Anda di halaman 1dari 5

De Machstaat

Negara Kekuasaan

Pasca pemberontakan PKI yang gagal pada tahun 1926, pemerintah Hindia Belanda mulai
memperketat pengawasan terhadap berbagai partai politik yang dicurigai sebagai pelopor
pergerakan melawan pemerintah Hindia Belanda. Pengawasan melekat, penyusupan mata mata,
pelarangan rapat rapat politik hingga tindakan kekerasan secara langsung yang menjurus pada
penghilangan paksa dan pembunuhan pun diberlakukan pemerintah Belanda untuk melancarkan
niatnya.

Namun segala tindakan represif pemerintah Hindia Belanda ini justru memicu semangat
pembalasan yang sama kerasnya dari pihak pergerakan. Sel sel perlawanan radikal akhirnya muncul
dimana mana untuk melawan tekanan pemerintah Belanda. Penyusupan dibalas dengan
penyusupan, penculikan dibalas dengan penculikan, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan.

Di tengah riuhnya kondisi perpolitikan Hindia Belanda masa itu tersembunyi kisah kisah tragis
yang mewarnai coretan sejarah Indonesia masa lampau. Murninya sebuah kemerdekaan nyatanya
hanya bisa diraih dengan cara cara yang jauh dari kemurnian sebuah kebenaran.

Sebuah gambaran carut marut masa masa kelam pra kemerdekaan dimana kemunafikan berbaur
secara menjijikkan dengan kehormatan yang tulus dan kemenangan yang harus dibayar dengan
harga yang terlalu mahal. Sebuah masa yang tidak lekang dimakan waktu namun terlalu pahit untuk
dilekatkan dalam ingatan orang orang yang pernah terlibat didalamnya.

Terinspirasi dari Novel terkenal karya Pramoedya Ananta Toer (Rumah Kaca).
Larang, Tangkap, Buang....

Ucapan terimakasih:
Untuk kedua orangtua saya yang selalu mendorong saya untuk menulis. Dan tidak terlupa juga atas
jasa merekalah maka saya dapat mengumpulkan berbagai data dan fakta sejarah yang sungguh tidak
ternilai harganya.

Penulisan secara fiksi bagi saya adalah sebuah dunia yang sangat menarik karena disinilah penulis
dapat mengekspresikan pengetahuan dan imajinasinya secara bersamaan tanpa melupakan detil
fakta yang menyelubunginya. Melalui tulisan fiksi, pembaca akan mampu memahami sebuah masa
lalu lengkap dengan segala fenomenanya tanpa harus merasa digurui ataupun dipaksa untuk
menelan kebenaran dalam bentuk yang sangat kaku.

Dalam kisah kali ini saya akan membawa para pembaca melihat kembali kilas balik masa masa
pergerakan nasionalis Indonesia yang harus berjuang keras untuk mencapai kemerdekaan dari
penjajahan Belanda. Sebuah perjuangan yang amat sulit mengingat kondisi psikologis masyarakat
pada masa itu yang sangat heterogen dan cenderung terkotak kotak baik dalam dalam suku, agama
maupun keyakinan politik. Perjuangan awal dari para tokoh pergerakan ini muncul semata mata
karena mereka melihat kegagalan perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh para pendahulu
mereka di berbagai daerah. Persenjataan yang sederhana dan tidak adanya persatuan mengakibatkan
kekalahan demi kekalahan harus dialami oleh para pejuang masa lalu. Inilah yang disikapi secara
serius oleh para pejuang pergerakan nasional masa itu.

Namun sungguh tidak mudah untuk terus menerus berjuang lewat jalur diplomasi dan demonstrasi.
Perjuangan dengan mengusung tema damai nampaknya sangat sulit dipertahankan di tengah situasi
politik yang terus memburuk. Kelompok kelompok politik cenderung memilih jalur keras untuk
mencapai hasil yang diyakini akan maksimal. Dari sinilah kisah ini akan bergulir cepat menghentak
kesadaran kita akan kenyataan betapa kejamnya sebuah penjajahan atas sebuah bangsa. Dan
perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang masa itu benar benar perjuangan yang sulit dan
berbahaya.

Prolog
Batavia, Oktober 1926

Silun hanya menatap kosong kearah asbak rokok di depannya yang masih mengepulkan asap tebal yang
menebarkan campuran aroma manis dan pahit tembakau Jawa. Dia hanya terdiam seolah tidak mampu lagi
berpikir walaupun sebenarnya otaknya masih dipenuhi berbagai gagasan yang kini seakan saling berbenturan
didalam kepalanya ingin segera keluar. Dua lelaki di depannya juga tidak menunjukkan sikap yang berbeda.
Mereka hanya duduk dengan gelisah sambil tidak henti hentinya mengepulkan asap rokoknya tanpa
mempedulikan betapa panasnya udara dalam ruangan sempit tidak berjendela yang mereka tempati ini.
“Saudara Sangaji, apakah saudara yakin akan hal ini?” Tanpa sadar Silun meletupkan kata katanya. “Kekuatan
kita tidak mungkin menandingi kekuatan pemerintah Hindia Belanda saat ini. Penyaluran senjata api belum
merata, jumlah anggota kita juga belum dihitung secara seksama. Saya khawatir bahwa aksi kita kali ini hanya
akan mengalami kegagalan seperti aksi pemberontakan lainnya. Pemberontakan Diponegoro, perlawanan
Patimura, Imam Bonjol, Cut Nya Dien semuanya mengalami kegagalan yang menyedihkan. Mereka memiliki
segalanya kecuali persatuan dan kesatuan seluruh bangsa dan keduanya juga belum kita miliki hari ini.
Pemberontakan KNIL juga ternyata mengalami kegagalan. Kita harus menunda rencana pemberontakan.”

Lelaki di depannya hanya menggerutu pelan sambil menggosok tulang hidungnya. Wajahnya yang kelam
nampak tidak senang dengan apa yang dikatakan Silun. “Kita memiliki persatuan seluruh rakyat revolusioner
saudara Silun, kesatuan tekad rakyat yang mendukung kita inilah yang akan menjadi semangat kita. Selebaran
sudah disebarkan ke seluruh wilayah negeri. Seluruh rakyat siap mendukung kita. Kita tidak bisa terus menerus
menjadi macan kertas, tidak bisa seperti itu. Bukankah itu yang dikatakan oleh ketua? Pada hari H dan jam J
semua mimpi kita akan menjadi kenyataan. Kita akan membuat seluruh jalan di Batavia menjadi lautan darah
dan meratakan seluruh bangunan milik penjajah Belanda. Bangsa Indonesia akan dilahirkan kembali di tanah
nusantara milik mereka sendiri. Hidup Politbiro. Hidup Sosialisme. Hidup Indonesia. Masa kejayaan
kolonianisme akan segera tamat. Bersihkan senjata kalian, revolusi sudah dekat.”

Silun hanya menatap Sangaji dengan kesal. Apakah semua yang dikatakannya tadi hanya sekedar omong
kosong yang tidak berarti? Apakah semua orang sudah dibakar oleh api revolusi sehingga membuat mereka
mabuk dengan mimpi mimpi utopis yang menggiurkan? Apakah para anggota Politbiro sama yakinnya dengan
Sangaji dan teman temannya? Ditatapnya bendera Politbiro dengan hati hancur. Banjir darah ini akankah
berakhir? Mampukah kaum Proletar mencapai kesetaraan pada akhirnya? Perlahan dipejamkannya mata tuanya.
Udara yang panas kini semakin mencekik namun kini dia mencoba menikmatinya. Perlahan dihitungnya angka
angka dalam pikirannya. 10, 9, 8, 7... dirasakannya pintu ruangan itu bergetar hebat. Suara derap kaki sepatu
boot menghantam lantai ubin di bawahnya tanpa ampun. Dicobanya membuka mata tetapi hanya kegelapan
yang menyambutnya. Udara panas kini semakin menyergap disertai suasana pengap yang menyiksa. Silun
kembali mencoba bernafas tetapi gagal. Waktunya sudah dekat dan dia bisa merasakannya. Kegelapan semakin
kuat menerpanya. Hidup kaum Proletar. Hidup Indonesia. Matilah kolonial.
1

Sementara itu diJawa pemberontakan dimulai secara serentak di berbagai tempat sejak tanggal 12 November
1926. Di Jakarta, Jatinegara, dan Tangerang pemberontakan berlangsung dari tanggal 12-14 November, sedang
di Karesidenan Banten berlangsung dari tanggal 12 November sampai 5 Desember 1926, seperti di Labuhan,
Menes, Caringin, dan Pandeglang. Di kabupaten Bandung berlangsung dari 12-18 Novembe26 yakni di
Rancaekek, Cimahi, Padalarang, dan Nagrek. Di Priangan Timur pemberontakan terjadi di Ciamis,
Tasikmalaya.

Di Karesidenan Surakarta, khususnya di Kabupaten Boyolali pemberontakan terjadi pada tanggal 17 November
sampai 23 November.Di daerah Kediri berlangsung dari 12 November – 15 Desember.Pemberontakan meluas
ke Banyumas, Pekalongan dan Kedu. Di Sumatera Barat pemberontakan dimulai pada awal Januari 1927 di
Sawahlunto, Silungkang, Solok, Kota Lawas, Pariaman, Painan, dan Lubuk Sikaping, dan berlangsung sampai
akhir Februari 1927.

Anda mungkin juga menyukai