Anda di halaman 1dari 14

Kartini dan Eropa: Sebuah Mimikri

This article is presented at a discussion at Teater Utan Kayu, Jakarta, to


commemorate R.A. Kartini’s birthday, 20 April 2008.
Selama ini bila Kartini dibicarakan, ia selalu dilihat sebagai sosok yang utuh dan
transparan. Atau ia sebagai feminis, sebagai pendekar emansipasi perempuan, atau sebagai
pembela rakyat, pejuang anti-kolonial.
Tapi kita perlu ingat, dalam membaca Kartini, kita sebenarnya membaca sejumlah
besar surat. Ia bukan saja berbicara mengenai “Aku” dan “Engkau” tapi juga kepada seorang
“Engkau”, yang senantiasa harus ditafsirkan dan dinegosiasi. Kartini adalah contoh
bagaimana “Aku” selalu merupakan subyek dalam proses.
Ini tampak jelas dalam surat pembuka Kartini kepada Stella Zeehandelar, seorang
feminis dan sosialis Belanda berdarah Yahudi, jurnalis majalah mingguan Belanda untuk
perempuan-perempuan muda progresif, De Hollandsche Lelie, yang mempunyai hubungan
kuat dengan gerakan sosialis ternama di Belanda:
“Panggil saja aku Kartini—itu namaku.” Kalimat ini terkenal karena menjadi judul
buku Pramoedya Ananta Toer tentang perempuan muda dari Jepara ini. Tetapi sebenarnya
sini Kartini menandaskan ke-”aku”-annya dengan memakai tatapan dan bahasa pihak Yang
Lain, yang “bukan Aku”.
“Ketika aku memberikan alamatku kepada Mev. Van Wermeskerken tentu aku tidak
bisa hanya menulis Kartini bukan, hal ini pasti akan mereka anggap aneh di Belanda dan
untuk menulis “mejuffrouw” (nona) atau sejenisnya di depan namaku, wah, aku tidak berhak
untuk itu—aku hanyalah orang Jawa.” tulis Kartini.
Ini bisa jadi semacam sarkasme, bisa murni sebuah kesantunan terhadap seorang asing
yang baru saja ia kenal. Tetapi ini juga dapat dilihat sebagai usaha menyesuaikan diri, agar
lebih mudah dipahami orang di Belanda.
Surat memang berbeda dari jurnal karena ia harus selalu menempatkan diri dalam
dialog dengan orang lain. Kadang ia berpuisi dengan liris, beretorika dengan mengumpat,
berbisik dengan lirih. Kadang ia mesra bak terhadap seorang kekasih: “Nanti, nanti, Stella,
pujaanku, saat aku sudah menggenggamnya di tanganku, erat, amat erat, sehingga tak akan
lepas, saat itulah kau akan tahu.” Tetapi kadang ia berjarak, seperti pada ketakmampuan
Kartini mengakui, dalam surat pertama, bahwa ia anak selir.
Surat berbeda dengan esai. Esai menghadirkan semacam sesuatu yang konstan
(terutama dalam struktur, metode, kronologi dan fakta sejarah yang jelas), sementara surat
sangat tergantung kepada pihak yang disurati, siapa dia, usia, ras, status sosial, ideologi dan
aliran politiknya. Surat juga tergantung suasana hati si penulis surat pada saat ia menulis.
 
Selalu “Lain” Bagi saya, Kartini adalah selalu “ia yang lain”. Ia selalu bukan ini atau itu.
Ia sosok yang selalu berada di tepi. Ia berada di tepi hierarki sosial Jawa, sebagai
bagian dari kaum priyayi rendah. Ia berada di tepi dalam hubungan kolonial, sebagai kaum
priyayi yang mendapatkan sejumlah privilese tapi juga tak bisa merealisasikannya secara
penuh. Ia berada di tepi dalam hubungan keluarga, sebagai anak kesayangan bapaknya tapi
sekaligus anak selir dan bukan anak permaisuri – yang menyebabkan ia mencintai bapaknya
sekaligus membenci hubungan poligami.
Berada di tepi mengandung kepedihan tertentu. Ia menulis: “Di satu pihak aku tidak
bisa kembali ke lingkunganku yang sebelumnya – namun di pihak lain aku juga tidak
mungkin masuk ke dalam dunia baru itu, masih ada beribu tali yang mengikatku erat kepada
dunia lamaku.”
Kepedihan itu lebih tersiat dalam hubungan keluarganya. Ia mengatakan kepada Stella
mengenai Ibunya yang “masih sangat terhubung dengan Kerajaan Madura”. Yang dimaksud
di sini tentunya adalah ibu tirinya, bukan ibu kandungnya yang datang dari kalangan
pesantren—sesuatu yang bisa kita tafsirkan sebagai gabungan rasa malunya karena bapaknya
berpoligami, rasa cemasnya bahwa fakta itu akan mengusik sensibilitas seorang feminis
seperti Stella atau rasa malunya bahwa ia hanyalah anak selir.
Kartini juga berada di tepi karena kebebasan dan pendidikan yang ia dapatkan
sebenarnya tidak luar biasa bagi ukuran Barat tapi tetap tak lazim buat negerinya. Kita
melihat Kartini tetap terbelenggu – ia tak bisa mewujudkan cita-cita tertingginya, yaitu “pergi
ke Eropa.”
Ia mendidik dirinya dengan pikiran-pikiran Barat, tapi, ketika pada usia 16 tahun
mendapatkan “kebebasan” dari bapaknya untuk keluar rumah, ia mendengar Mevrouw
Ovink-Soer, salah satu teman keluarganya, “Nak, nak, apakah kami sudah melakukan hal
yang benar dengan mengeluarkanmu dari tembok kabupaten yang tinggi itu? Apakah justru
mungkin akan lebih baik kalau kalian bertiga tetap tinggal di sana?”
 Ambivalensi Wacana Kolonial
Di sini kita lihat bahwa Kartini adalah sebuah contoh ambivalensi dalam wacana
kolonial. Kita tahu, kolonialisme (atau imperialisme) adalah puncak kapitalisme pada zaman
itu. Kapitalisme sendiri merupakan buah dari Pencerahan, yaitu ide manusia sebagai subyek
yang mandiri, yang mengalahkan alam dan yang di luar diri, yang membawa kemajuan,
seperti yang digambarkan dalam Manifesto Komunis, akan tetapi juga penjajahan. Ketika Si
Kolonialis berada di negeri jajahan, dia bertemu dengan “Yang Lain”, pihak yang dijajah
yang di luar dirinya.
Harus diapakankah orang-orang ini? Karena semangat Pencerahan adalah membawa
kemajuan maka salah satu proyek kolonialisme adalah pendidikan. Di Hindia Belanda itu
dicerminkan dalam “Politik Etis,” untuk menularkan semangat kemajuan dan pencerahan
pada Yang Lain.
Tetapi agenda Pencerah seperti yang tampak dalam “Politik Etis” mengandung risiko:
apabila proyek ini diteruskan, ia akan mengaburkan Yang Menjajah dan Yang Terjajah, dan
berbahaya bagi identitas si Penjajah. Apabila proyek itu dilakukan sepenuhnya, Yang
Terjajah bisa menuntut kesetaraan dan kemerdekaan, yang akan mengancam raison
d’etre penjajahan. Maka proyek itu dihambat sendiri “dari dalam”, oleh Yang Menjajah. Si
Terjajah harus tetap jadi “Yang Lain”, yang berbeda. Di sini yang dipertahankan pada
dasarnya adalah pengukuhan dan pelembagaan esensialisme. Esensialisme adalah sebuah
sikap yang membuat setiap perbedaan dan identitas hakiki, tak berubah-ubah dan tak
tergantung pada sejarah dan lokalitas.
Tapi pada saat yang sama Yang Terjajah tak jarang memakai kesempatan ini sebagai
perlawanan. Misalnya melalui pendidikan ia mengubah dirinya, dan dengan mengubah
dirinya ia menghancurkan esensialisme. Pengerrtian “mikiri” yang diperkenalkan oleh Homi
Bhabha, tidak sekedar meniru-niru, tetapi mengandung perlawanan. Homi Bhabha sendiri
meminjam ide mimikri ini dari Jacques Derrida, yang mengatakan bahwa mimikri atau laku
meniru tak sekadar menjiplak sebuah fenomena, ide atau sosok yang sudah ada sebelumnya,
tapi membentuk, dengan membayangkan (membawa “fantasme”) tentang suatu yang “asli”,
dan merupakan asal usul.
Kartini fasih berbahasa Belanda, mahir memasak masakan Belanda, menulis resep-
resep dengan cara Barat seperti yang dikemukakan oleh Suryatini N. Ganie dalam
bukunya,Resep-Resep Putri Jepara, dan rajin membaca buku dan jurnal yang diterbitkan di
Barat. Terkadang dilihat, sikap ini seperti meniru Si Penjajah – tetapi sebenarnya tidak hanya
itu. Inilah yang menyebabkan setiap transplantasi budaya bisa mengandung sesuatu yang
paradoksal, Tak ada lagi daya kendali yang otentik, orisinil ataupun murni; egala sesuatu
dikontaminasi atau diberdayakan oleh daya subversif imitasi. Yang “Lain” telah menjadi
“sesama” yang telah dilarutkan. Terjadilah hibriditas.
Bagi banyak wacana nasionalisme, hibriditas cenderung dianggap dengan negatif,
karena tidak murni, hingga mimikri sering nampak seakan hanya jiplakan belaka. Padahal,
seperti yang ditunjukkan Homi Bhabha, mimikri mengukuhkan dan mendistorsi otoritas
kolonial sekaligus.
Seperti yang ditunjukkan Kartini, mimikri mewakili sebuah kompromi yang
ironis:hampir sama, tapi tidak benar-benar sama. “Stella yang baik, aku sungguh bahagia
karena kau menganggapku sama dengan teman-teman Belandamu dan memperlakukanku
sama dengan mereka, dan juga menganggapku sebagai teman sepahammu. Aku tidak
menginginkan hal lain selain kau tetap memanggilku dengan ‘namaku’ juga dengan ‘je’ dan
‘jij’. Kau bisa lihat bagaimana lancarnya aku meniru contohmu.”
Apa yang kita lihat dalam diri Kartini adalah sebuah upaya yang konsisten untuk
memaknai dirinya sebagai aspek perlawanan dari mimikri. Tak jarang Kartini memposisikan
Stella, sang “pasangan jiwa”, sebagai yang lain, yang tak mengerti, yang angkuh, yang hanya
tahu sedikit-sedikit, dan yang berdiri di luar realitanya, hingga Kartini acap merasa perlu
mengangkat ke-Jawa-an sebagai sesuatu yang luhur dan berbudaya. Ini agaknya semacam
upaya mengkonstruksi sebuah identitas kolektif sebagai subyek “Budaya Jawa,” tulis Kartini
pada Stella, “tidak rendah dalam pendalaman rohaninya.”
Tapi kita tahu dalam kehendak menandaskan diri, Kartini – dan tak jarang kaum yang
dijajah umumya -- mencoba menggali tradisi, bahasa, sejarah dan agama dan membangun
ulang “sifat otentik”. Mereka melakukan ini karena tak sudi mengukur diri terhadap norma-
norma yang dalam jargon Lacan dikenal (dalam bahasa Inggris) sebagai the Big Other, atau
“Mereka” -- yaitu negara, lembaga, orang tua, yang menguasai wacana atau membentuk
identitas “aku”. Tapi dengan menandaskan “keotentikan” yang nota bene artifisial, pada
dasarnya kaum yang dijajah tetap berpikir dalam cengkeraman “Mereka”.
Dari kasus ini kita melihat bahwa Homi Bhabha hanya menyinggung satu bentuk
mimikri, yaitu meniru untuk mengguncang esensialisme. Sementara itu, menurut hemat saya,
bentuk mimikri yang lain, yang justru dalam niat melawan dengan berbeda ternyata malah
mengukuhkan esensialisme.
Itulah yang terjadi ketika Kartini bebricara kepada Stella tentang “Jawa”, seakan-akan
“Jawa” itu tidak berubah. Dalam kasus ini Kartini melakukan perlawanan dengan
mengukuhkan identitas tapi justru dengan itu ia mereproduksi wacana yang berkuasa, yaitu
esensialisme.
Tapi di sini juga kita meihat posisi Kartini sebagai orang tepian . Ia tak sepenuhnya konsisten
memuja-muja kebudayaan Jawa—apalagi dalam memuji kebudayaan Jawa itu ia mungkin
hanya melakukannya sebagai strategi identitas. Tulisnya pada Stella: “Apa peduliku soal
peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa
yang konyol itu saat berbincang dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh manusia,
bagiku itu menjijikkan.”
Tetapi mengapa ia butuh strategi identitas itu?
 “Eropa” dalam kehidupan Kartini
Di sini kita sampai pada pertanyaan: Eropa macam apakah yang masuk dalam hidup
Kartini, dan bagaimanakah ia masuk?
Pertama, melalui pendidikan. Ini dimulai dengan seorang almarhum kakek yang
“progresif” untuk zamannya: bupati pertama di Jawa yang mengundang “seorang tamu” dari
seberang lautan dan yang memberikan semua anaknya pendidikan ala Eropa. Kemudian,
seorang bapak yang melanjutkan hal ini dengan memberikan pendidikan yang kurang lebih
sama bagi anak-anaknya.
Kedua, melalui bacaannya atas literatur Eropa.
Ketiga, gaya hidup Eropa yang masuk ke rumahnya, termasuk dalam hal makanan.
Keempat, interaksi sosial, yang mencakup pergaulannya dengan orang-orang Eropa,
baik secara langsung maupun melalui korespondensi, maupun amatannya terhadap interaksi
orang Eropa dan kaum pribumi di negerinya.
Saya ingin sedikit membahas ketiga aspek terakhir. Salah satu hal yang menakjubkan
tentang Kartini bukan saja minat dan telaahnya terhadap literatur Eropa tapi juga
kegigihannya menulis. Meski dalam surat-suratnya respons terhadap bahan bacaan tersebut
tak pernah terlalu mendalam, ada kesan kuat bahwa ia memikirkan apa yang ia baca dan
membiarkan mereka memicu sejumlah sikap dan keputusannya.
Kekaguman Kartini terhadap Mevrouw Geekoop De Jong van Beeken En Donk,
penulis feminis yang sangat berpengaruh dengan bukunya, Hilda van Suylenburg, yang terbit
tahun 1897, misalnya, adalah salah satu alasan mengapa ia menolak pernikahan.
Kartini juga mengagumi Multatuli, dan mampu membandingkan kondisi masyarakat
kolonial pada zamannya dengan kondisi masyarakat kolonial dalam Max Havelaar.
Sementara itu, Kartini rajin menulis. Selain menyumbangkan sebuah tulisan tentang
batik kepada Pameran Karya Perempuan di Belanda tahun 1898, yang beberapa kali dicetak
ulang, ia pun menulis sebuah buku resep – sesuatu yang tidak lazim pada zamannya.
Dengan demikian Eropa juga masuk ke diri Kartini melalui makanan.. Buku yang
ditulis Kartini, kumpulan resep keluarganya, adalah semacam testimoni atas bagaimana cita
rasa dan cara hidup kaum elite kolonial meniru budaya si penguasa yang sebenarnya juga
tidak asli.
Ritual uurtje, misalnya, atau ritual minum teh di sore hari, sama sekali bukan
merupakan tradisi Belanda, tapi tradisi Inggris. Ritual ini hanya dilakukan oleh orang
Belanda di Hindia Belanda, yang nampaknya kurang kerjaan dan hanya bisa duduk-duduk
ongkang-ongkang kaki sambil minum teh dan makan pisang goreng di sore hari, sembari
menikmati semilir angin di sebuah petang tropis. Sementara, kebanyakan orang Belanda di
negerinya, yang kerja keras dan hidup tanpa pembantu, tak akan punya waktu untuk ritual-
ritual seperti itu.
Hal semacam ini juga tak hanya melibatkan etiket dan kebiasaan makan, tapi juga apa
yang dimakan. Apa yang dikenal di Indonesia sebagai sop sayur, misalnya, sebenarnya
adalah apa yang di Belanda dikenal sebagai groenten soep; sementara itu Madeira Sauce
yang acap ditemukan di dalam bistik yang sering dihidangkan di meja makan Kartini
sesungguhnya adalah adaptasi dari adaptasi: orang Indonesia mengadaptasi orang Belanda
yang mengadaptasi orang Prancis. Selat Solo—potongan sandung lamur dan pelbagai sayur
rebus yang diiris tipis-tipis yang disajikan dengan saus semur dan saus mayonnaise yang
mengandung banyak telur—adalah contoh makanan dalam repertoar keluarga Kartini yang
tak akan pernah ditemukan di meja makan khalayak ramai.
Dalam hal ini, kita bisa berspekulasi bahwa keputusan Kartini membuat buku resep
adalah upaya mengkonstruksikan adat atau kebiasaan bersantap orang Jawa dengan
paradigma Eropa sebagai semacam penyamaan martabat dengan budaya Si Penjajah.
Jika kita melihat adanya sikap yang bermata dua dalam kasus resep, dalam hal
interaksi sosial juga ada ambivalensi. Terhadap Stella, yang ia hormati dan sayangi, dia ingin
berlaku sama. Dengan Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan Hindia Belanda
baru yang beraliran reformis sikapnya berbeda. Perempuan ini jadi panutan dan pujaan bagi
Kartini dan adik-adiknya.
Begitu rupa kekaguman dan rasa takjub Kartini terhadap Rosa Abendanon-Mandri
hingga surat-suratnya sering “histeris” dan terbuai dalam romantismenya sendiri, atas
kondisinya dan adik-adiknya sebagai makhluk jajahan yang “telah terluka berat dan hancur
oleh kejamnya Hidup.” Ia lukiskan kebahagiaannya yang meluap-luap ketika pertama kali
bertemu dengan Rosa dan suaminya sebagai “cinta yang menderu merasuki dirinya dan
mengambil alih seluruh jiwa dan raganya tanpa ia sadari”.
Juvenilia semacam ini tak jarang ditemukan dalam orang sebaya Kartini, yang
berbakat, menonjol dan ingin diperhatikan, dan juga yang pada usia itu punya kehendak
untuk merasakan dan menuliskan keadaan jatuh cinta. Tetapi sikap ini mungkin juga
mengandung sedikit pragmatisme. Rosa dan suaminya kuat secara politis, dan berkuasa atas
nasib pendidikannya.
Amat mungkin juga karena Rosa berbeda. Latar belakang Rosa sebagai orang Spanyol
yang lahir di Puerto Rico, sesuatu yang Kartini asosiasikan sebagai kedekatan intrinsik
dengan Jawa. Ini praktis membuat Rosa juga sesama orang asing di tengah komunitas orang
Eropa yang diwakili Belanda. Seperti yang Kartini kemukakan dalam suratnya: “Dia, Rosa,
adalah orang asing, seorang dari Spanyol yang penuh kehangatan, yang memukau, indah,
romantis.”
Pada akhirnya, Rosa tampil sebagai pribadi, bukan wakil sebuah ras yang superior,
seperti paradigma yang ditekankan orang Belanda di zaman kolonial itu.
Pada titik ini, yang bisa disimpulkan Eropa atau Belanda bagi Kartini tidak tunggal,
tidak mempunyai hakikat atau esensi yang kekal. Kita bisa mencatat kebencian Kartini
terhadap wajah Belanda yang zalim, yang sombong, congkak, rakus dan semena-mena, hal
yang sering ia temukan dalam perjalanannya menemani bapaknya sang bupati Jepara yang
peduli pada nasib rakyat kecil. Tak ada lagi Kartini si anak kecil haus perhatian, Kartini yang
sentimental. Surat-suratnya yang menjelaskan hubungan kolonial yang eksploitatif itu,
sungguh luas dan dalam mengupas anatomi penjajahan yang berujung pada kemiskinan,
keterpurukan dan keterbelakangan.
“ … dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang
kera yang mengerikan.’ Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan “Hindia yang
miskin.” Orang mudah sekali lupa kalau “negeri kera yang miskin ini” telah mengisi penuh
kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama
saja tinggal di sini.”
 Nasionalisme yang universalis 
Sebagai penutup, tidak berlebihan rasanya untuk mengatakan bahwa Kartini telah
mempelopori sebuah kesadaran identitas diri yang merupakan dasar nasionalisme Indonesia
kelak, yang tidak berdasarkan identitas etnik atau budaya yang permanen. Bisa jadi Kartini
mendahului pemikiran kaum nasionalis di Indonesia yang kemudian datang: nasionalisme
yang berdasarkan kepada sifat universal yang ada pada sesama.
Ia mengatakan pada Stella bahwa ia ingin “bekerja tidak hanya untuk kepuasan
dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan
sesamanya” dan “aku tak ingin apapun kecuali mengabdikan diriku secara utuh untuk
melakukan hal-hal seperti yang telah dilakukan kaum perempuan di Eropa”.
Sekaligus ia menjelaskan bahwa “Bisikan itu tak hanya datang dari luar, dari mereka
yang sudah beradab, dari Benua Eropa …”, tapi bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang
membisikkan keinginan itu jauh sebelum ia bisa mendapat akses kepada buku dan artikel
Eropa tentang modernitas.
Artinya, ia melihat bahwa tuntutan untuk merdeka juga bisa datang dari seorang
perempuan Jawa, ketika perempuan itu tertindas. Tuntutan itu universal, bisa datang dari
semua bangsa di muka bumi.
Dan ini semua hanya bisa dikemukakan oleh orang di tepian, yang identitasnya tidak
dikurung dalam sesuatu yang partikular.
20 April 2008

Simon Winchester dan Sejarah Populer

Tempo Magazine, 2003


Saya ingin memulai catatan mengenai Simon Winchester ini dengan mengutip John Banville:
“Inilah novel paling mengagumkan yang tidak ditulis oleh Patrick McGrath.” (“This is the
most fascinating novel Patrick McGrath did not write.”) 
Novel yang dimaksud adalah Professor and a Madman(yang di Inggris beredar
dengan judul Surgeon of Crowthorne). Inilah karya Winchester yang mengawali
transformasinya dari seorang travel writer yang produktif menjadi salah satu penulis
terpopuler di dunia dalam enam tahun terakhir. Novel yang terbit tahun 1998 tersebut
bercerita mengenai dua leksikografer yang serius, terpelajar dan memiliki banyak kesamaan -
kecuali bahwa yang satu adalah seorang tokoh masyarakat yang dihormati; dan yang lainnya
seorang yang tak waras, seorang yang pernah membunuh. Nasib mempersatukan mereka
dalam sebuah proyek yang mengukuhkan kedigdayaan kerajaan Inggris di paruh kedua abad
ke 19: sebuah institusi bernama Kamus Inggris Oxford (Oxford English Dictionary, OED).
Kamus 12 jilid ini, yang penggarapannya memakan waktu 70 tahun dan melibatkan lebih dari
setengah juta kata, ribuan kutipan dan ratusan kontributor, menjadi kamus paling
berpengaruh di dunia. 
Formula yang membuat novel ini laku di pasar dan di antara para kritikus arus tengah
– sejarah yang mempunyai banyak suara, di mana sains bersenyawa dengan komedi, sejarah
dengan cerita misteri, fiksi dengan biografi, bahasa non-fiksi dengan (sedikit) sensibilitas
sastra – telah menjadikan pengarangnya seorang bintang. Ia dianggap telah menghidupkan
sastra “hybrid”, julukan umum bagi persandingan fiksi dengan fakta, yang ilmiah dan yang
komersial, sebagai salah satu cara untuk mengakali penulisan sejarah yang cenderung kering
dan menjemukan. Empatinya bagi tokoh-tokoh pembaharu yang cenderung “terlupakan” oleh
sejarah, yang, meminjam kata-kata Chairil Anwar dalam sajaknya Isa, membawa “terang di
mata masa”, telah membetik gairah publik (terutama publik Inggris) tidak hanya untuk
menyimak kembali peran Kerajaan Inggris dalam perkembangan peradaban dunia, tapi juga
untuk melongok, dengan santai, ke masa lampau.
Pujian pun datang berhamburan. Buku laris manis. Nama pengarangnya melambung
ke daftar penulis terlaris The New York Times. Ketika anggaran promosi mulai seret, sang
penerbit, Harper Collins, mulai “menjual” sang penulis. Roadshow digelar. Wawancara
bertumpuk. Fotonya muncul di situs-situs internet. Sejarah, agaknya, telah menjadi
“populer.” Dan sang penulis tak lagi bertanya kepada rekan-rekannya yang lebih terkenal,
seperti ketika ia bertanya kepada travel writer Jan Morris (ketika ia masih James Morris),
“Bolehkah aku menjadi kamu?”
Begitu rupa hingga Krakatoa, karya Winchester yang terbaru, menjadi karya non-fiksi
dengan jumlah resensi terbanyak tahun ini. Semua asumsinya, termasuk bahwa letusan
gunung Krakatau pada tahun 1883 merupakan awal pertumbuhan kaum Islam militan di
Indonesia, ditelan bulat-bulat bagaikan sebuah epifani; bayang-bayang 911 dan bin
Ladenisme turut meneguhkannya. Dengan demikian, sebuah metamorfosis telah terjadi, dan
dunia mendapatkan Simon Winchester baru: geolog, sejarawan, jurnalis, penulis kisah
perjalanan, pendukung sekaligus pengejek the British Empire, dan “ahli Islam”.
Bagaimanapun juga, seperti judul esai Rick Moody dalam buku Readers’ Guide to 20th
century Contemporary Writers versi Salon.com, ini zaman “postmodernisme tanpa
kepedihan” (“postmodernism without pain.”) 
Mengapa kutipan di atas penting? Karena dua nama yang telah disebut, John Banville
dan Patrick McGrath, mengingatkan kita setidaknya pada tiga hal: bahwa kutipan di atas
adalah bagian yang “lenyap” (sengaja atau tidak) dari kutipan yang muncul di sampul
belakang buku Winchester; bahwa sastra “hybrid” tidak mulai dengan seorang Simon
Winchester; dan bahwa eksperimen - dari Aeneid sampai The Divine Comedy, dari Rabelais
sampai Sterne, dari Joyce sampai Beckett - adalah sesuatu yang selamanya implisit dalam
narasi.
Pada novel-novel Banville, penulis Irlandia kelahiran 1945 itu, kita akan menemukan
kemajemukan yang sama: sains, politik, seni, humor “tiang gantungan” ala Beckett, orientasi
mitologis ala Yeats dan misteri ala Wilkie Collins – pencampuran segala ragam unsur dalam
satu paket. Apapun subyeknya, komunisme, psike seseorang yang dihukum gantung, atau
hidup seorang Copernicus, Banville, sekurang-kurangnya, adalah tiga hal sekaligus: seorang
Irlandia, seorang stylist yang mahatrampil, dan seorang penafsir sejarah yang cermat. Ini
nampak terutama pada dua novelnya, Kepler dan Doctor Copernicus, masing-masing sebuah
perjalanan ke masa lalu yang dipertajam oleh prosa yang musikal dan rekonstruksi yang
jernih tajam atas perdebatan ilmu pengetahuan pada zaman Pencerahan. Dalam novelnya
yang terakhir, The Untouchable, sebuah karya fiksi berdasarkan kehidupan sejarawan seni
rupa dan mata-mata Inggris terkenal Sir Anthony Blunt, Banville antara lain mengisahkan
dengan lincah skandal yang dikenal dengan sebutan Espionase Orang Keempat (The Fourth
Man Espionage). Menarik, apa yang kita bisa kutip dari Winchester seandainya ia balik
mengomentari karya-karya Banville.
Dalam kadar yang berbeda, novel-novel Patrick McGrath juga merayakan yang
lampau, yang mendua dan bercabang, yang tetap relevan: kekerasan, ketidak warasan,
keterpesonaan terhadap hal-hal kuno, komedi yang menakutkan. Kebetulan yang lain:
McGrath lahir dan dibesarkan di dekat Rumah Sakit Broadmoor, kediaman W.C. Minor,
salah satu protagonis dalam Professor and a Madman, di mana ayahnya adalah seorang
pengawas medis. Namun, di balik kekayaan detail Gothic-nya – rumah-rumah besar setengah
ambruk, rahasia-rahasia yang terkubur, kematian-kematian misterius – niatnya sepenuhnya
modern. Dalam hal ini ia memiliki kesamaan dengan Winchester, sesama orang Inggris yang
terangsang oleh obsesi-obsesi kerajaan Inggris periode Victoria: mereka cenderung
menjunjung tokoh-tokoh progresif, tertindas, dan yang sekaligus tak dapat dipercaya. (W.C.
Minor dalam The Professor and the Madman, William Smith dalam The Map that Changed
the World, Spider dalam Spider).
Perbedaannya: apabila Winchester lebih menyukai sisi pembaharu, sisi kepeloporan sejarah,
McGrath cenderung menggeser perhatian ke luar panggung. Di mana Winchester ingin
menyingkap, menggelembungkan dan merengkuh pengakuan bagi tokoh-tokohnya, McGrath
ingin menggali, menyusup, masuk ke dalam. Bagi Winchester, sejarah peradaban harus
berpuncak pada mereka yang diakui sebagai jenius; bagi McGrath, dan juga Banville, sejarah
ada di detak jantung seorang Stella Raphael ketika ia menghilang di balik rerimbunan pohon
bersama kekasihnya, di seorang Freddie Montgomery, yang berpikir mengenai selnya di
penjara, apa-apa yang dilihat dan diciumnya di sana, sembari menanti ajal di tiang gantungan.
Bagaimanapun, modernisme Winchester menyiratkan sesuatu yang lain dari kehendak
bermain-main dengan medium dan bentuk. Ia bukan sastrawan yang menafsirkan sejarah; ia
adalah seorang pemburu riwayat hidup profesional. Oleh karena itulah ia tidak begitu tertarik
pada rekonstruksi sejarah yang imajinatif, bahkan fiksional, sebagai medium bagi “the
authorial voice” (yang nampak jelas pada Banville, terutama pada novel sejarahnya yang
cemerlang, Dr. Copernicus). Yang ditawarkannya adalah keragaman informasi. 
Dengan demikian, bentuk pun mengikuti motif, sesuatu yang tidak perlu tampil ketat,
monokromatik, atau sebagai sebuah oksimoron apabila pengarangnya tak menghendakinya.
Tak heran kalau kita pun takjub bahwa Kamus Inggris Oxford (OED), sebuah institusi zaman
Victoria yang begitu tegap kekar, yang prinsip-prinsipnya seakan menjelaskan dirinya sendiri
(bahwa OED, berbeda dengan kamus-kamus lainnya, adalah kamus satu-satunya di dunia
yang mengumpulkan kutipan dari sumber-sumber penggunaan bahasa Inggris lainnya sebagai
pemandu konteks; dan bahwa oleh karena itulah ia harus direvisi terus-terusan, yang
memakan biaya besar) ternyata “menyimpan” begitu banyak warna dan cerita. Atau bahwa
riwayat hidup seorang leksikografer, yang menurut wakilnya yang paling terkenal Samuel
Johnson, adalah “penulis kamus; seorang yang membosankan namun tak berbahaya; yang
menyibukkan dirinya dengan melacak sumber, dan menguraikan signifikansi kata-kata.” (hal.
95), bisa diangkat sebagai subyek sebuah buku dengan niat dan tujuan yang sepenuhnya
komersil.
Di titik ini, figur William Chester Minor menjadi penting, karena tanpanya karya ini
mungkin tak akan pernah tertuliskan. Kontributor paling berharga bagi proyek OED ini jauh
dari “membosankan” atau “tak berbahaya”. Orang Amerika dari keluarga kaya ini adalah
seorang ahli bedah Angkatan Darat yang pernah ikut Perang Saudara. Ia juga seorang
pembunuh yang mengirim sekurang-kurangnya 10.000 kata kepada ketua editor OED James
Murray dari sebuah sel penuh buku di Broadmoor, di Rumah Sakit Khusus bagi Penjahat-
Penjahat Tidak Waras. Ia adalah seorang paranoid yang melihat makhluk-makhluk aneh
menyelinap ke dalam selnya di tengah malam, dan melakukan hal-hal yang ganjil padanya.
Suatu hari, ia mengikis penisnya sendiri dengan sebilah pisau lipat. Bandingkan ia dengan
sosok Murray: editor pertama OED, seorang filolog dan leksikografer yang dihormati,
seseorang berlatar belakang keluarga sederhana dengan ambisi yang besar. 
Esensi hubungan mereka telah terangkum baik dalam prolog yang singkat tapi
mengena: dimulai dengan panggilan publik untuk mengirim kontribusi kepada redaksi OED,
sampai momen kebenaran itu: percakapan yang berlangsung antara James Murray dan
pengawas Rumah Sakit Khusus Broadmoor, di sebuah desa kecil bernama Crowthorne, pada
tahun 1896. Latar belakang keduanya dikisahkan dengan tempo dan enerji naratif yang
mengasyikkan, melalui aneka anekdot dan fakta ‘kecil’ yang menyenangkan (salah satu
sahabat dan kolega Murray, seorang ahli fonetik berwatak keras, adalah model yang
digunakan Bernard Shaw bagi tokoh Henry Higgins dalam Pygmalion). Selebihnya, prosa
yang jernih, lugas, hampir tanpa cacat: bahasa non-fiksi dengan wawasan fiksi.
Bagaimanapun juga, menyeimbangkan yang populer dengan yang akademis bukan
saja tak mudah, tapi juga memerlukan sebuah pilihan yang tegas; dalam hal ini pengarangnya
telah membuat sebuah keputusan politis. Ia telah memilih pembaca awam, dan, seperti dalam
seni konseptual (conceptual art), demikianlah Simon Winchester menjajakan karya sekaligus
dirinya sendiri sebagai barang yang dimaknai dan didefinisikan terus-menerus oleh
penulisnya. Simon Winchester telah menjadi sebuah merk, sebuah identitas, sebuah brand
name - yang berkibar di atas karakter-karakter yang diselaminya.
Biografi versus fiksi 
Penulis yang memulai karir jurnalistiknya pada tahun 1972 sebagai
koresponden Guardian di Amerika ini memang produktif. Dalam 20 tahunnya bekerja untuk
koran Inggris yang kekiri-kirian tersebut, di mana ia banyak memenangkan penghargaan, ia
telah menulis untuk The Atlantic Monthly, The Daily Telegraph, The Spectator,
Harper’s dan Smithsonian. Ia pernah tinggal di India, Hong Kong, dan Uganda. Sebagai
penulis kisah perjalanan, orang yang sekarang menjabat editor Asia Pasifik majalahConde
Nast Traveler ini menyukai proyek-proyek besar: Korea, Sungai Yangtze, Hong Kong,
Kosovo semua yang, ia akui sendiri, “tidak menghasilkan uang.” dan tidak selalu
mengundang puji. Karyanya berjudul A Fracture Zone: A Return to the Balkans, misalnya,
yang dalam kata-kata Aleksandra Prietsfield, tak lebih dari sebuah “buku bandwagon”,
dianggap gagal total baik sebagai sebuah reportase perjalanan maupun sebagai sebuah
analisis politik yang netral. Ia dianggap terlalu partisan, terlalu berpihak. “Tiba-tiba, saya
berganti haluan, dari kisah perjalanan ke sejarah.” kata Winchester dalam sebuah wawancara,
“Dan, anehnya, The Professor and the Madman sukses besar.”
Apa gerangan yang menyebabkan “sukses besar” tersebut – di mana biografi tidak
hanya melancarkan kritik terhadap historiografi namun juga sekaligus mencari dan
mengukuhkan pahlawan? Kita tahu, biografi dan fiksi adalah dua hal yang berbeda: untuk
meminjam pikiran Peter Ackroyd, “biografi adalah seni menyembunyikan sedang fiksi seni
mengungkapkan sesuatu.” Masih menurut Ackroyd, dalam novel orang malah dipaksa
menceritakan kebenaran, sedang dalam menulis biografi orang bebas menciptakannya. Juga
tersedia begitu banyak cara dan perlakuan yang memudahkan pengarang biografi untuk
menyembunyikan yang kurang, baik pengetahuan maupun pemahaman. 
Saya rasa ada dua jawaban. Pertama, distingsi antara fiksi dan biografi inilah yang
mendorong Winchester, baik sengaja atau tidak, untuk tidak (secara sadar) menggabungkan
kedua-duanya. Secara instinktif ia tahu bahwa ia seorang pengamat kehidupan dan pembaca
sejarah yang peka; dan, pada saat yang sama, ia pun sadar bahwa ia seorang tukang cerita
yang trampil. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa pengalamannya menulis The
Professor and the Madman “… menyadarkan saya bahwa saya seorang tukang cerita yang
baik. Yang terpenting, saya tahu bagaimana membuat sebuah cerita menarik. Tapi saya juga
tahu kapan harus berhenti, sebelum cerita menjadi membosankan.” Maka ia tak merasa perlu
menulis sebuah novel sejarah (the historical novel). 
Tapi bukannya lebih mudah. Menulis karya non-fiksi untuk kalangan awam, dan
mencoba mempertahankan perhatian mereka terus-menerus, melibatkan banyak kompromi.
Winchester sering kali tergelincir ke dalam suaranya sendiri, yang di beberapa bagian
terkesan anakronistik atau terlalu personal. Salah satu kecenderungannya adalah
menyandingkan, secara elementer, lanskap kaya dan miskin. Deskripsi fisik yang jelas lugas
– ini merupakan salah satu kekuatan Winchester - tidak disertai ironi seorang Orwell,
misalnya; simak bagian mengenai Lambeth Marsh, daerah di mana Minor mencabut nyawa
seorang pekerja pabrik bir yang disangkanya seorang pembunuh bayaran, sebuah daerah yang
terkesan tidak saja tidak dicintai, tapi tak akan pernah bisa dicintai. Di New Haven, tempat
Minor dimakamkan, kita dihadapkan pada sebuah kuburan yang dipagar tegar dari “bagian
New Haven yang marah”, yang selanjutnya dikontraskan dengan “keanggunan Yale.” Tujuh
halaman kemudian, penulis merasa perlu mengingatkan bahwa makam Minor terhimpit di
antara “sampah dan kampung kumuh.”
Kita lihat hal yang sama di A Fracture Zone: di mana teknik pengontrasan yang
sangat hitam-putih terpaksa menyulut rasisme yang lebih dalam: sebuah kantong pemukiman
Serbia di Bosnia yang begitu jahat dan buruk rupa, seorang ibu muda di sebuah padang
rumput penuh dengan pengungsi Albania, yang “… bisa menjadi model keibuan, kebajikan
dan seluruh keindahan manusia.
Polaritas ini muncul lagi di dalam karya Winchester yang lain, The Map that Changed
the World. Lagi-lagi, negativitas demi negativitas yang mengatasnamakan kemenangan Si
Miskin dan Berbakat atas Si Kaya dan Sombong bukan saja menyeret cerita ke dalam
mediokritas, tapi juga membawa efek sebaliknya. 200 tahun setelah William Smith
mendapatkan pengakuannya, dunia kita toh tidak jadi lebih adil. 
Bagaimanapun, tahan diri itu tetap ada, walaupun dalam bentuk lain: kekaguman
Winchester pada kedua tokohnya tidak menghasilkan empati yang berlebihan. Berbeda
dengan McGrath, yang selalu menyelam jauh ke dalam psike tokoh-tokohnya, Winchester
tidak membuang waktu untuk menjelas-jelaskan. Kondisi mental Minor, misalnya, disiratkan
hanya sebagai sesuatu yang ada hubungannya dengan pengalamannya semasa perang. Ironi
kehidupan dalam selnya di Broadmoor, yang jauh lebih manusiawi dari hari-harinya di
Angkatan Darat, tak diberi (dan tak butuh) perincian. Dalam karya ini, Minor umumnya
tampil sebagai seorang yang terpelajar, terhormat – hanya saja kurang beruntung.
Jarak emosional yang sama juga terlihat dalam karya “hybrid”nya yang kedua, The
Map that Changed the World. Ini menarik. Pertama, karena novel ini bercerita mengenai
hidup William Smith, orang pertama di dunia yang membikin peta geologi (dalam kasus ini,
tentu saja peta Inggris). Kedua, karena pengarangnya adalah seorang geolog yang peduli,
yang belajar geologi "24 jam sehari selama tiga tahun” dengan “niat penuh untuk mencari
nafkah dari bidang tersebut", dan yang selepas kuliah pergi ke Uganda Barat dan bekerja di
sana sebagai prospektor tembaga. Ia juga seorang penggila peta, yang menganggap kartografi
sebagai salah satu instrumen sejarah terutama. Namun, lagi-lagi, dalam pertarikan antara
kedisiplinan biografi dan pesona fiksi, gairah membangun pahlawan tidak harus berarti
pengkultusan tokoh.
Tokoh sejarah sebagai entry-point
The Map that Changed the World mengukuhkan asumsi ini; pada akhirnya ia lebih
mengenai evolusi ilmu geologi ketimbang mengenai hidup William Smith. Tapi, berbeda
dengan The Professor and the Madman, yang topik utamanya - pelembagaan bahasa Inggris -
adalah sebuah topik yang dengan sendirinya mempesona, penjabaran seluk-beluk ilmu
geologi di penghujung abad ke 19 bukannya menambah, tapi malah mengganggu
pengembangan karakter Smith. Penggunaan pertanda dan ikhtisar cenderung
memajalkan suspense. Digresi ke dalam segala rupa anekdot jenaka seputar geologi - ciri
yang digali habis-habisan dalam karya Winchester yang terakhir, Krakatoa – malah terkesan
menutupi kekurangan pengarangnya: bahan, pemahaman, motif, atau tiga-tiganya.
Tidak jelas juga apakah hidup seorang William Smith, yang lahir tahun 1769 ini,
adalah sebuah pusat sekaligus perekat cerita yang kuat. Winchester pertama kali mendengar
nama Smith ketika masih kuliah di Oxford. “Saya mulai tertarik pada sosok ini karena mentor
saya Harold Reading sangat mengaguminya.” katanya. 
Masa kecil Smith sendiri tak bahagia: ia miskin, yatim piatu, bukan orang sekolahan. Ia
menyiasati hidup seperti ribuan orang lainnya: melalui keyakinan dan kerja keras. Namun ia
cerdas, tanggap, dengan daya observasi di atas rata-rata. Dalam hari-harinya sebagai seorang
surveyor, ia melihat, menyerap, meneliti, membuat hipotesa, bereksperimen, mencari
konfirmasi atas teori. Ia mencatat, menggambar, memetakan semua singkapan yang ia
temukan, dan menghubungkan semua titiknya. Hasilnya, sebuah peta, muncul tahun 1815:
untuk pertama kali, manusia melihat dunia yang terhampar di bawah permukaan bumi - dunia
yang berwarna, yang rinci, yang penuh keajaiban. Seperti umumnya sebuah penemuan baru,
peta tersebut disanjung dan dihujat sekaligus: yang pertama karena nilainya bagi kehidupan
niaga, yang kedua bagi serangan implisitnya terhadap salah satu mitos (baca: kemalasan)
Gereja: penafsiran literal atas fenomena penciptaan di dalam Alkitab. Di sini, kita
mendapatkan satu lagi pertanda: teori evolusi Darwin sebagai tema besar Simon
Winchester. Krakatoa mengukuhkannya.
Sayang, keberuntungan Smith hanya seumur jagung: empat tahun kemudian, hutang
menjebloskannya ke penjara, dan penemuannya menjadi ladang subur para plagiat.
Sumbangannya bagi dunia ilmu pengetahuan baru diakui lama setelah ia keluar dari penjara.
Pendeknya, sebuah kisah yang klasik: kenaikan, kejatuhan, kebangkitan, sambutan.
Penemuan, keputusasaan, penebusan. Tentu saja, ada selingan-selingan segar, dan
keingintahuan-keingintahuan yang tak terjawab: sang istri yang gila seks, masalah hutang,
detail-detail sejarah makro tak tergali. Tapi Winchester si jurnalis menahan diri: dari sok tahu
maupun fiksi. 
Pada akhirnya, memang, tokoh sejarah hanya menjadientry point, titik masuk, ke
dalam topik-topik khusus yang dekat dengan pengarangnya. Pada saat yang sama kebanyakan
orang Indonesia tak akan puas dengan Krakatoa (lihat review), hampir semua manusia yang
menghargai bahasa Inggris akan merasakan kenikmatan luar biasa membaca The Professor
and the Madman. Ini karena Krakatoa adalah sekadar tokoh, atau entry-point, bagi
pengarangnya, dengan geologi dan teknologi komunikasi sebagai topik utamanya. Sementara,
bagi kita, Krakatoa adalah kita. 
Saya teringat sebuah pasase dalam The Professor and the Madman, yang muncul di
pertengahan cerita. 400 tahun yang lalu, kata sang pengarang, seorang William Shakespeare
tidak merasakan kemewahan yang menjadi bagian hidup kita sehari-hari: mengecek arti,
pengejaan, maupun sinonim sebuah kata dalam sebuah kamus (“to look something up”).
Lepas dari kompetensi thesaurusThomas Cooper, dan Arte of Rhetorique karya Thomas
Wilson –yang diyakini beberapa sejarawan sebagai “referensi linguistik” yang digunakan
oleh Shakespeare, kita tak akan pernah tahu apakah kata consanguineousatau istilah now is
the woodcock near the gin benar-benar digunakan orang atau hanya merupakan produk
imajinasi (ataupun frustrasi) seorang jenius. 
Baru-baru ini, seorang bijaksana, yang sehari-harinya bergulat dengan kata,
mengatakan: “Saya rasa apabila Shakespeare hidup pada zaman ini, ia tak akan mengerti apa
yang dibicarakan orang.” Tentu. Bayangkan saja:Download, log on, buzz off. Sebagaimana
kita tak langsung mengerti apa yang dimaksudkan oleh frasa thy doublet of changeable
taffeta. Kecuali, mungkin, kalau kita curi waktu sedikit untuk membaca-baca OED.
2003

Mereka bicara novel Amba


Posted on  November 12, 2012   by  kyaine

Sejak novel Amba diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada awal Oktober 2012
yang lalu, setidaknya saya sudah membaca tiga ulasan panjang tentangnya yaitu oleh
Goenawan Mohamad (GM), Sitok Srengenge dan Bambang Sugiharto.  Saya tertarik novel
karya Laksmi Pamuntjak setebal 494 halaman ini, gara-gara membaca Caping-nya GM.
Sebelumnya saya membaca tulisan Laksmi bukan dalam bentuk novel, tetapi lewat tulisan-
tulisannya yang dimuat di Tempo.
Novel ini bercerita tentang Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil di Jawa
Tengah yang pada tahun 2006 pergi ke Pulau Buru. Ia mencari orang yang dikasihi, yakni
Bhisma. Lelaki ini dikenal Amba di kota Kediri ketika ia bertugas sebagai penerjemah di
sebuah rumah sakit. Bhisma, dokter lulusan Leipzig Jerman Timur bekerja sebagai dokter di
rumah sakit itu. Di sana mereka bertemu dan memadu kasih. Hubungan kasih mereka putus
karena adanya peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang
selamanya. Padahal Bhisma memberinya seorang anak di luar nikah. Apa yang didapati
Amba di Pulau Buru sungguh menyedihkan. Ternyata Bhisma mati.
Lalu, apa kata mereka bertiga tentang novel Amba? Berikut saya kutipkan sebagian
kecil pendapat mereka.

Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir yang berjudul Amba, Tempo edisi 7


Oktober 2012:
“Hari ini kau kembali dalam diriku seperti bintang di langit itu – sesuatu yang ada di
antara kerdip dan hilang, yang selalu muncul pada titik di mana lupa menyiapkan
kekosongan.”
Bhisma, dokter yang dibuang ke Pulau Buru dalam novel Laksmi Pamuntjak, Amba,
menulis kalimat pendek itu bertanggal 28 Desember 1973. Ia menuliskannya untuk
perempuan yang ditinggalkannya di Jawa, dan kemudian menyimpan surat itu di bawah
sebatang pohon. Ia tak pernah tahu apakah Amba, perempuan itu, akan menemukan dan
membacanya; dokter itu tak pernah kembali, setelah hilang sejak 1965.
Amba adalah salah satu novel yang menegaskan rasa cemas yang merundung kita di
Indonesia hari ini: cemas bila “peristiwa 1965″ yang menakutkan itu akan hilang, tanggal dari
ingatan bersama. Kita tak ingin kembali buas.
Tak janggal bila akhir-akhir ini peristiwa itu hadir dalam satra
(sebelumAmba misalnya ada Candik Ala 1965 Tinuk R. Yampolsky, Blues
MerbabuGitanyali, dan setelah Amba, akan ada novel Pulang Leila S. Chudori). Yang
membuat Amba berbeda adalah ceritanya tentang kehidupan para tahanan politik di Pulau
Buru, lewat surat-surat Bhisma yang disembunyikan: ada kemarahan terhadap kekejaman,
tapi juga humor, rasa terharu, bahkan optimisme. Tiap surat menggugah.
Amba membiarkan titik-titik misteri. Tapi ia memilih bentuk yang lebih “realistis”, dengan
membiarkan benturan antara mithos (kisah Bhisma dan Amba dalam Mahabharata) dan
sejarah, antara sejarah dengan kehidupan orang seorang. Novel ini, dengan riset yang
mengesankan, tak bermain-main. Tanpa memperpanjang yang tragis dan seram dari
1965, Ambatampaknya menyadari satu hal, dan ini dibawakannya dengan elegan: luka
sejarah bisa disembuhkan, tapi tak sepatutnya menyebabkan orang ketawa.

Sitok Srengenge (Penyair) dalam tulisannya yang berjudul Ambiguitas Amba, Rubrik


Buku, Tempo edisi 4 November 2012:

Kehadiran sebuah “novel sejarah” tentu bukan sebagai apriori. Ada dorongan mimesis
yang hendak menautkan cerita dengan pengalaman nyata. Atau cerita itu adalah rekonstruksi
atas peristiwa yang sungguh terjadi. Amba, dengan memilih konflik politik sekitar 1965
beserta sebagian dampak sosiologisnya, dikuatkan dengan data dan referensi, terasa cukup
meyakinkan dan berpeluang menyentuh memori kolektif pembaca Indonesia.
Namun, meminjam nama-nama dari Mahabharata, menggunakannya untuk karakter-
karakter “novel sejarah” dengan pola tautan nasib yang serupa, bisa mengundang pertanyaan.
Dalam pewayangan, Amba dan kedua adiknya, Ambika dan Ambalika, adalah putri Kerajaan
Kasi. Menurut tradisi, putri Kerajaan Kasi selalu dinikahkan dengan Raja Hastinapura. Tapi
tradisi itu dilanggar ketika yang bertahta di Hastinapura adalah Wicitrawirya, adik tiri
Bhisma. Raja Kasi malah mengadakan sayembara kemahiran bersenjata.
Laksmi tak sekedar meminjam nama tapi juga pola hubungan segitiga: Amba-Salwa-
Bhisma. Amba, seorang anak guru beradik kembar Ambika dan Ambalika. Dicomblangi
orang tuanya, Amba menjalin kasih dengan Salwa. Di Kediri ia jatuh cinta pada Bhisma.
Sementara dalam wayang Bhisma mengasingkan diri sebagai pertapa, dalam novel Laksmi
tokoh Bhisma lenyap setelah peristiwa G30S 1965. Di sini kita temukan kesamaan yang
terlalu. Seluruh bangunan kisah, tautan dengan sejarah, juga referensi data yang meyakinkan
bahwa cerita itu “sungguh terjadi”, seketika runtuh karena kesamaan yang “mustahil terjadi”.
Tapi penulis novel tentu menyadari pilihannya sendiri. Karena itu, kesamaan tersebut bisa
dimaknai positif layaknya tepukan pada bahu pembaca: betapapun terkait dengan fakta, novel
itu tetap sebuah fiksi. Lebih dari itu, saya menduga Laksmi sengaja mendedahkan paradoks
dan ambiguitas dengan membaurkan, juga membenturkan, legenda dengan sejarah, imajinasi
dengan realitas.
Saya ingat kalimat Milan Kundera, “Novelis mengajar pembaca tentang kebijakan
dan toleransi dengan memahami dunia sebagai sebuah pertanyaan.” Dengan Amba, Laksmi
tentu tak berhasrat mendesakkan jawaban, tapi jelas menawarkan banyak pertanyaan.

Bambang Sugiharto (Guru Besar Estetika; mengajar di Unpar dan ITB, Bandung)
dalam tulisannya berjudul “Amba”: Enigma Batin Manusia dan Kekonyolan Ideologi,
Rubrik Buku, Kompas edisi 11 November 2012:

Yang membuat novel Amba bukan sekedar epik sejarah ataupun roman biasa adalah
gaya penuturannya, kedalaman pelukisan psikologi para karakternya, reflektivitasnya yang
filosofis dan erudit, kecermatan pemerian latar, suasana dan duduk perkara, yang
menunjukkan riset mendalam, serta struktur pengemasannya yang eksperimental.
Hal yang langsung menonjol adalah ketrampilannya dalam mengeksplorasi kekuatan bahasa
Indonesia. Keseluruhan tuturannya tidak saja puitik dalam arti dalam arti berenda-renda,
tetapi terutama puitik dalam arti mampu mengartikulasikan situasi-situasi batin konkrit yang
sebetulnya tak terartikulasikan, melukiskan adegan-adegan yang sesungguhnya tak
terlukiskan, dan dengan cara itu setiap adegan sekaligus ditarik ke dimensi makna lebih
dalam.
Sudah banyak memang novel yang bercerita tentang tragedi tahun 1965 dengan
bermacam konsekuensi psikososialnya. Namun, tak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa
dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi, dan kedalaman visi kemanusiaan, serta
kepiawaian olah bentuknya,Amba adalah novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri,
kiranya ini adalah salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita. Semoga versi bahasa
Inggris dari novel ini tak harus menunggu terlalu lama untuk dapat disambut dunia.

Anda mungkin juga menyukai