya bener maka perilakunya juga bener tapi jika otaknya miring
perilakunya ikut miring. (barang kali otak DPR dan pemimpin kita banyak
yang miring kali)
Contohnya begini: dulu saat otak petani masih percaya bahwa tanah
harus dijaga kesuburannya sebagai anugrah Tuhan, jika tanah tidak dijaga
maka akan marah dan akibatnya panen akan gagal. Bentuk kepercayaan
penghormatan kepada alam ini diwujudkan dalam ritual kebudayaan sedekah
bumi atau pemberian sesajen di pojok-pojok sawah. Isi otak petani tersebut
sebenarnya dikonstruk lingkungan sosialnya. Sebab kalau petani sudah tidak
percaya tentunya budaya sedekah bumi akan hilang dengan sendirinya.

Di era gombalisasi sekarang, dunia global juga ikut-ikutan


merekonstruksi isi otak kita. Melalui TV, koran, internet, majalah, buku dan
media-media lain. Yang jelas mereka tidak pakai Menyan untuk
mempengaruhi otak kita. Kurang ajar sekali mereka, di saat otak kita pusing
cari pekerjaan, we e’ e’ dengan santainya mereka tetap nyerocos lewat
media-medianya.

Terus apa yang hendak dipermasalahkan dan coba dijawab dalam


tulisan ini, (jangan marah donk). Yang pertama, apakah kita sebenarnya
punya akar budaya/identitas. Bagaimana proses kebudayaan kita tercerabut.
Siapa yang mencabut dan apa kepentingannya. Bagaimana sikap kita?
(busyet banyak banget).

Akar Budaya Sebagai Identitas

secara historis”.? Pada bagian selanjutnya Geertz juga mengatakan bahwa kebudayaan itu
“merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang
dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan mengembangan pengetahuan
dan sikapnya terhadap kehidupan”.
Ok pertanyaan pertama, dulu identitas setiap budaya dipengaruhi oleh batas-
batas wilayah, ada budaya Jawa, Bali, Madura, Betawi, Sunda dll. Semua
menunjukkan wilayah geografi. Sifat-sifat kebudayaan ini berbeda karena
pengaruh keadaan geografi karena tidak bentuk geografi yang sama misal
antara kebudayaan gunung dan pesisir. Nah sifat dari kebudayaan selalu
mengalami kemajuan seiring perkembangan jaman karena adanya
penemuan-penemuan baru oleh manusia. Artefak kebudayaan pun mengalami
perkembangan. Simbol/tanda bertambah banyak dan pemaknaan bisa saja
berubah, buku-buku baru pasti bermunculan, gaya-gaya ekspresi seni
semakin berjenis, gaya hidup masyarakat berkembang.

Akselerasi perubahan kebudayaan juga berkaitan dengan perubahan


sosial. Karena masyarakat menciptakan kebudayaan dan kebudayaan
membentuk suatu masyarakat. Pada jaman teknologi masih sederhana diduga
keKelambanan perubahan budaya diakibatkan akulturasi budaya sangat
minim karena arus manusia dan barang sangat jarang. Mobilitas hanya
banyak dilakukan pedagang dengan cakupan intensitas yang jarang karena
lama jarak tempuh. Masyarakat masih percaya dengan dirinya sendiri -masih
percaya dengan identitasnya sendiri. Keyakinan saya pun demikian semua
bangsa punya akar budaya sebagai identitas yang dibanggakan. Sejarah
mencatat aklturasi yang terjadipun merupakan akulturasi yang harmonis
contohnya kebudayaan Jawa-Hindu, disusul Hindujawa-Islam, semuanya tidak
menghilangkan identitas sebagai local genius masyarakat.

Namun setelah revolusi industri di Inggris (abad XVII), revolusi


demokrasi di Prancis abad kebudayaan dunia baru lahir secara spektakuler.
Kapitalisme, Kolonialis, demokrasi, pasar bebas menjadi mantra yang harus
dirapalkan dalam setiap tarikan nafas. Semua ahli sosial mengatakan revolusi
Industri sebagai tonggak baru perubahan sosial masyarakat dunia.

Tercerabutnya Akar Kebudayaan


Pertanyaan kedua, bagaimana budaya tersebut tercerabut. (ini adalah
pertanyaan terngawur yang harus dijawab dengan ngawur pula).

Sampai sekarang saya masih sepakat ada dua budaya besar di


masyarakat kita budaya tradisional dan budaya modern. Mengapa tradisional,
menurut Kang Max Weber3 budaya tradisional masih kuat dipengaruhi nilai-
nilai mitos dan agama sehingga aspek rasionalitasnya menduduki . Maka pada
abad pencerahan, (renaissance/enlaighment) dilakukan pembongkaran abis
terhadap mitos-mitos dan ajaran agama. Masyarakat Eropa mulai
mempertanyakan kekuasaan Gereja muncul sekte protestan dan pola berpikir
masyarakat menuju pada genre rasionalitas (kalkulasi cara dan tujuan). Dan
akibatnya pengetahuan dan teknologi berkembang pesat sampai ditemukan
mesin-mesin industri (mesin uap, mesin tenun, mesin kapal dll). Pada watu
itu filsafat, fisika, kimia, astronomi di Eropa berkembang pesat, Saya tidak
tahu perkembangan teknologi di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika.
Setelah teknologi berkembang sedemikian rupa, masyarakat sudah berpikir

3
Max Weber diyakini mahasiswa dan dosen sebagai seorang sosiolog yang memberikan
definisi-definisi rasionalitas. Anda dapat melacaknya pada buku dosen tetangga anda. Weber
berpendapat tonggak modernitas dimulai dengan rasionalitas instrumental manusia. Lihat Doyle
Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal.
219-222.
kapitalis akibat rasionalitas ekonomi dan terjadi surplus barang industri maka
rasionalitas menuntut perluasan pasar yang ditandai ekspansi/ekspedisi
bangsa Eropa ke berbagai benua. Sampai terjadinya penjajahan Belanda
selama 350 tahun di Indonesia.

Dalam buku sejarah SD s/d PT, kehadiran Belanda yang semula


rekanan bisnis berubah menjadi Gendruwo dengan sistem monopolinya.
Keberanian Belanda menjajah tidak lain karena melihat senjata pribumi
berupa kethapel yang sangat enthenk dikalahkan dengan mesiu meriam dan
senapan. Resistensi masyarakat pasti terjadi, konflik kebudayaan menjadi tak
terelakkan. Lalu muncullah strategi perang kebudayaan dengan
menelusupkan mata-mata budaya seperti Snouck Horgronye untuk merombak
budaya-budaya lokal (sosial enginering/rekayasa sosial) yang dianggap
membahayakan Belanda. Munandar Sulaeman4 mendeskripsikan bahwa pada
abad 19, Belanda mengukuhkan sistem kolonialnya.

Teori budaya mutakhir menyebut distorsi budaya lokal oleh kaum


kolonial dengan teori poskolonial artinya politik pencitraan yang sengaja
dilekatkan penjajah pada budaya lokal untuk menimbulkan kesan rendah,
tidak beradab, pinggiran yang nantinya akan ditinggalkan/dijauhi oleh
penduduk lokal diganti dengan pencitraan budaya eropa yang tinggi dan
beradab.5 Contoh sederhana umpatan Meneer Belanda di film si Pitung “ en
kamu-kamu inlander malas dan bodoh” padahal realitasnya kita ini bangsa
yang rajin.

Tuhkan ... pada jaman penjajahan sudah dimulai distorsi kebudayaan


(mulai tercerabutnya akar-akar kebudayaan/reduksi budaya) pada tataran
nilai dan makna dan sejarah mencatat beberapa perlawanan yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh pahlawan kita seperti Diponegoro, petani Banten, dll.

Sebagai masyarakat transisi, “bahkan” sampai sekarang Indonesia


belum mengalami fase pencerahan (enlighment), karena selepas tertindas
dari mitos lalu tertindas oleh pengetahuan barat yang menggusur ilmu
pengetahuan lokal.
4
Peristiwa yang terjadi pada abad ini adalah perusakan terhadap ekonomi dan struktur
masyarakat Jawa. Hal ini dilakukan dengan mengeksploitasi berbagai status dan peranan individu
yang ada, seperti: golongan priyayi justru diperkuat menjadi semi feodal dengan menjadi
birokrat-birokrat. Budaya sosial gotong royong dimanfaatkan sebagai kerja paksa, tanah-tanah
kerajaan dikuasai Belanda, petani dijadikan kuli. Banyak priyayi (tokoh masyarakat/keluarga
bangsawan) dijadikan pegawai Belanda akibatnya rakyat dan priyayi makin jauh dan mental
priyayi dirubah menjadi penurut, ABS: asal belanda senang. (Lihat Munandar Sulaeman,
Dinamika Masyarakat Transisi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998. hal. 8)
5
Kerangka konsep poskolonial maupun penggunaannya difokuskan pada ‘analisa dan
pengujian terhadap cara-cara (trik-trik) manipulatif dalam proses budaya yang menentukan
karakteristik suatu politik’ (Ashcroff, Griffith dan Tiffin, 1998:187). Studi poskolonial
menempatkan agendanya pada wacana representasi pengungkapan tentang bagaimana
peradaban Dunia Ketiga diproduksi (dihasilkan) melalui pengalaman kolonial. Pendekatan
poskolonial juga mentidak-stabil-kan wacana mengenai relasi ‘the West and the Rest’ (dunia
maju-Barat dan dunia lain-yang tertinggal) yang selama ini diasumsikan melalui kategori biner
(contohnya: developed-less developed; civilised-uncivilised; dan lain-lain). Efek kolonialisme
juga mewarisi suatu perasaan atau kesadaran atas ketidak-amanan (insecurity) dan
ketidakstabilan yang melahirkan resistensi. Oleh karena itu, bangsa-bangsa dari Dunia Ketiga
merupakan hasil dari tatanan internasional yang pondasinya dibangun dari kekuatan kolonial
Eropa. Dengan kata lain, tidak ada satupun identitas yang tidak terkontaminasi oleh sistem Barat
yang hegemonik. Identitas Dunia Ketiga tidak lagi bersifat otentik dan karenanya melahirkan
‘hibriditas sekaligus ambivalensi’ di dalam relasinya dengan Dunia Pertama (Barat)
Agensi-Agensi Rekayasa Sosial Dan Kepentingannya
Kata kunci untuk menerangkan rekayasa sosial ini adalah wacana/diskursus.
Menurut Pakdhe Foucault: “kekuasaan memproduksi pengetahuan”.
Berseberangan dengan Mbah Bacon “pengetahuan melahirkan kekuasaan”
tapi ini harus dipahami sebagai siklus dialektik saja. Dan kebetulan saja
sekarang kita momen bangsa ini berada pada titik foucauldian yang simpelnya
pangkat kita cuman obyek pengetahuan saja –belum sampai creator. Menurut
Pakdhe “Fuko”. Semua realitas sosial adalah wacana/diskursus. Siaran TV,
buku-buku, media pokoknya apa saja, tanda, simbol, sengaja direproduksi
untuk melanggengkan kekuasaan. Memang si Pakdhe ini berdiri sebagai
penjaga gawang politik kebudayaan. (tulisan ini juga menunjukkan dominasi
pengetahuan barat yang tidak mampu penulis tinggalkan, semua referensi
sebagai wacana masih diimport dari barat semua –tidak “Wah” buat paper
jika mengutip/menyitir pendapat Yu Murni atau Kang Gun)

Lain lagi sama Paklik Gramsci yang menulis hegemoni budaya,


Gramsci berdiri pada level ideologi kebudayaan. Kebudayaan dunia
disejajarkan dengan ide-ide Kang Marx tentang kelas sosial. Maka menurut
Gramsci juga ada kelas-kelas budaya dan terjadi hegemoni dalam arena
budaya layaknya Borjuis yang menindas proletar. Maka ideologi yang coba
dibangun Gramsci adalah multikulturalisme yang artinya menuju pada
kebudayaan yang sederajat baik dalam level lokal maupun internasional.

Baik paklik maupun pakdhe, Keduanya berdiri pada jalur filsafat kritis,
merebut kekuasaan dan menghilangkan hegemoni. Dan pasti kepentingan
hegemoni dan penindasan diskursif adalah “power and capital” inilah
kepentingan abadi manusia.

Negara Sebagai Pelaku Pertama


“Penguasa cenderung menindas dan korup” ini adalah animal insting manusia,
segala cara akan diupayakan untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan, oleh karenanya demokrasi adalah mekanisme untuk membatasi
kekuasaan penguasa.6

Pelaku rekayasa sosial paling “diamphoet/kakeane dan anjrit” adalah


negara, soalnya negara memiliki birokrasi-birokrasi raksasa untuk mengatur
masyarakat. Untuk Kesenian di wadahi Dewan Kesenian, pendidikan tersedia
Diknas dan Depag, masalah agama ada MUI dan Depag, Hukum ada
pengadilan, di politik ada Golkar, keamanan ada Militer, Polkis dan preman-
premannya. Birokrasi-birokarsi ini yang melakukan strukturisasi budaya,
domestifikasi (penjinakan), pemberangusan, pembodohan, pengkerdilan dll.
Budaya yang dihilangkan pertama adalah budaya kritis(:k) masyarakat,
budaya kontrol sosial diubah menjadi budaya pasrah, nrimo, menang sendiri
dan egois. Sampai sekarangpun warga nanggap terbangan harus ijin polisi.
Pertunjukan kesenian di Inteli. Makanya jangan salah jika setiap pilkada ada
kerusuhan lha wong negara ini mendidik kita dengan budaya kekerasan;
menghilangkan nyawa orang, culik dan tembak hal biasa kok. Jadi jangan
salahkan jika seniman Kudus tidak berani orasi kebudayaan –memang

6
Kekuasaan/power mutlak ada karena menjadi kekuatan kohesi interaksi sosial dan
daya paksa (koersif) individu dalam stabilitas sosial. Karenanya jangan pernah punya pikiran
negara adalah masalah karenanya harus dibubarkan –yang lebih rasional adalah merebut negara.
mereka masih ketakutan ditangkap, dipecat atau tidak dipakai oleh negara.
Budaya dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan biar tidak ada yang
protes dan mengkritik pemerintah, kalau dikritik takut wibawa pemerintah
turun. Bagi aktivis-aktivis yang kritis kalau tidak mau disogok/dibeli pake
uang ya harus di Munirkan. Makanya kebijakan Tamsil tentang Rukonisasi,
Pembangunisasi dan Ndandangisasi tidak banyak yang mengkritik karena
siapa tahu saya telah menerima sogokan atau dewan kesenian juga telah
dibeli. (Hus ngawur ... jangan nuduh sembarangan-harus ada buktinya kalo
tidak itu fitnah namanya).

Pendidikan di sekolah-sekolah pun sama. Saya yakin semua dari kita


pernah sekolah, materi-materi pelajaran semuanya mengungkapkan
keberhasilan pembangunan, swasembada pangan, menjadi warga negara baik
-penuh berisi tentang kebohongan-kebohongan sejarah. Murid tidak boleh
membantah guru, bisa distrap sampai dikeluarkan dari sekolah. Apalagi kuliah
di IAIN/STAIN, dosen adalah kyai -bisa kualat kalo mendebat dosen apalagi
kalo sampai marah. Pendidikan dibuat mahal biar selepas wisuda hanya
memikir perutnya sendiri. Banyak deh masalahnya, cari sendiri ....
Dimana materi pelajaran kritis versi Kang Pablo Feire?, pendidikan
yang mengenalkan realitas sosial yang sesungguhnya; bahwa bangsa kita
menjadi negara terkorup no.4 di dunia, petani yang makin miskin,
pembantaian sipil oleh militer, polisi yang korup, kebijakan yang tidak
memihak rakyat, DPR yang cuman mencari uang pesangon, janji-janji palsu
presiden, hutan Indonesia digunduli Perhutani dll.

Oleh Pakdhe Foucault fenomena ini dijelaskan dalam bahasa genealogi


pengetahuan yang melihat relasi antara kekuasaan dan pengetahuan bukan
sebagai suatu kategori biner, melainkan ‘distrukturkan-oleh, dan sekaligus
menstrukturkan’ pengetahuan. Pernyataan ini dipertegas lagi dengan logika
bahwa wacana memproduksi pengetahuan dan wacana melahirkan praktek-
praktek diskursif yang melahirkan ‘pemaknaan atau yang ia sebut dengan
formasi diskursif.7 Lalu siapa orang yang mampu menstrukturkan
pengetahuan, siapa lagi kalau bukan rezim akademis, siapa yang menggaji
dosen/guru? Ya pemerintah. Oleh karenanya kekuasaan menstrukturkan
pengetahuan. Makanya jangan salah jika banyak ilmuwan Indonesia menjadi
komprador Barat, ekonom UI (Universitas Indonesia) digelari Mafia Barkeley
karena berselingkuh dengan world bank tentunya dengan bersujud pada Mbah
Harto. Bersyukur sekali ekonom UMK dan STAIN tidak selingkuh dengan
investor.

Karena kebenaran dunia pengetahuan sudah diklaim hanya milik rezim


akademis, maka wacana kita pun terkontaminasi oleh kebenaran versi
mereka. Jadi kalau rakyat demo harus ada mahasiswanya sebagai tanda
pangestu dari insan akademis. Kalau ndak ada mahasiswa berarti rakyat yang
salah dan penguasa yang bener. Kalau ada diskusi, sudah tidak ada dosen
atau mahasiswa yang mbantah berarti pendapat kita sudah benar menurut
teori pengetahuan, Gitu Lhoo… kalau dijabarkan lagi (kebenaran hukum milik
pengadilan, kebenaran ilmu ya milik dosen/guru, kalau kebenaran seni ya
milik seniman. Pengkotak-kotakan ini begitu berhasil di jaman Orba. Maka
haram hukumnya seniman ngomong kebudayaan, haram ngomong politik,

7
Lihat Michel Foucault, 1980. Power/Knowledge, New York: Harvester Press
haram ngomong ekonomi dan sebaliknya karena melanggar kode etik teritori
orang lain) Blaik tenan, kayaknya sampai sekarang masih deng …

Efek dari strukturisasi budaya 8 ini berimbas pada ekspresi-ekspresi


budaya seperti kesenian, seni menjadi mahluk tidak memihak, sebatas ritual
dan perayaan-perayaan yang kosong, seni tidak lagi dimaknai (kalo di drama
mungkin istilah robot naskah dan reproduksi naskah tepat untuk
menggambarkannya; sebagai bentuk penghormatan terhadap karya seniman
pendahulu saya sepakat mementaskannya, tetapi jika terjebak
ketergantungan pada naskah orang yang sudah meninggal saya menolaknya;
apalagi jika tiap tahun diulang-ulang tiap tahun tanpa melahirkan karya
orisinil hasil kreativitas, interaksi dan kontemplasi dengan keadaan kekinian
saya pikir sangat naif. Karena bagaimanapun kesenian merupakan barometer
kebudayaan. Jika kita masih mempertahankan budaya latah, ikut-ikutan dan
tidak mempunyai sikap jelas kapan kebudayaan bangsa ini maju)

Pasar Sebagai Pelaku Kedua


Pasar diakui sebagai agensi global. Setelah Rusia kalah dalam PD II, maka
pasar yang digagas America lahir sebagai institusi menjadi pengendali dunia.
Melalui GATT (WTO), Word Bank, IMF, MNC, TNC semua belahan dunia
hendak diubah sebagai perluasan pasar. Hal ini diterangkan Kang Baudrilliard 9
sebagai era masyarakat konsumsi. Dalam mengkonsumsi manusia tidak
hanya mengkonsumsi barang dan jasa melainkan juga tanda/simbol/citra
yang melekat padanya. Oleh karenanya kelas sosial anda sudah tidak
ditentukan lagi oleh kegiatan produksi seperti eranya Karl Marx, tapi
ditentukan kekuatan untuk mengkonsumsi. Anda dianggap lebih kaya dari
saya jika HP anda Nokia N 70 meski anda sebatas hanya guru ngaji. Anda
tidak akan dianggap Fungky jika masih belanja di pasar dan belum punya HP
MP3 player. (jadi kelas sosial dan ke-Fungky-an anda hilang ketika HP anda
dicopet)

Dalam dunia teater pun sama – kelompok anda akan kelihatan keren
jika meniru teaternya Rendra dengan gaya Broadway-nya (lagi-lagi kurir
budaya Amerika), atau memakai dramaturgi stanilavsky. Anda akan dicap
katrok jika memakai dramaturgi kethoprak ato wayang. Karenanya buku-
buku seni terjemahan dengan hak cipta penerbit barat laku di Shoping Center
Jogja ketimbang buku-buku seni karya Pak Raden ato Bu Bariyah.

8
Strukturisasi budaya dalam cultural studies bisa disepadankan dengan politik
representasi. Politik representasi merupakan suatu konsep yang dikembangkan dari pemikiran
(ide) mengenai ‘representasi’ oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini dipahami sebagai suatu
rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan melalui bekerja-nya sirkuit kebudayaan dalam
melahirkan produksi dan reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan suatu
opini publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di dalam ruang dan relasi sosialnya.
Hall, melanjutkan bahwa bekerja-nya sirkuit kebudayaan yang melahirkan ‘representasi’
merupakan suatu relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang melibatkan
regulasi (pengaturan-pengaturan) dan siklus konsumsi-produksi di dalam realitas kehidupan kita
sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas
kita
9
Konsumsi citra, tanda disebut dengan simulacrum yang artinya menghadirkan realitas
palsu, atau bahkan hyperreality (melebihi realitas aslinya). (lihat Ghris Barker, Cultural Studies:
Teori dan Praktek, Kreasi Wacana, 2005, hal. 80; Dani Cavallaro, Critical and Gultural Theory,
Niagara, Yogyakarta, 2004, hal. 365.)
Orientasi pasar barat hanya kekuasaan dan capital. Menjadi nomor
satu dalam wacana pembangunan juga mendapatkan bahan baku murah dan
produknya laku. Dari memberikan utangan dan konsultasi pembangunan
sampai menjual berbagai produk pakaian, elektronik, makanan, minuman,
pengetahuan, senjata perang dll. Kembali pada oposisi biner diatas (post-
kolonial) bahwa Barat TOP dan Timur Katrok menyebabkan isi otak kita terisi
wacana kebarat-baratan. Oleh Vandana Shiva inilah yang disebut proyek
modernitas Barat,10 jika bangsa-bangsa dunia ketiga (negara miskin) ingin
meniru Barat maka berkacalah pada kejayaan pencapaian material dunia
Barat. Ideologi pembangunanisme inilah yang sampai sekarang dipakai oleh
pemimpin bangsa ini dari Kepala Desa sampai Presiden, yang penting
mbangun fisik dan proyek2 (makanan anggaran 20% pendidikan ngak
nyampe-nyampe). Contoh di Kudus biar masih banyak anak jalanan
berkeliaran dan putus sekolah yang penting mall, ruko, kargo harus berdiri.

Bagaimana tho pikiran kita sampai bisa terisi wacana barat tanpa kita
sadar. Yang paling jelas menipu kita adalah iklan yang tiap hari –waktu
mencuci otak kita tanpa rasa lelah, tayangan infotainment dan sinetron yang
mengangkat cerita hidup glamour ala barat, cerita pacaran (mendekati seks
bebas) anak-anak SMP/SMA di sinetron yang mengikis nilai-nilai ketimuran.
Semuanya seolah-olah kita terima begitu saja. Media sekarang mulai bayi
sampai mbah-mbah ada iklannya, dicekoi iklan mulai lahir sampai mati, dari
bangun sampai tidur, gimana bisa nolak. Dengan iklan, barang yang tidak kita
butuhkan menjadi terasa butuh –sebenarnya apa yang kita beli? Sekali lagi
citra produk “menjadi orang pintarlah, gaul, keren, citra sukses, laki-laki
sejati, cewek idola, American Style, modern” masih banyak lagi. Hingga tanpa
sadar kita menjadi bangga mengenakan jeans Levis, rokok Marlboro, minum
Sprite, ngopi di Star Bucks, makan di KFC, mendengar musik dugem,
membeli lagu Michael Jakson, menonton film James Bond di Atrium yang
semuanya identik dengan budaya barat tetapi mental kita tetap katrok dan
tertindas. Berapa juta dollar keuntungan mereka dengan menjual produk
budayanya dan berapa rupiah jatah uang makan kita yang belanjakan untuk
mereka. Lalu tiba-tiba budaya kita menjadi lupa dan sangat membosankan
untuk ditonton. Dan pada kesimpulannya budaya pasar membentuk diri-diri
kita manusia-manusia konsumtif, hanya berkesempatan membeli tanpa
pernah bisa mencipta.

Perselingkuhan Negara Dan Pasar


Negara ruang yang diperebutkan oleh semua agen-agen sosial, mulai kyai,
politikus, ekonomikus -pengusaha, rakyat biasa, ilmuwan, akademisi.
Semuanya berlomba menguasai negara semua berlomba menjadi
komponennya dengan menjadi birokrat baik eksekutif maupun legislatif. Jujur
saja yang dicari memang sumber-sumber ekonomi strategis baik bagi individu
ataupun kelompok pendukungnya. Masalah kesejahteraan rakyat itu mah
urusan belakangan. Memang repot hidup di negara yang baru belajar
demokrasi.

10
Meski demikian, pendekatan poskolonial tidak hanya semata-mata menilai efek negatif
yang dilahirkan oleh modernitas global, tetapi juga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi
masyarakat di Dunia Ketiga untuk menegosiasikan posisi resistensi mereka di dalam struktur
modernitas itu sendiri. Upaya pencarian semacam ini misalnya dipelopori oleh Vandana Shiva
yang menggagas penemuan kembali nilai-nilai lokal yang menandangi efek negatif dari proyek
modernitas Barat.
Urusan perselingkuhan ini bisa terlihat bagaimana mesranya menteri
ekonomi dengan pengusaha CPO di Sumatra, meski minyak goreng di pasar
naik sampai rakyat dan pedagang kecil menjerit, dicuekin saja, kalau nanti
suaranya serak pasti diam sendiri. Minyak tanah antri tetap saja eksport
minyak mentah jalan terus, meski Buyat terkena minamata Newmont tetap
berlenggang, rakyat Papua ditembaki militer yang dibayar Freeport, malah
negara makin rakus menjarah tanah adat dan kejahatan HAM dianggap tidak
pernah ada, Lapindo terus bergolak sikap pemerintah tetap diam maklum
Aburizal menteri kesayangan SBY (funding kampanye SBY kali), tarif tol naik
dengan alasan demi menarik minat investor meski rakyat hidupnya sudah
tercekik. We e’ e’ Kudus juga latah ikut, panggil investor mulai rumah sakit,
ruko, pasar, kargo, bahkan terakhir investor kecil-kecilan pedagang kaki lima
ndandangan juga turut dipanggil untuk meningkatkan PDRB. Semuanya demi
semakin terisi pundi-pundi kekayaan pejabat.

Agensi Pasar yang diwakili pengusaha lokal, dengan Word bank, IMF,
WTO, TNC, MNC melakukan perselingkuhan dengan negara untuk
mendapatkan bahan baku murah dan kemudahan dalam
memasarkan/menjual produk-produk mereka. Resiko-resiko yang terjadi
dibebankan kepada rakyat kecil, mulai limbah, ruang publik yang berganti
mall, hutan gundul, gaji buruh rendah bukan urusan mereka. Maka dalam
rumus ekonomi yang ada adalah efesisensi dan keuntungan; moral sama
sekali tidak pernah tercantum didalamnya. Alhamdulillah-nya hampir semua
pejabat kita kok pengusaha, pemimpin-pemimpin kita juga pengusaha, klop
sudah dengan semangat neo-liberalisme.
Fenomena inilah yang disebut Noreena Hertz11 sebagai silence take over, yang
artinya globalisasi modal telah mengerdilkan peran negara karena jeratan-
jeratan ketergantungan hutang dan investor asing. Apapun akan dilakukan
oleh negara (:baca pemerintah) untuk memanjakan mereka meski harus
mengorbankan kepentingan rakyat.

Kalau budaya pemimpin sudah demikian, korupsi adalah dosa kecil


cukup ditebus memberi sumbangan ke pesantren dan masjid-masjid.
Kepentingan rakyat sudah tidak mempunyai ruang artikulasi dan budaya
sudah dikebiri sebegitu jauh, maka dipastikan kondisi bangsa akan parah dan
kacau, mental bangsa ini sudah demikian kritis. Sayang kalau tidak ada yang
perduli, sampai kapan kita tega melihat anak-anak tidak bisa melanjutkan
sekolah, seniman tidak mampu berkarya, orang miskin sudah tidak mampu
berobat sementara DPR malah minta jatah Laptop dan kekayaan pejabat
semakin berlipat tiap tahun.

Sikap Kita
Apa yang bisa kita lakukan, seperti yang Widji Tukul teriakkan “LAWAN”. Ya
budaya sebagai alat perlawanan, budaya sebagai media menyebarkan
ideologi, Budaya sebagai basis pendidikan kerakyatan, budaya sebagai
penyebar semangat revolusi. Hidup Revolusi (awas ada intel –nanti kita malah
ditraktir).

Pertama yang harus dilakukan adalah penyadaran ke segenap


komponen rakyat dengan manifesto kebudayaan. Sikap tegas kita sebagai
rakyat, seorang seniman, akademisi, mahasiswa, tukang becak, WTS, dll.
11
Baca Romo Wahono dan I. Wibowo, Neoliberalisme, Cinde laras, Yogyakarta
Bahwa kita akan tetap menyuarakan suara-suara rakyat, suara-suara
kebenaran sampai pemimpin kita sadar, membuat tandingan pendidikan
kerakyatan melalui acara-acara kebudayaan dikalangan anak-anak, pelajar,
remaja dan dewasa agar mereka memiliki pikiran/wacana kritis dan memutus
rantai budaya sesat pikir. Menggiatkan diaspora12 budaya sampai ke semua
kelompok tidak hanya seniman saja tetapi sampai kepada agensi-agensi lain
seperti akademisi, pendidik, LSM, parpol dll. Kebudayaan kita maknai ulang
menurut interpretasi kita bukan menurut selera penguasa.

Ingat!! Perlawanan simbol saja tidak cukup, anda mau melawan budaya
global dengan fundamentalisme, menolak produk Amerika, mempertahankan
sepeda onthel dengan slogan bike to work, memplesetkan KFC dengan
Kendhuri Fried Chiken, America go to Hell, fuck Capitalis, tidak cukup mas.
Representasi perlawanan harus jelas, jangan sampai kita menjadi masyarakat
sub-baltern yang tidak mampu mengartikulasikan kepentingan. Akhirnya
hanya mampu melawan dengan diam, ngrundel dan ngrasani (mirip teorinya
James C. Scott “every day reform” dalam bukunya “Senjatanya Orang-Orang
yang Kalah”)

Perlawanan simbol saja tidak mampu mengatasi harga minyak goreng,


mengurangi pengangguran, maka perlawanan struktural mutlak dipersiapkan.
Nabi13 harus bisa menduduki angota Dewan, Nabi jadi Bupati bahkan kalau
perlu presiden RI dari kalangan Nabi. Para Nabi harus turut serta
memperebutkan negara. Ayo kita rebut negara, Nabi-Nabi bersatu tak dapat
terkalahkan.

Di wilayah perlawanan ini, ekspresi budaya bisa berperan sebagai


media komunikasi antara rakyat dan pejabat, menjadi ruang artikulasi
(makanya jangan segan mengundang Bupati atau DPR untuk menonton
drama/seni-seni lain), kesenian menjadi ruang bargaining, media tawar dan
kontrol dan pressure politik.14 (kok malah tekan endi-endi).

Dilanjutkan!! Untuk melakukan resistensi budaya global, perlawanan


simbolik saya fikir masih efektif. Perlawanan ini dapat dimaknai masih
eksisnya ekspresi budaya lokal agar generasi mendatang tidak terjebak
diskursus budaya Barat ansih. Ruang-ruang budaya lokal harus terbuka lebar,
disekolah-sekolah kesenian tradisional tetap digalakkan, negara harus
melindungi kebudayaan lokal. Belum terlambat untuk melawan hegemoni
kebudayaan barat. Bravo/.

12
Diaspora lebih dari sekedar relasi, tetapi merupakan jaringan yang mempunyai
kesepahaman bersama, persamaan visi dan agenda kebudayaan. Agenda diaspora budaya
secara universal mewacanakan pengetahuan kritis (resistensi/oposisi) tiap hari, tiap waktu dan
di tiap tempat di semua komunitas, semua kalangan, semua umur untuk mereduksi budaya
penindasan.
13
Penulis tidak mendapatkan padanan kata untuk orang-orang yang betul-betul
memikirkan perubahan bangsa ini, mempunyai sense of belonging nasionalisme, berpihak pada
rakyat kecil, benar-benar prihatin terhadap kondisi pendidikan rakyat miskin. Kelompok manapun
bisa menjadi Nabi: seniman, budayawan, akademisi, sampai tukang becak. Jika negara-negara
lain bisa, mengapa kita tidak. Misal: Filipina, Malaysia, Jepang, Brasil, Cuba, Iran.
14
Pendapat semacam ini dipelopori oleh pemikiran Gayatri Spivak tentang kelompok
‘Subaltern’ yakni orang-orang jelata-kelompok marjinal yang kepentingan artikulatif-nya selalu
dimediasikan oleh ‘mereka’ yang memiliki posisi kekuasaan untuk menstrukturkan pengetahuan
seperti: para politisi, intelektual-akademisi dan rohaniwan (tokoh-tokoh agama).

Anda mungkin juga menyukai