Sejak novel Amba diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada awal Oktober 2012
yang lalu, setidaknya saya sudah membaca tiga ulasan panjang tentangnya yaitu oleh
Goenawan Mohamad (GM), Sitok Srengenge dan Bambang Sugiharto. Saya tertarik novel
karya Laksmi Pamuntjak setebal 494 halaman ini, gara-gara membaca Caping-nya GM.
Sebelumnya saya membaca tulisan Laksmi bukan dalam bentuk novel, tetapi lewat tulisan-
tulisannya yang dimuat di Tempo.
Novel ini bercerita tentang Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil di Jawa
Tengah yang pada tahun 2006 pergi ke Pulau Buru. Ia mencari orang yang dikasihi, yakni
Bhisma. Lelaki ini dikenal Amba di kota Kediri ketika ia bertugas sebagai penerjemah di
sebuah rumah sakit. Bhisma, dokter lulusan Leipzig Jerman Timur bekerja sebagai dokter di
rumah sakit itu. Di sana mereka bertemu dan memadu kasih. Hubungan kasih mereka putus
karena adanya peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang
selamanya. Padahal Bhisma memberinya seorang anak di luar nikah. Apa yang didapati
Amba di Pulau Buru sungguh menyedihkan. Ternyata Bhisma mati.
Lalu, apa kata mereka bertiga tentang novel Amba? Berikut saya kutipkan sebagian
kecil pendapat mereka.
Kehadiran sebuah “novel sejarah” tentu bukan sebagai apriori. Ada dorongan mimesis
yang hendak menautkan cerita dengan pengalaman nyata. Atau cerita itu adalah rekonstruksi
atas peristiwa yang sungguh terjadi. Amba, dengan memilih konflik politik sekitar 1965
beserta sebagian dampak sosiologisnya, dikuatkan dengan data dan referensi, terasa cukup
meyakinkan dan berpeluang menyentuh memori kolektif pembaca Indonesia.
Namun, meminjam nama-nama dari Mahabharata, menggunakannya untuk karakter-
karakter “novel sejarah” dengan pola tautan nasib yang serupa, bisa mengundang pertanyaan.
Dalam pewayangan, Amba dan kedua adiknya, Ambika dan Ambalika, adalah putri Kerajaan
Kasi. Menurut tradisi, putri Kerajaan Kasi selalu dinikahkan dengan Raja Hastinapura. Tapi
tradisi itu dilanggar ketika yang bertahta di Hastinapura adalah Wicitrawirya, adik tiri
Bhisma. Raja Kasi malah mengadakan sayembara kemahiran bersenjata.
Laksmi tak sekedar meminjam nama tapi juga pola hubungan segitiga: Amba-Salwa-
Bhisma. Amba, seorang anak guru beradik kembar Ambika dan Ambalika. Dicomblangi
orang tuanya, Amba menjalin kasih dengan Salwa. Di Kediri ia jatuh cinta pada Bhisma.
Sementara dalam wayang Bhisma mengasingkan diri sebagai pertapa, dalam novel Laksmi
tokoh Bhisma lenyap setelah peristiwa G30S 1965. Di sini kita temukan kesamaan yang
terlalu. Seluruh bangunan kisah, tautan dengan sejarah, juga referensi data yang meyakinkan
bahwa cerita itu “sungguh terjadi”, seketika runtuh karena kesamaan yang “mustahil terjadi”.
Tapi penulis novel tentu menyadari pilihannya sendiri. Karena itu, kesamaan tersebut bisa
dimaknai positif layaknya tepukan pada bahu pembaca: betapapun terkait dengan fakta, novel
itu tetap sebuah fiksi. Lebih dari itu, saya menduga Laksmi sengaja mendedahkan paradoks
dan ambiguitas dengan membaurkan, juga membenturkan, legenda dengan sejarah, imajinasi
dengan realitas.
Saya ingat kalimat Milan Kundera, “Novelis mengajar pembaca tentang kebijakan
dan toleransi dengan memahami dunia sebagai sebuah pertanyaan.” Dengan Amba, Laksmi
tentu tak berhasrat mendesakkan jawaban, tapi jelas menawarkan banyak pertanyaan.
Bambang Sugiharto (Guru Besar Estetika; mengajar di Unpar dan ITB, Bandung)
dalam tulisannya berjudul “Amba”: Enigma Batin Manusia dan Kekonyolan Ideologi,
Rubrik Buku, Kompas edisi 11 November 2012:
Yang membuat novel Amba bukan sekedar epik sejarah ataupun roman biasa adalah
gaya penuturannya, kedalaman pelukisan psikologi para karakternya, reflektivitasnya yang
filosofis dan erudit, kecermatan pemerian latar, suasana dan duduk perkara, yang
menunjukkan riset mendalam, serta struktur pengemasannya yang eksperimental.
Hal yang langsung menonjol adalah ketrampilannya dalam mengeksplorasi kekuatan bahasa
Indonesia. Keseluruhan tuturannya tidak saja puitik dalam arti dalam arti berenda-renda,
tetapi terutama puitik dalam arti mampu mengartikulasikan situasi-situasi batin konkrit yang
sebetulnya tak terartikulasikan, melukiskan adegan-adegan yang sesungguhnya tak
terlukiskan, dan dengan cara itu setiap adegan sekaligus ditarik ke dimensi makna lebih
dalam.
Sudah banyak memang novel yang bercerita tentang tragedi tahun 1965 dengan
bermacam konsekuensi psikososialnya. Namun, tak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa
dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi, dan kedalaman visi kemanusiaan, serta
kepiawaian olah bentuknya,Amba adalah novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri,
kiranya ini adalah salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita. Semoga versi bahasa
Inggris dari novel ini tak harus menunggu terlalu lama untuk dapat disambut dunia.