Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH BAHASA INDONESIA

"Menganalisis Struktur Dan Nilai-Nilai Yang


Terkandung Dalam Novel Sejarahn “Gadis Pantai”
Karya Pramoedya Ananta Toer"

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK : I
Ketua : Fayatun Nurhasanah
Nama Anggota : 1. Wulan
2. Penti
3. Nurkomala
4. Dian
5. Mulyadin
6. Maulana

Kelas :
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Guru Mata Pelajaran : Rahmania Oktafiani, S.Pd.

SMAS KAE WOHA BIMA


Tahun Pelajaran 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Menulis sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari latar belakang situasi saat
karya itu diciptakan, termasuk pula latar belakang pengarang yang menjadi bagian dari proses
terciptanya karya sastra tersebut. Hal tersebut menjelaskan bahwa karya sastra tidak ditulis
dalam kekosongan budayanya, akan tetapi karya sastra ditulis berdasarkan konvensi sastra
yang ada (Teeuw, 1988). Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri
adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979:1). Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan masyarakat, baik secara pribadi sebagai individu maupun relasi sebagai masyarakat
pada umumnya.
Karya sastra merupakan sebuah bentuk cerita rekaan yang sifatnya fiksi. Namun pada
kenyataannya, banyak pengarang yang sering menggunakan objek sejarah dalam melakukan
proses kreatifnya. Hal tersebut sering disebut dalam genre prosa sebagai sebuah roman.
Dalam hal ini, seorang pengarang mencoba untuk mengekspresikan segala sesuatu (perasaan
takut, sedih, gembira, benci, dan marah) yang telah dialaminya, dalam arti terjadi secara
faktual maupun baru berupa gagasan.
Sastrawan hidup di tempat dan zaman tertentu sebagai bagian dari masyarakatnya. Ia
tumbuh dalam tradisi pemikiran yang ada dalam masyarakatnya tersebut. Seorang sastrawan
dibentuk oleh tradisi dan mungkin juga ikut membentuk tradisi tersebut. Pendidikan, sejarah,
lingkungan sosial, dan ideologi akan ikut memberikan sumbangan terhadap karya sastra yang
dihasilkannya. Di samping itu, sebagai seorang pribadi, ia juga memiliki pandangan sendiri
yang mungkin berbeda dengan yang ada dalam masyarakatnya.
Menulis merupakan upaya merekonstruksi bacaan, begitu pula yang dilakukan oleh
seorang pengarang dalam proses kreatifnya selalu menuangkan setiap bacaan yang tertangkap
dalam pancaran citra inderawi sebagai kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi. Novel
merupakan jenis karya sastra yang sedikit banyak memberikan gambaran tentang masalah
kemasyarakatan. Novel tidak dapat dipisahkan dari gejolak atau keadaan masyarakat yang
melibatkan penulis dan juga pembacanya. Dapat dikatakan secara hampir pasti bahwa
perkembangan masyarakat memainkan peranan penting dalam perkembangan novel sebagai
hasil sastra maupun barang dagangan (Damono, 1979: 3).
Bagi seorang , menulis bukan sekadar mengetik dan menggerakan imajinasi.
Seorang pengarang harus mempunyai keberanian untuk mengevaluasi dan
merevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan. Sastra tidak bertugas memotret, tetapi
mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi yang membawa
pembacanya lebih maju daripada yang mapan. Sastra harus bisa memberikan keberanian,
nilai-nilai baru, cara pandang dunia baru, harkat manusia, dan peran individu dalam
masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa dan penggunaannya
dianggarkan pada orientasi baru peranan individu dalam masyarakat yang dicita-citakan.
Novel Gadis Pantai bercerita tentang keadaan sosial pada fase sejarah
perkembangan Indonesia, yang berisi kritikan terhadap kefeodalan Jawa pada zamannya.
Seperti istilah yang dikemukakan oleh Pramoedya bahwa novel Gadis Pantai merupakan
kritiknya terhadap Jawanisme; “Saya sangat anti-Jawanisme” (Vltchek, Rossie. I, 2006: 72).
Paham Jawanisme tersebut sangat kental terasa dalam karyanya Gadis Pantai.
Seperti yang dikemukakan oleh Andre Vltchek dan Rosisie Indira dalam sebuah
wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai merupakan novel yang paling
berani mendefinisikan apa itu Jawanisme dengan gaya yang puitis dan lembut. Novel ini
menggambarkan kultus kepatuhan dan hierarki (Vltchek, Rossie. I, 2006: 72).
Wellek dan Warren (1990: 111) mengemukakan beberapa pendapat mengenai ragam
pendekatan terhadap karya sastra. Setidaknya terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda
dalam sosiologi sastra. Pertama, Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra.
Permasalahan yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang
sosial, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya
sastra. Kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya
sastra itu sendiri, dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca
dan dampak sosial karya sastra.
Teks naratif atau prosa fiksi menurut Luxemburg (1991:20) adalah campuran
peristiwa, pelukisan informasi tentang siapa yang melakukan apa, hal tersebut diperoleh
melalui kegiatan membaca sehingga diperoleh gambaran tentang sesuatu secara keseluruhan.
Suatu rentetan kejadian yang saling berkaitan secara tekstual. Definisi tersebut semakin
menegaskan bahwa karya sastra tidak diciptakan dalam kekosongan budaya. Di dalam
penciptaan karya sastra, ada berbagai hal yang secara tidak langsung membentuk karya sastra
itu sendiri. Seperti konteks sosial ketika karya itu dibuat dan pengarang yang merupakan
produk dari keadaan sosial. Begitupun dalam sebuah karya sastra selalu memunculkan sebuah
ide dan gagasan dari pengarangnya.
Sosiologi sastra merupakan telaah sastra yang berpusat pada persoalan hubungan
karya sastra dengan pengarang, pengarang dengan pembaca, pembaca dengan karya. Dalam
telaah sosiologi sastra ini dikaji sampai seberapa jauh nilai sastra dapat berfungsi sebagai alat
penghibur dan pendidik masyarakat (fungsi sosial rakyat).
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat
dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat
sebagai berikut:
1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, dan pengarang adalah anggota masyarakat.
2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi
dalam masyarakat.
3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan merupakan kompetensi masyarakat
yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4) Di dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.
5) Karya sastra adalah hakikat intersubjektifitas masyarakat menemukan citra dunianya
dalam suatu karya.
Oleh karena itu, Sapardi menjelaskan bahwa salah satu gagasan atau konsep sosiologi
sastra adalah bahwa sastra merupakan cerminan zamannya, atau merupakan dokumen
sosiokultural. Konsep ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa karya sastra merupakan
cermin langsung dari berbagai struktur sosial.
Berdasarkan konsep di atas penulis tertarik untuk mengkaji novel Gadis Pantai, karena
dalam novel Gadis Pantai tersebut menggambarkan kehidupan sosial budaya pada masa itu.
Pengkajian dilakukan dengan mencari tahu unsur intrinsik dan ekstrinsik serta nilai- nilai
sosial budaya dalam novel tersebut. Sehingga akan mempermudah dalam memahami novel
tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Gadis Pantai?
b. Apa saja nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam novel Gadis Pantai?
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Gadis Pantai
b. Menjelaskan nilai- nilai sosial budaya yang ada dalam novel Gadis Pantai
4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Memperluas wawasan siswa tentang sastra Indonesia
b. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

1. Analisis Novel Gadis Pantai


Novel merupakan sistem formal yang anasirnya antara lain alur, tokoh, latar, tema
(Damono, 2000:10). Beberapa aspek tersebut merupakan unsur novel dalam tataran intrinsik,
dan sering pula disebut sebagai pendekatan struktural. Berikut akan dijelaskan tentang unsur
intrinsik dalam novel Gadis Pantai.
a. Tema Novel Gadis Pantai
Tema merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita atau ide dan tujuan
utama cerita. Tema biasanya selalu berkaitan dengan pengalaman-pengalaman
kehidupan sosial, cinta, ideologi, maut, religius dan sebagainya. Tema yang
disajikan dalam Roman ini adalah mengenai sosio-kritik dalam sistem
masyarakat. Bagaimana rakyat kecil yang diwakili oleh Gadis Pantai yang
menjadi istri seorang Priyayi, diperlakukan oleh Priyayi sebagai pemuas
nafsunya, dijauhkan dari dunia luar yang menurut Priyayi tersebut sebagai
dunia yang kotor dan ia dicampakan dan diusir oleh Priyayi tersebut dengan
alasan dia tak sederajat dengannya.

Adapun kritik yang ditujukan pada sistem feodalisme adalah melalui


gambaran dalam cerita yang disebutkan bahwa semua yang ada di Gedung
Besar adalah rakyat jelata yang harus tunduk dan patuh pada Priyayi, dan
mereka tidak patut dihormati.

b. Alur/Plot Novel Gadis Pantai

Alur merupakan tahapan-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para


pelaku dalam sebuah cerita, sehingga membentuk suatu rangkaian cerita. Alur
dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian peristiwa yang dibangunnya.
Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita rekaan, kita
perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang
bersangkutan.

Jenis alur yang digunakan dalam novel Gadis Pantai adalah alur maju,
hal itu tertlihat dari rangkaian kejadian dari gadis pantai yang hidup di
Kampung nelayan, berubah menjadi seorang Priyayi karena menikah dengan
Priyayi pembesar kota Rembang. Dari situ kehidupan Gadis Pantai menjadi
lebih baik, sampai puncaknya ketika ia dapat menyesuaikan dengan kehidupan
Bendoro. Namun setelah ia melahirakan anak, ia diusir kembali dari gedung
besar. Karena sesuai dengan apa yang menjadi janji Bendoro, ia tidak akan
menjadikan seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya kecuali dia
sederajat denganya. Adapun pengilasan balik cerita itu hanya sebagai
pendukung jalan cerita atau narasi dari novel tersebut.

Pramoedya Ananta Toer menyajikan cerita dengan bagian awal cerita


sebagai pendeskripsian tokoh utama, yaitu Gadis Pantai yang bertubuh kecil,
kuning langsat yang hidup di Kampung. Di bagian tengahnya menghadirkan
konflik baik yang terjadi dalam diri Gadis Pantai atau pun konflik dengan tokoh
yang lain. Lalu akhir dari bagian cerita tersebut yaitu keadaan yang
memprihatinkan yang terjadi pada diri Gadis Pantai akibat dari ‘keganasan’
praktik Feodalisme.

c. Tokoh dan Penokohan

Sesuai KBBI penokohan dapat diartikan sebagai pencitraan citra tokoh dalam sebuah
karya sastra. Tokoh yang terdapat dalam novel Gadis Pantai terdapat tiga tokoh. Pertama yaitu
tokoh utama atau tokoh yang mendominasi cerita. Yang menjadi tokoh utama yaitu Gadis
Pantai, digambarkan sebagai tokoh yang menghormati, patuh kepada orang tua dan suaminya.
Ia juga selalu ingin memberontak terhadap aturan yang ada di gedung rumah Priyayi.

Kedua yaitu tokoh protagonis atau tokoh yang dikagumi sesuai dengan harapan
pembaca. Yang merupakan tokoh protagonis yaitu pembantu tua yang tinggal di gedung besar,
yang selalu memberikan penjelasan atau memberi bantuan kepada tokoh utama. Selain itu
juga ada emak dan bapaknya. Ketiga yaitu tokoh antagonis atau tokoh yang tidak disenangi
pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan harapan pembaca. Yang merupakan
tokoh ini adalah Bendoro yang arogan, sombong, dan kelakuanya merupakan bagian dari
sistem feodalisme. Selain bendoro juga Mardinah dan komplotannya yang berusaha
menghabisi tokoh utama.

Untuk lebih lanjut akan dipaparkan beberapa tokoh di atas sebagai pelaku dalam
cerita dengan menelitinya secara tiga dimensional yang meliputi aspek fisiologis, psikologis,
dan sosiologis.
a. Gadis Pantai/ Mas Nganten
Tokoh Gadis Pantai digambarkan sebagai sosok wanita yang cantik sehingga memikat
hati Bendoro dari Rembang untuk menikahinya. Tokoh Gadis Pantai merupakan tokoh utama
dalam novel Gadis Pantai ini. Gambaran tokoh Gadis Pantai tersebut terdapat pada kutipan di
bawah ini:
Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kuning langsat. Tubuh kecil mungil. Mata
agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai
keresidenan Jepara Rembang (Toer, 2007:11).

Tokoh Gadis Pantai setelah diperistri oleh Bendoro berganti nama menjadi Mas
Nganten. Perubahan nama tersebut terjadi sebagai bagian dari tradisi priyayi, ketika status
Gadis Pantai yang merupakan golongan orang kebanyakan berubah menjadi priyayi
diharuskan mengubah nama. Seperti terdapat pada kutipan di bawah ini:
“Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?”
“Bujang itu tertawa terkekeh ditekan. dipandanginya majikannya yang baru dan
terlampau muda itu, dibelainya dagunya yang licin seperti ikan lele. Dan akhirnya dengan
empu jari ia menuding ke dada orang yang dilawannya bicara” (Toer, 2007:27).
Dari kutipan di atas terlihat bagaimana kebingungan yang dihadapi Gadis Pantai
dalam menjalani dunia barunya sebagai seorang priyayi. Selanjutnya Gadis Pantai lebih
banyak menghabiskan waktunya dengan menangis dan meratapi nasibnya sebagai seorang
priyayi, istri seorang Bendoro.
b. Bendoro
Tokoh Bendoro merupakan bagian dari tokoh utama dalam novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer ini. Bendoro digambarkan sebagai seorang sosok priyayi tulen,
dengan segala atribut yang ada pada dirinya. Bendoro digambarkan dalam cerita melalui
tokoh Gadis Pantai sebagai penuturnya. Seperti kutipan di bawah ini:

“Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba


mengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terlentang di
terik matari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ingin ia
rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu.”
(Toer, 2007:33).
“Ia sudah hafal suara itu: lunak, lembut, sopan. Dan seperti ditarik oleh benang-
benang gaib, ia bangkit berjalan tanpa jiwa menuju pintu…” (Toer, 2007:39).
Kutipan cerita di atas menggambarkan dengan jelas fisik dari tokoh Bendoro,
gambaran sosok seorang priyayi pada umumnya. Gambaran yang jelas terhadap tokoh
Bendoro merupakan upaya pengarangnya untuk menegaskan perbedaan antara priyayi
dengan orang kebanyakan.
c. Bapak
Bapak merupakan orangtua dari Gadis Pantai. Bapak dalam novel ini digambarkan
sebagai seorang pelaut dengan tubuh yang kuat dan tegap. Bapak sangat dihormati
dikampung karena keberaniannya ketika melaut, ditambah setelah Gadis Pantai menjadi
seorang priyayi, orang dikampung semakin menghormati Bapak.
“...Nelayan yang paling terhormat, dialah yang bawa pulang ikan terbesar.
Dia pahlawan.” (Toer, 2007:83).

Menggambarkan betapa terhormatnya tokoh Bapak di kampung nelayan. Bagi


warga kampung nelayan, pola kehormatan terletak pada keberanian seseorang dalam
mengarungi lautan, bukan pada status yang disandangnya.
d. Emak
Emak merupakan orang tua dari tokoh Gadis Pantai. Emak sebagai seorang ibu
digambarkan sebagai tokoh yang sabar, nrimo, dan selalu menenangkan hati Gadis Pantai.
Tokoh Emak digambarkan sebagaimana wanita Jawa pada umumnya. Gambaran tersebut
dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:
“Sst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, Nak. Tidak lagi di
gubuk…” (Toer, 2007:12).
“Aku tak suka di sini, Mak.”
“Segalanya harus dipelajari, Nak. Lama-kelamaan kau akan suka.” (Toer, 2007:44).

Dari kutipan di atas terlihat bagaimana gambaran Emak yang selalu membimbing dan
menenangkan Gadis Pantai. Sebagai seorang ibu, Emak dengan kesabarannya menguatkan
hati Gadis Pantai dalam menjalani kehidupan barunya sebagai priyayi muda dan istri
Bendoro.
e. Mbok
Tokoh Mbok merupakan salah satu tokoh utama dalam novel Gadis Pantai. Tokoh
Mbok digambarkan oleh Pramoedya sebagai tipe orang kebanyakan. Dengan predikatnya
sebagai seorang bujang bagi Gadis Pantai, Mbok dalam novel ini bertugas untuk
membimbing Gadis Pantai memasuki kehidupan seorang priyayi. Gambaran tokoh Mbok
terlihat dalam cerita melalui cara dan pemikirannya dalam membimbing Gadis Pantai.

“Mas Nganten jangan pikirkan sahaya. Sahaya ini orang kecil, orang kebanyakan,
orang lata, orang rendah, kalau pun jatuh-ya sakit memang,tapi tak seberapa. Bagi orang
atasan ingat-ingatlah itu, Mas Nganten, tambah tinggi tempatnya tambah sakit jatuhnya.
Tambah tinggi, tambah mematikan jatuhnya. Orang rendahan ini, setiap hari
boleh jatuh seribu kali, tapi ia selalu berdiri lagi. Dia ditakdirkan untuk sekian kali berdiri
setiap hari.” (Toer, 2007:44).

Dari kutipan di atas terlihat pola pemikiran Mbok dalam membentuk Gadis Pantai
menuju kehidupan priyayi yang sesungguhnya. Mbok memberikan pelajaran-pelajaran
kehidupan kepada Gadis Pantai sebagai priyayi yang masih muda
f. Mardinah
Mardinah merupakan kemenakan dari Bendoro yang bertugas untuk membantu Gadis
Pantai. Setelah Mbok di usir oleh Bendoro, Mardinah bertugas untuk menemani Gadis Pantai
dalam menjalankan kehidupan di rumah Bendoro. Sosok Mardinah sendiri digambarkan oleh
Gadis Pantai sebagai perempuan cantik. Seperti terdapat pada kutipan di bawah ini:
“Gadis Pantai terdiam. Waktu ia melirik dilihatnya Mardinah tertidur
senang bersandarkan keranjang tembakau. Ia awasi wajah wanita muda itu. Bodohlah pria
bila tak perhatikan dia. Mukanya bulat, dan mulutnya begitu kecil, seakan sebuah bawang
merah menempel pada sebuah cobek. Sepasang alisnya hitam tebal, hampir-hampir
bersambung, sedang dagunya yang begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar
mukanya yang bulat. Wajah yang seindah itu .”(Toer, 2007:150).
Mardinah ditugaskan oleh putri dari Demak untuk mengabdi kepada Bendoro, dan
juga untuk mengawasi Gadis Pantai dalam menjalankan kehidupan di rumah Bendoro. Hal
tersebut dapat dilihat dalam kutipan dialog di bawah ini:
“Apa harus kupanggil kau?” Gadis Pantai bertanya. “Mas Nganten, nama sahaya
Mardinah.”
“Itu bukan nama orang desa.”
“Sahaya lahir di kota, Mas Nganten. Di Semarang.” “Berapa umurmu?”
“Empat belas, Mas Nganten.” “Belum ada laki?”
“Janda Mas Nganten.”
Gadis Pantai tertegun. Ditatapnya wanita muda itu. Lebih tinggi dari dirinya. Air
mukanya begitu jernih dan ceria, gerak-geriknya cepat tanpa ragu-ragu.
“Dimana pernah kerja?”
“Di Kabupaten Demak, Mas Nganten.” “Mengapa keluar dan kerja disini?”
“Sahaya diperintahkan Bendoro Puteri Demak bekerja disini, Mas Nganten.” “Apa
hubungannya Bendoro Puteri Demak dengan aku?”
“Mana saya tahu, Mas Nganten? Sahaya Cuma jalankan perintah.”
“Engkau terlalu cantik buat pelayanku, juga terlalu muda.” (Toer, 2007:44).

Kutipan dialog di atas merupakan awal pertemuan Mardinah dengan Gadis Pantai,
dari pertemuan tersebut muncul kecurigaan Gadis Pantai terhadap Mardinah. Menurut Gadis
Pantai, Mardinah secara fisik tidak pantas untuk menjadi bujang bagi Gadis Pantai.
g. Agus-Agus Kecil
Agus-agus kecil merupakan kumpulan remaja yang masih kemenakan dari Bendoro.
Agus-agus kecil diceritakan dalam novel Gadis Pantai sebagai para priyayi muda, dan dalam
menjalankan kehidupannya sangat kuat menjalankan prinsip-prinsip kepriyayian. Tokoh
Agus-Agus kecil yang terdiri atas Abdullah, Karim, Said, menggambarkan pola tingkah laku
priyayi muda yang angkuh, sombong, yang merupakan ciri dari seorang priyayi pada
umumnya.
Tokoh Agus-agus kecil muncul dalam novel Gadis Pantai ini ketika terjadi kasus
pencurian yang menimpa tokoh Gadis Pantai. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini:
“Panggil semua agus kemari.”
“Semua mereka yang duduk di lantai mengangkat pandang. Tapi segera mereka
melihat Bendoro dengan kasar sedang lemparkan pandang ke arah mereka, mereka
menunduk kembali.
“Siapa tidak mengerti?” Bendoro bertanya dengan suara mengancam. Setiap orang
yang duduk di lantai semakin dalam tunduknya.
“Ya, semua mengerti, itu penting buat dipahami. Tapi apa kehormatan itu?” Diam
sejenak tak seorang berani bergerak.
“Abdullah, apa kehormatan itu?”tak terjawab.
“Pertanyaan dibuat untuk dijawab, Abdullah,” Suaranya menurun jadi lembut
kembali. “Berapa tahun kau sudah tinggal di sini? Tujuh? Kau tak mau
menjawab pertanyaanku?
Jawabanmu mau kudengar. Hanya jawaban. Kau takkan rugi apa-apa.” “Sahaya,
pamanda.”
“Apa itu kehormatan?” tak berjawab. “Tapi kau tahu artinya maling?” “Sahaya,
pamanda.”
“Kau tak tahu apa arti kehormatan?” tak berjawab.
“Jadi sampai di mana kau belajar mengaji? Benar-benar kau tak tahu maknanya?” tak
berjawab.
“Jadi kau tidak punya kehormatan?” “Sahaya, pamanda.”
“Kau malingnya!”
“Tidak, tidak, pamanda sahaya bukan maling. Sahaya tahu makna maling. Dan sahaya
tahu sahaya bukan maling.”
“Apa penjelasannya, maka kau bukan maling?”
“Tidak ada bukti dapat dikemukakan sahaya seorang maling, pamanda.” “Kau, Karim,
apa kata gurumu tentang kemunafikan?”
“Ampun, pamanda, sahaya tiada hafal.” “Berapa umurmu?”
“Sembilan belas, pamanda.” “Kau duduk di kelas berapa?” “Enam, Pamanda.”
“Sini, kau berdiri di hadapanku.”
Pemuda Karim beringsut-ingsut dari duduknya sampai di hadapan Bendoro, ia tetap
duduk menggelesot di lantai.
“Kau dengar aku Karim? Berdiri?”
“Ampun, pamanda.” Dan Karim tetap tidak berdiri. “Said,” panggil Bendoro pada
pemuda yang lain. “Sahaya, pamanda.”
“Apakah guru ngajimu sama dengan Abdullah?” “Sama, Pamanda.”
“Sama dengan Karim?”
“Sama, Pamanda. Haji Masduhak.” “Karim!” panggil Bendoro tegas-tegas. “Apa
sebabnya uang itu kau ambil?” Tiada jawaban (Toer, 2007: 116-118).

Kutipan dialog di atas menunjukan dengan tegas sikap, sifat, dan perilaku para Agus-
agus kecil yang merupakan para priyayi muda dengan segala kepatuhan yang
ditunjukannya terhadap Bendoro. Kutipan di atas semakin menggambarkan keambiguan dari
sifat seorang priyayi, disatu sisi mereka memegang teguh kehormatan dan kearifan sikap,
namun di lain pihak mereka pun sangat menjaga kehormatannya dari segala hal yang dapat
meruntuhkan segala derajat kepriyayiannya tersebut.
h. Si Dul

Si Dul merupakan tokoh tambahan dalam novel Gadis Pantai ini. Keberadaannya ada
dalam cerita sebagai seorang pendongeng yang merupakan bagian dari warga kampung
Nelayan. Kemunculan Si Dul bermula ketika tokoh Gadis Pantai pulang mengunjungi
kampung nelayan.
Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung mereka telah jadi orang
kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro.
Si Dul pendongeng dengan rebana di tangan sedang asyik mendongeng ketika orang-
orang pada sibuk melayani Gadis Pantai. Ia menyanyikan cerita waktu tuan besar Guntur
alias Daendels membangun jalan raya menerjang selatan daerah mereka (Toer, 2007: 116-
118).

Tradisi bertutur atau mendongeng merupakan budaya khas dalam masyarakat


Indonesia. Seperti yang digambarkan dalam kutipan di atas, Pramoedya mencoba
menggambarkan cita rasa ke-Indonesia-an dalam novelnya tersebut. Salah satunya dengan
penggambaran tradisi lisan tersebut yang digambarkan pada tokoh si Dul.
i. Mak Pin
Tokoh Mak Pin merupakan tokoh tambahan dalam cerita novel Gadis Pantai ini. Mak
Pin muncul dalam cerita sebagai seorang bajak laut yang menyamar menjadi seorang
perempuan. Kedatangannya di kampung nelayan merupakan bagian dari upaya perampokan
yang akan dilakukan para pembajak kepada Gadis Pantai. Kedatangan Gadis Pantai sebagai
seorang Bendoro, mengundang para pembajak untuk menyerang kampung nelayan.
Gambaran tokoh Mak Pin dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Gadis Pantai mengawasi Mak Pin, yang dengan tangannya memberi isyarat agar ia
rebah lagi. Tapi Gadis Pantai tetap mengawasinya. Tiba-tiba Gadis Pantai merasa takut,
wajahnya mendadak kecut. Gelak tawa di dapur terhenti. Semua mata melihat Gadis
Pantai, kemudian pada Mak Pin.
Gadis Pantai turun dari bale, berdiri, mengawasi Mak Pin sambil melangkah
mundur- mundur. Suasana tiba-tiba berubah. Ketegangan merayapi setiap pojok rumah.
“Bapaaak!” Gadis Pantai memekik sekuat-kuatnya.
Pandang liar ketakutan pada mata Gadis Pantai. Beberapa orang lelaki masuk ke
dalam. Bapak menghampiri anaknya, dan tanpa menengok ke belakang pada Bapak, Gadis
Pantai mengulurkan tangan ke belakang dan Bapak menangkapnya.

“Siapa dia?” Gadis Pantai menuding Mak Pin. “Mak Pin. Kita kenal dia.”
“Bukan! Dia lelaki!” suara Gadis Pantai melengking sekuat-kuatnya. “Lelaki?” semua
orang berseru, heran.
Mak Pin yang tiba-tiba saja dalam kepungan semua orang mencoba bicara dengan
matanya (Toer, 2007: 186-187).

Kutipan cerita di atas merupakan gambaran keberadaan tokoh Mak Pin dalam novel
Gadis Pantai. Kedatangan Gadis Pantai yang merupakan seorang priyayi ke kampung
nelayan, mengundang para pembajak untuk merampok kampung yang disinggahi oleh Gadis
Pantai. Salah satunya dengan penyamaran yang dilakukan oleh Mak Pin dalam mengintai
mangsanya, yaitu Gadis Pantai.
Dengan demikian, dari pemaparan tokoh-tokoh cerita dalam novel Gadis Pantai di
atas, beserta analisis yang meliputi aspek fisiologis, psikologis, dan sosiologis dari berbagai
tokoh dapat memperjelas keberadaan tokoh-tokoh tersebut sebagai bagian dalam sebuah
struktur cerita.
Penokohan yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer yaitu melalui deskripsi dan
dialog antara tokoh yang satu dengan yang lain.

d. Latar/ Setting

Latar /setting dalam sebuah karya sastra adalah keterangan mengenai waktu, ruang,
dan suasana terjadinya kejadian. Dalam novel Gadis Pantai menghadirkan dua latar: Pertama
adalah latar fisik, merupakan latar pada lokasi tertentu atau waktu tertentu secara jelas.

a. Latar Tempat
Latar rumah Bendoro tampak pada bagian awal novel ini ketika rombongan pengantar
Gadis Pantai sampai di kediaman Bendoro. Kedatangan rombongan tersebut untuk
menyerahkan Gadis Pantai yang telah dinikahi oleh Bendoro. Dalam cerita rombongan
tersebut dipersilahkan menunggu di sebuah kamar. Berikut kutipan ceritanya.

Mereka melaluinya, kemudian masuk ke dalam ruangan yang panjang. Saking


panjangnya ruangan itu sehingga nampak seakan sempit. Beberapa kursi berdiri di
dalamnya dan sebuah sofa yang merapat ke dinding. Di penghujung ruangan terdapat kamar
dengan pintu yang terbuka lebar. Nampak di dalamnya sebuah ranjang besi berpentol
kuningan mengkilat, kelambunnya menganga berkait pada jangkar-jangkar gading.
Mereka ditinggalkan diruangan panjang itu. Tak ada seorang pun bicara. Gadis Pantai
lupa pada tangisnya. Mereka tak berani bergerak, apalagi meninggalkan kamar (Toer,
2007:17).
Selanjutnya adalah latar kamar tempat Gadis Pantai meluangkan hari-harinya sebagai
istri dari Bendoro. Di kamar tersebut Gadis Pantai ditemani oleh seorang bujang sebagai
orang yang sehari-hari membantu Gadis Pantai dalam menghadapi dunia barunya sebagai
priyayi muda.
Di ruangan ini tak ada lesung. Tak ada bau udang kering. Tak ada babon tongkol
tergantung di atas pengasapan. Tak ada yang bergantungan di dinding terkecuali
kaligrafi-kaligrafi Arab yang tak mengeluarkan bau.

“Inilah kamar tidur Mas Nganten,” kata bujang dengan senyum bangga sambil
berjongkok di permadani yang menghampar antara tempat tidur dan meja hias.” (Toer,
2007:26).

Latar kamar juga merupakan tempat pertemuan untuk pertama kalinya dengan
Bendoro. Dalam kamar tersebut Gadis Pantai merasakan kedekatannya dengan Bendoro
yang telah dianggap sebagai suaminya sendiri.

“Sunyi-senyap sejenak di dalam kamar. Tapi angin dari laut dengan


ganasnya menggaruki genteng, sedang laut yang makin lama makin mendesak ke kota,
dalam malam tanpa suara manusia, terdengar merangsang masuk ke dalam hati.”
(Toer, 2007:102).

Selanjutnya adalah latar khalwat, yang merupakan tempat untuk bersembahyang


Bendoro. Gadis Pantai dibimbing oleh bujangnya untuk melakukan ibadah mengikuti
Bendoro, disini pula untuk pertama kalinya Gadis Pantai melakukan ibadah. Seperti
terdapat pada kutipan di bawah ini.

Bujang itu kemudian mengajarnya ambil air wudhu. “Air suci sebelum sembahyang,
Mas Nganten.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya Gadis Pantai bersuci diri dengan air wudhu dan
dengan sendirinya bersiap untuk bersembahyang.
“Ini khalwat,” bujang itu berbisik. “Kalwat?”
“Iya Khalwat. Jangan salah sebut—khalwat.” Bujang itu tak membetulkannya lagi.
Mereka masuk.
Ruang itu luas, sangat luas, persegi panjang. Lampu listrik teram-temaram menyala di
dua tempat, tergantung rendah pada tali kawat. Tak ada perabot pun disana, kecuali dua
lembar permadani—selembar disana, selembar di dekat pintu mereka masuk (Toer,
2007:34-35).
Untuk pertama kalinya Gadis Pantai merasakan kedekatannya dengan Bendoro.
Setelah pertemuannya dengan Bendoro di kamar, dan beribadah bersama di Khalwat,
kedekatan tersebut terjalin dengan keakraban yang Bendoro berikan untuk Gadis Pantai.
Kebun merupakan latar selanjutnya, di tempat ini Bendoro dan gadis pantai sering
berbincang-bincang. Seperti terdapat pada kutipan cerita di bawah ini.
Mereka sedang menghirup udara pagi di kebun belakang. Dan kebun belakang itu jauh
lebih besar dari seluruh kampung nelayan tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Seluruhnya terpagari dinding tembok tinggi (Toer, 2007:40).
Latar selanjutnya adalah dapur. Sebagaimana diceritakan dalam novel ini, rutinitas
Gadis Pantai tidak jauh dari kamar, khalwat, dan dapur. Setiap pagi Gadis Pantai memeriksa
dapur untuk mengawasi santapan yang akan dihidangkan untuk Bendoro. Sesuai dengan
kutipan di bawah ini.

“Saban pagi Gadis Pantai turun dari kamarnya, memasuki dapur dan
mengawasi santapan yang akan dihidangkan pada suaminya. Ia cicipi semua untuk
menentukan baik tidaknya makanan dihidangkan, kemudian ia tutup meja, setelah itu
membatik. Dalam seminggu ini bila ia masuk ke dapur, matanya tajam mengikuti segala
gerak gerik pelayannya.” (Toer, 2007:127-128).

Latar tempat yang terakhir adalah perkampungan nelayan. Gadis Pantai memohon
ijin kepada Bendoro untuk menjenguk orang tuanya di kampung Nelayan, setelah dua
tahun mengabdi kepada Bendoro. Kemudian Bendoro mengijinkan Gadis Pantai untuk
pulang dengan ditemani oleh Mardinah. Rombongan pun berangkat dengan dokar menuju
kampung nelayan.

“Ia dengarkan deburan ombak sepanjang pantai yang semakin mendekati darat.
Matari makin condong ke barat, dan ombak tampak semakin besar.” (Toer, 2007:150).

Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai waktu Gadis Pantai lebih
jauh lagi berjalan, yang nampak dan tercium masih yang dulu juga, ampas manusia yang
berbaris sepanjang pantai, berbaris tanpa komando.
“Lihatlah,” ia menuding pada laut, “dia tak berubah,” kemudian membalik badan
menuding ke kampung. “Dia pun tak berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru.
Pohon-pohon kelapa itu kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepeninggalanku?”
b. Latar Sosial
Kedua adalah latar sosial, merupakan latar pada hal-hal yang berhubungan pada
perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Penceritaan
latar sosial hanya menggambarkan di mana yang tergambar, yaitu dengan kondisi masyarakat
kampung nelayan yang bodoh (tidak bisa baca tulis), hidup mereka hanya bergantung pada
laut. Berbeda dengan kehidupan golongan Priyayi yang sangat berlebihan.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita.
Dalam penceritaanya Pramoedya menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia) serba tahu.
Hal itu di tunjukan melalui deskripsi.

f. Amanat

Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dari sebuah karya
sastra. Dalam roman ini secara eksplisit pengarang memberikan sebuah pesan mengenai
kebudayaan Jawa hasil dari peninggalan jajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat
pribumi dan mereka membodohinya.

‘oh, oh, dewa sejagat kalah bengisnya

matilah dia berani tolak perintahnya

bupati mantra semua Priyayi apalagi

orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli

dia sandang pedang tipis di pinggang kiri

tapi titahnya wah-wah lebih dahsyat lagi

laksana geledek sambar perahu dan tali-temali

sehela nafas sedepa jalan harus jadi

menggigil semua dengar namanya guntur

semua pada takluk gunung kali dan rawa

pantai dan jalan berjajar panjang membujur

kepala kawula jadi titian orang yang kuasa

[….]

waktu jalan panjang sempurna jadi

kereta-kereta indah jalan tiap hari


bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putra-putri

tuan besar gubernur jenderal dan para abdi (170-171).

Selain itu juga bila melihat dari deskripsi puisi yang dilantunkan tokoh si Dul,
menandakan ketidakberdayaan rakyat, yang badan dan jiwanya telah dikuasai oleh elit
kekotaan Jawa wakil setempat raja-raja tradisional di Jawa Tengah, serta orang Belanda yaitu
Gubernur Jenderal Daendels.

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur Ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, akan tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur
ekstrinsik berupa:

1) Kehidupan Pengarang dan Latar Belakang Pengarang

Kehidupan pengarang merupakan suatu yang mempengaruhi jenis kepengarangan para


sastrawan. Di mana ia bekerja, bersekolah ataupun pergaulannya. Pramoedya Ananta Toer
merupakan Sastrawan yang lahir di Blora, pada tahun 1925. Menurut sejarah Ayah Pram
menikah dengan Ibunya pada saat berumur 15 tahun. Saat Pram ada konflik dengan ayahnya
ibunya-lah yang paling menyayanginya dan ia lah yang memperjuangkan kehidupan
keluarganya walaupun dalam keadaan sakit. Maka tak heran apabila ia sangat sayang pada
ibunya.

Dalam kepengaranganya Pram banyak menceritakan tentang wanita yang hampir


menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap memperjuangkan kemanusiaanan
keadilan. Dalam novel Gadis Pantai, Pram terinspirasi oleh seorang wanita yang tak lain
adalah neneknya dari ibu, ia bernama Satimah. Satimah adalah wanita yang dijadikan selir
oleh kakeknya, Penghulu Rembang. Tetapi setelah melahirkan anaknya (Ibu Pram), Satimah
dienyahkan dari gedung tuannya. Satimah adalah wanita yang periang, tabah, tak kenal putus
asa, rajin, dan seorang pekerja sejati. Ia dari keluarga miskin, meskipun miskin dia tetap
menyayangi cucu-cucunya dengan selalu memberikan hadiah kecil. Meskipun Pram tidak tahu
banyak tentang neneknya namun dari situ, nenek Satimah merupakan prototype Gadis Pantai.

Dalam hal ini stastus sosial, ideologi dan lain-lain menyangkut Pramoedya Ananta
Toer dilihat, diperlakukan sebagai individu atau sebuah bagian dari sistem. Dalam kasus ini,
Pramoedya diperlakukan sebagai bagian dari sebuah sistem yaitu menyangkut keterlibatannya
dalam LEKRA.
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir
separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara—sebuah wajah semesta yang paling purba bagi
manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun dalam penjara Orde
Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, Pulau
Nusakambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979,
Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan.

Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan
secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S/ PKI tetapi masih dikenakan
tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim
Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih satu tahun. Beberapa karyanya lahir
dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah dan Rumah Kaca).

Penjara tak membuatnya berhenti menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan
nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya
dibakar.

Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam
lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan,
Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai penghargaan internasional. Sampai kini, ia
adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat
Pemenang Nobel Sastra (diambil dari buku Gadis Pantai Juni 2002).

Pramoedya telah menghasilkan belasan buku, baik kumpulan cerpen maupun novel.
Pengalaman dipenjara dan pengalaman perampasan hak dan kebebasan menjadikan karya-
karyanya banyak memperjuangkan tentang nasib perjuangan rakyat kecil, seperti juga dalam
novel Gadis Pantai.

Pramoedya pernah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang


merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) karena itulah karya-karya Pramoedya
banyak mengusung aliran realisme-sosialis yang merupakan nafas para Marxis ketika
berkarya.
Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya
sendiri kerap mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah
menulis makalah dalam kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis
dan Sastra Indonesia.
Napas realisme sosialis sangat terasa dalam novel Gadis Pantai. Aliran realisme
merupakan teori seni yang mendasarkan antara kontemplasi diaklektik antara seniman dan
lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada.
Hakikat realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana penyadaran
bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagi manusia yang
terasing (teralienasi menurut istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia
yang memiliki kebebasan.
Dalam novelnya ini, Pramoedya mengusung perlawanan terhadap feodalisme Jawa.
Hal ini dinyatakan dalam bentuk kehidupan Si Gadis Pantai yang berasal dari kelas rendah
dan kemudian dinikahi oleh pembesar. Penyadaran-penyadaran akan nasib kaum teralienasi
itu disampaikan Pramoedya dalam bentuk narasi-narasi yang menceritakan ketertekanan
Gadis pantai menjalani hidupnya di bawah bayang-bayang suaminya yang berasal dari kelas
lebih tinggi dari dirinya.

Pramoedya seolah menegaskan bahwa feodalisme Jawa selayaknya dihapuskan karena


menciptakan kesenjangan sosial dan memperburuk kehidupan masyarakat. Dalam sebuah
dialog dinyatakan, “Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan
pun hampir tidak.” (Toer, 2007: 54).

Kesenjangan sosial tersebut ternyata berdampak buruk pada psikologi tokoh dan status
sosialnya di masyarakat, seperti dalam cuplikan dialog: Bapak? mengapa bapak segan
menatap aku? anaknya sendiri. dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung nelayan
ini telah kehilangan perlindungn yang meyakinkan baginya. Sedang di belakang terus
mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia masih
kenal benar siapa-siapa yang menjemputnya—tetangga-tetangganya. Ada yang dulu
menjewernya. Ada yang mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan
menggendongnya sewaktu habis jatuh dari pohon jambu. ada yang sering dibantunya
menunggu dapur. Dan ada bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Antara sebentar ia
dengar kata Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! kata itu mendengung
memburu. Mengiris dan meremas di dalam otaknya. Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro!
Bendoro Putri! Dan berpasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap olehnya
seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu! (Toer, 2007: 165)

Sesuai dengan tujuan aliran realisme sosialis, novel ini memperjuangkan kelas proletar
—yang diwakili oleh tokoh gadis pantai, agar tidak terdapat lagi masyarakat berkelas-kelas.
Novel ini di samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu di Jawa juga menyuarakan
perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawa—dalam novel ini diwakili oleh
tokoh Bendoro.

Karya Novel Pramoedya adalah Perburuan (1950), Bumi dan Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik, dan Arok Dedes. Kranji
Bekasi Jatuh (1947), Keluarga Gerilya, Percikan Revolusi (1950) ,Mereka yang dilumpuhkan,
Bukan Pasar Malam, Di Tepi Kali Bekasi, Dia yang Menyerah (1951), Gulat di Jakarta
(1953), Midah si Manis Bergigi Emas, Korupsi (1954), Calon arang (1957), Hoakiau di
Indonesia (1959), Panggil Aku Kartini Saja (1962), Bumi Manusia, Edisi Inggris Anak Semua
Bangsa (1980), Tempo Doeloe (1982), Jejak Langkah, Sang Pemula (1985), Gadis Pantai,
Rumah Kaca (1987).

2) Keadaan Masyarakat

Pram merupakan gambaran dari masyarakat Jawa kebanyakan yang tertindas oleh
Kolonial Belanda. Namun Ia tidak seperti orang jawa kebanyakan yang menyerah dengan
keadaan. Pram memiliki kesadaran nasional yang kuat, ketabahanya dalam melawan segala
apa yang dianggap tidak adil, pengalamanya tentang masalah-masalah sosial dalam
masyarakat jawa pengertianya tentang pendidikan sebagai sarana untuk membangun bangsa
dan manusia yang bebas dan merdeka. Ia hidup di mana pada saat itu penjajah belada tengah
berkuasa di nusantara ini terutama di daerah jawa tengah. Dan pada saat itu pula praktik-
praktik kolonialisme belanda, salah satunya feodalisme. Melalui karyanya Roman ‘Gadis
Pantai’ Pram berusaha untuk ‘menusuk’ praktik feodalisme Jawa yang tidak mengenal adab
dan jiwa kemanusiaan.

3) Relasi Gender

Dalam Roman ini setidaknya ada empat tokoh perempuan yang ada di dalamnya, yaitu
Gadis Pantai, Emak, Bujang wanita, Mardinah dan Mas Ayu (Bendoro wanita yang akan
dinikahi Bendoro). Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat lugu, tentu saja karena ia baru
berusia 14 tahun kala itu, sebelum ia dinikahi Bendoro. Ia berasal dari kalangan rakyat bawah,
penduduk kampung nelayan yang miskin, ia pun buta akan ilmu pengetahuan dan tata karma.
Sedangkan Bendoro adalah Priyayi yang terhormat yang memiliki pengetahuan agama yang
luas. Kontras sekali dengan Mardinah. Seorang tokoh antagonis di dalam roman ini. Ia tiba-
tiba dihadirkan oleh narator sebagai seorang janda, yang pernah menjadi Mas Nganten. Ia
lahir di kota Semarang, ia sangat muda dan karena ia mampu membaca ia jauh lebih cerdas
dari pada Gadis Pantai. Mardinah pun tahu benar bagaimana seharusnya menjadi Mas Ngaten
yang baik dan benar. Karena merasa lebih pintar, dan lebih terhormat, Mardinah begitu
meremehkan Gadis Pantai. Karena ia menganggap ia lebih berderajat karena ia lahir di kota
sedangkan Gadis Pantai lahir di perkampungan nelayan yang miskin; Mardinah mampu
membaca dan menulis, sedangkan Gadis Pantai hanya mampu membaca Al Quran saja.
Ambisinya yang ingin membinasakan Gadis Pantai adalah hanya semata-mata karena ia
dijanjikan untuk dijadikan istri kelima bagi Bendoro Demak jika ia berhasil menyingkirkan
Gadis Pantai dan menikahkan putri Bendoro Demak dengan Bendoro (Priyayi yang menikahi
Gadis Pantai).

Emak adalah ibu dari Gadis Pantai yang mengharapkan anaknya mendapat
penghidupan dan derajat yang lebih baik. Bujang perempuan adalah pelayan Gadis Pantai
ketika ia masih mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Sedangkan Mas Ayu adalah
seorang perempuan berderajat yang akan dinikahi oleh Bendoro. Hal yang sangat mencolok
dalam novel ini adalah terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas
Nganten setelah ia melahirkan anak bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali
perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Berapa besarnya keinginan rakyat feodal
untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus
bagi mereka. Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja
dan tidak dapat dibanggakan. Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan
melahirkan anak saja. Apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan. Selain itu
pula, bagi seorang perempuan yang menjadi Mas Nganten akan diceraikan begitu saja oleh
Bendoro setelah ia memberikan seorang anak kepada Bendoronya.

Seperti halnya apa yang dialami Gadis Pantai dalam roman ini. Setelah masuk tahun
ketiga dari pernikahannya, dan setelah ia melahirkan seorang anak yang ternyata perempuan.
Betapa murkanya Sang Bendoro dan selang beberapa bulan setelah melahirkan, Gadis Pantai
pun diceraikannya. Seperti kutipan berikut.

“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” “Sahaya, Bendoro.”
“Jadi cuma perempuan?” “Seribu ampun, Bendoro.” Bendoro membalikkan badan, keluar
kamar sambil menutup pintu kembali. Gadis Pantai memiringkan badan, di peluknya bayinya
dan diciuminya rambutnya…” (Pramoedya, 2007: 253).

Gadis Pantai, seorang gadis dari kalangan rakyat rendahan, ia belum mengenal cinta
dan dicintai, dan ia pun belum banyak tahu tentang kehidupan dan bahkan pengetahuan
tentang etika dan tata krama rakyat feodal. Dalam usia yang sangat belia ia menjadi Mas
Nganten. Kebahagiaan baginya adalah masa-masa ketika ia masih hidup di pesisir pantai, di
kampung nelayan yang kumuh dan miskin, bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya;
bermain, bercengkrama dan tertawa lepas bersama teman-temannya di antara bulir-bulir pasir
hangat yang menjadi alas kakinya dan deburan ombak sebagai dendangan yang selalu
mengiringi langkahnya. Semua terenggut ketika ia menjadi istri seorang Bendoro, yang
walaupun dalam kehidupan Priyayi ia mendapatkan cukup makan, pakaian yang bagus dan
perhiasan yang indah, namun sesingkat waktu ia dicampakkan begitu saja, anaknya terenggut
paksa dari pelukkannya. Ia pun kembali menapaki hidupnya semula, sebagai Gadis Pantai dari
golongan bawah.

2. Nilai-nilai Sosial Budaya

Dari segi sosial budaya sebagai cerminan masyarakat, sastra dilihat sejauh mana sastra
dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri
masyarakat yang ditampilakan dalam karya sastra itu (Sapardi, 2002:5).

Dari novel Gadis Pantai, didapatkan unsur sosial budaya yang melatar belakangi
penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel
ini ditulis. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga-tipe yang mencerminkan organisasi moral
kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi. Kaum abangan adalah penganut
kejawen yang sangat percaya akan eksistensi makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan
manusia, seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, dan magis.

Tipe kedua dari masyarakat Jawa yaitu santri, adalah komunitas yang menjalankan
kaidah-kaidah agama Islam secara lebih murni, dengan melaksanakan secara cermat dan
teratur asas-asas peribadatan Islam seperti shalat, puasa, dan haji termasuk pengelolaan
organisasi sosial dan politik Islam. Kelompok ini biasanya dihubungkan dengan elemen
pedagang, meskipun ada sebagian kecil dari golongan petani.

Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang berasal dari aristokrat, yang
kebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun. Mereka ini tidak menekankan kepada
elemen animistik dan sinkretinisme Jawa yang dianut kaum abangan dan tidak juga
menekankan kepada elemen Islam sebagaimana yang dipraktekkan kaum santri, tetapi lebih
menitikberatkan kepada elemen-elemen Hinduisme yang secara luas dihubungkan dengan
unsur-unsur birokratis.(Haryanto, 2006)

Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan.


Mereka hidup berkecukupan, seperti yang terlihat dari cuplikan dialog: “Ya, orang
kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Gadis
Pantai, hal. 54), dan pada cuplikan dialog: ”Bagi orang sudah tua seperti sahaya ini, siapa
yang beri makan di sana? semua pada hidup susah.” (Gadis Pantai, hlm. 55). Kemudian
pada cuplikan dialog: ”Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja.
Hanya orang kebanyakan yang kerja.” (Toer, 2007: 68).

Dan cuplikan dialog:

”Kalau ada nasib, Bapak suka jadi priyayi?”

”Itulah yang dicitakan setiap orang.”

”Kalau Bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana...”

”Setidak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya mereka tidak
berlumuran kotor setiap hari.” (Toer, 2007:181)

Dan tugas bagi orang yang kedudukannya lebih rendah adalah mengabdi kepada para
priyayi tersebut, seperti dalam cuplikan dialog:

”Apa salahku?”

”Salah Mas Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan.”

”Lantas Mbok, lantas?”

”Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan
orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”

”Aku ini, Mbok, aku ini orang apa? rendahan? atasan?”

”Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”

”Jadi apa yang mesti aku perbuat?”

”Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai
tanah pada Bendoro...” (Toer,2007: 99)

Para priyayi menganggap, orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah
miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam
cuplikan dialog: ”Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan btidak boleh,
harus dan mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.”
(Toer,2007:136)
Karena kedudukannya yang dianggap lebih tinggi itu, para priyayi harus dihormati dan
diperlakukan seolah raja oleh para kelas yang lebih rendah, hal ini tercermin dalam cuplikan
dialog: ”Pada aku ini, Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut
di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Toer,2007: 27). Dan pada cuplikan dialog ”Tidak
mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin.” ( Toer,2007:
127)

Bahkan karena kedudukanya itu, jika seorang priyayi menikah dengan gadis
dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap sebagai istri sahnya.
Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah dengan wanita dari kalangan yang
sederajat dengannya. Seperti terlihat dari cuplikan dialog: ”Jadi Mas Nganten tahu siapa
sahaya. Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan
sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis yang
benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil,
sekalipun sampai empat.” (Toer,2007:132)

Kemudian pada cuplikan dialog:

”Perjaka? jadi aku ini apanya?”

”Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.”
(Toer,2007:155).
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Gadis Pantai, dalam usia yang masih begitu belia telah kehilangan segalanya. Karena
begitu malu kembali ke kampungnya, Gadis Pantai dengan perasaan remuk memilih berputar
arah ke Selatan, ke Blora. Kisah sekuel Gadis Pantai terhenti di sini. Lewat sekuel pertama ini,
Pram meunjukkan kontradiksi negatif praktik feodalisme di tanah Jawa yang tak memiliki
adab dan jiwa kemanusiaan. Betapa seorang manusia tak dihargai dari hatinya, namun dari
pangkat dan golongan mana dia berasal. Layak dijadikan perenungan.
Kemudian penjajahan belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang
menjalar ke darah daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial
masyarakat yang mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak
adanya pemerataan ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini,
masih membekas tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat
kecil. Juga perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi
Belanda.

Gambaran tradisi yang dimunculkan dalam cerita novel Gadis Pantai ini secara
garis besar merupakan gambaran umum tentang pola tingkah laku priyayi Jawa pada
zamannya. Perubahan nama, menjunjung tinggi kehormatan, perkawinan, ajaran-ajaran
wayang, dan menembang merupakan bagian dari tradisi priyayi Jawa yang direpresentasikan
dalam novel ini. Akan tetapi, gambaran tradisi priyayi Jawa tersebut merupakan kritikan
terhadap bentuk feodalisme Jawa yang tergambar dalam setiap bentuk tradisi yang dilakukan
oleh para priyayi pada zamannya. Gambaran tradisi tersebut juga merupakan gambaran
bentuk kasar mentalitas para priyayi yang tidak terkendali dan tanpa beban susila maupun
agama. Hal tersebut merupakan gambaran hedonisme para priyayi pada zamannya. Gambaran
tradisi priyayi Jawa dalam novel ini tergambar dengan jelas dalam setiap tuturan teks. Hal
tersebut tidak terlepas dari penyajian struktur cerita (alur, tema, tokoh, latar) yang saling
membangun dalam satu kesatuan isi cerita.

Kehadiran priyayi merupakan bagian dari kebudayaan Jawa (feodalisme Jawa).


Priyayi merupakan wujud aktivitas dalam sebuah kebudayaan, khususnya dalam
konteks ini adalah kebudayaan Jawa. Jika dilihat dari segi sejarah mentalitas, konsep priyayi
yang direpresentasikan dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya ini mengacu kepada
konsep sentral priyayi yang alus dan kasar. Priyayi dalam novel ini menunjukkan sosok
priyayi yang agung, mengabdi, dan teratur, walau tetap yang dimunculkan dalam novel ini
adalah sisi kelam (kasar) dari sosok priyayi tersebut sebagai sebuah ambiguitas dari
keberadaannya.
Priyayi dalam novel Gadis Pantai ini merupakan sekelompok orang (Jawa) yang
mempunyai kehormatan dan dihormati dalam sebuah sistem sosial. Priyayi dalam novel ini
juga cenderung berurusan dengan masalah penataan dunia spiritual, seperti pengendalian.
Buku ini juga tidak negatif, sebab langkah pertama ke arah pembebasan dari
penindasan dan penghinaan telah diambil dari Gadis Pantai: ia mulai sadar tentang kenyataan
sosial di tempat hidupnya. Ia tidak dapat kembali ke masa lampau, ia harus maju: ”Tanpa
menengok ke belakang lagi, Gadis Pantai memusatkan matanya ke depan, demikian dikatakan
pada halaman penghabisan.

Pram melalui Roman ‘Gadis Pantai’ berhasil menguak kebengisan sistem feodalisme
Jawa. Dengan teknik kepengaranganya Roman ini berhasil menjadi Roman sosio-kritis. Yang
memperjuangkan rakyat kecil dan terutama wanita-wanita Jawa yang dijadikan selir para
Priyayi. Dengan adanya roman ini kita berharap di masa sekarang tidak ada lagi praktik-
praktik Feodalisme.

2. Saran

Saran-saran ini ditujukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan, para peneliti
sastra, penulis buku dan sastrawan untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam mengabdikan tugas-tugas mereka.
1) Untuk Pendidik
a. Novel Gadis Pantai sangat baik digunakan sebagai bahan pelajaran sastra.
b. Nilai pendidikan yang terkandung dalam Gadis Pantai untuk nilai pendidikan bagi
siswa SMA dan generasi muda umumnya. Pendidikan nilai moral dan pendidikan nilai
budaya serta pendidikan agama sangat baik ditanamkan kepada generasi muda.
2) Penyusun buku pelajaran
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penyusunan materi buku ajar.
3) Pembaca
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Khususnya mengenai
pembahasan tokoh dan perwatakannya.
b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-nilai pendidikan yang
ada didalamnya.
4) Peneliti berikutnya
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian berikutnya ketika
menganalisis karya sastra.

Anda mungkin juga menyukai