Anda di halaman 1dari 4

dr.

Cipto (pencangaan, Jepara, Jawa Tengah, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943)

75 tahun sudah kita merdeka, tapi kita tentu sadar bahwa perjuangan dimulai jauh sebelum itu.
Kemerdekan ibarat rumah yang dibangun dengan peluh dan darah dan satu batu fondasi yang
ditanamkan pertama kali sejarah bangsa, batu itu ditanam oleh seorang dokter, juga seorang
wartawan, pejuang dan pahlawan, yang sayangnya tidak sempat menghirup udara kemerdekaan
itu sendiri. Ialah Cipto Mangunkusumo.

Cipto kecil lahir di Jawa Tengah, dari seorang keluarga priyayi. Ketika mengandung Cipto, sang
ibu berpesan , jika sang anak adalah lelaki, beri ia nama Cipto, yang artinya ia yang mencipta.
Memiliki ayah seorang guru, membuat Cipto kemudian dekat dengan dunia pendidikan. Pada
usia 6 tahun, ia disekolahkan di sekolah Belanda. Sebuah keistimewaan yang tidak didapatkan
oleh semua orang. Tapi Cipto memang berbeda, otaknya cerdas. Ia lulus dengan nilai terbaik
diantara teman-temannya. Beranjak remaja, Cipto jadi pemuda yang keras kemauan dan
tekadnya. Di usianya yang masih 13 tahun, ia melanjutkan pendidikan ke STOVIA, demi meraih
cita-cita menjadi dokter yang merakyat. Cipto bisa memilih menjadi priyayi yang hidup enak.
Tapi jalan perjuanganlah yang ia pilih.

Masa muda Cipto ia habiskan dengan belajar, belajar dan belajar di sekolah kedokteran
STOVIA. Saat teman-temannya lebih sering berpesta, Cipto lebih percaya hidupnya harus
diberikan untuk membantu sesame. Maka tak heran jika orang mengenal Cipto sebagai dokter
rakyat.

Ketika satu wabah di serang wabah mematikan, tangan Cipto dengan cekatan turut memulihkan
kembali penduduk kota yang hampir mati. Dokter cemerlang itu disambut sebagai pahlawan.
Selain ilmu yang ia dapat, bersekolah di STOVIA juga menuntun Cipto menemukan jati diri.
Matanya terbuka melihat dan merasakan ketidakadilan dilakukan bangsa pendatang dan
bangsawan yang menjilat kaki Belanda.

Maka ketika ia mendapatkan penghargaan dari Ratu Belanda, medali itu ia simpan di kantung
belakangnya, memaksa para tentara mau tidak mau harus hormat ke bagian belakang tubuhnya.

Kritiknya juga ia tumpahkan lewat tinta, ia melawan lewat tulisan di koran, jiwa
nasionalismenya berkobar. Maka ketika tahu ada sebuah organisasi penggerak sedang didirikan,
Cipto tak berpikir dua kali untuk bergabung. Tahun 190, dr. Cipto bergabung organisasi pemuda,
Budi Utomo. Disinilah, Cipto pertama melangkah memasuki medan perang. Jika sekarang kita
mengenal hari kebangkitan nasional, di organisasi inilah akarnya bermula, Budi Utomo.

Ibaratnya organisasi inilah yang menjadi garis mula jalan panjang meraih kemerdekaan. Disini ia
bertemu dengan pemikir-pemikir hebat dari Jawa. Semuanya berkumpul dengan mimpi
memperbaiki nasib bangsa lewat pendidikan, tapi kiprahnya lewat Budi Utomo tidak
berlangsung lama. Ada perbedaan pendapat di antara mereka. Cipto ingin Budi Utomo jadi
organisasi politik demi kemerdekaan bangsa, bukan sebatas memperjuangkan kesejahteraan
orang Jawa.

Dipersimpangan jalan, Cipto memutuskan untuk berpisah. Keteguhan hati Cipto tak membuatnya
ragu mundur dari Budi Utomo. Keyakinannya seteguh baja, bahwa masa depan butuh organisasi
politik yang berjuang untuk semua, bukan satu kalangan saja. Dan ditengah mimpinya inilah
nasib mempertemukan Cipto Mangunkusumo dengan seorang sahabat lama. Sosok berkulit
putih, berhidung mancung yang tak disangka, punya semangat kemerdekaan yang tak kalah
membara. Ia bernama Ernest Douwes Dekker.

Douwes Dekker (Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 – Bandung, Jawa Barat, 28
Agustus 1950)

Kalau kita mendengar kata pahlawan kemerdekaan Indonesia, mungkin sosok ini jarang terlintas
di pikiran. Kulitnya putih dan berhidung mancung, dari luar fisiknya memang lebih mirip dengan
bangsa yang menjajah kala itu. Namun, dibalik paras asingnya, kecintaannya terhadap bangsa
Indonesia tidak usah diragukan. Ia bukan hanya ikut serta melawan penjajahan, tapi menjadi
motor penggerak, sekaligus inspirasi untuk revolusi. Ia bernama Ernest Douwes Dekker.

Kita mengenal 2 Douwes Dekker dalam sejarah Indonesia. Ya, mereka memang mempunyai
hubungan darah. Ernest adalah cucu dar Eduard Dowes Dekker, penulis terkenal, dengan
karyanya “Max Haveelar”. Sama seperti sang kakek, darah aktivis mengalir di tubuh Ernest,
ditambah sang ibu yang memang keturunan Indonesia.

Saat remaja pun Ernest kecil akrab dipanggil Nest. Ia bekerja (1897) di perkebunan kopi
(perkebunan Soember Doeren) dan pabrik gula Padjarakan. Dari sanalah ia melihat sendiri kerja
keras dan hidup sulit para rakyat pribumi. Nest remaja bahkan sampai berkelahi dengan atasan
dan kehilangan pekerjaannya, demi membela sesame pekerja. Ia benci penindasan.

Sikap kritisnya makin membara saat ia menjadi seorang jurnalis. Ia berpikir bahwa sebesar
apapun kemurahan hati Pemerintah Belanda, Hindia Belanda (Indonesia) akan hancur apabila
tidak diberikan pemerintahan sendiri. Pikirannya ia tulis dalam rangkaian artikel tajam di surat
kabar dan sebuah buku. Terinspirasi karya sang kakek, ia membongkar kekejaman Belanda
terhadap pribumi. Kata kata tajam di buku itu ibarat muntahan peluru yang menghujam Belanda.
Di mata mereka, Douwes Dekker adalah ancaman yang berbahaya.

Tetapi Douwes Dekker makin menjadi. Ia membuka pintu untuk para pemuda di sekolah dekat
rumahnya, agar sering berkumpul dan berdiskusi tentang pergerakan. Dari pertukaran ide tiap
malam, para pemuda itu sepakat untuk membentuk organisasi pergerakan. Boedi Oetomo
namanya, yang berdiri pada tahun 1908 di Batavia.

Douwes Dekker memang tidak bergabung di dalamnya, gerakan ini sedikit berbeda dari
pemikirannya. Tapi dari perkumpulan ini, dia bertemu seorang pemuda cerdas yang memiliki
pemikiran yang sama dengannya, dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Waktu berlalu, Douwes Dekker
melihat gerakan-gerakan yang ada tidak cukup besar dan radikal untuk mendukung visi dan
harapannya untuk tanah air, maka ia mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di
Nusantara pada 6 September 1912.

Meneriakkan kesetaraan ras, terang-terangan melawan kolonialisme dan memperjuangkan


kemerdekaan Indonesia. Bersama dokter Cipto sebagai wakil ketua, partai ini berkembang setiap
harinya. Selama 8 bulan, mereka mengelilingi Pulau Jawa dan berpidato di berbagai tempat.
Lewat pidato menggugah jiwa dan semangat perjuangan yang ia tularkan, partai muda ini
berhasil mengumpulkan sekitar 7.000 anggota dari semua golongan. Babak baru perjuangan
telah ia mulai, dengan tangan-tangan terkepal di udara, dan pekik kemerdekaan yang kian
lantang bersuara.

Douwes Dekker mungkin bukan Indonesia tulen, tetapi ia mendedikasikan hidupnya untuk
kemerdekaan Indonesia. Setengah tahun sebelum ia mendirikan Indische Partij, ia mendirikan
surat kabar De Express pada 1 Maret 1912, bersama dr. Cipto. Lewat Koran itu juga, ia
menyebarkan pemikiran-pemikiran tentang kesetaraan ras, dan ide-ide awal untuk Indische
Partij. Namun siapa sangka, bahwa lewat koran yang ia bangun, ada sesosok pemuda yang
berotak brilian, yang kemudian menuliskan karya-karya yang mengubah nasib mereka dan juga
bangsa Indonesia.

Ki Hajar Dewantara (Pakualaman, 2 Mei 1889 – Yogyakarta, 26 April 1959)

Bapak pendidikan Indonesia, sebutan yang akan terus dilekatkan kepada seorang pendidik
bersahaja yang rela melepas jubah kebangsawanan, agar bisa berbaur dan merakyat. Tapi jarang
kita tahu, sebelum menggagas filosofi pendidikan kita, beliau memulai langkahnya sebagai
seorang aktivis, pejuang dan wartawan cerdan nan tajam dalam mengkritik penjajah. Dialah Ki
Hajar Dewantara.

Terlahir di keluarga bangsawan dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia lahir
dengan tubuh yang sedikit berbeda. Sampai-sampai sang ayah memberikan nama pena yang lucu
buatnya. Namun menurut sahabat sang ayah, bentuk fisik inilah yang menandakan sang bayi
yang akan berpengaruh besar nantinya.

Sebagai seorang bangsawan muda, Soewardi memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki anak
lainnya. Lalu di masa remaja beliau pun mendapatkan kesempatan untuk bersekolah dokter di
Batavia secara cuma-cuma. Namun dikarenakan tubuh yang sakit-sakitan, beliau harus tidak naik
kelas dan dicabut beasiswanya. Walaupun pencabutan ini juga dicurigai ada motif politis
dibaliknya.

Tapi, gagal menjadi dokter tidak lantas membuatnya hilang arah. Malah ia menemukan kekuatan
baru dengan bersenjata kertas dan pena. Tulisan-tulisan Soewardi menarik perhatian dua pemuda
lainnya, yang juga tengah membangun pergerakan, dr. Cipto dan Douwes Dekker. Ketiga orang
inilah yang kemudian bahu-membahu, menyebarkan ide Indonesia merdeka, lewat partai politik
pertama di Nusantara. Ibarat mendapatkan angin, disana Soewardi semakin garang mengkritik
ketidakadilan yang menimpa bangsanya.

Pucaknya ia menuliskan sebuah kritik tajam, yang ditujukan kepada bangsa penjajah. Tulisan
yang sangat ironis menyindir perayaan kemerdekaan Belanda, diatas tanah yang sedang mereka
jajah, dengan ongkos yang juga harus dibayar oleh orang-orang tertindas. Merahlah wajah dan
telinga orang Belanda. Suara lantang Soewardi dianggap sudah keterlaluan.

Bersama rekan seperjuangan, tiga serangkai itu pun dibuang ke negeri Belanda. Raga boleh
diasingkan, tapi bara dalam jiwa tegar menyala. Ditengah pengasingan, Soewardi justru
tercerahkan. Ia mengenal gagasan pendidikan dari tokoh-tokoh besar, yang ide-idenya kelak
membawanya ke arena juang yang sama.

Kembali ke tanah air, jalan terjal masih dihadapinya. Soewardi lagi-lagi harus berhadapan
dengan pihak pemerintah colonial. Celakanya, kali ini ia harus sampai mendekam di penjara.
Tapi dibalik jeruji hatinya gelisah mendengar kabar sang istri yang mengalami pendarahan para
sehabis melahirkan anak ketiga. Lalu, disinilah titik di balik itu. Pada satu kesempatan, sang istri
mengingatkan Soewardi tentang janjinya kepada sang guru, agar mau mendidik kaumnya yang
tertindas. Bagai mendapat ilham, Sowardi pun segera bersiap lahir menjadi sosok yang baru.

Ketika bebas, ia lekas mendirikan sebuah sekolah, Taman Siswa namanya (1922). Sebuah cara
perjuangan yang ia pilih untuk memperkuat rakyat dengan senjata terhebat, pendidikan. Ia juga
menanggalkan nama kelahirannya, menggantinya dengan nama panggilan yang setara, Ki Hajar
Dewantara. Mimpinya sangat besar dan melampaui zaman. Cita-cita untuk meraih kemerdekaan,
bukan hanya untuk merdeka dari penjajahan bangsa-bangsa, tetapi juga kebodohan yang
memenjara. Inilah sumbangsih terbesar yang membuatnya dikenang sebagai Bapak Pendidikan
Indonesia kelak.

Perjuangan melawan penjajah tidak melulu dengan senjata. Kisah dari seorang dokter rakyat
membela kaumnya dengan cuma-cuma, juru ketik yang rajin mengkritik, ataupun seorang
pendidik yang rela turun, dan meninggalkan zona nyaman. Menyadarkan kita kalau perjuangan
itu adalah tentang memiliki ide dan mimpi yang besar. Butuh tiga decade bagi Tiga Serangkai
sampai cita-cita kemerdekaan dinikmati oleh kita semua hingga hari ini.

Anda mungkin juga menyukai