Anda di halaman 1dari 3

LARA(S) ATI : Praktek Korup dari kaca mata Pram.

La Faris

Sebagai seorang pemain peran perjuangan seperti apa yang pantas atau memberi
arti untuk kemerdekaan bangsa ini?

Dibuka dengan perbincangan sorang artis film terkenal dengan seorang opsir
inlander, larasati nama artis itu, Ara panggilannya. Ia begitu kuat dalam setiap
argumennya tak peduli siapa lawan atau kawannya berbicara. Ia perempuan
berparas cantik begitu yang digambarkan, dan sepertinya itulah yang menyebabkan
dia begitu terkenal dan begitu di sanjung termasuk oleh para opsir yang ditemaninya
berbincang.

Ara berniat kembali ke Jakarta, atau batavia yang kala itu menjadi pusat
pendudukan Belanda selama masa Agresi Militer. Meninggalkan Jogja dengan
semua permainan peran yang telah membesarkan namanya disana menuju ke
tempat musuh, tempat nyawa seorang republikeun tidak berharga. Lebih berharga
bongkahan-bongkahan besi bermoncong menhadap langit seberang sungai batavia,
yang di rawat dengan sepenuh hati seperti anak sendiri oleh para inlander. Sedang
Ara hanya seorang pemain peran yang ingin pulang ke kampung tempat kasih ibu
selalu lebih hangat dari sinar matahari, yang sudah lebih dari setahun sejauh yang
bisa diingatnya, tak lagi merasakan hangatnya kasih ibu itu, baik-baikkah dia
disana?, apakah hidupnnya bahagia seperti saat aku di Jogja?.

Larasati bukanlah seorang tentara, bukan juga seorang pejabat pemerintahan, atau
seorang pemuda yang dengan bambu runcingnya maju menerjang meriam-meriam
Belanda. Ara hanya seorang perempuan paruh baya yang terjebak dalam arus
revolusi. Dia dibesarkan oleh ketidak adilan dan dididik langsung oleh revolusi yang
saat itu pecah. Bagaimana mungkin seorang perempuan seperti itu akan begitu
berbahaya, akan bisa menyingkirkan meriam-meriam gagah itu, akan bisa
menaklukkan para kolonel-kolonel cabul itu.

Ara adalah contoh berjuang dengan segenap apa yang dia punya menentang
kelaliman. Matari berganti naik dan turun tapi semangat dalam dadanya tidak pernah
turun, selalu berdiri menentang ketidak adilan. Namun apakah selamanya
perjuangan itu hanya ketika belanda datang lagi, ataukah ada model penjajahan
baru yang kita luput akannya dan malu mengakuinya?

***

Di tengah pandemi seperti sekarang ini pemerintah harus mengambil peran demi
menjaga kestabilan negara. Banyak orang yang harusnya berkerja sekarang di
rumahkan karena perusahaan tidak sanggup membayar gaji. Belum lagi para
pekerja harian sudah tak terhitung hari mereka dipaksa untuk berdiam dirumah yang
artinya tidak ada pemasukan hari itu.

Salah satu yang mencengangkan dan menjadi kado akhir tahun 2020 adalah kasus
korupsi dana bansos oleh bapak Mentri Sosial Juliari Batubara. Tidak tanggung-
tanggung senilai 17 Milyar diduga digunakan untuk keperluan pribadi. Bukan dana
yang sedikit apalagi melihat ekonomi negara yang sedang terpuruk oleh pandemi.
Belum lagi utang luar negeri yang terus tinggi.

Dalam roman Larasati; Pramoedya menuliskan, “ rupa-rupanya di bumi jajahan ini


setiap orang hidup atas dasar hancur-menghancurkan. Dan siapa yang tidak
dihancurkan di bumi penjajahan ini. Kalau kau sudah hancurkan aku, lantas apa
untungmu? Kalau kau tidak hancurkan aku, apa rugimu?”. Adalah Djohan yang
mengajarkan bagaimana sistem dalam bumi penjajahan ini berputar. Kita pribumi
tapi di haruskan untuk saling menyingkirkan demi makanan dan pakaian. Kita
saudara tapi dibumi penjajahan ini musuh yang nyata bukan hanya para Belanda
yang dengan jelas bisa kita bedakan, tapi juga yang serupa dengan kita, sesama
pribumi, sesama rakyat, saudara kita setanah air yang korup demi makan dan
pakaian.

Demi memuluskan keinginan pribadi kita, seringkali kita lupa dimana kaki dipijak,
dan rasa-rasanya ini sudah menjadi budaya dalam tatanan masyarakat kita yang
dengan jelas bisa kita temukan dikeseharian. Kita merasa begitu exclusive dengan
semua predikat dan status yang kita dapatkan, padahal cara memperolehnya bisa
jadi begitu “negative”. Moral-moral penghianat bangsa demi kepentingan diri sendiri.
Dengan keras Ara melawan semua argumen Djohan yang demi kemewahan untuk
dirinya sendiri itu.

Dalam ranah pemilu misalnya tindakan para calon bupati tak rupanya seperti melihat
gerak-gerik Djohan, membujuk dengan segala apa yang dipunyanya agar Ara, dan
masyarakat memilihnya. Tindakan money politik, nepotisme, ancaman mutasi ke
pulau sebrang, bahkan ancaman premanisme adalah fenomena yang seperti bunga
mewarni pemilu. Tindakan yang bukan menjadikan kita maju dalam peradaban tapi
malah saling hancur-menghancurkan, dan menjebak kita dalam sistem neo-
imperialime. Begitu memuakkan, setiap kali momentumnya tiba kita semua tahu
dosa-dosa bertebaran dimana-mana dan kita hanya bisa memilih dosa mana yang
kiranya sanggup kita bayarkan di neraka.

Pram menuliskan “ seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua, mereka
hanya pandai korupsi. Angkatan tua itu sungguh bobrok, hanya angkatan tua yang
korup dan mengajak korup! Angkatan muda membuat revolusi melahirkan sejarah”.
Tidakan korup tersebut bukanlah tindakan para penjajah, bukan tindakan orang-
orang Belanda. Itu adalah tidakan para inlander, orang-orang yang mentalnya
terjajah oleh kekuasaan yang tidak bisa diubahnya akhirnya segala macam cara dia
tempuh untuk bisa meraihnya bukan untuk merubahnya tapi untuk mengambil
keuntungan bagi dirinya sendiri demi makan dan pakaian.
Bisa jadi kita telah merdeka setelah dibacakannya Proklamasi pada Agustus 1945.
Tapi para penjajah meninggalkan suatu trauma, suatu cacat psikologi sebagai
orang-orang terjajah. Kita berhasil mengusir para walanda-walanda itu tapi tidak
dengan sistem dan pemikirannya. Djohan dan kolonel Surjo Sentono adalah
penjajah baru bagi bangsanya sendiri, hanya mengambil keuntungan untuk diri
sendiri.

Dua hal yang menjadi landasan perjuangan larasati adalah 1) Dia mau terbebas dari
penjajahan belanda, dia mau damai seperti di jogja, jakarta adalah tempat para
pembunuh saudaranya sebangsa. Dan 2) Membunuh kawan sendiri demi makan
dan pakaian adalah keliru, bahkan dalam alam pikir tak boleh. Para pejuang itu bisa
saja umur mereka setengah umur Ara, yang berhadapan dengan tumpukan besi-
besi dingin berhasil memikat hatinya. Menghargai perjuangan mereka berarti tidak
boleh mengambil keuntungan dari para penjajah, bahkan keuntungan rasa aman
sekalipun.

Ara hanya seorang perempuan, yang mungkin bisa kita kesampingkan perannya, dia
bukan ibu dari Sang Proklamator, bukan juga kapiten perang dari Sumatera, bukan
juga raja pertama di kerajaan Wolio Barakati. Tapi sebagai individu yang dengan
jelas mengenal siapa pria bermata kuning yang menunjuk kakek Mo untuk diangkut
para tentara setelah terjadi kerusuhan semalam dan pastinya kakek tak akan
kembali lagi. Dia tetap menunggu pria bermata kuning itu datang kerumahnya dan
dengan senjata paling ampuh yang dimilikinya ia mematikan usaha pria itu untuk
merenggut satu-satunya yang paling berharga yang dia punya, bahkan ibunya yang
tahan oleh mereka dia telah ikhlaskan, hidup atau matipun dirinya tak pedulikan lagi,
“aku bisa lawan kau” itu ucapnya untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Bahkan jika perjuangan kita untuk melawan semua ketidak adilan, dikantor tempat
kita berkerja, dijalanan tempat kita hidup, dibawah feodal pemilik modal, atau
dibawah tirani birokrasi, satu kata LAWAN. Teruslah melawan rawatlah perlawanan
dalam pikiran-pikiran yang teduh. Perbanyaklah melihat dan bertindak sesekali jika
ada waktu lowong membacalah itu akan baik untuk merawat kewarasan. Pram
mengajarkan kita bagaimana berdiri dalam barisan perlawanan dengan segala yang
kita punya, bukan hanya para tentara yang bisa menyelamatkan negri ini, kita semua
harus mengambil peran sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

Kalau para calon bupati korup itu adalah Djohan lantas siapa pihak Belandanya,
siapa kolonel Surjo Sentono, ahh tidak penting serupa apa para penjajah itu
sekarang. Justru paling penting adalah siapa lantas yang jadi Ara?.

Anda mungkin juga menyukai