Anda di halaman 1dari 14

Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.

JALINAN KISAH ANAK-ANAK PENGEMIS DALAM NOVEL KETIKA


LAMPU BERWARNA MERAH KARYA HAMSAD RANGKUTI

NOVEL KETIKA LAMPU BERWARNA MERAH


DRAW TO BE CHECKED BECAUSE IN IT

Heru Supriyadi1) , Eddy Sugiri1)

ABSTRACT
Novel Ketika Lampu Berwarna Merah draw to be checked because in it there is society
imagination, which is the full of opposition or is often referred as incomletely social. The novel
represents projection of difference of social, which so sharply at society in general, that is
marginal society difference with society of capital. Besides Novel Ketika Lampu Berwarna Merah
depict rural society social difference which is its life very siple with urban society (metropolitan
town), which is its life full of affluence and is modern.
These researches formulate 2 matters, that is (1) How Novel text structure Ketika Lampu
Berwarna Merah?, (2) How beggar children attitude braid or social background of society culture,
which is background, overshadow to born Novel him Ketika Lampu Berwarna Merah?
Keywords: Society imagination, social difference, marginal society, society of capital

PENDAHULUAN dari kehidupan merupakan kenyataan


Karya sastra merupakan serangkaian sosial.
proses membaca kehidupan yang Pengaruh lingkungan sosial dan
dilakukan oleh pengarang. Dalam proses perkembangan zaman di tempat pengarang
membaca kehidupan seorang pengarang tinggal (hidup) sangat menentukan dari isi
berusaha menangkap esensi yang tampak teks yang diciptakan pengarang sebagai
di permukaan. Salah satu hasil sastra manusia sosial pemikir. Masalah-masalah
adalah novel. Lukacs (1963: 322) dalam sosial dan budaya mendapat tempat yang
Fokkema (1998: 150) mengatakan bahwa khusus di dalam perkembangan tema karya
novel merupakan cermin realitas dengan sastra. Setiap saat masalah-masalah sosial
penggalian esensi yang lebih dalam untuk dan budaya terus mengalami perkem-
menciptakan suatu hubungan antara bangan. Banyak pengarang di Indonesia
pengalaman pengarang terhadap suatu memilih masalah sosial budaya dan politik
kejadian atau peristiwa dengan “kehidupan sebagai bahan baku dalam karya mereka.
nyata masyarakat” atau “sumber-sumber Pergeseran dan perubahan sistem sosial,
pengalaman mereka yang tersembunyi”. politik dan budaya dalam kelompok
Melalui karya sastra, perwujudan dan masyarakat memiliki daya tarik tersendiri
pandangan pengarang terhadap realitas untuk diangkat dalam karya. Hal ini
(termasuk di dalamnya peristiwa sejarah) terbukti dengan banyaknya sastrawan
akan ditampilkan dalam kekhususan atau Indonesia yang mengungkapkan masalah
ciri khas imajinasi pengarang, sekaligus sosial yang diangkat dalam karya-karyanya
memasukkan daya inter-pretasi dan antara lain Pramudya Ananta Toer, Y.B.
pemahaman individualnya. Karya sastra Mangunwijaya, Ahmad Tohari, Kuntowijoyo,
menyajikan kehidupan dan sebagian besar Ramadhan K.H, dan Hamsad Rangkuti

1) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

88
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

Karya sastra dalam realitasnya adalah merupakan peristiwa yang umum terjadi
teks dan merupakan karya imajinasi dalam masyarakat dan tidak lepas dari
seorang pengarang. Meskipun demikian, permasalahan yang berpijak pada dunia
kesastraan dalam gejalanya tidak dapat realitas. Berdasarkan sorotan masalah
didefinisikan secara total memakai sudut tersebut menjadikan novel ini disebut
pandang linguistik. Hal ini karena linguistik sebagai novel kontekstual.
dalam teorinya tidak mempertimbangkan Novel Ketika Lampu Berwarna Merah
sejarah serta nilai-nilai yang terdapat dalam karya Hamsad Rangkuti adalah hasil karya
karya sastra (Fokkema, 1998: 174). Dalam yang pertama kali sebagai cerpenis. Novel
memahami sastra, pengarang diibaratkan Ketika lampu Berwarna Merah pernah
sebagai pemilik objek yang ikut terlibat mendapatkan penghargaan dalam
dalam proses imajinatifnya. Ketika Sayembara Penulisan Roman Dewan
kesadaran pengarang itu muncul maka Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1981.
objek imajinasinya berfungsi sebagai Sebelumnya novel yang mengambil setting
pengganti benda riil. Dengan demikian, sosial pada tahun 1970-an ketika DKI
objek imajinasi merupakan analog dari Jakarta di bawah Pemerintahan Gubernur
benda riil, tetapi melalui sebuah proses Ali Sadikin – itu pernah dimuat secara
maka imajinasi tersebut menjadi karya bersambung di harian Kompas, 10 Juni – 16
sastra (Sarte, 2000: 2007) Juli 1981.
Dari perspektif pandangan tersebut Sebagai karya sastra Novel Ketika
dapat disimpulkan bahwa dasar interpretasi Lampu Berwarna Merah memiliki daya
sosiologis terhadap karya sastra adalah tarik tersendiri untuk dikaji sebagai objek
membongkar makna-makna tersembunyi penelitian. Novel setebal 210 halaman ini,
dari karya sastra sebagai gejala sosial. menggambarkan kehidupan anak-anak
Dengan pemikiran positif dikatakan bahwa jalanan yang hidup dan mencari nafkah di
sastrawan merupakan hati nurani sepanjang jalan khususnya di perempatan
masyarakat yang memiliki tujuan untuk jalan atau di setiap lampu merah dan yang
menunjukkan sebuah kehidupan sosial nyata ada di tengah masyarakat kita.
dengan prinsip kebenaran. Pemilihan objek Novel Ketika Lampu Berwarna Merah
novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya terbit Maret 2001 oleh Penerbit Buku
Hamsad Rangkuti merupakan pilihan Kompas PT Kompas Media Nusantara,
karya yang memberi arti positif bagi Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270.
perkembangan masyarakat. Novel Ketika Novel Ketika Lampu Berwarna Merah
Lamu Berwarna Merah merupakan dilema berbicara tentang orang-orang kecil, yakni
sosial yang mengungkap fakta-fakta sosial sekelompok anak-anak pengemis yang
yang diulas secara objektif oleh penulisnya. kerap ditemukan di perempatan jalan
Novel Ketika lampu Berwarna Merah utama ibu kota tempat lampu pengatur lalu
menarik untuk diteliti karena di dalamnya lintas berada. Di balik keberadaan mereka
ada imajinasi masyarakat yang penuh ternyata ada rantai kehidupan lain yang
pertentangan atau sering disebut dengan saling bersinggungan, seperti peminta-
kesenjangan sosial yang dalam Novel minta, pemulung, pelacur, dan tentang
Ketika Lampu berwarna Merah merupakan robohnya bangunan sebuah komunitas
proyeksi dari perbedaan sosial yang begitu untuk dan atas nama pembangunan.
tajam pada masyarakat secara umum, yaitu Jalinan kisah yang memayungi keberadaan
kesenjangan sosial masyarakat marginal sekelompok anak-anak pengemis itu
dengan masyarakat kapital. Peristiwa disajikan pengarang dengan gayanya yang
kemiskinan dan sulitnya lapangan kerja khas: sederhana, namun tanpa kehilangan
dengan ketertiban umum khususnya di daya tariknya sebagai sebuah cerita.
jalan raya melandasi lahirnya Novel Ketika Masalah pokok penelitian ini dapat
Lampu berwarna Merah. Hal ini dirumuskan sebagai berikut. (1)

89
Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.)

Bagaimanakah struktur teks Novel Ketika 26-28 Jakarta 10270, dengan ketebalan 210
Lampu Berwarna Merah karya Hamsad halaman. Sumber data sekunder adalah
Rangkuti?, (2) Bagaimanakah jalinan sikap tulisan-tulisan yang membicarakan masalah
anak-anak pengemis atau latar belakang sosial khususnya yang menyangkut anak
sosial budaya masyarakat yang jalanan dan sebagainya yang
melatarbelakangi lahirnya Novel Ketika keberadaannya turut membantu dalam
Lampu Berwarna Merah? penelitian ini. Sumber data sekunder juga
Sedangkan tujuan penelitian ini (1) berupa buku-buku yang mempunyai
Mengkaji unsur-unsur yang membangun relevansi dengan penelitian ini dan buku-
struktur teks Novel Ketika Lampu buku referensi yang sifatnya umum dan
Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti; menunjang sumber data primer.
(2) Menguraikan jalinan sikap anak-anak Mengingat objek penelitian ini berupa
pengemis atau latar belakang sosial budaya karya sastra, maka peneliti memilih
masyarakat yang melatarbelakangi lahirnya penelitian kepustakaan sebagai metode
Novel Ketika Lampu Berwarna Merah. kerja. Semua data sekunder mengenai
Novel Ketika Lampu berwarna Merah dan
METODE PENELITIAN kepengarangan Hamsad Rangkuti didapat
Metode penelitian dapat diartikan dari kepustakaan dan dokumen pribadi
sebagai cara kerja atau dengan kata lain, pengarang.
metode penelitian merupakan alat, Menentukan teks yang dipakai sebagai
prosedur, dan teknik yang dipilih dalam objek penelitian yaitu Novel ketika Lampu
melaksanakan penelitian. Metode sangat Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti,
diperlukan dalam suatu penelitian, sebab yang diterbitkan oleh PT Kompas Media
dengan metode tersebut suatu penelitian Nusantara, Jakarta, dengan ketebalan 210
diharapkan akan memperoleh hasil yang halaman. Novel tersebut pernah dimuat
lebih baik. Dalam hal ini tekanan penelitian bersambung di Harian Umum Kompas 10
terletak pada upaya dalam Juni – 16 Juli 1981. Cetakan pertama tahun
mendeskripsikan secara rinci fenomena 2001. Menganalisis struktur teks Novel
sosial tertentu atau frekuensi terjadinya Ketika Lampu Berwarna Merah dengan
peristiwa tertentu (Singarimbun, 1982: 4). mengemukakan judul, tokoh, latar serta
Metode yang digunakan dalam penelitian alur. Judul sebagai simbol gambaran sosial,
ini adalah metode deskriptif kualitatif dinamika tokoh yang ada dalam Novel
dengan sumber referensi berupa studi Ketika lampu Berwarna Merah, latar
kepustakaan yang dipilih berdasarkan isi sebagai refleksi terhadap realitas sosial
yang relevan dengan permasalahan, serta alur sebagai kronologis peristiwa.
dengan tahap-tahap sebagai berikut. Menganalisis latar belakang sosial
Adapun tahapan tahapan dalam budaya yang melatarbelakangi lahirnya
penelitian ini sebagai berikut: novel Ketika Lampu Berwarna Merah ini.
Sumber data yang dipakai penelitian ini Latar belakang sosial budaya yang
adalah sumber data tertulis atau dikemukakan adalah latar belakang sosial
kepustakaan. Sumber data primer yang budaya masyarakat Indonesia perkotaan
dipakai dalam penelitian ini adalah teks khususnya tahun 2000-an sekarang ini.
Novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya Selain itu novel ini dilatarbelakangi
sastra Hamsad Rangkuti. Novel tersebut masyarakat ibu kota Jakarta (Kota
pernah dimuat di Harian Umum Kompas Metropolitan) sebagai ilham penulisan
secara bersambung mulai 10 Juni – 16 Juli novel Ketika Lampu Berwarna Merah,
1981. Novel ini pertama kali diterbitkan serta latar belakang sosial budaya
dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku pengarang dan teks sastra. Pemahaman
Kompas, Jakarta, Maret 2001, PT Kompas terhadap latar belakang sosial budaya
Media Nusantara, Jalan Palmerah Selatan tersebut digunakan untuk melihat sejarah

90
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

tentang ketika Lampu berwarna Merah dan unsur-unsur instrinsik sekaligus


kaitannya dengan permasalahan yang akan merupakan pintu masuk analisis yang
dianalisis sehingga dapat dikorelasikan meliputi judul, tokoh, latar, dan alur.
antara teks dan konteks. Peneliti hanya memfokuskan pada struktur
Selanjutnya, memahami masalah- yang dianggap memiliki kaitan dengan
masalah sosial yang ada dalam Novel pokok permasalahan utama penelitian.
Ketika Lampu Berwarna merah ini lalu
mengkorelasikan antara teks dengan Judul sebagai Simbol Gambaran Sosial
konteks, yaitu realitas kehidupan sosial Judul merupakan gambaran dari isi
yang tercermin dalam novel Ketika Lampu yang terdapat dalam suatu tulisan.
berwarna Merah untuk dikaitkan dengan Pemilihan judul harus tepat, judul tidak
masalah-masalah sosial yang ada dalam hanya dipasangkan begitu saja tanpa
masyarakat makna. Secara tidak langsung judul
Setelah laporan disusun kemudian di berperan untuk menyampaikan maksud
seminarkan terlebih dahulu. Masukan- atau ide yang ingin disampaikan oleh
masukan yang diperolah saat seminar pengarang. Pemakaian judul tidak perlu
sebagai bahan penyempurnaan atau revisi terlalu panjang, cukup sederhana tetapi
laporan penelitian tersebut. mampu menceritakan secara tidak
langsung. Nilai persuasif yang terkandung
di dalamnya menjadi tujuan utama
HASIL DAN PEMBAHASAN pengarang untuk mengajak pembaca
Struktur Teks Novel menikmati karya tulisnya. Hal ini
Struktur merupakan susunan, penegas- dilakukan pengarang untuk menarik minat
an dan gambaran semua bahan dan bagian pembaca akan buku tersebut. Pemilihan
komponennya yang secara bersama judul itu sendiri semata-mata karena
membentuk kebulatan yang indah pengarang ingin menunjukkan kepada kita
(Abrams, 1981: 68). Struktur sebagai ‘tubuh’ akan kandungan cerita di dalamnya.
merupakan bentuk fisik karya sastra yang Penggunaan frasa Ketika Lampu Berwarna
membuatnya teridentifikasi. Melalui Merah, sebagai judul novel oleh pengarang
struktur sebuah karya sastra dapat mempunyai maksud dan tujuan, yaitu
dirasakan keindahannya, baik dalam sudut untuk mengungkapkan kepada pembaca
pandang tipologis maupun filosofis. bahwa novel tersebut bercerita tentang
Estetika struktur karya sastra dibangun perempatan jalan raya atau jalan utama
oleh unsur-unsur instrinsiknya, sesuai yang selalu terdapat lampu lalu lintas yang
dengan konsep struktur yang dicetuskan berwarna merah hijau, dan kuning yang
Mukarovsky bahwa struktur merupakan berfungsi sebagai pengatur lalu lintas.
entitas konseptual yang didukung oleh Lampu lalu lintas (traffic light) biasanya
sifat-sifat materi tertentu berupa unsur- dipasang diperempatan jalan atau
unsur itu sendiri (Fokkema dan Kunne- pertigaan jalan raya yang lalu lintasnya
Ibsch, 1998: 46). Pada perkembangan cukup padat. Kepadatan arus lalu lintas ini
konsep struktur berubah menjadi fenomena identik dengan perkotaan berdasarkan
objektif yang berasal dari dunia nyata geografi. Selain identik dengan perkotaan
(Wellek dan Warren, 1993: 7-8). Dengan lampu lalu lintas identik dengan
demikian, struktur karya sastra itu pada keramaian. Bukti yang berhasil ditangkap
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan diabadikan pengarang
unsur luar karya sastra atau dunia nyata. terdapat dalam teks berikut ini:
Mengingat struktur karya sastra pada “Ketika lampu menjadi merah, mobil-mobil
hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari itu akan berhenti pula membiarkan mobil-
unsur karya sastra atau dunia nyata, maka mobil di ujung yang lain melintas di tengah-
berikut ini akan dianalisis struktur Novel tengah perempatan itu. Demikianlah
seterusnya lampu pengatur lalu lintas itu
Ketika Lampu Berwarna Merah sebagai

91
Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.)

senantiasa berubah warna untuk menjadi bahkan ada pula yang menggunakan gitar
pedoman para sopir yang melintas sambil menyanyi atau dengan
membawa mobil-mobil mereka di tengah
menggunakan bunyi-bunyi seadanya-
perempatan itu. Dan, itu adalah baru salah
satu dari ratusan perempatan di seluruh misalnya dengan menggunakan tutup
jalan-jalan utama ibu kota sepanjang siang botol.
maupun malam. Lampu-lampu lalu lintas itu Hampir di seluruh kota di Indonesia
setiap saat berubah warna. Dari merah terdapat para pengemis atau anak jalanan
menjadi kuning, dari kuning beralih menjadi yang beroperasi di perempatan jalan atau
hijau, dari hijau menjadi kuning, dan dari
didekat lampu lalu lintas. Pada saat itu,
kuning menjadi merah. Seolah-olah warna
kuning menjadi jembatan untuk warna terdapat delapan pengemis di trotoar dekat
merah dan hijau.” perempatan seputar lampu lalu lintas yang
(Hamsad Rangkuti, 2001: 1-2) keadaan fisiknya sangat kotor.
“Di trotoar itu ada itu ada delapan orang
Judul tersebut menggambarkan situasi di anak pengemis berumur sekitar sepuluh dan
perempatan jalan yang terdapat lampu lima belas tahun. Mereka kotor bagaikan
sampah. Mereka pada saat ini sedang
lalulintas udaranya panas dan ditambah
duduk-duduk di atas trotoar ditimpa panas
suara kendaraan yang membisingkan pagi membiarkan lampu berwarna hijau.
telinga. Selain itu, terjadinya pencemaran Ada di antara mereka berdiri menyandar
udara akibat asap yang dikeluarkan pada pagar gedung bertingkat. Mereka
knalpot mobil yang jumlahnya tidak sedikit memandang mobil-mobil yang melintas,
itu. Gambaran tersebut terdapat pada teks dan sementara menunggu lampu lalu lintas
berikut ini: itu menjadi merah, kedelapan orang anak-
“Ketika lampu berwarna merah, mobil- anak yang mengemis itu seolah sedang
mobil di ujung jalan itu berhenti beristirahat dari tugas mengemis.”
membiarkan mobil-mobil dari jurusan yang (Hamsad Rangkuti, 2001: 3).
berlainan melintas di tengah-tengah
perempatan itu. Debu tidak nampak Di tempat ini, dapat dijumpai pengemis
beterbangan di udara yang panas di atas yang mempunyai fisik maupun psikis yang
jalan aspal yang licin itu. Deru mobil-mobil sehat dan dapat ditemukan pula pengemis
yang melintas itu membisingkan. Asap hitam yang cacat tubuh ( tuna graita).
yang disemburkan dari lubang-lubang “Di antara anak-anak itu seorang di antara
knalpot, sehingga dari balik kaca para sopir mereka, anak yang terkecil dari mereka,
udara di luar tampak menjadi hitam. Mobil- menderita cacat fisik pada kakinya. Sebelah
mobil itu melintas cepat menepiskan angin kakinya terpotong tidak jauh di atas lutut.
dan menggoyang pohon-pohon hias di Kaki yang cacat itu menjadi modal utama
sepanjang tepi jalan.” (Hamsad Rangkuti, untuk anak-anak itu mengemis. Kaki yang
2001: 1) buntung itu telah menarik rasa iba orang
Berdasarkan geografis, tempat seperti melihatnya. Mereka tergerak untuk
ini identik dengan keramaian sudah barang menjulurkan uang kecil dari saku mereka
tentu tempat itu tempat berkumpulnya dan menjatuhkan uang kecil itu ke atas
orang banyak untuk mengais rizki baik telapak tangan anak kecil itu di luar kaca
pedagang kaki lima, asongan, maupun jendela. Dan, bila lampu menjadi hijau
mobil-mobil itu akan melanjutkan
para peminta-minta atau pengemis. Secara perjalanannya dan anak itu melompat ke atas
umum peminta minta atau pengemis dibagi trotoar untuk menunggu lampu menjadi
menjadi dua yaitu pengemis dewasa dan merah.
pengemis yang masih anak-anak. Pengemis
yang masih anak-anak atau remaja ini Ketika lampu berwarna hijau, anak yang
sering disebut pula dengan anak jalanan. buntung kakinya itu menari-nari di atas
sebelah kakinya yang tumbuh sempurna itu.
Cara mereka beroperasi yaitu dengan
Ia berputar-putar di atas sebelah kakinya
hanya mengunakan suara yang seolah ia seperti gasing yang berputar. Ia
mengharukan (memelas), ada yang dengan menjadi pusat perhatian anak-anak yang
cara membersihkan kendaraan baik dengan mengelilinginya. Mereka menontonnya
lap maupun kemucing (sulak/kelut), berputar-putar di atas trotoar itu. Ia sekarang

92
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

tidak begitu penting. Ia sekarang menjadi “Lalu sopir-sopir memanfaatkan lampu


tontonan mereka. Ia baru begitu penting merah itu untuk mengendorkan saraf-
ketika lampu berwarna merah.” (Hamsad sarafnya yang tegang akibat kelelahan
Rangkuti, 2001: 3) mengemudi. Mereka menukar gigi
persneling mobil-mobil mereka ke bagian
Dalam kenyataannya, ada pengendara nol, dan mereka pun bebas untuk melirik
yang iba melihat penderitaan para wanita-wanita pejalan kaki yang
mengenakan pakaian-pakaian yang
pengemis, namun ada pula yang acuh tak
merangsang.”
acuh bahkan menghinanya. Mereka yang
(Hamsad Rangkuti, 2001: 2)
iba pada umumnya memberikan uang atau
makanan. Para pengendara pada umumnya Dinamika Tokoh
iba kepada para pengemis yang sudah tua Pada umumnya tokoh-tokoh dalam
renta, cacat tubuh dan anak-anak. karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan,
Beragam hiruk pikuk kehidupan di tetapi terinspirasi oleh pengalaman
perempatan jalan tersebut, sering pula pengarang sebagai manusia sosial. Masalah
terjadi penodongan atau meminta dengan penokohan merupakan satu bagian penting
secara paksa kepada para pengguna jalan untuk membangun cerita. Selain berfungsi
khususnya pengendara roda empat. Bila untuk memainkan cerita, tokoh juga
mereka tidak berhasil mendapatkan barang berperan untuk menyampaikan ide, motif,
pengendara, biasanya mereka tidak segan- plot, atau tema.
segan merusak mobil dengan cara Karakter tokoh dapat dilihat dari apa
menggores, menggembos ban mobil, atau yang dilakukan (Abrams, 1981). Identifikasi
mencuri loga mobil yang sedang di kompas tersebut didasarkan pada konsistensi atau
(ditarget). Sasaran empuk bagi mereka, keajegannya, dalam arti konsistensi sikap,
adalah para penggendara wanita yang moralitas, perilaku, dan pemikiran dalam
sedang berhenti di perempatan jalan karena memecahkan, memandang dan bersikap
lampu merah dan sering terjadi pada ketika menghadapi suatu peristiwa.
malam hari. Barang berharga yang sering Dalam analisis terhadap novel Ketika
dirampas adalah dompet dan HP, atau Lampu Berwarna Merah ini, tokoh yang
perhiasan. Lampu merah dalam realitas paling banyak dikemukakan adalah tokoh
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dianggap paling problematik. Tokoh-
lampu merah dalam novel. Berbagai tidak tokoh lain yang juga ikut membangun
kriminal mewarnai kehidupan anak cerita dikemukakan dalam hubungannya
jalanan. Selain itu, ada pula anak jalanan dengan tokoh problematik. Banyak tokoh
sebagai penjaja koran dan dimanfaatkan yang ditampilkan dalam Novel Ketika
oleh pejalan kaki untuk menyeberang. Lampu Berwarna Merah ini, akan tetapi
“Lalu apa pula yang terjadi di perempatan
untuk kepentingan analisis tidak semua
itu ketika lampu berwarna merah? Penodong
terkadang memanfaatkan warna merah itu. tokoh dikemukakan satu persatu secara
Mereka menyodorkan golok-golok mereka mendalam.
untuk merampas benda berharga para Tokoh si Buntung dan Basri adalah dua
pengendara mobil. Anak-anak penjual koran orang tokoh yang menjadi sentral dalam
memanfaatkan warna merah itu. Pengemis segala interaksi dengan tokoh-tokoh lain,
menyodorkan tangan-tangan mereka ke
dan juga dalam berbagai peristiwa yang
dalam jendela mobil yang terbuka waktu
lampu itu berwarna merah. Dan, terkadang dialaminya. Teks ini berpijak pada berbagai
para pejalan kaki menyempatkan permasalahan sosial anak jalanan yang ada
menyeberang waktu lampu itu berwarna pada setiap kota. Melalui kedua tokoh ini
merah.” (Hamsad Rangkuti: 2001: 2). pandangan pengarang terekspresikan.

Selain itu, pada saat lampu merah, para Basri


sopir memanfaatkan untuk beristirahat Tokoh yang dianggap sebagai tokoh
sejenak guna mengendorkan urat sarafnya. problematik dalam analisis ini adalah tokoh

93
Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.)

Basri. Tokoh ini dihadapkan pada kesulitan terbuka, memandang anak kecil di dalam
mencari nafkah dengan mengemis di ibu gendongan temannya persis pada bagian
kakinya yang terputus. Orang di dalam
kota setelah minggat meninggalkan
mobil itu menjadi iba dan mengambil uang
kampung halamannya di Wonogiri Solo. pecahan dari dalam sakunya, menjulurkan
Dia mengemis di perempatan jalan di dekat uang pecahan itu lewat kaca mobil yang
lampu merah dengan menggendong Pipin terbuka, dan anak buntung itu
anak yang cacat. Cacat si Buntung yaitu mengambilnya. Ia menanti sesuatu dari anak
cacat fisik pada kakinya yang sebelah yang berkaki satu itu. “Ini untukmu.
“Pergilah makan, ” kata anak yang berkaki
terpotong tidak jauh di atas lutut adalah
satu. Kemudian Basri pergi makan”
sebagai modal untuk meminta-minta agar (Hamsad Rangkuti, 2001: 4-5).
orang iba kepada mereka. Dalam teks
disebutkan: Sulinah
“Kaki yang buntung itu telah menarik rasa Sulinah sering dijuluki si Buta. Sulinah
iba orang melihatnya. Mereka tergerak untuk adalah ibunda Pipin/ si Buntung yang
menjulurkan uang kecil dari saku mereka
tugasnya mengemis di tempat lain serta
dan menjatuhkan uang kecil itu di luar kaca
jendela. Dan, bila lampu menjadi hijau
selalu mengawasi si Buntung dari jarak
mobil-mobil itu akan melanjutkan jauh. Orang tua Buntung ini sebenarnya
perjalanannya dan anak itu melompat ke atas tidak buta tetapi hanya pura-pura buta
trotoar untuk menunggu lampu menjadi untuk mendapatkan iba dari orang lain
merah” terutama pengendara mobil. Hal ini
(Hamsad Rangkuti, 2001: 3). terungkap pada teks berikut ini.
“Dia tidak buta! Dia hanya buta pada orang-
Jumlah semua anak jalanan yang orang di dalam mobil. Tetapi dia dapat
mengemis di perempatan lampu merah melihat dari jarak yang jauh pada anaknya.
adalah delapan orang anak yang berumur Dia tahu betul berapa uang di dalam saku
sekitar sepuluh dan lima belas tahun. Pada anaknya. Dia akan datang menghampiri
anaknya, seolah anaknya itu orang di dalam
pagi itu yang belum mendapat giliran
mobil. Ia mengambil semua uang dari
menggendong si Buntung adalah Basri. Dia anaknya. Dan, bila ia sudah menerima uang,
minta jatah menggendong si Buntung dia akan meninggalkannya, dan dia kembali
dengan harapan untuk mendapatkan menjadi buta. Aku sering melihat wanita itu
pembagian uang dari hasil mengemis membuka matanya. Ia buta di belakang
untuk sarapan pagi. Memang Basri sejak pundak anak perempuannya, tetapi dia
pagi belum sarapan. Hal ini tergambar melek di depan saku anaknya. Ia buta bila
dalam teks: berada di depan jendela mobil, dan dia akan
Ketika lampu menjadi kuning, Basri, satu di menjadi melek bila mobil telah berlalu. Aku
antara anak-anak itu berteriak kepada anak sering memperhatikannya”
yang buntung itu. (Hamsad Rangkuti, 2001: 6).
“Aku belum menggendongmu! Sekarang
giliran aku. Aku belum sejak tadi.” Anak Sulinah bernasib malang karena dari
yang buntung itu menoleh kepadanya dan ia kelima anaknya tiga diantaranya meninggal
berteriak pula. “Apa betul dia belum sejak secara tragis yaitu terkena reruntuhan
tadi?”, “Betul! Aku belum sejak tadi.”, “Apa balok-balok kayu bangunan rumah. Yang
betul begitu?” tanyanya sekali lagi kepada masih tersisa hidup adalah Pipin anak
anak-anak yang lain. “Betul. Aku belum
bungsunya yang cacat dan Sulistinah anak
sama sekali. Aku belum makan pagi,”,
“Boleh!” teriak anak berkaki satu itu. Dia
sulungnya/pertamanya yang perempuan.
berhenti berputar-putar dan memandang Hal ini tergambar dalam teks sebagai
pada lampu yang berubah warna. Lalu anak berikut:
yang berteriak belum makan pagi itu cepat- “Terdengarlah suara gemuruh jatuh
cepat menggendong anak yang berkaki satu menimpa segala yang ada di bawahnya.
itu. Dari dalam gendongannya dia menyo- Dinding tembok rumah tua itu roboh
dorkan bagian kaki yang buntung itu ke menimpa anak-anak. Tiga orang anak mati
dekat kaca mobil yang berhenti. Orang di seketika tertimpa balok-balok yang terentang
dalam mobil lewat kaca jendela yang di bagian atas tembok. Orang berlarian ke

94
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

tempat reruntuhan. Mereka menyingkirkan akan aku belikan satu potong ikan goreng,
kepingan-kepingan batu dan balok-balok Manan.”, “Kau akan membelikan Aku?”
yang telah menjadi patah.” (Hamsad Sepotong ikan goreng?” Ya aku akan
Rangkuti, 2001: 115). membelikannya, kalau rezeki kita baik hari
ini.” “Terima kasih”. “Aku akan makan
Pipin/Si Buntung sampai tulang-tulangnya.” (Hamsad
Walaupun dia hidup menderita, namun Rangkuti, 2001: 8)
mempunyai hati yang baik kepada teman-
Kusnin
temannya. Pipin/Si Buntung atau si
Kusnin adalah teman si Pincang yang
Pincang dapat membimbing teman-
kesukaannya makan daging rendang.
temannya bahkan sangat memperhatikan
Permintaannya kepada si Pincang juga
keinginan teman-teman mereka. Berjiwa
diturutinya. Hal ini tergambar pada teks
toleransi dan tidak sombong serta belas sebagai berikut:
kasih kepada teman-temannya. Apa yang “Aku juga telah lama rindu makan daging
diinginkan teman-temannya asalkan dalam rending. Kau juga tentu mau membelikan
batas yang wajar dan dalam kemampuan untukku.” “Aku juga akan membelikan kau
keuangannya akan diturutinya. daging rending, Kusnin.” “terima kasih.”
Pipin adalah teman si Pincang yang (Hamsad Rangkuti, 2001: 8).
kesukaannya makan martabak india seperti
Tom
si Pincang (si Buntung). Permintaannya
Tom adalah teman si Pincang yang
martabak kepada si Pincang juga kesukaannya makan sepotong ayam
diturutinya. Hal ini tergambar pada teks goreng. Permintaannya kepada si Pincang
sebagai berikut: juga diturutinya. Hal ini tergambar pada
“Aku kepingin martabak dengan dua telur”.
teks sebagai berikut:
“Aku akan menghabiskannya panas-panas”.
“Maukah kau membelikan aku sepotong
(Hamsad Rangkuti, 2001: 11).
ayam goring?” “Nanti sore kau akan
kubelikan sepotong ayam goring, Tom.”
Misalnya, Basri adalah anak yang paling (Hamsad Rangkuti, 2001: 8)
suka telur rebus yang akan dikupasnya
sendiri dan si Pincang pun akan Minto
membelikannya. Hal ini tersurat dalam teks Minto adalah teman si Pincang yang
sebagai berikut: kesukaannya makan telur dadar.
“Aku akan membelikan kau telur rebus, Permintaannya kepada si Pincang juga
Basri.” , “Kau baik sekali!” kata Basri. Dia diturutinya. Hal ini tergambar pada teks
menghampiri lebih dekat ke tempat duduk sebagai berikut:
anak yang berkaki satu itu. “Sudah lama aku “Apakah kau juga mau membelikan aku?
kepingin makan telur rebus. Aku ingin Aku kepingin telur dadar.” “Aku juga akan
mengupasnya sendiri” membelikan kau telur dadar, Minto.”
(Hamsad Rangkuti, 2001: 7-8). (Hamsad Rangkuti, 2001: 8).

Manan Sukri
Manan adalah teman si Pincang yang Sukri adalah teman si Pincang yang
kesukaannya makan ikan goreng. kesukaannya makan pergedel kentang.
Permintaannya kepada si Pincang juga Permintaannya kepada si Pincang juga
diturutinya. Hal ini tergambar pada teks diturutinya. Hal ini tergambar pada teks
sebagai berikut: sebagai berikut:
“Aku juga telah lama kepingin satu ikan “Kalau kau ingin membelikanku juga, aku
goreng. Apakah kau juga bersedia sudah lama menginginkan makan pergedel
membelikan untuk aku, Pin?” kata salah kentang. Aku lihat seorang anak
seorang anak yang lain pula. Dia terpancing memakannya dengan lahap di restoran.”
oleh permohonan Basri yang dijanjikan akan “Untukmu akan kubelikan pergedel, Sukri.”
dipenuhi. Sesudah berkata begitu, dia (Hamsad Rangkuti, 2001: 8)
tampak menanti jawaban dari anak yang
berkaki satu itu dengan penuh harap. “Kau

95
Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.)

Yanto Surtini
Yanto adalah teman si Pincang yang Surtini adalah isteri Kartijo dan
kesukaannya makan sate. Permintaannya sekaligus ibunda Basri. Sebelum berangkat
kepada si Pincang juga diturutinya. Hal ini bertransmigrasi dia pergi berziarah dulu
tergambar pada teks sebagai berikut: kepada sanak saudaranya terutama orang
“Untukku kau akan membelikan apa?” “Kau tua dan mertuanya. Menurut pikirannya
kepingin apa, Yanto?” “Aku kepingin sate pada saat itu adalah ziarah yang terakhir
lima tusuk.” “Untukmu akan kubelikan sate kali. Makam leluhurnya dan sanak
lima tusuk.” (Hamsad Rangkuti, 2001: 8)
saudaranya tidak jauh dari tempat
tinggalnya, dalam satu kampung saja dan
Seorang ibu
yang rencananya akan kena gusur untuk
Seorang ibu yang di dalam mobil iba
waduk pula. Hal ini dikisahkan dalam teks
melihat kaki Pipin yang buntung lalu
sebagai berikut:
memberikan uang lima ratus rupiah kepada
“Pagi ini Surtini mengambil botol dan
Pipin. Dikisahkan dalam teks sebagai mengisinya dengan air. Dia telah berniat
berikut: hendak pergi ziarah ke makam ibu bapaknya
“Seorang ibu memandang kaki Pipin yang dan ke makam anak-anaknya. Air dalam
buntung itu tersentuh pada kaca mobilnya botol itu akan disiramkannya ke atas tanah
yang tertutup. Ujung lutut anak itu tampak makam itu untuk kali terakhir. Sebab, sudah
seperti segumpal daging tertekan pada kaca. pasti, kelak dia tidak akan mungkin bisa
Ada bekas goresan air pada kaca yang datang kembali ke atas tanah makam itu
diturunkan ibu di dalam mobil. Ibu itu untuk membersihkannya dan menyiram
membuka tas yang ada dipangkuannya. Ia tanahnya yang kering dengan air. Ini adalah
mengeluarkan uang lima ratus rupiah. Pipin ziarah yang terakhir di makam ibunya,
terkejut menerima uang kertas lima ratus bapaknya, mertuanya, dan makam-makam
rupiah. Dia tidak pernah menerima uang kedua anaknya yang meninggal ketika anak-
lima ratus rupiah. Dan sekarang dia telah anak itu baru berusia antara lima dan tujuh
memegangnya. Limaratus rupiah”. (Hamsad tahun. Dua anak perempuannya yang lain
Rangkuti, 2001: 12). telah pada menikah dan ikut dengan suami-
suami mereka.” (Hamsad Rangkuti, 2001:
Kartijo 21).
Kartijo adalah suami Surtini dan
ayahanda Basri. Dia seorang petani kecil Tukang Martabak
dari daerah Wonogiri. Tempat tinggalnya Tukang martabak itu adalah seorang
akan ditrabas untuk waduk Gajah keturunan India. Oleh sebab itu,
Mungkur. Uang pembebasan tanah sudah martabaknya juga disebut martabak India.
diterimanya. Kartijo sekeluarga akan Pada saat itu, pembeli martabak sangat
memulai hidup baru di daerah transmigrasi banyak, sehingga agak kualahan dia
Sitiung, Sumatera Barat. Hal ini dikisahkan membuatkannya terutama menyiapkan
dalam teks sebagai berikut: pesanan empat orang yang membawa
“Kartijo memandang semua tempat mobil. Hal ini dikisahkan dalam teks
kenangan masa kecilnya itu. Sebentar lagi ia sebagai berikut:
akan meninggalkan itu semua. Sebentar lagi “Tukang martabak itu memotong-motong
mereka akan pergi berbondong-bondong ke empat acuan martabak yang baru saja
Gedung Transito Wonogiri, menunggu matang. Ditaruhnya di dalam dua piring
saatnya untuk dibawa ke Stasiun Jebres. yang ceper. Dia membawanya ke dalam
Pamong-pamong itu akan melepas dengan restoran dan menghidangkannya di atas
upacara dan pidato-pidato resmi. Lalu kereta meja di mana orang-orang dari dalam mobil
api itu akan berangkat ke Stasiun Tanjung itu duduk.” “Kalau begitu, Bapak harus
Priok dan dari sana mereka akan menambah empat buah lagi. Seluruhnya
mengarungi lautan menuju Teluk Bayur, menjadi empat belas. Masing-masing tiga
lalu bus-bus yang berjalan seperti konvoi telur.” (Hamsad Rangkuti, 2001: 33).
akan membawa mereka ke Desa Sitiung,
Sumatera Barat” (Hamsad Rangkuti, 2001: Empat pembeli yang mabok
21).
Karena menunggu martabak dengan
minum bir, keempat pembeli yang naik

96
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

mobil itu mabok berat. Mereka memesan baru saja cuti satu bulan penuh untuk dusta
martabak dan memakannya dengan jumlah yang kulakukan. Orang memberi aku uang,
porsi yang banyak. Hal ini dikisahkan asal aku mau terus berdusta. Aku baru saja
berdusta, dan aku pun menikmati cuti satu
dalam teks sebagai berikut:
bulan penuh.”\ “Hebat sekali! Orang
“Menunggu dan minum bir adalah pekerjaan
memberimu cuti karena kau berdusta?” “Ya.
yang mengasyikkan.” “Setuju aku pendapat
Dusta membikin aku mendapat cuti satu
itu. Menunggu dan ditemani bir, sama
bulan penuh.” “Aneh! Biasanya, dusta
asyiknya dengan berlama-lama bersama
mendatangkan dosa.” “Ya.Dusta
kekasih.” “Bir dengan martabak yang panas
mendatangkan dosa untuk akhirat, tetapi
adalah sesuatu yang nikmat.”kalau begitu
dusta mendatangkan sesuatu yang berharga
pesan empat botol bir!” Keempat orang itu
di atas dunia. Aku berdusta untuk suatu
masing-masing minum satu botol bir.
kematian. Penyebab kematian. Ya. Dusta
Mereka makan potongan-potongan martabak
penyebab kematian itu. Nyonya meminta
itu seperti orang makan kacang goreng
aku berdusta tentang kematian suaminya,
dengan bir. Bir belum habis, martabak di
aku pun diberinya uang dan cuti satu bulan
dalam piring telah tandas.” (Hamsad
penuh. Menarik bukan?” (Hamsad Rangkuti,
Rangkuti, 2001: 33).
2001: 49).
Kusir Andong
Sulistinah
Kusir andong adalah teman sedesanya.
Sulistinah adalah seorang pengemis
Kusir itu tidak ikut bertransmigrasi. Ia
yang berstatus janda dari seorang penjual
pindah ke tempat daerah yang tidak
abu gosok. Sulinah yang bernasib malang
terkena proyek waduk. Hasil uang
karena dari lima orang anaknya tiga mati
penggantian dibelikan tanah di tempat
bersama-sama secara tragis terkena
yang tidak terkena proyek. Percakapan itu
reruntuhan balok-balok bangunan/kayu-
bagi Kartijo adalah percakapan kali yang
kayu rumah. Hal ini tergambar pada teks
terakhir ia lakukan kepada orang sedesanya
sebagai berikut
yang akan ditinggalkannya. Kusir andong
“Terdengarlah suara gemuruh jatuh
itu juga bercakap-cakap sampai Kartijo menimpa segala yang ada di bawahnya.
turun dan naik colt ke Solo. Dari naik colt, Dinding tembok rumah tua itu roboh
dia akan naik bis malam menuju Jakarta. menimpa anak-anak. Tiga orang anak mati
seketika tertimpa balok-balok yang terentang
Sutrisno di bagian atas tembok. Orang berlarian ke
Sutrisno adalah seorang penumpang tempat reruntuhan. Mereka menyingkirkan
yang sama-sama satu bus dengan Kartijo. kepingan-kepingan batu dan balok-balok
Mereka berdua saling memperkenalkan diri yang telah menjadi patah.” (Hamsad
di atas bus. Percakapan tersebut seperti Rangkuti, 2001: 115).
pada teks berikut ini:
Latar sebagai Refleksi Terhadap Realitas Sosial
“Saya Sutrisno,” kata orang itu kepada
Kartijo. “Saya Kartijo,” kata Kartijo kepada Latar dalam karya sastra adalah tempat
orang itu. “Saudara hendak pergi ke mana?” dan suasana lingkungan yang mewarnai
“Ke Jakarta.” “Jakarta? Jakarta kota keras. peristiwa. Di dalamnya tercakup lokasi
Jakarta penuh tantangan.” “Saya tidak peristiwa, suasana lokasi, sosial budaya
berniat tinggal di Jakarta. Saya hanya ingin setempat, dan bahkan suasana hati tokoh
mencari anak saya. Begitu saya ketemu anak
(Atmazaki, 1990: 62).
saya, dia akan saya bawa ke Sumatera.” “Ke
Sumatera? Untuk apa pergi jauh-jauh ke Latar dimunculkan dalam sebuah cerita
Sumatera?” “Saya dan keluarga ikut karena pada dasarnya setiap perbuatan
transmigrasi ke Sitiung. Anak saya ada di atau aktivitas manusia akan terjadi pada
Jakarta. Saya ingin mengajaknya pergi dari suatu tempat, waktu dan kondisi tertentu
Jakarta.” “Bagus! Jakarta kota keras. Kota sehingga keberadaan latar sangat
tempat orang berdusta. Bapak tidak tinggal
mendukung karakter tokoh dan alur dalam
di sekitar para pendusta. Semua orang
tinggal di Jakarta akan menjadi orang membentuk fakta cerita, juga sangat
pendusta. Jakarta tempat semua pendusta!” mendukung pencapaian makna suatu
“Mengapa Saudara berkata begitu?” “Aku

97
Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.)

peristiwa. Latar dapat menggambarkan baru yaitu di daerah transmigrasi. Di atas


suasana secara lebih hidup. kapal itu pula Basri, Sulistinah beserta
Penggunaan latar fisik dalam novel orang tua Basri yaitu ayah (Kartijo) dan ibu
Ketika Lampu Berwarna Merah terimplisit (Surtini) berlayar menuju tempat
melalui profesi tokoh dalam melakukan transmigrasi. Hal ini tampak dalam teks
kegiatan (operasi) Basri dan kawan-kawan. sebagai berikut:
“Di atas kapal Bengawan yang bergerak,
Latar fisik tempat Basri berada terjadi di
Surtini mendekap anaknya. Dia menangis di
Ibu Kota Jakarta, tepat di perempatan jalan atas kepala anak itu. Dia tidak hiraukan
raya dekat Silang Monas dan di situ orang menontonnya. Dia tidak hiraukan bau
terdapat lampu lalu lintas. Perempatan kemelaratan yang melekat pada tubuh
jalan ini tempat Basri dan kawan-kawannya anaknya. Dia mendekap kepala anak itu di
mengemis/mencari nafkah. Hal ini dapat dadanya. Dia meneteskan air matanya dan
membasahi kepala anak itu. Kemudian
dilihat pada kutipan berikut:
matanya memandang Sulistinah. Anak
“Ketika mereka sampai di perempatan itu
perempuan itu berdiri goyah berpegang
lampu sedang berwarna merah. Basri
pada dinding. Dalam waktu yang singkat,
langsung menyodorkan Pipin yang di dalam
Kartijo menceritakan tentang anak
gendongannya ke depan pintu-pintu mobil
perempuan itu. Surtini memperhatikannya.”
yang terbuka. Pipin menampung uang-uang
(Hamsad Rangkuti: 2001: 209).
pecahan yang disodorkan ke tangannya.
Kedua anak itu bersikap seperti orang yang
belum pernah makan sejak pagi.” Alur
(Hamsad Rangkuti, 2001: 4) Alur tidak lain adalah jalan cerita dalam
sebuah karya sastra. Dengan kata lain alur
Selain itu di belakang toko didirikan merupakan cara pengarang menjalin
gubuk-gubuk untuk tempat tinggal mereka. kejadian-kejadian secara beruntun dengan
Tempat ini dihubungkan oleh jalan yang memperhatikan hukum sebab akibat
sempit dan gelap. Hal ini dapat di lihat sehingga merupakan kesatuan yang padu,
pada teks sebagai berikut: bulat dan utuh (Suharianto, 1982: 28). Alur
“Sungai Ciliwung dan tembok yang tinggi digunakan untuk menunjukkan serang-
itu bertindak pula sebagai penyekat
kaian peristiwa yang saling berkaitan
permukiman para gelandangan itu. Gubuk-
gubuk karton para gelandangan dan
secara logis.
perkampungan elite dipisah oleh tembok Alur dalam novel Ketika Lampu
tinggi yang terentang, sedang dari Berwarna Merah sangat menarik sebab
perkampungan penduduk yang tidak peristiwa yang ada tidak diungkapkan
mampu disekat oleh Sungai Ciliwung itu. secara berurutan menurut waktu kejadian.
Kedua jembatan yang menghubungkan Hal tersebut di samping berguna untuk
kedua tempat itu diperuntukkan untuk para
pemakai jalan yang berbeda. Satu jembatan
menambah segi estetik sebuah cerita juga
diperuntukkan bagi para pengendara mobil dapat memancing rasa ingin tahu pembaca
yang hendak pergi atau pun datang di kedua untuk pembacaan selanjutnya. Peristiwa
tempat itu. Jembatan yang satu lagi dalam novel Ketika Lampu Berwarnba
diperuntukkan untuk para pejalan kaki yang Merah dikatakan menarik sebab satu
hendak pergi atau kembali dari kedua peristiwa belum selesai kemudian disusul
tempat itu. Letak kedua jembatan itu
dengan peristiwa yang lain. Dari hal
berkisar antara tiga ratus meter. Di antara
kedua jembatan itulah para gelandangan tersebut dapat dikatakan bahwa alur novel
mendirikan gubuk-gubuk keraton.” Ketika Lampu Berwarna Merah adalah
(Hamsad Rangkuti, 2001: 164). campuran yaitu antara alur maju dan alur
sorot balik.rangkaian alur tekstual dalam
Penggunaan latar fisik dalam novel Ketika Lampu Berwarna Merah adalah
Ketika Lampu Berwarna Merah yang sebagai berikut. 1) Perginya Basri ke Ibu
terakhir terimplisit di atas kapal yang akan Kota Jakarta (kota Metropolitan karena
membawa Basri dan keluarganya menuju tergiur oleh berita masalah Kota Jakarta
ke Pulau Sumatera tempat mereka yang dari berita di kantor kelurahan di Desanya:

98
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

a) Di Jakarta Basri berjumpa dengan anak- masyarakat bawah dan menurunnya nilai-
anak gelandangan yaitu, Pipin, Manan, nilai moral dalam masyarakat adalah
Kusmin, Tom, Minto, Sukri, Yanto; b) Di berbagai hal yang diangkat dalam novel ini.
Jakarta Basri diajak mengemis bersama dan Faktor latar belakang sosial budaya
juga dikenalkan kepada ibunda Pipin yang menjadi salah satu faktor yang turut
juga berprofesi sebagai pengemis yaitu mempengaruhi pandangan pengarang.
Sulinah; dan c) Selain itu Basri juga Berbagai pandangan pengarang ini juga
dikenalkan kepada anak perempuan menjadi hal yang sangat penting dan
Sulinah (anak sulungnya) yaitu Sulistinah. dibutuhkan terutama untuk membantu
Sulistinah adalah kakak perempuan Pipin mengatasi masalah sosial, baik masalah
(Si Pincang). 2) Masa lalu Basri yang diasuh sosial yang ditimbulkan oleh masyarakat
ayahandanya (Kartijo) di perkampungan di awam maupun oleh pemerintah. Alternatif
kaki bukit di dekat bendungan Jatiluhur pemecahan masalah sosial dengan cara
daerah Wonogiri, Solo: a) Kartijo bertransmigrasi yang dikemukakan melalui
memandangi kesibukan para petani yang novel Ketika Lampu Berwarna Merah ini
turun ke sawah menjadi sepi. Dia akhirnya menjadi hal yang sangat membantu sebagai
berpikir tentang masa depan untuk problem solving (pemecahan masalah) bagi
bertransmigrasi. Perkampungan tersebut berbagai masalah yang ada, sekaligus
yang dalam waktu dekat akan digusur menunjukkan adanya fungsi karya sastra
untuk bangunan waduk Gajah Mungkur; b) itu sendiri.
Surtini isteri Kartijo sangat setuju rencana Proses pembangunan sejak dulu sampai
suaminya untuk bertransmigrasi. Sebelum sekarang selain menguntungkan juga ada
bertrans-migrasi Surtini menyempatkan yang dirugikan. Penggusuran penduduk
diri berziarah ke makam orang tuanya yang yang tidak berdaya sering terjadi pada
bernama Margono. Makam itu pula dalam masyarakat bawah. Dampak penggusuran
waktu dekat akan digusur untuk dengan ganti rugi harta benda khususnya
pembangunan waduk. Kegiatan Surtini itu tanah yang sangat murah ini jelas akan
adalah kegiatan ziarah yang terakhir kali merugikan masyarakat bawah yang tidak
karena setelah digusur makam akan lenyap. berdaya. Masyarakat yang tergusur
Latar belakang Sosial Budaya akhirnya harus rela meninggalkan tempat
Masyarakat yang Melatarbelakangi Novel tinggalnya guna mencari tempat tinggal
Ketika Lampu Berwarna Merah yang baru misalnya dengan jalan
Berbagai masalah sosial yang bertransmigrasi.
dikemukakan melalui novel Ketika Lampu Selain itu, kehidupan sosial digam-
Berwarna Merah ini pada dasarnya barkan pula dalam novel Ketika Lampu
merupakan penilaian kritis seorang Berwarna Merah tentang bagaimana
pengarang dalam menghadapi situasi sosial kerasnya kehidupan di kota besar seperti
dan pandangan dunianya merupakan Jakarta. Guna mempertahankan hidup
gagasan tentang alternatif pemecahan orang rela menjadi pengemis atau
masalah sosial tersebut. Pandangan- gelandangan yang tidur di gubuk-gubuk,
pandangan itu muncul akibat adanya emperan toko, bahkan ada yang tidur di
berbagai ketimpangan sosial yang banyak stasiun kereta api. Novel ini
terjadi di masyarakat, sekaligus menggambarkan perbedaan tingkat sosial
merupakan bentuk emansipasi sosial ekonomi yang sangat timpang antara si
pengarang dalam mengemukakan gagasan kaya dan si miskin. Untuk
dan juga aspirasi-aspirasinya yang bertolak mempertahankan hidup seorang
dari berbagai ketimpangan sosial yang ada gelandangan dengan mengandalkan belas
dalam masyarakat melalui karya yang kasihan orang lain. Orang-orang ada yang
dihasilkan. Situasi sosial politik, berbagai iba dan ada pula yang mencebirkan bibir
dampak proses pembangunan terhadap kepada peminta-minta.

99
Jalinan Kisah Anak-Anak Pengemis Dalam Novel (Heru S., Eddy S.)

Keindahan ibu kota seperti lampu- Lelaki hidung belang juga berjoget
lampu di sepanjang jalan utama yang mendekati para wanita yang menarik
perhatiannya. Mereka menyenggolnya dan
menyala, deretan mobil memancarkan
meraba pantat wanita itu. Dan, bila wanita-
cahaya yang menyilaukan terbias dari kaca wanita itu tidak marah , itu suatu pertanda
kristal membuat orang tergiur melihatnya. bahwa dia mau ditawar dan ditiduri di
Tetapi, di balik itu ada kehidupan anak kamar hotel tertentu. Selanjutnya, lelaki-
manusia yang sangat menyedihkan, makan lelaki yang telah meremas pantat wanita
sekali sehari, dan tidur digubuk-gubuk yang diincarnya, dan bila wanita yang baru
diremas pantatnya itu memberi isyarat yang
kardos, serta penuh dengan kotoran debu
mengundang, si lelaki akan langsung
dan diterpa angin. menukar pasangan menarinya kepada
Bila di perhatikan dengan seksama pada wanita-wanita itu. Mereka menari dan saling
novel Ketika Lampu Berwarna Merah bertanya nama, lalu beralih ke soal yang
terdapat kehidupan yang kontradiktif lebih terarah. Mereka terus berjoget. Dan bila
antara kehidupan Kartijo sebagai orang lagu telah habis dikumandangkan, pasangan
yang telah berbisik-bisik itu akan
desa yang hidup dengan penuh
menyelinap sendiri-sendiri dan mereka akan
kesederhanaan. Di perkampungan Kartijo bergabung setelah sampai di luar arena. Si
tersebut lalulintas yang ada hanyalah lelaki akan mengambil sepeda motor yang
andong. Kehidupan di desa serba susah, diparkirnya dan menyambar wanita teman
kekurangan, dan berat. Bahkan ada usaha berbisiknya itu yang menanti di bawah
untuk memperbaiki kehidupannya dengan pohon-pohon sepanjang jalan. Mereka pergi
cara transmigrasi. Sedangkan, di Jakarta ke hotel-hotel murah. Atau pergi mendatangi
tempat-tempat tertentu yang menyediakan
lalulintas kendaraan adalah mobil yang
kamar untuk mereka.
berjajar-jajar kalau malam bagaikan
kunang-kunang. Kehidupan di Jakarta Dari novel tersebut, tampak bahwa ibu
sebagian besar orang-orang berada yang kota digambarkan sebagai tempat
kehidupannya serba kecukupan. pelacuran. Kehidupan pelacuran sudah
Jalan aspal yang disinari cahaya lampu menjadi kebiasaan yang sangat terbuka dan
mercury, ada kolam yang luas, musik khas terang-terangan. Selain itu fasilitas,
Betawi, dan terdapat pula gedung-gedung misalnya hotel-hotel memang sudah
bertingkat. Sedangkan di desa Kartijo tersedia. Novel tersebut bila ditinjau dari
jalannya rusak, gelap bila musim kehidupan sosial menggambarkan
penghujan banjir dan bila musim kemarau kehidupan yang serba wah dan modern
kehabisan air bahkan untuk minum saja dan membandingkan dengan kehidupan
kurang. Di kota besar hampir setiap malam yang tingkat sosialnya sangat rendah dan
dijumpai tempat-tempat hiburan, perkampungan yang serba sederhana dan
sedangkan di desa hanya suara-suara katak tertinggal.
bila musim hujan. Bila malam minggu ada
pentas orkes atau band di alun-alun. Di SIMPULAN
kota Jakarta ada pula klab-klab malam. Berdasarkan uraian pada bab-bab
Secara tidak langsung menggambarkan sebelumnya dapat dikemukakan beberapa
bahwa di ibu kota tempat orang bersenang- hal pokok yang merupakan simpulan
senang dan tersedia apa pun yang penelitian ini, sebagai berikut:
diinginkan, mulai dari makanan sampai Berdasarkan kajian terhadap struktur
pada tempat hiburan. Dalam novel tersebut teks Ketika Lampu Berwarna Merah dapat
digambarkan pula bahwa salah satu ciri diketahui problematika masing-masing
masyarakat metropolitan yaitu mabok, tokoh yang semuanya saling berkaitan satu
bertengkar dan melacur. Hal ini tampak sama lain sehingga menjadi dinamika
pada teks sebagai berikut. tokoh. Permasalahan yang dihadapi tokoh
Di dalam kelompok orang berjoget itu, ada utama dalam hal ini adalah Basri yaitu
para wanita yang memancing para laki-laki tergiurnya dengan keindahan dan
yang mau tidur bersamanya malam nanti.

100
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 88-101

keramaian kota Jakarta bila dibandingkan DAFTAR PUSTAKA


dengan kampungnya sendiri. Padahal di Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms.
New York: Holt Rinehart and Winston.
tempat yang baru ibu kota Jakarta
________. 1979. The Mirror and The Lamp.
kehidupannya semakin menderita menjadi London- New York: Oxfort University
pengemis. Ternyata di ibu kota tidak Press
menjanjikan seperti apa yang dibayangkan Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Malang:
sebelumnya. YA3
Selain itu, digambarkan pula bahwa ________. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru
pemerintah atau penguasa secara
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra
sewenang-wenang menggusur orang kecil Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
yang tidak berdaya. Seperti yang dialami Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
oleh ayah Basri, karena desanya akan Depdikbud
digunakan untuk waduk Jatiluhur, maka Ferryanto. 1996. “Ketidakadilan, Kemiskinan,
Kartijo sekeluarga bertekat bertransmigrasi dan Teknologi” dalam Johannes
Mardimin (Ed.) Dimensi Kritis Proses
ke Sumatera. Ini menggambarkan bahwa
Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta:
siapa yang berkuasa itu menang. Kanisius
Sebagai seorang pengarang yang dapat Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra
dikategorikan dalam kelompok intelektual, Kontekstual. Jakarta: Rajawali
Hamsad Rangkuti mengemukakan Jabrohim. 1994. Teori Penelitian Sastra.
pandangan-pandangannya dalam Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah
Karyanto, Ibe. 1997. Realisme Sosialis George
mengatasi permasalahan sosial. Kepedulian
Lukacs. Jakarta: Gramedia
terhadap masalah rakyat kecil banyak Satoto, Sudiro. 1989. Metode Penelitian Sastra.
diekspresikan melalui pandangannya Surakarta: Sebelas Maret University
sebagai aspirasi dalam upaya membantu Press
memecahkan berbagai masalah sosial yang Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar
ada dalam masyarakat. Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori
Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

101

Anda mungkin juga menyukai