Anda di halaman 1dari 19

Sikap Perlawanan Koloninalisme dalam Novel Student Hidjo

Oleh : Kamilah

‘Teori mimetik menyatakan bahwa penciptaan karya sastra merupakan tiruan dari
aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran dengan kata lain adalah
representassi tentang dunia dan kehidupannya.’

~Suroso, 2009: 22

Menganalisis atau meneliti karya sastra lebih mudah jika meninjau kembali
latar belakang penulisnya. Penulis novel Student Hidjo adalah Marco Kartodikromo.
Beliau seorang jurnalis dari Blora yang memulai karirnya di Bandung. Pemikiran
beliau selalu mengarah untuk menggiring opini masyarakat agar menentang kebijakan
pemerintah Belanda. Juanda dan Aziz (2018:71) menyatakan bahwa karya sastra ialah
sebagai bentuk bahasa merefleksikan kehidupan dan realitas manusia. Poskolonial
tidak hanya sebagai kritik terhadap dampak atau masa terjadinya penjajahan.
Munculnya poskolonial ketika proses terjadinya hegemoni didominasi oleh yang kuat.

Marco Kartodikromo dan Perlawanan Terhadap Penjajah

Novel Stuuden Hidjo merekam semangat perjuangan pemuda pada zaman itu.
Tidak hanya kasus percintaan tokoh utamanya, watak tokoh juga bersifat pergerakan
bumiputera mencari sikap politik yang baru. Cerita ini dimulai dengan
mengenalkantokoh utamanya, Hidjo. Marco Kartoodikromo juga secara lugas
menunjukan keberpihakannya terhaddap kaum pribumi. Digambarkan dari sifat unggul
tokoh utama yaitu Hidjo yang dibuat sebagai tokoh intelektual. Tujuan pengembangan
postokolonialisme adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjaddinya penjajahan
(Kolonialisme). postokolonial juga secara singkat dapat dianggap sebagai ancangan
teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat yang merendahkan
kaum Timur atau massyarakat yang dijajahnya. Di dalam novel Student Hidjo terdapat
beberapa penghinaan untuk pribumi yang dilakukan oleh orang Belanda.

Perlakuan baik bangsa Belanda terhadap Hidjo karena Hidjo menggambarkan


kecerdasan. Namun, tidak semua orang pada masa itu bisa mendapatkan pendidikan
yang layak. Hidjo sendiri adalah anak dari salah satu pejabat serta keturunan
Bangsawan Solo. Bukan tanpa kecuali perlakuan baik ada sebabnya. Pemutusan
hubungan antara Hidjo dan Betje serta penolakan niat walter oleh Wungu
mengisyaratkan sikap perlawanan tokoh-tokoh bumiputera terhadap bangsa Belanda.
Kasus percintaan dalam novel ini tidak terlalu pelik namun juga termasuk konflik
utama. Hidjo dianggap terlalu mudah berselingkuh dengan Betje hingga akhirnya
menikah dengan sahabat Biru yaitu Wungu. Novel Studen Hijdo pada zamannya
dianggap sangat ekspresif dalam menggambarkan warna kehidupan.

Karya filsafat atau karya sastra penentuuannya didasarkan atas kaidah,


kesepakatan maupun intuisi kesejarahan (Aminuddin dkk 2002: 173) Memahami
Student Hidjo secara utuh sebagai karya sasstra yang kompleks, maka akan membuka
pikiran kita tentang pengaruh yang akan timbul. Hal-hal kecil yang ditampilkan dalam
cerita, seperti kebiasaan tokoh-tokohnya merupakan gambar budaya (Rudolf Mrazek,
2006). Hidjo saat di Belanda memanggil petugas hotel dengan seruan ‘boedak’. mudah
sekali menjungkirbalikkan norma-norma kolonialisme diantara perubahan wilayah.
Mas Marco Kartodikromo menyadari sastra memiliki potensi yang kuat untuk
menggiring opini dan kesadaran masyarakat. Penulisan Novel Student Hidjo dilakukan
saat Mas Marco di penjara akibat kasus delik pers. Sebagai lanjutan dari artikel Sama
Rasa Sama Rata, Mas Marco menuliskan cerita bersambung Student Hidjo di Sinar
Hindia pada tahun 1918.

Kehidupan bangsa barat digambarkan oleh tokoh Betje. Kehadiran ruang ketiga
dalam repsentasi tokoh-tokoh cukup mewakili setiap golongan pada masa itu.
Penguatan karakter tokoh dan cara penyampaian maksud dari Mas Marco juga unik.
Peletakan karakter Regent Djarak sebagai orang berkuasa namun juga turut merasakan
perbedaan yang dibuat bangsa Belanda. Regent Jarak dalam respon terhadap
ketimpangan kelas yang dihadapinya terdapat dalam narasi:

“kalau tidak begitu, saya kira akan amat susah bisa menjadi baik perkara
associatie (persaudaraan) itu? Lebih-lebih bagi kita orang bumiputera. Itu sangat susah
untuk melakukan associate dengan bangsa Eropa. Karena kebanyakan bangsa Eropa
memandang kita sebagi budaknya. Kalau menurut pikiran saya, Associate itu
merupakan suatuu usaha supaya kita bumiputera selamanya merasa senang sebagai
budak. Sebab orang memerintah mau mengaku sebagai saudara kepada kita.
Barangkali akan lebih jelas kalau saya sebut associatienya antar majikan dan
budaknya”

~Studen Hidjo: 107-108

Tokoh Regent Djarak tidak percaya terhadap persaudaraan yang coba dibangun
oleh bangsa Belanda, dianggapnya tali persaudaraan itu tidak seimbang. Dalam kasus
percintaan juga menunjukan sikap tegas penolakan oleh tokoh bumiputera. Radjen
Ajeng Biru yang digoda oleh Controleur Belanda dengan cepat menolaknya. Tokoh
utama yaitu Hidjo juga digoda oleh bangsa Belanda yaitu Betje, meskipun sempat
menerima kehadiran Betje namun tetap saja bagi Hidjo sikap baiknya kepada Betje
hanya sebatas rasa menghargai. Sikap protes dan tidak toleran terhadap bangsa
Belanda sangat tergambar dalam novel ini. Bahkan tidak ragu, Mas Marco membuat
karakter bangsa Belanda dengan sangat detail menuliskan keburukannya. Selain
mejelaskan tentang dampak dari kolonialisme, dijelaskan juga bagaimana pengaruh
dan sistem masuknya pemikiran barat di masyarakat tanah jawa yang diduduki
persoalan kapitalisme.

Hidjo tidak akan bertemu dengan Betje jika tidak pergi ke Belanda. Pada masa
itu, pemuda yang pintar sangat sedikit. Kepergian Hidjo ke Belanda dalam novel cukup
sebagai bukti bahwa Hidjo merupakan sosok pemuda yang pintar dan pandai bergaul.
Hidjo sebagai dari golongan yang terjajah mampu memikat hingga menolak Betje.
Demikian Mas Marco menggambarkan, seorang yang pintar dan berilmu akan mampu
mencapai batas antara kelas masyarakat. Meskipun perselingkuhan antara Hidjo dan
Betje juga termasuk penghinaan terhadap budaya bangsawan tanah jawa. Mas Marco
membubat beberapa kejadian dalam cerita yang menceritakan keramah-tamahan
bangsa Belanda kepada Hidjo untuk membangkitkan semangat dan kebenaran pada
masyarakat tentang pendidikan bumiputera. Sekalian mengangkat rasa percaya diri
untuk berani besikap terhadap penjajah, Mas Marco juga memberikan contoh
bagaimana yang terjajah bisa melambung tinggi.
Daftar Pustaka

Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Suroso, Puji Santoso, Pard Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan
Aplikassi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Juanda, J. & Aziz, A. (2018). PENYINGKAPAN CITRA PEREMPUAN CERPEN


MEDIA INDONESIA: KAJIAN FEMINISME. LINGUA: Center Of Languange,
Literature and Teaching. 15 (2).
Krisis Identitas Perempuan dalam Novel Belenggu

“Tini memang cantik,” kata Mardani perlahan-lahan sama sendirinya,


terdengan jug aoleh Kartini dan Darussalam “Dia berani menentang kata orang, tidak
peduli………..”

~Belenggu, hlm 85

Arjmin Pane dan Perlawanannya

Novel belenggu dalam proses penerbitannya juga sempat beberapa kali ditolak.
Bahkan, setelah terbit novel ini banyak di hina karena dianggap terlalu realitis dengan
kehidupan orang feodal pada masa itu. Arjmin Pane pada mulanya menerbitkan novel
Belenggu untuk melawan novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Arjmin Pane yang juga ialah adik kandung dari Sanusi Pane mendukung tentang
kebudayaan Timur. Gambaran-gambaran kebudayaan Timur dalam novel Belenggu
ialah rasa khilaf dan penyesalan Tini saat melakukan kesalahan yang fatal.

Local Genius adalah identitas dan kepribadian budaya bangsa yang


menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengelola kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuannya sendiri (Ayatrohaedi, 1985: 19). Arjmin Pane
menggambarkan Tini sebagai sosok modern namun memiliki sifat kearifan lokal. Tini
mampu membawa kaum perempuannya ke muka umum. Namun, pandangan negatif
itu datang juga dari perempuan. Identitas budaya ada untuk melindungi segala aspek
terkecil dalam kehidupan. Penyesalan Tini akan masa lalunya tergambar dalam kutipan
teks:

Serupakah dengan kelayuan di dalam jiwa Tini? Dia, di dalam hatinya layu,
karena kehilangan cita-cita, karena tiada dapat bersandar lagi. Bagaimana
Tini? Cita-cita perempuan? Budi Perempuan? Sudah menjadi beku?

~Belenggu, hlm 115

Perempuan dan sejarah tidak bisa dilepaskan satu sama lain, hanya saja masih
begitu awamnya masyarakat terhadap pergerakan perempuan. Perempuan selalu
dituntut untuk menjadi sempurna namun identitasnya harus di bawah laki-laki. Novel
Belenggu menciptakan konflik batin yang dalam. Setiap tokoh memiliki masa lalu
dengan jalur dosa yang berbeda. Tokoh utama dalam novel ini adalah Sukartono, Tini
dan Rohaya. Setiap tokoh memiliki belenggunya masing-masing. Pada awal cerita,
digambarkan dengan konflik kecil di antara rumah tangga Sukartono dan Tini. Lalu
teks kejadian dan runtutan perkara dibuat mundur saat Sukartono bertemu Eni atau
yang memiliki nama asli Rohaya. Tini adalah istri Sukartono, dia dalam dunia luar
banyak yang mengagumi karena paras cantiknya serta gelar istri dokter. Namun, siapa
sangka Tini memiliki belenggu terhadap masa lalu sehingga membuatnya bersikap
canggung terhadap Sukartono. Sedangkan dari dalam Sukartono, dia menyangka Tini
sudah tidak mencintainya. Ada alasan kuat bagi Tini dalam berubah sikap semenjak
menikah, ia malu hendak bercumbu. Disangkanya nanti Sukartono tau akan belenggu
dalam dirinya. Belenggu yang adalah merampas keperawanannya. Sadar Tini akan
dirinya terkutip dalam teks:

Tiba-tiba Hartono berdiri, katanya dengan gembira: “Pop! (nama panggilan


Tini pada masa dulu, yang juga masih sering digunakan oleh Haartono).
Sukartono cinta padamu….., mengapa tidak engkau ingat nasibnya?”ujar tini
dengan sungguh-sungguh: “’Karena dialah…..kasih sayangnya membuat ku
takut, bimbang, hatiku layuu, menjadi kusut di dalam hatiku layu, menjadi
kusut di dalam hatiku bertamba hampah…… tidak ada yang dapat kuberikan
padanya, lain dari pasir belaka, padang pasir, tiada kassih sayang tempat
bernaung,……….pada hal itulah tempatt dia perlu. Kasih sayang……..tidak
ada apa apa, padaku, aku kosong belaka………”

~Belenggu, hlm 115-116

Novel ini mencoba membangun sintesis antara dunia ideal dengan tidak
terperangkap pada terbangunnya suatu persaatuan yang semata-mata koeksistensial,
tetapi juga berusaha tidak terperangkap ke dalam dunia ideal semata-mata (Faruk,
2002: 165-166). Singkatnya, masa depan yang tidak pasti justru jadi penuh tantangan
yang menuntut perjuagan dan sifat sabar. Padahal tidak ada yang kurang dalam diri
Tini, dia pintar, cerdas dan terkenal cantik. Tini juga keturunan dari orang terhormat,
pada masa itu hanya perempuan dari kalangan terhormat yang dapat bersekolah.
Bahkan, Tini juga menjadi relawan kegiatan bakti amal. Saat Tini mengetahui
suaminya bermain perasaan dengan Rohaya, Tini sempat marah namun setelah
bertemu dengan Rohaya pikiran nya berubah lagi. Bahkan keputusan yang Tini ambil
mengejutkan segala pihak. Tini memilih bercerai dengan Sukartono, pada sangkanya
Rohaya pantas juga bersanding dengan Sukartono. Pada kejadian ini membuktikan,
Tini mampu tetap memiliki eksistensi meskipun bercerai dengan suami seorang
dokter. Tidak hanya demikian, Tini mampu mengubah pikiran kuno tentang
perceraian dan hidup seorang perempuan. Baginya saat bangkit dari rasa terpuruk, ia
yakin kelebihan perempuan jauh lebih banyak dari pada perbuatan jeleknya. Tini
sudah memikirkan resiko yang diterimanya saat sudah bercerai dengan ssuaminya.
Orang lain akan bergunjing tentang dirinya. Namun, Belenggu yang mengikatnya
sudah lepas. Begitulah hilang Belenggu dalam hidup Tini. Terkutip dalam teks:

Di dalam hati Tini tenang, karena sudah mengandung putusan. Haru


biru yang ada dalam dirinya sudah hilang sama sekali. Belenggu yang
mengikat semangatnya sudah terlepas.

~Belenggu, hlm 136

Sedangkan dari pihak perempuan seperti Rohaya, sepanjang hidupnya


memang tidak pernah merasakan kesempatan hidup dengan terhormat. Susah sekali
berjuang dari awal saat dirinya diliputi kemiskinan. Rohaya sempat menikah dan lalu
bercerai. Baginya saat sudah melakukan kesalahan dan dianggap buruk oleh
masyarakat, sekalian lah ia melakukan segala hal buruk lainnya. Namun, saat Rohaya
kembali mendengar tentang keberadaan Sukartono, sukalah ia memikat nya kembali
dengan tujuan melepas rindu. Rohaya bahkan berpura-pura menjadi nyonya Eni.
Rohaya yang sudah biasa melayani laki-laki mampu memikat hati Sukartono.
Terlebih lagi hati Sukartono sedang gusar karena Tini.

Menurut Luxemburg (1984: 6) berpendapat bahwa sastra mengungkapkan


yang tak terungkapkan. Saat Rohaya sudah terbiasa dengan belenggu yang banyak
dalam hidupnya, ia dihadapkan kembali dengan kesempatan hidup terpandang
bersama Sukartono. Namun, belenggu yang sudah dia tangguhkan terlalu banyak
untuk memulai hidup terhormat. Sekali lagi saja, langkahnya maka ia akan menjadi
istri seorang dokter. Namun Rohaya lebih memilih pergi meninggalkan Sukartono,
karena bagi Rohaya lebih baik menambah belenggu dari pada hidup menutupi
belenggu.

Daftar Pustaka

Ayatrohaedi. 1985. Kepribadian Budaya Lokal (local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Faruk. 2002. Novel-novel Indonesia Tradisi Balai pustaka 1920-1942. Yogyakarta:


Gama Media.

Luxemburg, J.V., Bal, M., dan Westteijn, W.G. 1984. Pengantar Ilmu Sastra
(Penerjemah: Akhdiati Ikram). Jakarta: Intermasas.
Krisis Identitas Kebudayaan dalam Novel Salah Asuhan

Oleh: Kamilah

‘Tidak dapat kuterangkan selanjut-lanjutnya tapi insyaflah engkau, pada rasa bangsaku
engkau masih bumiputera, dan engganlah mereka menerima engkau, bila engkau
menyerbukan diri memasuki bangsaku.’

~Piet kepada Hanafi (Salah Asuhan, hlm 219 paragraf ke-2)

Benturan kebudayaan dalam diri tokoh utama

Salah Asuhan juga termasuk dalam sastra perlawanan. Adat dan tradisi menjadi
hal yang paling berpengaruh pada alur novel. Transisi kebudayaan dan benturan adat
istiadat yang membawa kepada sengsara, ataukah sengsara yang baru timbul sepanjang
sejarah tradisi yang dibangun sejak lama. Dalam kasus perikahan yang bisa disebut
pernikahan campuran, kedua belah pihak akan sama-sama dirugikan. Seorang
bumiputera saat mengijakan kaki untuk berani melangkah seiring dengan bangsa Eropa
akan diasingkan. Bukan tidak menolak, penyiksaan bangsa Eropa terhadap bumiputera
adalah membiarkannya melangkah seiring dengan bangsanya. Dibuat demikian, agar
yang mengasingkan bumiptera tidak hanya barang minoritas tertentu, melainkan
seluruh keturunan bangsa Belanda semuanya. Konflik dalam novel Salah Asuhan
sebagai representasi kejadian nyata pada massa itu. Lailasari dan Nurlailah (2006: 166-
167) menerangkan bahwa novel merupakan karangan prosa yang panjang,
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang
disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku, atau suatu cerita yang
fiktif dalam panjang yang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak, dan adegan
kehidupan nyata dengan sangat respontatif dalam suatu alur atau suatu keadaan.
Roman Salah Asuhan adalah yang terpenting di antara sekian terbitan Balai
Pustaka tahun 1920-an karena pengarangnya lebih realistis dan tidak terbatas
mengungkapkan masalah kawin paksa. Pertentangan pandangan antara kaum muda
dengan kaum kolot pun tidak tampak lagi secara hitam putiih. Masalah yang digarap
pengarang adalah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan budaya Eropa dengan anak-
anak bangsa yang telah mengenal pendidikan sekolah kolonial Belanda (Ajip Rosidi,
1969: 28). Tokoh utama dalam novel adalah Hanafi. Seorang bumiputera yang sejak
kecil pergaulannya bersama bangsa Barat. Namun, Hanafi tidak membawa bangsanya
agar bisa semaju bangsa Barat. Ia malah menginginkan masuk dan menjadi bangsa
Barat. Perangainya pun sudah seperti bangsa Barat, yaitu merendahkan adat istiadat
setiap suku. Waktu terjadi pertikaian saat berlangsung pernikahannya dengan Rapiah.
Beberapa tradisi leluhur tidak diturutinya. Terbukti dalam kutipan teks:

“Setelah timbul pertengkaran di dalam pihak keluarganya akhirnya


diterimalah, bahwa ia memakai ‘smoking’ yaitu jas hitam, celana hitam
dengan berompi dan berdasi putih.”

~Salah Asuhan, hlm 73

Pada masa tahun 1928, pakaian pernikahan selalu mengikuti adat yang berlaku
di daerahnya. Memakai setelan jas dianggap oleh warga terlalu ke barat-baratan.
Hanafi bahkan meniru baju tradisi pernikahan orang Barat, sedangkan yang
dinikahinya adalah anak dari tetuah suku di kampung sekaligus anak dari Mamaknya.
Hanafi mau menikah dengan Rapiah, karena kepergian Corie dari Solok menuju
Betawi. Hanafi sempat sakit dan hanya ibunya yang menemaninya. Saat merawat
Hanafi, ibunya selalu menasihati Hanafi agar menurut dengan permintaan Mamaknya.
Dari pihak Ibu dan Mamaknya Hanafi menginginkan Hanafi menikah dengan Rapiah
agar mempererat tali kekeluargaan. Selain itu, jabatan pemangku adat atau kepala adat
akan diteruskan kepada Hanadi. Sebanarnya bukan hal yang memalukan jika Hanafi
sesudah tamat belajar HBS di Jakarta, terus melanjutkan jadi pemangku adat di
kampungnya. Namun, sifat asuh sejak kecil dan pengaruh teman-temannya yang
bangsa Barat, menjadikan Hanafi memandang rendah setiap adat daerah. Hanafi dalam
cerita, tidak hanya mengikuti keseharian orang Eropa tetapi ia juga menaruh hati pada
gadis campuran keturuanan Eropa. Gadis itu bernama Corie. Sebenarnya, ibu Corie
adalah seorang bumiputera dan ayahnya keturunan bangsa Eropa. Hanafi bahkan
dengan senang hati berpindah kebangsaan menjadi bangsa Belanda demi menikahi
Corie. Terbukti dalam teks:

Dengan Besluit pemerintah telah diakui sama hak Hanafi, (Comies) pada
Departemen B.B. dengan hak bangsa Eropa, dengan memakai nama turunan ‘Han’
dan diizinkan ia memakai nama ‘Cristian Han’.

~Salah Asuhan, hlm 129

Pada rasanya bukan sepenuhnya salah Hanafi. Memang pada masa itu
bumiputera sangat dianggap hina oleh orang Belanda. Hanafi sendiri pada akhirnya
mengerti bagaimana pentingnya adat leluhur di kampungnya. Setidaknya hal yang bisa
kita percaya pada Hanafi adalah rasa cintanya terhadadp Corie. Hanafi dengan sangat
senang lantas menceraikan Rapiah. Namun, bukan tidak bahagia. Hidup dalam
perasingan karena pernikahan berbeda bangsa sangat mengganggu. Corie yang biasa
memiliki banyak teman dan selalu diagung-agungkan harus hiduop terasingkan. Hal
seperti itu tidak hanya menyakitkan, namun juga membuat terpuruk. Hanafi sempat
menuduh Corie berzina, hingga Corie lebih memilih bercerai dan pergi. Bukan hanya
itu yang menyakitkan bagi Hanafi. Meninggalnya Corie menjadi akhir dari perjuangan
hidupnya. Hanafi juga enggan berbalik rujuk kepada Rapiah sepeninggal Corie. Pada
rasanya, cinta hanya ada satu dan itu untuuk Corie. Hingga langkah akhir Hanafi ialah
meminum pil sublimat dan meninggal dunia.
Daftar Pustaka

S. Lailasari dan Nurlailah S.S. 2006. Istilah Kamus Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.

Rosidi, Ajip. 1969. Di Tengah Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binatjipta.
Egoistic Tokoh Utama dalam Novel Kalau Tak Untung

Oleh: Kamilah

“Ah, ditidakkan saja, dikatakan telah bertunangan dengan Rasmani, tetapi…..”


sebentar itu, terbayanglah muka yang bagus tadi di mata Massrul, dikelilingi oleh
kemuliaan dan kekayaan.

~Kalau Tak Untung, hlm 57

Keputusan Masrul

Novel “Kalau Tak Untung” menjadi novel pertama yang ditulis oleh
perempuan dan berhasil terbir di Balai Pustaka. Menceritakan mulai dari masalah
pendidikan, ketimpangan sosial hingga isu tentang perempuan. Burhanudin
Nugiyantoro (2013: 259) menyatakan tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokokh yang paling
banyak diceritakan. Baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Bahkan, pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian
dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

Tokoh utama dalam novel adalah Masrul seorang laki-laki berkecukupan sejak
lahir. Sedangkan tokoh utama perempuan dalam novel adalah Rasmani. Pada awal
kisahnya, kehidupan Masrul dan Rasmani jauh berbeda. Justru hal itu yang membuat
Masrul sering membantu Rasmani. Perbuatan saling melindungi dan membantuu itu
membuahkan persaudaraan yang erat, terlepas dari memang mereka juga bersepupu.
Namun saat memassuki fase pernikahan, Masrul dijodohkan oleh orang tuanya dengan
Aminah. Pertunangan Masrul dengan Aminah membuat Masrul segera pergi merantau
meninggalkan Painan.

Masrul meninggalkan bangsa, keluarga, saudara, sahabat hingga orang-orang


yang mencintainya. Masrul sebagai pemuda tampan biasanya berkepribadian teguh,
mampu goyah dan memasuki lubang sengsara tak berujung hanya karena keindahan
yang dilihatnya. Tokoh Masrul, mengingatkan akan sekarang betapa mudahnya
pemuda merubah hati dan tekadnya. Rasa mementingkan sendiri bisa berakibat buruk
dan merugikan orang sekitar. Masrul membuat Aminah menunggu hingga dua tahun,
ia juga membuat Rasmani sengsara. Melihat dari sosok Masrul yang sewaktu kecil
sangat berbelas kasih terhadap teman dan orang sekitarnya, namun saat beranjak
dewasa Masrul memutuskan tujuan hidupnya tanpa bermufakat dengan orang tuanya
dahulu. Ibu Masrul bahkan lebih merestui Masrul dengan Rasmani ketimbang dengan
orang rantau.

“Jika tak mau benar dengan Aminah, Rasmani baik juga rasanya, dari mengambil
orang lain, anak rantau. Apalagi bunda sudah tau benar perangai anak itu sekarang
anak itu sekarang, sangat tahu ia akan diri dan sangat hormat, pendeknya banyak benar
kebaikannya; makin lama makin kelihatan. Sekarang anakanda mengambil orang lain.
Dapatkah bunda menumpangkan untung nanti kepada orang itu? Bunda ini telah tua
dan tak beranak lain dari engkau. Mamak-mamakmu marah kepada bunda, karena
engkau mengharap-harapi mereka. Anak-anaknya seorangpun tak ada yang hendak ke
rumah bunda, lebih-lebih Aminah. Bapakmu marah, sebab engkau melampauinya: ia
merasa kelangkahan, sebab itu ia tak hendak membuat surat itu dan lain-lain.”

(Kalau Tak Untung, hlm 78)

Penyesalan Ibu Masrul tidak hanya saat anaknya menikah dengan orang asing,
murkanya saat membuat kerabatnya menunggu 2 tahun. Tidak hanya menunggu,
Aminah juga disuruhnya belajar membaca dan menulis. Semua kehendak Masrul
sudah diturutkannya semua. Namun itu semua tidak terlalu pengikat kuat bagi Masrul
untuk tidak menikahi orang rantau. Rasa egois dan gemerlapnya dunia Muslina
membuat Masrul benar-benar berubah. Selepas pernikahan, mimpi yang dulu datang
kepada Rasmani menjadi kenyataan. Mimpi tentang Masrul yang menikah namun
wajah dan tangannya hitam dan dituntun oleh seorang yang sebelah kanannya
berpakaian bagus dan sebelah laginya berpakaian compang camping. Pada
kenyataanya, mimpi itu menjadi pertanda akan nasib Masrul. Muslina yang
disangkanya cantik dan pintar ternyata memiliki sifat lain. Semua itu disebabkan
Masrul bersifat egois. Sedangkan Rasmani memiliki sifat Itsar. Dalam al-Usaimin
(2002) mengatakan Itsar adalah mendahulukan kepentingan orang lain dari pada
dirinya sendiri. Rasmani tetap mengajarkan membaca dan menulis kepada Aminah
(tunangan dari orang yang dicintainya). Terlebih lagi yang membuat sakit hati adalah
yang meminta Rasmani mengajar Aminah adalah Masrul. Namun begituu, tetap
diajarkannya Aminah membaca dan menulis. Pendidikan sangat diutamakan oleh
Rasmani, ketimbang perasaan sakit hatinya. Bahkan dengan senang Rasmani mengajar
kepada Aminah. Terkutip dalam teks:

Rasmani menepati janjinya. Dua pekan sesudah ia membuat surat kepada


Masrul, datanglah ibu Masrul dengan Aminah ke rumahnya.

~Kalau Tak Untung, hlm 44

Konflik sendiri tidak berakhir saat Masrul bercerai dengan Muslina. Setelah ia
bercerai, kembalilah Masrul ke kampung halamannya. Kehadirannya diterima oleh
orang tuanya dan keluarga Rasmani. Dalam buku Supartono (2004: 31) menjelaskan
bahwa budaya merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu
alam dan zaman yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk menghadapi
berbagai rintangan.

Sifat egois Masrul juga berkelanjutan, saat ia sesudah bercerai dengan Mulina.
Ia menjanjikan kepada Rasmani untuk menikah dengannya. Namun, karena pola pikir
yang panjang, Masrul menipu Rasmani. Kepada Rasmani dikatakannya bahwa ia
kembali rujuk dengan Muslina. Hal itu memang dilakukan atas dasar cinta kepadaa
Rasmani. Masrul terlalu malu menikahi Rasmani, karena Rasmani sudah memiliki
pekerjaan yang terpandang sedangkan Massrul masih menjadi pengangguran. Tidak
ada yang salah dalam mencintai siapapun, hanya saja cara untuk melindungi orang
yang kita cintai adalah salah. Keputusan Masrul membuat Rasmani sedih dan
kepikiran. Berkali-kali Masrul menyakiti hati Rasmani. Dari sejak menyuruh Rasmani
mengajar Aminah, meminta pendapat dan sasran akan hubungan nya dengan Muslina.
Hingga yang terakhir membuat keputusan gegabah dan berakhir membuat Rasmani
sakit. Akhirnya, kematian indah menemani Rasmani.

Daftar Pustaka

Al Usaimin, Muhammad bin Shalih. 2002. Syarah Riyadhus Shalihin. Kairo: Darul
Haisaini.

Supartono. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia.


Pengaruh Postokolonial Sesudah Kemerdekaan dalam Novel Raumanen

Oleh: Kamilah

“Sekarang, hampir 20 tahun sesudah revolusi, sesudah dua windu lebih penduduk
Nusantara berpengalaman hidup sebagai ‘orang Indonesia’, ternyata beban prasangka
serta wassangka terhadap suku lain masih belum dapat dilepaskan orang dengan begitu
mudah”

~Raumanen, hlm 21

Pergaulan Antar Suku dalam Novel Raumanen

Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam


jangka yang lebih panjang) di mana terjadi konflik-konflik yang akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya (Esten: 2000).

Sesudah kemerdekaan, setiap suku merasa lingkup yang perlu dilidungi hanya
sebatas leluhurnya. Setiap suku juga merasa saling curiga terhadap suku lain. Mereka
menganggap masuknya orang lain ke dalam pergaulan suku mereka dapat membuat
rusaknya adat leluhur. Mereka membuat persamaan seperti penjajah yang masuk ke
Indonesia. Era sesudah penjajahan masih membekaskan tradisi-tradisi yang tertinggal.
Orang tua atau golongan tua lebih suka jika generasi atau anak-anaknya terus
mengikukti langkahnya. Anak nya harus menikah dengan suku yang sama dengan dia.
Selain itu, banyak juga orang tua yang takut budaya suku lain merusak budaya suku
miliknya. Padahal yang merusak budaya suku adalah timpangnya pendapat dan
ketertinggalan pemikiran terhadap dunia baru. Terkutip dalam teks:

“Hasrat kita mencari alam yang lebih luas, bumi yang lebih bidang,
dipersamakan mereka dengan pengkhianatan terhadap suku.”

~Raumanen, hlm 24
Kasus dalam novel Raumanen tergolong modern, bahasa yang digunakan juga sudah
berpacu pada satuan standar terbaru penulisan waktu itu. Novel raumanen bercerita
tentang seorang perempuan yang bernama Raumanen, dan biasa dipanggil Manen.
Pada golongannya, Manen bukan berasasal dari keluarga biasa saja. Orang tuanya juga
termasuk terpandang dikalangan orang berpendidikan. Beberapa kali Manen
mengalami rasisme dari orang sekitarnya. Termasuk saat Manen menjadi mentor
terhadap malam keakraban anggota komunitas kemahasiswaan. Terkutip dalam bagian:

Jadi kau tau semboyan itu: ‘supaya semuanya menjadi satu’! siapa
‘semuanya’ituu? Kau, dia, aku …..

Masih ada lanjutan dari ayat emas ituu, tahu? ‘Ut omnes sint, ut credat
mundumn’ Artinya ‘supaa semuanya menjadi satu, agar dunia percaya’!

~Raumanen, hlm 33

Banyak bagian lain yang menggencarkan semboyan persatuan dengan


penyampaian bahasa masa itu. Krisis kepercayaan antara suku dan perorangan lebih
sulit dihadapi dibandingkan penjajah. Selain memperjuangkan perempuan, Marianna
Kattopo juga mampu membuat makna dan pesan persatuan dalam novel. Kelanjutan
ceritanya, Manen melakukan hubungan diluar pernikahan bersama Monang. Hal itu
tidak hanya merusak masa depan mereka, namun juga merusak adat istiadat kedua
pihak. Dalam buku Wellek dan Austin Warren (2014: 21) mengatakan bahwa sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah cabang seni. Sastra adalah segala sesuatu yang
ditulis dan tercetak. Karya sastra adalah karya imajinatif dan karya sastra adalah
‘dokumen karena merupakan monumen’.

Dari banyaknya teori sastra, mereka banyak mengemukakan bahwa sastra


adalah representasi dari kehidupan nyata. Konflik dari novel Raumanen bermula dari
tentangan orang tua Monang yang selalu melarang Monang untuk menikah dengan
gadis dari luar sukunya. Hal tersebut membuat Monang terpuruk, kecewa dan marah.
Akhirnya, Monang sering berhubungan seks di luar pernikahan. Namun, banyak
korbannya yang tidak sampai hamil.

Daftar Pustaka

Esten, Mursal. 2000. Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene & Warren, Austin. 2014. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani
Budianta). Jakarta: Kompas Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai